Buddhisme Awal, Sekte dan Tradisi > Theravada

45 tahun Sang Buddha

<< < (6/6)

Indra:
Penyebab Kritik

Terdapat satu fakta yang harus diperhatikan di sini. Dengan beralihnya keyakinan kedua siswa utama itu kepada Buddhisme, maka mereka diikuti oleh sejumlah besar pemuda dari keluarga-keluarga kaya dan terkenal di kota itu. Akan tetapi, ini mengakibatkan munculnya kritik dari orang-orang Magadha, banyak yang menuduh Sang Buddha memotong garis silsilah para perumah tangga, merenggut anggota keluarga dari keluarganya dan juga menyebabkan banyak istri menjadi janda. Melihat para bhikkhu ketika berkeliling menerima dana makanan, mereka mengeluh, mengatakan bahwa mereka adalah para bhikkhu yang telah merampas sejumlah siswa dari Sanjaya, dan bertanya dengan menyindir putera atau suami manakah yang akan mereka bujuk. Kritik-kritik ini kemudian disampaikan kepada Sang Buddha, yang meyakinkan mereka bahwa komentar-komentar demikian akan berlangsung selama paling lama tujuh hari. Kemudian ia menasihati para bhikkhu agar memberitahukan kepada para mereka yang melontarkan kritik bahwa Sang Tathagata mengajarkan Kebenaran, yang bermanfaat bagi makhluk hidup. Oleh karena itu, sangat disarankan, agar mereka yang memahami fakta ini tidak lagi memendam benci atau permusuhan terhadap kebenaran atau Dhamma.

Merujuk pada insiden ini, harus diperhatikan bahwa banyak dari mereka yang beralih keyakinan kepada Buddhisme sebelumnya telah ditahbiskan sebagai pengikut dari aliran kepercayaan religius lain. Kedua siswa utama, bersama dengan para pengikut mereka, telah lama termasuk dalam kategori ini. Mereka bukan menjalani kehidupan tanpa rumah persis ketika mulai menganut Buddhisme. Oleh karena itu, kemungkinan kritik itu dilontarkan oleh para guru religius yang kehilangan banyak pengikutnya yang beralih kepada Sang Buddha. Suara-suara celaan mereka adalah karena kecemburuan dan bukan karena keprihatinan yang tulus pada keluarga-keluarga yang kehilangan putera dan suami mereka.


TITIK AKHIR

Keinginan terdiri dari berbagai tingkat.
Kasar, sedang, halus.
Semuanya adalah jebakan untuk menjerat kaum duniawi
Dalam segala kegiatan mereka.

Yang kasar berdasarkan pada materi;
Jasmani, uang sebagai jangkarnya.
Segala sesuatu yang menyenangkan bagi kelima pintu-indria
Adalah apa yang mereka inginkan lebih banyak dan lebih banyak lagi.

Jenis yang sedang adalah puas
Dengan kebahagiaan yang telah diperoleh
Melalui pikiran yang damai, tenang,
Merasa bahwa tujuan tertinggi telah tercapai.

Menghindar dari usaha keras;
Tidak suka bergerak maju
Berkubang dalam kepuasan diri,
Berpikir bahwa itu adalah kemenangan akhir.

Apapun yang menyenangkan mata, telinga, hidung,
Lidah, dan sentuhan mereka menganggapnya sebagai yang terpenting.
Selain ini mereka tidak memedulikannya
Semua lainnya tidak mereka perhatikan.

Yang halus terkembang jauh;
Demikianlah pikiran tidak mau berhenti,
Dengan bodoh merasa puas,
Namun mengharapkan pencapaian.

Di antara Dhamma yang melampaui keduniawian itu, -
Yang tidak pernah bertambah maupun berkurang,
Sebagai mahkota dari segala yang baik
Melampaui segala kebesaran.

Di antara kecemerlangan astronomis,
Yang kokoh, stabil, tiadk berubah,
Dimana konsep-konsep duniawi tidak ada,
Itulah apa yang disebut dengan Pencerahan.

Marilah para umat Buddha menghaluskan keinginannya,
Dengan pikiran yang perlahan-lahan dimurnikan
Hingga mereka mencapai atmosfir
Yang dihormati dan dipuji oleh para dewa dan manusia,

Dimana ada kemauan, di sana ada jalan
Tetapi kita semua pertama-tama harus memperlihatkan
Keyakinan, semangat, dan tekad kita
Untuk menghirup udara dimensi itu

Dalam melakukan kebaikan terdapat akhir,
Seseorang mencapai titik ini ketika
Mereka mencapai kemenangan lengkap terakhir
Kemudian muncullah bagi mereka Titik Akhir.

Mereka menjadi murni dan tenang sempurna,
Dimana ketenangan tidak tergoyahkan
Kesempurnaan mereka adalah mutlak
Ini adalah dimana ia Tecerahkan.



- Bab 6 Selesai -

Indra:
-7-
YANG MULIA MAHAKASSAPA
Sewaktu Sang Buddha sedang menetap di Hutan Bambu, terdapat seorang siswa unggul lainnya yang layak disebutkan di sini. Ia bernama Yang Mulia Maha Kassapa. Ia, dalam biografi singkatnya, adalah putera seorang brahmana bernama Kapila dari keluarga Kassapa di suatu desa brahmana bernama MahatiMMha, negeri Magadha. Nama brahmananya adalah Pipphali Manava, pemuda Pipphali. Keluarga di mana ia dilahirkan adalah kelaurga kaya. Di usia dewasa, ia menikah dengan seorang gadis bernama Bhaddakapilanã, puteri seorang brahmana dari keluarga Kosiya di kota Sagala, negeri Magadha.

Kelak ia menjadi letih dengan kehidupan duniawi dan berkeinginan kuat untuk menjalani kehidupan tanpa rumah, kehidupan suci. Menyadari bahwa sebagai umat awam ia tidak akan mampu mencapai kesempurnaan, “bagaikan kulit kerang yang digosok halus,” kehidupan suci yang ia cita-citakan sambil ia menjalani kehidupan duniawi, ia mencukur rambut dan janggutnya dan, setelah mengenakan jubah Kasaya (jubah kuning kemerahan yang dicelup dengan cairan penyusut), meninggalkan rumah, mengabdikan pelepasan keduniawiannya kepada Yang Tercerahkan Sempurna manapun yang ada masa itu. Ini berarti bahwa ia masih belum mengetahui siapa yang telah tercerahkan sempurna kepada siapa ia akan mengabdikan kehidupan pelepasan keduniawiannya, tetapi, dengan meyakini bahwa pasti ada, ia bertekad untuk mengabdikan dirinya kepada Bhagava itu, siapapun dan dimanapun Beliau berada.

Bagian kisah hidupnya ini menunjukkan fakta bahwa kata Bhagava, Araham dan Sammasambuddha telah digunakan, merujuk pada siapapun yang sangat dihormati sebagai manusia ‘super’ atau ‘melampaui keduniawian’. Pipphali juga menganut kepercayaan itu, yakin bahwa pasti ada seorang Arahant di suatu tempat tetapi tidak mengetahui siapa. Akan tetapi, ia bertekad untuk mengabdikan kehidupan tanpa rumahnya kepada orang itu. Beberapa siswa Sang Buddha juga tercatat mengambil keputusan untuk menjalani kehidupan tanpa rumah dengan cara yang sama.

Ketika dalam pengembaraannya mencari Sang ‘Arahant’, ia bertemu dengan Sang Buddha di suatu tempat antara kota Rajagaha dan kota Nalanda sewaktu Sang Buddha sedang duduk di bawah keteduhan pohon banyan bernama Bahuputta Nigrodha, secara literal berarti pohon banyan beranak banyak. Mungkin pohon itu adalahb pohon yang telah tumbuh besar dengan banyak akarnya yang mengelilingi. Ketika melihat Sang Bhagava di sana, ia tiba-tiba, mungkin karena naluri ia menyadari bahwa orang itu bukan lain adalah Sang Buddha sendiri. Segera ia bersujud di kaki Sang Bhagava, menyatakan bahwa Sang Buddha adalah gurunya dan ia adalah siwa Sang Buddha.

Apakah yang ia lihat yang membuatnya yakin bahwa ia telah bertemu dengan Sang Buddha? Ini tidak disebutkan dalam Kanon Pali. Hanya tercatat dalam Komentar, menjelaskan kekuatan gaib sebagai penyebab keyakinan Kassapa. Ini berbeda dengan para siswa lain yang juga mengabdikan kehidupan pelepasan keduniawiannya kepada Sang Buddha. Yang Mulia Pukkusati, misalnya, menjalani kehidupan tanpa rumah dengan cara yang sama. Ia bertemu dengan Sang Buddha di rumah seorang pembuat tembikar. Namun ia tidak mengetahui hal ini bahkan selama ia bermalam bersama dengan Sang Buddha di dalam rumah itu. Hingga ia mendengarkan khotbah, maka ia menyadari siapa bhikkhu yang sedang membabarkan khotbah itu. Dalam kasus Yang Mulia Mahakassapa, tidak disebutkan khotbah apa yang disampaikan. Begitu ia melihat Sang Buddha, ia menyadari bahwa Beliau adalah orang yang mana ia akan mengabdikan kehidupan pelepasan keduniawiannya dan seketika menyatakan dirinya sebagai siswa Sang Bhagava. Demikianlah pasti ada suatu petunjuk baginya, yang, dengan memiliki kebijaksanaan yang dalam, mampu mendeteksi, secara naluriah, siapa orang tersebut. Kebijaksanaan serupa dapat dilihat dalam kasus Yang Mulia Sariputta, yang mampu menangkap dalamnya Dhamma segera setelah ia mendengarkan instruksi singkat dari Yang Mulia Assaji hanya satu kali.

Berikut ini adalah tiga instruksi yang dikatakan disampaikan oleh Sang Buddha kepada Pengembara Pipphali.

Pertama, membentuk pikirannya agar hormat dan patuh kepada semua bhikkhu, apakah yang berstatus senior, baru atau menengah.

Ke dua, membentuk pikirannya untuk mendengarkan dan memperhatikan semua Dhamma yang bermanfaat.

Ke tiga, tidak meninggalkan perhatian yang terarah pada jasmani yang menunjang kondisi bahagia. Ini bermakna gembira dalam perhatian pada jasmani.

Dipercaya bahwa Yang Mulia Maha Kassapa ditahbiskan melalui penahbisan Ehi yaitu secara informal oleh Sang Buddha sendiri. Akan tetapi, hal ini tidak disebutkan dalan riwayat hidupnya.

Delapan hari setelah penahbisannya, ia mampu mencapai kebijaksanaan menyeluruh, yang berarti Kearahatan, dengan batinnya terbebaskan dari segala jenis dan segala tingkat Kekotoran. Tercatat bahwa istrinya juga mengabdikan pelepasan keduniawiannya pada Sang Buddha dan kelak ditahbiskan menjadi seorang Bhikkhunã.

Ada empat bhikkhu lain yang bernama Kassapa, tiga adalah para petapa berambut kusut yaitu Uruvela Kassapa, Nadi Kassapa dan Gaya Kassapa, dan yang ke empat adalah Kumara Kassapa. Demikianlah seluruhnya menjadi lima yang dinamai menurut nama keluarga mereka. Dalam kasusnya, ia mendapat awalan Maha yang ditambahkan di depan namanya, untuk membedakannya dengan yang lain. Kelak ia menjadi seorang siswa penting dalam penyebaran Buddha Dhamma setelah Sang Buddha wafat.

Indra:
Instruksi-instruksi Ketiga Siswa Unggul

Berikut ini adalah beberapa instruksi dari ketiga siswa unggul yang telah disebutkan sebelumnya.

YANG MULIA SARIPUTTA. Ia sangat dipuji oleh Sang Buddha karena luasnya kebijaksanaannya yang karenanya ia mampu membabarkan Empat Kebenaran Mulia sejelas dan serinci Sang Buddha. Pada beberapa kesempatan ketika Sang Buddha didatangi oleh para Bhikkhu yang ingin pergi ke tempat jauh, Beliau memberitahu mereka agar menemui Yang Mulia Sariputta juga. Satu contoh dari kejadian ini adalah suatu ketika, sewaktu Sang Buddha sedang menetap di kota Devadaha, sejumlah besar bhikkhu yang hendak pergi ke tempat jauh datang untuk berpamitan dengan Beliau. Mereka juga diminta untuk berpamitan dengan Yang Mulia Sariputta. Si tempat tinggalnya mereka ditanya apa yang akan mereka jawab ketika saat menetap di sana mereka didatangi oleh orang-orang cerdas yang menanyai mereka tentang apa instruksi dari guru mereka. Bagaimana mereka harus menjawab orang-orang itu, ia bertanya kepada mereka, sehingga jawaban mereka selaras dengan ajaran Sang Buddha, bukan sebaliknya. Para bhikkhu memohon kepadanya agar menjelaskan kepada mereka. Yang mana ia menasihati mereka agar menjawab orang-orang itu bahwa guru mereka mengajarkan mereka untuk meninggalkan kenikmatan dan nafsu. Ditanya lebih jauh dalam hal-hal apakah mereka harus meninggalkan kenikmatan dan nafsu, ia melanjutkan, mereka harus menjawab yaitu meninggalkan nafsu dan kenikmatan dalam Bentuk, Sensasi, Persepsi, Pengondisi Pikiran dan Kesadaran. Ditanya lagi apakah bahayanya, apakah manfaatnya, melakukan hal itu, mereka harus menjawab bahwa, dengan nafsu dan kenikmatan demikian masih ada, maka pasti ada penderitaan seperti kesedihan dan dukacita ketika salah satu dari kelima itu secara alami mengalami perubahan atau kemunduran. Begitu nafsu dan keinginan ditinggalkan, maka tidak akan ada kesedihan dan dukacita ketika salah satu dari kelima itu secara alami mengalami perubahan atau kemunduran. Itu adalah apa yang diajarkan oleh guru mereka, yang setelah melihat bahaya dan manfaatnya, kemudian mengajarkan kepada mereka.

Pada kesempatan lain, terdapat seorang bhikkhu bernama Yamaka, yang menganut kepercayaan bahwa seorang Arahant musnah setelah kematian. Banyak bhikkhu telah berusaha untuk membujuknya agar meninggalkan kepercayaan itu, namun tidak berhasil. Maka mereka mendatangi Yang Mulia Sariputta dan memintanya untuk membantu Yamaka meninggalkan konsep keliru tersebut. Demikianlah Yang Mulia Sariputta  mendatangi Bhikkhu Yamaka, mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut satu demi satu: Apakah yang engkau lihat yang merupakan Arahant? Di dalam apakah Arahant itu? Apakah engkau melihat bahwa Bentuk, Sensasi, Persepsi, Pengondisi Pikiran, dan Kesadaran adalah Arahant? Atau apakah engkau melihat bahwa ada Arahant di dalam kelima kelompok unsur itu?” yang mana Yamaka memberikan jawaban negatif.

Kemudian Yang Mulia Sariputta menanyakan lagi, “Oleh karena itu, apakah layak untuk mengatakan bahwa seorang Arahant setelah kematian adalah musnah sepenuhnya? Yang mana Yamaka menjawab, “Sebelumnya saya tidak memiliki pengetahuan ini.” Selanjutnya Yang Mulia Sariputta bertanya lebih lanjut, “Sekarang, jika engkau ditanya apa yang terjadi pada seorang Arahant setelah kematian, bagaimana engkau akan menjawab?” Yang menjawab dengan mengatakan, “Saya akan mengatakan bahaw bentuk, sensasi, persepsi, pengondisi pikiran dan kesadaran, yang mengalami perubahan, telah padam.” Ini, adalah poin penting untuk diingat.

Untuk memberikan instruksi lebih jauh kepada Yamaka, Yang Mulia Sariputta berkata, “Misalkan, ada seorang kaya yang dijaga oleh para pengikutnya. Kemudian seseorang yang ingin membunuhnya, tetapi tidak mampu melakukannya secara langsung. Maka ia menyerahkan dirinya sebagai pelayan si orang kaya. Ia melayani majikannya begitu baik hingga akhirnya ia dipercaya sepenuhnya oleh si orang kaya. Tidak lama kemudian ia memperoleh kesempatan untuk memenuhi keinginannya dengan membunuh majikannya. Bahkan ketika sang majikan hampir mati, ia masih tidak tahu siapa pembunuhnya. Ini adalah sebuah analogi bagi mereka yang terikat pada kelima unsur kehidupan, demikianlah Yang Mulia Sariputta berkata, yang menganggap kelompok-kelompok unsur itu sebagai diri mereka. Ketika kelompok-kelompok unsur itu mengalami perubahan atau kemunduran, kemelekatan itu juga membuat mereka menderita. Tanpa kemelekatan maka pasti tidak ada penderitaan bahkan walaupun kelompok-kelompok unsur itu mengalami kemunduran atau lenyap.

Ada kejadian lain yang menunjukkan kebijaksanaan dan kecerdasan Yang Mulia Sariputta dalam menerapkan instruksinya sesuai situasinya. Pada suatu pagi ketika ia sedang menetap di Hutan Bambu. Ia sedang dalam perjalanan kembali dari menerima dana makanan di Kota Rajagaha dan pada saat itu sedang makan di bawah atap sebuah rumah. Kemudian ada seorang Paribbajika atau pengembara perempuan bernama Sucimukhã, secara literal berarti memiliki mulut seperti jarum, mungkin merujuk pada lidahnya yang tajam atau perilakunya yang suka menyindir. Ia mendekati Sang Bhikkhu dan mulai menusuknya dengan ‘mulut jarum’nya dengan mengatakan, “Petapa ini makan dengan kepala menunduk rendah”. Yang mana Sang Bhikkhu membantah, dengan mengatakan bahwa ia tidak melakukan hal itu. “Kalau begitu, engkau pasti nmakan dengan kepala mendongak ke atas.” Sekali lagi Sang Bhikkhu memberikan jawaban negatif. “Ya, engkau pasti makan dengan menghadap ke empat penjuru utama.” Sekali lagi Sang Bhikkhu membantahnya. “Sekarang engkau pasti makan dengan menghadap arah antara penjuru utama.” Seperti sebelumnya, Sang Bhikkhu memberikan jawaban negatif. “Sekarang,” Pengembara Sucãmukhã berkata, “Dengan menyangkal segala yang kukatakan, dapatkah engkau memberitahukan bagaimana engkau makan?”

Sang Bhikkhu berkata kepadanya, “Petapa manapun yang mengikuti praktik (gaib) meramalkan pertanda-pertanda baik dan buruk di suatu tempat dikatakan makan dengan kepala menunduk rendah; petapa manapun yang melakukan praktik (gaib) astrologi dikatakan makan dengan kepala mendongak ke atas; petapa manapun yang memberikan layanan kepada perumah tangga, melayani para perumah tangga dalam berbagai cara, adalah bagaikan makan dengan menghadap empat penjuru utama, sedangkan yang lainnya yang meramal dengan mengamati organ-organ tubuh adalah mereka yang makan dengan menghadap arah antara penjuru utama.”

Sebagai penutup, Yang Mulia Sariputta mengatakan bahwa ia tidak melakukan hal-hal tersebut, makanannya diperoleh melalui cara-cara yang benar dan selayaknya. Itulah sebabnya maka ia tidak termasuk dalam kelompok petapa manapun yang disebutkan sebelumnya. Ini menunjukkan betapa bijaksananya Sang Bhikkhu dalam membantah tuduhan yang diarahkan kepadanya. Instruksi-instruksinya yang panjang dan terperinci dirangkum oleh para guru masa lalu dalam sutta-sutta seperti Sangãtisutta dan Dasuttarasutta, yang mana Dasuttarasutta adalah penuntun dalam pengelompokan dan standarisasi ajaran-ajaran dalam Konsili Agug yang disebut Sangayana.

YANG MULIA MOGGALLANA, di pihak lain, dipuji karena kemampuannya dalam menginspirasi keyakinan dari keluarga-keluarga para perumah tangga yang masih belum berkeyakinan dan tidak pernah secara finansial merugikan para keluarga. Ia diibaratkan dengan lebah, yang hanya mengecap madu dari bunga tanpa merusak kuntum, warna, dan keharuman bunga itu. Ia mungkin yang paling terampil dalam kegiatan pembangunan karena, setiap saat ada pekerjaan konstruksi untuk Arama atau vihara pada masa itu, maka ia sering kali ditugaskan sebagai penanggung jawabnya. Satu contoh dapat dilihat dalam pembangunan Pubbarama di Savatthã oleh umat awam perempuan Visakha ketika ia diserahi tanggung jawab untuk mengawasi proyek itu. Ajaran-ajarannya dirangkum dalan Anumanasutta, yang membahas tentang bagaimana mengetahui dan menilai diri sendiri dengan tanpa membeda-bedakan. Dalam sutta ia memberikan instruksi kepada para bhikkhu agar seorang bhikkhu dapat mengatakan bahaw ia memperbolehkan para bhikkhu lain memperingati atau menasihatinya setiap saat ia melakukan kesalahan. Tetapi, jika ia kelak didapati keras kepala, tidak mendengarkan alasan, maka para bhikkhu lain itu boleh meninggalkannya sendirian. Ada banyak penyebab seorang bhikkhu menjadi keras kepala, demikianlah ia berkata, di antaranya, ia sedang marah, membandel, kadang-kadang baik dan kadang-kadang jengkel, kesal, dan menunjukkan perasaan marah melalui kata-kata. Sekarang, jika seorang bhikkhu yang ingin dinasihati oleh para bhikkhu lain adalah seorang bhikkhu yang patuh, maka mereka akan dengan senang hati melakukannya. Penyebab bagi kepatuhan digambarkan sebagai lawan dari penyebab ketidak-patuhan dan keras kepala.

Setelah itu ia menginstruksikan mereka untuk membandingkan mereka dengan orang lain sehubungan dengan fakta bahwa seperti halnya mereka menjauhkan para bhikkhu lain dari keinginan jahat, demikian pula para bhikkhu lain akan menjauhkan mereka jika mereka memendam keinginan demikian. Ini adalah suatu pengingat-diri untuk mengawasi diri mereka sendiri apakah mereka sesuatu yang tidak menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Jika mereka menjawab positif, maka jelas mereka harus meninggalkan keinginan-keinginan itu. Hal-hal ini, ia memberitahu mereka, adalah apa yang harus senantiasa mereka ingat baik siang maupun malam seperti halnya anak-anak muda menatap cermin untuk melihat apakah di wajah atau tubuh mereka terdapat noda yang harus dibersihkan. Demikianlah seorang bhikkhu harus sering memeriksa dirinya dengan kebijaksanaan untuk membersihkan kotoran apapun yang ada dalam praktiknya. Sutta ini ia babarkan kepada para bhikkhu di taman rusa yang disebut Bhesakalavana, di negeri Bhagga.

Indra:
Sehubungan dengan YANG MULIA MAHAKASSAPA, Sang Buddha memujinya sebagai yang terunggul dalam hal intruksi-instruksinya yang bertujuan untuk melenyapkan kekotoran. Ia selalu gembira dalam menasihati mereka agar puas dengan sedikit dan mengikuti praktik Dhutanga. Yang lebih penting adalah fakta bahwa Sang Bhagava juga memuji sang bhikkhu sebagai seorang yang memiliki moralitas yang setara dengan Beliau, menyiratkan praktiknya yang puas dengan sedikit, puas dengan empat benda kebutuhan dan akibatnya juga dilengkapi dengan kekebalan yang melindungi dirinya ketika mengunjungi keluarga-keluarga para perumah tangga. Untuk tujuan demikian Sang Buddha menginstruksikan para bhikkhu untuk berperilaku bagaikan bulan, mereka harus menjauhkan diri, baik secara fisik maupun pikiran, dari keluarga-keluarga perumah tangga. Hal ini bertujuan agar umat-umat awam selalu menganggap mereka sebagai pendatang baru dan agar mereka tidak berhubungan akrab dan pribadi dengan keluarga-keluarga awam tersebut. Semua moralitas ini, Sang Buddha melanjutkan, dapat ditemukan secara keseluruhan dalam diri Yang Mulia Mahakassapa. Untuk memberikan analogi, Sang Buddha mengangkat tangannya dan melambaikannya di udara, sambil menjelaskan bahwa seperti halnya tidak ada jejak yang ditinggalkan oleh tangannya, yang tidak menempel pada tangan itu, demikian pula para bhikkhu yang mengunjungi rumah-rumah umat awam tidak boleh terikat dengan mereka. Mereka harus bertekad sebagai berikut: “Semoga mereka yang menginginkan kekayaan atau moralitas tercapai keinginannya.” Dan, “Semoga mereka memiliki sikap batin serupa ketika orang-orang lain memperoleh keuntungan dan kekayaan seperti mereka.” Semua kualitas ketidak-melekatan ini dapat ditemukan dalam diri Yang Mulia Mahakassapa, dan itulah sebabnya, Sang Buddha melanjutkan, ia bergantung pada ketidak-melekatan sewaktu mengunjungi rumah-rumah para perumah tangga.

Khotbahnya juga dipuji oleh Sang Buddha sebagai berdasarkan pada niat murni yang patut dicontoh. Sehubungan dengan hal ini, Sang Buddha menjelaskan bagaimana sebuah khotbah dapat berdasarkan pada motif yang tidak murni, dengan mengatakan bahwa jika seorang bhikkhu membabarkan khotbah dengan motif tersembunyi agar para pendengarnya terkesan atas dirinya dan kemudian memperlihatkan kesan mereka atas dirinya, maka khotbah demikian adalah tidak murni. Jika sebaliknya, seorang bhikkhu membabarkan khotbah dengan tujuan meyakinkan para pendengarnya, membantu mereka menembus kebenaran-kebenaran, dan, dengan penembusan itu, mereka mampu mempraktikkan Buddha Dhamma yang bermanfaat bagi diri mereka sendiri, maka bhikkhu itu melakukannya dengan penuh belas kasihan, mengasihani mereka, bertujuan pada kesejahtreraan mereka, tidak secara terselubung mengharapkan kesejahteraannya. Maka khotbah demikian dikatakan sebagai murni. Dan yang demikian itu dapat ditemukan dalam khotbah dari Yang Mulia Mahakassapa.

Mahakassapa adalah yang terunggul dalam pelaksanaan rutin atas sejumlah praktik pertapaan keras (Dhutanga) misalnya menetap di hutan, berkeliling mengumpulkan dana makanan (Pindapata), mengenakan jubah potongan kain dan memiliki tidak lebih dari tiga jubah demikian. Ia lebih menyukai kehidupan terasing, tidak bergembira dalam pergaulan. Suatu ketika Sang Buddha berkata kepadanya, “Engkau sudah tua, O Kassapa. Lebih baik engkau menetap di sebuah vihara dan menerima makanan yang dipersembahkan oleh para peumah tangga.” Dalam jawabannya Yang Mulia Mahakassapa mengatakan bahwa praktiknya itu didasarkan pada dua alasan. Pertama, karena memang ia lebih menyukainya sebagai tempat yang damai. Ke dua, hal itu dapat menjadi teladan bagi para bhikkhu di masa mendatang, menunjukkan kepada mereka bahwa di masa Sang Buddha terdapat seorang Bhikkhu yang selalu gembira dalam melakukan hal-hal demikian. Atas alasan ini, Sang Buddha memberikan penghargaanNya.

Indra:
YANG MULIA MAHAKASSAPA

Terunggul karena pelaksanaan keras
Pertapaan yang disebut Dhutanga,
Membuktikan kekuatan ketahanan
Dialah Yang Mulia Mahakassapa

Terlepas dari kekuatan yang telah melemah
Karena usia, menjadi rapuh,
Namun kekuatan batinnya tidak mengendur;
Ia masih memenuhi panggilan alam liar.

Tempat kedamaiannya adalah keterasingan;
Baginya itu adalah oasis;
Dikelilingi oleh hutan dan pegunungan,
Diselimuti oleh kehangatan kebahagiaan Jhana.

Tetapi ketika dipanggil oleh Sasana (Ajaran Buddha),
Ia meninggalkan tempat pengasingannya
Untuk membantu melestarikan Dhamma yang berharga,
Tidak terganggu oleh beban apapun.

Demikianlah bagaimana ia menjawab panggilan
Tugas sebagai tambahan dari
Alam liar yang ia junjung tinggi
Sekarang adalah Dhamma yang paling ia hargai.


YANG MULIA SARIPUTTA

Begitu luas dan dalamnya kebijaksanaannya
Menembus Buddha Dhamma
Jenderal dari Kerajaan Buddhis
Dialah Yang Mulia Sariputta

Peringkat ke dua setelah Sang Buddha
Ia adalah Jenderal dari para Bala Tentara
Untuk membantu semua orang, tanpa mencelakai seorangpun
Memperluas wilayah Buddhis

Ini adalah Bala tentara yang tidak kenal ampun,
Membunuh segala Kekotoran Batin,
Membidik penaklukan-diri sepenuhnya,
Menghasilkan kebahagiaan abadi tertinggi.

Ke manapun bala tentara ini menyerang
Ia menanam benih Kebijaksanaan di sekitarnya
Untuk melenyapkan Kebodohan
Mengakhiri tanah-tanah pemakaman.

Dari seorang yang telah memahami
Bagaimana kelahiran menyebabkan kematian dan sebaliknya.
Semua ini adalah penderitaan dalam samaran
Di dalam panggung Samsara.


YANG MULIA MOGGALLANA

Ketika langkah drastic diperlukan
Maka datanglah Bhikkhu Moggallana
Untuk mengatur segala sesuatu yang bersalahan,
Peringkat ke dua setelah Sang Buddha.

Ia adalah yang terunggul dalam mengerahkan
Kekuatan batin ketika segala sesuatu menjadi keliru
Ketika situasi menantang
Di sanalah ia siap melayani Sang Buddha

Kekuatannya digunakan untuk Sasana.
Bukan untuk perlindungan diri
Ketika tiba saatnya untuk Nibbana
Ia pergi setelah berpamitan.

Ia adalah sumber inspirasi
Dan keyakinan serta dorongan bagi banyak orang
Ia sekuat raksasa
Ketika berhadapan dengan kekejaman.

Caranya meninggal dunia
Masih teringat oleh kita dengan penyesalan,
- Akibat Karma terakhir berbicara –
Ia telah melunasi hutangnya.

Baginya, seorang siswa unggul
Senantiasa memiliki ketidak-melekatan,
Batinnya tidak terpengaruh,
Sama sekali tanpa Vipaka.


PASADA, KECEMERLANGAN BATIN

Demikianlah ketiga siswa pemenang
Masing-masing unggul dalam kemenangannya.
Mereka bagaikan tiga jenderal
Dalam bala tentara Dhamma Sang Buddha.

Di antara para bhikkhu dan bhikkhunã terkenal
Yang telah datang dari segala perjalanan kehidupan
Untuk disebutkan di sini dan setelahnya
Dari arsip biologis kita

Ini berfungsi sebagai penyemangat
Bagi semua teman-teman kita dalam Dhamma ini
Penderitaan apapun yang mereka alami
Dapat diubah menjadi Pasada*
-----------------------------------
*Pasada: Kecemerlangan batin sebagai akibat dari Keyakinan yang diperbarui, ini untuk melawan perasaan sedih, dan putus asa ketika mengalami kekecewaan dan kegagalan karena situasi yang tidak menguntungkan.


- Bab 7 selesai -

Navigation

[0] Message Index

[*] Previous page

Go to full version