AKU ADALAH ARSITEK DARI NASIBKU “Aku adalah pemilik karmaku sendiri, pewaris karmaku, lahir dari karmaku, berhubungan dengan karmaku, terlindung oleh karmaku; apapun karma yang kuperbuat, baik maupun buruk, itulah yang akan kuwarisi.”
Aku hanya menerima buah dari karma yang kuperbuat, orang lain tak dapat menerima buah tersebut, demikian pula aku tak dapat menerima buah dari karma yang diperbuat orang lain.
“Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang ternoda. Oleh diri sendiri kejahatan tak dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri; tak seorangpunyang dapat mensucikan orang lain.”
Demikianlah ungkapan yang tersirat dalam sanubari seorang umat Buddha dalam mengemban tanggung jawab moralnya.
Orang lain akan memperhatikan bahwa ungkapan di atas sama sekali tidak menyebutkan ‘dosa’ (dalam pengertian umum), suatu konsep yang asing bagi ajaran Buddha.
Seorang umat Buddha yang melanggar sila yang merupakan tekadnya, mengetahui bahwa ia mungkin akan menderita hasilnya sesuai dengan perbuatannya tersebut, dan oleh karena itu ia akan berusaha keras dan bertekad untuk memperbaharui dan menjaga moralnya semurni mungkin. Dengan demikian ia tidak dibebani oleh kesalahannya.
Karma (Perbuatan) yang telah dibuat tidak dapat dirapikan atau dicuci oleh kepercayaan/kenyakinan atau upacara ritual belaka. Jangka waktu berbuahnya karma tersebut sangat bervariasi. Beberapa karma akan berbuah dengan segera, dan hubungan karma dan buah tersebut mudah dicerap/diterima. Yang lainnya berbuah setelah beberapa waktu, dan hal ini lebih sulit untuk dilihat hubungannya. Karma yang lain tidak berbuah pada kehidupan ini, tetapi akan berbuah pada kehidupan berikutnya atau beberapa kehidupan selanjutnya. Jenis inilah yang paling sulit dimengerti. Dan tentunya, tanpa mengembangkan kemampuan mengingat kehidupan-kehidupannya yang lampau dengan melakukan meditasi, orang biasa tidak memiliki cara untuk mengerti kejadian-kejadian yang sulit dipahaminya. Sehingga ia akan berpikir bahwa hal itu terjadi secara random atau muncul secara kebetulan, atau apabila semua spekulasinya gagal, ia mencatatnya untuk ‘faktor yang membingungkan/tak tentu’, yakni sebagai ‘the Will of God’…
Bahan :
Buddhism explaned oleh Phra Khantipalo.