Namo Omitofo
:p
Jangan bingung om Felix.
Saya cuma sedang mencoba berkomunikasi dengan gambar. Bukankah 1 gambar bisa mewakili 1000 kata-kata?
Pada awalnya kan banyak yang berkomentar tentang si anu si inu udah arahat dsb. Saya sedikit merasa "keri" (geli) dari keadaan itu. Oleh karena itu saya posting :
ngukur meja pake meteran
ngukur arah pake kompas
ngukur arahat pake..... ?
Maksudnya :
Orang-orang itu mencoba berdebat tentang siapa sudah arahat atau belum. Masalahnya, ukurannya yang obyektif apa? Kalau subyektif itu artinya cuman kira-kira dan tiada artinya. Lantas apakah itu tidak hanya akan menebalkan avijja kita?
Oleh karena itu saya siratkan dalam kata-kata itu suatu alat-alat yang bisa mengukur secara obyektif. Dan saya tampilkan :
yang menggambarkan "alat canggih", artinya : kalau hal sederhana sih bisa pakai ukuran sederhana, tetapi kalau pencapaian arahat yang notabene sudah diluar pikiran kita untuk menilai, apakah tidak harus "sangat canggih" tuh (if there so)?
Nah berhubung secara rasionil hal itu tidak mungkin, maka saya tampilkan gambar berikutnya yang bertuliskan "Don't Ask!"...artinya "Jangan bertanya", "Jangan ditanyakan".
Kebetulan gambar lucu berfungsi entertainment, tentu saja mengandung pesan yg menyentil : Burung yang biasa dikurung dalam sangkar dan kucing mengamati diluar, kini terbalik : kucing dalam dikurung dalam sangkar dan diamati burung. Ini kan terbalik! Terbalik apanya?
Orang yang bisa menilai adalah orang yang lebih tinggi levelnya, tapi yang terjadi adalah bahwa kita-kita yang masih rendah levelnya ini mencoba menilai orang lain yg lebih tinggi. Bagaimana bisa?
Apa yang beliau pikirkan dan alami, belum tentu kita pahami.
Nah, selanjutnya si Bond mencoba jawab bahwa ukurnya dengan hati (heart).
Ya saya tampilkan gambar Hati (heart). Saya katakan "Yes" itu sebetulnya pelesetan dari kata "Yesus".
Yang mana, kalau pesan saya ditangkap secara keseluruhan maka sebetulnya saya akan berkata "No". Tidak mungkin arahat bisa dinilai dari hati saja. Hati siapa dulu? Kalau hati seorang non-buddhis theravada pasti ya menolak mengatakan orang itu suci (makanya gambar Yesus ini menyiratkan pihak yg lain keyakinan). Penilaian hati sangat relatif dan subyektif.
Lagipula bagaimana mungkin hati kita yang masih tertutup tebal dengan debu ini mampu melihat "sinar kemilau terang hati" seorang suci? Kemilau terang itu seringkali tampak redup karena terhalang oleh kekotoran debu mata batin kita sendiri.
Inti kata, saya setuju dengan yg dikatakan Huiono yg pada intinya : hanya seorang arahat / sammasambuddha lah yang bisa menilai orang lain arahat. Dan orang semacam itu tidak akan sembarang berucap, karena disamping ada vinaya yg melarang hal itu juga mereka juga sudah tidak melakukan 'idle talk' lagi spt kita2 ini.
Nah, akhir kata, saran saya : berhentilah mencari dan berspekulasi siapa yang arafat, sotopanas dsb.
Mudah-mudahan paham ya.