Kalo boleh menambahkan, saya ingin memberikan alasan mengapa penting mempelajari Buddhisme awal dengan mengutip tulisan Bhikkhu Sujato dari bukunya
A History of Mindfulness tentang kerancuan tradisi Buddhis dan mitos-mitos seputar ajaran Buddha dalam tradisi-tradisi Buddhis itu sendiri. Semoga bermanfaat.
===========================================================================
Buddhisme Awal Melampaui Tradisi-Tradisi dan Mitos-Mitos Sektarian
Disadur dari buku A History of Mindfulness oleh Bhikkhu SujatoKerancuan TradisiAdalah implisit dalam penyataan menjadi seorang “Buddhis” bahwa seseorang meyakini bahwa Dhamma berasal dari Sang Buddha sendiri melalui penyebaran ajaran-Nya oleh tradisi-tradisi. Kita harus mengambil pernyataan ini secara serius. Sebagai seorang bhikkhu saya menyadari bahwa, dalam pengertian yang sangat nyata, saya adalah bahan dan pewaris spiritual dari Sang Buddha. Para umat Buddha yang taat memberikan saya nasi dan kari, seperti juga pada masa lampau orang-orang India memberikan Siddhattha Gotama nasi dan kari, karena mereka menganggap saya seorang pengikut sejati, seorang “Putra Sakya”. Akan tidak tulus, bahkan curang, bagi saya untuk memakan dana makanan itu sementara pada waktu yang sama meyakini, mempraktekkan, atau mengajarkan hal-hal yang saya ketahui bahwa Siddhattha Gotama tidak akan menyetujuinya.
Ini menimbulkan beberapa masalah yang menarik dan menantang. Jelas bahwa keberadaan budaya-budaya yang ada yang semuanya menyatakan sebagai “Buddhis” sangat berbeda dalam keyakinan dan praktek mereka. Seringkali ini hanyalah perbedaan budaya seraya Dhamma-Vinaya menyesuaikan dirinya pada waktu dan tempat. Umat Buddha Taiwan melakukan pelantunan [kebaktian] mereka dalam bahasa Mandarin, sedangkan umat Buddha Thai melakukannnya dalam bahasa Pali; tidak ada yang membuat masalah besar tentang hal-hal seperti ini. Bagaimanapun, Sang Buddha sendiri meminta para pengikut-Nya untuk mempelajari Dhamma dalam bahasa mereka sendiri, dan tidak bersikeras pada dialek-dialek lokal.
Namun, aspek-aspek lain dari Buddhisme kultural sangat berlawanan dengan Dhamma. Sebuah contoh yang mengganggu dari hal ini adalah penggunaan bahasa dan konsep Buddhis untuk membenarkan perang, yang telah merusak banyak negera-negera Buddhis. Tidak ada penyesuaian budaya yang tidak berbahaya, tetapi suatu perbuatan yang sepenuhnya tidak wajar atas ajaran-ajaran Sang Buddha.
Fakta-fakta yang tidak menyenangkan demikian menuntut bahwa kita berhenti dan menyelidiki tradisi-tradisi lebih dekat. Ini hanya tidak cukup bagus untuk menerima dengan kepercayaan yang tidak diselidiki mitos-mitos, kisah-kisah, dan dogma-dogma dari aliran-aliran. Sebagai orang-orang yang memiliki komitmen untuk memahami dan menjalankan pesan dari Sang Bijaksana Sakya, terdapat suatu kewajiban untuk dengan jujur mempertanyakan tentang apa, persisnya, yang diajarkan Guru kita. Kita tahu bahwa tradisi-tradisi menjadi salah dalam beberapa kasus. Tetapi contoh-contoh yang jelas, tidak rancu adalah dalam minoritas. Terdapat suatu kekayaan dari ajaran-ajaran lain yang diberikan kepada kita oleh aliran-aliran, yang beberapa darinya berbeda satu sama lainnya dalam huruf; dan kita memerlukan sesuatu yang lebih baik daripada kepercayaan buta sebelum kita dapat dengan cerdas menyimpulkan apakah mereka lakukan, atau tidak lakukan, juga berbeda dalam maknanya.
Semua aliran Buddhisme yang ada berbagi sekumpulan besar ajaran yang sama, tetapi juga memasukkan sekumpulan besar ajaran yang berbeda. Tidak diragukan bahwa para pendiri dan pengembang berbagai aliran itu meyakini bahwa terdapat perbedaan ajaran yang bermakna, yang asli di antara aliran-aliran. Semua aliran sepaham bahwa mereka tidak sepaham. Ini cukup ditunjukkan dengan sejumlah besar bahan polemik yang memenuhi rak-rak kanon Buddhis. Dan, pada umumnya, aliran-aliran juga sepaham pada apa yang mereka tidak sepaham. Sebuah teks aliran Theravāda dapat mengatakan bahwa ajaran “pribadi” dari aliran Puggalavāda bertentangan dengan ajaran bukan-diri; sedangkan teks-teks Puggalavāda akan dengan penuh semangat membantah bahwa ajaran tentang “pribadi” berada dalam cara yang benar untuk menafsirkan bukan-diri. Mempertimbangkan situasi ini, tampaknya agak gegabah untuk menyatakan, seperti yang dilakukan beberapa Buddhis modernis, bahwa tidak ada perbedaan, atau bahwa perbedaan itu tidak penting. Apa yang diperlukan bukanlah kata-kata basa-basi hambar melainkan suatu metodologi yang diperbaiki, suatu cara mendekati ajaran-ajaran yang diturunkan, bukan dari perspektif atau ajaran-ajaran dari aliran tertentu mana pun, tetapi dari suatu evaluasi sensitif dari tradisi tekstual seperti yang dihidupkan oleh para umat Buddha. Yin Shun, bhikkhu sarjana yang terkemuka dari Buddhisme Taiwan modern, mengungkapkan perasaan yang sama dalam otobiografinya.
Walaupun “tanpa-perselisihan” adalah baik, sinkretisme yang diterjemahkan dengan terampil yang tidak mengetahui di mana dan mengapa perbedaan-perbedaan dapat terlalu jauh, terlalu umum, dan samar-samar.
Untuk memahami asal mula dan transformasi Buddha Dharma dalam konteks spasial dan temporal tertentu dalam dunia yang sebenarnya perlahan-lahan menjadi prinsip pencarian saya terhadap Buddha Dharma.
Kematian Mitos
Adalah suatu ciri khas yang mengejutkan, umum pada semua aliran, bahwa mereka merasa kebutuhan untuk membenarkan ajaran tertentu mereka secara mitologis – inilah apa yang semua agama lakukan. Selama 2500 tahun, Buddhisme telah terus-menerus berubah, menyesuaikan diri, berkembang; tetapi mitos aliran-aliran bersikeras bahwa Dhamma tetap sama. Demikianlah Theravāda bersikeras bahwa Abhidhamma Theravāda telah diajarkan Sang Buddha di surga Tāvatiṁsa selama pengasingan diri musim hujan-Nya yang ketujuh. Mahāyāna menyatakan bahwa sūtra-sūtra Mahāyāna ditulis pada masa Sang Buddha, disimpan di alam naga di bawah laut, kemudian didapatkan kembali oleh Nāgārjuna 500 tahun kemudian. Zen menyatakan otoritas dari suatu transmisi oral esoteris di luar kitab suci yang berasal dari Mahā Kassapa, yang disimbolkan oleh senyuman Mahā Kassapa ketika Sang Buddha memegang sekuntum teratai. Semua ini adalah mitos, dan tidak layak dianggap serius sebagai penjelasan atas kebenaran historis. Tujuannya, sebagai mitos, tidak untuk menjelaskan fakta-fakta, tetapi untuk mengesahkan keyakinan religius. Mereka mengatakan pada kita, bukan bagaimana ajaran-ajaran menjadi ada, tetapi bagaimana para penganutnya merasakannya. Dengan cara ini, mitos menawarkan suatu pelengkap yang tidak tergantikan atas sejarah, dan tidak seharusnya diabaikan. Apa yang saya kritik di sini bukanlah mitos sebagai mitos, tetapi mitos sebagai sejarah: kesalahan naif bersikeras bahwa kisah-kisah dari tradisi-tradisi adalah berdasarkan fakta. Mitos-mitos berdiri sebagai suatu penolakan yang menyolok atas ketidakkekalan, dan juga sub-tema dari karya ini adalah untuk memperhatikan ironi perih tentang bagaimana upaya yang amat sangat untuk mempertahankan ajaran-ajaran, sehingga “Dhamma sejati dapat bertahan dalam waktu lama”, cenderung menuju sesuatu yang menganggap waktu sebagai nyata.
Salah satu pelajaran terbesar dari sejarah, mungkin pelajaran
yang terbesar, adalah bahwa akal menggantikan mitos. Terdapat sesuatu tentang pikiran manusia yang tidak dapat terus-menerus mempercayai suatu penjelasan mitos untuk apa yang dapat kita pahami melalui akal. Penjelasan mitos memenuhi suatu tujuan; mereka menciptakan suatu pengertian makna dan identitas bersama yang memuaskan dan menegaskan diri sendiri. Tetapi akal juga adalah suatu kekuatan positif, karena ia menganggap bahwa pikiran manusia dapat mendekati kebenaran. Karena penjelasan rasional atas pernyataan-pernyataan religius semakin maju, ini menjadi semakin bosan mempertahankan dua struktur kepercayaan yang tidak bersesuaian bersebelahan. Mitos-mitos menjadi tidak berguna. Tidak lagi meyakinkan secara inheren, mereka menjadi berlebih-lebihan dan akhirnya mati. Inilah pasang surut waktu yang tidak dapat ditawar lagi.
Ketika studi sejarah modern Buddhisme dimulai pada pertengahan abad ke-19 terdapat, sebagai suatu hasil dari mitologi-mitologi yang bersaing (tidak untuk menyebutkan mitos Hindu yang bahkan lebih menyesatkan), kebingungan yang sangat amat tentang gambaran sejarahnya. Dalam ledakan antusias rasionalis, para sarjana bersiap-siap untuk mempertanyakan apakah mitos memiliki dasar faktual sama sekali. Apakah ada hubungan historis antara agama-agama yang berbeda yang dijalankan di tempat-tempat yang terpisah jauh seperti Sri Lanka, Tibet, dan Jepang? Apakah Sang Buddha benar-benar ada? Apakah Beliau hanyalah dewa-matahari? Apakah Beliau seorang nabi Etiopia? Apakah yang Beliau ajarakan? Dapatkah kita mengetahuinya? Tradisi manakah yang paling dapat dipercaya (atau setidaknya tidak dapat dipercaya)? Karena tradisi-tradisi telah sangat terpisah karena kekuatan sejarah – terutama penghancuran Buddhisme di India – mereka memiliki sedikit informasi tentang satu sama lainnya, dan masing-masing menyatakan keunggulannya sendiri. Masing-masing aliran mempertahankan tradisinya dalam kumpulan yang luas dari berjilid-jilid naskah kuno yang sulit dimengerti dan sulit dibaca dalam bahasa-bahasa yang sangat berbeda (Mandarin, Tibet, Pali, dan bahasa-bahasa India lainnya seperti Sanskrit). Tetapi perlahan-lahan bukti dikumpulkan. Tradisi-tradisi dibandingkan; penemuan arkeologis menegaskan fakta-fakta kunci. Kronologi Sri Lanka yang berusia 1500 tahun menyebutkan nama-nama bhikkhu Kassapa, Majjhima, dan Durabhisara yang dikirimkan pada masa Aśoka sebagai misionaris dari Vidisa ke Himalaya; sebuah stupa digali di Vidisa dan nama-nama para bhikkhu ini ditemukan di sana, yang dipahatkan dalam huruf-huruf yang penanggalannya dekat dengan masa Aśoka, dan mencatat bahwa mereka adalah para guru Himalaya.[1] Pada awal abad ke-20, dalam karya-karya oleh para sarjana seperti T. W. Rhys Davies, yang tulisan-tulisannya tetap mempertahankan nilainya saat ini, skema yang akurat diambil. Masih ada perdebatan pada awal pertengahan abad ke-20, meskipun, karena bukti masih dikumpulkan, teks-teks baru disusun, dan studi baru dilakukan.
Namun, sejak awal tahun 1882 seorang sarjana bernama Samuel Beal menerbitkan serangkaian kuliah yang berjudul
Buddhist Literature in China. Ini memasukkan informasi tentang proses penerjemahan ke dalam bahasa Mandarin, dan contoh terjemahan dari beberapa lapisan utama teks-teks Buddhis – Sutta-Sutta awal, Jātaka-Jātaka, dan sebuah teks Mahāyāna. Ia menyatakan sebagai berikut:
Parinibbāna, Brahmajāla, Sigalovada, Dhammacakka, Kasi-Bhāradvadja, Mahāmangala; semua ini telah saya temukan dan bandingkan dengan terjemahan dari bahasa Pali, dan menemukan bahwa pada pokoknya mereka adalah identik. Saya tidak mengatakan secara harfiah sama; mereka berbeda dalam poin-poin kecil, tetapi identik dalam alur dan semua rincian yang penting. Dan ketika kumpulan Vinaya dan Āgama sepenuhnya diselidiki, saya memiliki sedikit keraguan kita akan menemukan kebanyakan jika tidak semuanya sutta-sutta Pali dalam bentuk Mandarin.[2]
Lebih dari satu abad kemudian, studi perbandingan yang seksama yang didorong oleh Beal masih kurang. Namun, beberapa kemajuan telah dibuat. Pada tahun 1908 seorang sarjana Jepang bernama M. Anesaki menerbitkan bukunya “The Four Buddhist Āgamas in Chinese: A concordance of their parts and of the corresponding counterparts in the Pali Nikāyas”.[3] Ini diikuti pada tahun 1929 oleh Chizen Akanuma dalam
The Comparative Catalogue of Chinese Āgamas and Pali Nikāyas,[4] sebuah katalog komprehensif dari semua kotbah-kotbah awal yang diketahui ada dalam Pali dan Mandarin, dan sedikit teks yang tersedia dalam bahasa Tibet dan Sanskrit. Penemuan-penemuan ini ditambahkan dalam studi historis yang berskala penuh seperti Étienne Lamotte dalam
History of Indian Buddhism dan A. K. Warder dalam
Indian Buddhism. Studi-studi telah sangat menegaskan hipotesis awal Beal – Āgama-Āgama Mandarin dan Nikāya-Nikāya Pali hampir identik dalam ajaran. Mereka adalah dua turunan yang berbeda dari kumpulan teks yang sama. Teks-teks ini – secara populer ditunjuk hanya sebagai “Sutta-Sutta” – dikumpulkan oleh generasi pertama para pengikut Sang Buddha, sebelum masa pemisahan sektarian. Mereka adalah Buddhisme prasektarian. Walaupun mereka biasanya dianggap sebagai ajaran-ajaran “Theravāda”, ini tidak demikian. Sarjana David Kalupahana melanjutkan sejauh menyatakan bahwa tidak ada satu pun kata Theravāda dalam Nikāya-Nikāya Pali (walaupun saya pikir ini pernyataan yang sedikit berlebihan.) Sumbangsih para sarjana kebanyakan terbatas pada penetapan pengaturan akhir teks-teks dan standarisasi dialek. Penambahan gagasan sektarian adalah sedikit dan biasanya dengan siap dapat dikenal. Lamotte berkomentar:
Namun, dengan pengecualian penambahan Mahāyanis dalam Ekottara, yang dengan mudah dapat dibedakan, perbedaan-perbedaan yang dipertanyakan [antara Nikāya-Nikāya dan Āgama-Āgama] tidak mungkin mempengaruhi apa pun kecuali metode pengungkapan atau penyusunan dari pokok-pokok bahasan. Dasar ajaran yang umum pada Nikāya-Nikāya dan Āgama-Āgama sangat seragam. Namun, dipertahankan dan disebarkan oleh aliran-aliran, sūtra-sūtra tidak merupakan naskah-naskah skolastik, tetapi merupakan warisan bersama dari semua aliran.[5]
Semua teks lainnya, termasuk Jātaka, Abhidhamma dari berbagai aliran, sūtra-sūtra Mahāyāna, dan seterusnya, dituliskan kemudian. Relatif sedikit dari ajaran-ajaran ini dianut sama antara aliran-aliran; yaitu, mereka adalah Buddhisme sektarian. Walaupun lensa kritik historis, gambar besar dari kemunculan dan perkembangan ajaran-ajaran ini dapat ditelusuri dengan sangat jelas, dalam dinamika internal dari evolusi ajaran dan dalam tanggapan Buddhisme pada lingkungan budaya, sosial, dan religius yang berubah-ubah. Tidak ada bukti bahwa ajaran-ajaran khusus dari teks-teks ini – yaitu, ajaran-ajaran yang tidak juga ditemukan dalam Sutta-Sutta awal – berasal dari Sang Buddha. Alih-alih, teks-teks ini seharusnya dianggap sebagai jawaban yang diberikan para guru dari masa kuno atas pertanyaan: “Apakah makna Buddhisme bagi kami?” Setiap generasi berikutnya pasti melakukan tugas sulit dalam prinsip penafsiran, akulturasi kembali Dhamma pada waktu dan tempat. Dan kita, dalam masa-masa kita yang menggemparkan, yang demikian berbeda dari mereka dari masa atau budaya Buddhis masa lampau, harus menemukan jawaban kita sendiri. Dari perspektif ini, ajaran-ajaran aliran-aliran memberikan pelajaran-pelajaran yang tidak ternilai, suatu kekayaan teladan yang telah diwariskan kepada kita oleh para nenek moyang kita dalam keyakinan.
Memahami dasar historis dari Buddhisme menyediakan suatu landasan yang bermakna untuk menghargai landasan bersama dari aliran-aliran. Mitos-mitos tradisional tentang asal mula teks-teks Buddhis menjalankan tujuan polemik, yang menentukan dalam mengesahkan posisi ajaran tertentu dari aliran-aliran. Ini bukan untuk merendahkan peranan religius yang penting yang dimainkan mitos-mitos dalam Buddhis; sebaliknya, kita akan melihat bahwa kitab-kitab Buddhis selalu ditanamkan dalam kisah spiritual, yang memberi napas kehidupan ke dalam ajaran-ajaran. Tujuan kita bukan untuk mengkritik aliran-aliran, tetapi untuk membedakan yang penting dari yang tidak penting.
Catatan Kaki:[1] Lihat Frauwallner 1956; yang baru-baru ini dikoreksi oleh Willis. Lihat juga Wynne.
[2] Beal, pg. xii.
[3] Anesaki
[4] Akanuma. Sebuah versi yang telah diperbarui dari tabel Akanuma ada di
www.suttacentral.net[5] Lamotte, pg. 156.