TANTRAYANA (... dan perkembangannya di Indonesia)
Rakyat Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku, sejak dahulu memeluk agama yang berbeda-beda. Tantrayana adalah suatu aliran atau sekte yang pada masa lampau pernah cukup banyak pemeluknya dan berkembang luas di Indonesia; bahkan raja Kertanegara dari kerajaan Singasari adalah seorang penganut yang taat dari agama Budha Tantra.
Raja Kertanegara dari kerajaan Singasari di Jawa Timur adalah seorang raja yang sangat taat melaksanakan ajaran Tantrayana. Beliau hidup berpesta pora di dalam istana bersama-sama dengan mentri-mentri dan para pendeta terkemuka. Bahkan ketika Singasari diserbu oleh pasukan kerajaan Kediri pun mereka sedang mengadakan pesta pora, tetapi upacara pesta pora, makan minum besar-besaran tersebut bukan sebagai pesta biasa, melainkan raja bersama para mentri dan pendeta itu sedang melakukan upacara-upacara Tantrayana (Soekmono, 1959 : 60).
Untuk mengungkapkan perkembangan Tantrayana di Bali maka uraian tidak bisa lepas dari hubungan Bali dengan Jawa Timur, yang dimulai dengan perkimpoian raja Dharma Udayana Warmadewa di Bali dengan seorang putri raja Jawa Timur yang bernama Sri Gunapriyadharmapatni. Beliau adalah putri Makutawangsawardhana, sedangkan Makutawangsawardhana adalah cucu raja Sindok. Pada masa pemerintahan Raja Sindok di Jawa Timur Tantrayana telah berkembang. Pada waktu itu telah disusun kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang menguraikan soal-soal ajaran dan ibadah agama Budha Tantra. Kemungkinan bahwa Sri Gunapriyadharmapatni atau Mahendradhatta pun telah terpengaruh oleh aliran itu di tempat asalnya di Jawa timur, sebab di Bali jaman pemerintahan raja Dharma Udayana Warmadewa dan Gunapriyadharmapatni merupakan jaman hidup suburnya perkembangan ilmu-ilmu gaib. Cerita Calon Arang yang sangat terkenal di Bali dihubungkan dengan kehidupan Mahendradhatta. Di dalam Lontar Calon arang ada diuraikan bagaimana memuja Hyang Bhairawi atau Dewi Durga untuk mendatangkan wabah penyakit di dalam negeri Kerajaan Airlangga. Calon arang dan muridnya menari-nari di atas mayat-mayat yang telah dihidupkan kembali untuk persembahan Dewi Durga sebagai korban agar semua kehendaknya bisa dikabulkan. Cara-cara seperti itu adalah hal yang biasa di dalam Tantrayana.
Permaisuri Mahendradhatta mangkat lebih dahulu dari raja Udayana dan didharmakan di Burwan, Kutri, Gianyar. Di tempat itu beliau diwujudkan dalam bentuk arca besar Durgamahisasuramardhini. Arca itu merupakan Bhatari Durga yang sedang membunuh asura (setan) yang berada pada badan seekor kerbau besar (Goris, 1048 : 6). Arca itu menguatkan dugaan orang bahwa Mahendradhatta sebagai penganut ajaran-ajaran ilmu gaib dan Dewi Durgalah yang menganugerahi kesaktian (Shastri, 1963 : 49). Kendatipun dalam cerita calon arang banyak keadaan yang bercampur baur dan keliru, tapi mungkin ada dasar-dasarnya yang benar bahwa Mahendradhatta dilukiskan sebagai Calon Arang (Goris, 1948 : 7). Dengan demikian maka kemungkinan pada sekitar abad X Tantrayana telah berkembang di Bali.
Kemudian pada sekitar abad XIII di Jawa Timur memerintah raja Kertanegara sebagai raja terakhir kerajaan Singasari. Raja ini terkenal dalam ilmu politik luar negerinya ingin meluaskan daerah kekuasaannya ke Barat sampai ke Bali. Menurut kitab Negarakertagama raja Kertagama pada tahun 1280 masehi membunuh orang jahat yang bernama Mahisa Rangkah dan selanjutnya dikatakan bahwa pada tahun 1284 beliau telah menyerang Bali dan rajanya ditawan (Krom, 1956 : 188). Hal itu tercantum dalam kitab Negarakertagama di katakana sebagai berikut :
Tahun saka : yama sunti hari baginda raja membrantas penjahat Mahisa Rangga, karena jahat tingkah lakunya dibenci seluruh negara. Tahun saka : badan-badan langit hari kirim utusan untuk menghancurkan Bali setelah kalah rajanya menghadap baginda sebagai orang tawanan (Prapanca, 1953 : 38).
Sayang sekali di dalam buku Negarakertagama itu tidak ada disebutkan nama raja Bali itu. Prasastinya hingga kini belum ditemukan di Bali, sehingga sulit bagi kita untuk mengetahui nama-nama raja di Bali pada waktu itu. Dr. R. Goris di dalam kitabnya Sejarah Bali Kuna (1948) menyebutkan bahwa ada dua buah prasasti yang berangka tahun caka 1218 dan caka 1222, yang tidak menyebutkan nama raja, tetapi banyak menyebutkan nama “Raja Patih” yakni Kebo Parud. Nama-nama dan pangkat mentri lainnya juga bercorak Jawa seperti mentri-mentri kerajaan Singasari.
Prasasti pertama yang dikeluarkan oleh Kebo Parud berangka tahun caka 1218 berisikan persoalan dan kebengisan. Patih di dalam prasasti itu dikenal sebagai “Mwang Ida Raja Patih I mekakasir Kebo Parud” (Goris, 1948 : 11). Berdasarkan nama patih itu dan isi prasasti ternyata patih itu seorang pegawai negara yang berasal dari Jawa Timur. Nama semacam itu di Kerajaan Singasari sering dipakai sebagai nama patih raja Kertanegara antara lain Patih Kebo Arema dan Raganatha, Patih Kebo Tengah atau Aragani. Kemungkinan Patih Kebo Parud bertugas sebagai seorang Gubernur atau semacam itu yang mewakili pemeritah Singasari di Bali. Prasasti lainnya dari Kebo Parud berangka tahun caka 1222 yang menguraikan tentang desa Sukawati yang terletak di perbatasan Min Balingkang. Dalam prasasti ini terdapat kata-kata ; Mpukwing, Dharma Anyar, Mpukwing istana raja, Mpukwing dewa istana. Agama yang dianut Patih Kebo Parud rupa-rupanya adalah Tantrayana. Dalam prasasti-prasastinya pun tidak terdapat sapatha yang ditujukan kepada Maha Rsi Agastya, sering terdapat dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Bali yang dikeluarkan lebih dahulu.
Pada sekitar abad ke XIII di kerajaan Singasari Jawa Timur memang sedang berkembang bahkan menjadi pusat alian Tantrayana dan sebagai pemimpinnya adalah raja Kertanegara sendiri yang memerintah tahun 1268 – 1292.
Dari jaman Kebo Parud di Bali, didaerah Pejeng didapatkan sebuah arca Bhaiwara. Arca itu tingginya 360 cm dengan bentuk badannya yang besar dan tegap, berdiri di atas mayat manusia. Bentuknya yang demikian menunjukkan dewa Siwa dalam keadaan marah (krodha). Arca di tempatkan pada satu bangunan yang disebut Pelinggih Bhatara Siwa Bhairawa. Bentuk arca itu serupa dengan arca Bhairawa di Singasari. Kemungkinan besar bahwa latihan-latihan Tantrayana dilakukan pula pada masa pemerintahan pegawai-pegawai kerajaan Singasari di Bali. Arca Bhairawa yang terdapat di daerah Pejeng itu disimpan di daerah Pura Kebo Edan. Sebutan Siwa Bhairawa oleh penduduk di sekitar pura itu menunjukkan bahwa arca itu adalah sebuah arca yang dibuat oleh para penganut Tantrayana untuk kepentingan upacara-upacara kepercayaan.
Selain arca Siwa Bhairawa tersebut di atas, di halaman pura Kebo Edan terdapat pula arca-arca raksasa. Satu arca itu ditempatkan pada satu bangunan kecil di muka sebelah kanan arca Siwa Bhairawa, sedangkan satu lagi ditempatkan pada satu bangunan di sebut Pelinggih Bhatara Kebo Edan. Kedua arca raksasa masing-masing tangannya membawa mangkok-mangkok darah yang dihiasi dengan hiasan-hiasan tengkorak. arca-arca itu dalam sikap berdiri, roman mukanya sangat mengerikan dengan mata melotot. Demikian pula seluruh kepala dan lehernya dihiasi dengan rangkaian tengkorak, sambil mengisap darah musuhnya dari mangkok darah yang dibawanya. Telinganya menggunakan anting-anting dengan hiasan tengkorak pula. Kedua arca itu mempunyai tinggi sama yaitu 130 cm.
Arca-arca tersebut di atas mengingatkan akan nama Chakrachakra yaitu sebuah arca Bhairawa di candi Singasari, Jawa Timur, yang tingginya 167 cm. Arca itu duduk di atas seekor anjing atau Srigala dalam keadaan telanjang bulat dengan hiasan-hiasan tengkorak dan kepala-kepala manusia pada seluruh badannya. Atribut pada tangan arca ialah sebuah pisau besar, trisula, gendang, dan mangkok tengkorak.
Arca serupa juga terdapat di Candi Biaro Bahal II, Padang Lawas, Batak dan Sumatra Tengah. Di tengah-tengah ruangan candi terdapat sebuah arca Heruka bersifat mengahncurkan. Wajahnya selalu membayangkan sifat merusak dan lebih hebat lagi terlihat pada saat dewa kejam itu sedang dalam puncak kemarahannya. Demikianlah pada jaman itu di candi Biaro Bahal itu telah diadakan upacara suka ria yang melampui batas dan sangat menggemparkan dimana darah para korban di tumpahkan kedalam sungai. Dewa menari-nari di atas mayat manusia. Atribut arca Heruka ialah wajra atau kilap disertai petir pada tangan kanan, mangkuk tengkorak pada tangan kiri, tangkai katwanggu (Trisula dihiasi dengan tengkorak-tengkorak, kepala manusia dan sebagainya) menekan pada badannya. Tengkorak-tengkorak menghiasi kepala dan badannya. Keajaiban seperti itu dalam upacara-upacara Tantrayana adalah biasa dan merupakan keharusan disertai dengan tertawa yang hebat, hal itu dipahatkan dalam salah satu prasasti di Padang Lawas : ha - ha - ha - ha - ha - hum hu - hu - he - hai hohu- aha - ha - om ah hum. Demikianlah gelak tertawa yang terpahat pada sebuah prasasti.
Dengan demikian rupanya pembuatan arca-arca Siwa Bhairawa dengan sikpanya yang dahsyat dan garang serta menari-nari di atas mayat manusia. Juga arca-arca raksasa yang membawa mangkuk-mangkuk darah sambil menghisap darah dari dalam mangkuk-mangkuk darah serta kerbau gila di pura Kebo Edan, kemungkinan besar dibuat adalah dalam hubungan kepentingan melakukan upacara Tantrayana. Demikianlah pada sekitar abad XIII Tantrayana Siwa Tantra atau Siwa Bhairawa berkembang luas di Bali.
Jadi Tantrayana pernah berkembang luas di Indonesia khususnya di Bali dalam bentuknya Siwa Tantra atau lebih dikenal dengan Siwa Bhairawa. Perkembangannya telah mulai terlihat sejak pemeritahan raja Dharma Udayana Warmadewa yang didampingi permaisurinya Mahendradhatta pada lebih kurang abad X. Dalam hal ini Mahendradhatta sebagai Calon Arang atau Rangda ing girah bersama murid-muridnya sebagai penganut Tantrayana memuja Dewi Durga untuk mendapatkan ilmu gaib, kesaktian agar terkabul segala kehendaknya.