//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Dari canakya sampai cendekia  (Read 1969 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline dhammasiri

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 465
  • Reputasi: 44
  • Gender: Male
Dari canakya sampai cendekia
« on: 23 December 2010, 04:17:28 PM »
TERSEBUTLAH dalam dunia ilmiah kebahasaan, Dr. J. Gonda menyusun sebuah buku berjudul Sanskrit in Indonesia (New Delhi, 1973). Isinya, catatan kata bahasa Sanskerta sebagaimana terdapat di Indonesia. Kata dan bahasa Sanskerta ini telah mempengaruhi dan memperkaya bahasa-bahasa di Indonesia sejak zaman Hindu. Salah satu kata yang menarik ialah canakya, yang dalam bahasa Melayu menjadi candakiya. Dalam perjalanan waktu, kata tersebut diucapkan cendekia, seperti yang kita kenal sekarang ini. Canakya adalah nama seorang menteri pada zaman pemerintahan Candra Gupta di India (abad ke-4) yang terkenal pintar dan bijak berkata-kata. Lalu canakya menjadi sebutan bagi orang yang cerdas atau pandai seperti Canakya. Tapi ada arti lain dari kata canakya itu menurut Gonda, yaitu backbiting (menjelekkan orang lain, memfitnah) atau, seperti di Minangkabau, people who are extraordinarily smart or tricky. Menurut Gonda lagi, mungkin itu dapat dihubungkan dengan kata bahasa Hindi chandi, yang berarti tricky dan deceitful (licik dan suka berbohong). Sampai di sini tak ada masalah tentang arti dari bahasa Hindi itu, mungkin karena buku Gonda tersebut tak dibaca awam secara luas. Yang hidup dalam bahasa Indonesia adalah arti yang baik saja, yaitu cerdas (smart). Jadi, orang Minangkabau tak ada yang merasa terhina. Tetapi kemudian memang pernah juga ada sedikit "salah semat" tentang pengertian cendekia itu, khususnya dalam arti licik dan bohong, di kalangan masyarakat Minang. Yaitu ketika Suwarsih Warnaen (profesor psikologi) mengatakan -- kalau tak salah, dalam kesimpulan penelitian sementaranya yang sebenarnya belum resmi diumumkan -- bahwa orang Minangkabau, selain aktif, dinamis, ulet, dan ekonomis, juga sinis dan licik. Sifat terakhir ini betul-betul seperti menyentuh "puncak bisul" masyarakat Minang. Timbul bermacam reaksi dari masyarakat Minang, baik di perantauan maupun di "tanah leluhur". Media massa menyiarkannya sebagai "konsumsi lezat" dengan memberikan tekanan pada unsur pro dan kontranya. Masyarakat Minang mengajak Suwarsih berdiskusi bertempat di sebuah rumah makan Padang yang besar di Jakarta. Tapi pertemuan itu tak berlangsung. Apakah Suwarsih membaca buku Gonda juga? Tak tahulah. Akhirnya, persoalan tersebut dikunci oleh Kopkamtib karena dianggap bisa menjurus ke arah perpecahan suku (SARA). Untunglah, tak ada yang membuat onar seperti peristiwa di Medan. Mungkin Meneer Gonda tersenyum-senyum saja mendengar ini semua (kalau beliau masih ada). Sekarang ada apa tentang kata cendekia ini yang sampai menimbulkan perdebatan pula di kalangan terbatas dalam sebagian ilmuwan di Fakultas Sastra UI? Dalam sebuah simposium belum lama ini, yang bertema "Bahasa dan Kecendekiaan" (perayaan 65 tahun Prof. Dr. Anton M. Moeliono), telah dipertanyakan pula, antara lain, kata cendekiawan. Ilmuwan belum tentu sama dengan cendekiawan. Begitu pula sebaliknya. Ada bedanya, kata Prof. Gorys Keraf, yang meninjaunya dari segi pemakaian bahasa. Cendekiawan yang bukan ilmuwan, bahasanya tertib sesuai dengan kaidah. Dalam tulisannya tercermin kecerdasan berpikir penulisnya. Memang banyak mereka yang bukan sarjana (dalam arti formal) tetapi punya kadar kecendekiaan dan integritas pribadi yang tinggi sehingga diakui sebagai cendekiawan. Toety Heraty mengatakan secara berkelakar, seorang cendekiawan hendaknya punya IQ tinggi. Kalau kurang, bisa ditutupi dengan banyak "diam". Seorang cendekiawan, katanya lagi, harus hati-hati berkata. Setiap kata dipikirkan dahulu masak-masak. Karena itu, bicaranya lambat dan tertahan-tahan. Kata Toety, bicara pelan-pelan itu "tanda" yang bersangkutan seorang cendekiawan. "Benarkah orang yang bicara terbata-bata atau tergagap-gagap itu cendekiawan?" tanya seseorang lebih lanjut. "Bisa disambung lagi diskusi nanti," kata Toety. Rupanya, ia merasa tak cukup waktu saat itu. Memang banyak yang belum jelas batasannya apa itu ilmuwan, intelektual, pakar, inteligensia, dan cendekiawan sendiri. Tetapi ada satu ciri penting yang belum tersoroti, yaitu bahwa seorang cendekiawan, di samping ia seorang berilmu dan beriman, ahli, dan pakar, hendaklah juga punya kepekaan sosial dan kepedulian terhadap lingkungan dengan segala masalahnya, hingga apa yang dilakukannya dipertimbangkannya betul lebih dahulu manfaatnya. Seseorang yang ahli dan pakar dalam penciptaan produk teknologi canggih seperti penciptaan senjata pemusnah manusia yang paling dahsyat jelas bukan seorang cendekiawan. Dia hanya seorang ilmuwan yang punya kepakaran yang tinggi. Sedangkan soal kecendekiaan selain disebutkan tadi adalah (yang terpenting) soal aktivitas nurani, sikap, kejujuran, kerendahhatian, keadilan, dan kebijaksanaan yang dapat mengendalikan semua pikiran dan perbuatannya. Cendekiawan adalah orang yang selalu berpikir dan berbuat untuk kemaslahatan umat manusia. Dan jika kriteria tersebut di atas dikenakan, berapa orangkah kiranya yang dapat disebut cendekiawan dalam simposium tersebut, yang di antara sekian banyak pesertanya terdapat sejumlah profesor dan doktor?

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1994/06/04/KL/mbm.19940604.KL1838.id.html
Kedamaian dunia tidak akan tercapai bila batin kita tidak damai