//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - Gwi Cool

Pages: [1] 2
1
"DHAMMACITTA (dhammacitta.org/forum/index.php): ISINYA CUMAN NGEJEK & NGEJEK"

sumber: https://www.kaskus.co.id/thread/5166564b8127cf7929000005/manakah-forum-yg-paling-sampah/

Saya merasa kalau di sini saya cuman dianggap sebagai aib, hanya karena alasannya saya dari Theravada.

Pertanyaan: "Apakah benar forum ini untuk menjatuhkan kelompok Theravada atau kelompok lainnya?"

Yang bohong, jadi candala di kehidupan mendatang
Yang bohong, jadi jelek di kehidupan mendatang

Yang jujur, jadi orang kaya di kehidupan mendatang
Yang jujur, jadi rupawan di kehidupan mendatang

2
Pengalaman Pribadi / Rengekan Gwi Cool
« on: 29 November 2017, 04:36:11 PM »
Diam-diam Moderatornya merusak image orang ya di sini, kurangi reputasi seenaknya, coba kalu saya bisa kurangi reputasi kalian yang lima orang itu (saya gak tahu siapa), saya kurangi ampe nol. Haha :))

Di sini moderatornya pada ganas, yang lain bisa diajak diskusi, lainnya salah sikit uda dihajar, bukannya diperbaiki.
Mungkin ada yang bisa bantu cara lakukan judulnya y? atau kurangi reputasi orang lain

Rata-rata orangnya gak ada foto profil gt.

3
Theravada / "Kelebihan" Theravada
« on: 29 November 2017, 10:46:35 AM »
Jika seseorang makan kebanyakan, perutnya bisa sakit, itu namanya "Kelebihan" atau berlebihan.

Saya sungguh tertarik dengan kata "Theravada", indah katanya, kalau orang bule mungkin bacanya: "Thera-weda", kata "a" kan bacanya jadi "e", dalam bahasa Inggris. ("e, bi, si, di, i, ef, ji".)
 
Sebelumnya mungkin dihitung mundur sudah 2 tahun didoktrin karena kitab suci di sini yang lengkap, otomatis logika menyebrang ke sini, kayak sapi-sapi diseberangkan oleh penggembala sapi. Namun, setelah diskusi kemarin (di sini) kemudian saya, malam harinya mengunjungi website: Buddhayana Indonesia, saya membaca:
"Logika tersendiri belum cukup akurat," itu intinya, seperti halnya seseorang memberikan sepotong daging kepada lelaki miskin kemudian memintanya untuk membayar daging itu tanpa persetujuan lelaki miskin itu, yang mungkin tidak memiliki uang untuk membelinya, demikianlah logika tersendiri, hanya diterima ia sendiri atau kelompoknya, tidak sesuai apa adanya, "berlebihan", terlalu dipaksakan.

Vicikicca sama Theravada (english [read]: Thera-weda)

1. Setelah saya baca di forum ini, ternyata Sang Buddha pilih kasih, ajarin abhidhamma ke surga Tavatimsa, trus gak diajarkan menyeluruh ke semua bhikkhu, di kisah komentar Dhammapada. Dikatakan Beliau ke surga Tavatimsa, ibu Beliau dari surga Tusita datang ke Tavatimsa (cuman satu makhluk dari Tusita, mungkin surga Tusita belum banyak pengunjung kali ya.) kemudian Yang Mulia Sariputta ke surga Tusita, saat hampir 3 bulan khotbah, menjemput Sang Buddha. Sebenarnya Sang Buddha di mana sih,  Tavatimsa atau Tusita, trus Panglima Dhamma ketemu Buddha apa di Tusita?
Kemudian sebelumnya Sang Buddha sebelum naik ke tavatimsa, ketika melangkahkan satu kaki, gunung merapat, kaki ke dua, gunung ke dua merapat ke kaki Beliau? Apa gak hancur kota atau desa di sana? Gunungnya bergeser atau setidaknya makhluk lain jadi terganggu?
Trus setelah turun, tiba-tiba Suyama (Deva Yama) turun bersama mengipasi Beliau dengan kipas ekor sapi? Lah, kog ada deva Yama, pas khotbah kog gak datang? Trus Ratu Maya dari Tusita kan hadir, Raja Santusita (raja surga Tusita) kog gak hadir? Belum ada yang jadi raja kali ya saat itu.

2. Kitab Buddhavamsa
Jujur saja, dari awal hingga sekarang, saya ragu 20 lebih Buddha muncul di kitab Buddhavamsa. Sementara di Sutta, hanya (kalau gak salah) ada 6 atau 7 Buddha yang dijelaskan Sang Buddha. Mengapa Sang Buddha tidak menjelaskan atau sekadar menyinggung Buddha lainnya lagi? Sepuluh atau sebelas gitu.

3. Komentar Jataka
Di Sutta, khotbah-khotbah, Sang Buddha begitu piawai, kata-kata-Nya begitu indah, tetapi di jataka, Sang Buddha terlihat kayak orang biasa, dari kata-kata. Misalnya ada Sang Buddha kecewa, cara berbicara begitu biasa, tidak istimewa. Beberapa kisah juga meragukan.

4. Kitab Abhidhamma, saya gak bisa komentar lebih karena belum pernah baca, paling sekilas saja namun di sini judulnya vicikiccha, mungkin sudah dapat dipahami.

5. Kisah Sang Buddha dimulai dari lahir hingga Parinibbana. Dikatakan Raja Suddhodana menjadi Arahat namun di sutta, tidak pernah ada kisah raja Suddhodana, anggap saja benar. Trus, setelah mencapai Pencerahan Sempurna setelah memutar roda Dhamma, Beliau mengokohkan bhikkhu Yasa, tidak ada kisah bhikkhu Yasa di Sutta, trus kepada 3 Kassapa, Uruvelakassapa tidak mau Sang Buddha hadir dalam suatu acara kemudian dikatakan Sang Buddha ke Kuru (mungkin barat India, katakan saja kiri) untuk pindapatta, padahal Uruvelakassapa berada di Uruvela atau Neranjara atau dimana ra, yang jelas jaraknya dengan negri Kuru, cukup jauh, mungkin Medan ke Binjai, atau Jakarta ke Surabaya. Yang anehnya lagi, dikatakan Sang Buddha ke Sri Lanka. Sri Lanka kan di bagian bawah (utara atau tenggara), dikatakan Sang Buddha menaklukkan (mengalihyakinkan) sesosok yakkha di Sri Lanka.
Kemudian Yang Mulia Sariputta thera hanya mendengar syair dari Yang Mulia Assaji, yang isinya beberapa patah kata biasa, eng ing eng, jadi pemasuk-arus? Mungkin Yang Mulia Sariputta memang hebat karena Siswa Utama. Biasanya doktrin Theravada kayak gini, langsung memasuki-arus. Dst.

6. Mungkin ada banyak lagi yang bisa saya katakan, tetapi mungkin sudah cukuplah mendapat gambarannya, minimal sedikit, kalau masih cinta sama Thera-veda.



Dari hsil doktrin Theravada, memang tidak diajarkan, tidak dikatakan, tetapi hasilnya yang saya dapat seperti ini (kesimpulan dari hasil pelajaran):
1. Yang paling benar karna kitabnya lengkap,
2. Promosi Arahat karena Arahat tidak mungkin bohong,
3. Meraih tingkat kesucian
4. Magic magic dari para Arahat,
5. Menjauhi debat, mendekati diskusi (saya pikir ini nilai plus, itu pun tergantung orangnya yang mungkin akan segera move)

6. Kelompok "Buddhayana" (maaf, kesimpulan pribadi) acuh tak acuh, karna gak peduli aliran; mereka kosong karena tidak tahu tingkat kesucian; mereka tidak tahu apa-apa. (Saya tidak bermaksud menghina siapa pun, inilah hasil doktrin yang saya dapat.)
Maaf yang nomor enam, saat ini justru saya ingin mempelajari yang nomor ini melalui pertanyaan di bawah. ^:)^ ^:)^

Klo kelompok Maitreya saya masih kurang tahu. Saya hanya pernah menginjakkan kaki di Vihara Mahayana, saat nenek saya KO, itupun hanya berlalu lalang, saat itu, mungkin 16 tahunan (SMA). Saya belum pernah ke Vihara Theravada atau Buddhayana atau yang manapun. Saya mempelajari Ajaran Buddha hanya dari web dan intinya yang lebih terpercaya dari karya Dhammacitta (5 Nikaya) namun doktrin Theravada cukup sata kejar, sebelumnya.


Pertanyaan, baik sekali jika ada yang ingin menjawab:
1. Apa yang disembah di Buddhayana? Saya menolak menyembah deva, jika orang lain mau, silakan, saya hanya mau menyembah Sang Buddha (belum pernah sebenarnya) karena di Theravada hanya Sang Buddha yang disembah, apa tanggapannya? (Mohon untuk tidak dinilai negatif)
2. Dikatakan Buddhayana campuran Konghucu, menyembah deva (agama) Konghucu, fitnah atau kekeliruan? Apa tanggapannya?
3. Apakah Buddhayana dan Vihara Triratna sama atau berbeda?
4. Apakah hanya lebih khusus kelompok Cina? Karena kebanyakan budaya etnis China yang terlihat, Apa tanggapannya?
5. Ada juga patung deva yang berwarna merah dengan janggut panjang, apakah itu ada di Buddhaya, apa tanggapannya?
6. Apakah acuan Ajaran Buddha di Buddhayana, juga berdasarkan Kanon Pali? Dhamma dan Vinaya? Atau ada yang khusus atau berbeda, kayak Sutta Theravada dan Sutra Mahayana kan ada yang beda, ada yang sama?
7. Di Buddhayana biasanya memakai kata Dhamma atau Dharma, Nibbana atau Nirvana? (Sanskrit atau Pali)
8. Bagaimana cara menanggapi, jika seseorang mengaku dari Buddhayana, tetapi menipu?
9. Apakah acuannya ke bahasa Mandarin? Kitabnya lebih mengacu ke yang terjemahan mandarin?
10. Apakah boleh menyembah keluarga yang telah meninggal dengan sembahyang, di Theravada, orang mati ya sudah, dikenang jasanya karena anicca
11. Kebanyakan mengatakan di Buddhayana, banyak habisin uang, meminta umatnya menyumbang banyak-banyak, karena kelompok Chinese katanya banyak hamburin uang, mahal-mahal, apakah fitnah atau kekliruan, apa tanggapannya? (Saya bertanya dari sudut pandang Buddhayana, bukan pribadi dari karakter orang tertentu)
12. Mungkin ada saran.

Terimakasih. _/\_

4
Theravada / Raja Asoka dan "Pali"?
« on: 28 November 2017, 11:47:25 AM »
Mau nanya neh, sama kelompok Theravada atau siapa pun, benar gak ya, Raja Asoka yang memperkenalkan tulisan Pali? Kan tulisan-Pali hanya lisan saja (di zaman Sang Buddha), Sang Buddha biasanya mengajar kadang menggunakan bahasa Pali, kadang bahasa lainnya di India, mungkin Sanksrit atau sejenisnya karena gak semua wilayah menggunakan atau tahu bahasa Pali. Kayak bahasa hokkian yang cuman lisan saja.

Apa benar Raja Asoka yang memperkenalkan tulisan Pali (bukan bahasa, tetapi tulisan [aksara])?

5
Theravada / Perumpamaan anak kuda liar
« on: 22 November 2017, 06:54:49 PM »
Ini kisah yang menarik (yang ada) di sutta, mengenai Anak Kuda Liar. Perumpamaan ini Sang Buddha berikan kepada (mengenai) bhikkhu dan guru dari seorang bhikkhu. Di sini sama intinya namun antara orangtua/guru dan anak/murid.

Delapan jenis anak/murid yang serupa dengan anak kuda liar dan delapan cacat (kekurangan/kelemahan) padanya:

1. (a) Ketika orangtua/guru memarahi anak/muridnya atas suatu kesalahan, ia berdalih dengan alasan tidak ingat, dengan mengatakan: “Aku tidak ingat (telah melakukan kesalahan demikian).” (b) Ini serupa dengan anak kuda liar ketika disuruh “Maju!” dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia mundur dan memutar kereta ke sekeliling di belakangnya, yaitu mendorong kuk ke atas dengan bahunya, ia mundur, memutar kereta ke sekeliling dengan sisi belakangnya. (Saya mungkin pernah, kayaknya tidak deh.)

2. (a) Ketika orangtua/guru memarahi anak/muridnya atas suatu kesalahan, ia balik memarahi si pengecam: “Hak apa yang engkau, orang bego (dungu) yang tidak kompeten, miliki untuk berbicara? Apakah engkau benar-benar berpikir bahwa engkau boleh mengatakan sesuatu?” (b) Ini serupa dengan anak kuda liar ketika disuruh: “Maju!” dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melompat mundur karenanya merusak palang dan mematahkan tongkat tiga, yaitu menendang dengan kedua kaki belakangnya, menghantam palang kereta, dan merusak palang. Ia mematahkan tongkat tiga, ketiga tongkat di depan kereta. (Ini anak durhaka, saya tidak pernah, ini keterlaluan bangetz.)

3. (a) Ketika orangtua/guru memarahi anak/muridnya atas suatu kesalahan, ia membalikkan kesalahan itu pada orangtua/guru, dengan mengatakan: “Engkau telah melakukan kesalahan itu. Perbaikilah itu terlebih dulu.” (b) Ini serupa dengan anak kuda liar ketika disuruh: “Maju!” dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melonggarkan pahanya dari tiang kereta dan menabrak tiang kereta, yaitu setelah menurunkan kepalanya, ia menjatuhkan kuk ke tanah dan memukul tiang kereta dengan pahanya dan mematahkan tiang kereta dengan kedua kaki depannya. (Saya pernah, sekali saja, sekali-kali.)

4. (a) Ketika orangtua/guru memarahi anak/muridnya atas suatu kesalahan, ia menjawab dengan cara mengelak, mengalihkan pembicaraan pada topik yang tidak berhubungan, dan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. (b) Ini serupa dengan anak kuda liar ketika seekor anak kuda liar disuruh: “Maju!” dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia mengambil jalan yang salah dan menarik kereta itu keluar dari jalurnya. (Saya mungkin pernah, tetapi tidak sampai berlebihan.)

5. (a) Ketika orangtua/guru memarahi anak/muridnya atas suatu kesalahan, ia berbicara sambil melambai-lambaikan tangannya (ia tidak menghargai si pembicara, dengan tangan bergerak sana sini) di tengah-tengah keluarga/guru/yang lainnya. (b) Ini serupa dengan anak kuda liar ketika seekor anak kuda liar disuruh: “Maju!” dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melompat dengan bagian depan tubuhnya dan mengais udara dengan kaki-kaki (kuda hanya memiliki kaki/4 kaki) depannya. (Tidak pernah.)

6. (a) Ketika orangtua/guru memarahi anak/muridnya atas suatu kesalahan, ia tidak mematuhi disiplin/peraturan yang ada atau pengecamnya, melainkan pergi ke manapun yang ia suka sambil masih membawa pelanggarannya. (b) Ini serupa dengan anak kuda liar ketika seekor anak kuda liar disuruh: “Maju!” dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia tidak mematuhi pelatihnya atau tongkat kendali (cambuk), melainkan menghancurkan kekang mulutnya dengan giginya dan pergi ke manapun yang ia suka. (Tidak pernah.)

7. (a) Ketika orangtua/guru memarahi anak/muridnya atas suatu kesalahan, ia tidak mengatakan, “Aku melakukan kesalahan,” ia juga tidak mengatakan, “Aku tidak melakukan kesalahan,” melainkan ia menjengkelkan keluarga/guru/yang lainnya dengan berdiam diri. (b) Ini serupa dengan anak kuda liar ketika seekor anak kuda liar disuruh: “Maju!” dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia tidak berjalan maju atau berbalik, melainkan berdiri diam bagaikan sebuah tiang. (Pernah, takut dimarahi, so pura-pura bego.)

8. Ketika orangtua/guru mengecam anak/muridnya atas suatu kesalahan, ia mengatakan: “Mengapa engkau begitu cerewet tentang aku? Sekarang aku akan menolak disiplin/peraturan yang ada atau minggat/berhenti sekolah.” Kemudian ia menolak disiplin/peraturan yang ada, atau minggat/berhenti sekolah, dan mengatakan: “Sekarang kalian boleh puas!” (a) Ini serupa dengan anak kuda liar ketika seekor anak kuda liar disuruh: “Maju!” dan dengan dipacu dan didorong oleh pelatihnya, ia melipat kaki depan dan kaki belakangnya, dan duduk di sana di atas keempat kakinya. (Tidak pernah.)

Anak yang berbakti kepada orangtua, jumlahnya (biasanya) sedikit. Guru-sekolah (Kimia) saya (penulis) pernah mengatakan: “Murid yang tidak punya sedikit pun rasa hormat kepada gurunya, pasti tidak punya rasa hormat kepada orangtua sendiri.” Apa yang dikatakan guru saya itu benar adanya, anak yang bandal dan tidak punya sopan santun, pastinya di rumah juga demikian. Anak yang kurang ajar kepada guru, pastinya di rumah juga kurang ajar kepada orangtua sendiri.

“Yang kepadanya anak berbakti,
Kepada orangtua dan guru atau wali,
Jumlahnya adalah sedikit sekali,
Dibandingkan mereka yang tidak menghormati,
Bagaikan membandingkan satu bumi,
Dengan sedikit tanah yang diambil dari 2 kuku jari,
Seperti itu jugalah (jumlah) yang menuju alam surgawi,
Banyaknya jatuh ke sana sini.

“Seseorang harusnya dengan rendah hati,
Menghormati yang seharusnya dan tidaknya diketahui,
Bahwa orangtua layak dan adalah lahan jasa sendiri,
Begitu juga dengan para guru biasa dan yang ahli (guru agama),
Kepada mereka, harus dihormati tinggi-tinggi,
Dimana imbalannya adalah cahaya-jasmani.”

Tambahan
Baik sekali anak itu kalau sudah dewasa, harus mengingat jasa orangtuanya, puncaknya berkat orangtualah Anda bisa hidup sekarang ini, dan dapat melakukan kebajikan atau bertemu orang yang dicintai. Apa pun yang pernah terjadi, biarlah orangtua itu dimaafkan (jika Anda pernah tersakiti). Orangtua mungkin lalai atau mungkin karena pekerjaan atau hal lainnya, mereka jadi kesal terhadap Anda, taklah pantas orangtua dijadikan objek dendam karena Sang Buddha mengatakan bahwa: kedua orangtua adalah lahan jasa masing-masing setelah Sangha, lahan jasa yang paling subur. (Mustahil anak yang tidak berbakti kepada orangtua/durhaka dapat terlahir di alam yang baik atau bahkan alam Surga, sebaliknya adalah mungkin, anak yang berbakti kepada orangtua, dapat terlahir di alam yang baik bahkan di alam Surga.)

Dahulu, ada seorang anak (sudah dewasa pastinya), ia merawat ibunya yang tua renta, ia tidak memikirkan keluarganya (tidak menikah) kemudian ibunya mencari pendampingnya dan karena ia menghormati ibunya, ia pun menikahi perempuan itu secara sah agar ibunya gembira. Perempuan itu pun ingin mengusir ibu mertuanya. Ia berkata kepada suaminya: “Siapa yang dapat mengurus ibumu itu?” Namun, anak yang berbakti itu (sang suami), tetap menghormati ibunya, ia berkata: “Ibuku sudah tua, siapa lagi yang dapat merawatnya, selain saya, kamu (istrinya) masih muda, kamu masih bisa merawat diri sendiri.”–Singkatnya, istrinya jadi istri yang patuh seumur hidup. Suaminya tidak mengusir ibunya. (Kisahnya ada di Jataka.)

Demikian pula, beberapa istri mungkin ingin mengusir mertuanya, tetapi seorang anak yang dilahirkan dari darah daging ibunya sendiri, seharusnya tetap berbakti kepada ibunya (orangtuanya) sendiri, tidak durhaka, dalam berbagai cara apa pun, bahkan dibandingkan istri tercinta. Ia harus tetap menghormati orangtuanya sendiri disamping ia mencintai istrinya. (Beberapa suami yang bego mungkin terjebak dengan kecantikan istrinya lalu menelantarkan orangtuanya.) Seorang istri harusnya menghormati suaminya dan mertua adalah yang paling tinggi karena yang melahirkan sang suami. Seorang suami pun seharusnya menghormati (menghargai) istrinya dan orangtua dari istrinya karena menghormati orang yang lebih tua adalah berkah panjang umur, dll.

“Istri yang baik menghormati suaminya,
Dan menghargai kepemimpinan sang kepala keluarga,
Juga, istri yang baik akan menjaga wibawa,
Dirinya sendiri dan sang suami tercinta,
Karena suami itu bagaikan raja (yang dipertuan),
Begitu pula dengan perlakuan kepada mertua,
Karena sang suami hadir dari (dua) orangtua.
Yang derajatnya bagaikan dewa (para dewa akan marah jika orangtua tidak dihormati).”

6
Buddhisme untuk Pemula / Ajaran Buddha dan agama Buddha
« on: 21 November 2017, 08:56:40 AM »
"Agama" berasal dari bahasa Sanskrit, sedangkan "Ajaran" berasal dari bahasa Indonesia (bukan serapan), yang sama-sama berarti "kepercayaan/keyakinan".
Oleh karena itu, tidak ada bedanya dikatakan Agama Buddha atau Ajaran Buddha.

Ajaran Buddha tidak memiliki budaya! Ini harusnya digarisbawahi.
Namun, perlu dicatat! Bahwa tidak berbudaya, artinya adalah "ajaran itulah budayanya", misalnya Ajaran Buddha, budayanya adalah "Patimokkha (disiplin dalam Sangha)" atau yang biasa dikenal sebagai Vinaya. Berlaku juga untuk "vinaya" umat awamnya, yaitu 5 sila dan puasa (uposatha).

Yang lainnya adalah tata krama, misalnya cara penghormatan, dll. (tata krama disesuaikan berdasarkan wilayah/negara). Misalnya orang Indonesia, umatnya pasti memakai budaya Indonesia, salah satunya dengan merangkapkan tangan atau salaman (tata krama), atau dengan berbudaya batik, dll. Sementara di Jepang misalnya, mereka memakai yukata (kimono biasanya buat pernikahan), dengan tata krama, biasanya suka tunduk-tunduk (membungkukan badan) daripada salaman, dll. Demikian juga dengan wilayah/negara lainnya.

Jika kelompok manapun (budaya manapun) ingin memasuki Ajaran Buddha maka ia tidak dapat memasukkan budayanya di dalam "ajaran". Ia meneruskan budayanya tanpa mencampurkan ke dalam ajaran.

Tidak ada peraturan dalam Ajaran Buddha, Sang Buddha tidak pernah melarang apa pun karena manusia menyukai kebebasan dan Sang Bhagava "mendisiplinkan" pengikutnya bukan melalui peraturan karena apa? Karena, seseorang yang disiplin "pasti taat peraturan", sementara orang yang taat peraturan "belum tentu disiplin". Sang Buddha tidak melarang apa pun, bukan berarti Beliau menyetujui perbuatan jahat. Beliau mengungkapkan bahwa perbuatan buruk akan berakibat buruk; perbuatan baik akan berakibat baik. Oleh karena itu, hindari perbuatan jahat, yang tidak bermanfaat. Perbanyak perbuatan baik, yang bermanfaat. Ini adalah demi kesejahteraan masing-masing. Demikianlah Sang Buddha mendisiplinkan pengikut-Nya.

Ajaran Buddha tiada "budaya", dalam arti bahwa budaya dari manapun (seseorang) bisa berkeyakinan pada Sang Buddha Gotama, dan tentunya meneruskan budaya mereka secara turun-temurun "tanpa" mencampuradukkan ke dalam Ajaran Buddha. Seperti halnya urusan keluarga, tidak dibeberkan di luar namun menyimpannya dalam keluarga. Apakah keluarga itu munafik? Ini cukup kasar dan salah karena urusan keluarga adalah urusan pribadi. Demikian pula, budaya tidak dimasukkan ke dalam Ajaran Buddha karena orang-orang akan berpikir bahwa: "Ajaran Buddha hanya untuk suku tertentu, atau untuk budaya tertentu, kita harus memasuki budaya lain dan meninggalkan budaya kita." Oleh karena itu, budaya adalah budaya masing-masing, Ajaran Buddha adalah khsusus Ajaran Buddha, dengan begitu, tidak ada celah dan kritikan dengan mengatakan Ajaran Buddha khusus budaya tertentu namun kenyataannya siapa pun dapat berkeyakinan pada Buddha, disamping meneruskan budaya masing-masing. Bahkan dapat meningkatkan martabat budaya mereka, dengan Ajaran Buddha sebagai pegangan.

Misalnya ada orang chinese yang tujuh turunan memakai budaya chinese maka ia tetap dapat meneruskan budayanya disamping berkeyakinan dalam Ajaran Buddha.

Atau misalnya seorang nasrani (kayak novelis Dee Lestari), katakanlah  7 turunan telah mewarisi tradisi natal maka ketika memasuki Ajaran Buddha, ia seharusnya tidak meninggalkan tradisi tersebut, sebagai umat awam karena itu budaya yang baik, tidak ada pelanggaran HAM atau hal buruk.

Budaya yang baik adalah pantas dilestarikan dan dihormati.

Tambahan:
Bahkan jika sebelumnya ia non-buddhis dan sekarang menjadi Buddhisme, jika ia menginginkan untuk membaca kitab suci lamanya atau ke tempat ibadah lamanya atau ke temapt suci lama, jika menginginkan, boleh-boleh saja melakukannya. Yang terpenting adalah, seorang Buddhisme menyatakan 3 perlindungan, kepada (1) Buddha Gotama, (2) Dhamma, dan (3) Sangha. Setelahnya mengambil lima sila, yaitu menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perbuatan asusila yang salah, menghindari berbohong, menghindari zat yang memabokkan atau yang melengahkan kesadaran. Maka ia telah disebut umat awam Buddhis (laki-laki = upasaka; perempuan = upasika).

Bagaimana? Harmoniskan, Ajaran Buddha?

Sekian dan terimakasih.

7
Humor / Sadhu, sadhu, sadhu = kesendat
« on: 19 November 2017, 09:49:08 AM »
 :))

Judulnya mungkin lucu, tetapi si tukang marah/tukang debat, pasti jengkel. Ayo ngaku, kalau ....

Seperti halnya ketika seseorang yang bersemadi dengan nafas masuk dan nafas keluar sebagai objek, jika ia menahan nafasnya maka ia akan seperti tersendat, harusnya mengikuti nafas. Demikianlah jika "sadhu" diucapkan tiga kali = seperti kesendat. Seperti halnya kue (makanan) tersendat di tenggorokan, seperti itulah jika "sadhu" diucapkan tiga kali.

Sadhu, sadhu, sadhu, tersendatlah ia.
Tidak ada "kata" yang diulang tiga kali walaupun terpisah. Karena, itu dinilai cukup berlebihan.

kupu-kupu; tidak ada kupu-kupu-kupu. Karena, berlebihan jika 3 kali apalagi lebih.
Lari-lari; tidak ada lari-lari-lari.
Makan, makan; tidak ada makan, makan, makan.
Minum, minum; tidak ada minum, minum, minum.

Demikian pula, kata "sadhu", cukup diulang dua kali (maksimal). Jika lebih dari itu maka akan seperti judul = kesendat.

"Sadhu, sadhu." Artinya: "Bagus, bagus." "Nice, nice."

Sang Buddha biasanya hanya menggunakan 2 kali. Demikianlah.

Pertanyaan: Lalu bagaimana dengan pujian kepada Sang Buddha, yang diucapkan 3 kali?
"Terpujilah Sang Bhagava, Sang Arahat, Yang Tercerahkan Sempurna,
Terpujilah Sang Bhagava, Sang Arahat, Yang Tercerahkan Sempurna,
Terpujilah Sang Bhagava, Sang Arahat, Yang Tercerahkan Sempurna."

Ini sudah kalimat, lagipula ini "pujaan". "Sadhu" adalah pujian (menyanjung), bukan pujaan.

Lalu bagaimana dengan Upin Ipin?
Hahaha, itu orang Malaysia, menurut saya juga kurang tepat (dalam bahasa Malaysia) makanya diucapkan cepat-cepat. Kenyataanya itu sebenarnya berlebihan, secara bahasa yang benar. Itu cuman kartun anak-anak. Anggap saja benar, tetapi tetap saja kesendat, kecuali diucapkan cepat-cepat.

Terimakasih.

Note: jangan dipindahkan.

8
Pengalaman Pribadi / Dukkha “Bukan” Penderitaan
« on: 17 November 2017, 10:01:00 AM »
Karena Dhammacitta belum menerima karya saya, yang berjudul "Jalur Nibbana" (sekitar 60-an halaman), yang poin utamanya membahas perbedaan kenikmatan jasmaniah dan batiniah hingga Nibbana, diakhiri dengan makna dari syair Yang Mulia Buddhaghosa thera. Saya akan publikasikan "potongan" Bab I–Dukkha “Bukan” Penderitaan, yang saya tulis. Silakan dibaca, terimakasih.

Bab I–Dukkha “Bukan” Penderitaan

1. Pengertian dukkha
Melihat judul bab di atas, mungkin saja dahi akan mengerut. Kemudian bagi yang tertarik pada judul buku ini, akan tertarik untuk segera membahas Nibbāna, “Nibbāna, Nibbāna.” Jangan khawatir, Anda pasti akan mendapatkan gambaran seperti apa Nibbāna, tentu saja Nibbāna, adalah di luar jangkauan. Karena Nibbāna untuk dialami, seperti halnya ketika seseorang memakan suatu makanan kemudian orang yang belum pernah memakan makanan itu, ingin mengetahui rasa makanan tersebut, bertanya, “Bagaimanakah, Tuan, rasa dari makanan ini (atau makanan itu)?” Ia pun menjawab rasa makanan ini adalah seperti makanan ini atau seperti rasa itu. Meskipun begitu, bagi yang belum pernah mencoba makanan tersebut maka ia tetap tidak akan mengetahui rasanya sebelum mencobanya, hanya gambaran yang akan ia dapatkan walaupun telah diberitahu. Karena, makanan yang belum pernah dimakan, tidak akan ada kesan yang didapat. Demikianlah Nibbāna, hanya gambaran yang bisa diberikan, untuk mengetahui “rasanya” maka ia harus mengalaminya (merealisasikan). Oleh karena itu, saya akan membahas mengenai gambaran Nibbāna, sesuai judul, yaitu “jalur”, dan hal-hal yang berkaitan lainnya.
 
Namun, ada PR penting yang selama ini belum diselesaikan dengan baik. Saya tidak bermaksud sedikit pun untuk menyinggung ataupun untuk menjatuhkan pihak manapun, melainkan untuk meluruskan apa yang keliru, dengan argumen dan logika yang saya berikan. Seperti pendapat-ilmuwan yang keliru kemudian diluruskan dengan “pembuktian” oleh si pembantah (ilmuan bijak lainnya). Namun, sekali lagi, saya hanya bermaksud untuk meluruskan apa yang keliru. Karena bagaimanapun, menulis atau menerjemahkan sebuah isi buku (baik kata maupun kalimat) pastinya bukan hal yang mudah, terutama perbedaan gaya berbahasa dan budaya. Bahkan editor dan tim terkait pasti terlibat di belakang layar dalam penulisan sebuah buku/karya, terutama karya besar.

“Menilai sesuatu itu mudah,
Namun membuat suatu hal yang baik itu susah,
Susah tidak berarti tidak bisa atau payah,
Melainkan diperlukan usaha, penuh.

“Mengkritik, memberi saran, tanpa alasan yang berfaedah,
Tidak-tahu menilai juga mencari masalah,
Kritik dan saran tersebut mirip seperti sampah,
Mengkritik, memberi saran, sesuai hal yang ia anggap salah,
Tahu menilai, tahu waktu, tahu arah,
Hal yang kurang benar ia perindah,
Bagaikan ilmuan-bijak membantah,
Apa yang keliru sebagai hal yang perlu dibenah.” (Syair Gwi).

Mari kita mulai membahas dukkha “bukan” penderitaan. Berdasarkan terjemahan-terjemahan yang melebar di kalangan Buddhis, dukkha artinya penderitaan? Apa ada yang salah? Benar. Karena itulah, saya akan membahasnya di sini. Mungkin beberapa pengikut Buddhis akan mengatakan saya menentang Ajaran Buddha, akan tetapi, saya hanya meluruskan “terjemahan” yang keliru, bukan “Ajaran”. (Karena saya pengikut setia, yang tidak mungkin melihat ada makhluk manapun yang dengannya dapat mencela Ajaran Buddha secara benar.) Ketika terjemahannya keliru maka makna dari Ajaran Buddha akan melebar ke sana sini. Jika terjemahannya benar maka maknanya sesuai apa adanya. Dengan begitu, makna yang ada pada terjemahan akan sama dengan yang orisinil. Seperti kue yang dipopulerkan oleh si A dan si B mengikuti resep itu kemudian menghasilkan rasa yang persis dengan yang dibuat si A, dst.

Kata dukkha sangat mudah didapatkan di dunia gamer, terutama pada game fantasy. Para gamer mungkin akan sangat suka dengan pembahasan ini. Beberapa mungkin akan mulai kebingungan ketika saya langsung memulai dengan mengatakan dukkha = pengalaman (experience). Benarkah demikian? Bagaimana mungkin dukkha dapat diartikan dengan pengalaman? Bukankah dua garpu yang saling menindih dengan bantuan setengah (panjang) tusuk gigi dapat melayang? Kita abaikan makna implisit ini. Mari kita telusuri arti dari “pengalaman”.

Di wikipedia tertulis: “Pengalaman ialah hasil persentuhan alam dengan panca indra manusia. Berasal dari kata peng-alam-an. Pengalaman memungkinkan seseorang menjadi tahu dan hasil tahu ini kemudian disebut pengetahuan.”

Pengetahuan memungkinkah untuk memunculkan kebijaksanaan, dengan kebijaksanaan maka Nibbāna memungkinkan dapat ditemukan. Berdasarkan pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), pengalaman memiliki sinonim (persamaan kata) dengan “suka duka”. Suka duka adalah kesenangan dan kesakitan yang muncul silih berganti sesuai kondisi keadaan. Ketika seseorang bermain game, kata “pengalaman” sangat mudah didapatkan bahkan dikenali hampir semua pemain (game), yang dalam bahasa inggrisnya: pengalaman disebut experience.

Pengalaman mencakup hal yang positif, negatif, dan netral. Kesemua ini dapat dirasakan melalui apa, dikondisikan oleh apa? Oleh dukkha = pengalaman. Pengalaman (dukkha) memiliki persamaan kata dengan suka duka. Atau dengan kata lain, suka duka dan pengalaman adalah hal yang sama. Karena, pada suka-duka mencakup banyak hal, dari yang positif, negatif, dan netral, demikian pula dengan pengalaman. Oleh karena itu, pengalaman dan suka-duka bukan hanya mirip, tetapi memang sama (sinonim). Sinonim ini juga sesuai dan tepat dengan KBBI.

Pengalaman terjadi karena ia pernah mengalami jatuh bangun. Orang bisa sukses karena ia berpengalaman, pernah jatuh bangun, pernah mengalami suka duka kemudian mencari atau mendapatkan jalan keluar. Dengan pengalaman yang pernah terjadi maka orang sukses demikian akan menjadi sulit dijatuhkan. Karena, ia sudah pengalaman. Demikianlah Sang Buddha mengajarkan pengalaman, agar murid-murid-Nya memiliki pengalaman melalui suka-duka yang ada. Jangan terpancing dengan kegagalan atau keberhasilan-sementara namun tetap berjuang hingga memiliki pengalamanya yang kuat. Jangan pula terjebak dalam pengalaman, tetapi mencari jalan keluarnya.

2. Analisis dukkha adalah pengalaman (sinonim = suka duka)

Mungkin kursi sudah panas atau akan, tetapi pikiran harus tetap hangat. Untuk menguatkan pendapat-saya maka saya akan menjelaskannya dengan contoh kalimat yang ada, bahwa dukkha adalah pengalaman (bahasa Inggris: experience).

I. A. Kasus pertama–dukkha
Manakah terjemahan yang benar:
1. Sang Buddha mengajarkan dukkha = penderitaan?
2. Sang Buddha mengajarkan dukkha = pengalaman (suka duka)

I. B. Pembahasan
1. Pernyataan salah
Kenyataannya Sang Buddha mengajarkan Nibbāna sebagai puncak Ajaran. Nibbāna sepenuhnya bahagia, itulah yang dikatakan (faktanya). Bahkan Sang Buddha mengajarkan meditasi yang menghasilkan kegiuran (pīti), sukacita (sukha), keseimbangan batin (uppekha) hingga puncaknya, yaitu kebahagiaan sejati (Nibbāna). Memang ada beragam penderitaan di dunia ini namun jika Sang Buddha dikatakan mengajarkan penderitaan maka ini saling bertentangan, bukan saling berhubungan.
Dengan demikian, arti dukkha bukanlah penderitaan.

2. Pernyataan benar
Pengalaman mewakili apa yang ada di dunia ini, yaitu “suka” merupakan titik awal yang menuju pada kesenangan dan “duka” merupakan titik awal yang menuju pada penderitaan. Namun, kedua ini muncul tumpang tindih, dan inilah yang diketahui Sang Buddha, dan Beliau memunculkan Jalan Tengah, jalan menuju kebahagiaan, tanpa suka atau duka yang menyertai, dengan mencapai puncak pengalaman.
Sang Buddha mengajarkan “pengalaman (experience)”, agar murid-Nya dapat naik level menjadi Arahat (level 100/puncak). Seperti halnya jika level di game (permainan), sudah mencapai puncak maka tidak akan naik level lagi, demikianlah ketika menjadi Arahat maka tidak perlu lagi menambah apa pun. Musuh tidak berarti lagi, suka-duka tidak berarti lagi, pengalaman sudah sempurna.
Dengan demikian, arti dukkha adalah pengalaman. Kita akan membahas lebih lanjut lagi hingga ke puncaknya.

I. C. Kesimpulan
Terjemahan yang benar adalah: Sang Buddha mengajarkan “dukkha” = Sang Buddha mengajarkan pengalaman.

II. A. Kasus ke dua–dukkha
Manakah terjemahan yang benar:
1. Hidup adalah penderitaan, berpisah dengan orang yang kita cintai adalah penderitaan, tidak mendapatkan apa yang kita inginkan adalah penderitaan, dst. Demikianlah sabda Sang Buddha.
2. Hidup adalah pengalaman, berpisah dengan orang yang kita cintai adalah pengalaman, tidak mendapatkan apa yang kita inginkan adalah pengalaman, dst. Demikianlah sabda Sang Buddha.

II. B. Pembahasan
1. Pernyataan salah
(a) Hidup adalah penderitaan: mereka yang telah merealisasikan Nibbāna, dikatakan telah bahagia (batin selalu bahagia) walaupun secara jasmani bisa sakit akibat cuaca atau kondisi tubuh. Orang mulia demikian adalah bahagia, bukan menderita. Bahkan orang-biasa saja mampu mendapatkan kegembiraan atau kesenangan yang ada dalam hidupnya.

(b) Berpisah dengan orang yang kita cintai adalah penderitaan: ada, mereka yang berpisah dengan orang yang dicintai namun tidak meratap dan “bahkan” yang belum merealisasikan Nibbāna, jika ia bijak, ia tidak akan menderita (merana) ketika berpisah dengan orang yang ia cintai. Namun, menerima kenyataan yang ada. Oleh karena itu, ia bisa saja biasa-biasa saja.

(c) Tidak mendapatkan apa yang kita inginkan adalah penderitaan: ambil kasus seseorang yang menginginkan barang mahal namun ia tidak memilki cukup uang, ia mungkin bisa saja merana namun beberapa orang mungkin akan berkata: “Tidak dapat ya, tidak masalah.” Apakah orang ini sedang meratap, merana, menderita? Jawabannya tidak.
Dengan demikian, dukkha bukanlah penderitaan.

2. Pernyataan benar
(a) Hidup adalah pengalaman: baik ia suka atau tidak (berpengalaman atau tidak), berduka atau tidak (tidak berpengalaman atau tidak-tidak berpengalaman), suka duka (pengalaman) pasti muncul dengan sendirinya menghampiri ke sana sini, ditolak atau diterima, suka-duka (pengalaman) tidak mengenal siapa, tempat, saat, dan kapanpun bisa datang. Ini kondisi yang nyata dalam kehidupan.

(b) Berpisah dengan orang yang kita cintai adalah pengalaman: kadang, kita lebih memilih berpisah dengan orang yang kita cintai (anak, istri, dll.) demi hal tertentu, misalnya karena pekerjaan, ia merantau jauh (berpisah) karena kondisi ekonomi atau hal lainnya, atau seorang prajurit bertempur dan berpisah dengan orang yang dia cintai demi membela negara–suka-duka mengampiri.

(c) Tidak mendapatkan apa yang kita inginkan adalah pengalaman: sama seperti kasus terjemahan pertama, seseorang yang menginginkan barang mahal namun ia tidak memilki cukup uang, ia mungkin bisa saja merana namun beberapa orang mungkin akan berkata: “Tidak dapat ya, tidak masalah.” Apakah orang ini meratap, merana, menderita? Jawabannya tidak. Ada suka dan duka namun ia tidak menggenggam keduanya walau datang. Ketika mendapatkannya, ia mungkin akan senang (senang berasal dari suka), ia mungkin juga akan berduka ketika seandainya mendapatkannya namun di satu sisi dompetnya menipis. Di balik suka ada duka, di balik duka ada suka. Berduka atau tidak, suka-duka datang silih berganti. Di sini ia mendapatkan pengalaman (suka atau duka).
Dengan demikian, dukkha adalah pengalaman (suka duka). Kebetulan kata “duka” mirip kata “dukkha”.

II. C. Kesimpulan
Terjemahan yang benar adalah: hidup adalah dukkha, berpisah dengan orang yang kita cintai adalah dukkha, tidak mendapatkan apa yang kita inginkan adalah dukkha, dst. Demikianlah sabda Sang Buddha.
Artinya: hidup adalah pengalaman (suka duka), berpisah dengan orang yang kita cintai adalah pengalaman, tidak mendapatkan apa yang kita inginkan adalah pengalaman, dst. Demikianlah sabda Sang Buddha.

9
Pengalaman Pribadi / Ajaran Buddha atau Agama Buddha?
« on: 11 November 2017, 03:48:29 PM »
"Agama" berasal dari bahasa Sanskrit, sedangkan "Ajaran" berasal dari bahasa Indonesia (bukan serapan), yang sama-sama berarti "kepercayaan/keyakinan".
Oleh karena itu, tidak ada bedanya dikatakan Agama Buddha atau Ajaran Buddha.

Ajaran Buddha tidak memiliki budaya! Ini harusnya digarisbawahi.
Namun, perlu dicatat! Bahwa tidak berbudaya, artinya adalah "ajaran itulah budayanya", misalnya Ajaran Buddha, budayanya adalah "Patimokkha (disiplin dalam Sangha)" atau yang biasa dikenal sebagai Vinaya. Berlaku juga untuk "vinaya" umat awamnya, yaitu 5 sila dan puasa (uposatha).
Yang lainnya adalah tata krama, misalnya cara penghormatan, dll. (tata krama disesuaikan berdasarkan wilayah/negara). Misalnya orang Indonesia, umatnya pasti memakai budaya Indonesia, salah satunya dengan merangkapkan tangan atau salaman (tata krama), atau dengan berbudaya batik, dll. Sementara di Jepang misalnya, mereka memakai yukata (kimono biasanya buat pernikahan), dengan tata krama, biasanya suka tunduk-tunduk (membungkukan badan) daripada salaman, dll. Demikian juga dengan wilayah/negara lainnya.

Jika kelompok manapun (budaya manapun) ingin memasuki ajaran Buddha maka ia tidak dapat memasukkan budayanya di dalam "ajaran". Ia meneruskan budayanya tanpa mencampurkan ke dalam ajaran.

Tidak ada peraturan dalam Ajaran Buddha, Sang Buddha tidak pernah melarang apa pun karena manusia menyukai kebebasan dan Sang Bhagava "mendisiplinkan" pengikutnya bukan melalui peraturan karena apa? Karena, seseorang yang disiplin "pasti taat peraturan", sementara orang yang taat peraturan "belum tentu disiplin". Sang Buddha tidak melarang apa pun, bukan berarti Beliau menyetujui perbuatan jahat. Beliau mengungkapkan bahwa perbuatan buruk akan berakibat buruk; perbuatan baik akan berakibat baik. Oelh karena itu, "hindari perbuatan jahat, yang tidak bermanfaat." "Perbanyak perbuatan baik, yang bermanfaat." Ini adalah demi kesejahteraan masing-masing. Demikianlah Sang Buddha mendisiplinkan pengikut-Nya.

Ajaran Buddha tiada "budaya", dalam arti bahwa budaya dari manapun (seseorang) bisa berkeyakinan pada Sang Buddha Gotama, dan tentunya meneruskan budaya mereka secara turun-temurun "tanpa" mencampuradukkan ke dalam Ajaran Buddha. Seperti halnya urusan keluarga, tidak dibeberkan di luar namun menyimpannya dalam keluarga. Apakah keluarga itu munafik? Ini cukup kasar dan salah karena urusan keluarga adalah urusan pribadi. Demikian pula, budaya tidak dimasukkan ke dalam Ajaran Buddha karena orang-orang akan berpikir bahwa: "Ajaran Buddha hanya untuk suku tertentu, atau untuk budaya tertentu, kita harus memasuki budaya lain dan meninggalkan budaya kita." Oleh karena itu, budaya adalah budaya masing-masing, Ajaran Buddha adalah khsusus Ajaran Buddha, dengan begitu, tidak ada celah dan kritikan dengan mengatakan Ajaran Buddha khusus budaya tertentu namun kenyataannya siapa pun dapat berkeyakinan pada Buddha, disamping meneruskan budaya masing-masing. Bahkan dapat meningkatkan martabat budaya mereka, dengan Ajaran Buddha sebagai pegangan.

Misalnya ada orang chinese yang tujuh turunan memakai budaya chinese maka ia tetap dapat meneruskan budayanya disamping berkeyakinan dalam Ajaran Buddha.

Atau misalnya seorang nasrani (kayak novelis Dee Lestari), katakanlah  7 turunan telah mewarisi tradisi natal maka ketika memasuki Ajaran Buddha, ia seharusnya tidak meninggalkan tradisi tersebut, sebagai umat awam karena itu budaya yang baik, tidak ada pelanggaran HAM atau hal buruk.

Budaya yang baik adalah pantas dilestarikan dan dihormati.

Bagaimana? Harmoniskan, Ajaran Buddha?

Sekian dan terimakasih.

10
Tolong ! / Bahasa Pali
« on: 07 November 2017, 12:11:04 PM »
 _/\_Mau nanya bahasa Pali neh:

1. Apa maksudnya (arti) Buddham, mengapa ada "m"?
2. Apa beda Arahat dengan Arahant dan Arahanta?
3. Mengapa thero jadi thera atau sebaliknya?
4. Kata "Pali" kan, di bawah huruf "L" ada titik di bawah. Maksudna apa itu y?
5. Cara baca marga "Kondanna" gimana? Kan ada double "ny"? Atau cara baca "Abhinna". Apakah jadi "nyny"?
6. Trus ada tanda petik tunggal dalam syair misalnya: "blabla' bla." Itu maksudnya apa ya?

Terimakasih. ^:)^

11
Buddhisme Awal / Sang Buddha
« on: 05 November 2017, 12:11:15 PM »
Ketika mendengar kata Buddha, hal ini tidak terlepas dari (kisah) pencerahan Pangeran Siddhatta Gotama. Namun, kerap kali ketika ditanya nama asli dari Sang Buddha, para pengikut (Buddhisme) malah menjawab: nama asli Sang Buddha. Tentu saja jawabannya benar, akan tetapi bukankah jika dijawab demikian, kita tidak memiliki sopan santun? Masak Sang Buddha disebutkan nama-Nya? Yang lebih parah lagi, tidak ditambahkan kata "pangeran".

Ini seperti halnya ketika cucu seorang raja/pangeran ditanya: "Siapa kakekmu?" Dijawab sama sang cucu: "Asoka!" (misalnya). Atau ketika ditanya, "Siapa nama kakekmu?" Sang Cucu menjawab: "Asoka!"

Seharusnya ia menjawab: "Nama kakek adalah Raja Asoka." Atau "Dhammasoka (julukan Raja Asoka)."

Demikian pula, jika Buddhisme ditanya: "Siapakah (nama) Sang Buddha?" Maka harus dijawab: "Pangeran Siddhatta Gotama." Atau "Sang Bhagava."

Beberapa orang (Buddhisme) mungkin kesulitan dalam bahasa Pali. Berikut adalah tips kecil, untuk mengingat nama dari Pangeran Siddhatta.

Pangeran Sid-dhat-ta. Ingat kata "Buddha", yaitu pada kata "Buddha", ada kata "ddh". Kemudian masukkan ke nama: Pangeran Siddhatta. Kemudian hafal, bahwa ada dua konsonan ganda, yaitu "double d" (dd). Ingatkan pikiran bahwa dibelakang juga ada "double t" namun tidak ada kata "h". Jadi deh! Pangeran Siddhatta.

Nah, bagaimana? Sudah bisa diingat bukan?

Akan tetapi, ingat! Sebaiknya tetap gunakan kata "Buddha" atau "Bhagava (Yang Terberkahi)". Walaupun ditanya siapa nama Beliau maka tetap harus kita pakai kata "Sang Buddha", selagi menjawab dengan menambahkan kata "pangeran", yaitu Pangeran Siddhatta.

Juga harus diingat! Kata "Buddha, Dhamma, Sangha", harus diawali huruf kapital, dimanapun. Demikian pula kata "Sang", huruf kapital karena ditujukan pada orang yang berkuasa/orang mulia.

Menyenangkan bukan? Bahasa itu hal yang menyenangkan sekali. Maksud saya ilmu pengetahuan.

12
Ajaran lain: Apa yang diajarkan Sang Buddha?
jawab: Sang Buddha mengajarkan cinta kasih.
Ajaran lain: Ajaran kami juga mengajarkan cinta kasih. Kalau begitu, berkeyakinan pada Buddha atau tidak maka sama dong?
* Ada celah, ada kritikan.

Ajaran lain: Apa yang diajarkan Sang Buddha?
jawab: Sang Buddha mengajarkan kebaikan, saling mencintai sesama makhluk hidup. Menjauhi perbuatan jahat dan perbanyak kebaikan.
Ajaran lain: Ajaran kami juga mengajarkan kebaikan, saling mencintai sesama makhluk hidup. Menjauhi perbuatan jahat dan perbanyak kebaikan. Kalau begitu, berkeyakinan pada Buddha atau tidak maka sama dong?
* Ada celah, ada kritikan.

Ajaran lain: Apa yang diajarkan Sang Buddha?
jawab: Sang Buddha mengajarkan pelenyapan nafsu dan kecanduan.
Ajaran lain: ....
* Tidak ada celah, tidak ada kritikan.

Mari teman-teman, ajarkan cara menjawab yang benar kepada anak-anak kita yang masih belia, yaitu ketika ditanya: "Apa yang diajarkan oleh Sang Buddha?" Maka harus dijawab: "Sang Bhagava mengajarkan pelenyapan nafsu dan kecanduan."

13
Penerjemahan dan penulisan Teks Buddhisme / Buku "Jalur Nibbana"
« on: 29 October 2017, 11:28:17 AM »
Maaf permisi, mau nanya: bagaiamana cara kirim karya ke Dhammacitta?

plus, bisa bantu saya gak ya, atau ada yang bisa bantu saya mencari tulisan Pali dari syair ini:
“Yang ada hanyalah penderitaan,
Tidak ada yang menderita,
Ada perbuatan-perbuatan,
Tetapi tidak ada pelaku perbuatan-perbuatan,
Ada kebahagiaan, tetapi tidak ada orang yang memasukinya,
Ada jalannya, tetapi tidak ada pengembara yang terlihat di sana.” [Visuddhimagga].

Saya sudah selesai menganalisis "penderitaan". Buku saya berjudul "Jalur NIbbana", akan saya selesaikan bulan November.
Saya ingin menganalisis syair di atas juga, terimakasih. Mohon bantuannya.

14
Mari kita belajar Dhamma mengenai “Penganut Keyakinan” dan “Penganut Dhamma”. Kedua upasaka/upasika ini adalah dua pengikut terbaik dari upasaka/upasika biasa. Saya akan menjelaskannya dengan metode tanya jawab sebagai penjelasan.  Kedua upasaka/upasika ini berlatih untuk memasuki-arus, untuk memiliki keyakinan tak tergoyahkan dalam Ajaran Buddha.


1. Penganut keyakinan (Saddhānusārī)
Memiliki keyakinan kuat bahwa: Enam Landasan Indria (internal–eksternal) sebagai tidak kekal, berubah, menjadi sebaliknya (berubah, tidak kekal, dan demikian terus).

2. Penganut Dhamma (Dhammānusārī)
Memiliki keyakinan kuat melalui pembelajaran (kebijaksanaan) bahwa: seorang yang telah memasuki jalan pasti Kebenaran, memasuki wilayah orang-orang mulia, melampaui wilayah orang biasa. Ia tidak mampu melakukan perbuatan yang karenanya dapat mengakibatkannya terlahir kembali di alam rendah; orang mulia demikian tidak akan dapat meninggal dunia tanpa menembus buah Memasuki-arus.


1. Penganut-keyakinan (saddhānusārī)
(T) Mengapa disebut Penganut-keyakinan?
(J) Karena, ia mengandalkan keyakinan untuk memahami Ajaran Buddha.

(T) Apa beda Penganut-keyakinan dan upasaka/upasika lainnya (yang biasa), yang berkeyakinan pada Sang Buddha?
(J) Upasaka/upasika yang biasa, masih belum mampu mengikuti Dhamma lokuttara, sedangkan Penganut-keyakinan berlatih untuk memahaminya melalui keyakinan yang kuat, keyakinan kepada apa yang ia dengar dengan berdasarkan logika.

(T) Apa itu Dhamma lokuttara?
(J) Dhamma lokuttara adalah pengetahuan mengenai 4 magga ‘jalan’ dan 4 phala ‘buah’, dan Nibbāna sebagai yang ke sembilan.

(T) Apa itu enam landasan indria yang ia yakini?
(J) Enam landasan indria terdiri dari dua aspek, yaitu (a) landasan internal, yaitu mata, telinga, hidung, lidah, badan, dan pikiran. (b) Landasan ekternal (objek), yaitu bentuk-bentuk, suara-suara, bau-bauan, rasa kecapan, objek sentuhan, dan fenomena-fenomena pikiran. Keenam landasan indria ini, baik internal maupun eksternal adalah tidak kekal dalam arti, mengalami perubahan. Ia meyakini hal ini dengan pemikirannya, melalui kepercayaan yang kuat, bahwa demikianlah adanya.

(T) Apa maksudnya mengalami perubahan (tidak kekal)?
(J) Keenam landasan indria itu mengalami kelapukan dan tunduk pada kehancuran, oleh karenanya disebut mengalami perubahan, tidak kekal.

(T) Setelah memahami keenam landasan indria, apa hasil yang akan ia dapat?
(J) Hasilnya adalah memasuki-arus. Ketika Penganut-keyakinan memasuki-arus, ia disebut sebagai seorang yang terbebaskan melalui keyakinan (saddhāvimutta).

(T) Setelah memahami demikian, apakah ia telah disebut Pemasuk-arus?
(J) Tidak. Ia bahkan belum memenuhi faktor-faktor memasuki-arus. Ia hanya disebut Penganut-Keyakinan. Ia harus mempelajari faktor-faktor penopang dalam memasuki-arus dan mempelajari (lebih) sebab akibat yang saling bergantungan. Menjadi "Penganut-Keyakinan" adalah bekalnya, untuk mempelajari jalan memasuki-arus.

2. Penganut-Dhamma (dhammānusārī)
(T) Mengapa disebut Penganut-Dhamma?
(J) Karena, ia mengandalkan kebijaksanaan untuk memahami Ajaran Buddha.

(T) Kebijaksanaan dalam hal apakah ini dipahami?
(J) Kebijaksanaan melalui pembelajaran, akan berbagai pandangan-pandangan yang ada di dunia.

(T) Siapa itu seorang yang telah memasuki jalan pasti Kebenaran?
(J) Jalan pasti Kebenaran adalah meninggalkan duniawi, atau dengan kata lain: memasuki Saṅgha, yaitu seorang bhikkhu. Seorang bhikkhu yang telah mencapai jalan Memasuki-arus, tidak mungkin (mustahil) meninggal dunia sebelum mencapai buah dari Sang Jalan.

(T) Apakah umat awam yang telah mencapai jalan memasuki-arus, juga tidak akan meninggal sebelum mencapai buah dari Sang Jalan?
(J) Belum tentu, bisa-ia bisa tidak, dan hanya seorang bhikkhu saja, yang telah mencapai jalan memasuki-arus, akan mencapai buah memasuki-arus sebelum meninggal.

(T) Mengapa bisa-ia bisa tidak?
(J) Jika upasaka/upasika yang telah memasuki-arus mampu bertekad “hidup selibat” seumur hidupnya maka ia berpeluang mencapainya, jika tidak, ia tidak akan mencapai buah memasuki-arus.

(T) Setelah memahami hal demikian, apa hasil yang akan ia dapat?
(J) Hasilnya adalah memasuki-arus. Ketika Pengikut-Dhamma memasuk-arus, ia disebut sebagai seorang yang mencapai melalui pandangan (diṭṭhippata).

(T) Apa beda Penganut-keyakinan dan Penganut-Dhamma?
(J) Penganut-keyakinan mengandalkan keyakinan yang kuat, sedangkan Penganut-Dhamma, lebih menonjol dalam kebijaksanaan, ia mampu mempelajari sesuatu, bukan hanya keyakinan.

(T) Setelah memahami demikian, apakah ia telah disebut Pemasuk-arus?
(J) Tidak. Ia bahkan belum memenuhi faktor-faktor memasuki-arus. Ia hanya disebut Penganut-Dhamma. Ia harus mempelajari faktor-faktor penopang dalam memasuki-arus dan mempelajari (lebih) sebab akibat yang saling bergantungan. Menjadi "Penganut-Dhamma" adalah bekalnya, untuk mempelajari jalan memasuki-arus.


Catatan: Saya sedang membuat buku pelajaran Ajaran-Buddha. Menurut kalian, pelajaran ini, cocok untuk SMP atau SMA??

15
Penerjemahan dan penulisan Teks Buddhisme / Ayasma Vangisa Thera
« on: 20 October 2017, 02:32:17 PM »
Peramal tengkorak

Di Rājagaha hiduplah seorang brahmana bernama Vaṅgīsa, yang mampu mengetahui tempat kelahiran-kembali dari orang-orang yang telah meninggal. Ia selalu mengetuk tengkorak mereka dan berkata, “Ini adalah tengkorak orang yang telah terlahir kembali di alam Neraka; orang ini telah terlahir kembali sebagai seekor hewan; orang ini telah terlahir kembali sebagai sesosok setan; ini adalah tengkorak orang yang telah terlahir kembali di alam manusia.”

Para brahmana berpikir sendiri, “Kita dapat memperalat orang ini untuk menguasai dunia.” Maka dengan memakaikan dua jubah merah untuknya, mereka membawanya berkeliling, dengan berkata kepada setiap orang yang mereka jumpai, “Brahmana Vaṅgīsa ini dapat mengetahui tempat kelahiran-kembali dari orang-orang yang telah meninggal dengan mengetuk tengkorak mereka; minta dirinya untuk memberitahukan tempat kelahiran-kembali dari para kerabatmu yang telah meninggal.” Orang-orang memberinya uang sebanyak sepuluh keping ataupun dua keping hingga seratus keping sesuai dengan kehendak mereka, dan bertanya kepadanya tentang tempat kelahiran-kembali dari para kerabat mereka yang telah meninggal.

Setelah berjalan dari tempat ke tempat, mereka akhirnya tiba di Sāvatthī dan berdiam di dekat Jetavana. Setelah bersantap sarapan, mereka melihat kerumunan orang-orang yang sedang bepergian untuk mendengarkan Dhamma dengan membawa wewangian, untaian bunga, dan sejenisnya. “Ke manakah kalian hendak pergi?” tanya mereka. “Pergi ke Vihara untuk mendengarkan Dhamma,” jawabnya. “Apa yang akan kalian dapatkan dengan pergi ke sana?” tanya para brahmana; “Tidak ada orang lain yang bisa menyamai saudara kita, brahmana Vaṅgīsa. Ia dapat mengetahui tempat kelahiran-kembali dari orang-orang yang telah meninggal dengan mengetuk tengkorak mereka. Tanyakan saja di manakah tempat kelahiran-kembali dari para kerabat kalian yang telah meninggal.”  “Apa yang diketahui oleh Vaṅgīsa!” jawab para siswa Sang Buddha, “Tiada seorang pun yang dapat menyamai Guru kami.” Namun, para brahmana membalas, “Tiada seorang pun yang dapat menyamai Vaṅgīsa,” dan perdebatan ini kian memanas. Hingga pada akhirnya, para siswa Sang Buddha berkata, “Ayolah, mari kita pergi cari tahu siapakah di antara kedua orang ini, yakni Vaṅgīsa dan Guru kami, yang tahu lebih banyak.” Maka dengan membawa para brahmana, mereka pergi ke Vihara.

Sang Buddha, mengetahui bahwa mereka sedang berada dalam perjalanan, menyiapkan dan menderetkan lima buah tengkorak, yang masing-masing telah terlahir-kembali di empat alam kehidupan: neraka, binatang, manusia, dan dewa; dan sebuah tengkorak dari seorang Arahat. Ketika mereka tiba, Beliau bertanya kepada Vaṅgīsa, “Apakah kamu adalah orang yang dikatakan dapat mengetahui tempat kelahiran-kembali dari orang-orang yang telah meninggal dengan mengetuk tengkorak mereka?” “Ya,” kata Vaṅgīsa. “Lalu tengkorak siapakah ini?” Vaṅgīsa mengetuk tengkorak tersebut dan berkata, “Ini adalah tengkorak dari seorang yang telah terlahir-kembali di alam Neraka.” “Bagus! Bagus!” seru Sang Buddha, memujinya. Kemudian Sang Buddha bertanya kepadanya tiga buah tengkorak lagi dan Vaṅgīsa pun menjawab dengan benar. Sang Buddha memujinya untuk setiap jawaban yang Beliau berikan dan hingga akhirnya Beliau menunjukkan tengkorak ke lima. “Tengkorak siapakah ini?” tanya Beliau. Vaṅgīsa mengetuk tengkorak ke lima itu seperti terhadap tengkorak lainnya, tetapi ia sendiri mengakui bahwa dirinya tidak tahu di manakah tempat kelahiran-kembali dari sang empunya tengkorak itu.
Lalu Sang Buddha berkata, “Vaṅgīsa, apakah kamu tahu?” “Tidak,” jawab Vaṅgīsa, “Saya tidak mengetahuinya.” “Saya tahu,” kata Sang Buddha. Kemudian Vaṅgīsa memohon kepada Beliau, “Ajarkanlah saya jampi ini.” “Saya tidak dapat mengajarkannya kepada seseorang, selain bhikkhu.” Sang Brahmana berpikir sendiri, “Jika hanya saya sendiri yang mengetahui jampi ini maka saya akan menjadi orang termasyhur di seluruh India.” Lalu ia meninggalkan para brahmana lainnya, dengan berkata, “Tetaplah di sini selama beberapa hari; saya ingin menjadi seorang bhikkhu.” Ia pun menjadi seorang bhikkhu atas nama Sang Buddha, ditahbiskan secara penuh menjadi anggota Saṅgha, dan kemudian dikenal sebagai Vaṅgīsa thera.

Mereka memberinya objek meditasi berupa tiga puluh dua orang pembentuk tubuh dan berkata kepadanya, “Ulangilah kalimat pendahuluan ini.” Ia mengikuti perintah mereka dan mengulang kalimat pendahuluan tersebut. Dari waktu ke waktu para bhikkhu selalu bertanya kepadanya, “Apakah kamu telah mempelajari kalimat itu?” dan sang thera selalu menjawab, “Tunggulah sebentar lagi! Saya sedang mempelajarinya.” Hanya dalam beberapa hari ia pun mencapai tingkat kesucian Arahat. Ketika para bhikkhu kembali bertanya kepadanya, ia menjawab, “Para Bhikkhu, kini saya tidak sanggup mempelajarinya.” Sewaktu para bhikkhu mendengar jawabannya, mereka berkata kepada Sang Buddha, “Bhante, bhikkhu ini telah berkata tidak benar dan berdusta.” Sang Buddha menjawab, “Para Bhikkhu, janganlah berkata seperti itu. Para Bhikkhu, siswa Saya mengetahui segala hal mengenai kematian dan kelahiran-kembali makhluk hidup.” Setelah berkata demikian, Beliau mengucapkan bait-bait berikut:

“Ia yang mengetahui tentang kematian,
Dan kelahiran kembali makhluk hidup di segala tempat,
Ia yang bebas dari kemelekatan, sukacita, dan telah tercerahkan,
Orang seperti inilah yang Saya sebut sebagai brahmana.

Ia yang tempat kelahiran kembalinya,
Tidak diketahui oleh para dewa, para gandabha, maupun umat manusia,
Ia yang telah memusnahkan keinginan jahat dan telah mencapai ke-Arahat-an,
Orang seperti inilah yang Saya sebut sebagai brahmana. [Komentar Dhammapada xxvi.37].

Bhikkhu Vaṅgīsa memasuki Saṅgha dengan tujuan untuk mempelajari bagaimana menentukan alam kelahiran-kembali seorang Arahanta, akan tetapi segera ia melepaskan tujuan itu ketika ia menyadari bahwa kehidupan suci dijalani untuk tujuan yang lebih mulia. Dalam waktu beberapa hari saja, bhikkhu Vaṅgīsa merealisakan buah ke-arahat-an. Ia dipuji Sang Buddha sebagai siswa yang terunggul dalam hal menggubah syair inspiratif (secara spontan). Bhikkhu Vaṅgīsa juga memuji kedua Siswa Utama serta banyak siswa unggulan lainnya, dengan syair spontan. Sumber: brahmathira.com

Pages: [1] 2
anything