//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - sutarman

Pages: [1] 2 3 4 5
1
Bukan, itu adalah kenyataan sederhana tanpa perlu belajar filosofi apa pun. Contoh super sederhana: saya pernah diberitahu hal yang enak didengar, "ada kue buat kamu di atas!" Lalu saya pergi ke atas, dan memang benar ada kue untuk saya. Ternyata enak didengar dan jujur.
Lain waktu, pernah ada juga yang bohong mengatakan kue saya adalah 'bukan kue saya'. Sudah bohong, tidak enak didengar pula. ;D Jadi kalau orang menganggap yang jujur = tidak enak didengar, yang tidak jujur = enak didengar, saya pikir cukup aneh.

Kainyn,

You are the Master. I don't want to comment anymore.

Keep you good work in here.



Although I had said billion words people still do not know what I really mean. Should I speak?




For moderator, please lock all of threads I have made.



And for this thread (Zen) and other thread (Theravada), I will let other Brothers like Dilbert or Morpheus to explain Zen.

They will explain Zen better than me.



I had said all I want to say. I hope people will know the Zen better.



Zen is mind and mind is Zen.

Buddha is mind and mind is Buddha.

Zen is meditation and meditation is Zen.

Let me meditate.
 

_/\_

2
darimana tau "tidak kurang satu huruf pun"? apakah masih ada copy lainnya sebagai pembanding? kalau ada berarti cuma menyalin (fotokopi), wajar kalo tidak ada salah.

Bro Indra yang baik,

saya lupa nama tepat dari pembakar kitab itu, seingat saya sih dari Jepang. Nanti saya cari lagi di pustaka saya.

 _/\_


3
pertanyaannya "Apakah Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna" dengan kalimat lain mungkin "apakah Dhamma telah ditransmisikan dengan sempurna"?

Nah, itu pula yang harus dipertanyakan dalam meditasi kita.

Quote
bukankah ini adalah tulisan anda, "Tujuan mindfulness adalah memusnahkan pikiran buruk/jahat".

saya telah gagal menyampaikan maksud saya. mungkin Bro boleh lagi cermati postingan saya yang terceraiberai di beberapa thread.

4
apakah master2 ZEN memiliki kebiasaan menghanguskan buku2 ?

apakah tindakan membakar buku juga bisa digolongkan egois...karna orang berikutnya gak bisa lagi membacanya!

apakah membakar buku di keluarga ZEN pernah terjadi ?

bagaimana master ZEN tsb begitu yakin... dan tidak pelupa setelah waktu berjalan.... sehingga berani membakar buku2 tsb ?

thx... :-[

Bro Johan3000 yang baik,

Mungkin yang Bro tidak tahu adalah kisah Zen mengenai bakar membakar buku itu hanya 'komik' saja.
Aslinya adalah yang membakar buku itu kemudian diminta Gurunya menuliskan ulang semua kata dalam buku yang dibakar itu. Dan dia menulis ulang semuanya dengan tepat, tidak kurang satu huruf pun!

 _/\_

5
secara singkat saya simpulkan bahwa menurut Bro Sutarman, Dhamma masih tidak dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Buddha, entah itu tidak sempurna dalam kata, bahasa, ataupun kitab. benarkah demikian?

Dhamma sempurna. Proses penyampaianya tidak.

Quote
cara anda menyampaikan pikiran anda dengan hanya menyebutkan Theravada dan Mahayana tanpa memasukkan Zen, bermakna bahwa hanya Zen yg 100% (benar atau salah, saya tebak "benar").

Zen termasuk yang TIDAK BENAR ketika Zen berusaha menjelaskannya dalam kata, bahasa, teori, konsep.

Quote
jadi tujuan Zen adalah agar praktisinya menjadi orang yg baik? kalau begitu mungkin saya agak terlalu cepat menyimpulkan bahwa Zen sama sekali berbeda secara mendasar dengan Buddhism. sepemahaman saya Buddhisme bertujuan jauh melampaui kebaikan, menjadi orang baik bukan tujuan Buddhist.

Tujuan Buddha Dharma adalah mencabut semua karma. Tapi awalnya ya harus dari sila (tindakan & ucapan) kemudian berlanjut ke samadhi (pikiran/zen) dan terakhir menggunakan panna (keterbebasan, ketidakmelekatan, jalan tengah). Semua itu demi tujuan tertinggi dalam agama Buddha yaitu ..... (Anda yang cerdas pasti sudah tahu sendiri).

 _/\_

6
Dengan kata lain, Zen tidak melihat bahaya dari pembunuhan, pencurian, asusila, kebohongan dan ketidaksadaran, karena toh semua juga tidak ada. Begitukah? ;D

Ya nggak begitulah. Khan saya sudah katakan bahwa saya cuma bercanda. Saya pikir Bro Kainyn yang cerdas pasti sudah tahu sendiri ketika bertanya seperti itu kepada saya. Saya nggak mau berdebat kusir. Saya anggap kita berdua 'tahu sama tahu'.

Quote
"Dari sono-nya" ini yang seperti apa? Tolong diberi contoh ajaran dari Theravada yang menyuruh kritis terhadap ajaran lain tapi tidak kritis terhadap ajarannya sendiri.
Berarti tetap menggunakan "jari" juga, bukan?
Hanya perbandingan saja, dalam Tradisi Theravada, Buddha mengumpamakan tujuan dari Ajaranya sebagai
'pantai seberang'. Apa yang diajarkan Buddha itu BUKAN pantai seberang, melainkan hanya rakit. Pantai seberang itu TIDAK DAPAT diwariskan, tetapi hanya dapat dicapai oleh mereka yang berlatih.
Demikian jari bukan bulan, rakit bukan pantai seberang. Maka saya katakan yang anda bilang itu hanya propaganda yang mengagungkan zen.
Nah, bro sutarman sendiri mengerti bahwa itulah gunanya sila/vinaya.
Yang sulit saya mengerti adalah bagi bro sutarman, konsep yang begitu mudah dimengerti dan sederhana, bisa memiliki atribut kaku kalau dikemukakan oleh 'non-zen' (katakanlah Theravada), namun adalah fleksibel dan tepat guna kalau dikatakan dalam koridor Zen. Padahal saya melihat baik Zen (fleksibel) ataupun Theravada (kaku), sebagian menjaga pikiran, ucapan, dan perbuatan, sebagian lagi tidak menjaganya.

Jadi (maaf), sejujurnya saya melihat bro sutarman seperti umat tertentu yang mengatakan agamanya paling baik, membawa orang pasti lebih baik, padahal faktnya, umat agama tersebut juga sama saja seperti umat lain, sebagian baik, sebagian juga tidak baik.

Itulah Zen of Zen. Sebagai senior di sini, Bro Kainyn sebagaimana Bro Dilbert pasti sudah menguasai 'jurus' ini. Saya tak mau berkomentar lebih jauh. Dan mungkin saya ingin mengucapkan goodbye kepada Anda semua karena tujuan saya mampir di website ini hanya untuk meluruskan Bro Thema.

Ada pepatah Zen yang dikutip dari Dao De Jing.
Kata jujur - tidak enak didengar. Kata enak didengar - tidak jujur.
Orang cerdas - tidak berbicara. Orang berbicara - tidak cerdas.
 
_/\_

7
cuma inikah vinaya dalam Zen? saya tebak Zen pasti tidak percaya sutta2 Tipitaka sama sekali, bagaimana menurut anda jika dikatakan bahwa Sang Buddha sendiri sering melakukan perdebatan dengan para brahmana/petapa lain seperti tercantum dalam sutta2?

Bro Sutarman, apakah menurut anda Dharma telah sempurna dibabarkan?

Bro Indra yang baik,

Menurut Theravada dan mungkin juga Mahayana pada umumnya pasti jawabannya SUDAH. Namun maafkan saya kalau tetap skeptis dan kritis.

Menurut saya pribadi, Buddha memang memiliki Dhamma yang sempurna namun masalahnya ketika Beliau menyampaikannya apakah para pendengar Dharma telah memahaminya dengan sempurna? Ini seperti permainan kalimat berantai.

Bro Indra pasti tahu maksud saya, yang saya selalu ulang-ulang, sampai saya bosan sendiri: KETERBATASAN kata, bahasa, dan kitab dalam rangka membabarkan Dharma.

Bukan berarti Theravada salah 100% atau benar 100%. Juga bukan berarti Mahayana salah 100% atau benar 100%. Zen sebenarnya tidak mempermasalahkan SALAH atau BENAR suatu sutta/sutra karena kalau demikian Zen juga jatuh dalam DUALISME salah-benar yang ujung-ujungnya debat kusir.

Zen hanya berusaha menangkap maksud sebenarnya dari sutta/sutra itu yang ingin disampaikan Buddha kepada kita. Pastilah ada penambahan atau pengurangan yang kadang terpaksa dilakukan penulis sutta/sutra untuk memperjelas maksudnya. Saya tidak mempermasalahkan penambahan atau pengurangan itu, saya hanya ingin menangkap esensi dari rangkaian kata-kata dalam sutta/sutra, dan kemudian esensi itu saya analisis lagi apakah berguna bagi meditasi mindfulness saya. Tujuan mindfulness adalah memusnahkan pikiran buruk/jahat. Jadi dengan kata lain saya melihat esensi dari sebuah sutta/sutra untuk memusnahkan pikiran buruk/jahat saya pribadi. Jadi sutta/sutra itu untuk memperbaiki diri saya sendiri. Bukan orang lain. Itulah Zen. Zen/Mindfulness terutama dan pertama adalah untuk diri sendiri bukan orang lain.

 _/\_


 

8
Kalau saya belajar ZEN dari "Komik" dan kelihatannya dari postingan kamu soal koan-koan, Feeling saya, guru kita itu buku komik-nya...

Note : untuk segar-kan ingatan bro sutarman dan tidak bersombong diri, dulu saya melamar jadi Moderator subforum Zen di Dhammacitta, dan diterima... hahahaha...

Bro Dilbert yang baik,

saya malah awalnya tahu Zen dari meditasi Zen yang diajarkan Guru saya. Selebihnya saya juga baca artikel/ungkapan/kisah Zen. Kalo nggak tahu mengenai suatu hal atau istilah teknis dalam sutta/sutra, baru saya tanya Guru.

Bisa jadi Bro Dilbert lebih banyak tahu tentang Zen daripada saya yang masih rendah ini.

Btw, saya pernah lihat cuplikan komik Zen di forum Buddhist tertentu, makanya saya penasaran cari komik Zen di Gramedia. Tapi kata Gramedia sudah nggak dicetak lagi. Untung tahun ini Gramedia ada program book on demand, jadi saya booking dulu komik Zen itu, walau gak tahu kapan bisa dicetak ulang.

 _/\_




9
[at] bro sutarman...

yang anda baca itu bahwa ZEN itu mengarah langsung ke PIKIRAN, Skeptis terhadap kitab, tidak tergantung kepada kata-kata, tidak tergantung kepada bahasa... BAGAIMANA-pun itu juga adalah kata-kata / bahasa / pendengaran yang kamu baca/lihat/dengar saja...

GET IT ? :)

Bro Dilbert yang baik,

Good point! Anda sudah berpikir secara Zen-nya Zen.

 _/\_

10
Bro Kainyn yang baik,

Memang betul kejujuran pada diri sendiri adalah penting. Tetapi apakah hubungannya dengan penjagaan vinaya? Di sini saya lihat orang jujur bisa menjaga vinaya, bisa juga melanggar. Sebaliknya orang tidak jujur juga bisa menjaga vinaya, bisa juga melanggar.
Saya melihat orang jujur sekaligus menjaga vinaya adalah yang terbaik di antara 4 jenis itu.

Saya memilih yang terakhir itu.

Quote
Perumpamaan yang baik sekali. Saya mau tanya balik.
Seandainya seseorang tinggal dikelilingi rumput yang tinggi dan rimbun, banyak binatang berbahaya tersembunyi di balik rumput tersebut. Sekarang orang tersebut belum mampu mencabut akar, hanya mampu memangkasnya. Tetapi dia berpikir a la Zen bahwa memangkas tidak ada gunanya, lebih baik nanti saja kalau saya mampu mencabut, baru saya cabut sampai ke akarnya.
Sekarang saya mau tanya bro Sutarman, apakah dengan cara demikian, dia bisa melihat bahaya tersembunyi di balik rumput tinggi itu dan menghindarinya sebelum bahaya itu menyerang?

Saya tidak melihat sesuatu yang tersembunyi di balik rumput tinggi karena (maaf bercanda khas Zen) rumput itu sendiri tidak ada.

Quote
Nah, ini menarik sekali. Bro Sutarman punya kesimpulan demikian berdasarkan apa? Pengamatan terhadap pribadi tertentu atau langsung pada ajarannya?

Ajarannya memang skeptis dan kritis dari sono-nya.

Quote
Ini hanyalah propaganda. Dalam semua aliran Buddha-dharma (dan sepertinya hampir semua aliran spiritual lain), yang ditransmisikan memang adalah pikiran. Namun pikiran tidak bisa begitu saja ditransmisikan tanpa media, maka digunakanlah kitab, kata, dan bahasa sebagai media. Menarik sekali sementara di zen ada istilah "jari menunjuk ke bulan" di mana jari adalah media dan bulan adalah kebenaran itu sendiri, sementara anda mengatakan tidak ada jari.

Jarinya ya kata, bahasa, kitab.

Quote
Saya tahu bahwa tujuan dari Zen tetap adalah esensi Buddha-dharma. Saya hanya ingin membahas masalah manfaat dari sila/vinaya.

Saya coba bahas manfaat walau mungkin tak sempurna, yah namanya saja saya masih rendah dalam pencapaian Zen. Sekali lagi, tujuan sila dan vinaya menurut Zen adalah untuk mengendalikan (bahkan kalau bisa menghentikan) tindakan dan ucapan buruk/jahat (alias karma buruk/jahat). Apakah konsep 'manfaat' sila/vinaya yang sangat sederhana dan to the point ini terlalu sulit untuk dimengerti Bro Kainyn?

 _/\_

11
Rekan-rekan sekalian yang baik,

Mengenai Vinaya, Zen memandang Vinaya yang harus dijaga bhiksu Zen berangkat dari Sila yang dijaga umat/praktisi namun dengan pengamalan yang lebih ketat.

Misal

Sila pertama: --  Dalam hal makan -- Praktisi/Umat/Murid vegetarian , Master/Bhiksu/Guru vegan.

Sila kedua: -- Dalam hal harta -- Praktisi boleh simpan uang, Bhiksu tidak boleh simpan uang dalam bentuk apapun dengan catatan Bhiksu/Guru pengelana/pengembara masih boleh simpan uang asal tidak berlebihan (misal setara dengan kebutuhan hidup wajar selama setahun).
Praktisi/Umat/Murid boleh memakai perhiasan emas dan berlian baik di jari (cincin), leher (kalung) tangan/ kaki (gelang) atau di kepala (topi yang mahal/mahkota).
Master/Guru/Bhiksu tidak memakai perhiasan emas atau berlian baik di jari (cincin), leher (kalung) tangan/ kaki (gelang) atau di kepala (topi yang mahal/mahkota).
Bagaimanapun juga kita harus mencegah penampilan berlebihan yang mengundang perampokan, penodongan, pencurian.

Sila ketiga : -- Dalam hal bertutur kata -- Praktisi/Umat/Murid masih boleh berdebat asal tidak menyerang secara personal, Master/Guru/Bhiksu lebih berat lagi: sedikit bicara banyak memberi contoh.

Sila keempat: -- Dalam hal seks -- Praktisi/Umat/Murid boleh asal dengan pasangan alias tidak selingkuh, Master/Bhiksu/Guru sama sekali tidak boleh.

Sila kelima: -- Dalam hal tidak kecanduan / kemelekatan -- Praktisi/Umat/Murid mungkin boleh saja 'kecanduan' rasa enak dalam makan dan minum, Master/Bhiksu/Guru diharapkan makan sealamiah mungkin misalnya buah-buahan dan air minum biasa.
Intinya Master/Bhiksu/Guru Zen harus selibat dan sederhana serta giat/rajin/tekun. Tidur kalau perlu di kasur single yang terbuat dari papan keras atau matras yang sederhana. Tidak tergantung dengan AC. Dan yang paling penting lebih giat/rajin/tekun dalam bermeditasi.
Bagaimana dengan internet? Praktisi seperti saya boleh saja 'melekat' atau 'mencandu' internet asal untuk hal positif. Sedangkan Master/Bhiksu/Guru bisa saja memakai fasilitas modern ini asal semua itu dalam rangka penyebaran Dharma bukan untuk hal lain.

Karena itu Zen kritis terhadap Vinaya ditetapkan sedemikian kakunya seperti Theravada yang tidak boleh menambahkan atau mengurangi. Padahal zaman terus BERUBAH karena manusia juga selalu BERUBAH. Tiada yang kekal, semua selalu berubah. Satu-satunya hal yang tak berubah di dunia ini adalah PERUBAHAN itu sendiri. Ini sesuai dengan ANITYA/ANICCA. Hukum yang berlaku di dunia ini.

Tapi saya akui, dalam Zen sendiri juga ada aliran Zen yang kaku, yang mempertahankan metode pukulan dengan tongkat misalnya, yang menurut saya sama sekali tidak memahami semangat awal lahirnya Chan/Zen itu sendiri.

Dan ada juga Zen yang cukup fleksibel seperti yang dipimpin Master Zen Thich Nhat Hanh yang cukup berkembang di negara-negara Barat.
 
 _/\_








12
[at] bro sutarman, boleh tahu bro belajar ZEN dari siapa (maksudnya guru-nya) ?

Bro Dilbert yang baik,

saya sudah pernah menyampaikan di salah satu postingan bahwa beribu maaf saya tidak bisa mengungkapkannya di sini karena Beliau sendiri enggan disebut Guru apalagi Master. Beliau termasuk Guru Zen yang berkelana/mengembara / 'wandering' dan tersembunyi / 'hidden'.

 _/\_

13
Rekan-rekan sekalian yang baik,

Di dalam tradisi Jepang sejak dulu dibedakan antara ‘istri’ dan ‘simpanan’. Hubungan seksual dengan istri adalah untuk punya keturunan (creation) sedangkan hubungan seksual dengan simpanan adalah untuk kenikmatan/kesenangan (re-creation).

Pernikahan di Jepang seringkali dijodohkan bahkan masih berlangsung hingga sekarang. Jadi pernikahan di Jepang seringkali tidak melibatkan ‘cinta’ di dalamnya, tujuannya hanya untuk memperoleh keturunan. Believe it or not, angka perceraian di Jepang adalah yang paling rendah di dunia (hanya 1%).  Perceraian adalah aib besar bagi masyarakat Jepang.

Dalam kasus ini, ada semacam trend tradisi yang diikuti mayoritas pria Jepang masa kini bahwa setelah istri melahirkan seorang anak maka istri itu tidak boleh lagi digauli. Istri itu sudah jadi ‘ibu’, yang dalam tradisi Jepang adalah ‘suci’. Karena itu tak aneh trend anak tunggal semakin marak di Jepang.

Lalu bagaimana para suami Jepang memenuhi kebutuhan seksualnya? Ya dengan ‘simpanan’ atau pelacur atau wanita siapa saja. Ini bisa menjelaskan mengapa pelecehan seksual di transportasi massal di Jepang sering terjadi sampai-sampai ada gerbong khusus wanita dalam kereta api Jepang dan polisi khusus dalam angkutan umum.

Ini juga bisa menjelaskan mengapa kasus pelacuran gadis di bawah umur marak terjadi di Jepang, selain industri pornografi yang juga marak di Jepang. 

Pemerintah Jepang gencar memerangi pelacuran di bawah umur namun seperti sama sekali tak berdaya menghadapi industri pornografi yang mulai mucul pada dasawarsa 1980-an.

Mengapa? Karena industri pornografi di Jepang konon adalah yang terbesar di dunia dalam hal perputaran uang maupun kuantitas produksinya.

Bahkan pornografi di Jepang memiliki keunikan tersendiri yaitu adanya genre ‘siswi sekolah/schoolgirl’ atau ‘perawat/nurse’. Ini semua adalah fantasi seksual mayoritas pria Jepang yang merupakan ‘desperado’ dalam hubungan seksual.

Mayoritas pria Jepang memang menyedihkan (desperate) kalau tidak mau dikatakan putus asa (despair), atau lebih tepatnya sengsara-frustrasi-bengal-nekat (desperado) dalam kehidupan seksualnya.

Ini berbanding terbalik dengan suasana kehidupan seksual yang begitu bebas dan permisif di Jepang yang ditandai dengan maraknya pornografi sehingga anak umur 6 tahun pun sudah tahu mengenai hubungan seksual karena seringkali para ayah di kota-kota besar di Jepang memutar film porno di depan anak mereka tanpa malu-malu lagi.

Aneh tapi nyata, semakin tenggelam dalam mengkonsumsi pornografi maupun meniduri pelacur bukannya makin membahagiakan malah makin menyengsarakan.

Saya harap kita semua bisa mengambil pelajaran yang positif dari tradisi Jepang kontemporer ini bahwa segala seuatu yang BERLEBIHAN/EKSTREM, dalam kasus ini adalah pemanjaan indra melalui hubungan seksual yang belebihan, tidak akan memberikan kebahagiaan.

Saya tahu semua hal ini karena saya pernah studi mengenai tradisi Jepang. Mengapa? Karena ketika saya belajar Chan/Zen, mau tak mau saya juga sedikit banyak belajar mengenai tradisi Chinese dan tradisi Jepang, baik yang dulu maupun sekarang.

Zen di Jepang sedang mengalami KEHANCURAN. Itulah fakta yang menyedihkan ketika mayoritas orang Jepang mulai meninggalkan budaya Zen (yang langsung tak langsung membuat mereka inovatif-kreatif dan suka bekerja keras/workaholic) dan merangkul budaya Barat (yang sangat bebas dalam kehidupan seksualnya).

Ini makin membuat saya yakin dengan keampuhan Pancasila Buddhist bahwa untuk menjadi manusia yang modern dan beradab ada lima syarat (dalam kalimat positif dan kalimat negatif):
1)   Penuh welas asih atau tidak berbuat kekerasan terhadap sesama MANUSIA dan hewan termasuk tidak membunuh atau mengkonsumsi HEWAN - dan penuh welas asih terhadap alam/TUMBUHAN atau tidak menggunduli hutan dan tindak kekerasan lain terhadap alam.
2)   TRANSPARAN/TERBUKA dalam hal keuangan atau tidak korupsi - dan membatasi keinginan agar dapat puas dalam kehidupan yang hemat dan sederhana atau tidak terjerumus dalam pola hidup konsumtif dan materialistis (yang dapat mendorong tindak perampokan dan pencurian oleh mereka yang terpinggirkan).
3)   Bertutur kata yang LEMBUT dan SOPAN  atau tidak berkata-kata kasar yang menyakiti hati orang lain - dan JUJUR mengakui kesalahan dan bukan mencari kambing hitam atas kesalahan sendiri yang mengakibatkan fitnah, kebohongan, dll
4)   SETIA kepada pasangan atau tidak terjerumus dalam seks bebas, pelacuran ataupun pornografi (yang semuanya itu hanya membawa kesenangan sesaat dan penderitaan abadi).
5)   Selalu menjaga agar PIKIRAN dapat SELALU fokus, jernih dan tenang agar tindakan dan ucapan kita selalu membawa kebaikan bagi diri sendiri maupun orang lain atau menghindari segala sesuatu yang dapat MENGACAUKAN pikiran seperti mabuk dan madat serta kecanduan lainnya (mulai dari rokok, ganja sampai ekstasi, shabu, morfin).

Ini adalah salah satu contoh fleksibilitas Zen yang dapat saya berikan (walau tidak sempurna dan tidak terlalu detail) dalam menafsirkan Pancasila Buddhist agar sesuai dengan kemajuan/perkembangan zaman. Kata-katanya berbeda namun esensinya tetap terjaga.

_/\_

14
Bro Kainyn yang baik,

Dalam meditasi Zen/Mindfulness diperlukan kejujuran hati (terkait dengan sila tidak berbohong). Korupsi secara langsung menghantam nilai KEJUJURAN ini.

Kita bisa saja membohongi semua orang mengenai kemajuan meditasi kita tapi kita tak bisa membohongi diri kita sendiri.

Contoh yang ekstrem diberikan oleh Johan3000 mengenai ‘Master’ Zen Hakuyu Taizan Maezumi yang ternyata suka berhubungan seks dan alkoholik. Maezumi lalu secara JUJUR mengakuinya walau berhadapan dengan resiko ditinggalkan sebagian besar muridnya.

(Arak/sake dan tradisi khas Jepang mengenai hubungan seks dalam kasus Hakuyu Taizan Maezumi ini menunjukkan bahwa dua tradisi lokal Jepang ini menjadi semacam batu sandungan dalam meditasi Zen/Mindfulness)

Karena tanpa kejujuran hati tak akan ada kemajuan dalam meditasi kita. Setidaknya Hakuyu Taizan Maezumi masih gentleman karena JUJUR mengakui tindakan bejatnya.

Sebenarnya semua sila saling kait mengkait. Misalnya, seperti yang saya jelaskan di sini, sila tidak mencuri - dalam hal kemajuan meditasi - terkait dengan sila tidak berbohong. Begitulah cara Zen memandang hubungan antar sila dalam Pancasila Buddhist.

Sekali lagi, semua sila itu untuk memperkuat Zen/ Meditasi Mindfulness.

Sila yang dilakukan dengan baik adalah semacam pondasi bagi kemajuan meditasi. Sila terkait dengan tindakan dan ucapan sedangkan meditasi Zen / Mindfulness terkait dengan pikiran sumber segala ucapan dan tindakan.

Sila ibarat memangkas rumput (tindakan dan ucapan yang buruk/jahat) agar tidak tumbuh tinggi, sedangkan meditasi Mindfulness/Zen ibarat mencabut rumput itu hingga ke akar (pikiran buruk/jahat).

Sekali lagi, Zen menunjuk langsung ke PIKIRAN. Sangat sederhana dan fleksibel (selentur/sefleksibel PIKIRAN manusia itu sendiri yang selalu BERUBAH dan berkembang mengikuti zaman).

Sederhana dan fleksibel, dua tradisi inilah yang membuat Zen berbeda dengan Theravada yang TERKESAN rumit/njelimet (contoh: Abhidhamma) dan kaku/ tak boleh berubah (contoh: 227 Vinaya).

Selain perbedaan di Abhidhamma dan Vinaya dengan Theravada tersebut, Zen tetap memelihara sikap KRITIS dan SKEPTIS terhadap segala macam kitab suci termasuk Sutta/Sutra (seperti yang disarankan Buddha sendiri) dan di sisi lain Theravada skeptis dan kritis terhadap semua kitab suci agama/aliran lain KECUALI Sutta/Tipitaka itu sendiri.

Zen adalah Buddha Dharma di luar kitab, kata, dan bahasa, yang ditransmisikan/  diturunkan dari PIKIRAN Buddha itu sendiri.

Zen berusaha membaui keharuman bunga PIKIRAN Buddha itu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata itu namun dapat dialami secara langsung dalam MEDITASI dan HIDUP itu sendiri.
 
Zen/Chan walau sederhana dan fleksibel namun sesungguhnya berusaha menjaga spirit/semangat dan ESENSI Buddha Dharma mengenai Sila (tindakan & ucapan), Samadhi (pikiran) dan Prajna (keterbebasan/ketidakmelekatan/non dualisme/jalan tengah).

Semoga penjelasan saya yang masih rendah dalam pencapaian meditasi ini dapat membantu pemahamam Bro Kainyn mengenai prinsip dasar Zen/Chan yang seutuhnya dan sebenarnya.

 _/\_


15
Baiklah, kalau begitu dari berhubungan seksual, saya ganti jadi mencuri dan background-nya di masyarakat Gypsy yang telah membudaya untuk curi-mencuri. Bagaimana tanggapan anda?

Bro Kainyn yang baik,

Mungkin yang perlu dipikirkan adalah mengapa tidak mencuri termasuk sila? Menurut saya pribadi, karena ada rasa bersalah yang bisa mengganggu konsentrasi pikiran dalam meditasi. Celakanya ya kalau curi mencuri itu sudah jadi budaya suatu masyarakat sehingga rasa bersalah itu sudah hilang.

Sama seperti di Indonesia dimana korupsi (termasuk dalam mencuri) sudah menjadi budaya.

Jawaban saya mungkin terdengar sederhana, Zen sulit berkembang di dalam masyarakat seperti itu, karena masyarakat semacam itu MIND-nya secara mayoritas sudah ancur-ancuran. Perlu upaya ekstra keras mengubah MIND-SET masyarakat itu. Atau menunggu timimg yang tepat.

Saya tidak yakin, misalnya, masyarakat Indonesia terus korup. Saya yakin, suatu saat pasti tercipta masyarakat Indonesia yang relatif bersih dari korupsi. Perlu upaya perlu waktu.
 _/\_

Pages: [1] 2 3 4 5
anything