146-47. Setelah seperti demikian menunjukkan pengembangan cinta kasih secara ringkas, dari konsentrasi akses hingga puncak penyerapan, Beliau mengucapkan kedua bait syair berikutnya, yang dimulai dengan “Makhluk-makhluk hidup manapun juga,” untuk menunjukkan hal ini secara terperinci. Atau, karena pikiran yang terbiasa dengan kemajemukan objek-objek tidak dapat dengan seketika menjadi tenang terpusat, namun hanya setelah mengeksplorasi suatu analisis objek-objeknya maka pikiran menjadi tenang secara bertahap, Beliau mengucapkan kedua bait syair berikutnya, “Makhluk-makhluk hidup manapun juga,” dengan tujuan untuk menenangkan pikiran setelah mengeksplorasi analisis objek-objek ke dalam pasangan dua dan pasangan tiga, yang dimukai dengan lemah dan kuat. Atau, karena pikiran seseorang dengan mudah menjadi kokog ketika berfokus pada sebuah objek yang jelas, [245] maka Sang Buddha mengucapkan kedua bait syair ini, “Makhluk-makhluk hidup manapun juga,” menunjukkan analisis objek-objek ke dalam pasangan dua dan pasangantiga yang dimulai dengan lemah dan kuat, karena Beliau ingin membantu tiap-tiap bhikkhu untuk menenangkan pikiran mereka pada objek apapun yang menjadi jelas baginya.
Di sini terdapat empat pasang: yang lemah dan kuat, yang terlihat dan tidak terlihat, yang jauh dan dekat, dan mereka yang telah datang maupun yang akan datang. Dalam hal enam kata yang dimulai dengan “mereka yang panjang,” kata “menengah” masuk ke dalam tiga kelompok tiga, dan kata “halus” masuk ke dalam dua kelompok tiga. Dengan demikian kalimat itu menunjukkan tiga kelompok tiga: yang panjang, pendek, dan menengah; yang besar, halus (kecil) dan menengah; dan yang kasar, halus, dan menengah. Apapun adalah kata yang bermakna “tanpa kecuali.” Makhluk-makhluk hidup (pāṇā) adalah makhluk-makhluk yang hidup. Atau “makhluk-makhluk hidup” bermakna “mereka yang bernapas.” Dengan ini, Beliau memasukkan makhluk-makhluk dengan lima unsur yang bergantung pada napas masuk-dan-keluar. Makhluk-makhluk (bhūta) adalah mereka yang ada; dengan ini, Beliau memasukkan makhluk-makhluk dengan satu unsur dan empat unsur. Yang ada: yang hidup.
Dalam cara ini, dengan ungkapan “makhluk-makhluk hidup apapun yang ada” setelah menunjukkan semua makhluk secara kolektif, yang diklasifikasikan ke dalam pasangan dua dan tiga, sekarang, dengan ungkapan “apakah lemah ataupun kuat, tanpa kecuali,” Beliau menunjukkan semua ini yang diklasifikasikan secara pasangan. Di sini, yang lemah adalah “mereka yang gemetaran (atau haus)”; ini adalah sebutan untuk mereka dengan ketagihan dan dengan ketakutan. Yang kuat adalah mereka yang berdiri kokoh; ini adalah sebutan untuk para Arahant, yang telah meninggalkan ketagihan dan ketakutan. Tanpa kecuali: tanpa melewatkan apapun; apa yang dimaksudkan adalah “semua.” Frasa pada akhir bait syair ke dua (147) harus dihubungkan pada semua kelompok dua dan kelompok tiga, sehingga kita membaca: “Makhluk-makhluk hidup apapun yang ada, apakah lemah atau kuat, tanpa kecuali, semoga semua makhluk ini juga berbahagia dalam batin,” dan seterusnya hingga “apakah mereka telah datang atau yang akan datang, semoga semua makhluk-makhluk ini juga berbahagia dalam batin.”
Sekarang di antara enam kata yang menunjukkan kelompok tiga, yang dimulai dari yang panjang, pendek, dan menengah, yang panjang adalah mereka yang memiliki tubuh yang panjang, seperti nāga, ikan, dan kadal. Karena tubuh nāga di lautan berukuran ratusan depa, sedangkan tubuh ikan dan kadal, dan sebagainya, berukuran beberapa yojana. Yang besar adalah mereka yang bertubuh besar, seperti ikan dan kura-kura dalam air; [246] dan gajah dan nāga di darat, dan dānava dan sebagainya di antara makhluk-makhluk halus. Seperti yang dikatakan oleh Sang Bhagavā: Rāhu adalah yang terbesar di antara mereka yang memiliki tubuh” (AN II 17,21); karena tinggi tubuhnya 4.000 yojana dan [lebarnya] 800 yojana; rentang tangannya 1.200 yojana, alis matanya lima puluh yojana, demikian pula jemarinya, dan telapak tangannya 200 yojana. Yang menengah: tubuh kuda, sapi, kerbau, babi, dan sebagainya. yang pendek: makhluk-makhluk yang lebih kecil daripada yang tinggi dan menengah, seperti makhluk-makhluk kerdil dalam berbagai kelompok. Halus (kecil): mereka yang di luar jangkauan mata fisik; makhluk-makhluk dengan tubuh yang sangat halus, seperti yang terlahir dalam air, yang dapat terlihat oleh mata dewa, atau kutu dan sebagainya. lebih lanjut, makhluk-makhluk dalam berbagai kelompok yang berukuran lebih kecil daripada yang besar dan menengaj dan yang kasar dan menengah harus dipahami sebagai halus (kecil). Yang kasar: makhluk-makhluk itu yang memiliki tubuh bulat, seperti ikan, kura-kura, dan tiram dan kerang-kerangan, dan sebagainya.
147. setelah menunjukkan makhluk-makhluk secara lengkap dalam tiga kelompok tiga, sekarang, dengan kata-kata “apakah mereka terlihat atau tidak terlihat” dan seterusnya, Beliau menunjukkan mereka dalam tiga pasang. Di sini, yang terlihat adalah mereka yang pernah terlihat sebalumnya ketika mereka berada dalam jangkauan penglihatan; yang tidak terlihat adalah mereka yang berada di seberang lautan, di balik gunung, di alam lain, dan sebagainya. Apakah mereka berada jauh atau dekat: dengan pasangan ini, Beliau menunjukkan makhluk-makhluk yang berada jauh dan dekat relatif dari diri sendiri. Hal ini harus dipahami secara relatif. Karena makhluk-makhluk yang berada di dalam tubuh sendiri adalah dekat, mereka yang berada di luar tubuh adalah jauh. Demikian pula, mereka yang berdiam di sekitar diri sendiri adalah dekat, mereka yang berada di luar sekitar diri sendiri adalah jauh. Mereka yang berada dalam vihara, desa, negeri, benua, alam sendiri dikatakan sebagai dekat, mereka yang berada di alam lain dikatakan sebagai jauh.
Mereka yang telah muncul: mereka yang telah terlahir, terbentuk. Ini adalah sebutan untuk para Arahant, yang dikenal sebagai: “Mereka telah muncul tetapi tidak akan muncul lagi.” Mereka yang akan muncul: mereka yang sedang mencari penjelmaan. [247] Ini adalah sebutan untuk mereka yang masih berlatih dan kaum duniawi yang, karena mereka belum meninggalkan belenggu-belenggu penjelmaan, maka sedang mencari penjelmaan masa depan. Atau, di antara empat cara kelahiran, makhkluk-makhluk yang terlahir dari telur dan dari rahim dikatakan “mereka akan muncul” selama mereka belum memecahkan cangkang telur atau selaputnya. Tetapi ketika mereka telah memecahkan cangkang telur atau selaputnya dan telah keluar, maka mereka dikatakan “telah muncul.” Pada makhluk-makhluk yang terlahir dari kelembaban dan mereka yang terlahir secara spontan dikatakan “mereka akan muncul” pada momen-pikiran pertama. Dari momen-pikiran ke dua dan seterusnya, dikatakan mereka “telah muncul.” Atau, ketika mereka terlahir dalam postur tertentu, selama mereka belum mengubah postur, dikatakan “mereka akan muncul.” Tetapi setelahnya, dikatakan “mereka telah muncul.”
148. Dalam cara ini, dengan dua setengah bait syair yang dimulai dengan “Semoga semua makhluk berbahagia,” Sang Bhagavā dalam berbagai cara telah menunjukkan kepada para bhikkhu itu pengembangan cinta-kasih kepada makhluk-makhluk dengan mengharapkan agar mereka menemui kesejahteraan dan kebahagiaan. Sekarang Beliau berkata, seseorang seharusnya tidak menipu orang lain, menunjukkan pengembangan cinta-kasih sekali lagi dengan mengharapkan mereka terhindari dari bahaya dan penderitaan.
Di sini, seseorang … orang lain: satu orang dan orang lainnya. Seseorang seharusnya tidak menipu: seseorang seharusnya tidak mencurangi. Seseorang seharusnya tidak merendahkan: seseoramg seharusnya tidak memandang rendah. Di manapun: di segala tempat, apakah di desa ataupun di pemukiman, di sawah, di antara sanak saudara, atau dalam perserikatan. Siapapun: siapapun apakah seorang khattiya, brahmana, perumah tangga, seorang yang meninggalkan keduniawian, seorang yang beruntung atau seorang yang tidak beruntung, dan sebagainya. karena marah dan pikiran menolak: karena kemarahan yang diungkapkan melalui kekesalan jasmani dan verbal, dan karena pikiran menolak yang disertai dengan kekesalan batin, maka seseorang seharusnya tidak mengharapkan penderitaan bagi orang lain. [248] Apakah maksudnya? Seseorang tidak hanya harus mengembangkan cinta-kasih dengan mengharapkan sebagai berikut, “Semoga mereka berbahagia dan aman,” tetapi juga harus mengembangkannya dengan cara ini: “Seseorang seharusnya tidk menipu orang lain, seperti dengan mencurangi mereka. Seseorang seharusnya tidak merendahkan siapapun di manapun karena sembilan kasus keangkuhan karena status sosial dan sebagainya. Karena kemarahan atau pikiran menolak seseorang seharusnya tidak mengharapkan penderitaan bagi orang lain.”
149. Setelah menunjukkan pengembangan cinta-kasih menurut maknanya, sebagai harapan agar makhluk-makhluk terhindar dari bahaya dan penderitaan, sekarang Beliau berkata: “Bagaikan seorang ibu,” untuk menunjukkan praktik melalui perumpamaan. Maknanya adalah sebagai berikut: bagaikan seorang ibu yang melindungi putranya—karena ia akan melindungi putra kandungnya yang ia lahirkan—putra tunggalnya, dengan kehidupannya, dengan mengorbankan kehidupannya sendiri untuk menghalau penderitaan yang menghampirinya, demikian pula seseorang seharusnya mengembangkan terhadap semua makhluk suatu keadaan pikiran, [yaitu,] cinta kasih, tanpa batas. Seseorang harus memunculkannya dan memperluasnya berulang-ulang, dan ia harus mengembangkannya tanpa batas dengan mengambil makhluk-makhluk yang tidak terbatas sebagai objeknya atau dengan serapan mendalam pada satu makhluk.
150. Setelah menunjukkan pengembangan cinta-kasih dalam segala aspek, sekarang untuk menunjukkan lanjutannya, Beliau berkata: “Dan kepada seluruh dunia.” Di sini, cinta kasih diturunkan dari “teman” (mitta), karena menggemukkan dan melindungi; yaitu, dibasahi melalui harapan untuk memajukan kesejahteraan dan perlindungan dari bahaya. Cinta-kasih (kebaikan) adalah kondisi seorang teman. Kepada seluruh dunia: kepada makhluk-makhluk di dunia tanpa kecuali. suatu keadaan pikiran: yang ada dalam pikiran; dikatakan demikian karena cinta-kasih adalah berhubungan dengan pikiran. Seseorang harus mengembangkan: seseorang harus memancarkan. Tanpa batas: tanpa batas karena menjadikan tak terhitung banyaknya makhluk sebagai objeknya. Ke atas: dengan ini Beliau memasukkan kehidupan di alam tanpa bentuk; ke bawah: dengan ini Beliau memasukkan kehidupan alam keinginan; Ke sekeliling: dengan ini Beliau memasukkan alam berbentuk. Tak terkurung: hampa dari kurungan, apa yang dimaksudkan adalah mendobrak penghalang. Seorang yang bersikap bermusuhan disebut penghalang; maknanya adalah bahwa cinta-kasih mengarah menuju orang itu juga. Tanpa permusuhan: hampa dari permusuhan, [249] tanpa manifestasi kehendak permusuhan bahkan pada jeda waktu; tanpa lawan: tanpa orang-orang yang memusuhi; karean seorang yang berdiam dalam cinta-kasih disayang oleh para manusia, disayang oleh bukan manusia, dan tidak ada yang memusuhinya. Karena itu, karena ketiadaan orang-orang yang memusuhi, maka pikiran itu disebut sebagai “tanpa musuh.” Karena “orang yang memusuhi” dan “lawan” adalah bersinonim. Ini adalah komentar atas makna-makna menurut masing-masing kata.
Tetapi berikut ini adaah komentar atas makna yang dimaksudkan di sini. Dikatakan, “seseorang seharusnya mengembangkan pikiran tanpa batas kepada semua makhluk.” Seseorang harus mengembangkan pikiran tanpa batas ini kepada seluruh dunia; ia harus memancarkannya dan menumbuhkannya, meningkatkannya, dan memperluasnya. Bagaimanakah? “Ke atas, ke bawah, dan ke sekeliling”: ke atas sejauh puncak kehidupan; ke bawah sejauh neraka Avīci; dan ke sekeliling sejauh arah-arah lainnya. Atau ke atas hingga ke alam tanpa bentuk, ke bawah hingga ke alam keinginan, dan ke sekeliling hingga ke alam berbentuk, melingkupinya tanpa kecuali. Mengembangkannya sedemikian sehingga “tidak terkurung, tanpa permusuhan, tanpa lawan,” ia harus mengembangkannya dengan tanpa kurungan, tanpa permusuhan, dan tanpa lawan. Ketika keberhasilan dalam pengembangan tercapai, maka akan tidak terkurung dengan memperoleh ruang di manapun; tanpa permusuhan dengan lenyapnya kekesalan diri sendiri terhadap makhluk lain; dan tanpa lawan dengan lenyapnya kekesalan makhluk lain terhadap diri sendiri. Demikianlah ia mengembangkan dan memancarkan pikiran cinta-kasih tanpa batas—yang tidak terkurung, tanpa permusuhan, tanpa lawan—terhadap seluruh dunia yang dibagi menjadi tiga: ke atas, ke bawah, dan ke sekeliling.
151. Setelah menunjukkan kelanjutan dari pengembangan cinta-kasih, sekarang untuk menunjukkan bahwa tidak ada postur tetap bagi seseorang yang berfokus pada pengembangannya, Beliau berkata: “Apakah berdiri, berjalan … pada perhatian ini.” Maknanya adalah: Seorang yang mengembangkan pikiran cinta-kasih ini dengan cara demikian [250] tidak perlu mengadopsi postur tertentu yang tetap seperti pada subjek meditasi lain sebagai berikut, “ia duduk bersila, menegakkan tubuhnya,” dan seterusnya. Menghalau ketidaknyamanan dengan mengadopsi postur apapun yang ia sukai, apakah berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring, selama ia tidak mengantuk, ia harus mempertahankan perhatian dari jhāna cinta-kasih ini.
Atau, setelah menunjukkan kelanjutan dari pengembangan cinta-kasih, sekarang untuk menunjukkan penguasaannya, Beliau berkata: “Apakah berdiri, berjalan.” Karena seorang yang telah mencapai penguasaan ingin mempertahankan perhatian dari jhāna cinta-kasih ini selama postur tersebut berlangsung, apakah berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring. Atau dengan “berdiri atau berjalan” Beliau mengajarkan bahwa berdiri [dan berjalan] bukanlah rintangan. Lebih lanjut lagi, slama seseorang ingin mempertahankan perhatian dari jhāna cinta-kasih ini, selama itu pula ia bertekad agar tidak mengantuk; tidak ada kelambanan sehubungan dengan hal itu. Karena itu Beliau mengatakan: “Apakah berdiri, berjalan, atau duduk, atau berbaring, selama ia tidak mengantuk, maka ia harus mempertahankan perhatian ini.”
Maknanya adalah sebagai berikut: “Sehubungan dengan apa yang dikatakan, ‘Dan terhadap seluruh dunia seseorang harus mengembangkan pikiran cinta-kasih yang tanpa batas,’ia harus mengembangkannya sedemikian sehingga, postur apapun yang ia lakukan, seperti berdiri, dan seterusnya, selama postur itu berlangsung, tanpa memperhatikan apakah ia berdiri, dan seterusnya, selama ia ingin tetap mempertahankan perhatian dari jhāna cinta kasih, maka selama itu ia dapat mempertahankan perhatian itu.”
Selagi menunjukkan apa yang diperlukan untuk menguasai pengembangan cinta-kasih, setelah menginstruksikan seseorang untuk berdiam dalam cinta-kasih dengan kata-kata “ia harus mempertahankan perhatian ini,” Sang Bhagavā sekarang memuji keberdiaman itu dengan kata-lata “Mereka menyebut ini sebagai keberdiaman Brahma di sini.” Maknanya adalah: Mereka menyebut ini keberdiaman dalam cinta-kasih—seperti yang dijelaskan dalam kalimat dengan kata-kata “Semoga semua makhluk berbahagia dan aman” hingga “ia harus mempertahankan perhatian ini”—keberdiaman brahma, keberdiaman terbaik di sini, dalam Dhamma dan Disiplin mulia ini. Disebut terbaik karena hampa dari cacat dan karena membawa manfaat bagi diri sendiri dan makhluk lain, dan sebuah keberdiaman di antara empat keberdiaman: keberdiaman surgawi, keberdiaman brahma, dan keberdiaman mulia, dan postur-postur. [251] Karena itu secara konstan dan terus-menerus, tanpa terputus, ia harus mempertahankan perhatian ini apakah berdiri, berjalan, duduk, atau berbaring, selama ia tidak mengantuk.
152. Setelah mengajarkan kepada para bhikkhu itu pengembangan cinta-kasih dalam berbagai aspeknya, sekarang Beliau berkata: “Tidak menganut pandangan apapun.” Karena cinta-kasih memiliki makhluk-makhluk sebagai objeknya, hal ini mendekati sebuah pandangan atau diri. Karena itu, dengan menolak adopsi pandangan, Beliau mengatakan ini untuk mengajarkan para bhikkhu itu pencapaian alam para mulia yang dicapai dengan menggunakan jhāna cinta kasih yang sama itu sebagai landasan. Dengan syair ini, Beliau menutup ajaran.
Maknanya adalah sebagai berikut: Setelah keluar dari keberdiaman dalam jhāna cinta-kasih ini yang dijelaskan sebagai berikut, “Mereka menyebut ini sebagai keberdiaman brahma di sini,” ia memahami fenomena [batin] seperti pemikiran dan pemeriksaan, dan membatasi fenomena fisik yang muncul bersama dengannya. Tidak menganut pandangan apapun dengan membagi [fenomena] ini sebagai “nama dan bentuk,” [dan dengan memahami], “Ini hanyalah tumpukan hal-hal terkondisi; tidak ada makhluk yang dapat ditemukan di sini” (SN I 135,19), secara bertahap ia menjadi berperilaku baik, melalui perilaku baik yang melampaui keduniawian, dan memiliki penglihatan, pandangan benar dari jalan memasuki-arus yang terhubung dengan perilaku baik yang melampaui keduniawian. Setelah ini, keserakahan terhadap objek-objek indria, kekotoran indriawi, masih belum ditinggalkan. Tetapi setelah melenyapkan keserakahan terhadap kenikmatan-kenikmatan indriawi dengan terlebih dulu melemahkannya melalui jalan yang-kembali-sekali dan kemudian meninggalkannya tanpa sisa melalui jalan yang-tidak-kembali—setelah melenyapkannya dan menaklukkannya—ia tidak akan pernah kembali ke tempat tidur rahim lagi. Ia sama sekali tidak akan kembali lagi pada tempat tidur rahim lagi. Setelah terlahir kembali di alam murni, ia mencapai Kearahantaan dan mencapai nibbāna akhir di sana.
Setelah menutup ajaran ini, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu itu: “Pergilah, para bhikkhu, menetaplah di hutan yang sama itu dan pada tanggal delapan pada bulan untuk mendengarkan Dhamma, setelah memukul gong, bacakanlah khotbah ini, babarkan khotbah Dhamma, lakukan diskusi, bergembiralah, dan kejar, kembangkan, dan latih subjek meditasi ini. [252] Maka makhluk-makhluk halus itu tidak akan memperlihatkan penampakan menakutkan kepada kalian melainkan sebaliknya akan mengharapkan kebaikan dan kesejahteraan kalian.”
Setelah menjawab, “Baik!” mereka bangkit dari duduk mereka, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau, kembali, dan melakukan sesuai instruksi. Para dewata dipenuhi dengan sukacita dan kegembiraan, dengan berpikir, “Para mulia ini mengharapkan kebaikan dan kesejahteraan kami,” dan mereka menyapu tempat-tempat tinggal, mempersiapkan air panas, memijat punggung dan kaki mereka, dan melakukan penjagaan. Setelah mengembangkan cinta-kasih seperti yang diajarkan, para bhikkhu menggunakannya sebagai landasan, membangkitkan pandangan terang, dan dalam masa tiga bulan itu mereka semua mencapai Kearahantaan, buah tertinggi. Kemudian mereka mengadakan upacara Pāvaraṇā dalam kemurnian.
Dengan cara ini mereka yang terampil dalam kebaikan,
Dalam Dhamma dari seorang yang terampil,
Sempurna dalam kebaikan yang seharusnya dilakukan
Seperti yang dijelaskan oleh Sang Raja Dhamma.
Setelah melakukan ini, lengkap dalam kebijaksanaan,
Mereka melakukan terobosan pada keadaan damai
Mengalami kedamaian batin tertinggi.
Oleh karena itu seorang cerdas yang ingin berdiam
Setelah melakukan terobosan pada keadaan damai itu—
Tanpa kematian, kondisi menakjubkan yang disukai para mulia—
Seharusnya terus-menerus melakukan kebaikan yang seharusnya dilakukan,
Dianalisis menjadi moralitas tanpa noda, konsentrasi tanpa noda, dan kebijaksanaan tanpa noda