Buddhisme Awal, Sekte dan Tradisi > Theravada

ABHIDHAMMA: Sabda Murni Sang Buddha?

<< < (2/6) > >>

Lily W:
ABHIDHAMMA: Sabda Murni Sang Buddha?

Dari seluruh rangkaian tanya-jawab di atas dapatlah ditarik satu simpulan akhir bahwa alasan yang dikilahkan oleh pihak yang menyangsikan serta menolak Abhidhamma sesungguhnya hanya merupakan suatu dalih yang tidak berlandaskan pada kenyataan yang ada. Pengamatan secara saksama akan memperlihatkan bahwa secara garis besarnya ada tiga sebab yang membuat seorang umat Buddha sampai mempunyai praanggapan bahwa Abhidhamma Piöaka bukanlah Sabda Murni Sang Buddha Gotama. Tiga sebab itu ialah: 1. Tidak tahu, tidak mengerti, tidak memahami hakikat Abhidhamma, dan gampang terpengaruhi oleh dalih mereka yang oleh umum dinilai sebagai “orang terpelajar (scholar), “orang terpandang”, dan “orang keagamaan (bhikkhu, satu misal), sehingga akhirnya “ikut-ikutan” menyangsikan serta menolak Abhidhamma; 2. Kurang jeli, bersikap a priori, kurang ilmiah dalam mengkaji Abhidhamma, dan terlalu mengumbar gagasan dan penafsiran pribadi dengan mengesampingkan kenyataan yang ada, sehingga akhirnya “salah menyimpulkan” bahwa Abhidhamma adalah hasil perkembangan pada masabelakangan; 3. Menyadari bahwa beberapa pokok Ajaran dalam Abhidhamma Piöaka bertolak-belakang dengan pandangannya atas sesuatu yang telah mendarah-daging dipercayai sebagai kebenaran, sehingga akhirnya tega “mengorbankan” Abhidhamma dengan dakwaan bukan sebagai Sabda Murni Sang Buddha Gotama.

Ada contoh masing-masing atas kenyataan yang berhubungan dengan tiga sebab di atas. Contoh pertama ialah murid-murid Bhikkhu Buddhadâsa. Karena mereka menilai Bhikkhu Buddhadâsa sebagai seorang bhikkhu senior yang terpelajar, terpandang, dan banyak pengetahuannya tentang Agama Buddha; mereka hanya “anut biyung” saja terhadap segala pandangan yang dikemukakannya. Padahal, banyak pandangannya yang “aneh”, dan jelas sangat bertentangan dengan Ajaran Murni Sang Buddha Gotama. Loyalitas yang membuta terhadap seorang “figur pujaan” ini secara tragis menenggelamkan akal budi mereka sendiri.20) Menyadari bahaya yang mengenaskan semacam inilah, Sang Buddha Gotama berulang-kali mengingatkan umat-Nya agar tidak gampang menaruh keyakinan pada pribadi tertentu. Alih-alih bersikap yang riskan ini, umat Buddha hendaknya membina keyakinan yang benar terhadap Dhamma dan Vinaya yang telah dibabarkan dengan sempurna.

Contoh kedua ialah David J. Kalupahana. Sebagai seorang dosen kawakan, haruslah diakui secara jujur bahwa ia tentunya bukan “awam” lagi tentang filsafat Buddhis. Namun, sebagaimana yang tertampak dalam karyanya yang berjudul “Buddhist Philosophy”, dalam beberapa hal ia tampaknya terlalu mengumbar gagasan serta tafsinan pribadi atas suatu hal yang sesungguhnya belum diketahuii dengan pasti. Dalam Bab Skolastisisme: Theravâda, Sarvâstivâda dan Sautrântika, misalnya, ia menuliskan, “Namun, menurut Abhidhamma, perbedaan antara sesuatu (dhamma) dan sifatnya (lakkhaóa) –kendati tidak benar-benar ada–, sangatlah perlu untuk kepentingan pendefinisian atau penentuan (kappanâ). (Ini tentu saja, dengan melupakan kenyataan bahwa Abhidhamma merupakan pemaparan tentang Hakikat Mutlak (Paramattha)21), bukan pemaparan tentang kebenaran biasa (Vohâra)!) Analisis semacam inilah yang membuka jalan bagi munculnya teori ‘hakikat alamiah’ (sabhâva, Sk. svabhâva) pada masa Theravâda pasca-Buddhaghosa maupun Sarvâstivâda.” Gagasan serta penafsinan pribadi ini tentunya dikemukakan oleh David J. Kalupahana dengan mengesampingkan kenyataan bahwa ajaran tentang “Sabhâva” sesungguhnya sudah ada sejak masa kehidupan Sang Buddha Gotama. Bukti tentang kenyataan ini dapat ditelusuri dalam Kitab Parivâra, Vinaya Piöaka –sebagaimana yang telah disitirkan dalam ARGUMENTASI nomor 18.

Contoh ketiga ialah Bhikkhu Buddhadâsa. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, ia adalah seorang bhikkhu yang sering mengorbitkan pandangan yang aneh. Salah satu pandangan-nya yang aneh ialah tentang “pikiran/kesadaran yang kosong”.22) Jelasnya, ia senantiasa mengajarkan murid-muridnya untuk melatih meditasi dengan “mengosongkan pikiran/kesadaran” – dalam artian tidak berpikir apa pun juga. Jika dikaji berdasarkan Abhidhamma, akan tertampaklah dengan jelas bahwa praktek semacam ini sangat salah dan menyimpang. Sudah merupakan sifat alamiah pikinan/kesadanan untuk “berpikir”. Tidak pernah ada satu saat pun bagi pikinan/kesadaran untuk “tidak berpikir”. Juga, sifat alamiah lain pikiran ialah cenderung rnenuju objek (Ârammaóa). Dengan perkataan lain, setiap pikiran/kesadaran yang timbul pasti memiliki objek. Bahkan, dalam keadaan tidur lelap (tidak bermimpi) pun, suatu objek pasti ada bagi kesadaran yang bertugas memelihara kehidupan (Bhavaõgakicca), yaitu “objek lama” yang sama dengan objek dari kesadaran yang bertumimbal lahir (Paöisandhi-citta). Apalagi dalam keadaan sedang bermeditasi, suatu objek pasti ada bagi kesadaran yang timbul pada saat itu. Meditasi pengembangan ketenangan (Samattha-bhâvanâ) memiliki ketetapan (Paññatti) sebagai objek, sedangkan meditasi pengembangan pandangan terang (Vipassanâ-bhâvanâ) memiliki hakikat mutlak (Paramattha) sebagai objek. Jadi, meditasi dalam Agama Buddha sama sekali bukan “mengosongkan pikiran/kesadaran” –dalam artian tidak berpikir tentang sesuatu (objek). Meditasi adalah pengarahan pikiran/kesadaran pada objek dengan tepat benar (Yonisomanasikâra). Tampaknya, Bhikkhu Buddhadâsa menyadari bahwa pandangannya itu sangatlah bertentangan dengan pengertian Abhidhamma. Demi melindungi serta mempertahankan pandangannya ini, ia akhirnya tega “mengorbankan’ Abhidhamma dengan dakwaan bukan sebagai Sabda Murni Sang Budha Gotama.

Secara sepintas lalu, kesahihan dan keabsahan Abhidhamma Piöaka sebagai Sabda Murni Sang Buddha Gotama sekarang seolah-olah hanya tertinggal pada masalah mau percaya atau tidak; dalam artian percaya yah silakan, tidak percaya yah tidak apa-apa. Apakah kenyataannya memang hanya sesepele ini? Tentunya tidak. Sikap menyangsikan –apalagi menolak– Abhidhanima Piöaka niscaya akan menimbulkan dampak yang fatal bagi kehidupan seseorang. Dalam Kitab Ulasan Atthasâlinî, Buddhaghosa Thera mengingatkan bahwa seseorang yang menolak Abhidhamma secara langsung maupun taklangsung berarti menghancurkan Ajaran/Roda Penaklukan (Jinacakka), tidak mengakui Kemahatahuan (Sabbaññûta-Ñâóa), mendaifkan Pengetahuan Empiris (Vesarajja-Ñâóa) Sang Buddha Gotama, dan menyebabkan timbulnya perpilahan dalam Agama Buddha serta menghalangi mereka yang ingin mengetahui Kebenaran Mutlak. Dengan bersikap demikian, ia secara disadari maupun takdisadari menciptakan kendala (obstacle) bagi penembusan Empat Kesunyataan Mulia (Cattâri Ariya Saccani), peraihan Jalan (Magga), Pahala (Phala), dan Pembebasan Sejati (Nibbâna) …

Tidak ada seorang pun di dunia ini –betapapun piawai dan betapapun jeniusnya– mampu mewejangkan Abhidhamma, kecuali seorang Sammâsambuddha.

Catatan Kaki:

1) Menurut prakiraan Sthien Bodhinanda –mantan dosen mata-kuliah Sejarah Agama Buddha Universitas Mahâmakuöarâjavidyâlaya–, hal ini sudah mulai terjadi sebelum abad ketiga penanggalan Buddhis.

2) Jika dihitung hanya berdasarkan data yang tertulis dalam Tipiöaka, Mukjizat Ganda yang diperlihatkan pada tahun keenam ini ialah yang kedua. Namun, apabila data dalam Atthakathâ juga dimasukkan, ini adalah yang ketiga karena beberapa minggu setelah Pencerahan Agung, Beliau juga memperlihat-karniya.

3) Angka dibelakang istilah Pâli ini menunjukkan jumlah unsur yang dimiliki oleh istilah itu. Misalnya; “Khandha 5” berarti bahwa Khandha (kelornpok kehidupan) ini terdiri atas lima, yaitu Rûpa-khandha (kelompok rupa), Vedanâ-khandha (kelompok perasaan), Saññâ-khandha (kelompok ingatan), Saõkhâra-khandha(kelompok corak-corak batiniah), dan Viññâóa-khandha (kelompok kesadaran).

4) Untuk peraihan kesucian tingkat Arahat, suatu makhluk haruslah memupuk Kesempurnaan selama tidak kurang dari 100.000 kappa. (Satu kappa = satu masa dunia, kurun waktu suatu dunia mulai terbentuk hingga hancur kembali).

5) Beliau baru berhasil meraih kesucian tingkat Arahat tiga bulan setelah Sang Buddha Gotama mencapai Kemangkatan Mudak.

6) Sutta tidak harus dibabarkan secara nonstop karena berkenaan dengan pribadi tertentu dan dalam situasi serta waktu yang berlainan, sedangkan Abhidhamma adalah wejangan yang bersifat umum dan saling berpautan erat antara satu kitab dengan kitab lainnya.

7) 500 bhikkhu ini pada zaman Buddha Kassapa pernah terlahirkan sebagai kelelawar. Berkat mendengarkan dua orang bhikkhu yang sedang berbincang-bincang tentang Abhidhamma di sebuah gua –walau sebagai kelelawar tak mengerti maknanya–, mereka semua terlahirkan-kembali di Alam Surga selama satu masa Buddha.

8) Beliau adalah Siswa Mulia yang paling unggul dalam hal mengatur tempat bagi para bhikkhu.

9) Hal yang sama juga diperlakukan olek Dabbamallaputta Thera terhadap para bhikkhu yang ahli Vinaya (Vinayadhara), dan terhadap yang ahli Sutta (Suttantika).

10) Suatu jenis pelanggaran yang tergolong sedang – tidak berat tetapi juga tidak ringan.

11) Empat rangkaian faktor Jhâna ini ialah 1). Pengarahan (Vittakka), Pemantapan (Vicâra), Kegiuran (Pîti), Kebahagiaan (Sukha), Panunggalan (Ekaggatâ); 2). Pîti, Sukha, Ekaggatâ; 3). Sukha, Ekaggatâ; 4). Keseimbangan (Upekkhâ), Ekaggattâ. Ini berlaku bagi mereka yang memiliki kebijaksanaan sangat tinggi (Tikkhapuggala) – yang mampu menanggalkan Vitakka dan Vicâra secara berbarengan/bersamaan. Namun, bagi mereka yang memiliki kebijaksanaan tidak begitu tinggi (Maóòapugga1a), Vitakka dan Vicâra ditanggalkan secara berurutan sehingga ada lima rangkaian faktor Jhâna.

12) Keterangan lebih lanjut tentang pelaksanaan Abhidhamma dalam kehidupan sehari-hari dapat disimak pada buku “Abhidamma in Daily Life” karya Nina Van Gorkom.

13) Lihat Kitab Ulasan Samantapâsâdika, Atthasâlini, Paramatthadîpanî, Manovatthaparani, Papañcasûdani bagian kedua.

14) Dalam Muktamar Partama beliau bertugas menjawab pertanyaan Mahâkassapa Thera tentang hal-hal yang berhubungan dengan Vinaya.

15) Sutta Piöaka, Khuddaka Nikâya, Theravatthu, Apadâna Upâli.

16) “Sabhâva-dhamma” adalah suaru kebenaran berdasarkan sifat-alamiahnya. Kebenaran inilah yang mendapat penekanan utama dalam Abhidhamma Piöaka.

17) Kitab Ulasan (Atthakathâ) atas Kitab Vibhaõga.

18) Telaahan yang senada juga berlaku bagi kilahan yang sebaliknya mengatakan bahwa Abhidhamma Piöaka tidak dapat diakui sebagai Sabda Murni Sang Buddha karena di situ tidak terdapat ungkapan “EKAM SAMAYAM BHAGAVÂ...” Tanggapan yang diberikan oleh Buddhaghosa Thera ialah: “Kalau begitu, Jâtaka, Suttanipâta dan Dhammapada –yang takmemiliki ungkapan seperti itu– tentunya juga bukan sabda Murni Sang Buddha Gotama?”

19) Selain menolak Abhidhamma Piöaka, mazhab Mahâsaõgika juga menolak Paöisambhidâmagga, Niddesa dan beberapa Jâtaka.

20) “Paramattha” ini tidak hanya mencakup Nibbâna semata, melainkan juga kesadaran (Citta), corak batiniah (Cetasaka) dan rûpa (Rûpa). Karena itu, agaknya tidak mengena jika istilah tersebut dialihbasakan oleh Ir. Hudaya Kandahjaya, B.Sc. sebagai “Realitas Terakhir”. Usaha penerjemahan kiranya kurang begitu sempurna apabila digarap hanya dengan bermodalkan pengetahuan kebahasaan semata, tanpa pengertian yang benar dan luas tentang Abhidhamma.

21) Bhikkhu itu juga mengatakan bahwa kehidupan mendatang itu tidak ada, tidak ada pula Alam Surga maupun Alam Neraka, tidak ada makhluk yang terlahirkan secara spontan (Opapâtika), Dalil Kamma (Kamma-niyâma) itu bukan Ajaran Sang Buddha.

22) Apabila ia orang yang mempunyai cacat bawaan (sejak lahir), Paöisandhi-citta yang dirujuk di sini ialah Upekkâsantiraóa-citta (kesadaran yang mengamati salah satu dari lima objek yang baik, yang timbul disertai dengan ketakacuhan). Sedangkan kalau tidak cacat ialah salah satu dari delapan Mahâvipâka-citta (kesadaran-akibat yang bajik).

PUSTAKA ACUAN

Bodhinanda, Sthien. Sejarah Agama Buddha. Universitas Sangha Mahâmakuörâjavidyâlay, Bangkok. 2520 PB. (*)

Borihâravanakhetta, Sucinta. Paramatthasaõkhepa, Ringkasan Hakikat Mutlak. Yayasan Pendidikan dan Pembabaran Agama Buddha, Bangkok, 2530 PB.( *)

Buddhaghosa, Thera. Kitab Atthasâlinî, Mahâmakuörâjavidyâlay, Bangkok. 2527 PB (*)

Buddhaghosa, Thera. Kitab Atthakathâ, Mahâmakuörâjavidyâlay, Bangkok. 2527.PB(*)

Guttajayo, Phra Visuddhi. Buku Pegangan Kurikulum Pelajaran Abhidhamma Tingkat Dasar I. Yayasan Saddhamrnajotikâ, Bangkok. 2530 PB. (*)

Jañapaññâkicca, Phra. Abhidhamma adalah Sabda Sang Buddha. Yayasan Abhidhamma, Wat Phra Jetubonvimâlamaõgalârâma, Bangkok. 2504 PB (.)

Kaharuddin, Pandit J. dan Widya, Dharma K. Pengantar Abhidhamma. Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, Jakarta. 1987.

Kalupahana, David J. Buddhist Philosophy A Historical Analysis. The University of Hawaii, Hawaii. 1976.

Ledi, Sayadaw. The Manuals of Buddhism. Mahâmakut Press, Bangkok. 2521 PB.

Malalasekera, G.P. Encyclopaedia of Buddhism. Fascicule: A-Aca. The Government of Ceylon, Ceylon. 1962.

Narada, Bhikkhu. A Manual of Abhidhamma, (Abhidhammattha-saõgaha). Yayasan Dhammadîpa Ârâma, Jakarta. 1979.

Wejangan Tujuh Kitab Abhidhamma. Citta-bhâvanâ Mahâvidyâlay, Bangkok. 2517 PB. (*)

Nyâóaponika, Thera. Abhidhamma Studies, Researches in Buddhist Psychology. The Buddhist Publication Society, Kandy, Ceylon. 1985.

Payutto, Phrayudha. Dictionary of Buddhism. Mahâcuïâlaõkara Râjavidyâlay. Bangkok. 2528 PB.

Puññânubhâva, Sujîva. Ikhtisar Tipiöaka (Pâli). Mahâmakuörâjavidyâlay, Bangkok. 2528 PB. (*)

Saddhammajotikâ, Phra. Paramatthajotikâ Bab 1-2-6. Wat Ra’ghang Gositârâma, Bangkok. 2526 PB. (*)

Saævarasamâdhivatta, Phragru. Abhidhamma adalah Sabda Murni Sang Buddha. Abhidhammajotikâ Vidyâlay, Bangkok. 2524 PB. (*)

Srivisuddhikavî, Phra. Psikologi Abhidhamma. Universitas Saõgha Mahâmakuörâjavidyâlay, Bangkok. 2528 PB. (*)

Vajirañâóavarorasa, Somdec Phra. Saõgiti-kathâ. Mahâmakuörâjavidyâlay, Bangkok. 2527 PB. (*)

Yubodhi, Thanit. Kitab Abhidhamma. Bangkok. 2527 PB. (*)

Yubodhi, Thanit. Wejangan Abhidhamma di Tâvatiæsa. Bangkok. 2526 PB. (*)

Catatan: Yang bertanda asterik (*) adalah buku-buku yang tertulis dalam Bahasa Thai.

Catatan Tambahan: Buku ini diterbitkan tatkala pengulas masih belum mempergunakan komputer. Pengalihan ke bentuk elektronik dilakukan dengan OCR, dan diperiksa hanya secara sekilas.

 _/\_  :lotus:

williamhalim:
Anumodana Sis Lily,

Artikel ini sungguh menarik (meskipun belum habis sy baca karna mataku udah minta ampun  ;D)

istirahat dulu, bentar lg mo dilanjutkan...

 _/\_

Lily W:
Artikel ini di tulis oleh Yan Sanjivaputta alias Bhante Abhinito.
Sekarang Beliau udah lepas jubah dan kerja di Thailand.

Semoga Artikel ini bermanfaat bagi Frens....

 _/\_ :lotus:

Kelana:
Oooo Ic...Yan Sanjivaputta
tapi beliau nampaknya tidak menyertakan sumber mengenai "catatan sejarah yang dapat dipercayai' ini catatan apa.
Terus jika di telaah, semua sepertinya berkaitan dengan kitab komentar. Pertanyaannya sejauh mana kesahian kitab komentar tesebut?

Sunkmanitu Tanka Ob'waci:
Kalau dari sudut pandang Theravada :

1. Sutta : tanpa kesalahan dan sifatnya otoritatif
2. Suttānuloma : referensi dalam Sutta, otoritatif jika sesuai dengan empat kriteria besar (ada di Sutta dan Vinaya) dalam Mahaparinibanna Sutta

"In such a case, bhikkhus, the declaration of such a bhikkhu is neither to be received with approval nor with scorn. Without approval and without scorn, but carefully studying the sentences word by word, one should trace them in the Discourses and verify them by the Discipline. If they are neither traceable in the Discourses nor verifiable by the Discipline, one must conclude thus: 'Certainly, this is not the Blessed One's utterance; this has been misunderstood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' In that way, bhikkhus, you should reject it. But if the sentences concerned are traceable in the Discourses and verifiable by the Discipline, then one must conclude thus: 'Certainly, this is the Blessed One's utterance; this has been well understood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' And in that way, bhikkhus, you may accept it on the first, second, third, or fourth reference. These, bhikkhus, are the four great references for you to preserve."

3. Atthakathā : kitab komentar, otoritatif kecuali bertentangan dengan Sutta dan Suttānuloma
4. Attanomati : pendapat pribadi seorang guru, vinayadhara, dhammakatikha, dll tidak disetujui atau ditolak, tapi ditimbang dengan no. 1, 2, dan 3. Sepertinya Tika dan Anutika masuk kriteria ke 4

Kalau Yan Sanjivaputta sih sering memasukkan catatan kaki dalam tulisan-tulisan beliau, menandakan dia senang dengan referensi

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

[*] Previous page

Go to full version