Vihara atau Wihara atau Biara?
(Oleh : N/N)
Dewasa ini kata “vihara” sudah memiliki varian cara penulisan yang baru, yaitu “wihara”. Cara penulisan yang manakah yang benar yang sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia yang benar? Bagi saya sendiri, kalau kata tersebut berdiri sendiri maka saya akan menulis “wihara”. Tetapi terhadap nama wihara yang sudah ada, saya tetap akan menggunakan “vihara” kalau memang sejak awal namanya sudah ditulis demikian. Bukankah nama orang tidak boleh sembarangan diubah-ubah? Misalnya “Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya”.
Mengapa saya condong menuliskannya sebagai “wihara”? Karena saya sering menjumpai orang melafalkan “vihara” sebagai “fihara” bukan “wihara”. Dan memang kalau menurut kaidah bahasa Indonesia, “vihara” seharusnya dibaca sebagai “fihara” bukan “wihara”. Tidak semua umat Buddha tahu bahwa “vihara” seyogianya dibaca “wihara”, apalagi yang bukan umat Buddha.
Ada sejumlah umat bersikukuh mempertahankan penulisan “vihara” karena menurut mereka istilah Pali perlu dipertahankan sebagaimana aslinya dan juga secara internasional sudah dikenal luas. Tentu saja tidak jadi masalah kalau tetap mau mempertahankan penulisan “vihara”, cuma seyogianya ditulis sebagai “vihāra” karena penulisan dalam bahasa Pali yang benar seharusnya demikian. Dan juga perlu ditulis dalam bentuk miring (italik). Karena menurut kaidah bahasa Indonesia, kata-kata asing yang diselipkan di dalam paragraf bahasa Indonesia harus ditulis miring. Kalau “vihāra” sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia sehingga baik pengucapan maupun penulisannya pun sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, menjadi “wihara”, maka tidak perlu ditulis dalam bentuk miring.
Memang menurut kaidah penyerapan bahasa asing seharusnya ditulis sebagai “vihara” (dan dibaca sebagai “fihara”
1) namun karena di kalangan umat Buddha sudah sering diucapkan sebagai “wihara” (cara pelafalan yang betul secara internasional) sehingga sebaiknya ditulis sebagai “wihara” saja. Dan juga sejak dulu cara penyerapan istilah Sansekerta ke dalam Bahasa Indonesia selalu mengikuti kaidah ‘pengucapan’ bukan ‘penulisan’. Misalnya –van[t] menjadi –wan (guṇavant menjadi gunawan), prajña menjadi pradnya, dan lain sebagainya.
Satu lagi, kalau tetap mau mempertahankan istilah “vihāra”, maka nama suatu wihara misalnya “Vihara Padumuttara” harus ditulis sebagai “Padumuttara-Vihāra” bukan “Vihāra-Padumuttara”. Seyogianya disesuaikan pula dengan kaidah tata bahasa Pali. Demikian pula “Vimala-Chanda-Ārāma”, bukan “Ārāma-Vimala-Chanda”.
Terhadap istilah “Buddha” atau “bhikkhu”, ada baiknya tetap mempertahankan bentuk aslinya karena: (1) dewasa ini kita di Indonesia sudah mulai menerapkan cara baca paritta yang sesuai dengan tanda baca sehingga pelafalan “Bud-dha” atau “bhik-khu” seyogianya bukan hal yang asing atau sulit lagi. Lagi pula dalam bahasa Indonesia tidak ada larangan penggunaan konsonan rangkap, bahkan ada daerah tertentu misalnya Sulawesi Selatan yang bahasa daerahnya banyak mengandung kata-kata konsonan rangkap (misalnya ‘gappa’, ‘bakka’, ‘battang’, dan lain sebagainya); (2) konsonan berbunyi letup juga dapat ditemukan dalam kata-kata bahasa Indonesia misalnya ‘khusus’, ‘khawatir’; (3) sungguh janggal kalau “paritta” ditulis sebagai “parita”, “metta” sebagai “meta”, bhikkhu-bhikkhu ditulis sebagai biku-biku (artinya menjadi lain, silakan buka Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi IV).
Bahasa adalah sesuatu yang hidup dan dinamis. Walaupun ada kaidah-kaidah yang diciptakan untuk mengaturnya namun tetap saja ada sejumlah pengecualian. Kalau penggunaanya tetap mempertahankan bentuk tertentu maka kenyataan itulah yang harus diterima. Contoh konkret adalah kata “Buddha” sendiri. Kalau tidak salah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi II masih menggunakan istilah ‘Buda’ atau ‘Budha’, tidak ada kata ‘Buddha’. Tetapi karena umat Buddha bersikukuh menggunakan istilah ‘Buddha’ sehingga akhirnya dalam edisi III dan IV Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘Buda’ atau ‘Budha’ sudah dihilangkan, diganti dengan ‘Buddha’.
Ada sejumlah orang bersikukuh menulis “bhikkhu” sebagai ‘biku’ karena menurut mereka istilah ‘wiku’ sudah sejak lama dikenal di masyarakat Jawa oleh karena itu gunakan saja istilah yang sudah ada (sudah mengindonesia). Perlu disadari bahwa ‘wiku’ di kalangan tertentu sudah mengalami distorsi makna (ke arah negatif) karena faktor sejarah sehingga kalau ‘biku’ tetap dipertahankan maka akan terimbas pula makna negatifnya. Demikian juga sesungguhnya istilah ‘wihara’ sudah ada bentuk Indonesianya yaitu ‘biara’. Namun karena ‘biara’ sudah memiliki nuansa makna lain sehingga sebaiknya tetap gunakan saja istilah ‘wihara’ sebagai tempat ibadah umat Buddha. Hal yang sama dapat diterapkan terhadap “saṃsāra” di mana bentuk serapannya dalam bahasa Indonesia adalah ‘sengsara’. Namun lagi-lagi sudah berubah dari maknanya yang asli oleh karena itu sebaiknya tetap gunakan saja “saṃsāra” atau terjemahannya.
Itulah sekelumit pendapat saya tentang cara penulisan sejumlah istilah yang diserap dari Bahasa Pali ke dalam Bahasa Indonesia. Saya tidak berpretensi mewakili otoritas tertentu oleh karena itu pendapat saya seyogianya hanya diperlakukan sebagai salah satu rujukan saja.
1 Misalnya kata Inggris “gender”, menurut kaidah penyerapan bahasa asing, seharusnya ditulis sebagai “gender” dan dibaca “gender” bukan “jender”.