//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (1)  (Read 3932 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Saṃyukta Āgama (SĀ) merupakan teks Āgama (secara harfiah berarti "kitab suci") padanan Samyutta Nikaya dari aliran Sarvastivada yang terdapat dalam Tripitaka Mandarin edisi Taishō dengan nomor urut 99 (T 99) yang diterjemahkan dari bahasa Sanskrit oleh Gunabhadra pada tahun 435-443 M. Teks ini merupakan salah satu sumber yang penting untuk mempelajari Buddhisme awal. Terjemahan SĀ ini ke bahasa Inggris telah dilakukan Bhikkhu Anālayo secara serial sebagai proyek penelitian yang dilakukan Dharma Drum Buddhist College. Sampai dengan post ini dibuat, bagian pertama SĀ tentang lima kelompok unsur kehidupan dalam 5 subbagian/jilid telah selesai diterjemahkan (update dapat dilihat pada link https://www.buddhismuskunde.uni-hamburg.de/en/personen/analayo.html pada bagian Translation (only) paling bawah).

Berikut merupakan terjemahan dari bahasa Inggris tersebut ke bahasa Indonesia mulai dari bagian pertama tentang lima khanda yang mengandung 32 sutta pertama (SĀ 1-32).
« Last Edit: 14 June 2015, 09:18:12 PM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (1)
« Reply #1 on: 14 June 2015, 08:12:37 PM »
Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (1)
Terjemahan Saṃyukta-āgama Kotbah 1 sampai 32

Bhikkhu Anālayo

Abstaksi

Artikel ini menerjemahkan jilid pertama dari Saṃyukta-āgama, yang mengandung kotbah 1 sampai 32.<1>

1. [Kotbah tentang Ketidakkekalan]<2>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta,<3> Taman Anāthapiṇḍika.<4> Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu:

“Kalian harus merenungkan bentuk sebagai tidak kekal. Seseorang yang merenungkan seperti ini memiliki pengetahuan benar.<5> Seseorang yang memiliki pengetahuan benar membangkitkan kekecewaan. Seseorang yang memiliki kekecewaan melenyapkan kenikmatan dan nafsu. Seseorang yang melenyapkan kenikmatan dan nafsu, Aku katakan, terbebaskan pikirannya.<6>

“Dengan cara yang sama merenungkan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran sebagai tidak kekal. Seseorang yang merenungkan seperti ini memiliki pengetahuan benar.<7> Seseorang yang memiliki pengetahuan benar membangkitkan kekecewaan. Seseorang yang memiliki kekecewaan melenyapkan kenikmatan dan nafsu. Seseorang yang melenyapkan kenikmatan dan nafsu, Aku katakan, terbebaskan pikirannya.

“Seseorang yang telah terbebaskan pikirannya dengan cara ini, para bhikkhu, jika ia ingin menyatakan dirinya dapat menyatakan dirinya:<8> ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’”

(Sama halnya dengan perenungan ketidakkekalan, dengan cara yang sama juga untuk dukkha, kekosongan dan bukan-diri).<9>

Kemudian para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.<10>

2. [Kotbah tentang Pengamatan Seksama]<11>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu:

“Kalian harus memberikan pengamatan seksama terhadap bentuk, dengan merenungkan bentuk sebagai tidak kekal,<12> memahaminya sebagaimana adanya. Mengapa demikian? Para bhikkhu, seseorang yang memberikan pengamatan seksama terhadap bentuk, yang merenungkan bentuk sebagai tidak kekal dan memahaminya sebagaimana adanya, akan melenyapkan keinginan dan nafsu sehubungan dengan bentuk. Seseorang yang melenyapkan keinginan dan nafsu sehubungan dengan bentuk, Aku katakan, terbebaskan pikirannya.<13>

“Dengan cara yang sama kalian harus memberikan pengamatan seksama terhadap perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, dengan merenungkan kesadaran sebagai tidak kekal, memahaminya sebagaimana adanya. Mengapa demikian? Seseorang yang memberikan pengamatan seksama terhadap kesadaran, yang merenungkan kesadaran sebagai tidak kekal dan memahaminya sebagaimana adanya, akan melenyapkan keinginan dan nafsu sehubungan dengan kesadaran. Seseorang yang melenyapkan keinginan dan nafsu sehubungan dengan kesadaran, Aku katakan, terbebaskan pikirannya.<14>

“Seseorang yang telah terbebaskan pikirannya dengan cara ini, para bhikkhu, jika ia ingin menyatakan dirinya dapat menyatakan dirinya: ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’”

(Sama halnya dengan memberikan pengamatan seksama terhadap ketidakkekalan, dengan cara yang sama juga untuk dukkha, kekosongan dan bukan-diri).<15>

Kemudian para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

3. [Kotbah Pertama tentang Tidak Memahami]<16>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu:

“Tidak memahami bentuk, tidak memiliki pengetahuan sehubungan dengannya, tidak melenyapkan [keinginan terhadap]-nya, [1b] tidak terbebaskan dari keinginan terhadapnya, seseorang tidak dapat melenyapkan dukkha.<17> Dengan cara yang sama tidak memahami perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, tidak memiliki pengetahuan sehubungan dengannya, tidak melenyapkan [keinginan terhadap]-nya, tidak terbebaskan dari keinginan terhadapnya, seseorang tidak dapat melenyapkan dukkha.

“Para bhikkhu, memahami bentuk, memiliki pengetahuan sehubungan dengannya, melenyapkan [keinginan terhadap]-nya, terbebaskan dari keinginan terhadapnya, seseorang dapat melenyapkan dukkha. Dengan cara yang sama memahami perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, memiliki pengetahuan sehubungan dengannya, melenyapkan [keinginan terhadap]-nya, terbebaskan dari keinginan terhadapnya, seseorang dapat melenyapkan dukkha.”<18>

Kemudian para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

4. [Kotbah Kedua tentang Tidak Memahami]<19>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu:

“Tidak memahami bentuk, tidak memiliki pengetahuan sehubungan dengannya, tidak melenyapkan [keinginan terhadap]-nya, tidak terbebaskan dari keinginan terhadapnya, seseorang tidak akan terbebaskan dan tidak dapat melampaui ketakutan terhadap kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian.<20> Dengan cara yang sama tidak memahami perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, tidak melenyapkan [keinginan terhadap]-nya, tidak terbebaskan dari keinginan terhadapnya, seseorang tidak akan terbebaskan dan tidak dapat melampaui ketakutan terhadap kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian.

“Para bhikkhu, memahami bentuk, memiliki pengetahuan sehubungan dengannya, melenyapkan [keinginan terhadap]-nya,<21> terbebaskan dari keinginan terhadapnya, seseorang dapat melampaui ketakutan terhadap kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian.<22> Para bhikkhu, memahaminya, memiliki pengetahuan sehubungan dengannya, terbebaskan dari keinginan dan nafsu terhadapnya, seseorang akan terbebaskan pikirannya dan dapat melampaui ketakutan terhadap kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian.<23> Dengan cara yang sama memahami perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, memiliki pengetahuan sehubungan dengannya, melenyapkan [keinginan terhadap]-nya, terbebaskan dari keinginan dan nafsu terhadapnya, seseorang akan terbebaskan pikirannya dan dapat melampaui ketakutan terhadap kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian.”

Kemudian para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

5. [Kotbah Ketiga tentang Tidak Memahami]<24>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu:

“Seseorang yang menginginkan dan menyenangi bentuk, menginginkan dan menyenangi dukkha. Seseorang yang menginginkan dan menyenangi dukkha tidak akan mencapai pembebasan dari dukkha, tidak akan memiliki pengetahuan dan terbebaskan dari keinginan terhadapnya.<25> Dengan cara yang sama seseorang yang menginginkan dan menyenangi perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran menginginkan dan menyenangi dukkha. Seseorang yang menginginkan dan menyenangi dukkha tidak akan mencapai pembebasan dari dukkha.

“Para bhikkhu, seseorang yang tidak menginginkan atau menyenangi bentuk, tidak menyenangi dukkha. Ia tidak menyenangi dukkha akan mencapai pembebasan dari dukkha. Dengan cara yang sama seseorang tidak menginginkan atau menyenangi perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran tidak menyenangi dukkha. Seseorang yang tidak menyenangi dukkha akan mencapai pembebasan dari dukkha.<26>

“Para bhikkhu, tidak memahami bentuk, tidak memiliki pengetahuan sehubungan dengannya, tidak terbebaskan dari keinginan dan nafsu terhadapnya, pikiran tidak akan terbebaskan. Seseorang yang tidak terbebaskan pikirannya dari nafsu tidak akan dapat melenyapkan dukkha.<27> Dengan cara yang sama tidak memahami perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran,<28> tidak memiliki pengetahuan sehubungan dengannya, tidak terbebaskan dari keinginan dan nafsu terhadapnya, seseorang tidak akan terbebaskan pikirannya dan tidak akan dapat melenyapkan dukkha.

“Memahami bentuk, memiliki pengetahuan sehubungannya, terbebaskan dari keinginan dan nafsu terhadapnya, seseorang akan mencapai pembebasan pikiran dan dapat melenyapkan dukkha.<29> Dengan cara yang sama memahami perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, memiliki pengetahuan sehubungan dengannya, terbebaskan dari keinginan dan nafsu terhadapnya, seseorang akan mencapai pembebasan pikiran dan dapat melenyapkan dukkha.”[1c]

Kemudian para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

6. [Kotbah Keempat tentang Tidak Memahami]<30>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu:

“Tidak memahami bentuk, tidak memiliki pengetahuan sehubungan dengannya, tidak terbebaskan dari keinginan dan nafsu terhadapnya, seseorang tidak akan terbebaskan pikirannya dan tidak akan dapat melampaui ketakutan terhadap kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian. Dengan cara yang sama tidak memahami perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran,<31> tidak memiliki pengetahuan sehubungan dengannya, tidak terbebaskan dari keinginan dan nafsu terhadapnya, seseorang tidak akan terbebaskan pikirannya dan tidak akan dapat melampaui ketakutan terhadap kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian.

“Para bhikkhu, memahami bentuk,<32> memiliki pengetahuan sehubungan dengannya, terbebaskan dari keinginan dan nafsu terhadapnya, seseorang akan terbebaskan pikirannya dan akan dapat melampaui ketakutan terhadap kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian. Dengan cara yang sama memahami perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran,[33] memiliki pengetahuan sehubungan dengannya, terbebaskan dari keinginan dan nafsu terhadapnya, seseorang akan terbebaskan pikirannya dan akan dapat melampaui ketakutan terhadap kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian.”

Kemudian para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

7. [Kotbah tentang Menyenangi Bentuk]<34>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu:

“Seseorang yang menginginkan dan menyenangi bentuk, menginginkan dan menyenangi dukkha. Seseorang yang menginginkan dan menyenangi dukkha tidak akan mencapai pembebasan dar dukkha. Dengan cara yang sama seseorang yang menginginkan dan menyenangi perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran menginginkan dan menyenangi dukkha. Seseorang yang menginginkan dan menyenangi dukkha tidak akan mencapai pembebasan dar dukkha.

“Para bhikkhu, seseorang yang tidak menginginkan atau menyenangi bentuk,<35> tidak menyenangi dukkha. Seseorang yang tidak menyenangi dukkha akan mencapai pembebasan dari dukkha.<36> Dengan cara yang sama seseorang yang tidak menginginkan atau menyenangi perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran tidak menyenangi dukkha. Seseorang yang tidak menyenangi dukkha akan mencapai pembebasan dari dukkha.”

Kemudian para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.<37>

8. [Kotbah tentang Masa Lampau]<38>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu:

“Pada masa lampau bentuk tidak kekal dan pada masa yang akan datang ia akan juga [tidak kekal], apa yang dapat dikatakan tentang bentuk pada masa sekarang!<39> Seorang siswa mulia yang merenungkan seperti ini tidak memperhatikan bentuk pada masa lampau dan tidak bergembira dengan bentuk pada masa yang akan datang.<40> Menjadi kecewa dengan bentuk pada masa sekarang.<41> ia menjadi bebas dari keinginan dan dengan benar berkembang menuju penghentian.

“Dengan cara yang sama pada masa lampau perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran tidak kekal dan pada masa yang akan datang ia akan juga [tidak kekal], apa yang dapat dikatakan tentang kesadaran pada masa sekarang! Seorang siswa mulia yang merenungkan seperti ini tidak memperhatikan kesadaran pada masa lampau dan tidak bergembira dengan kesadaran pada masa yang akan datang.<42> Menjadi kecewa dengan bentuk pada masa sekarang. ia menjadi bebas dari keinginan dan dengan benar berkembang menuju penghentian.”

(Sama halnya dengan ketidakkekalan, dengan cara yang sama juga untuk dukkha, kekosongan dan bukan-diri)<43>

Kemudian para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha,[2a] bergembira dan menerimanya dengan hormat.

9. [Kotbah tentang Kekecewaan]<44>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.<45> Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu:<46>

“Bentuk adalah tidak kekal, apa yang tidak kekal adalah dukkha,<47> apa yang merupakan dukkha adalah bukan-diri, apa yang bukan diri bukan milikku.<48> Seseorang yang merenungkan seperti ini dianggap merenungkan dengan benar dan tepat.<49> Dengan cara yang sama perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah tidak kekal, apa yang tidak kekal adalah dukkha,<50> apa yang merupakan dukkha adalah bukan-diri, apa yang bukan diri bukan milikku.<51> Seseorang yang merenungkan seperti ini dianggap merenungkan dengan benar dan tepat.<52>

“Seorang siswa mulia yang merenungkan seperti ini menjadi kecewa dengan bentuk, kecewa dengan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran.<53> Karena kecewa ia tidak menyenangi [kesadaran], karena tidak menyenangi [kesadaran] ia mencapai pembebasan.<54> Bagi seseorang yang terbebaskan pengetahuan sejati muncul:<55> ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’”<56>

Kemudian para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

10. [Kotbah tentang Terbebaskan]<57>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu:

“Bentuk adalah tidak kekal, apa yang tidak kekal adalah dukkha, apa yang merupakan dukkha adalah bukan-diri, apa yang bukan diri bukan milikku. Seseorang yang merenungkan seperti ini dianggap merenungkan dengan benar dan tepat. Dengan cara yang sama perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah tidak kekal, apa yang tidak kekal adalah dukkha, apa yang merupakan dukkha adalah bukan-diri, apa yang bukan diri bukan milikku. Seseorang yang merenungkan seperti ini dianggap merenungkan dengan benar dan tepat.

“Seorang siswa mulia yang merenungkan seperti ini menjadi terbebaskan dari bentuk, terbebaskan dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran. Aku katakan [seseorang] yang demikian terbebaskan dari kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kesakitan dan kekesalan.”

Kemudian para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.
« Last Edit: 17 June 2015, 06:48:49 PM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (1)
« Reply #2 on: 14 June 2015, 08:25:43 PM »
11. [Kotbah Pertama tentang Sebab dan Kondisi]<58>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu:

“Bentuk adalah tidak kekal. Sebab dan kondisi bagi munculnya bentuk apa pun juga tidak kekal. Bentuk apa pun yang muncul dari sebab yang tidak kekal dan kondisi yang tidak kekal, bagaimana mungkin ia kekal?<59>

“Dengan cara yang sama perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah tidak kekal. Sebab dan kondisi bagi munculnya kesadaran apa pun juga tidak kekal.<60> Kesadaran apa pun yang muncul dari sebab yang tidak kekal dan kondisi yang tidak kekal, bagaimana mungkin ia kekal?

“Para bhikkhu, seperti bentuk ini adalah tidak kekal, perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah tidak kekal, apa yang tidak kekal adalah dukkha, apa yang merupakan dukkha adalah bukan diri, apa yang bukan diri bukan milikku.

“Seorang siswa mulia yang merenungkan seperti ini menjadi kecewa dengan bentuk, kecewa dengan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran. Seseorang yang kecewa tidak menyenangi [kesadaran]. Dengan tidak menyenangi [kesadaran] ia menjadi terbebaskan.[2b] Dengan terbebaskan ia mengetahui dan melihat: ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’”

Kemudian para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

12. [Kotbah Kedua tentang Sebab dan Kondisi]<61>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu:

“Bentuk adalah tidak kekal. Sebab dan kondisi bagi munculnya bentuk apa pun juga tidak kekal. Bentuk apa pun yang muncul dari sebab yang tidak kekal dan kondisi yang tidak kekal, bagaimana mungkin ia kekal?

“Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah tidak kekal. Sebab dan kondisi bagi munculnya kesadaran apa pun juga tidak kekal. Kesadaran apa pun yang muncul dari sebab yang tidak kekal dan kondisi yang tidak kekal, bagaimana mungkin ia kekal?

“Dengan cara yang sama, para bhikkhu, bentuk adalah tidak kekal, perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah tidak kekal, apa yang tidak kekal adalah dukkha, apa yang merupakan dukkha adalah bukan diri, apa yang bukan diri bukan milikku. Seseorang yang merenungkan seperti ini dianggap merenungkan dengan benar dan tepat.

“Seorang siswa mulia yang merenungkan seperti ini menjadi terbebaskan dari bentuk, terbebaskan dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran. Aku katakan ia menjadi sama terbebaskan dari kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, kekhawatiran, dukacita, kesakitan dan kekesalan.”

Kemudian para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

13. [Kotbah Pertama tentang Kepuasan]<62>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu:

“Jika makhluk-makhluk hidup tidak menemukan kepuasan dalam bentuk, mereka tidak akan terkotori oleh bentuk. Karena makhluk-makhluk hidup menemukan kepuasan dalam bentuk, mereka terkotori [oleh bentuk] dan melekat [padanya].<63> Dengan cara yang sama, jika makhluk-makhluk hidup tidak menemukan kepuasan dalam perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, mereka tidak akan terkotori oleh kesadaran. Karena makhluk-makhluk hidup menemukan kepuasan dalam perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, mereka terkotori oleh kesadaran dan melekat [padanya].<64>

“Para bhikkhu, jika makhluk-makhluk hidup tidak mengalami bahaya dalam bentuk, makhluk-makhluk hidup itu tidak akan menjadi kecewa dengan bentuk. Karena makhluk-makhluk hidup [mengalami] bahaya dalam bentuk, makhluk-makhluk hidup itu menjadi kecewa dengan bentuk. Dengan cara yang sama, jika mereka tidak mengalami bahaya dalam perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, makhluk-makhluk hidup itu tidak menjadi kecewa dengan kesadaran. Karena makhluk-makhluk hidup [mengalami] bahaya dalam perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, makhluk-makhluk hidup menjadi kecewa dengan kesadaran.

“Para bhikkhu, jika bagi makhluk-makhluk hidup tidak ada jalan keluar dari bentuk, makhluk-makhluk hidup itu tidak akan melepaskan diri dari bentuk. Karena bagi makhluk-makhluk hidup terdapat suatu jalan keluar dari bentuk, makhluk-makhluk hidup itu melepaskan diri dari bentuk. Dengan cara yang sama, jika bagi makhluk-makhluk hidup tidak ada jalan keluar dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, makhluk-makhluk hidup itu tidak akan melepaskan diri dari kesadaran. Karena bagi makhluk-makhluk hidup terdapat suatu jalan keluar dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, makhluk-makhluk hidup itu melepaskan diri dari kesadaran.[2c]

“Para bhikkhu, sepanjang aku tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati sebagai kepuasan, bahayanya sebagai bahaya dan jalan keluarnya sebagai jalan keluar, di antara para dewa, Māra, Brahmā, pertapa, brahmana dan perkumpulan para dewa dan manusia aku tidak terbebaskan, tidak melampaui, tidak terlepas, selamanya berdiam dalam penyimpangan [batin] dan tidak dapat menyatakan diriku sendiri telah mencapai pencerahan sempurna yang tertinggi.<65>

“Para bhikkhu, karena aku telah memahami sebagaimana adanya kepuasan sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati sebagai kepuasan, bahayanya sebagai bahaya dan jalan keluarnya sebagai jalan keluar, di antara para dewa, Māra, Brahmā, pertapa, brahmana dan perkumpulan para dewa dan manusia aku dapat menyatakan diriku sendiri telah mencapai pembebasan, telah mencapai yang melampaui, telah mencapai jalan keluar dan telah mencapai pembebasan dari belenggu, selamanya tidak berdiam dalam penyimpangan [batin] dan aku dapat menyatakan diriku sendiri telah mencapai pencerahan sempurna yang tertinggi.”

Kemudian para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

14. [Kotbah Kedua tentang Kepuasan]<66>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu:

“Pada masa lampau aku berdiam mencari kepuasan sehubungan dengan bentuk. Oleh karena itu, aku menyadari kepuasan sehubungan dengan bentuk dan melihat dengan pengetahuan dan kebijaksanan sebagaimana adanya kepuasan sehubungan dengan bentuk.<67> Dengan cara yang sama aku berdiam mencari kepuasan sehubungan dengan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran. Oleh karena itu, aku menyadari kepuasan sehubungan dengan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran dan melihat dengan pengetahuan dan kebijaksanaan sebagaimana adanya kepuasan sehubungan dengan kesadaran.<68>

“Para bhikkhu, aku berdiam mencari bahaya sehubungan dengan bentuk. Oleh karena itu, aku menyadari bahaya sehubungan dengan bentuk dan melihat dengan pengetahuan dan kebijaksanaan sebagaimana adanya bahaya sehubungan dengan bentuk. Dengan cara yang sama aku berdiam mencari bahaya sehubungan dengan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran. Oleh karena itu, aku menyadari bahaya sehubungan dengan kesadaran dan melihat dengan pengetahuan dan kebijaksanaan sebagaimana adanya bahaya sehubungan dengan kesadaran.

“Para bhikkhu, aku berdiam mencari jalan keluar dari bentuk. Oleh karena itu, aku menyadari jalan keluar dari bentuk dan melihat dengan pengetahuan dan kebijaksanaan sebagaimana adanya jalan keluar dari bentuk. Dengan cara yang sama aku berdiam mencari jalan keluar dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran. Oleh karena itu, aku menyadari jalan keluar dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran dan melihat dengan pengetahuan dan kebijaksanaan sebagaimana adanya jalan keluar dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran.

“Para bhikkhu, [sepanjang] aku tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati sebagai kepuasan, bahayanya sebagai bahaya dan jalan keluarnya sebagai jalan keluar, di antara para dewa, Māra, Brahmā, pertapa, brahmana dan perkumpulan para dewa dan manusia aku tidak terbebaskan, tidak terlepas, tidak melampaui, selamanya berdiam dalam penyimpangan [batin] dan tidak dapat menyatakan diriku sendiri telah mencapai pencerahan sempurna yang tertinggi.<69>

“Para bhikkhu, karena aku telah memahami sebagaimana adanya kepuasan sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati sebagai kepuasan, bahayanya sebagai bahaya dan jalan keluarnya sebagai jalan keluar, di antara para dewa, Māra, Brahmā, pertapa, brahmana dan perkumpulan para dewa dan manusia aku telah terbebaskan, <70> [3a] telah terlepas, telah melampaui, selamanya tidak berdiam dalam penyimpangan [batin] dan dapat menyatakan diriku sendiri telah mencapai pencerahan sempurna yang tertinggi.”

Kemudian para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.<71>

15. [Kotbah tentang Kecenderungan yang Mendasari]<72>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu seorang bhikkhu tertentu mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki Sang Buddha, mundur untuk berdiri pada satu sisi dan berkata kepada Sang Buddha:

“Akan baik jika Sang Bhagava sekarang mengajarkanku intisari Dharma secara ringkas. Dengan mendengarkan Dharma itu aku akan berlatih sendiri di tempat yang tenang tanpa lalai. Setelah berlatih tanpa lalai aku pada gilirannya akan merenungkan tentang hal itu demi kepentingan di mana seorang putra perumah tangga meninggalkan keduniawian, mencukur janggut dan rambutnya serta mengenakan jubah Dharma di tubuhnya, demi keyakinan meninggalkan rumah menuju keadaan tanpa rumah untuk kehidupan suci tertinggi yang tiada bandingnya, dengan menyadari di sini dan saat ini bahwa ‘kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’”<73>

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada bhikkhu itu: “Bagus, bagus, bhikkhu, bahwa engkau dengan tepat mengatakan kata-kata ini, dengan mengatakan: ‘Akankah anda mengajarkanku intisari Dharma secara ringkas. Dengan mendengarkan Dharma itu aku akan berlatih sendiri di tempat yang tenang tanpa lalai... sampai dengan... mengetahui sendiri bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’ Apakah kamu berkata seperti ini?” Sang bhikkhu berkata kepada Buddha: “Demikianlah, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Dengarkanlah, dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama pada apa yang akan Ku-katakan padamu. Bhikkhu, jika seseorang menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari, ia menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian.<74> Jika seseorang menyerah pada [kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika] kematian, ia terikat oleh kemelekatan.<75> Bhikkhu, jika seseorang tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari, ia tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian. Jika seseorang tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian, ia terbebaskan dari kemelekatan.” Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Aku paham, Sang Bhagava, aku memahami Sang Tathagata!”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Bagaimanakah engkau memahami sepenuhnya makna dari ajaran yang Ku-ucapkan di sini dengan ringkas?” Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagava, dengan menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dari bentuk, seseorang menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari [terhadap] bentuk ketika kematian. Seseorang yang menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dan menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian terikat oleh kemelekatan. Dengan cara yang sama dengan menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, seseorang menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian. Seseorang yang menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dan menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian terikat oleh kemelekatan.

“Sang Bhagava, jika seseorang tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dari bentuk, ia tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian. Seseorang yang tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dan tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian terikat oleh kemelekatan. Dengan cara yang sama [jika] seseorang tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, ia tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian.<76> Seseorang yang tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dan tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian terbebaskan dari kemelekatan.<77> Sang Bhagava, dengan cara ini aku memahami sepenuhnya makna dari ajaran yang diucapkan di sini secara ringkas.”<78> [3b]

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Bagus, bagus, bhikkhu, bahwa engkau memahami sepenuhnya makna dari ajaran yang Ku-ucapkan di sini secara ringkas. Mengapa?<79> Dengan menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dari bentuk, seseorang menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian. Seseorang yang menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dan menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian terikat oleh kemelekatan. Dengan cara yang sama dengan menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, seseorang menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian.<80> Seseorang yang menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dan menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian terikat oleh kemelekatan.

“Bhikkhu, jika seseorang tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dari bentuk, ia tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian.<81> Seseorang yang tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dan tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian terbebaskan dari kemelekatan. Dengan cara yang sama, [jika] seseorang tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, ia tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian. Seseorang yang tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dan tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian terbebaskan dari kemelekatan.”<82>

Kemudian, ketika mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, pikiran bhikkhu itu sangat bergembira. Ia memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan mengundurkan diri. Dengan berlatih sendiri di suatu tempat yang tenang dengan ketekunan ia berkembang di dalamnya [yaitu tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari] tanpa kelalaian.<83> Setelah berlatih dengan tekun dan berkembang di dalamnya tanpa kelalaian,<84> ia [dapat] merenungkan tentang itu demi kepentingan di mana seorang putra perumah tangga meninggalkan keduniawian, mencukur janggut dan rambutnya serta mengenakan jubah Dharma pada tubuhnya, demi keyakinan meninggalkan rumah menuju keadaan tanpa rumah... [sampai dengan]... ia sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.<85> Kemudian, bhikkhu itu menjadi seorang arahant,<86> dengan mencapai pembebasan pikiran.

16. [Kotbah tentang Disebut]<87>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.<88> Pada waktu itu seorang bhikkhu tertentu mendekati Sang Buddha... (bertanya seperti di atas, dengan perbedaan ini): <89>

“Seseorang yang menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasar dan menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian disebut [sesuai dengan itu].<90> Seseorang yang tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasar dan tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian disebut [sesuai dengan itu]”<91>...

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Bagaimana engkau memahami sepenuhnya makna dari ajaran yang Ku-ucapkan di sini secara ringkas?”<92> Kemudian bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagava, dengan menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dari bentuk, seseorang menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian. Seseorang yang menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian disebut [sesuai dengan itu].<93> Dengan cara yang sama dengan menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, seseorang menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian. Seseorang yang menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian disebut [sesuai dengan itu].<94>

“Sang Bhagava, jika seseorang tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dari bentuk, ia tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian. Seseorang yang tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian tidak disebut [sesuai dengan itu]. Dengan cara yang sama [jika] seseorang tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, ia tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian. Ia yang tidak menyerah pada kecenderungan-kecenderungan yang mendasari ketika kematian tidak disebut [sesuai dengan itu].<95> Sang Bhagava, dengan cara ini aku memahami sepenuhnya makna dari ajaran yang diucapkan di sini secara ringkas.”<96>

(Dengan cara yang sama sampai dengan)... menjadi seorang arahant, dengan mencapai pembebasan pikiran.<97>
« Last Edit: 14 June 2015, 09:19:32 PM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (1)
« Reply #3 on: 14 June 2015, 08:28:25 PM »
17. [Kotbah tentang Bukan Milik Diri Sendiri]<98>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Seorang bhikkhu tertentu berdiri dari tempat duduknya, membuka bahu kanannya dan dengan kedua telapak tangan disatukan berkata kepada Sang Buddha: [3c]

“Akan baik jika Sang Bhagava mengajarkanku intisari Dharma secara ringkas. Setelah mendengarkan Dharma itu aku akan menyendiri dan di tempat yang tenang merenungkannya dengan semangat. Dengan berkembang di dalamnya tanpa kelalaian aku akan [merenungkan] tentang hal itu demi kepentingan di mana seorang putra perumah tangga meninggalkan keduniawian, mencukur janggut dan rambutnya serta mengenakan jubah Dharma di tubuhnya, demi keyakinan meninggalkan rumah menuju keadaan tanpa rumah untuk kehidupan suci tertinggi yang tiada bandingnya, dengan menyadari di sini dan saat ini bahwa ‘kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’”

Pada waktu itu Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Bagus, bagus, bahwa engkau berkata seperti ini: ‘Sang Bhagava, ajarkanlah aku intisari Dharma secara ringkas. Setelah diajarkan Dharma di sini secara ringkas dan sepenuhnya memahami maknanya, aku akan menyendiri dan di tempat yang tenang merenungkannya dengan semangat. Dengan berkembang di dalamnya tanpa kelalaian... sampai dengan... mengetahui sendiri bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’ Apakah engkau mengatakan seperti ini?” Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Demikianlah, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Dengarkanlah, dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama pada apa yang akan Ku-katakan kepadamu. Bhikkhu, apa pun hal-hal yang bukan milikmu, mereka seharusnya dengan cepat dilenyapkan dan dilepaskan.<99> Setelah melenyapkan hal-hal itu, itu akan menjadi keuntungan dan kesejahteraanmu, kedamaian dan kebahagiaanmu untuk waktu yang lama.”<100> Kemudian bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Aku paham, Sang Bhagava, Aku memahami Sang Tathagata!”<101>

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Bagaimana engkau memahami sepenuhnya makna dari ajaran yang Ku-ucapkan di sini secara ringkas?” <102> Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagava, bentuk bukan milikku, ia seharusnya dengan cepat dilenyapkan dan dilepaskan.<103> Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran bukan milikku, ia seharusnya dengan cepat dilenyapkan dan dilepaskan. Ini akan menjadi keuntungan dan kesejahteraanku, kedamaian dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama. Sang Bhagava, demikianlah aku memahami sepenuhnya makna dari ajaran yang diucapkan di sini secara ringkas.”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Bagus, bagus, bhikkhu, bahwa engkau memahami sepenuhnya makna dari ajaran yang Ku-ucapkan di sini secara ringkas. Mengapa demikian? Bentuk bukan milikmu, ia seharusnya dengan cepat dilenyapkan dan dilepaskan. Dengan cara yang sama perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran bukan milikmu, ia seharusnya dengan cepat dilenyapkan dan dilepaskan. Setelah melenyapkan dan melepaskannya, itu akan menjadi keuntungan dan kesejahteraanmu, kedamaian dan kebahagiaanmu untuk waktu yang lama.”

Kemudian, ketika mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, pikiran bhikkhu itu sangat bergembira. Ia memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan mengundurkan diri. Dengan berlatih sendiri di tempat yang tenang dengan tekun ia berkembang di dalamnya tanpa kelalaian. Setelah melatihnya dengan tekun dan berkembang di dalamnya tanpa kelalaian ia [dapat] merenungkan tentang hal itu demi kepentingan di mana seorang putra perumah tangga meninggalkan keduniawian, mencukur janggut dan rambutnya serta mengenakan jubah Dharma di tubuhnya, demi keyakinan meninggalkan rumah menuju keadaan tanpa rumah... sampai dengan... ia sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi. Kemudian bhikkhu itu menjadi seorang arahant, dengan mencapai pembebasan pikiran.

18. [Kotbah tentang Bukan Milik Orang Lain]<104>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Seorang bhikkhu tertentu berdiri dari tempat duduknya, membuka bahu kanannya dan memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan mengundurkan diri untuk berdiri di satu sisi.[4a] Ia berkata kepada Sang Buddha:

“Akan baik jika Sang Bhagava mengajarkanku intisari Dharma secara ringkas. Setelah mendengarkan Dharma itu aku akan menyendiri dan di tempat yang tenang merenungkannya dengan semangat. Dengan berkembang di dalamnya tanpa kelalaian... sampai dengan... mengetahui sendiri bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi’.”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Bagus, bagus, bahwa engkau berkata seperti ini: ‘Sang Bhagava, ajarkanlah aku intisari Dharma secara ringkas. Setelah mendengarkan Dharma itu, aku akan menyendiri dan di tempat yang tenang merenungkannya dengan semangat. Dengan berkembang di dalamnya tanpa kelalaian... sampai dengan... mengetahui sendiri bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’ Apakah seperti ini?” Kemudian bhikkhu itu kepada Sang Buddha: “Demikianlah, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Dengarkanlah, dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama apa yang akan Ku-katakan kepadamu. Apa pun yang bukan milikmu dan bukan milik orang lain, hal-hal ini seharusnya dengan cepat dilenyapkan dan dilepaskan. Setelah melenyapkan hal-hal itu, itu akan menjadi keuntungan dan kesejahteraanmu, kedamaian dan kebahagiaanmu untuk waktu yang lama.”<105> Kemudian bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Aku paham, Sang Bhagava, aku memahami Sang Tathagata!”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Bagaimana engkau memahami sepenuhnya makna dari ajaran yang Ku-ucapkan di sini secara ringkas?” Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagava, bentuk bukan diri, ia bukan milikku dan bukan milik orang lain. Hal ini seharusnya dengan cepat dilenyapkan dan dilepaskan. Setelah melenyapkan hal itu, itu akan menjadi keuntungan dan kesejahteraanku, kedamaianku untuk waktu yang lama. Dengan cara yang sama perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran bukan diri, ia bukan milikku dan bukan milik orang lain. Ia seharusnya dengan cepat dilenyapkan dan dilepaskan. Setelah melenyapkan hal itu, itu akan menjadi keuntungan dan kesejahteraanku, kedamaian dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama. Sang Bhagava, demikianlah aku memahami sepenuhnya makna dari ajaran yang diucapkan di sini secara ringkas.”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Bagus, bagus, bagaimana engkau memahami sepenuhnya makna dari ajaran yang Ku-ucapkan di sini secara ringkas. Mengapa demikian? Bhikkhu, bentuk bukan diri, ia bukan milik diri sendiri dan bukan milik orang lain. Hal ini seharusnya dengan cepat dilenyapkan dan dilepaskan. Setelah melenyapkan hal itu, itu akan menjadi keuntungan dan kesejahteraan orang itu, kedamaian dan kebahagiaan orang itu untuk waktu yang lama. Dengan cara yang sama perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran bukan diri, ia bukan milik diri sendiri dan bukan milik orang lain. Hal ini seharusnya dengan cepat dilenyapkan dan dilepaskan. Setelah melenyapkan hal itu, itu akan menjadi keuntungan dan kesejahteraan orang itu, kedamaian dan kebahagiaan orang itu untuk waktu yang lama.”

Kemudian, ketika mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, pikiran bhikkhu itu sangat bergembira. Ia memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan mengundurkan diri. Dengan berlatih sendiri di tempat yang tenang dengan tekun ia berkembang di dalamnya tanpa kelalaian... sampai dengan... ia sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi. Kemudian bhikkhu itu, dengan mencapai pembebasan pikiran, menjadi seorang arahant.

19. [Kotbah tentang Terikat oleh Belenggu]<106>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Seorang bhikkhu tertentu bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan berkata kepada Sang Buddha:

“[Semoga] Sang Bhagava mengajarkanku intisari Dharma secara ringkas. Setelah mendengarkan Dharma itu aku akan menyendiri dan di tempat yang tenang merenungkannya dengan semangat, dengan berkembang di dalamnya tanpa kelalaian. Setelah berkembang di dalamnya tanpa kelalaian, aku akan merenungkan tentang hal itu demi kepentingan di mana seorang putra perumah tangga dari keyakinan yang benar meninggalkan rumah menuju keadaan tanpa rumah... sampai dengan... aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’”

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada bhikkhu itu: “Bagus, bagus, bahwa engkau berkata seperti ini: ‘Akan baik jika Sang Bhagava mengajarkanku intisari Dharma secara ringkas. Setelah mendengarkan Dharma itu, aku akan menyendiri dan di tempat yang tenang merenungkannya dengan semangat, dengan berkembang di dalamnya tanpa kelalaian... sampai dengan... mengetahui sendiri bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’ Apakah seperti ini?” Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Demikianlah, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Dengarkanlah, dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama apa yang akan Ku-katakan kepadamu. Bhikkhu, belenggu-belenggu dan apa yang memiliki sifat membuatmu dalam ikatan seharusnya dengan cepat dilepaskan dan dilenyapkan.<107> Setelah melenyapkan hal itu, itu akan menjadi keuntungan dan kesejahteraanmu, kedamaian dan kebahagiaanmu untuk waktu yang lama.” Kemudian bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Aku paham, Sang Bhagava, aku memahami Sang Tathagata!”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Bagaimana engkau memahami sepenuhnya makna dari ajaran yang Ku-ucapkan di sini secara ringkas?” Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagava, bentuk adalah suatu belenggu dan memiliki sifat membuatku dalam ikatan. Belenggu ini dan sifatnya yang membuatku dalam ikatan seharusnya dengan cepat dilepaskan dan dilenyapkan. Setelah melenyapkan hal itu, itu akan menjadi keuntungan dan kesejahteraanku, kedamaian dan kebahagiaanku untuk waktu yang lama. Dengan cara yang sama perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah suatu belenggu dan memiliki sifat membuatku dalam ikatan. Belenggu ini dan sifatnya yang membuatku dalam ikatan seharusnya dilepaskan dan dilenyapkan. Setelah melenyapkan hal itu, itu akan menjadi keuntungan dan kesejahteraanku, kedamaianku untuk waktu yang lama. Sang Bhagava, demikianlah aku memahami sepenuhnya makna dari ajaran yang diucapkan di sini secara ringkas.”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Bagus, bagus, bahwa engkau memahami sepenuhnya makna dari ajaran yang Ku-ucapkan di sini secara ringkas. Mengapa demikian? Bentuk adalah suatu belenggu dan memiliki sifat membuatmu dalam ikatan. Hal ini seharusnya dilenyapkan dan dilepaskan. Setelah melenyapkan hal itu, itu akan menjadi keuntungan dan kesejahteraanmu, kedamaian dan kebahagiaanmu untuk waktu yang lama. Dengan cara yang sama perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah suatu belenggu dan memiliki sifat membuatmu dalam ikatan. Hal ini seharusnya dengan cepan dilenyapkan dan dilepaskan. Setelah melenyapkan hal itu, itu akan menjadi keuntungan dan kesejahteraanmu, kedamaian dan kebahagiaanmu untuk waktu yang lama.”

Kemudian, ketika mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, pikiran bhikkhu itu sangat bergembira. Ia memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan mengundurkan diri. Dengan merenungkan sendiri di tempat yang tenang dengan tekun ia berkembang di dalamnya tanpa kelalaian... sampai dengan... dengan mencapai pembebasan pkiran ia menjadi seorang arahant.

20. [Kotbah tentang Terkotori]

Kotbah tentang <Terkotori> seharusnya juga diucapkan seperti ini.<108>

21. [Kotbah tentang Menjadi Gelisah]<109>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Seorang bhikkhu tertentu bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan berkata kepada Sang Buddha:

“[Semoga] Sang Bhagava mengajarkanku intisari Dharma secara ringkas. Setelah mendengarkan Dharma itu aku akan menyendiri dan di tempat yang tenang merenungkannya dengan semangat. Setelah berkembang di dalamnya tanpa kelalaian,[4c] aku akan merenungkan tentang hal itu demi kepentingan di mana seorang putra perumah tangga dari keyakinan yang benar meninggalkan keduniawian menuju keadaan tanpa rumah... sampai dengan... mengetahui sendiri bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’”

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada bhikkhu itu: “Bagus, bagus, bahwa engkau berkata seperti ini: ‘Akan baik jika Sang Bhagava mengajarkanku intisari Dharma secara ringkas. Setelah mendengarkan Dharma itu, aku akan menyendiri dan di tempat yang tenang merenungkannya dengan semangat. Dengan berkembang di dalamnya tanpa kelalaian... sampai dengan... mengetahui sendiri bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’ Apakah seperti ini?” Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Demikianlah, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Dengarkanlah, dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama apa yang akan Ku-katakan kepadamu. Bhikkhu, pada saat menjadi gelisah, seseorang terikat oleh Māra. Jika seseorang tidak gelisah, ia bebas dari Si Jahat.”<110> Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Aku paham, Sang Bhagava, aku memahami Sang Tathagata!”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Bagaimana engkau memahami sepenuhnya makna dari ajaran yang Ku-ucapkan di sini secara ringkas?” Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagava, pada saat menjadi gelisah oleh bentuk, seseorang terikat oleh Māra. Jika seseorang tidak gelisah, ia bebas dari Si Jahat. Dengan cara yang sama pada saat menjadi gelisah oleh perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, seseorang terikat oleh Māra. Jika seseorang tidak gelisah, ia bebas dari Si Jahat. Sang Bhagava, demikianlah aku memahami sepenuhnya makna dari ajaran yang diucapkan di sini secara ringkas.”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Bagus, bagus, bahwa engkau memahami sepenuhnya makna dari ajaran yang Ku-ucapkan di sini secara ringkas. Mengapa demikian? Pada saat menjadi gelisah oleh bentuk, seseorang terikat oleh Māra. Jika seseorang tidak gelisah, ia bebas dari Si Jahat. Dengan cara yang sama, pada saat menjadi gelisah oleh perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, seseorang terikat oleh Māra. Jika seseorang tidak gelisah, ia bebas dari Si Jahat.”

... sampai dengan... ia sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi... dengan mencapai pembebasan pikiran ia menjadi seorang arahant.

22. [Kotbah tentang Pertanyaan Kappa]<111>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu terdapat seorang bhikkhu bernama Kappa yang mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki [Sang Buddha], mengundurkan diri untuk berdiri pada satu sisi dan berkata kepada Sang Buddha:

“Seperti yang telah Sang Bhagava katakan tentang pikiran seorang bhikkhu yang telah terbebaskan dengan baik – Sang Bhagava, bagaimanakah pikiran seorang bhikkhu yang telah terbebaskan dengan baik itu?”<112>
Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada bhikkhu itu: “Bagus, bagus, bahwa engkau dapat menanyakan Sang Tathāgata tentang pikiran yang terbebaskan dengan baik. Ini bagus, Kappa. Dengarkanlah, dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama apa yang akan Ku-katakan kepadamu.

“Kappa, engkau seharusnya merenungkan dengan pemahaman bahwa apa pun bentuk, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua [bentuk], setiap hal darinya, adalah tidak kekal. Setelah dengan benar merenungkannya sebagai tidak kekal, engkau akan melenyapkan ketagihan terhadap bentuk. Setelah melenyapkan ketagihan terhadap bentuk, pikiranmu akan terbebaskan dengan baik.[5a]

“Dengan cara yang sama dengan merenungkan [apa pun] perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua [kesadaran], setiap hal darinya, adalah tidak kekal. Setelah dengan benar merenungkannya sebagai tidak kekal, engkau akan melenyapkan ketagihan terhadap kesadaran. Setelah melenyapkan ketagihan terhadap kesadaran, Aku katakan, pikiranmu akan terbebaskan dengan baik.

“Kappa, seorang bhikkhu yang dengan cara ini telah membebaskan pikirannya dengan baik disebut oleh Sang Tathāgata telah membebaskan pikirannya dengan baik. Mengapa demikian? Karena telah melenyapkan ketagihan dan keinginan. Seseorang yang telah melenyapkan ketagihan dan keinginan disebut oleh Sang Tathāgata telah membebaskan pikiran dengan baik.”

Kemudian, ketika mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, pikiran bhikkhu itu sangat bergembira. Ia memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan mengundurkan diri. Pada waktu itu bhikkhu Kappa, setelah menerima pengajaran Sang Buddha, dengan merenungkannya sendiri di tempat yang tenang dengan tekun dan dengan berkembang di dalamnya tanpa kelalaian... sampai dengan... ia sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi. Setelah membebaskan pikiran dengan baik ia menjadi seorang arahant.
« Last Edit: 14 June 2015, 09:19:53 PM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (1)
« Reply #4 on: 14 June 2015, 08:35:46 PM »
23. [Kotbah Pertama tentang Pertanyaan Rāhula]<113>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, Tempat Memberi Makan Tupai. Pada waktu itu Yang Mulia Rāhula mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki [Sang Buddha] dan mengundurkan diri untuk berdiri pada satu sisi. Ia berkata kepada Sang Buddha:

“Sang Bhagava, dengan mengetahui apakah, dengan melihat apakah sehubungan dengan tubuhku ini dengan kesadaran dan [sehubungan dengan] objek-objek eksternal dan ciri apa pun memungkinkan bahwa tidak ada [pemikiran tentang] aku, memandang sebagai milikku atau dari kecenderungan yang mendasari, belenggu dan kemelekatan pada kesombongan-aku?”

Sang Buddha berkata kepada Rāhula: “Bagus, bagus, bahwa engkau dapat bertanya kepada Sang Tathāgata: ‘Dengan mengetahui apakah, dengan melihat apakah sehubungan dengan tubuhku dengan kesadaran dan [sehubungan dengan] objek-objek eksternal dan ciri apa pun tidak akan ada [pemikiran dari] aku, memandang sebagai milikku atau dari kecenderungan yang mendasari, belenggu dan kemelekatan pada kesombongan-aku?’ Apakah seperti ini?” Rāhula berkata kepada Sang Buddha: “Demikianlah, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata kepada Rāhula: “Bagus. Dengarkanlah, dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama apa yang akan Ku-katakan kepadamu. Rāhula, engkau seharusnya merenungkan apa pun bentuk, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua [bentuk] demikian, setiap hal darinya, adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [dalam diri ataupun suatu diri] ada [di dalamnya].<114> Dengan cara ini ia seharusnya dengan benar direnungkan dengan kebijaksanaan yang seimbang.

“Dengan cara yang sama [apa pun] perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua [kesadaran] demikian, setiap hal darinya, adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [dalam diri ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Dengan cara ini ia seharusnya dengan benar direnungkan dengan kebijaksanaan yang seimbang sebagaimana adanya.

“Dengan cara ini, Rāhula, seorang bhikkhu mengetahui seperti ini dan melihat seperti ini. Bagi seseorang yang mengetahui seperti ini dan melihat seperti ini sehubungan dengan tubuh ini dengan kesadaran dan [sehubungan dengan] objek-objek eksternal dan ciri apa pun tidak akan ada [pemikiran tentang] aku, dengan memandang sebagai milikku atau kecenderungan yang mendasari, belenggu dan kemelekatan pada kesombongan-aku.<115>

“Rāhula, jika dengan cara ini bagi seorang bhikkhu sehubungan dengan tubuh ini dengan kesadaran dan [sehubungan dengan] objek-objek eksternal dan ciri apa pun tidak akan ada [pemikiran tentang] aku, [5b] dengan memandang sebagai milikku atau kecenderungan yang mendasari, belenggu dan kemelekatan pada kesombongan-aku, bhikkhu itu disebut telah melenyapkan ketagihan dan keinginan, telah berbalik dan meninggalkan semua ikatan, dengan benar memahami<116> terlampauinya dukkha yang tiada bandingnya.”

Kemudian Rāhula, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.

24. [Kotbah Kedua tentang Pertanyaan Rāhula]<117>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, Tempat Memberi Makan Tupai. Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada Rāhula [dan para bhikkhu]:

“Para bhikkhu, dengan mengetahui apakah, melihat apakah sehubungan dengan tubuhku ini dengan kesadaran dan [sehubungan dengan] objek-objek eksternal dan ciri apa pun tidak akan ada [pemikiran tentang] aku, dengan memandang sebagai milikku dan kecenderungan yang mendasari, belenggu dan kemelekatan pada kesombongan-aku?”

Rāhula berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagava adalah guru dari Dharma, yang merupakan pembimbing dan tempat perlindungannya. Akan baik jika Sang Bhagava menyampaikan penjelasan dari makna [dari pernyataan ini] kepada para bhikkhu. Setelah mendengarkannya dari Sang Buddha, para bhikkhu akan mengingatnya dan menerimanya dengan hormat.”

Sang Buddha berkata kepada Rāhula: “Dengarkanlah, dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama apa yang akan Ku-katakan kepadamu.” Rāhula berkata kepada Sang Buddha: “Sesungguhnya, kami [siap] menerima pengajaran.”

Sang Buddha berkata kepada Rāhula: “Engkau seharusnya merenungkan apa pun bentuk, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua [bentuk] demikian adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [di dalam diri ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Dengan cara ini ia seharusnya direnungkan dengan kebijaksanaan yang seimbang sebagaimana adanya.”

“Dengan cara yang sama [apa pun] perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua [kesadaran] demikian adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [di dalam diri ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Dengan cara ini ia seharusnya direnungkan dengan kebijaksanaan yang seimbang sebagaimana adanya.

“Para bhikkhu, dengan mengetahui seperti ini dan melihat seperti ini sehubungan dengan tubuhku dengan kesadaran ini dan [sehubungan dengan] objek-objek eksternal dan ciri apa pun tidak akan ada [pemikiran tentang] aku, dengan memandang sebagai milikkku dan kecenderungan yang mendasari, belenggu dan kemelekatan pada kesombongan-aku.”<118>

“Rāhula, [ketika] dengan cara ini sehubungan dengan tubuh ini dengan kesadaran dan [sehubungan dengan] objek-objek eksternal dan ciri apa pun tidak ada [pemikiran tentang] aku, dengan memandang sebagai milikku dan kecenderungan yang mendasari, belenggu dan kemelekatan pada kesombongan-aku, [kemudian] seorang bhikkhu melampaui keraguan dalam pikirannya, jauh dari semua ciri, menjadi damai dan terbebaskan. Seorang bhikkhu demikian disebut telah melenyapkan dan memusnahkan ketagihan dan keinginan, telah berbalik dan meninggalkan semua ikatan, dengan benar memahami terlampauinya dukkha yang tiada bandingnya.”

Kemudian Rāhula [dan para bhikkhu], yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.<119>

25. [Kotbah tentang Terpelajar]<120>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian seorang bhikkhu tertentu mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan mengundurkan diri untuk berdiri pada satu sisi. [5c] Ia berkata kepada Sang Buddha: “Seperti yang telah Sang Bhagava katakan tentang terpelajar – bagaimana seseorang [menjadi] terpelajar?”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Bagus, bagus. Engkau sekarang bertanya kepada-Ku makna dari terpelajar. Apakah seperti ini?” Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Benar, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama apa yang akan Ku-katakan kepadamu. Bhikkhu, engkau seharusnya mengetahui bahwa mendengar di mana kekecewaan dengan bentuk muncul, di mana seseorang bebas dari keinginan terhadapnya, di mana terdapat lenyapnya dan keadaan damai, ini disebut sebagai terpelajar. Dengan cara yang sama mendengar di mana kekecewaan dengan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran muncul, di mana seseorang bebas dari keinginan terhadapnya, di mana terdapat lenyapnya dan keadaan damai, ini disebut sebagai terpelajar.”

Kemudian bhikkhu itu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, dipenuhi kegembiraan, memberikan penghormatan dan pergi.

26. [Kotbah tentang Mengajarkan Dharma dengan Baik]<121>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu seorang bhikkhu tertentu mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan pada kaki [Sang Buddha] dan mengundurkan diri untuk berdiri pada satu sisi. Ia berkata kepada Sang Buddha: “Seperti yang telah Sang Bhagava katakan tentang menjadi seorang guru Dharma – bagaimanakah seseorang disebut sebagai seorang guru Dharma?”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Bagus, bagus. Engkau sekarang ingin mengetahui makna dari apa yang dikatakan Sang Tathāgata sebagai seorang guru Dharma. Apakah seperti ini?” Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Benar, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama apa yang akan Ku-katakan kepadamu.” Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Jika dengan mengajarkan tentang bentuk kekecewaan muncul, seseorang bebas dari keinginan terhadap [bentuk] dan terdapat lenyapnya dan keadaan damai, ini disebut menjadi seorang guru Dharma.<122> Jika dengan mengajarkan tentang perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran kekecewaan muncul, seseorang bebas dari keinginan terhadap [kesadaran] dan terdapat lenyapnya dan keadaan damai, ini disebut menjadi seorang guru Dharma. Ini disebut apa yang dinyatakan Sang Tathāgata sebagai seorang guru Dharma.”

Kemudian bhikkhu itu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, dipenuhi dengan kegembiraan, memberikan penghormatan dan pergi.

27. [Kotbah tentang Maju dalam Dharma]<123>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu seorang bhikkhu tertentu mendekati Sang Buddha. Memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki [Sang Buddha] dan mengundurkan diri untuk berdiri pada satu sisi. Ia berkata kepada Sang Buddha: “Seperti yang telah Sang Bhagava katakan tentang maju dalam Dharma sesuai dengan Dharma – bagaimanakah seseorang maju dalam Dharma menurut Dharma?”<124>

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Bagus, bagus. Engkau ingin mengetahui bagaimana maju dalam Dharma menurut Dharma. Apakah seperti ini?” Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Benar, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama apa yang akan Ku-katakan kepadamu. Bhikkhu, maju menuju kekecewaan sehubungan dengan bentuk, menuju terbebaskannya dari keinginan terhadapnya, menuju lenyapnya, ini disebut maju dalam Dharma menurut Dharma.<125> Dengan cara yang sama maju menuju kekecewaan sehubungan dengan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, menuju terbebaskannya dari keinginan terhadapnya, menuju lenyapnya, ini disebut maju dalam Dharma menurut Dharma.”

Kemudian bhikhu itu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, dipenuhi dengan kegembiraan, memberikan penghormatan dan pergi.

28. [Kotbah tentang Nirvāṇa]<126>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. [6a] Pada suatu ketika seorang bhikkhu tertentu mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki [Sang Buddha] dan mengundurkan diri untuk berdiri pada satu sisi. Ia berkata kepada Sang Buddha: “Seperti yang telah Sang Bhagava katakan tentang mencapai Nirvāṇa di sini dan saat ini – bagaimanakah seorang bhikkhu mencapai Nirvāṇa di sini dan saat ini?”<127>

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Bagus, bagus. Engkau sekarang ingin mengetahui tentang Nirvāṇa di sini dan saat ini. Apakah seperti ini?” Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Benar, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama apa yang akan Ku-katakan kepadamu.” Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Dengan membangkitkan kekecewaan terhadap bentuk, terbebaskan dari keinginan terhadapnya, [maju menuju] lenyapnya, tanpa memunculkan arus, pikiran terbebaskan dengan benar. Ini disebut bagaimana seorang bhikkhu [mencapai] Nirvāṇa di sini dan saat ini. Dengan cara yang sama dengan membangkitkan kekecewaan terhadap perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, terbebaskan dari keinginan terhadapnya, [maju menuju] lenyapnya, tanpa memunculkan arus, pikiran terbebaskan dengan benar. Ini disebut bagaimana seorang bhikkhu [mencapai] Nirvāṇa di sini dan saat ini.”

Kemudian bhikkhu itu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, dipenuhi dengan kegembiraan, memberikan penghormatan dan pergi.
« Last Edit: 14 June 2015, 09:20:13 PM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (1)
« Reply #5 on: 14 June 2015, 08:40:39 PM »
29. [Kotbah tentang Samiddhi Bertanya Bagaimana Berkata sebagai seorang Guru Dharma]<128>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada waktu itu seorang bhikkhu tertentu bernama Samiddhi mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki [Sang Buddha] dan mengundurkan diri untuk berdiri pada satu sisi. Ia berkata kepada Sang Buddha: “Seperti yang telah Sang Bhagava katakan tentang berkata sebagai seorang guru Dharma – bagaimanakah seseorang disebut berkata sebagai seorang guru Dharma?”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Engkau sekarang ingin mengetahui makna berkata sebagai seorang guru Dharma. Apakah seperti ini?” Bhikkhu itu berkata kepada Sang Buddha: “Benar, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata kepada bhikkhu itu: “Dengarkanlah dan perhatikan dengan seksama apa yang akan Ku-katakan kepadamu. Jika seorang bhikkhu mengatakan tentang kekecewaan sehubungan dengan bentuk, terbebaskannya dari keinginan terhadapnya, lenyapnya, ini disebut berkata sebagai seorang guru Dharma.<129> Dengan cara yang sama mengatakan tentang kekecewaan sehubungan dengan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, terbebaskannya dari keinginan terhadapnya, lenyapnya, ini disebut berkata sebagai seorang guru Dharma.”

Kemudian bhikkhu itu, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sang Buddha, dipenuhi dengan kegembiraan, memberikan penghormatan dan pergi.<130>

30. [Kotbah Pertama kepada Soṇa]<131>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, Tempat Memberi Makan Tupai. Pada waktu itu Yang Mulia Sāriputta sedang berada di Gunung Puncak Burung Bangkai. Kemudian seorang putra perumah tangga bernama Soṇa, yang setiap hari terbiasa berjalan-jalan di sekeliling, tiba di Gunung Puncak Burung Bangkai dan mendekati Yang Mulia Sāriputta. Setelah bertukar salam ramah tamah ia mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi. Ia berkata kepada Sāriputta:<132>

“Jika para pertapa dan brahmana sehubungan dengan bentuk yang tidak kekal dan berubah-ubah, bentuk yang tidak tetap, mengatakan: ‘Aku lebih tinggi, aku sama, aku lebih rendah’; mengapa para pertapa dan brahmana ini memiliki persepsi yang demikian dan tidak melihat kebenaran?<133>[6b]

“Jika para pertapa dan brahmana sehubungan dengan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, yang tidak kekal dan berubah-ubah, yang tidak tetap, mengatakan: ‘Aku lebih tinggi, aku sama, aku lebih rendah’; mengapa para pertapa dan brahmana ini memiliki persepsi yang demikian dan tidak melihat kebenaran?<134>

“Jika para pertapa dan brahmana sehubungan dengan bentuk yang tidak kekal dan tidak tetap, bentuk yang berubah-ubah, mengatakan: ‘Aku lebih tinggi, aku sama, aku lebih rendah’; mengapa mereka membayangkan [seperti ini] dan tidak melihat kebenaran? Sehubungan dengan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran yang tidak kekal dan berubah-ubah, yang tidak tetap, mereka mengatakan: ‘Aku lebih tinggi, aku sama, aku lebih rendah’. Mengapa mereka membayangkan [seperti ini] dan tidak melihat kebenaran?”

[Sāriputta bertanya]: “Soṇa, apakah yang engkau pikirkan, apakah bentuk kekal atau tidak kekal?” [Soṇa] menjawab: “Tidak kekal.”<135>

[Sāriputta bertanya]: “Soṇa, apakah yang tidak kekal, apakah ia dukkha?” [Soṇa] menjawab: “Dukkha.”<136>

[Sāriputta bertanya]: “Soṇa, apakah yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah-ubah, apakah yang engkau pikirkan, apakah seorang siswa mulia di sini menganggap bentuk demikian sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?” [Soṇa] menjawab: “Tidak.”<137>

[Sāriputta bertanya]: “Soṇa, apakah yang engkau pikirkan, apakah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran kekal atau tidak kekal?” [Soṇa] menjawab: “Tidak kekal.”<138>

[Sāriputta bertanya]: “Apakah yang tidak kekal, apakah ia dukkha?” [Soṇa] menjawab: “Dukkha.”<139>

[Sāriputta bertanya]: “Soṇa, kesadaran yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah-ubah, apakah yang engkau pikirkan, apakah seorang siswa mulia di sini menganggap kesadaran demikian sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?” [Soṇa] menjawab: “Tidak.”<140>

[Sāriputta bertanya]: “Soṇa, engkau seharusnya mengetahui bahwa [apa pun] bentuk, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua bentuk demikian adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [dalam diri ataupun suatu diri] ada di dalamnya. Ini disebut mengetahui sebagaimana adanya.<141>

“Dengan cara yang sama [apa pun] perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua kesadaran demikian adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [dalam diri ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Ini disebut mengetahui sebagaimana adanya.<142>

“Soṇa, dengan cara ini muncul kekecewaan sehubungan dengan bentuk... perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, bebas dari keinginan terhadapnya dan menjadi terbebaskan.<143> Dengan menjadi terbebaskan engkau akan mengetahui dan melihat bahwa: ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’”<144>

Ketika Sāriputta telah mengucapkan kotbah ini, putra perumah tangga Soṇa mencapai mata Dharma yang murni yang sedikit noda [batin]-nya dan bebas dari debu [batin]. Kemudian putra perumah tangga Soṇa melihat Dharma dan mencapai Dharma, dengan tidak perlu bergantung pada orang lain ia mencapai ketidakgentaran dalam Dharma yang benar.<145> Ia bangkit dari tempat duduknya, mengatur pakaiannya sedemikian sehingga memperlihatkan bahu kanannya, berlutut dan dengan telapak tangan disatukan berkata kepada Sāriputta:<146>

“Sekarang aku telah terseberangkan. Sejak saat ini aku berlindung kepada Buddha, aku berlindung kepada Dharma dan berlindung kepada Saṅgha sebagai seorang umat awam. [6c] Sejak hari ini sampai akhir kehidupanku aku semata-mata berlindung kepada tiga permata.”<147>

Kemudian putra perumah tangga Soṇa, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sāriputta, dipenuhi dengan kegembiraan, memberikan penghormatan dan pergi.<148>

31. [Kotbah Kedua kepada Soṇa]<149>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, Tempat Memberi Makan Tupai.<150> Pada waktu itu Yang Mulia Sāriputta sedang berada di Gunung Puncak Burung Bangkai.

Kemudian seorang putra perumah tangga bernama Soṇa, yang setiap hari terbiasa berjalan-jalan di sekeliling, tiba di Gunung Puncak Burung Bangkai dan mendekati Yang Mulia Sāriputta. Ia memberikan penghormatan dengan kepalanya pada [kaki Sāriputta] dan mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi.<151>

Kemudian Sāriputta berkata:<152> “Soṇa, jika para pertapa dan brahmana tidak mengetahui bentuk sebagaimana adanya, tidak mengetahui munculnya bentuk sebagaimana adanya, tidak mengetahui lenyapnya bentuk sebagaimana adanya, tidak mengetahui jalan menuju lenyapnya bentuk, maka, Soṇa engkau harus mengetahui bahwa karena alasan ini para pertapa dan brahmana ini tidak dapat melenyapkan bentuk.<153>

“Dengan cara yang sama para pertapa dan brahmana tidak mengetahui perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran sebagaimana adanya, tidak mengetahui munculnya kesadaran sebagaimana adanya, tidak mengetahui lenyapnya kesadaran sebagaimana adanya, tidak mengetahui jalan menuju lenyapnya kesadaran sebagaimana adanya, maka karena alasan ini mereka tidak dapat melenyapkan kesadaran.<154>

“Soṇa, jika para pertapa dan brahmana mengetahui bentuk sebagaimana adanya, mengetahui munculnya bentuk sebagaimana adanya, mengetahui lenyapnya bentuk sebagaimana adanya, mengetahui jalan menuju lenyapnya bentuk sebagaimana adanya, maka, Soṇa, engkau harus mengetahui bahwa karena alasan ini para pertapa dan brahmana ini dapat melenyapkan bentuk.<155>

“Dengan cara yang sama, Soṇa, jika para pertapa dan brahmana mengetahui perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran sebagaimana adanya, mengetahui munculnya kesadaran sebagaimana adanya, mengetahui lenyapnya kesadaran sebagaimana adanya, mengetahui jalan menuju lenyapnya kesadaran sebagaimana adanya, maka, Soṇa, engkau harus mengetahui bahwa karena alasan ini para pertapa dan brahmana ini dapat melenyapkan kesadaran.”<156>

[Sāriputta bertanya]: “Soṇa, apakah yang engkau pikirkan, apakah bentuk kekal atau tidak kekal?” [Soṇa] menjawab: “Tidak kekal.”<157>

[Sāriputta bertanya]: “Soṇa, apakah yang tidak kekal, apakah ia dukkha?” [Soṇa] menjawab: “Dukkha.”

[Sāriputta bertanya]: “Soṇa, apakah yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah-ubah, apakah yang engkau pikirkan, apakah seorang siswa mulia di sini menganggap bentuk demikian sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?” [Soṇa] menjawab: “Tidak.”

[Sāriputta bertanya]: “Soṇa, apakah yang engkau pikirkan, apakah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran kekal atau tidak kekal?” [Soṇa] menjawab: “Tidak kekal.”

[Sāriputta bertanya]: “Apakah yang tidak kekal, apakah ia dukkha?” [Soṇa] menjawab: “Dukkha.”

[Sāriputta bertanya]: “Soṇa, kesadaran yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah-ubah, apakah yang engkau pikirkan, apakah seorang siswa mulia di sini menganggap kesadaran demikian sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?” [Soṇa] menjawab: “Tidak.”

[Sāriputta berkata]: “Soṇa, engkau seharusnya mengetahui bahwa [apa pun] bentuk, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua bentuk demikian adalah bukan diri, [7a] tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [dalam diri ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Ini disebut mengetahui sebagaimana adanya.

“Soṇa, seorang siswa mulia membangkitkan kekecewaan sehubungan dengan bentuk, bebas dari keinginan terhadapnya dan menjadi terbebaskan. Ia menjadi terbebaskan dari kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, dukacita, kesedihan, kesakitan dan kekesalan.

“Dengan cara yang sama [apa pun] perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua kesadaran demikian adalah bukan diri tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [dalam diri ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Ini disebut mengetahui sebagaimana adanya.

“Soṇa, seorang siswa mulia membangkitkan kekecewaan sehubungan dengan kesadaran, bebas dari keinginan terhadapnya dan menjadi terbebaskan. Ia menjadi terbebaskan dari kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, dukacita, kesedihan, kesakitan dan kekesalan.”

Kemudian putra perumah tangga Soṇa, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sāriputta, dipenuhi dengan kegembiraan, memberikan penghormatan dan pergi.

32. [Kotbah Ketiga kepada Soṇa]<158>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, Tempat Memberi Makan Tupai. Pada waktu itu Yang Mulia Sāriputta sedang berada di Gunung Puncak Burung Bangkai. Kemudian seorang putra perumah tangga bernama Soṇa, yang setiap hari terbiasa berjalan-jalan di sekeliling, tiba di Gunung Puncak Burung Bangkai dan mendekati Yang Mulia Sāriputta. Ia memberikan penghormatan dengan kepalanya pada [kaki Sāriputta] dan mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi.

Kemudian Sāriputta berkata kepada Soṇa: “Jika para pertapa dan brahmana tidak mengetahui bentuk sebagaimana adanya, tidak mengetahui munculnya bentuk sebagaimana adanya, tidak mengetahui lenyapnya bentuk sebagaimana adanya, tidak mengetahui kepuasan dari bentuk sebagaimana adanya, tidak mengetahui bahaya dari bentuk sebagaimana adanya, tidak mengetahui jalan keluar dari bentuk sebagaimana adanya, maka karena alasan ini mereka tidak dapat melampaui bentuk.

“Jika para pertapa dan brahmana tidak mengetahui perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran sebagaimana adanya, tidak mengetahui munculnya kesadaran sebagaimana adanya, tidak mengetahui lenyapnya kesadaran sebagaimana adanya, tidak mengetahui kepuasan dari kesadaran sebagaimana adanya, tidak mengetahui bahaya dari kesadaran sebagaimana adanya, tidak mengetahui jalan keluar dari kesadaran sebagaimana adanya, maka karena alasan ini para pertapa dan brahmana ini tidak dapat melampaui kesadaran.

“Jika para pertapa dan brahmana mengetahui bentuk... munculnya bentuk... lenyapnya bentuk... kepuasan dari bentuk... bahaya dari bentuk... jalan keluar dari bentuk sebagaimana adanya, maka para pertapa dan brahmana ini dapat melampaui bentuk.

“Jika para pertapa dan brahmana mengetahui perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran... munculnya kesadaran... lenyapnya kesadaran... kepuasan dari kesadaran... bahaya dari kesadaran... jalan keluar dari kesadaran sebagaimana adanya, maka para pertapa dan brahmana ini dapat melampaui kesadaran.

“Soṇa, apakah yang engkau pikirkan, apakah bentuk kekal atau tidak kekal?” [Soṇa] menjawab: “Tidak kekal.”

[Sāriputta bertanya]: “Soṇa, apakah yang tidak kekal, apakah ia dukkha?” [Soṇa] menjawab: “Dukkha.”

[Sāriputta bertanya]: “Soṇa, apakah yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah-ubah, apakah yang engkau pikirkan, apakah seorang siswa mulia di sini [menganggap]-nya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?” [Soṇa] menjawab: “Tidak.”

[Sāriputta bertanya]: “Soṇa, apakah yang engkau pikirkan, apakah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran kekal atau tidak kekal?” [Soṇa] menjawab: “Tidak kekal.”

[Sāriputta bertanya]: “Apakah yang tidak kekal, apakah ia dukkha?” [Soṇa] menjawab: “Dukkha.”

[Sāriputta bertanya]: “Soṇa, kesadaran yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah-ubah, apakah yang engkau pikirkan, apakah seorang siswa mulia di sini [menganggap]-nya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?” [Soṇa] menjawab: “Tidak.”

[Sāriputta berkata]: “Soṇa, engkau seharusnya mengetahui bahwa [apa pun] bentuk, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua bentuk demikian adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [dalam diri ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Ini disebut mengetahui sebagaimana adanya.

“Soṇa, [apa pun] perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, semua kesadaran demikian adalah bukan diri, tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], tidak ada [dalam diri ataupun suatu diri] ada [di dalamnya]. Ini disebut mengetahui sebagaimana adanya.

“Soṇa, seorang siswa mulia dengan benar merenungkan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagai bukan diri dan bukan milikku. Dengan benar merenungkan dengan cara ini ia tidak menggenggam apa pun di dunia. Ia yang tidak menggenggam apa pun tidak melekat pada apa pun. Ia yang tidak melekat pada apa pun mencapai Nirvāṇa oleh dirinya sendiri, [dengan mengetahui]: “Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsungan yang lebih jauh lagi.’”

Kemudian putra perumah tangga Soṇa, yang mendengarkan apa yang telah dikatakan Sāriputta, dipenuhi dengan kegembiraan, memberikan penghormatan dan pergi.
« Last Edit: 14 June 2015, 09:20:30 PM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (1)
« Reply #6 on: 14 June 2015, 08:45:51 PM »
Catatan Kaki:

<1> Bagian yang diterjemahkan mengandung jilid pertama dari edisi Taishō Saṃyukta-āgama, T II 1a6 sampai 7b15, yang bersesuaian dengan bagian awal dari bagian itu tentang kelompok unsur kehidupan berdasarkan urutan yang direkonstruksi dari kumpulan ini. Umumnya singkatan-singkatan dalam terjemahan saya juga ditemukan seperti demikian dalam aslinya. Identifikasi saya atas teks Pāli yang paralel didasarkan pada Akanuma 1929/1990 dan Yìnshùn 1983, dalam hal penggalan Sanskrit dan Uighur yang paralel saya berhutang kepada Chung 2008, teks Tibet yang paralel dalam ringkasan kutipan kotbah dari Abhidharmakośabhāṣya telah diidentifikasi oleh Honjō 1984 dan telah diterjemahkan oleh Dhammadinnā 2012, yang dalam catatan kakinya mencakup variasi-variasi yang ditemukan dalam teks Tibet yang paralel. Dalam apa yang mengikuti saya tidak berusaha menyediakan suatu penyelidikan mendalam dari semua teks paralel yang ada, ataupun memberkan suatu ulasan yang menyeluruh dari variasi-variasi antara teks-teks ini dan kotbah-kotbah Saṃyukta-āgama yang saya terjemahkan. Alih-alih, saya hanya mencatat sedikit perbedaan yang dipilih sehubungan dengan teks-teks Pāli yang paralel, yang dapat dengan aman dianggap versi yang paling banyak diketahui dari kotbah masing-masing. Dalam hal penggalan Sanskrit yang paralel saya mengutip bacaan masing-masing dalam catatan kaki sebagai referensi cepat, karena publikasi yang relevan mungkin tidak dapat diakses dengan mudah bagi semua pembaca, walaupun cara penyajian saya menghasilkan kehilangan dari catatan yang seringkali penting yang menyertai edisi penggalan aslinya. Untuk mereproduksi versi penggalan Sanskrit, saya memakai < > untuk menunjukkan perbaikan suatu pembacaan, sedangkan dengan [ ] and ( ) saya mengikuti bentuk yang digunakan penyunting untuk menunjukkan akṣara yang tidak pasti atau hilang.

<2> Paralel: SN 22.12 dalam SN III 21,4, SN 22.51 dalam SN III 51,11, penggalan Sanskrit Kha ii 9a1-4, La Vallée Poussin 1913: 580, dan sebuah penggalan Uighur, Zhāng 1996: 350. Akanuma 1929/1990: 26 juga menyebut SN 22.13 dan SN 22.14, yang pada dasarnya merupakan teks yang paralel dengan kotbah-kotbah yang menurut frase terakhir dalam SĀ 1 seharusnya dikembangkan secara sama sehubungan dengan karakteristik ketidakkekalan dan bukan-diri; cf. di bawah ini catatan no.9. Untuk kotbah-kotbah 1 sampai 7 rekonstruksi saya dari judul masing-masing didasarkan pada uddāna yang ditemukan setelah kotbah 7. Dalam hal judul yang sama digunakan pada lebih dari satu kotbah, saya menambahkan “pertama”, “kedua”, dst., pada judulnya, yang tidak didukung dalam uddāna masing-masing.

<3> Di sini dan di tempat lain, saya mengadopsi bahasa Pāli untuk nama-nama diri dan istilah-istilah doktrinal, kecuali untuk istilah seperti Dharma dan Nirvāṇa, tanpa dengan demikian bermaksud mengambil posisi pada bahasa asli dari naskah Saṃyukta-āgama yang digunakan untuk terjemahan, yang menurut de Jong 1981: 108 kenyataannya adalah bahasa Sanskrit.

<4> SN 22.12 dalam SN III 21,4 dan SN 22.51 dalam SN III 51,11 tidak memberikan referensi lengkap pada lokasi atau pada Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu. Dengan demikian edisi Ee dari SN 22.12 membaca evaṃ me sutaṃ, sāvatthiyaṃ tatra kho (seperti halnya Be dan Se), setelah itu kotbah itu sendiri mulai dengan rūpaṃ, bhikkhave, aniccaṃ, dst., sedangkan Ce hanya memiliki sāvatthiyaṃ, yaitu tanpa evaṃ me sutaṃ atau  tatra kho. Edisi Ee dari SN 22.51 hanya membaca sāvatthi, tatra voca, Be memiliki sāvatthinidānaṃ, Ce dan Se hanya sāvatthiyaṃ. Penjelasan lengkap yang diberikan dalam SĀ 1, dan demikian juga pada permulaan Saṃyukta-āgama, adalah dengan demikian sama dengan referensi lengkap yang diberikan dalam kotbah pertama dalam Saṃyutta-nikāya, SN 1.1 pada SN I 1,1: evaṃ me sutam, ekaṃ samayaṃ bhagavā sāvatthiyaṃ viharati jetavane anāthapiṇḍikassa ārāme. Ini menyatakan referensi singkat pada sāvatthiyaṃ atau di tempat lain sāvatthi nidānaṃ hanya suatu singkatan dan sangat mungkin bukan suatu referensi pada lokasi di mana kotbah-kotbah dikumpulkan, seperti yang dinyatakan Rhys Davids 1924/1975: xif dan Woodward 1930: xviif; cf. juga di bawah ini catatan no. 45, 88 dan 150.

<5> SN 22.12 dalam SN III 21,9 memiliki subjek kalimat siswa mulia yang terpelajar; cf. juga penggalan di bawah ini catatan no. 7. SN 22.51 dalam SN III 51,13 menunjuk pada pandangan benar alih-alih pengetahuan benar. Dengan mengikuti Yìnshùn 1983: 6 catatan no. 8, referensi saat ini dalam SĀ 1 pada pengetahuan benar seharusnya diperbaiki menjadi pandangan benar.

<6> SN 22.12 dalam SN III 21,12 melanjutkan dari menjadi kecewa, melalui lenyapnya nafsu, menuju terbebaskan, dan SN 22.51 dalam SN III 51,14 dengan sama dari menjadi kecewa menuju pelenyapan kenikmatan dan nafsu dan oleh sebab itu terbebaskan.

<7> Cf. Kha ii 9a1-3, La Vallée Poussin 1913: 580: sam[yakprajña]yā draṣṭavyaṃ ... bhavati vistareṇa yāv ... śrutavān āryaśrāvakaḥ.

<8> SN 22.12 dalam SN III 21,13 menunjukkan bahwa seseorang yang terbebaskan memiliki pengetahuan  yang terbebaskan, diikuti oleh penjelasan standar bahwa kelahiran telah dilenyapkan, dst. SN 22.51 dalam SN III 51,19 hanya menyebutkan bahwa pikiran terbebaskan dengan baik.

<9> Indikasi dalam SĀ 1 bahwa dengan cara yang sama tiga kotbah lagi dikembangkan dengan mengganti “ketidakkekalan” dengan “dukkha”, “kekosongan”, dan “bukan-diri”, memiliki sebagai padanannya SN 22.14 yang mengambil dukkha dan anattā; cf. juga Kha ii 9a4, La Vallée Poussin 1913: 580: saṃskārā vijñānam anātm, dan penggalan Uighur A18, Zhāng 1996: 350. Referensi pada “kekosongan” dalam SĀ 1 adalah tanpa paralel dalam kotbah-kotbah Pāli, yang berhubungan dengan pola yang berulang dalam kotbah-kotbah Saṃyukta-āgama untuk menyebut “kekosongan” sebagai tambahan pada tiga karakteristik yang secara teratur terdaftar dalam kotbah-kotbah paralel Pāli; cf. de Jong 2000: 177 dan catatan no. 43 di bawah ini, di mana referensi pada kekosongan juga ditemukan dalam penggalan Sanskrit.

<10> Untuk pembahasan bagaimana menerjemahkan ungkapan terakhir pada akhir kotbah-kotbah Āgama cf. Anālayo 2012: 521ff.

<11> Paralel: SN 22.52 dalam SN III 51,30 dan penggalan Uighur, Zhāng 1996: 350. Akanuma 1929/1990: 26 menyebut SN 22.15-17, yang sebenarnya tidak paralel, karena mereka tidak menyebut yoniso manasikāra dan melanjutkan dari ketidakkekalan setiap kelompok unsur kehidupan menuju sifat dukkha dan bukan-diri sebagai sesuatu yang seharusnya direnungkan.

<12> Mengambil suatu varian yang menambahkan 觀, sesuai dengan rumusan yang digunakan setelahnya dalam SĀ 2.

<13> SN 22.52 dalam SN III 52,4 melanjutkan dari menjadi kecewa menuju pelenyapan kenikmatan dan nafsu dan oleh sebab itu terbebaskan.

<14> SN 22.52 dalam SN III 52,26 berakhir pada poin ini dan dengan demikian tidak memiliki rumusan yang menjelaskan pencerahan sempurna sehubungan dengan kelahiran yang telah dipadamkan, dst.

<15> Yìnshùn 1983: 6 catatan no.11 menunjukkan bahwa indikasi ini untuk menerapkan perlakuan yang sama pada dukkha, kekosongan dan bukan-diri adalah tanpa dukungan dalam uddāna, yang hanya menyebutkan sebuah kotbah dalam 正思惟.

<16> Paralel: SN 22.24 dalam SN III 26,29, Hoernle penggalan H 150/69 (Or. 15002/13) Av-w, penggalan SHT IV 30a V1-4, Sander 1980: 77, dan penggalan Uighur, Zhāng 1996:350.

<17> SN 22.24 dalam SN III 27,1 mengatakan tidak mengetahui secara langsung (abhi + jānāti), bukan sepenuhnya memahami (pari + jānāti), tidak melenyapkan nafsu dan tidak meninggalkan.

<18> SHT IV 30a V1, Sander 1980: 77: (sam)y(ag)du.

<19> Paralel: Hoernle penggalan H 150/69 (Or. 15002/13) Ax-z dan penggalan SHT IV 30aV2-4, Sander 1980: 77. Akanuma 1929/1990: 26 menyebut SN 35.27 tetapi kotbah ini bukan tentang lima kelompok unsur kehidupan, tetapi tentang enam indera, dst.

<20> SHT IV 30a V2, Sander 1980: 77: [y]āvi[rāgayi]tvā abhavyo jātijarāmaraṇa(bhayaṃ) sama[ti]kkramit(tuṃ).

<21> SHT IV 30a V3, Sander 1980: 77: (sa)matikkra[mitu](ṃ) r[ū]pan tu bhikṣa[vaḥ] abhijñāya [pa](r)[ijñā]ya prahāya.

<22> SHT IV 30a V4, Sander 1980: 77: [bhav]yo [jātijarāmaraṇabhaya]ṃ [sama](t) i(kkramit)um.

<23> Yìnshùn 1983: 9 catatan no.2 menunjukkan bahwa bagian pengulangan dalam bagian ini tampaknya tidak pada tempatnya, oleh sebab itu dalam edisi teks beliau bagian ini ditinggalkan.

<24> Paralel: SN 22.29 dalam SN III 31,11, Hoernle penggalan H 150/69 (Or. 15002/13) Az-B3, penggalan SHT IV 30a V4-7, Sander 1980: 77, dan penggalan Uighur, Zhāng 1996:350; cf. juga di bawah ini SĀ 7.

<25> Referensi pada pengetahuan dan lenyapnya nafsu dalam T II 1b19 mungkin hasil kesalahan tekstual, karena ia tidak diulangi dalam SĀ 5 sisanya dan juga tanpa padanan dalam penjelasan yang sama lainnya dalam SN 22.29. Kenyataannya Yìnshùn 1983: 9 catatan no.3 menyatakan bahwa keseluruhan bagian ini bersifat berlebihan, yaitu, kotbah itu sendiri hanya mulai dengan paragraf pada T II 1b24 tentang “tidak memahami bentuk jasmani”, dst., dan dalam edisi beliau dari SĀ 5 bagian ini ditinggalkan.

<26> SN 22.29 dalam SN III 31,28 berakhir pada poin ini dan dengan demikian tidak memiliki padanan pada sisa dari SĀ 5. Oleh sebab itu SN 22.29 pada dasarnya merupakan paralel yang dekat pada SĀ 7, lihat di bawah ini.

<27> Yìnshùn 1983: 9 catatan no.4 menunjukkan bahwa referensi pada telah membebaskan pikiran “dari nafsu” tampak berlebihan, karena pernyataan sebelumna tidak menyebutkannya, oleh sebab itu dalam edisi beliau dari teks itu karakter 貪 pada poin ini ditinggalkan.

<28> SHT IV 30a V5, Sander 1980: 77: (duḥ)khakṣayāya vedanāṃ saṃjñāṃ saṃskārāṃ vijñānaṃ bhikṣavaḥ anabhi(jñāya).

<29> SHT IV 30a V6-7, Sander 1980: 77: (rū)pan tu bhikṣavaḥ abhijñāya parijñāya na tac chandaṃ virāgayi[t](vā) ... (tac cha)ndaṃ virāgayitvā tataś cittaṃ vimocayitvā bhavyaḥ saṃmyagduḥkha(k)[ṣ](ayāya).

<30> Paralel: Hoernle penggalan H 150/69 (Or. 15002/13) B3-5 dan penggalan SHT IV 30a V8-10, Sander 1980: 77; Akanuma 1929/1990: 26 menyebutkan SN 35.27, tetapi kotbah ini bukan tentang lima kelompok unsur kehidupan, tetapi enam indera, dst.

<31> SHT IV 30a V8, Sander 1980: 77: jātijarāmaraṇabhayaṃ samatikkramituṃ vedanāṃ saṃjñāṃ.

<32> SHT IV 30a V9, Sander 1980: 77: (jātijarāma)raṇabhayaṃ samatikkramituṃ, rūpan tu bhikṣavaḥ abhij(ñ)ā(ya).

<33> SHT IV 30a V10, Sander 1980: 77: (samatikkra)[mi](tu)ṃ, [v]ij(ñ)ā[na](n tu) bhik[ṣa]vaḥ abhij(ñ)āya parij(ñ)ā(ya).

<34> Paralel: SN 22.29 dalam SN III 31,11 dan penggalan SHT IV 30a R2-3, Sander 1980: 77; cf. juga di atas SĀ 5.

<35> SHT IV 30a R2, Sander 1980: 77: (duḥ)[kh]ād i[t]i vadāmi, yas tu [bh]ikṣavo rūpannābhi(nandati).

<36> SHT IV 30a R3, Sander 1980: 77: (duḥ)khaṃ sa nābhinandati y[ o] duḥkhaṃ nābhinandati parimuktaṃ duḥkh(ād iti vadāmi).

<37> Setelah penutup kotbah ini terdapat sebuah syair ringkasan (uddāna), yang tidak saya masukkan dalam terjemahan.

<38> Paralel: SN 22.9 dalam SN III 19,14, penggalan SHT IV 30a R4-7, Sander 1980: 78, sebuah kutipan kotbah dalam Abhidharmakośabhāṣya, Pradhan 1967: 464,5, dengan kutipan yang lebih lengkap yang dipertahankan dalam Tibetan, D 4094 nyu 77b4 atau Q 5595 thu 123a3, yang diterjemahkan di bawah  Dhammadinnā 2012: 71, dan sebuah penggalan Uighur, Zhāng 1996: 350f; cf. juga SĀ 79. Akanuma 1929/1990: 26 menyebut juga SN 22.10, tetapi kotbah ini menerapkan perlakuan pada dukkha alih-alih ketidakkekalan, seperti juga SN 35.173-178 yang adalah tentang landasan-indera alih-alih kelompok unsur kehidupan.

<39> SHT IV 30a R4, Sander 1980: 78: rūpaṃ bhikṣavaḥ anityam atītānāgataṃ kaḥ p (nar).

<40> Mengambil varian 欣 alih-alih 欲, yang sesuai dengan rumusan yang digunakan pada kelompok unsur kehidupan lainnya.

<41> SHT IV 30a R5, Sander 1980: 78: ti pratyutpannasya rūpasya nirvide virāgāya nirodhāya [pra].

<42> SHT IV 30a R6, Sander 1980: 78: paśyaṃ śrutavān āryaśrāvakaḥ atīte vijñāne anapekṣo bhava(t)y.

<43> SHT IV 30a R7, Sander 1980: 78: (e)vaṃ duḥkhaṃ śunyam anātmā. Indikasi dalam penggalan itu dan dalam SĀ 8 bahwa dengan cara yang sama tiga kotbah lagi yang dikembangkan dengan mengganti “ketidakkekalan” dengan “dukkha” dan “bukan-diri” memiliki padanannya SN 22.10 dan SN 22.11, yang mengambil dukkha dan anattā; cf. juga kasus yang sama dari SĀ 1, di atas catatan no.9. Kutipan kotbah itu dalam Pradhan 1967: 464,5 dalam kenyataannya hanya tentang perlakuan dengan cara bukan diri, rūpam anātmā yāvad vijñānam anātme ti dan dengan demikian paralel dengan SN 22.11, seperti halnya paralel Tibetan, D 4094 nyu 77b4 atau Q 5595 thu 123a3.

<44> Paralel: SN 22.15 dalam SN III 22,1, penggalan IV 30a R7-10, Sander 1980: 78, penggalan Kha ii 1d/10c/12a V8-11, La Vallée Poussin 1913: 577f, edisi yang direvisi dalam Chung 2008: 311-313 (yang mensejajarkan SĀ 9 / SĀ 10 dengan penggalan Sanskrit), sebuah kutipan kotbah dalam Abhidharmakośabhāṣya, Pradhan 1967: 329,8, dengan suatu kutipan yang lebih lengkap yang dipertahankan dalam Tibetan, D 4094 nyu 4b3 atau Q 5595 thu 36a2, yang diterjemahkan di bawah Dhammadinnā 2012: 73, dan penggalan Uighur, Zhāng 1996: 351 dan Shōgaito 1998: 365. Akanuma 1929/1990: 26 juga menyebut SN 35.182-183 dan SN 35.186, yang adalah tentang landasan-indera dan bukan tentang kelompok unsur kehidupan.

<45> Kha ii 1d/10c/12a v8, Chung 2008: 311,1 (di sini dan di bawah ini, referensi baris pada teks sebenarnya dari edisi itu): śrāvastyāṃ nidānaṃ. Perbedaan dalam rumusan antara singkatan dalam penggalan Sanskrit dan rumusan lengkap dalam SĀ 9 mendukung pernyataan saya yang dibuat di atas dalam catatan no.4 bahwa referensi śrāvastyāṃ nidānam berlaku sebagai suatu singkatan untuk penjelasan lengkap lokasi di mana kotbah itu dianggap terjadi; cf. juga di bawah ini catatan no.88 dan 150.

<46> Kha ii 1d/10c/12a, Chung 2008: 311,2: tatra bhagavān bhikṣūn āmaṃtrayati sma.

<47> Kha ii 1d/10c/12a, Chung 2008: 311,4: rūpaṃ bhikṣavo 'nityaṃ yad anityaṃ tad duḥkhaṃ; SHT IV 30a R7, Sander 1980: 78: rūpaṃ bhikṣavaḥ ani[ty]am yad aniy; cf. juga Pradhan 1967: 329,8: yad anityaṃ tad duḥkham iti.

<48> Kha ii 1d/10c/12a, Chung 2008: 311,5: yad duḥkhaṃ tad anātmā, yad anātmā tan naitan mama naiṣo 'ham asmi naiṣa me ātmety. SN 22.15 dalam SN III 22,14 dengan sama melanjutkan setelah referensi pada bukan diri dengan indikasi bahwa “ini bukan milikku, aku bukan ini, ini bukan diriku”. Tentang bacaan yang sekarang dalam SĀ 9 cf. Vetter 2000: 177 catatan no.27 (yang dicatat oleh Chung 2008: 43 catatan no.7)

<49> Kha ii 1d/10c/12a, Chung 2008: 311,9: evam etad yathābhūtaṃ samyakprajñayā draṣṭavyaṃ; SHT IV 30a R8, Sander 1980: 78: [samyakprajñayā draṣṭa]vyā. SN 22.15 dalam SN III 22,13 dengan sama menyerukan bahwa ini seharusnya dilihat dengan kebijaksanaan benar sebagaimana adanya.

<50> Kha ii 1d/10c/12a, Chung 2008: 311,11: vedanā saṃjñā saṃskārā vijñānam anityaṃ, yad anityaṃ tad duḥkhaṃ; SHT IV 30a R8, Sander 1980: 78: ve[da](nā) [saṃjñā saṃskārā vijñā](na) ... (a)[n]itt[y]aṃ ya(d).
« Last Edit: 14 June 2015, 09:20:50 PM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (1)
« Reply #7 on: 14 June 2015, 08:55:36 PM »
<51> Kha ii 1d/10c/12a, Chung 2008: 312,2: [ya]d duḥkhaṃ tad anātmā yad anātmā tan naitan mama naiṣo 'ham asmi na me ātmety.

<52> Kha ii 1d/10c/12a, Chung 2008: 312,6 (dan catatan no. 18): pūrvvavād yathābhūtaṃ samyakprajñayā draṣṭavyaṃ; SHT IV 30a R9, Sander 1980: 78: [ev]am-e[tadyathābhūtaṃ samyakprajña]yā draṣṭavya.

<53> Penggalan Sanskrit pada poin ini membawakan dalam tujuh dharma yang berhubungan dengan pencerahan, Kha ii 10c, Chung 2008: 312,8: evaṃ jānato bhikṣava evaṃ paśyataḥ śrutavata āryaśrāvakasya saptānāṃ bodhipakṣyāṇān dharmāṇāṃ bhāvanānvayāt.

<54> Kha ii 1d/10c/12a, Chung 2008: 312,12 (dan catatan no. 33): kāmāsravāc cittaṃ vimucyate bhavāsravād avidyāsravāc cittaṃ vimucyate; SHT IV 30a R10, Sander 1980: 78: ci(aṃ) [vimuc](ya)[te].

<55> Kha ii 1d/10c/12a, Chung 2008: 313,1: vimuktasya vimukto 'smīti jñānaṃ bhavati; SHT IV 30a R10, Sander 1980: 78: [vim](u)[k](ta)[s ](ya v)i(mukto smīti).

<56> Kha ii 1d/10c/12a, Chung 2008: 313,2: kṣīṇā me jātir uṣitaṃ brahmacaryaṃ kṛtaṃ karaṇīyaṃ nāparam asmād bhavaṃ prajānāmi.

<57> Akanuma 1929/1990: 26 menyebutkan SN 22.16-17, tetapi kotbah-kotbah ini dimulai dengan dukkha dan bukan diri masing-masing. Walaupun kebanyakan SĀ 10 mungkin paling baik disebut memiliki paralel dengan SĀ 9, indikasi bahwa seseorang menjadi dengan sama terbebaskan dari kelahiran, dst., yang ditemukan hanya dalam SĀ 10, juga dipertahankan dalam penggalan Uighur SI 4bKr 183.2, Shōgaito 1998:366; cf. juga penggalan Uighur B11f, Zhāng 1996: 351.

<58> Paralel: SN 22.18 dalam SN III 23,10, kutipan kotbah dalam Abhidharmakośabhāṣya, Pradhan 1967: 91,15 dan 464,13, dengan kutipan yang lebih lengkap yang dipertahankan dalam Tibetan D 4094 ju 95a4 atau Q 5595 tu 108b4 dan D 4094 nyu 78b1 atau Q 5595 thu 124a1, yang diterjemahkan di bawah Dhammadinnā 2012: 75, dan penggalan Uighur, Zhāng 1996: 351 dan Shōgaito 1998: 366.

<59> Pradhan 1967: 91,15: ye hetavo ye pratyayā rūpasyotpādāya te 'py anityāḥ, anityān khalu hetupratyayān pratītyotpannaṃ rūpaṃ kuto nityaṃ bhaviṣyati.

<60> Pradhan 1967: 91,19: ye hetavo ye pratyayā vijñānasyotpādāya te 'py anityā; cf. juga Pradhan 1967: 464,13.

<61> Akanuma 1929/1990: 26 menyebutkan SN 22.19-20, tetapi kotbah-kotbah ini dimulai dengan dukkha dan bukan diri masing-masing. Dengan demikian SĀ 12 paling baik disebut memiliki paralel yang sama dengan SĀ 11.

<62> Paralel: SN 22.28 dalam SN III 29,31, sebuah kutipan kotbah dalam Dharmaskandha, Dietz 1984: 48,10, yang didahului dengan evam uktaṃ bhagavatā paṃcopādānaskandhike vyā〈〉karaṇe, dan penggalan Uighur, Zhāng 1996: 351 dan Shōgaito 1998: 366.

<63> Dietz 1984: 48,12: rūpe ced bhikṣava āsvādo na bhaven neme satvā rūpe saṃrajyeran, yasmāt tu bhikṣavo 'sti rūpe āsvādaḥ teneme satvā rūpe saṃrajyaṃte.

<64> Dietz 1984: 48,17: vijñāne ced bhikṣava āsvādo na bhaven neme satvā vijñāne saṃrajyeran, yasmāt tu bhikṣavo 'sti vijñāne āsvādas tasmād ime satvā vijñāne saṃrajyaṃte.

<65> Dalam SN 22.28 dalam SN III 30,33 bacaan yang berhubungan memiliki makhluk hidup secara umum sebagai subjeknya, alih-alih Sang Buddha menunjuk pada pencapaian pencerahan-Nya sendiri.

<66> Paralel: SN 22.27 dalam SN III 29,1, sebuah kutipan kotbah dalam Dharmaskandha, Dietz 1984: 47,19, yang didahului dengan evam uktaṃ bhagavatā paṃcopādānaskandhike vyākaraṇe, dan penggalan Uighur, Zhāng 1996: 351f dan Shōgaito 1998: 366. Akanuma 1929/1990: 26 juga menyebut SN 22.26, yang berbeda dalam beberapa hal dari SN 22.27 dan SĀ 14 dan dengan demikian hanya merupakan suatu paralel yang jauh.

<67> Dietz 1984: 47,21: rūpasyāhaṃ bhikṣavaḥ āsvādaparyeṣaṇām acārṣaṃ, yo rūpe āsvādas tam anvabhotsan, yāvad rūpe āsvādaḥ prajñayā me sudṛṣṭa.

<68> Dietz 1984: 48,4: vijñānasyāhaṃ bhikṣavaḥ āsvādaparyeṣaṇām acārṣaṃ, yo vijñāne āsvādas tam anvabhotsyaṃ, yāvad vijñāne āsvādaḥ prajñayā me sudṛṣṭa.

<69> SN 22.27 dalam SN III 29,28 alih-alih mengindikasikan bahwa pengetahuan yang muncul dalam diri Sang Buddha bahwa pembebasan pikiran-Nya tidak tergoyahkan, ini adalah kelahiran terakhir-Nya, dst.

<70> Mengambil varian 已 alih-alih 以.

<71> Setelah penutup kotbah ini terdapat sebuah syair ringkasan, yang tidak saya masukkan dalam terjemahan.

<72> Paralel: SN 22.36 dalam SN III 36,11, penggalan Kha ii 10a r1-6, La Vallée Poussin 1913: 571, edisi yang direvisi dalam Chung 2008: 315-317 (yang mensejajarkan SĀ 15 dengan penggalan Sanskrit), dan sebuah penggalan Uighur, Shōgaito 1998: 366f. Untuk kotbah 15 sampai 19 dan 21 rekonstruksi saya atas judul masing-masing kotbah berdasarkan pada uddāna yang ditemukan setelah kotbah 24.

<73> SN 22.36 dalam SN III 36,16 tidak melaporkan bahwa sang bhikkhu secara eksplisit menyebutkan pencapaian pembebasannya yang mendatang.

<74> Ungkapan 隨使死 pada SĀ 15 dalam T II 3a18 memiliki padanan pada anumīyati dalam SN 22.16 dalam SN III 36,17. Seperti yang diamati oleh Schmithausen 1987/2007: 529 catatan no.1426 (yang dicatat oleh Chung 2008: 315 catatan no.9), 隨 ... 死 agaknya mewakili *anu-mriyati, sesuai dengan penjelasan komentar, Spk II 266,1 dari anumīyati sebagai taṃ anusayitaṃ rūpaṃ marantena anusayena anusarati.

<75> Instruksi pada SN 22.36 dalam SN III 36,17, setelah menunjukkan bahwa seseorang dinilai oleh apakah seseorang memiliki kecenderungan yang mendasari terhadap, melanjutkan dengan mengindikasikan bahwa seseorang disebut sehubungan oleh apakah seseorang dinilai.

<76> Kha ii 10a, Chung 2008: 315,1 (di sini dan di bawah ini, referensi baris adalah pada teks sebenarnya dari edisi itu): (ve)[d](a)nā〈ṃ〉saṃjñā〈ṃ〉saṃs[k]ārā〈ṃ〉vijñānaṃ nānuśete tan nānunīyate.

<77> Kha ii 10, Chung 2008: 315,3: upādāya bhadaṃta saṃyukta[ḥ a]nupādāya visaṃyuktaḥ.

<78> Kha ii 10a, Chung 2008: 315,5: evam ahaṃ bhadaṃtāsya bhagavatā saṃkṣiptena [bh](ā)ṣ[i ]ta(s)[y](a vistareṇāvibhaktasya vistareṇārtham ājān)[ā]mi.

<79> Kha ii 10a, Chung 2008: 316,3: [s ]ādhu sādhu bhikṣo, sādhu khalu punas tvaṃ bh[i ]kṣo asya mayā saṃkṣiptena [bh]āṣitasya vistareṇāvibhaktasya vistareṇārtham ājānāsi. tad kasmād dhetoḥ?

<80> Kha ii 10a, Chung 2008: 316,6: [r ](ū)paṃ bhikṣ[o ] ('nuśete tad anunīyate vedanāṃ saṃjñāṃ) [s ](a)ṃskārā〈ṃ〉vijñānam anuśete tad anunīyate.

<81> Kha ii 10a, Chung 2008: 316,9: rūpam tu nānuśete, tan nānunī[ya]te.

<82> Kha ii 10a, Chung 2008: 316,9: vedanā〈ṃ〉saṃjñā〈ṃ〉saṃs[k]ārā〈ṃ〉vijñānaṃ nānuśete tan nānunīyate, upādāya bhikṣo [s ](a)ṃyuktaḥ ... (anupādāya v)[isa]ṃ-yuktaḥ.

<83> Kha ii 10a, Chung 2008: 316,13: atha sa bhikṣur anena bhagavatā saṃkṣiptenāpavādenāvavāditaḥ eko vyavakṛṣṭo 'pramatta ātāpī pravivikto vyahār[ṣ ]īd.

<84> Kha ii 10a, Chung 2008: 316,16: eko vyavakṛṣṭo 'prama(tta) ātāp[ī] (pravivikto).

<85> Kha ii 10a, Chung 2008: 317,1: [s ](a)m(ya)[g] eva śraddhayā a[g]ārād anagārikāṃ pravrajaṃti ta[d] (a)[n]uttaraṃ brahmacaryaparyavasānaṃ dṛṣṭa eva dharma svayam abh[i ]jñ[ā]ya [sāk]ṣāt[kṛ]t(v)o[p](a)saṃpadya (v)[y](a)hārṣa(t) ... p[r](a)[j]ānāmi.

<86> Kha ii 10a, Chung 2008: 317,7: ājñātavān sa bhi[k]ṣur arhan babh[ū]va.

<87> Paralel: SN 22.35 dalam SN III 34,30, penggalan Kha ii 10a r6-v4, La Vallée Poussin 1913: 571f, edisi yang direvisi dalam Chung 2008: 318f (yang mensejajarkan SĀ 16 dengan penggalan Sanskrit), dan sebuah penggalan Uighur, Shōgaito 1998: 367.

<88> Kha ii 10a, Chung 2008: 318,1 (di sini dan di bawah ini, referensi baris adalah pada teks sebenarnya dari edisi itu): śrāvastyān nidānam. Perbedaan dalam rumusan antara singkatan dalam penggalan Sanskrit dan rumusan lengkap dalam SĀ 16 mendukung pernyataan saya yang dibuat di atas dalam catatan no.4 dan 45 dan di bawah ini catatan no.150 bahwa ungkapan seperti śrāvastyāṃ nidānam atau rājagṛhe nidānaṃ mungkin tidak dimaksudkan untuk menunjukkan tempat di mana kotbah itu dikumpulkan, tetapi agaknya berlaku sebaga suatu singkatan dari penjelasan lengkap dari lokasi di mana kotbah itu dianggap terjadi.

<89> Paralel penggalan Sanskrit, Kha ii 10a, Chung 2008: 318,2, memberikan narasi pendahuluan secara lengkap.

<90> SĀ 16 dalam T II 3b16: 增諸數, yang memiliki sebagai padanannya saṅkhaṃ gacchati pada SN 22.35 dalam SN III 35,8 dan ungkapan yang berhubungan saṃkhyāṃ gacchati dalam penggalan Sanskrit Kha ii 10a, Chung 2008: 318,11, di mana baris lengkap membaca: yad anunīyate tenaiva saṃkhyāṃ ga(c)[ch](at)[i ]. Saya telah mengikuti Saṃyukta-āgama edisi Fóguāng (佛光), halaman 21 catatan no.6, yang tampaknya mengambil keseluruhan frase 增諸數 menyatakan makna saṃkhyāṃ√gam, walaupun 數 dengan sendirinya telah diterjemahkan sebagai saṃkhyāṃ√gam (cf. Hirakawa 1997: 576) dan 增 adalah standar terjemahan dari vṛddhi, dst. Jelas sang penerjemah memiliki kesulitan dengan ungkapan dalam bahasa India aslinya, di mana ia mungkin menganggap mengandung makna meningkatnya jumlah kelahiran dalam saṃsāra.

<91> Kha ii 10a, Chung 2008: 318,12: yan nānu[śe]t〈e ya〉 n nānunīyat〈e 〉na tena saṃkhyāṃ gacchati (di sini〈 〉na tena memperbaiki pembacaan asli tena tena). Tidak seperti SĀ 16, penggalan pada poin ini melanjutkan dengan Sang Buddha menyatakan: upādāya bhikṣo saṃyukta (anupādāya visaṃyuktaḥ), yang diikuti dengan sang bhikkhu menunjukkan pemahamannya atas perkataan singkat itu: (saṃ)[k](ṣ)[i ]ptena bhāṣitasya vistareṇā(v)i-(bha)kta[s ]ya vistareṇā(rtha)[m] ājānami.

<92> Kha ii 10a, Chung 2008: 319,1: ya[th]ā kathaṃ punas t[v]aṃ bhikṣo asya mayā saṃkṣipte(na bh)āṣi(tasya vistareṇāvibhaktasya vistareṇārtham ājānāsi).

<93> Kha ii 10a, Chung 2008: 319,4: (rūpam anuśete tad anunīyate yad anunī)[y]ate〈 〉tenaiva saṃkhyāṃ gacchati (〈 〉menandakan penghapusan tena).

<94> Kha ii 10a, Chung 2008: 319,6: vedanā〈ṃ〉saṃjñ[ā〈] ṃ〉[s ](aṃ)s[k]ārā〈ṃ〉vijñānam anuśete [ta]d anunīyate yad anunīyate (tenaiva saṃkhyāṃ gacchati).

<95> Kha ii 10a, Chung 2008: 319,11: (vedanāṃ saṃj)[ñ](āṃ saṃ)s[k]ārān vijñā(na)[ṃ nānu]śete tan nānun[ī]yat[e]
[yan n]ānun[ī]yat[e] na t[e]na saṃkhyāṃ gacchati. upādāya bhadaṃta saṃyukta[ḥ], (a)nupādā[y](a) [v](i)saṃyu(kta)ḥ
.

<96> Kha ii 10a, Chung 2008: 319,15: evam aha(ṃ) bhada(ṃt)ā(sya bhagavatā saṃkṣiptena bhāṣitasya vistareṇā)[vi]bhaktasya [vi]stareṇārtham ājānāmi. Penggalan melanjutkan dengan Sang Buddha dengan menyetujui mengulang pernyataan sang bhikkhu.

<97> Kha ii 10a, Chung 2008: 319,27: (atha sa bhikṣur anena bhaga)[v](a)tā saṃkṣiptenā[p](avādenāva)v[ād]i(ta)ḥ yā ... [bh](ū)[v](a).

<98> Paralel: SN 22.68 dalam SN III 77,26, sebuah kutipan kotbah dalam Abhidharmakośavyākhyā, Wogihara 1932: 48,2, dan sebuah kutipan kotbah yang dipertahankan dalam Tibetan, D 4094 ju 21a3 atau Q 5595 tu 23b1, yang diterjemahkan di bawah Dhammadinnā 2012: 79.

<99> Wogihara 1932: 48,2: yad bhikṣo na tvaṃ sa te dharmaḥ prahātavya iti.

<100> Menurut instruksi dalam SN 22.68 pada SN III 77,30, keinginan terhadap apa yang bukan diri seharusnya dilepaskan; suatu nasehat yang tidak diikuti dengan menyatakan bahwa ini akan membawa pada kedamaian dan kebahagiaan sang bhikkhu, dst.

<101> Wogihara 1932: 48,3: ājñātaṃ bhagavann ity āha.

<102> Wogihara 1932: 48,3: yathā katham asya bhikṣo saṃkṣiptenōktasyārtham ājānāsi.

<103> Wogihara 1932: 48,4: rūpaṃ bhadanta nāhaṃ, sa me dharmaḥ prahātavya iti vistaraḥ.

<104> Paralel: SN 22.69 dalam SN III 78,17.

<105> Menurut instruksi dalam SN 22.69 pada SN III 78,20, keinginan terhadap apa yang bukan milik diri seharusnya dilepaskan; suatu nasehat yang tidak diikuti dengan menyatakan bahwa ini akan membawa pada kedamaian dan kebahagiaan sang bhikkhu, dst.

<106> Paralel: SN 22.70 dalam SN III 79,7.

<107> Menurut instruksi dalam SN 22.70 pada SN III 79,12, keinginan terhadap apa yang tampak menggiurkan seharusnya dilepaskan; suatu nasehat yang tidak diikuti dengan menyatakan bahwa ini akan membawa pada kedamaian dan kebahagiaan sang bhikkhu.

<108> Terjemahan saya mengikuti Yìnshùn 1983: 30 catatan no.2 yang menyatakan untuk membaca 染 alih-alih 深. Pada pembacaan aslinya, ini akan menjadi “Kotbah tentang Apa yang Mendalam”. Dalam tinjauan kotbah yang mendahului dan yang mengikuti, ini tidak masuk akal. Kotbah ini tidak muncul dalam uddāna. Penyingkatan tampaknya menyatakan bahwa penguraian yang sama seperti yang telah diberikan dalam SĀ 19 seharusnya diulangi, tetapi dengan judul yang berbeda. Dengan demikian SĀ 20 memiliki paralel yang sama dengan SĀ 19.

<109> Paralel: SN 22.63-65 dalam SN III 73,15.

<110> Menurut instruksi dalam versi-versi yang paralel, seseorang diikat oleh Māra dengan cara berikut: dengan kemelekatan berdasarkan SN 22.63 dalam SN III 74,4, dengan membayangkan berdasarkan SN 22.64 dalam SN III 75,3, dan dengan menyenangi berdasarkan SN 22.65 dalam SN III 75,27.

<111> Paralel: SN 22.125 dalam SN III 170,1, Akanuma 1929/1990: 27 alih-alih menyebutkan SN 22.124 yang sama dekatnya, yang berbeda dari SN 22.125 dalam tidak mengambil topik tentang terbebaskan, oleh sebab itu SN 22.125 tampaknya suatu paralel yang lebih dekat pada SĀ 22.

<112> Menurut SN 22.125 dalam SN III 170,3, Kappa menanyakan bagaimana seseorang seharusnya mengetahui dan melihat sedemikian sehingga sehubungan dengan tubuh ini dengan kesadaran dan ciri-ciri eksternalnya pikiran bebas dari pembentukan-aku, pembentukan-milikku, dan kesombongan, melampaui pembedaan, adalah damai dan terbebaskan dengan baik.

<113> Paralel: SN 18.21 dalam SN II 252,7 dan SN 22.91 dalam SN III 135,24.

<114> SĀ 23 dalam T II 5a22: 非我, 不異我, 不相在. Terjemahan saya dari bacaan yang samar-samar ini berhutang kepada Choong 2000: 59, yang mengalihkan perhatian pada SĀ 45 dalam T II 11b5: 色是我, 色異我, 我在色, 色在我, yang kemudian diringkas dalam dua baris terakhir sebagai 色是我, 異我, 相在; cf. juga penjelasan dari bacaan yang sekarang yang diberikan dalam Saṃyukta-āgama edisi Fóguāng, halaman 33 catatan no.2: 即無我, 無我所, 五蘊不在我中, 我不在五蘊中.

<115> SN 18.21 dalam SN II 252,29 dan SN 22.91 dalam SN III 136,17 berakhir pada titik ini.

<116> SĀ 23 dalam T II 5b2: 無間等, yang dalam T 99 tampaknya diterjemahkan menjadi abhisamaya.

<117> Paralel: SN 18.22 dalam SN II 253,1 dan SN 22.92 dalam SN III 136,18.

<118> SN 18.22 dalam SN II 252,30 dan SN 22.92 dalam SN III 137,6 berakhir pada titik ini.

<119> Setelah penutup kotbah ini terdapat sebuah syair ringkasan (uddāna), yang tidak saya masukkan dalam terjemahan.

<120> Tidak ada paralel yang tampak sejauh ini yang telah diidentifikasi. Untuk kotbah 25 sampai 29 rekonstruksi saya atas judul masing-masing kotbah berdasarkan pada uddāna yang ditemukan setelah kotbah 29.

<121> Paralel: SN 22.115 dalam SN III 163,14, Akanuma 1929/1990: 27 juga menyebutkan SN 22.116, yang menggabungkan pertanyaan tentang guru Dharma dengan pertanyaan tentang berlatih sesuai dengan Dharma dan mencapai Nirvāṇa dalam kehidupan ini juga, oleh sebab itu SN 22.115 adalah paralel yang lebih dekat dengan SĀ 26, karena pertanyaannya hanya menyangkut guru Dharma, walaupun Sang Buddha kemudian menguraikan ketiga topik semuanya.

<122> SN 22.115 dalam SN III 163,21 melanjutkan setelah definisi guru Dharma dengan menjelaskan dua topik lagi: bagaimana seseorang berlatih sesuai dengan Dharma dan bagaimana seseorang mencapai Nirvāṇa dalam kehidupan ini juga.

<123> Paralel: SN 22.39 dalam SN III 40,22. Akanuma 1929/1990: 27 juga menyebutkan SN 22.40-42, yang mengembangkan perlakuan yang sama dengan alternative merenungkan ketidakkekalan, dukkha, dan bukan-diri. Dengan demikian SN 22.39 adalah paralel terdekat dengan SĀ 27.

<124> SN 22.39 dalam SN III 40,23 mulai dengan Sang Buddha menyampaikan pengajaran dengan sendirinya, tanpa siapa pun menanyakan suatu pertanyaan yang berhubungan.

<125> SN 22.39 dalam SN III 40,28 melanjutkan dari kekecewaan dengan lima kelompok unsur kehidupan menuju pemahaman sepenuhnya dan menjadi terbebaskan dari mereka, di mana seseorang juga terbebaskan dari kelahiran, usia tua dan kematian, dst.

<126> Paralel: SN 22.116 dalam SN III 164,3 dan sebuah kutipan kotbah dalam Abhidharmakośabhāṣya, Pradhan 1967: 93,21, dengan suatu kutipan yang lebih lengkap yang dipertahankan dalam Tibetan, D 4094 ju 97b3 atau Q 5595 tu 111b1, yang diterjemahkan di bawah Dhammadinnā 2012: 83. Akanuma 1929/1990: 27 juga menyebutkan SN 22.115 (cf. di atas catatan no.121) dan SN 35.154, yang mengambil enam landasan-indera alih-alih kelompok unsur kehidupan dalam jawabannya.

<127> Terjemahan saya berdasarkan pada perbaikan SĀ 28 dalam T II 6a3: 得見法涅槃 sampai 見法得涅槃, sesuai dengan paralel Sanskrit, Pradhan 1967: 93,21: dṛṣṭadharmanirvāṇaprāpto bhikṣur ity uktaṃ. Dalam SN 22.116 pada SN III 164,7, topik mencapai Nirvāṇa di sini dan saat ini adalah yang ketiga dari tiga topik yang mulai dibicarakan oleh sang bhikkhu, dua yang lainnya adalah guru Dharma dan berlatih sesuai dengan Dharma.

<128> Paralel: SN 22.115 dalam SN III 163,14.

<129> SN 22.115 dalam SN III 163,21 melanjutkan, setelah mendefinisikan guru Dharma, dengan menjelaskan bagaimana seseorang berlatih sesuai dengan Dharma dan bagaimana seseorang mencapai Nirvāṇa dalam kehidupan ini juga, cf. di atas catatan no.121.

<130> Setelah penutup kotbah ini terdapat sebuah syair ringkasan (uddāna), yang tidak saya masukkan dalam terjemahan.
« Last Edit: 14 June 2015, 09:21:50 PM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (1)
« Reply #8 on: 14 June 2015, 09:10:01 PM »
<131> Paralel: SN 22.49 dalam SN III 48,5 dan penggalan MSS Bendall xix,7 dan xxi,2, La Vallée Poussin 1907: 375-377. Untuk kotbah 30 sampai 32 rekonstruksi saya atas judulnya berdasarkan pada uddāna yang ditemukan setelah kotbah SĀ 262 dalam T II 67a20 dalam apa yang menurut urutan Saṃyukta-āgama yang direkonstruksi menjadi jilid kedua dari kumpulan itu. Uddāna mulai dengan suatu referensi pada tiga kotbah kepada Soṇa, 輸屢那三種.

<132> MSS Bendall, La Vallée Poussin 1907: 375,1 (yang menghitung baris dari awal dari penggalan sebenarnya): śāriputra idam avocat. Dengan demikian di sini Śāriputra tepat muncul dengan suatu ajaran (tentang para pertapa dan brahmana). SN 22.49 dalam SN III 48,11 dengan sama tidak melaporkan Soṇa menanyakan tentang para pertapa dan brahmana, tetapi alih-alih diajarkan tentang mereka, walaupun di sini ia telah mengunjungi Sang Buddha alih-alih Sāriputta dan dengan demikian menerima ajaran dari Sang Buddha.

<133> MSS Bendall, La Vallée Poussin 1907: 375,1: ye ke cic chroṇa śramaṇā vā brāhmaṇā vā anityena rūpeṇādhruveṇānāśvāsikena vipariṇāmadharmaṇā śreyāṃsaḥ sma iti manyante, sadṛśās sma iti manyante hīnā[ḥ] sma iti manyante, nānyatra te śroṇa śramaṇā vā brāhmaṇā vā evaṃ yathābhūtasyādarśanāt. Bagian yang sekarang dari SĀ 30 telah diterjemahkan oleh Choong 2000: 60, yang hal. 59 telah mencatat bahwa dalam paralel Pāli SN 22.49 bagian ini bukan suatu pertanyaan yang ditanyakan Soṇa, tetapi sebuah ajaran yang diberikan Sang Buddha; cf. juga di atas catatan no.132.

<134> MSS Bendall, La Vallée Poussin 1907: 375,5: ye ke cic chroṇa śramaṇā vā [brāhma]ṇā vā anityayā vedanayā, saṃjñayā, saṃskārair, anityena vijñānenādhruveṇānāśvāsikena vipariṇāmadharmaṇā vijñānena śreyāṃsaḥ sma iti manyante, sadṛśā[ḥ] sma iti manyante hīnā[ḥ] sma iti manyante, nānyatra te śroṇa śramaṇā vā brāhmaṇā vā evaṃ yābhūtasyādarśanād. Penggalan itu melanjutkan dengan kasus positif para pertapa dan brahmana yang tidak memiliki gagasan lebih tinggi, sama, atau lebih rendah demikian.

<135> MSS Bendall, La Vallée Poussin 1907: 376,14: tat kim manyase śroṇa, rūpaṃ nityaṃ vā anityaṃ vā? anityam idaṃ bhoḥ śāriputra.

<136> MSS Bendall, La Vallée Poussin 1907: 376,15: yat punar anityaṃ, duḥkhaṃ [vā] tan na vā duḥkhaṃ? duḥkham idaṃ bhoḥ śāriputra.

<137> MSS Bendall, La Vallée Poussin 1907: 376,17: yat punar anityaṃ duḥkhaṃ vipariṇāmadharma api nu tac chrutavān āryaśrāvaka ātmata upagacched, etan mama, eṣo 'ham asmy, eṣa me ātmeti? no bhoḥ śāriputra.

<138> MSS Bendall, La Vallée Poussin 1907: 376,20: kim manyase śroṇa, vedanā saṃjñā saṃskārā vijñānaṃ nityaṃ vā anityaṃ vā? anityam idaṃ bhoḥ śāriputra.

<139> MSS Bendall, La Vallée Poussin 1907: 376,22: yat punar anityaṃ, duḥkhaṃ vā tan na vā duḥkhaṃ? duḥkham idaṃ bhoḥ śāriputra.

<140> MSS Bendall, La Vallée Poussin 1907: 376,23: yat punar anityaṃ duḥkhaṃ vipariṇāmadharma api nu tac chrutavān āryaśrāvaka ātmata upagacched, etan mama, eṣo 'ham asmi, eṣa me ātmeti? no bhadanta śāriputra.

<141> MSS Bendall, La Vallée Poussin 1907: 376,26: tasmāt tarhi śroṇa yat kiṃ cid rūpam atītānāgatapratyutpannam ādhyātmikaṃ vā bāhyaṃ vā audārikaṃ vā sūkṣmaṃ vā hīnaṃ vā praṇītaṃ vā yad vā dūre yad vā antike, tat sarvaṃ naitan mama, naiṣo 'ham asmi, naiṣa me ātmety evam etad yathā bhūtaṃ samyakprajñayā draṣṭavyaṃ.

<142> MSS Bendall, La Vallée Poussin 1907: 376,31: tasmāt tarhi śroṇa yā ka cid vedanā saṃjñā saṃskārā yat kiṃ cid vijñānam atītānāgatapratyutpannam ādhyātmikaṃ vā bāhyaṃ vā audārikaṃ vā sūkṣmaṃ vā pūrvavad yāvat sa.

<143> MSS Bendall, La Vallée Poussin 1907: 376,35: āryaśrāvako rūpād api nirvidyate, vedanāyāḥ saṃjñāyāḥ saṃskārebhyo vijñānād api nirvidyate, nirviṇṇo virajyate, virakto vimucyate.

<144> MSS Bendall, La Vallée Poussin 1907: 377,2: vimuktasya vi[muktam iti jñānaṃ bhavati, kṣīṇā jāti]r uṣitaṃ brahmacaryaṃ kṛtaṃ karaṇīyaṃ nāparaṃ asmād bhavaṃ prajanāmīty. SN 22.49 dalam SN III 50,10 berakhir pada titik ini dan dengan demikian tidak melaporkan [pencapaian] pemasuk-arus Soṇa.

<145> MSS Bendall, La Vallée Poussin 1907: 377,5: asmin khalu dharmaparyāye bhāṣyamāne śroṇasya gṛhapatiputrasya virajo vigatamalaṃ dharmeṣu dharmacakṣur utpannaṃ. atha śroṇo gṛhapatiputro dṛṣṭadharmā prāptadharmā viditadharmā paryavagāḍhadharmā tīrṇṇakāṃkṣas tīrṇavicikitso ... vaiśāradyaprāpta.

<146> MSS Bendall, La Vallée Poussin 1907: 377,10: utthāyāsanād ekāṃsaṃ uttarāsaṅgaṃ kṛtvā yenāyusmāṃc chāriputras tenāñjaliṃ pranamayya āyusmantaṃ śāriputram idam avocat.

<147> MSS Bendall, La Vallée Poussin 1907: 377,12: abhikrānto 'haṃ bhadanta śāriputrābhikrāntaḥ, yathāhaṃ bhagavantaṃ śaraṇaṃ gacchāmi dharmaṃ ca bhikṣusaṃghaṃ copāsakam ca māṃ dhārayādyāgreṇa yāvaj jīv.

<148> MSS Bendall, La Vallée Poussin 1907: 377,16: śroṇo gṛhapatiputra āyuṣmanaḥ śāriputrasya bhāṣitam abhinandyānumodyāyuṣmanaḥ śāriputrasya pādau śirasā vanditvā āyuṣmanaḥ śāriputrasyāntikāt prakrāntaḥ.

<149> Paralel: SN 22.50 dalam SN III 50,11, Bendall xix,7 dan xxi,2, v3-7, La Vallée Poussin 1907: 377f, edisi yang direvisi dalam Chung 2008: 321-323 (yang mensejajarkan SĀ 31 dengan penggalan Sanskrit).

<150> MSS Bendall, Chung 2008: 321,1 (di sini dan di bawah ini, referensi baris adalah pada teks sebenarnya dari edisi itu), alih-alih mulai dengan hanya rājagṛhe nidānaṃ; cf. juga di atas catatan no.4, 45 dan 88.

<151> MSS Bendall, Chung 2008: 321,2: atha śroṇo gṛhapatiputro divādivam eva jaṃghāvihāreṇānucaṃkramyamāṇo 'nuvicaran pādābhyām eva gṛdhrakūṭaparvatam abhiruhya yeṇāyuṣmāṃc chāriputtras tenopasaṃkrānta upasaṃkramyāyuṣmataḥ śāriputrasya pādau śirasā vanditvaikānte niṣaṇṇaḥ. Dalam SN 22.50 pada SN III 50,13 Soṇa mengunjungi Sang Buddha alih-alih Sāriputta.

<152> MSS Bendall, Chung 2008: 321,11: ekāntaniṣaṇṇaṃ śroṇaṃ gṛhapatiputram āyuṣmāṃc chāriputtra idam avocat.

<153> MSS Bendall, Chung 2008: 321,13: ye kecic chroṇa śramaṇā vā brāhmaṇā vā rūpaṃ yathābhūtaṃ na prajānanti rūpasamudayaṃ rūpanirodhaṃ rūpanirodhagāminīṃ pratipadaṃ yathābhūtaṃ na prajānaṃty abhavyās te śroṇa śramaṇā vā brāhmaṇā vā tad rūpaṃ parijñātuṃ. Menurut SN 22.50 dalam SN III 50,29 para pertapa dan brahmana demikian bukanlah para pertapa dan brahmana [sejati] dan tidak di sini dan saat ini merealisasi intisari menjadi pertapa dan brahmana. Sebuah penguraian yang mirip dengan SĀ 31, tetapi disampaikan Sang Buddha kepada para bhikkhu, dapat ditemukan dalam penggalan Kha ii 1d/10c/12a r3-7, La Vallée Poussin 1913: 575f. Penggalan itu berbeda dari SĀ 31 tetapi bersesuaian dengan SN 22.50 dengan mengindikasikan bahwa para pertapa dan brahmana yang tidak mengetahui bentuk jasmani, dst., munculnya, lenyapnya dan jalan menuju lenyapnya, bukanlah para pertapa dan brahmana [sejati] dan tidak merealisasi intisari menjadi pertapa dan brahmana.

<154> MSS Bendall, Chung 2008: 322,6: ye kecic chroṇa śramaṇā vā brāhmaṇā vā vedanāṃ saṃjñāṃ saṃskārān vijñānaṃ yathābhūtaṃ na prajānanti vijñānasamudayaṃ vijñānanirodhaṃ vijñānanirodhagāminīṃ pratipadaṃ yathābhūtaṃ na prajānanty abhavy[ās] t(e) [ś]r[o ]ṇa śramaṇā vā brāhmaṇā vā tad vijñānaṃ parijñātuṃ.

<155> MSS Bendall, Chung 2008: 322,17: ye tu kecic chroṇa śramaṇā vā brāhmaṇā vā rūpaṃ yathābhūtaṃ prajānanti rūpasamudayaṃ rūpanirodhaṃ rūpanirodhagāminīṃ pratipadaṃ yathābhūtaṃ prajānanti bhavyās te śroṇa śramaṇā vā brāhmaṇā vā tad rūpaṃ parijñātuṃ.

<156> MSS Bendall, Chung 2008: 323,3: ye tu kecic chroṇa śramaṇā vā b[r]āh[m]aṇā vā vedanāṃ saṃjñāṃ saṃskā〈rān vi〉jñānaṃ yathābhūtaṃ〈pra〉jānanti vijñānasamudayaṃ vijñānanirodhaṃ vijñānanirodhagāminīṃ pratipadaṃ yathābhūtaṃ prajānanty bhavyās te śroṇa śramaṇā vā brāh[m]aṇā vā tad vijñānaṃ parijñātuṃ. SN 22.50 berakhir pada titik ini dan dengan demikian tidak memiliki tanya-jawab tentang tiga karakteristik.

<157> MSS Bendall, Chung 2008: 323,13: kiṃ manyase śroṇa rūpaṃ [ni](t)ya(ṃ) vā a(n) [i ]tyaṃ vā. anityam idaṃ bhadanta śārip[ut](ra).

<158> Sebuah penguraian yang mirip dengan SĀ 32, tetapi disampaikan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu, dapat ditemukan dalam penggalan Kha ii 1d/10c/12a r7-v1, La Vallée Poussin 1913: 576. Penggalan itu berbeda dari SĀ 32 dengan mengindikasikan bahwa para pertapa dan brahmana yang tidak mengetahui bentuk jasmani, dst., munculnya, lenyapnya, kepuasannya, bahayanya dan jalan keluar darinya sebagaimana adanya, bukanlah para pertapa dan brahmana [sejati] dan tidak merealisasi intisari menjadi pertapa dan brahmana.

Singkatan

BeBurmese edition
CeCeylonese edition
DDerge edition
EePTS edition
Fóguāng佛光電子大藏經 , 阿含藏, 雜阿含
QPeking edition
SeSiamese edition
SHTSanskrithandschriften aus den Turfanfunden
SNSaṃyutta-nikāya
SpkSāratthappakāsinī
TTaishō edition, CBETA

« Last Edit: 14 June 2015, 09:21:23 PM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa