//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Cung... cung... cep...  (Read 6026 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Sukma Kemenyan

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.840
  • Reputasi: 109
Cung... cung... cep...
« on: 10 March 2014, 03:37:43 PM »
Ancung... ancung... tancep!!!
Tidak bisa dipungkiri inilah yang banyak terjadi.

Tidak sedikit diantara mereka didalam kebingungan menjalankan tradisi yang mencoba mencari informasi.

Apakah vihara sudah berfungsi sebagaimana layaknya ?
Apakah kelenteng/bio sudah berfungsi sebagaimana mestinya ?

Apakah tempat ibadah diatas sudah mampu memberikan informasi atas kebingungan umat ?
Apakah tempat tersebut mampu memberikan jaminan kepada umat ?
Apakah tempat tersebut merupakan "tempat bernaung" (sanctuary/berlindung/mengeluh/curhat) umat ?

Merefer kepada bagaimana buddhist ter-convert
[VIDEO] Aksi yang membuang altar umat Buddhist yang pindah
dan mungkin masih banyak lagi kasus lainnya.



bagi anda yang merasa ini bukan tugas kita,
Please check nurani, dan tanyakan... Tugas siapa ?


Setelahnya,
Lalu... Apa sebenarnya yang salah dengan Buddhism/Tridharma ?
Bagaimana bisa tradisi2 tersebut pudar ?

dan apa solusinya ?

Offline Sukma Kemenyan

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.840
  • Reputasi: 109
Re: Cung... cung... cep...
« Reply #1 on: 10 March 2014, 03:44:34 PM »
Permasalahan #1
----------------------
cung cung cep... entah apa maksudnya... entah apa tujuannya... berhalanisme.

Inilah pertanyaan standard yang tidak mampu dijawab oleh kakek/nenek/ibu/bokap kita (bagi yg keturunan chinese).
Inilah salah satu yang mengakibatkan banyak generasi muda tionghua mulai gampang terbuai "rumput tetangga"
Dimana, kitab mereka jelas, aturan ibadah mereka jelas.

Sementara bagi pelaku cung-cung cep...
Mereka hanya mengetahui bakar hio, komat-kamit ke langit, ke bumi, pintu dan ke papan leluhur.
tanpa memahami makna dan tujuan.

Jikalau ada diantara anda yang bersedia menjelaskan panjang lebar mengenai makna tradisi tersebut,
Baik dari sisi Buddhism, Taoism dan Confucianism, really appreciated

 _/\_

Offline Sukma Kemenyan

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.840
  • Reputasi: 109
Re: Cung... cung... cep...
« Reply #2 on: 10 March 2014, 03:57:02 PM »
Permasalahan #2
----------------------
Jawaban yang salah, ditempat yang salah.

Salah satu contoh,
Maitreyanisme sudah mulai berserak, tidak terkendali, tidak ada yang menegur, bahkan tumbuh dengan subur
Pihak yang seharusnya memiliki kewenangan, tidak menegur, mempertanyakan...
bahkan terkesan membiarkan dengan dalil... "bukan kamma mereka untuk mengenal dhamma"

Offline dipasena

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.612
  • Reputasi: 99
  • Gender: Male
  • Sudah Meninggal
Re: Cung... cung... cep...
« Reply #3 on: 10 March 2014, 03:59:53 PM »
Hal ini sudah pernah di bahas di thread "Eksitensi Hio, Dupa dalam Tradisi Tionghoa" http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=6273.0

Spoiler: ShowHide

Melanjut pertanyaan bro nyanadana dan Cici lily.

Hio sebenarnya adalah medium untuk melakukan sembayang atau bagian dari peralatan sembayang, tidak mempunyai arti khusus dan makna khusus didalamnya

Hio itu sebuah tradisi sebagaimana bunga di barat sana. Hio digunakan karena simbolisasi juga, karena asapnya membumbung ke atas dan disimbolkan sebagai satu macam pendekatan dengan dewa-dewi di atas sana. Lalu beberapa macam hio juga wangi dan dapat bermakna sebagai penyucian batin dan lingkungan. Ada banyak orang yang bertanya2, kalau pindah agama boleh gak pegang hio yah? Yah, gak masalahlah, wong hio itu gak ada kaitannya dengan agama apapun. Itu hanya tradisi tok. Bandingkan tradisi menghormati dengan bunga di barat dengan tradisi menghormati pakai hio di Tiongkok? Jangan berpikiran sempit. Saya masih sering bingung kalau masih banyak yang merasa sebuah tradisi diadopsi oleh sebuah agama, lalu jadilah tradisi itu haram untuk agama lain.

Dupa atau sering kali disebut Hsiang (Mandarin) atau Hio (Hokkian) adalah
salah satu unsur yang eksis dalam kebudayaan Tionghoa selama ribuan
tahun. Dupa digunakan dalam acara penghormatan kepada leluhur
dan acara2 ritual keagamaan beberapa agama yang ada di Tiongkok.

Asal usul dupa pertama kali sebenarnya bukanlah langsung digunakan
untuk penyembahan atau penghormatan. Dupa masuk bersamaan dengan
masuknya agama Buddha ke China. Dikatakan bahwa sewaktu Buddha Sakyamuni
menyebarkan ajarannya kepada para pengikut, karena cuaca yang panas,
kebanyakan murid2 tak dapat berkonsentrasi, merasa mengantuk dalam
mendengarkan wejangan dari Buddha Sakyamuni. Maka untuk mengatasi hal
ini, orang2 kemudian membakar kayu2 harum dan wangi untuk mengharumkan
udara dan meningkatkan konsentrasi. Kemudian tradisi ini menjadi
kebiasaan dalam agama Buddha dan terbawa ke China dalam penyebarannya.

Dupa kemudian diadopsi oleh agama2 dan kepercayaan2 lain yang telah lama
ada di China sebelum agama Buddha masuk. Sehingga dupa menjadi sebuah
alat dalam ritual dan tradisi kebudayaan Tionghoa selama ribuan tahun,
baik dalam menghormati leluhur, menghormati dewa-dewi dalam agama2
tertentu di China dan juga tentunya oleh penganut agama Buddha sendiri.

Tradisi ini kemudian diperlambangkan sebagai sebuah alat untuk
berkomunikasi dengan leluhur, dewa-dewi dalam agama tertentu ataupun
sang Buddha sendiri. Ini terutama karena anggapan bahwa wewangian yang
menyebar dalam udara adalah salah satu bentuk penghormatan kepada yang
dipuja. Asap dari dupa yang bergerak ke atas juga sebagai perlambang
bahwa niat kita untuk menghormati ataupun memuja akan sampai kepada
tujuannya karena anggapan umum semua bangsa dan agama di dunia (saya
kira bukan hanya dalam agama2 tertentu) bahwa yang kita puja itu baik
Tuhan, Allah, Buddha, leluhur dan lain - lainnya yang derajatnya lebih tinggi
daripada manusia bertempat di atas langit.

Dupa juga dipercaya digunakan dalam acara ritual untuk menghormati
leluhur ataupun dewa-dewi dalam agama tertentu di China sebagai
pengganti persembahan lainnya seperti kurban2 makhluk bernyawa.

Selain itu dari versi lain

Berdasarkan kitab Zhou Li (tata krama dinasti Zhou) ditulis kalau untuk
menghormati Huang Tian adalah dengan Yin.
Yin adalah asap yang membumbung karena kayu2 (harum)yang dibakar.

Pada tulisan Bunsu Sidartanto Buanadjaya, yang berjudul "Ru Jiao - Selayang Pandang Kesejarahan Wahyu dan Kitab Sucinya Sepanjang Kurun Waktu 5000 Tahun", Ong Kun salah satu menteri dari Oey Tee (Huang Di=Kaisar Kuning) adalah penemu Than Hio yang dipakai sebagai wewangian pada upacara sembahyang.
Jauh lebih lama dari waktu masuknya agama Buddha ke Tiongkok (waktu Dinasti Han).

Catatan lain di Indonesia dikenal dengan Kemenyan, kemenyan adalah sejenis dupa, Sebenar pemakaian dupa dan pengenalan dupa berasala dari India pada era 7000 sm, pemakaian dupa sudah dikenal di India karena dupa pertama kali digunakan. Fungsi kemenyan sama seperti pembakaran dupa.

Cara sembahyang di kelenteng untuk orang awam pada umumnya dengan menggunakan hio. Hio digunakan karena simbolisasi juga, karena asapnya membumbung ke atas dan disimbolkan sebagai satu macam pendekatan dengan dewa-dewi di atas sana. Lalu beberapa macam hio juga wangi dan dapat bermakna sebagai penyucian batin dan lingkungan. Ada banyak orang yang bertanya2, kalau pindah agama boleh gak pegang hio yah? Yah, gak masalahlah,  hio itu gak ada kaitannya dengan agama apapun. Itu hanya tradisi dan bersifat medium atau alat sembayang saja.

Offline dipasena

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.612
  • Reputasi: 99
  • Gender: Male
  • Sudah Meninggal
Re: Cung... cung... cep...
« Reply #4 on: 10 March 2014, 04:05:20 PM »
Dupa atau Hio dan maknanya

Hampir semua orang Tionghoa tahu apa itu Dupa/Hio karena setiap ritual persembahyangan yang dilakukan selalu menggunakan benda yang satu  ini. Bahkan pernah saya mengdengar seorang sesepuh berkata, “Kalau tidak mau memegang dan tidak tahan dengan bau Dupa/Hio janganlah jadi orang Tionghoa.” Namun tahukah anda makna yang tersirat dari penggunaan Hio didalam ritual persembahyangan tersebut. Berikut sedikit penjelasan tentang makna dari Hio, jenis-jenisnya, dan cara penggunaannya.

Hio artinya harum. Yang dimaksud harum disini ialah Dupa, yaitu bahan pembakar yang dapat mengeluarkan asap berbau sedap/harum. Dupa yang dikenal pada jaman Nabi Khongcu (Kongzi) berwujud bubuk atau belahan kayu, misalnya : Tiem Hio (Cheng Xiang), Bok Hio (Mu Xiang)/Gaharu, Than Hio (Tan Siang)/Cendana dan lain-lain.

Makna dan Kegunaan

Membakar dupa/hio mangandung makna :
- Jalan Suci itu berasal dari kesatuan hatiku. (Dao You Xin He)
- Hatiku dibawa melalui keharuman dupa. (Xin Jia Xiang Chuan)

Selain itu dupa juga berfungsi untuk:
- Menenteramkan pikiran, memudahkan konsentrasi, meditasi. (seperti aroma therapy pada jaman sekarang)
- Mengusir hawa atau hal-hal yang bersifat jahat.
- Mengukur waktu : terutama pada jaman dahulu, sebelum ada lonceng atau jam. (seperti pada saat duel di film-film kungfu)

1. Dupa yang bergagang Hijau
Gunanya khusus untuk bersembahyang di depan jenasah keluarga sendiri atau dalam masa perkabungan.

2. Dupa yang bergagang Merah
Gunanya untuk bersembahyang pada umumnya. (contoh : ke altar Tian/Tuhan, altar Nabi, Shen Ming (para suci), dan leluhur)

3. Dupa yang tidak bergagang, berbentuk piramida, bubukan dsb-nya
Gunanya untuk menenteramkan pikiran, mengheningkan cipta, mengusir hawa jahat; dinyalakan pada Swan Lo (Xuan Lu)/tempat dupa –> tidak sama dengan tempat menancapkan dupa.(gambar menyusul)

4. Dupa yang berbentuk spiral, seperti obat nyamuk.
Hanya untuk bau-bauan. Sering ditemui ketika upacara perkabungan.

5. Dupa besar bergagang panjang (Kong Hio/Gong Xiang)
Gunanya khusus untuk upacara sembahyang besar.

6. Tiang Siu Hio/Chang Shou Xiang
Dupa tanpa gagang, panjang lurus, dibakar pada kedua ujungnya. Gunanya untuk bersembahyang kepada Tuhan atau untuk dipasang pada Swan Lo (Xuan Lu). Bisa juga lagi dalam masalah gawat sekali, urgent memohon pertolongan sang Dewa dengan segera.
Ketentuan Jumlah/Penggunaan Dupa

1. Dupa yang bergagang Hijau
2 batang : digunakan untuk menghormat jenasah keluarga sendiri atau kehadapan altarnya yang masih belum melampaui masa berkabung atau belum lewat sembahyang Tai Siang/Da Xiang (sembahyang 3 tahun). Boleh juga dipakai satu batang saja.

2. Dupa yang bergagang Merah
1 batang : dapat digunakan untuk segala upacara sembahyang; bermakna memusatkan pikiran untuk sungguh-sungguh bersujud.
2 batang : untuk menghormat kepada arwah orang tua/yang meninggalnya telah melampaui 2 x 360 hari/setelah sembahyang Tai Siang; atau ke hadapan altar jenasah bukan keluarga sendiri. Mengandung makna : ada hubungan Iem Yang atau Negatif dan Positif, ada hubungan duniawi.
3 batang : untuk bersembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa/Nabi/Para Suci.
4 batang : sama makna dengan 2 batang.
5 batang : untuk menghormat arwah umum, umpamanya pada sembahyang bulan VIII Imlek(Yin Li) : sembahyang King Hoo Ping (Jing He Ping). Mengandung makna melaksanakan Lima Kebajikan (Ngo Siang/Wu Chang) atau sembahyang Thu thi kung (hok tek ceng sin).
8 batang : sama guna dengan 2 batang, khusus untuk upacara kehadapan jenasah oleh Pimpinan Upacara dari Majelis Agama (MAKIN). Mengandung makna Delapan Kebajikan.
9 batang : untuk bersembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa/Nabi/Para Suci.
1 pak : Boleh sebagai pengganti 9 batang atau 1 batang; ini kurang/tidak perlu.

Cara Menancapkan Dupa
1. Untuk 2 batang dupa
Langsung ditancapkan sekaligus, setelah dinaikkan 2 kali. Ini juga berlaku untuk 4 atau 8 batang.

2. Untuk 3 batang dupa

berlaku juga di Hio Lo berbentuk bulat
Hio pertama ditancapkan di tengah-tengah, hio kedua ditancapkan disebelah kiri (ditinjau dari altar), hio ketiga ditancapkan disebelah kanan.

3. Untuk 5 batang dupa
a. Pada tempat menancapkan dupa (Hio Lo/Xiang Lu) yang berbentuk bulat, 5 batang dupa itu ditancapkan sbb (ditinjau dari altar):

- dupa pertama : tengah-tengah
- dupa kedua : kiri (dalam)
- dupa ketiga : kanan (dalam)
- dupa keempat : kiri (luar)
- dupa kelima : kanan (luar)
b. Pada tempat dupa yang bentuknya persegi panjang. 5 batang dupa itu ditancapkan seperti pada penancapan 3 batang, ditambah dengan dupa keempat disebelah kiri dupa kedua dan dupa kelima di samping kanan dupa ketiga.

4. Untuk 9 batang dupa
Cara menancapkan seperti pada penancapan 3 batang, dinaikkan 3 kali dan tiap kali ditancapkan 3 batang dupa.
Catatan : untuk setiap penancapan dupa selalu menggunakan tangan kiri
Penjelasan : Didalam prinsip-prinsip ajaran yang terdapat di Kitab Ya King (I-Ching) yang menguraikan tentang garis-garis Pat Kwa (Ba Gua), dinyatakan kiri ialah melambangkan unsur Yang atau Positif, dan kanan melambangkan unsur Yin atau Negatif. Maka untuk hal-hal yang bersifat seperti menancapkan dupa, wajib menggunakan tangan kiri. Ada keterangan lain yang peninjauannya secara anatomis (untuk diketahui saja):
Jantung atau Siem (Xin) kita ada disebelah kiri, menancapkan dupa adalah hal kesujudan hati/Siem (jantung), maka digunakanlah tangan kiri.

Fakta tambahan : coba lihat lintasan lari di stadion pasti mengarah kekiri atau lihat atraksi “roda gila” pasti pemainnya muter ke arak kiri.  Chi/angin bergerak dari arah sebelah kiri menyusuri tembok kiri (sisi naga ).

source : padmakumara.wordpress.com
sumber : SGSK XXVIII No 4-5 Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khonghucu, MATAKIN


Penelitian yang dilakukan di Taiwan pada tahun 2001 terkait pembakaran dupa dapat mengakumulasi bahan kimia dalam tubuh, penelitian tersebut dilakukan di sebuah kuil Budha. Membakar dupa dengan bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi dapat menyebabkan masalah-masalah pernapasan dalam tubuh manusia seperti sesak nafas karena jumlah bahan kimia yang dihasilkan dalam proses pembakaran dupa.

Penelitian ini juga yang membuat sebagian vihara di indonesia tidak memperbolehkan menyalakan hio lagi untuk umum , hio hanya dinyalakan pada waktu sembahyang. Ciri-ciri dari dupa yang terbuat dari bahan alami adalah :
1. Abu dupa tidak panas di tangan.
2. Pembakaran tidak akan padam di tengah.
ada tips lain lagi, sisa lidi-lidi yang menancap di hiolo jangan dibuang sembarangan, karena sering ditempel oleh roh yang mengisap hio tersebut.  roh2 tersebut biasanya yang sering membantu kita dalam kehidupan sehari-hari, karena kita telah memberi makan kepadanya… (makan wewangian).
untuk membuangnya ,sebaiknya dibakar dengan kertas mas (kimcoa) setiap ce it atau cap go

Offline Shasika

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.152
  • Reputasi: 101
  • Gender: Female
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Cung... cung... cep...
« Reply #5 on: 10 March 2014, 09:17:08 PM »
Ancung... ancung... tancep!!!
Tidak bisa dipungkiri inilah yang banyak terjadi.

Tidak sedikit diantara mereka didalam kebingungan menjalankan tradisi yang mencoba mencari informasi.

Apakah vihara sudah berfungsi sebagaimana layaknya ? belom
Apakah kelenteng/bio sudah berfungsi sebagaimana mestinya ?

Apakah tempat ibadah diatas sudah mampu memberikan informasi atas kebingungan umat ? belom
Apakah tempat tersebut mampu memberikan jaminan kepada umat ? jaminan apa, sang Buddha tidak pernah menjamin tp menunjukkan jalan, bila ditempuh dlm praktek maka bisa mencapai tujuan
Apakah tempat tersebut merupakan "tempat bernaung" (sanctuary/berlindung/mengeluh/curhat) umat ? sang Buddha selalu menerima umat dari berbagai kalangan, sekarang hanya "tertentu" (pengalaman pribadi, entah orang lain)

Merefer kepada bagaimana buddhist ter-convert
[VIDEO] Aksi yang membuang altar umat Buddhist yang pindah
dan mungkin masih banyak lagi kasus lainnya.



bagi anda yang merasa ini bukan tugas kita,
Please check nurani, dan tanyakan... Tugas siapa ?


Setelahnya,
Lalu... Apa sebenarnya yang salah dengan Buddhism/Tridharma ?
Bagaimana bisa tradisi2 tersebut pudar ?

dan apa solusinya ?
Saya pribadi kurang paham tradisi, tetapi dari Mahamangala Sutta disitu telah sangat jelas disebutkan bahwa "mengunjungi kaum bijaksana" adalah Berkah Utama, jadi memang sebaiknya Vihara harus selalu ada Bhikkhu yang bisa dikunjungi Umat (yang ada di Indonesia adalah tidak selalu Vihara terisi seorang Bhikkhu). Padahal yang namanya Vihara itu bahasa Pali yang kita semua ketahui artinya adalah tempat tinggal para Bhikkhu.

Umat datang ke Vihara tidak ada Bhikkhunya, hanya datang ke Altar, lalu cung..cung..cep.. namaskara 3x dahhh...pulang. Banyak sekali praktek spt ini, tetapi walau begitu sebenarnya mereka yang melakukan cung..cung..cep itu juga ga salah ada baiknya, anggaplah dia telah melakukan penghormatan kepada para dewa (dibanding tidak). ^:)^
I'm an ordinary human only

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Cung... cung... cep...
« Reply #6 on: 11 March 2014, 07:44:37 AM »
Permasalahan #2
----------------------
Jawaban yang salah, ditempat yang salah.

Salah satu contoh,
Maitreyanisme sudah mulai berserak, tidak terkendali, tidak ada yang menegur, bahkan tumbuh dengan subur
Pihak yang seharusnya memiliki kewenangan, tidak menegur, mempertanyakan...
bahkan terkesan membiarkan dengan dalil... "bukan kamma mereka untuk mengenal dhamma"
Dari sudut pemerintah dan hukum, Maitreyanisme itu tidak ada bedanya dengan agama atau sekte atau aliran. Setiap orang berhak memiliki keyakinannya sendiri2. Misalkan juga Maitreyanisme itu pisah dari payung Buddhisme dan berdiri sebagai Tao, meskipun bukan agama yang diakui dinegara tapi bukan berarti tidak boleh ada atau dilarang kecuali membuat keresahan ataupun menganggau keamanan negara.

Tapi yah lebih baik kembali ke luar payung Buddhisme, kecuali memang Maitreyanisme ini adalah "sinkretisme" antara Tao dan Buddhisme. -.-! Tapi ini juga masih menjadi masalah karena syarat "agama" di Indonesia masih belum terpenuhi, tidak ada "kitab suci" nya
There is no place like 127.0.0.1

Offline The Ronald

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.231
  • Reputasi: 89
  • Gender: Male
Re: Cung... cung... cep...
« Reply #7 on: 11 March 2014, 09:37:12 AM »
tinggal bikin klo mau seh...
...

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Cung... cung... cep...
« Reply #8 on: 11 March 2014, 11:10:11 AM »
IMO, kalo masalah tradisi Chinese/Tridharma banyak generasi sekarang hanya tahu bentuk luarnya saja tanpa mengetahui maknanya. Misalnya tradisi pemakaman Chinese yg kemarin saya ikuti, hampir semuanya dijalankan tanpa memahami makna atau tujuannya utk apa; kalo ditanya, org2 dituakan pun hanya menjawab: "Jalankan saja demi kebaikan almarhum."

Katanya dulu sebenarnya banyak literatur ttg tradisi Chinese di kelenteng2, kemudian terjadi G-30S tahun 1965 menyebabkan pemerintah Orba mengeluarkan aturan melarang tradisi dan budaya Chinese di Indonesia. Yang menyimpan buku2 dlm huruf Mandarin, termasuk kitab2 Tridharma, takut ditangkap maka membakar buku2 tsb. Ada juga yg dimusnahkan pemerintah saat itu. Ini cerita kakekku waktu itu. Maka generasi yg belakangan tdk bisa mengenal makna tradisi yg sebenarnya, hanya menjalankan apa yg sudah diwariskan tanpa tahu makna dan tujuannya....
« Last Edit: 11 March 2014, 11:12:22 AM by Shinichi »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline Rico Tsiau

  • Kebetulan terjoin ke DC
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.976
  • Reputasi: 117
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Cung... cung... cep...
« Reply #9 on: 11 March 2014, 11:51:42 AM »
entahlah klo dikota-kota besar seperti jakarta, bandung, dll
namun di daerah saya domisili, tradisi bisa dibilang masih terjaga dengan cukup baik.. generasi muda seangkatan saya juga masih antusias belajar atau minimal mencari tahu makna2 kegiatan tradisi tertentu, misal tradisi pemakaman, pernikahan, dll..
namun karena saking njelimetnya, saya sendiri pusing. seperti dalam hal pernikahan saja bisa berbeda-beda adat tradisinya antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya.. padahal masih terhitung dekat.

di sini juga belajarnya hanya dari tutur kata para sesepuh, jarang yang mempunyai literatur tertulis mengenai adat tradisi ini.

sepertinya para sesepuh harus bijak juga, jika ditanya jangan hanya bilang "jalani saja, demi bla bla..." namun sebaiknya menyediakan sedikit waktu untuk menjelaskan dengan baik pada generasi muda jika ada yang bertanya.

Offline btj

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 183
  • Reputasi: 5
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Cung... cung... cep...
« Reply #10 on: 11 March 2014, 12:22:07 PM »
Permasalahan #1
----------------------
cung cung cep... entah apa maksudnya... entah apa tujuannya... berhalanisme.

Inilah pertanyaan standard yang tidak mampu dijawab oleh kakek/nenek/ibu/bokap kita (bagi yg keturunan chinese).
Inilah salah satu yang mengakibatkan banyak generasi muda tionghua mulai gampang terbuai "rumput tetangga"
Dimana, kitab mereka jelas, aturan ibadah mereka jelas.

Sementara bagi pelaku cung-cung cep...
Mereka hanya mengetahui bakar hio, komat-kamit ke langit, ke bumi, pintu dan ke papan leluhur.
tanpa memahami makna dan tujuan.

Jikalau ada diantara anda yang bersedia menjelaskan panjang lebar mengenai makna tradisi tersebut,
Baik dari sisi Buddhism, Taoism dan Confucianism, really appreciated

 _/\_

Menurut saya kitab suci agama Buddha bukanlah tidak jelas tapi banyak atau panjang.
Agama Buddha adalah agama yang fleksibel, bisa digunakan atau dikolaborasi dengan budaya lokal, jadinya kelihatan tercampur aduk.

Manusia punya sifat jenuh.
Di negara kita mungkin banyak yang pindah keluar dari agama Buddha tapi katanya di luar sana tidak sedikit yang pindah masuk ke dalam agam Buddha atau setidaknya tetap beragama asalnya tapi bisa menerima ajaran Buddha.

Nurut saya agama Buddha bukannya membiarkan aliran tertentu merajalela tapi lebih kepada toleransi dan anti kekerasan.
Percuma jika berhasil mengumpulkan banyak umat tapi dengan cara pemaksaan.
Saya lihat di forum-forum bukannya tidak ada pembelaaan dan penjelasan dari umat Buddha terhadap keaslian ajaran Buddha dari penyimpangan yang terjadi kok.

Kalau soal aliran, kita dapat melihat hampir setiap agama ada pepecahannya dan jika dilakukan tindakan "pembersihan" memang siapa yang mau mengaku alirannya yang palsu?
Susah, ada juga tar malah terjadi perang agama.

Yang saya lihat, bagaimana suatu agama dapat menarik umat adalah dengan cara promosi agama atau ajarannya.
Salah satu hal yang dapat kita lakukan mungkin bisa dimulai dari sikap kita di lapangan.
Seperti yang dilakukan oleh organisasi Buddha Tzu Chi tuh menurut saya cukup berhasil sampai saat ini.