//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA  (Read 18312 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« on: 12 March 2013, 02:14:51 AM »
[1] BUKU KELOMPOK LIMA

Terpujilah Sang Bhagavā, Sang Arahant,
Yang Tercerahkan Sempurna


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #1 on: 12 March 2013, 02:15:39 AM »
LIMA PULUH PERTAMA
   
I. KEKUATAN DARI YANG SEORANG MASIH BERLATIH

1 (1) Secara Ringkas

Demikianlah yang kudengar pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, ada lima kekuatan dari seorang yang masih berlatih.<974> Apakah lima ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan rasa malu bermoral, kekuatan rasa takut bermoral, kekuatan kegigihan, dan kekuatan kebijaksanaan. Ini adalah kelima kekuatan dari seorang yang masih berlatih itu. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memiliki kekuatan keyakinan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; Kami akan memiliki kekuatan rasa malu bermoral, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; Kami akan memiliki kekuatan rasa takut bermoral, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; Kami akan memiliki kekuatan kegigihan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; Kami akan memiliki kekuatan kebijaksanaan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih.’ Demikianlah, para bhikkhu, kalian harus berlatih. [Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu bersenang dalam pernyataan Sang Bhagavā.]<975> [2]

2 (2) Secara Terperinci

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, ada lima kekuatan dari seorang yang masih berlatih ini. Apakah lima ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan rasa malu bermoral, kekuatan rasa takut bermoral, kekuatan kegigihan, dan kekuatan kebijaksanaan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, kekuatan keyakinan? Di sini, seorang siswa mulia memiliki keyakinan. Ia berkeyakiann pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ini disebut kekuatan keyakinan.

(2) “Dan apakah kekuatan rasa malu bermoral? Di sini, seorang siswa mulia memiliki rasa malu bermoral; ia malu terhadap perilaku salah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran; ia malu dalam memperoleh kejahatan, kualitas-kualitas tidak bermanfaat. Ini disebut kekuatan rasa malu bermoral.

(3) “Dan apakah kekuatan rasa takut bermoral? Di sini, seorang siswa mulia memiliki rasa takut bermoral; ia takut terhadap perilaku salah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran; ia takut dalam memperoleh kejahatan, kualitas-kualitas tidak bermanfaat. Ini disebut kekuatan rasa takut bermoral.<976>

(4) “Dan apakah kekuatan kegigihan? Di sini, seorang siswa mulia telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas bermanfaat; ia kuat, kokoh dalam pengerahan usaha, tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Ini disebut kekuatan kegigihan.

(5) “Dan apakah kekuatan kebijaksanaan? Di sini, seorang siswa mulia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran sepenuhnya penderitaan.<977>

Ini adalah kelima kekuatan dari seorang yang masih berlatih itu. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memiliki kekuatan keyakinan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; Kami akan memiliki kekuatan rasa malu bermoral, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; Kami akan memiliki kekuatan rasa takut bermoral, [3] satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; Kami akan memiliki kegigihan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; Kami akan memiliki kekuatan kebijaksanaan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih.’ Demikianlah, para bhikkhu, kalian harus berlatih.”

3 (3) Penderitaan

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini – dalam kesusahan, kesengsaraan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, suatu takdir yang buruk menantinya. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu hampa dari keyakinan, tidak memiliki rasa malu bermoral, dengan moralitas yang sembrono, malas, dan tidak bijaksana. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu berdiam dalam penderitaan dalam kehidupan ini – dalam kesusahan, kesengsaraan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, suatu takdir yang buruk menantinya.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu berdiam dengan bahagia dalam kehidupan ini – tanpa kesusahan, kesengsaraan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, suatu takdir yang baik menantinya. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki keyakinan, memiliki rasa malu bermoral, memiliki rasa takut bermoral, dan bersemangat dan bijaksana. Dengan memiliki kelima kualitas [lainnya] ini, seorang bhikkhu berdiam dengan bahagia dalam kehidupan ini – tanpa kesusahan, kesengsaraan, dan demam – dan dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, suatu takdir yang baik menantinya.”

4 (4) Seolah-olah Dibawa ke Sana.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu hampa dari keyakinan, tidak memiliki rasa malu bermoral, dengan moralitas yang sembrono, malas, dan tidak bijaksana. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. [4]

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.  Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu memiliki keyakinan, memiliki rasa malu bermoral, memiliki rasa takut bermoral, dan bersemangat dan bijaksana. Dengan memiliki kelima kualitas ini, seorang bhikkhu ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. “

5 (5) Latihan

 “Para bhikkhu, bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah mengundang lima kritik yang masuk akal dan landasan bagi celaan dalam kehidupan ini. Apakah lima ini? (1) ‘Engkau tidak memiliki keyakinan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. (2) Engkau tidak memiliki rasa malu bermoral dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. (3) Engkau tidak memiliki rasa takut bermoral dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. (4) Engkau tidak memiliki kegigihan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. (5) Engkau tidak memiliki kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.’ Bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah mengundang lima kritik yang masuk akal dan landasan bagi celaan dalam kehidupan ini.

“Para bhikkhu, bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni, bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, memperoleh lima dasar bagi pujian dalam kehidupan ini. Apakah lima ini? (1) ‘Engkau memiliki keyakinan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. (2) Engkau memiliki rasa malu bermoral dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. (3) Engkau memiliki rasa takut bermoral dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. (4) Engkau memiliki kegigihan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. (5) Engkau memiliki kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat.’ Bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni, bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, [5] memperoleh lima dasar bagi pujian dalam kehidupan ini.”

6 (6) Memasuki

(1) “Para bhikkhu, tidak ada memasuki apa yang tidak bermanfaat selama keyakinan secara kokoh menetap dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. Tetapi ketika keyakinan telah lenyap dan ketiadaan keyakinan mengobsesi seseorang, maka ada memasuki apa yang tidak bermanfaat.

(2) “Tidak ada memasuki apa yang tidak bermanfaat selama rasa malu bermoral secara kokoh menetap dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. Tetapi ketika rasa malu bermoral telah lenyap dan ketiadaan rasa malu bermoral mengobsesi seseorang, maka ada memasuki apa yang tidak bermanfaat.

(3) “Tidak ada memasuki apa yang tidak bermanfaat selama rasa takut bermoral secara kokoh menetap dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. Tetapi ketika rasa takut bermoral telah lenyap dan ketiadaan rasa takut bermoral mengobsesi seseorang, maka ada memasuki apa yang tidak bermanfaat.

(4) “Para bhikkhu, tidak ada memasuki apa yang tidak bermanfaat selama kegigihan secara kokoh menetap dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. Tetapi ketika kegigihan telah lenyap dan kemalasan mengobsesi seseorang, maka ada memasuki apa yang tidak bermanfaat.

(5) “Para bhikkhu, tidak ada memasuki apa yang tidak bermanfaat selama kebijaksanaan secara kokoh menetap dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat. Tetapi ketika kebijaksanaan telah lenyap dan ketiadaan kebijaksanaan mengobsesi seseorang, maka ada memasuki apa yang tidak bermanfaat.

7 (7) Kenikmatan Indria

“Para bhikkhu, sebagian besar makhluk-makhluk terpikat oleh kenikmatan-kenikmatan indria. Ketika seorang anggota keluarga meninggalkan arit dan tongkat pikulan dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, maka ia digambarkan sebagai seorang anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan. Karena alasan apakah? Kenikmatan-kenikmatan indria, apakah dari jenis ini atau itu, dapat diperoleh seorang pemuda. Kenikmatan indria yang rendah, kenikmatan indria yang menengah, dan kenikmatan indria yang tinggi semuanya dikenal hanya sebagai kenikmatan-kenikmatan indria. [6]

“Misalkan seorang bayi kecil, yang tidak tahu apa-apa, berbaring pada punggungnya, memasukkan sebatang kayu atau kerikil ke dalam mulutnya karena kelengahan pengasuhnya. Pengasuhnya akan segera merawatnya dan berusaha untuk mengeluarkannya. Jika ia tidak dapat dengan cepat mengeluarkannya, maka ia akan merangkul kepala anak itu dengan tangan kirinya dan, dengan menekukkan jari tangan kannya, ia akan mengeluarkannya bahkan jika ia harus melukainya hingga berdarah. Karena alasan apakah? Anak itu akan mengalami kesakitan – hal ini Aku tidak membantahnya – tetapi pengasuh itu terpaksa melakukan itu demi kebaikan dan kesejahteraan anak itu, demi belas kasihan padanya. Akan tetapi, ketika anak itu telah tumbuh besar dan telah memiliki akal yang cukup, pengasuh itu tidak akan prihatin padanya, dengan berpikir: ‘Anak itu sekarang dapat menjaga dirinya sendiri. Ia tidak akan menjadi lengah.’

“Demikian pula, selama seorang bhikkhu masih belum sempurna dalam keyakinan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, dalam rasa malu bermoral dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, dalam rasa takut bermoral dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, dalam kegigihan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, dalam kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, maka Aku masih harus menjaganya. Tetapi ketika bhikkhu itu telah sempurna dalam keyakinan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat … sempurna dalam kebijaksanaan dalam [melatih] kualitas-kualitas bermanfaat, maka Aku tidak prihatin padanya, dengan berpikir: ‘Bhikkhu itu sekarang dapat menjaga dirinya sendiri. Ia tidak akan menjadi lengah.’”<978>

8 (8 ) Jatuh (1)

“Para bhikkhu,, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu jatuh dan tidak kokoh dalam Dhamma sejati. Apakah lima ini? (1) Seorang bhikkhu yang hampa dari keyakinan jatuh dan tidak kokoh [7] dalam Dhamma sejati. (2) Seorang bhikkhu yang tidak memiliki rasa malu bermoral … (3) Seorang bhikkhu yang memiliki moralitas yang sembrono … (4) Seorang bhikkhu yang malas … (5) Seorang bhikkhu yang tidak bijaksana jatuh dan tidak kokoh dalam Dhamma sejati. Dengan memiliki kelima kualitas ini seorang bhikkhu jatuh dan tidak kokoh dalam Dhamma sejati.

“Para bhikkhu,, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu tidak jatuh melainkan kokoh dalam Dhamma sejati. Apakah lima ini? (1) Seorang bhikkhu yang memiliki keyakinan tidak jatuh melainkan kokoh dalam Dhamma sejati. (2) Seorang bhikkhu yang memiliki rasa malu bermoral … (3) Seorang bhikkhu yang memiliki rasa takut bermoral … (4) Seorang bhikkhu yang bersemangat … (5) Seorang bhikkhu yang bijaksana tidak jatuh melainkan kokoh dalam Dhamma sejati. Dengan memiliki kelima kualitas ini seorang bhikkhu tidak jatuh melainkan kokoh dalam Dhamma sejati.”

9 (9) Jatuh (2)

Para bhikkhu,, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu yang bersikap tidak sopan dan tidak hormat jatuh dan tidak kokoh dalam Dhamma sejati. Apakah lima ini? (1) Seorang bhikkhu yang bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang hampa dari keyakinan jatuh dan tidak kokoh dalam Dhamma sejati. (2) Seorang bhikkhu yang bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang tidak memiliki rasa malu bermoral … (3) Seorang bhikkhu yang bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang memiliki moralitas yang sembrono … (4) Seorang bhikkhu yang bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang malas … (5) Seorang bhikkhu yang bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang tidak bijaksana jatuh dan tidak kokoh dalam Dhamma sejati. Dengan memiliki kelima kualitas ini seorang bhikkhu yang tidak sopan dan tidak hormat jatuh dan tidak kokoh dalam Dhamma sejati. [8]

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu yang bersikap sopan dan hormat tidak jatuh melainkan kokoh dalam Dhamma sejati. Apakah lima ini? (1) Seorang bhikkhu yang bersikap sopan dan hormat yang memiliki keyakinan tidak jatuh melainkan kokoh dalam Dhamma sejati. (2) Seorang bhikkhu yang bersikap sopan dan hormat yang memiliki rasa malu bermoral … (3) Seorang bhikkhu yang bersikap sopan dan hormat yang memiliki rasa takut bermoral … (4) Seorang bhikkhu yang bersikap sopan dan hormat yang bersemangat … (5) Seorang bhikkhu yang bersikap sopan dan hormat yang bijaksana tidak jatuh melainkan kokoh dalam Dhamma sejati. Dengan memiliki kelima kualitas ini seorang bhikkhu tidak jatuh melainkan kokoh dalam Dhamma sejati.”

10 (10) Tidak Sopan

Para bhikkhu,, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu yang bersikap tidak sopan dan tidak hormat tidak mampu mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini. Apakah lima ini? ? (1) Seorang bhikkhu yang bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang hampa dari keyakinan tidak mampu mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini. (2) Seorang bhikkhu bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang tidak memiliki rasa malu bermoral … (3) Seorang bhikkhu bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang memiliki moralitas yang sembrono … (4) Seorang bhikkhu bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang malas … (5) Seorang bhikkhu bersikap tidak sopan dan tidak hormat yang tidak bijaksana tidak mampu mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini.

Para bhikkhu,, dengan memiliki lima kualitas [lainnya], seorang bhikkhu yang bersikap sopan dan hormat mampu mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini. Apakah lima ini? ? (1) Seorang bhikkhu yang bersikap sopan dan hormat yang memiliki keyakinan mampu mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini. (2) Seorang bhikkhu bersikap sopan dan hormat yang memiliki rasa malu bermoral … (3) Seorang bhikkhu bersikap sopan dan hormat yang memiliki rasa takut bermoral … [9] … (4) Seorang bhikkhu bersikap sopan dan hormat yang bersemangat … (5) Seorang bhikkhu bersikap sopan dan hormat yang bijaksana tidak mampu mencapai pertumbuhan, kemajuan, dan kematangan dalam Dhamma dan disiplin ini.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #2 on: 12 March 2013, 02:17:43 AM »
II. KEKUATAN

11 (1) Belum Pernah Terdengar Sebelumnya

“Para bhikkhu, Aku mengaku telah mencapai penyempurnaan dan kesempurnaan pengetahuan langsung sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya.<979>

“Ada lima kekuatan Tathāgata ini yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memlikinya Beliau mengaku menempati posisi sapi jantan pemimpin, mengaumkan auman singaNya di dalam kumpulan-kumpulan, dan memutar roda brahma.<980> Apakah lima ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan rasa malu bermoral, kekuatan rasa takut bermoral, kekuatan kegigihan, dan kekuatan kebijaksanaan. Ini adalah kelima kekuatan Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memlikinya Beliau mengaku menempati posisi sapi jantan pemimpin, mengaumkan auman singaNya di dalam kumpulan-kumpulan, dan memutar roda brahma.” [10]

12 (2) Puncak (1)

“Para bhikkhu, ada lima kekuatan dari seorang yang masih berlatih ini. Apakah lima ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan rasa malu bermoral, kekuatan rasa takut bermoral, kekuatan kegigihan, dan kekuatan kebijaksanaan. Ini adalah kelima kekuatan dari seorang yang masih berlatih itu. Di antara kelima kekuatan dari seorang yang masih berlatih ini, kekuatan kebijaksanaan adalah yang terunggul, kekuatan yang mempertahankan kekuatan-kekuatan lainnya pada posisinya, kekuatan yang menyatukannya. Seperti halnya puncak atap adalah bagian utama dari sebuah rumah beratap lancip, bagian yang mempertahankan semua bagian lainnya pada posisinya, yang menyatukannya, demikian pula di antara kelima kekuatan dari seorang yang masih berlatih ini, kekuatan kebijaksanaan adalah yang terunggul, kekuatan yang mempertahankan kekuatan-kekuatan lainnya pada posisinya, kekuatan yang menyatukannya.

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: (1) ‘Kami akan memiliki kekuatan keyakinan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; (2) kekuatan rasa malu bermoral, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; (3) kekuatan rasa takut bermoral, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; (4) kekuatan kegigihan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih; (5) kekuatan kebijaksanaan, satu kekuatan dari seorang yang masih berlatih.’ Demikianlah, para bhikkhu, kalian harus berlatih.”

13 (3) Secara Ringkas

“Para bhikkhu, ada lima kekuatan ini. Apakah lima ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan kegigihan, kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, dan kekuatan kebijaksanaan. Ini adalah kelima kekuatan itu.<981>

14 (4) Secara Terperinci

“Para bhikkhu ada lima kekuatan ini. Apakah lima ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan kegigihan, kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, dan kekuatan kebijaksanaan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, kekuatan keyakinan? Di sini, seorang siswa mulia memiliki keyakinan. Ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna … [seperti pada 5:2] … Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ [11] Ini disebut kekuatan keyakinan.

(2) “Dan apakah kekuatan kegigihan? Di sini, seorang siswa mulia telah membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas bermanfaat; ia kuat, kokoh dalam pengerahan usaha, tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Ini disebut kekuatan kegigihan.

(3) “Dan apakah kekuatan perhatian? Di sini, seorang siswa mulia penuh perhatian, memiliki perhatian tertinggi dan keawasan, seorang yang mengingat dan mengingat kembali apa yang telah dilakukan dan dikatakan pada waktu yang lama berlalu. Ini disebut kekuatan perhatian.

(4) “Dan apakah kekuatan konsentrasi? dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Dengan memudarnya sukacita, ia berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Ini disebut kekuatan konsentrasi.

(5) “Dan apakah kekuatan kebijaksanaan? Di sini, seorang siswa mulia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran sepenuhnya penderitaan.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima kekuatan itu.”

15 (5) Terlihat

“Para bhikkhu ada lima kekuatan ini. Apakah lima ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan kegigihan, kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, [12] dan kekuatan kebijaksanaan.

(1) “Dan di manakah, para bhikkhu, kekuatan keyakinan itu terlihat? Kekuatan keyakinan itu terlihat dalam empat faktor memasuki-arus.<982> (2) Dan di manakah kekuatan kegigihan itu terlihat? Kekuatan kegigihan itu terlihat dalam empat usaha benar. (3) Dan di manakah kekuatan perhatian itu terlihat? Kekuatan perhatian terlihat dalam empat penegakan perhatian. (4) Dan di manakah kekuatan konsentrasi itu terlihat? Kekuatan konsentrasi terlihat dalam empat jhāna. (5) Dan di manakah kekuatan kebijaksanaan itu terlihat? Kekuatan kebijaksanaan terlihat dalam empat kebenaran mulia.

“Ini, para bhikkhu, adalah lima kekuatan.”

16 (6) Puncak (2)

“Para bhikkhu ada lima kekuatan ini. Apakah lima ini? Kekuatan keyakinan, kekuatan kegigihan, kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, dan kekuatan kebijaksanaan. Ini adalah kelima kekuatan itu. Di antara kelima kekuatan ini, kekuatan kebijaksanaan adalah yang terunggul, kekuatan yang mempertahankan kekuatan-kekuatan lainnya pada posisinya, kekuatan yang menyatukannya. Seperti halnya puncak atap adalah bagian utama dari sebuah rumah beratap lancip, bagian yang mempertahankan semua bagian lainnya pada posisinya, yang menyatukannya, demikian pula di antara kelima kekuatan ini, kekuatan kebijaksanaan adalah yang terunggul, kekuatan yang mempertahankan kekuatan-kekuatan lainnya pada posisinya, kekuatan yang menyatukannya.”

17 (7) Kesejahteraan (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi tidak demi kesejahteraan orang lain. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral oleh dirinya sendiri tetapi tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam perilaku bermoral; (2) ia sendiri sempurna dalam konsentrasi tetapi tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam konsentrasi; (3) ia sendiri sempurna dalam kebijaksanaan tetapi tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebijaksanaan; (4) ia sendiri sempurna dalam kebebasan tetapi tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebebasan; (5) ia sendiri sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tetapi tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. [13] Dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraannya sendiri tetapi tidak demi kesejahteraan orang lain.”

18 (8 ) Kesejahteraan (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi tidak demi kesejahteraannya sendiri. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu tidk sempurna dalam perilaku bermoral oleh dirinya sendiri tetapi mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam perilaku bermoral; (2) ia sendiri tidak sempurna dalam konsentrasi tetapi mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam konsentrasi; (3) ia sendiri tidak sempurna dalam kebijaksanaan tetapi mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebijaksanaan; (4) ia sendiri tidak sempurna dalam kebebasan tetapi mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebebasan; (5) ia sendiri tidak sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tetapi mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraan orang lain tetapi tidak demi kesejahteraannya sendiri.”

19 (9) Kesejahteraan (3)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih tidak demi kesejahteraannya sendiri juga tidak demi kesejahteraan orang lain. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu tidak sempurna dalam perilaku bermoral oleh dirinya sendiri dan juga tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam perilaku bermoral; (2) ia sendiri tidak sempurna dalam konsentrasi dan juga tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam konsentrasi; (3) ia sendiri tidak sempurna dalam kebijaksanaan dan juga tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebijaksanaan; (4) ia sendiri tidak sempurna dalam kebebasan dan juga tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebebasan; (5) ia sendiri tidak sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dan juga tidak mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. [14] Dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih tidak demi kesejahteraannya sendiri juga tidak demi kesejahteraan orang lain.”

20 (10) Kesejahteraan (4)

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan juga demi kesejahteraan orang lain. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral oleh dirinya sendiri dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam perilaku bermoral; (2) ia sendiri sempurna dalam konsentrasi dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam konsentrasi; (3) ia sendiri sempurna dalam kebijaksanaan dan  mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebijaksanaan; (4) ia sendiri sempurna dalam kebebasan dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam kebebasan; (5) ia sendiri sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan dan mendorong orang lain agar menjadi sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu berlatih demi kesejahteraannya sendiri dan juga demi kesejahteraan orang lain.”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #3 on: 12 March 2013, 02:18:35 AM »
III. BERFAKTOR LIMA

21 (1) Tidak Sopan (1)

“(1) Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu bersikap tidak sopan dan tidak hormat, dan perilakunya tidak menyenangkan bagi teman-temannya para bhikkhu, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi faktor perilaku selayaknya. [15] (2) Tanpa memenuhi faktor perilaku selayaknya, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi faktor dari seorang yang masih berlatih. (3) Tanpa memenuhi faktor dari seorang yang masih berlatih, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi perilaku bermoral. (4) Tanpa memenuhi perilaku bermoral, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi pandangan benar. (5) Tanpa memenuhi pandangan benar, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi konsentrasi benar.<983>

“(1) Tetapi, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu bersikap sopan dan hormat, dan perilakunya menyenangkan bagi teman-temannya para bhikkhu, adalah mungkin baginya untuk memenuhi faktor perilaku selayaknya. (2) Dengan memenuhi faktor perilaku selayaknya, adalah mungkin baginya untuk memenuhi faktor dari seorang yang masih berlatih. (3) Dengan memenuhi faktor dari seorang yang masih berlatih, adalah mungkin baginya untuk memenuhi perilaku bermoral. (4) Dengan memenuhi perilaku bermoral, adalah mungkin baginya untuk memenuhi pandangan benar. (5) Dengan memenuhi pandangan benar, adalah mungkin baginya untuk memenuhi konsentrasi benar.”

21 (2) Tidak Sopan (2)

“(1) Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu bersikap tidak sopan dan tidak hormat, dan perilakunya tidak menyenangkan bagi teman-temannya para bhikkhu, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi faktor perilaku selayaknya. [15] (2) Tanpa memenuhi faktor perilaku selayaknya, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi faktor dari seorang yang masih berlatih. (3) Tanpa memenuhi faktor dari seorang yang masih berlatih, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi kelompok perilaku bermoral. (4) Tanpa memenuhi kelompok perilaku bermoral, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi kelompok konsentrasi. (5) Tanpa memenuhi kelompok konsentrasi, adalah tidak mungkin baginya untuk memenuhi kelompok kebijaksanaan.

“(1) Tetapi, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu bersikap sopan dan hormat, dan perilakunya menyenangkan bagi teman-temannya para bhikkhu, adalah mungkin baginya untuk memenuhi faktor perilaku selayaknya. (2) Dengan memenuhi faktor perilaku selayaknya, adalah mungkin baginya untuk memenuhi faktor dari seorang yang masih berlatih. (3) Dengan memenuhi faktor dari seorang yang masih berlatih, adalah mungkin baginya untuk memenuhi kelompok perilaku bermoral. (4) Dengan memenuhi kelompok perilaku bermoral, adalah mungkin baginya untuk memenuhi kelompok konsentrasi. (5) Dengan memenuhi kelompok konsentrasi, adalah mungkin baginya untuk memenuhi kelompok kebijaksanaan.”

23 (3) Kotoran

“Para bhikkhu,<984> ada lima kotoran ini pada emas, yang dengan dikotori olehnya maka emas menjadi tidak lunak, tidak lentur, dan tidak bersinar, melainkan rapuh dan tidak dapat dikerjakan dengan baik. Apakah lima ini? Besi, tembaga, timah, timbel, dan perak. Ini adalah kelima kotoran pada emas, yang dengan dikotori olehnya emas menjadi tidak lunak, tidak lentur, dan tidak cerah, melainkan rapuh dan tidak dapat dikerjakan dengan baik. Tetapi ketika emas terbebas dari kelima kotoran ini, maka emas menjadi lunak, lentur, dan bersinar, dapat dibentuk, dan dapat dikerjakan dengan baik. Kemudian perhiasan apa pun yang seseorang ingin hasilkan dari emas ini – apakah gelang, anting-anting, kalung, atau kalung bunga emas – ia dapat mencapai tujuannya.<985>

“Demikian pula, para bhikkhu, ada lima kotoran pikiran ini, yang dengan dikotori olehnya maka pikiran menjadi tidak lunak, tidak lentur, dan tidak bersinar, melainkan rapuh dan tidak terkonsentrasi dengan baik demi hancurnya noda-noda. Apakah lima ini? Keinginan indria, niat buruk, ketumpulan dan kantuk, kegelisahan dan penyesalan, dan keragu-raguan. Ini adalah lima kotoran pikiran, yang dengan dikotori olehnya maka pikiran menjadi tidak lunak, tidak lentur, dan tidak bersinar, melainkan rapuh dan tidak terkonsentrasi dengan baik demi hancurnya noda-noda. Tetapi ketika pikiran terbebas dari kelima kotoran ini, maka pikiran menjadi menjadi lunak, lentur, [17] dan bersinar, dapat dibentuk, dan terkonsentrasi baik demi hancurnya noda-noda. Kemudian, jika ada landasan yang sesuai, maka seseorang mampu merealisasikan kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke arah mana ia mengarahkan pikirannya.<986>

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, semoga aku menjadi banyak; dari banyak, semoga aku menjadi satu; semoga aku muncul dan lenyap; semoga aku berjalan tanpa terhalangi menembus tembok, menembus dinding, menembus gunung seolah-olah melewati ruang kosong; semoga aku menyelam masuk dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di dalam air; semoga aku berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, semoga aku terbang di angkasa bagaikan seekor burung; dengan tanganku semoga aku menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; semoga aku mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi pikiran mereka dengan pikiranku sendiri. Semoga aku memahami pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan nafsu dan pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu; [18] pikiran dengan kebencian sebagai pikiran dengan kebencian dan pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian; pikiran dengan delusi sebagai pikiran dengan delusi dan pikiran tanpa delusi sebagai pikiran tanpa delusi; pikiran mengerut sebagai pikiran mengerut dan pikiran kacau sebagai pikiran kacau; pikiran luhur sebagai pikiran luhur dan pikiran tidak luhur sebagai pikiran tidak luhur; pikiran yang terlampaui sebagai pikiran yang terlampaui dan pikiran yang tidak terlampaui sebagai pikiran yang tidak terlampaui; pikiran terkonsentrasi sebagai pikiran terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai pikiran tidak terkonsentrasi; pikiran terbebaskan sebagai pikiran terbebaskan dan pikiran tidak terbebaskan sebagai pikiran tidak terbebaskan,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penghancuran dunia, banyak kappa pengembangan dunia, banyak kappa penghancuran dunia dan pengembangan dunia, sebagai berikut: “Di sana [256] aku bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan begini, makananku seperti ini, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti ini, umur kehidupanku selama ini; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di tempat lain, dan di sana juga aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan begitu, makananku seperti itu, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di sini” – semoga aku mengingat mengingat banyak kehidupan lampauku dengan aspek-aspek dan rinciannya,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai. [19]

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka sebagai berikut: “Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang mencela para mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, yang menganut pandangan benar, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.’ Demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, semoga aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini merealisasikan untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.”

24 (4) Tidak Bermoral

“Para bhikkhu, (1) pada seorang yang tidak bermoral, pada seorang yang tidak memiliki perilaku bermoral, (2) maka konsentrasi tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada konsentrasi benar, pada seorang yang tidak memiliki konsentrasi benar, (3) maka pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, pada seseorang yang tidak memiliki pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, (4) maka kekecewaan dan kebosanan tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada kekecewaan dan kebosanan, pada seseorang yang tidak memiliki kekecewaan dan kebosanan, (5) maka pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab terdekatnya.<987>

“Misalkan ada sebatang pohon yang tidak memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tidak tumbuh sempurna; juga kulit kayunya, [20] kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tidak tumbuh sempurna. Demikian pula, pada seorang yang tidak bermoral, seorang yang tidak memiliki perilaku bermoral, maka konsentrasi tidak memiliki penyebab terdekatnya. Jika tidak ada konsentrasi benar … pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab terdekatnya.

“Para bhikkhu, (1) pada seorang yang bermoral, pada seorang yang perilakunya bermoral, (2) maka konsentrasi memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada konsentrasi benar, pada seorang yang memiliki konsentrasi benar, (3) maka pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, pada seseorang yang memiliki pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, (4) maka kekecewaan dan kebosanan memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada kekecewaan dan kebosanan, pada seseorang yang memiliki kekecewaan dan kebosanan, (5) maka pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan memiliki penyebab terdekatnya.

“Misalkan ada sebatang pohon yang memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tumbuh sempurna; kulit kayunya, kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tumbuh sempurna. Demikian pula, pada seorang yang bermoral, seorang yang perilakunya bermoral, maka konsentrasi memiliki penyebab terdekatnya. Jika ada konsentrasi benar … pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan memiliki penyebab terdekatnya.”

25 (5) Dibantu

“Para bhikkhu, ketika pandangan benar dibantu oleh lima faktor, maka pandangan benar itu memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya; memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya.<988> Apakah lima ini? [21] Di sini, pandangan benar dbantu oleh perilaku bermoral, pembelajaran, diskusi, ketenangan, dan pandangan terang. Ketika pandangan benar dibantu oleh kelima faktor ini, maka pandangan benar itu memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya; memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya.”

26 (6) Kebebasan

“Para bhikkhu, ada lima landasan kebebasan<989> ini yang dengannya, jika seorang berdiam dengan waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan sepenuhnya, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, para bhikkhu, Sang Guru atau seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu. Dalam cara bagaimana pun Sang Guru atau bhikkhu itu yang dalam posisi seorang guru mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu, dengan cara itu pula ia mengalami inspirasi dalam makna dan inspirasi dalam Dhamma.<990> Ketika ia mengalami itu, kegembiraan muncul padanya. Ketika ia bergembira, sukacita muncul. Pada seorang dengan pikiran bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seseorang yang tenang dalam jasmani merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi.<991> Ini adalah landasan kebebasan pertama, yang dengannya, jika seorang berdiam dengan waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan sepenuhnya, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai.

(2) “Kemudian, bukan sang guru juga bukan seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu, melainkan ia sendiri mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari. Dalam cara bagaimana pun juga bhikkhu itu [22] mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari, dengan cara itu pula, sehubungan dengan Dhamma itu, ia mengalami mengalami inspirasi dalam makna dan inspirasi dalam Dhamma. Ketika ia mengalami itu, kegembiraan muncul padanya. Ketika ia bergembira, sukacita muncul. Pada seorang dengan pikiran bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seseorang yang tenang dalam jasmani merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini adalah landasan kebebasan ke dua, yang dengannya, jika seorang berdiam dengan waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan sepenuhnya, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai.

(3) “Kemudian, bukan sang guru juga bukan seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu, juga ia sendiri tidak mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari, melainkan ia sendiri melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari. Dalam cara bagaimana pun juga bhikkhu itu melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari, dengan cara itu pula, sehubungan dengan Dhamma itu, ia mengalami mengalami inspirasi dalam makna dan inspirasi dalam Dhamma. Ketika ia mengalami itu, kegembiraan muncul padanya. Ketika ia bergembira, sukacita muncul. Pada seorang dengan pikiran bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seseorang yang tenang dalam jasmani merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini adalah landasan kebebasan ke tiga, yang dengannya, jika seorang berdiam dengan waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan sepenuhnya, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai.

(4) “Kemudian, bukan sang guru juga bukan seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu, juga ia sendiri tidak mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari, juga ia tidak melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari, melainkan ia merenungkan, [23] memeriksa, dan dalam pikiran menyelidiki Dhamma seperti yang telah ia dengar dan pelajari. Dalam cara bagaimana pun juga bhikkhu itu merenungkan, memeriksa, dan dalam pikiran menyelidiki Dhamma seperti yang telah ia dengar dan pelajari, dengan cara itu pula, sehubungan dengan Dhamma itu, ia mengalami inspirasi dalam makna dan inspirasi dalam Dhamma. Ketika ia mengalami itu, kegembiraan muncul padanya. Ketika ia bergembira, sukacita muncul. Pada seorang dengan pikiran bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seseorang yang tenang dalam jasmani merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini adalah landasan kebebasan ke empat, yang dengannya, jika seorang berdiam dengan waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan sepenuhnya, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai.

(5) “Kemudian, bukan sang guru juga bukan seorang bhikkhu dalam posisi seorang guru mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu, juga ia sendiri tidak mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari, juga ia tidak melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah ia dengar dan pelajari, juga ia tidak merenungkan, memeriksa, dan dalam pikiran menyelidiki Dhamma seperti yang telah ia dengar dan pelajari, melainkan ia menggenggam dengan baik suatu objek konsentrasi tertentu, memperhatikannya dengan baik, mempertahankannya dengan baik, dan menembusnya dengan baik melalui kebijaksanaan. Dalam cara bagaimana pun juga bhikkhu itu menggenggam dengan baik suatu objek konsentrasi tertentu, memperhatikannya dengan baik, mempertahankannya dengan baik, dan menembusnya dengan baik melalui kebijaksanaan, dengan cara itu pula, sehubungan dengan Dhamma itu, ia mengalami mengalami inspirasi dalam makna dan inspirasi dalam Dhamma. Ketika ia mengalami itu, kegembiraan muncul padanya. Ketika ia bergembira, sukacita muncul. Pada seorang dengan pikiran bersukacita, maka jasmaninya menjadi tenang. Seseorang yang tenang dalam jasmani merasakan kenikmatan. Pada seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi. Ini adalah landasan kebebasan ke lima, yang dengannya, jika seorang berdiam dengan waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan sepenuhnya, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai.

“Ini, para bhikkhu adalah kelima landasan kebebasan itu, yang dengannya, jika seorang berdiam dengan waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, maka pikirannya yang belum terbebaskan menjadi terbebaskan, noda-nodanya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan sepenuhnya, dan ia mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang belum dicapai.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #4 on: 12 March 2013, 02:19:01 AM »
27 (7) Konsentrasi

“Para bhikkhu, dengan awas dan penuh perhatian, kembangkanlah konsentrasi yang tanpa batas.<992> Ketika, dengan awas dan penuh perhatian, kalian mengembangkan konsentrasi yang tanpa batas, maka lima jenis pengetahuan muncul yang menjadi milik kalian pribadi. Apakah lima ini? (1) Pengetahuan muncul yang menjadi milik kalian pribadi: ‘Konsentrasi ini menyenangkan pada saat ini dan memiliki akibat menyenangkan di masa depan.’ (2) Pengetahuan muncul yang menjadi milik kalian pribadi: ‘Konsentrasi ini adalah mulia dan spiritual.’ (3) Pengetahuan muncul yang menjadi milik kalian pribadi: ‘Konsentrasi ini tidak dipraktikkan oleh orang-orang rendah.’ (4) Pengetahuan muncul yang menjadi milik kalian pribadi: ‘Konsentrasi ini adalah damai dan luhur, diperoleh melalui ketenangan penuh, dan mencapai kesatuan; tidak dikekang dan ditahan melalui penekanan [kekotoran-kekotoran] secara paksa.’<993> (5) Pengetahuan muncul yang menjadi milik kalian pribadi: ‘Aku memasuki konsentrasi<994> ini dengan penuh perhatian dan keluar dari sana dengan penuh perhatian.’ Para bhikkhu, dengan awas dan penuh perhatian, kembangkanlah konsentrasi yang tanpa batas. Ketika kalian dengan awas dan penuh perhatian mengembangkan konsentrasi yang tanpa batas, maka lima jenis pengetahuan muncul yang menjadi milik kalian pribadi.” [25]

28 (8 ) Berfaktor Lima   

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang pengembangan konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia.<995> Dengarkanlah dan perhatikanlah. Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, pengembangan konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia?

(1) “Di sini, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan, yang disertai oleh pemikiran dan pemeriksaan. Ia membuat sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu. Bagaikan seorang petugas pemandian atau murid petugas pemandian menumpuk bubuk mandi dalam baskom logam dan, secara perlahan memerciknya dengan air, meremasnya hingga kelembaban membasahi bola bubuk mandi tersebut, membasahinya, dan meliputinya di dalam dan di luar, namun bola itu sendiri tidak meneteskan air; demikian pula, bhikkhu itu membuat sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu. Ini adalah pengembangan pertama pada konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia.

(2) “Kemudian, Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki ketenangan internal dan keterpusatan pikiran, dengan sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi, tanpa pemikiran dan pemeriksaan. Ia membuat sukacita dan kebahagiaan yang muncul dari konsentrasi itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh sukacita dan kebahagiaan yang muncul dari konsentrasi itu. Bagaikan sebuah danau yang airnya berasal dari mata air di dasarnya dan tidak ada aliran masuk dari timur, barat, utara, [26] atau selatan, dan tidak ditambah dari waktu ke waktu dengan curahan hujan, kemudian mata air sejuk memenuhi danau itu dan membuat air sejuk itu membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi seluruh danau itu, sehingga tidak ada bagian danau itu yang tidak terliputi oleh air sejuk itu; demikian pula, bhikkhu itu membuat sukacita dan kebahagiaan yang muncul dari konsentrasi itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi itu. Ini adalah pengembangan ke dua pada konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia.

(3) “Kemudian, dengan memudarnya sukacita, seorang bhikkhu berdiam seimbang dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kenikmatan pada jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Ia membuat kebahagiaan yang terlepas dari sukacita itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kebahagiaan yang terlepas dari sukacita itu. Bagaikan, dalam sebuah kolam teratai biru atau merah atau putih, beberapa teratai tumbuh dan berkembang dalam air tanpa keluar dari air, dan air sejuk membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi teratai-teratai itu dari pucuk hingga ke akarnya, sehingga tidak ada bagian dari teratai-teratai itu yang tidak terliputi oleh air sejuk; demikian pula, bhikkhu itu membuat kebahagiaan yang terlepas dari sukacita itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kebahagiaan yang terlepas dari sukacita itu. Ini adalah pengembangan ke tiga pada konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia.


(4) “Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan [27] dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan. Ia duduk dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah itu. Bagaikan seorang yang duduk dan ditutupi dengan kain putih dari kepala ke bawah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak tertutupi oleh kain putih itu; demikian pula, seorang bhikkhu duduk dengan dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah itu. Ini adalah pengembangan ke empat pada konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu telah dengan baik menggenggam objek peninjauan kembali,<996> memperhatikannya dengan baik, mempertahankannya dengan baik, dan menembusnya dengan baik melalui kebijaksanaan. Bagaikan seseorang yang melihat orang lainnya – seperti halnya seorang yang berdiri melihat orang yang sedang duduk, atau seorang yang duduk melihat orang yang sedang berbaring – demikian pula, seorang bhikkhu telah dengan baik menggenggam objek pemeriksaan, memperhatikannya dengan baik, mempertahankannya dengan baik, dan menembusnya dengan baik melalui kebijaksanaan. Ini adalah pengembangan ke lima pada konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia.

“Ketika, para bhikkhu, konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia telah dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, maka, jika ada landasan yang sesuai, ia mampu merealisasikan kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke arah mana ia mengarahkan pikirannya.<997>

“Misalkan sebuah kendi yang penuh air diletakkan di atas sebuah bidang, kendi itu penuh air hingga ke bibirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminumnya. Jika seorang kuat mendorongnya ke arah manapun, apakah air itu akan tumpah?”

“Benar, [28] Bhante.”

“Demikian pula, para bhikkhu, ketika konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia telah dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, maka, jika ada landasan yang sesuai, ia mampu merealisasikan kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke arah mana ia mengarahkan pikirannya.

“Misalkan di sebuah tanah datar terdapat sebuah kolam bersisi empat, dibentengi oleh suatu tanggul, penuh air hingga ke bibirnya sehingga burung-burung gagak dapat meminumnya. Jika seorang kuat membuka tanggulnya di salah satu sisi, apakah air itu akan mengalir keluar?’

“Benar, Bhante.”

“Demikian pula, para bhikkhu, ketika konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia telah dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, maka, jika ada landasan yang sesuai, ia mampu merealisasikan kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke arah mana ia mengarahkan pikirannya.

“Misalkan di atas tanah datar di sebuah persimpangan terdapat sebuah kereta yang terpasang pada kuda-kuda berdarah murni, lengkap dengan tongkat kendali, sehingga seorang pelatih yang terampil, sang kusir, dapat mengendarainya, dan dengan memegang tali kekang di tangan kiri dan tongkat kendali di tangan kanan, dapat berkendara pergi dan kembali ke mana pun dan kapan pun ia menginginkan. Demikian pula, para bhikkhu, ketika konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia telah dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, maka, jika ada landasan yang sesuai, ia mampu merealisasikan kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke arah mana ia mengarahkan pikirannya.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, semoga aku menjadi banyak; dari banyak … [di sini dan di bawah seperti pada 5:23] … semoga aku mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi mereka dengan pikiranku sendiri. Semoga aku memahami … pikiran tidak terbebaskan sebagai pikiran tidak terbebaskan,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku mengingat banyak kehidupan lampau … dengan aspek-aspek dan rinciannya,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali … dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

“Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini merealisasikan untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.”

29 (9) Meditasi Berjalan

“Para bhikkhu, ada lima manfaat dari meditasi berjalan ini. Apakah lima ini? [30] Seseorang menjadi mampu melakukan perjalanan; ia menjadi mampu berusaha; ia menjadi sehat; apa yang ia makan, minum, konsumsi, dan kecap dapat dicerna dengan baik; konsentrasi yang dicapai melalui meditasi berjalan bertahan lama.<998> Ini adalah kelima manfaat dari meditasi berjalan.”

30 (10) Nāgita

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara di antara para penduduk Kosala bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu ketika Beliau tiba di desa brahmana Kosala bernama Icchānaṅgala. Di sana Sang Bhagavā menetap di hutan belantara Icchānaṅgala. Para brahmana perumah tangga Icchānaṅgala mendengar: “Dikatakan bahwa Petapa Gotama, putra Sakya yang telah meninggalkan keduniawian dari keluarga Sakya, telah tiba di Icchānaṅgala dan sekarang menetap di hutan belantara Icchānaṅgala. Sekarang suatu berita baik tentang Guru Gotama telah beredar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, yang berbahagia, pengenal dunia, pemimpin terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci. Setelah dengan pengetahuan langsungnya sendiri merealisasikan dunia ini bersama dengan para deva, Māra, dan Brahmā, populasi ini dengan para petapa dan brahmananya, para deva dan manusianya, Beliau mengajarkannya kepada orang lain. Ia mengajarkan Dhamma yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar; Beliau mengungkapkan kehidupan spiritual yang lengkap dan murni sempurna.’ Sekarang adalah baik sekali menemui Arahant demikian.”

Kemudian, ketika malam telah berlalu, para brahmana perumah tangga Icchānaṅala membawa banyak makanan berbagai jenis dan mendatangi hutan belantara Icchānaṅgala. Mereka berdiri di luar pintu masuk membuat kegaduhan dan keributan. [31] Pada saat itu Yang Mulia Nāgita adalah pelayan Sang Bhagavā. Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Nāgita: “Siapakah yang membuat kegaduhan dan keributan demikian, Nāgita? Seseorang akan berpikir bahwa mereka adalah para nelayan yang sedang mengangkut ikan.”

“Bhante, mereka adalah para brahmana perumah tangga Icchānaṅgala yang membawa makanan berlimpah berbagai jenis. Mereka berdiri di luar pintu masuk, [ingin mempersembahkannya] kepada Sang Bhagavā dan Saṅgha para bhikkhu.”

“Biarlah Aku tidak mendapatkan kemasyhuran, Nāgita, dan semoga kemasyhuran tidak menghampiriku. Seorang yang tidak memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, kebahagiaan pelepasan keduniawian ini, kebahagiaan keterasingan ini, kebahagiaan kedamaian ini, kebahagiaan pencerahan ini yang kuperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, boleh menerima kenikmatan kotor ini, kenikmatan malas ini, kenikmatan perolehan, kehormatan, dan pujian.”

“Sudilah Sang Bhagavā menerimanya sekarang, Bhante, sudilah Yang Berbahagia menerimanya. Sekarang adalah waktunya bagi Sang Bhagavā untuk menerima. Ke mana pun Sang Bhagavā pergi sekarang, para brahmana perumah tangga di pemukiman dan di pedalaman akan condong ke arah yang sama. Seperti halnya, ketika tetesan besar air hujan turun, airnya akan mengalir turun di sepanjang lereng, demikian pula, ke mana pun Sang Bhagavā pergi sekarang, para brahmana perumah tangga di pemukiman dan di pedalaman akan condong ke arah yang sama. Karena alasan apakah? Karena perilaku bermoral dan kebijaksanaan dari Sang Bhagavā.”

“Biarlah Aku tidak mendapatkan kemasyhuran, Nāgita, dan semoga kemasyhuran tidak menghampiriku. Seorang yang tidak memperoleh sesuai kehendak, tanpa kesulitan atau kesusahan, kebahagiaan pelepasan keduniawian ini …  boleh menerima kenikmatan kotor ini, kenikmatan malas ini, kenikmatan perolehan, kehormatan, dan pujian. [32]

(1) “Nāgita, apa yang dimakan, diminum, dikonsumsi, dan dikecap akan berakhir menjadi tinja dan air kencing: ini adalah hasilnya. (2) Dari perubahan dan pergantian pada hal-hal yang disukai muncul dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan: ini adalah hasilnya. (3) Pada seseorang yang tekun berlatih meditasi pada gambaran ketidak-menarikan, maka kejijikan pada gambaran keindahan menjadi terbentuk: ini adalah hasilnya. (4) Pada seseorang yang berdiam dengan merenungakn ketidak-kekalan dalam enam landasan kontak, maka kejijikan pada kontak menjadi terbentuk: ini adalah hasilnya. (5) Pada seseorang yang berdiam dengan merenungkan muncul dan lenyapnya dalam kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan, maka kejijikan pada kemelekatan menjadi terbentuk: ini adalah hasilnya.”<999>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #5 on: 12 March 2013, 02:19:33 AM »
IV. SUMANĀ

31 (1) Sumanā

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Putri Sumanā,<1000> disertai oleh lima ratus kereta dan lima ratus dayang, mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Putri Sumanā berkata kepada Sang Bhagavā:

“Di sini, Bhante, mungkin ada dua orang siswa Sang Bhagava yang setara dalam hal keyakinan, perilaku bermoral, dan kebijaksanaan, tetapi yang satu dermawan sedangkan yang lainnya tidak. Dengan hancurnya jasmani, [33] setelah kematian, mereka berdua terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Ketika mereka telah menjadi deva, apakah ada kesenjangan atau perbedaan antara mereka?”

“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā berkata. “Yang dermawan, setelah menjadi deva, akan mengungguli yang lainnya dalam lima cara: umur kehidupan surgawi, kecantikan surgawi, kebahagiaan surgawi, keagungan surgawi, dan kekuasaan surgawi. Yang dermawan, setelah menjadi deva, akan mengungguli yang lainnya dalam kelima cara ini.”

“Tetapi, Bhante, jika kedua orang ini meninggal dunia dari sana dan sekali lagi menjadi manusia, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka?”

“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā berkata. “Ketika mereka sekali lagi menjadi manusia, yang dermawan akan mengungguli yang lainnya dalam lima cara: umur kehidupan manusia, kecantikan manusia, kebahagiaan manusia, kemasyhuran manusia, dan kekuasaan manusia. Ketika mereka sekali lagi menjadi manusia, yang dermawan akan mengungguli yang lainnya dalam kelima cara ini.”

“Tetapi, Bhante, jika kedua orang ini meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka?”

“Ada, Sumanā,” Sang Bhagavā berkata. “Yang dermawan, setelah meninggalkan keduniawian, akan mengungguli yang lainnya dalam lima cara.<1001> (1) Ia biasanya mengenakan jubah yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang mengenakan jubah yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya. (2) Ia biasanya memakan makanan yang secara telah khusus dipersembahkan kepadanya, jarang memakan makanan yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya. (3) Ia biasanya menempati tempat tinggal yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menempati tempat tinggal yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya. (4) Ia biasanya menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang telah secara khusus dipersembahkan kepadanya, jarang menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit yang tidak secara khusus dipersembahkan kepadanya. (5) Teman-temannya para bhikkhu, yang dengan mereka ia menetap, biasanya memperlakukannya dengan cara-cara yang menyenangkan melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, jarang dengan cara-cara yang tidak menyenangkan. Mereka biasanya memberikan kepadanya apa yang menyenangkan, jarang memberikan [34] apa yang tidak menyenangkan. Yang dermawan, setelah meninggalkan keduniawian, akan mengungguli yang lainnya dalam kelima cara ini.”

“Tetapi, Bhante, jika keduanya mencapai Kearahattaan, apakah masih ada kesenjangan atau perbedaan di antara mereka setelah mereka mencapai Kearahattaan?’

“Dalam hal ini, Sumanā, Aku nyatakan, tidak ada perbedaan antara kebebasan [yang satu] dan kebebasan [yang lainnya].”

“Menakjubkan dan mengagumkan, Bhante! Sesungguhnya, seseorang memiliki alasan yang bagus untuk memberikan dana dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, karena perbuatan-perbuatan itu akan membantu jika ia menjadi deva, [sekali lagi] menjadi seorang manusia, atau meninggalkan keduniawian.”

“Demikianlah, Sumanā!, demikianlah, Sumanā! Sesungguhnya, seseorang memiliki alasan yang bagus untuk memberikan dana dan melakukan perbuatan-perbuatan berjasa, karena perbuatan-perbuatan itu akan membantu jika ia menjadi deva, [sekali lagi] menjadi seorang manusia, atau meninggalkan keduniawian.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal ini, Yang Berbahagia, Sang Guru, lebih lanjut berkata sebagai berikut:

   “Seperti halnya rembulan tanpa noda
   Bergerak di sepanjang lintasan di angkasa
   Cahayanya lebih cemerlang
   Daripada semua bintang di dunia,
   Demikian pula seseorang yang sempurna dalam perilaku bermoral,
   Seorang yang memiliki keyakinan,
   Lebih cemerlang karena kedermawanan
   Daripada semua orang kikir di dunia.

   “Seperti halnya awan hujan berpuncak-seratus,
   Bergemuruh, di dalam lingkaran halilintar,
   Menurunkan hujan ke bumi
   Membanjiri dataram-dataran dan tanah rendah,
   Demikian pula siswa Yang Tercerahkan Sempurna,
   Yang bijaksana yang sempurna dalam penglihatan,
   Melampaui orang kikir
   Dalam lima aspek:
   Umur kehidupan dan keagungan,
   Kecantikan dan kebahagiaan.<1002>
   Memiliki kekayaan, setelah kematian
   Ia bergembira di alam surga.” [35]

32 (2) Cundī <1003>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian Putri Cundī,<1004> disertai oleh lima ratus kereta dan lima ratus dayang, mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian Putri Cundī berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, kakakku adalah Pangeran Cunda. Ia berkata sebagai berikut: ‘Kapan pun seorang laki-laki atau seorang perempuan telah berlindung kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha, dan menghindari membunuh, menghindari apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku seksual yang salah, menghindari berbohong, dan menghindari meminum minuman keras, arak, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan terlahir kembali dalam takdir yang baik, bukan dalam takdir yang buruk.’ Aku bertanya kepada Sang Bhagavā: ‘Guru seperti apakah, Bhante, yang seseorang harus yakini, agar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan terlahir kembali hanya dalam takdir yang baik, bukan dalam takdir yang buruk? Dhamma seperti apakah, yang seseorang harus yakini, agar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan terlahir kembali hanya dalam takdir yang baik, bukan dalam takdir yang buruk? Saṅgha seperti apakah, yang seseorang harus yakini, agar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan terlahir kembali hanya dalam takdir yang baik, bukan dalam takdir yang buruk? Perilaku bermoral seperti apakah yang seseorang harus penuhi agar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan terlahir kembali hanya dalam takdir yang baik, bukan dalam takdir yang buruk?”

(1) “Cundī, sejauh apa pun jangkauan makhluk-makhluk yang ada, apakah tanpa kaki atau berkaki dua, berkaki empat, atau berkaki banyak, apakah memiliki bentuk atau tanpa bentuk, apakah memiliki persepsi, tanpa persepsi, atau bukan memiliki persepsi juga bukan tanpa persepsi, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna dinyatakan sebagai yang terunggul di antara mereka. Mereka yang berkeyakinan pada Sang Buddha memiliki keyakinan pada yang terunggul, dan bagi mereka yang memiliki keyakinan pada yang terunggul, hasilnya juga terunggul.

(2) “Sejauh apa pun, Cundī, jangkauan fenonena-fenomena terkondisi yang ada, jalan mulia berunsur delapan dinyatakan senagai yang terunggul di antaranya. Mereka yang berkeyakinan pada jalan mulia berunsur delapan memiliki keyakinan pada yang terunggul, dan bagi mereka yang memiliki keyakinan pada yang terunggul, hasilnya juga terunggul.<1005>

(3) “Sejauh apa pun, Cundī, jangkauan fenonena-fenomena terkondisi atau tidak terkondisi yang ada, kebosanan dinyatakan sebagai yang terunggul di antaranya, yaitu digilasnya keangkuhan, dilenyapkannya dahaga, dicabutnya kemelekatan, dihentikannya lingkaran, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna. Mereka yang [36] berkeyakinan pada Dhamma, pada kebosanan,<1006> memiliki keyakinan pada yang terunggul, dan bagi mereka yang memiliki keyakinan pada yang terunggul, hasilnya juga terunggul.

(4) “Sejauh apa pun, Cundī, jangkauan Saṅgha-Saṅgha atau kelompok-kelompokk yang ada, Saṅgha para siswa Sang Tathāgata dinyatakan sebagai yang terunggul di antaranya, yaitu empat pasang makhluk, delapan jenis individu - Saṅgha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada taranya di dunia. Mereka yang berkeyakinan pada Saṅgha memiliki keyakinan pada yang terunggul, dan bagi mereka yang memiliki keyakinan pada yang terunggul, hasilnya juga terunggul.

(5) “Sejauh apa pun, Cundī, jangkauan perilaku bermoral yang ada, perilaku bermoral yang disukai para mulia dinyatakan sebagai yang terunggul di antaranya, yaitu, ketika tidak rusak, tidak cacat, tanpa noda, tanpa bercak, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak digenggam, mengarah pada konsentrasi. Mereka yang memenuhi perilaku bermoral yang disukai para mulia ini memenuhi yang terunggul, dan bagi mereka yang memenuhi yang terunggul, hasilnya juga terunggul.”

   Bagi mereka yang berkeyakinan pada apa yang terunggul,<1007>
   Mengetahui Dhamma yang terunggul,
   Berkeyakinan pada Sang Buddha – yang terunggul –
   Tidak terlampaui, layak menerima persembahan;

   Bagi mereka yang berkeyakinan pada Dhamma yang terunggul,
   Dalam kedamaian kebosanan yang membahagiakan;
   Bagi mereka yang berkeyakinan pada Saṅgha yang terunggul,
   Lahan jasa yang tiada taranya;

   Bagi mereka yang memberikan pemberian kepada yang terunggul,
   Jenis jasa yang terunggul meningkat.
Umur kehidupan yang terunggul, kecantikan yang terunggul, dan keagungan yang terunggul,
Reputasi baik yang terunggul, kebahagiaan yang terunggul, dan kekuatan yang terunggul.

Yang bijaksana yang memberi kepada yang terunggul,
Terkonsentrasi pada Dhamma yang terunggul,
Setelah menjadi deva atau manusia,
Bergembira setelah mencapai yang terunggul.

33 (3) Uggaha

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bhaddiya di Hutan Jātiyā. Kemudian Uggaha, cucu Meṇḍaka, mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, sudilah Sang Bhagavā bersama dengan tiga orang bhikkhu lainnya<1008> menerima undangan makan [37] dariku besok.”

Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri. Kemudian Uggaha, setelah memahami bahwa Sang Bhagavā telah menerima, bangkit dari duduknya, bersujud kepada Beliau, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi.

Kemudian, ketika malam telah berlalu, pada pagi harinya Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan mendatangi kediaman Uggaha, di mana Beliau duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian, dengan tangannya sendiri, Uggaha, cucu Meṇḍaka, melayani dan memuaskan Sang Bhagavā dengan berbagai jenis makanan lezat.

Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menyingkirkan mangkuknya, Uggaha duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, anak-anak gadisku ini akan pergi ke keluarga-keluarga suami mereka. Sudilah Sang Bhagavā menasihati mereka dan memberikan instruksi dalam suatu cara yang akan mengarahkan mereka kepada kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada gadis-gadis itu:

(1) “Baiklah, gadis-gadis, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kepada suami yang manapun orang tua kami menyerahkan kami – yang dilakukan karena menginginkan kebaikan kami, mengusahakan kesejahteraan kami, berbelas kasihan pada kami, bertindak demi belas kasihan pada kami – kami harus bangun sebelum ia dan pergi tidur setelah ia pergi tidur, melakukan apa pun yang harus dilakukan, bertingkah laku menyenangkan dan ramah dalam bertutur kata.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

(2) “Dan kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menghormati, menghargai, dan memuliakan mereka yang dihormati oleh suami kami – ibu dan ayahnya, para petapa dan brahmana – dan ketika mereka datang kami akan mempersembahkan tempat duduk dan air kepada mereka.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

(3) “Dan kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan terampil dan tekun dalam mengerjakan tugas-tugas rumah tangga suami kami, apakah merajut atau menenun; kami akan memiliki penilaian benar sehubungan dengan tugas-tugas itu agar dapat menjalankan dan mengurusnya dengan benar.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

(4) “Dan kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan mencari tahu apa yang telah dikerjakan dan belum diselesaikan oleh para pembantu rumah tangga suami kami – apakah budak-budak, utusan-utusan, atau [38] para pekerja; dan kami akan mencari tahu kondisi mereka yang sakit; dan kami akan membagikan porsi makanan yang selayaknya kepada mereka masing-masing.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

(5) “Dan kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menjaga dan melindungi pendapatan apa pun yang dibawa pulang oleh suami kami – apakah uang atau beras, perak atau emas – dan kami tidak akan memboroskan, mencuri, atau menghambur-hamburkan pendapatannya.’ Demikianlah kalian harus berlatih.

“Ketika, gadis-gadis, seorang perempuan memiliki kelima kualitas ini, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di tengah-tengah para deva dengan tubuh yang menyenangkan.”<1009>

   Ia tidak memandang rendah suaminya,
   Orang yang terus-menerus menyokongnya,
   Yang dengan tekun dan berkeinginan
   Selalu membawakan apa pun yang ia inginkan.

   Seorang perempuan yang baik juga tidak memarahi suaminya
   Dengan kata-kata yang disebabkan oleh kecemburuan;<1010>
   Seorang perempuan bijaksana menunjukkan penghormatan
   Kepada mereka semua yang dihormati oleh suaminya.

   Ia bangun lebih awal, bekerja dengan rajin,
   Mengatur rumah tangga;
   Ia memperlakukan suaminya dengan cara-cara yang menyenangkan
   Dan menjaga kekayaan yang ia peroleh.

   Seorang perempuan yang memenuhi tugas-tugasnya demikian,
   Mengikuti kehendak dan keinginan suaminya,
   Terlahir kembali di antara para deva
   Yang disebut “mereka yang menyenangkan.”

34 (4) Sīha

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian Jenderal Sīha mendatangi [39] Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata:<1011>

“Mungkinkah, Bhante, menunjukkan buah dari memberi yang terlihat secara langsung?”<1012>

“Mungkin saja, Sīha,” Sang Bhagavā berkata.

(1) “Seorang penyumbang, Sīha, seorang pemberi yang dermawan, disukai dan disenangi banyak orang. Ini adalah buah dari memberi yang terlihat secara langsung.

(2) “Kemudian, orang-orang baik mendatangi seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan. Ini juga adalah buah dari memberi yang terlihat secara langsung.

(3) “Kemudian, seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, memperoleh reputasi baik. Ini juga adalah buah dari memberi yang terlihat secara langsung.

(4) “Kemudian, kumpulan apa pun yang didatangi oleh seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan – apakah para khattiya, brahmana, perumah tangga, atau petapa – ia mendatanginya dengan percaya-diri dan tenang.<1013> Ini juga adalah buah dari memberi yang terlihat secara langsung.

(5) “Kemudian, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Ini juga adalah buah dari memberi yang berhubungan dengan kehidupan-kehidupan di masa depan.”<1014>

Ketika hal ini dikatakan, Jenderal Sīha berkata kepada Sang Bhagavā: “Bhante, Aku tidak menuruti Sang Bhagavā karena keyakinan sehubungan dengan empat buah dari memberi yang terlihat secara langsung ini. Aku juga mengetahuinya. Karena aku adalah seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan disukai dan disenangi banyak orang. Aku adalah seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan banyak orang baik mendatangiku. Aku adalah seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan aku memperoleh reputasi baik sebagai seorang penyumbang, sponsor, dan penyokong Saṅgha. Aku [40] adalah seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, dan kumpulan apa pun yang kudatangi – apakah para khattiya, brahmana, perumah tangga, atau petapa – aku mendatanginya dengan percaya-diri dan tenang. Aku tidak menuruti Sang Bhagavā karena keyakinan sehubungan dengan empat buah dari memberi yang terlihat secara langsung ini. Aku juga mengetahuinya. Tetapi ketika Sang Bhagavā memberitahukan kepadaku: ‘Sīha, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga,’ aku tidak mengetahui hal ini, dan di sini aku menuruti Sang Bhagavā karena keyakinan.”

“Demikianlah, Sīha, demikianlah! Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seorang penyumbang, seorang pemberi yang dermawan, terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.”

   Dengan memberi, ia menjadi disukai dan banyak orang mendatanginya.
   Ia memperoleh reputasi baik dan kemasyhurannya meningkat.
   Orang yang dermawan tenang
   Dan dengan percaya-diri memasuki kumpulan orang-orang.

   Oleh karena itu, untuk mencari kebahagiaan,
   Orang-orang bijaksana memberikan pemberian,
   Setelah menyingkirkan noda kekikiran.
   Ketika mereka menempati tiga surga,
   Untuk waktu yang lama mereka bergembira
   Di tengah-tengah para deva.

   Setelah mengambil kesempatan melakukan perbuatan-perbuatan bermanfaat,
Meninggal dunia dari sini, dengan bercahaya, mereka berkeliling di Nandana,<1015>
   Mereka bergembira, berbahagia, dan bersenang-senang,
   Dilengkapi dengan kelima objek kenikmatan indria.
   Setelah memenuhi kata-kata Yang Stabil yang tidak melekat,
   Para siswa Yang Berbahagia bergembira di alam surga. [41]

35 (5) Manfaat Memberi

“Para bhikkhu, ada lima manfaat memberi ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang disukai dan disenangi oleh banyak orang. (2) Orang-orang baik mendatanginya. (3) Ia memperoleh reputasi baik. (4) Ia tidak kurang dalam tugas-tuas umat awam. (5) Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima manfaat memberi itu.”

   Dengan memberi, seseorang menjadi disayangi,
   Ia mengikuti tugas kebaikan;
   Para bhikkhu yang baik dan terkendali
   Selalu mendatanginya.
   
   Mereka mengajarkan Dhamma kepadanya
   Yang menghalau segala penderitaan,
   Yang setelah memahaminya
   Seorang yang tanpa noda di sini mencapai nibbāna.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #6 on: 12 March 2013, 02:19:58 AM »
36 (6) Tepat pada Waktunya

“Para bhikkhu, ada lima pemberian yang tepat pada waktunya ini. Apakah lima ini? (1) Seseorang memberikan pemberian kepada seorang tamu. (2) Seseorang memberikan pemberian kepada seseorang yang melakukan perjalanan. (3) Seseorang memberikan pemberian kepada pasien. (4) Seseorang memberikan pemberian pada masa bencana kelaparan. (5) Seseorang mempersembahkan panen dan buah pertama kepada para mulia. Ini adalah kelima pemberian yang tepat pada waktunya itu.”

   Pada waktu yang tepat, mereka yang bijaksana,
   Orang-orang yang dermawan dan murah hati
   Memberikan pemberian yang tepat waktu kepada para mulia,
   Yang stabil dan lurus;
   Yang diberikan dengan pikiran yang jernih,
   Persembahannya adalah sangat luas.

   Mereka yang bergembira dalam perbuatan-perbuatan demikian
   Atau yang memberikan pelayanan [lain]
   Tidak melewatkan persembahan;
   Mereka juga mendapat bagian jasa.

   Oleh karena itu, dengan pikiran tidak mundur,
   Seseorang harus memberikan pemberian yang menghasilkan buah besar.
   Jasa adalah penyokong makhluk-makhluk hidup
   [ketika mereka muncul] di alam lain. [42]

37 (7) Makanan

“Para bhikkhu, seorang penyumbang yang memberikan makanan memberikan lima hal kepada penerimanya. Apakah lima ini? Ia memberikan kehidupan, kecantikan, kebahagiaan, kekuatan, dan kearifan.<1016> (1) Setelah memberikan kehidupan, seseorang memperoleh kehidupan, apakah surgawi atau manusiawi. (2) Setelah memberikan kecantikan, seseorang memperoleh kecantikan, apakah surgawi atau manusiawi. (3) Setelah memberikan kebahagiaan, seseorang memperoleh kebahagiaan, apakah surgawi atau manusiawi. (4) Setelah memberikan kekuatan, seseorang memperoleh kekuatan, apakah surgawi atau manusiawi. (5) Setelah memberikan kearifan, seseorang memperoleh kearifan, apakah surgawi atau manusiawi. Seorang penyumbang yang memberikan makanan memberikan kelima hal ini kepada penerimanya.”

   Seorang bijaksana adalah seorang pemberi kehidupan,
   Kekuatan, kecantikan, dan kearifan.
   Seorang yang cerdas adalah seorang penyumbang kebahagiaan
   Dan sebagai balasannya ia memperoleh kebahagiaan.

   Setelah memberi kehidupan, kekuatan, kecantikan,
   Kebahagiaan, dan kearifan,
   Seseorang berumur panjang dan termasyhur
   Di mana pun ia terlahir kembali.

38 (8 ) Keyakinan

“Para bhikkhu, lima manfaat ini mendatangi seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan. Apakah lima ini? (1) Ketika orang-orang baik di dunia menunjukkan belas kasihan,<1017> mereka pertama-tama menunjukkan belas kasihan pada orang yang berkeyakinan, bukan pada orang yang tanpa keyakinan. (2) Ketika mereka mendatangi siapa pun, mereka pertama-tama mendatangi orang yang berkeyakinan, bukan mendatangi orang yang tanpa keyakinan. (3) Ketika mereka menerima dana makanan, mereka pertama-tama menerima dana makanan dari orang yang berkeyakian, bukan dari orang yang tanpa keyakinan. (4) Ketika mereka mengajarkan Dhamma, mereka pertama-tama mengajarkan Dhamma kepada orang yang berkeyakinan, bukan kepada orang yang tanpa keyakinan. (5) Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, seorang yang berkeyakinan terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga. Ini adalah kelima manfaat yang mendatangi seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan.

“Seperti halnya di sebuah persimpangan di tanah yang datar, sebatang pohon banyan besar didatangi oleh burung-burung dari segala penjuru, demikian pula [43] seorang anggota keluarga yang memiliki keyakinan didatangi oleh banyak orang: para bhikkhu, bhikkhunī, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan.”

   Sebatang pohon besar dengan batang yang kuat,
   Dahan, dedaunan, dan buah yang banyak,
   Dengan akar yang kokoh, dan berbuah,
   Adalah penyokong bagi banyak burung.
   Setelah terbang melintasi angkasa,
   Burung-burung mendatangi pangkalan yang menyenangkan ini:
   Mereka yang membutuhkan keteduhan berteduh dalam kerimbunannya;
   Mereka yang membutuhkan buah memakan buahnya.

   Demikian pula, ketika seseorang bermoral,
   Memiliki keyakinan,
   Rendah hati, mengalah,
   Lemah-lembut, ramah, halus,
   Mereka di dunia ini merupakan lahan jasa –
   Yang hampa dari nafsu dan kebencian,
   Hampa dari delusi, dan tanpa noda –
   Mendatangi orang demikian.

   Mereka mengajarkan Dhamma kepadanya
   Yang menghalau segala penderitaan,
   Yang setelah memahaminya
   Seorang yang tanpa noda di sini mencapai nibbāna.

39 (9) Putra

“Para bhikkhu, dengan mempertimbangkan lima prospek, ibu dan ayah menginginkan seorang putra terlahir dalam keluarga mereka. Apakah lima ini? (1) ‘Setelah disokong oleh kita, ia akan menyokong kita. (2) Atau ia akan melakukan pekerjaan untuk kita. (3) Keluarga kita akan berlanjut. (4) Ia akan mengurus warisan kita, (5) atau, ketika kita meninggal dunia, ia akan memberikan persembahan mewakili kita.’ Dengan mempertimbangkan kelima prospek ini, ibu dan ayah menginginkan seorang putra terlahir dalam keluarga mereka.”

   Dengan mempertimbangkan lima prospek,
   Orang-orang bijaksana menginginkan seorang putra.
   “Dengan disokong oleh kita, ia akan menyokong kita,
   Atau ia akan melakukan pekerjaan untuk kita.

   Silsilah keluarga akan berlanjut,
   Ia akan mengurus warisan,
   Atau, ketika kami telah meninggal dunia,
   Ia akan memberikan persembahan mewakili kita.”

   Dengan mempertimbangkan prospek-prospek ini,
   Orang-orang bijaksana menginginkan seorang putra.
   Oleh karena itu orang-orang baik,
   Yang bersyukur dan menghargai,
   Menyokong ibu dan ayah mereka,
   Mengingat bagaimana mereka membantunya di masa lalu; [44]
   Orang-orang itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk mereka
   Seperti yang mereka lakukan kepadanya di masa lalu.

   Dengan mengikuti nasihat mereka,
   Memelihara mereka yang mengasuhnya,
   Melanjutkan silsilah keluarga,
   Memikiki keyakinan, bermoral;
   Putra ini layak dipuji.

40 (10) Pohon Sal <1018>

“Para bhikkhu, dengan berdasarkan pada pegunungan Himalaya, raja pegunungan, pepohonan sal besar tumbuh dalam lima cara. Apakah lima ini? (1) Pepohonan itu tumbuh dalam hal dahan, daun, dan kerimbunan; (2) pepohonan itu tumbuh dalam hal kulit kayunya; (3) pepohonan itu tumbuh dalam hal tunas; (4) pepohonan itu tumbuh dalam hal kayu lunak; dan (5) pepohonan itu tumbuh dalam hal inti kayu. Dengan berdasarkan pada pegunungan Himalaya, raja pegunungan, pepohonan sal besar tumbuh dalam kelima cara ini.

“Demikian pula, ketika kepala keluarga<1019> memiliki keyakinan, orang-orang dalam keluarga yang bergantung padanya tumbuh dalam lima cara. Apakah lima ini? (1) Mereka tumbuh dalam keyakinan; (2) mereka tumbuh dalam perilaku bermoral; (3) mereka tumbuh dalam pembelajaran; (4) mereka tumbuh dalam kedermawanan; dan (5) mereka tumbuh dalam kebijaksanaan. Ketika kepala keluarga memiliki keyakinan, orang-orang dalam keluarga yang bergantung padanya tumbuh dalam kelima cara ini.”

   Seperti halnya pepohonan yang tumbuh
   Dengan bergantung pada pegunungan berbatu
   Dalam hutan belantara yang luas
   Akan menjadi “raja hutan kayu,”

   Demikian pula, ketika kepala keluarga di sini
   Memiliki keyakinan dan moralitas,
   Istri, anak-anak, dan sanak saudaranya
   Semuanya tumbuh dengan bergantung padanya;
   Demikian pula kerabat-kerabatnya, lingkaran keluarganya,
   Dan mereka yang bergantung padanya.

   Mereka yang memiliki kearifan,
   Melihat perilaku baik orang bermoral itu,
   Kedermawanan dan perbuatan-perbuatan baiknya,
   Akan meniru teladannya.

   Setelah hidup di sini sesuai Dhamma,
   Jalan menuju takdir yang baik,
  Mereka yang menginginkan kenikmatan-kenikmatan indria bergembira,
  Dan bersenang-senang di alam deva. [45]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #7 on: 12 March 2013, 02:21:18 AM »
V. MUṆḌA SANG RAJA

41 (1) Pemanfaatan

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian perumah tangga Anāthapiṇḍika mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Perumah tangga, ada lima pemanfaatan kekayaan ini. Apakah lima ini?<1020>

(1) “Di sini, perumah tangga, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat, dikumpulkan dengan kekuatan lengannya, dicari dengan keringat di dahinya, kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik, siswa mulia itu membuat dirinya bahagia dan gembira dan dengan benar mempertahankan kebahagiaan dalam dirinya; ia membuat orang tuanya bahagia dan gembira dan dengan benar mempertahankan kebahagiaan dalam diri mereka; ia membuat istri dan anak-anaknya, para budah, para pekerja, dan para pelayan  bahagia dan gembira dan dengan benar mempertahankan kebahagiaan dalam diri mereka. Ini adalah pemanfaatan kekayaan yang pertama.

(2) “Kemudian, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat … yang diperoleh dengan baik, siswa mulia itu membuat teman-teman dan para sahabatnya bahagia dan gembira dan dengan benar mempertahankan kebahagiaan dalam diri mereka. Ini adalah pemanfaatan kekayaan yang ke dua.

(3) “Kemudian, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat … yang diperoleh dengan baik, siswa mulia itu melakukan persiapan perbekalan dengan kekayaannya untuk menghadapi kehilangan yang mungkin muncul karena api atau banjir, raja-raja atau para penjahat atau pewaris yang tidak disukai; ia membuat dirinya aman terhadap hal-hal itu. Ini adalah pemanfaatan kekayaan yang ke tiga.

(4) “Kemudian, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat … kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik, siswa mulia itu melakukan lima pengorbanan: kepada sanak saudara, para tamu, para leluhur, raja, dan para dewata. Ini adalah pemanfaatan kekayaan yang ke empat.

(5) Kemudian, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat … [46] … kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik, siswa mulia itu memberikan contoh persembahan dana – suatu persembahan yang surgawi, yang memberikan hasil dalam kebahagiaan, mengarah menuju surga – kepada para petapa dan brahmana yang menghindari kemabukan dan kelengahan, yang kokoh dalam kesabaran dan kelembutan, yang menjinakkan diri mereka sendiri, menenangkan diri mereka sendiri, dan berlatih untuk mencapai nibbāna. Ini adalah pemanfaatan kekayaan yang ke lima.

“Ini, perumah tangga, adalah kelima pemanfaatan kekayaan itu. Perumah tangga, jika kekayaan seorang siswa mulia habis ketika ia menggunakannya dalam kelima cara ini, maka ia berpikir: ‘Aku telah memanfaatkan kekayaan dalam kelima cara ini dan kekayaanku habis.’ Dengan demikian ia tidak menyesal. Tetapi jika kekayaan seorang siswa mulia bertambah ketika ia memanfaatkan kekayaannya dalam kelima cara ini, maka ia berpikir: ‘Aku telah memanfaatkan kekayaan dalam kelima cara ini dan kekayaanku bertambah.’ Demikianlah, yang mana pun juga, ia tidak menyesal.

   “Aku telah menikmati kekayaan,
   Menyokong mereka yang bergantung padaku,
   Dan mengatasi kesusahan.
   Aku telah memberikan contoh memberikan persembahan,
   Dan melakukan lima pengorbanan.
   Aku telah melayani para bhikkhu bermoral,
   Dan mereka yang selibat dan terkendali.

   “Aku telah mencapai tujuan apa pun
   Yang diinginkan oleh seorang bijaksana, yang berdiam di rumah,
   Yang menginginkan kekayaan;
   Apa yang telah kulakukan tidak akan membawa penyesalan padaku.”

   Mengingat hal ini, seorang manusia
   Berdiam kokoh dalam Dhamma mulia.
   Mereka memujinya di sini dalam kehidupan ini,
   Dan setelah kematian ia bergembira di alam surga.

42 (2) Orang Baik

“Para bhikkhu, ketika seorang baik terlahir dalam suatu keluarga, itu adalah demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang. Itu adalah demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan (1) ibu dan ayahnya, (2) istri dan anak-anaknya, (3) para budak, pekerja, dan pelayan, (4) teman-teman dan kerabatnya, dan (5) para petapa dan brahmana. Seperti halnya awan hujan yang besar, memelihara tanaman, muncul demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, demikian pula, [47] ketika seorang baik terlahir dalam suatu keluarga, itu adalah demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang. Itu adalah demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan ibu dan ayahnya … para petapa dan brahmana.”

   Para dewata melindungi seseorang yang dijaga oleh Dhamma,<1021>
   Yang telah mengatur kekayaannya demi kesejahteraan banyak orang.
   Kemasyhuran tidak meninggalkan seseorang yang setia pada Dhamma,
   Yang terpelajar dan berperilaku bermoral  dan memiliki ketaatan.

   Siapakah yang layak mencelanya,
   Yang berdiri di dalam Dhamma,
   Sempurna dalam perilaku bermoral,
   Pengucap kejujuran,
   Memiliki rasa malu,
   [Murni] bagaikan keping uang emas murni?
   Bahkan para deva memujinya;
   Oleh Brahmā juga ia dipuji.

43 (3) Diharapkan

Perumah tangga Anāthapiṇḍika mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Perumah tangga, ada lima hal ini yang diharapkan, diinginkan, disukai, dan jarang diperoleh di dunia ini. Apakah lima ini? Umur panjang, perumah tangga, adalah diharapkan, diinginkan, disukai, dan jarang diperoleh di dunia ini. Kecantikan … Kebahagiaan … Kemasyhuran … alam surga adalah diharapkan, diinginkan, disukai, dan jarang diperoleh di dunia ini. Ini adalah kelima hal yang diharapkan, diinginkan, disukai, dan jarang diperoleh di dunia ini.<1022>

“Kelima hal ini, perumah tangga, yang diharapkan, diinginkan, disukai, dan jarang diperoleh di dunia ini, Aku katakan, tidak dapat diperoleh melalui doa-doa atau aspirasi-aspirasi. Jika kelima hal ini yang diharapkan, diinginkan, disukai, dan jarang diperoleh di dunia ini dapat diperoleh melalui doa-doa [48] atau aspirasi-aspirasi, siapakah yang akan kekurangan sesuatu?

(1) “Perumah tangga, siswa mulia yang menginginkan umur panjang seharusnya tidak berdoa demi umur panjang atau bersenang-senang di dalamnya atau [secara pasif] merindukannya.<1023> Seorang siswa mulia yang menginginkan umur panjang harus mempraktikkan jalan yang megarah pada umur panjang.<1024> Karena ketika ia mempraktikkan jalan yang mengarah pada umur panjang, hal itu mengarah pada diperolehnya umur panjang, dan ia memperoleh umur panjang apakah surgawi atau pun manusiawi.

(2) “Perumah tangga, siswa mulia yang menginginkan kecantikan … (3) … yang menginginkan kebahagiaan … (4) … yang menginginkan kemasyhuran seharusnya tidak berdoa demi kemasyhuran atau bersenang-senang di dalamnya atau [secara pasif] merindukannya. Seorang siswa mulia yang menginginkan kemasyhuran harus mempraktikkan jalan yang megarah pada kemasyhuran. Karena ketika ia mempraktikkan jalan yang mengarah pada kemasyhuran, hal itu mengarah pada diperolehnya kemasyhuran, dan ia memperoleh kemasyhuran apakah surgawi atau pun manusiawi.

(5) “Perumah tangga, siswa mulia yang menginginkan surga seharusnya tidak berdoa demi surga atau bersenang-senang di dalamnya atau [secara pasif] merindukannya. Seorang siswa mulia yang menginginkan surga harus mempraktikkan jalan yang megarah menuju surga. Karena ketika ia mempraktikkan jalan yang mengarah menuju surga, hal itu mengarah pada diperolehnya surga, dan ia memperoleh surga.”<1025>

Bagi seseorang yang menginginkan umur panjang, kecantikan, kemasyhuran,<1026>
Pengakuan, surga, keluarga-keluarga mulia,
Dan kesenangan luhur
Mengikuti secara berturut-turut,
Para bijaksana memuji kewaspadaan
Dalam melakukan perbuatan-perbuatan berjasa. [49]

   Dengan menjadi waspada, orang-orang bijaksana
   Aman dalam kedua jenis kebaikan:
   Kebaikan dalam kehidupan ini,
   Dan kebaikan dalam kehidupan mendatang.
   Dengan memperoleh kebaikan,<1027> yang teguh
   Disebut seorang yang memiliki kebijaksanaan.

44 (4) Pemberi Apa yang Menyenangkan

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian, pada pagi harinya Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan mendatangi kediaman Ugga dari Vesālī, di mana Beliau duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian perumah tangga Ugga dari Vesālī menghampiri Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā:

“Bhante, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar dan mempelajari ini: ‘Pemberi apa yang menyenangkan memperoleh apa yang menyenangkan.’ Bhante, bubur bunga sal ini menyenangkan.<1028> Sudilah Sang Bhagavā menerimanya dariku, demi belas kasihan.” Sang Bhagavā menerimanya, demi belas kasihan.

“Bhante, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar dan mempelajari ini: ‘Pemberi apa yang menyenangkan memperoleh apa yang menyenangkan.’ Bhante, daging babi dengan bumbu jujube ini menyenangkan.<1029> Sudilah Sang Bhagavā menerimanya dariku, demi belas kasihan.” Sang Bhagavā menerimanya, demi belas kasihan.

“Bhante, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar dan mempelajari ini: ‘Pemberi apa yang menyenangkan memperoleh apa yang menyenangkan.’ Bhante, tangkai sayuran kering ini menyenangkan.<1030> Sudilah Sang Bhagavā menerimanya dariku, demi belas kasihan.” Sang Bhagavā menerimanya, demi belas kasihan.

“Bhante, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar dan mempelajari ini: ‘Pemberi apa yang menyenangkan memperoleh apa yang menyenangkan.’ Bhante, nasi beras gunung yang telah dibersihkan dari butiran-butiran beras hitam, yang dilengkapi dengan berbagai kuah dan bumbu-bumbu ini menyenangkan. Sudilah Sang Bhagavā menerimanya dariku, demi belas kasihan.” Sang Bhagavā menerimanya, demi belas kasihan. [50]

“Bhante, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar dan mempelajari ini: ‘Pemberi apa yang menyenangkan memperoleh apa yang menyenangkan.’ Bhante, kain dari Kāsi ini menyenangkan. Sudilah Sang Bhagavā menerimanya dariku, demi belas kasihan.” Sang Bhagavā menerimanya, demi belas kasihan.

“Bhante, di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar dan mempelajari ini: ‘Pemberi apa yang menyenangkan memperoleh apa yang menyenangkan.’ Bhante, dipan yang beralaskan permadani, selimut, dan penutup, dengan tutup yang baik dari kulit kijang, dengan atap di atas dan bantal guling di kedua sisinya ini menyenangkan. Walaupun aku mengetahui bahwa ini tidak diperbolehkan untuk Sang Bhagavā, papan cendana ini bernilai lebih dari seribu.<1031> Sudilah Sang Bhagavā menerimanya dariku, demi belas kasihan.” Sang Bhagavā menerimanya, demi belas kasihan.

Kemudian Sang Bhagavā mengungkapkan penghargaannya kepada perumah tangga Ugga dari Vesālī sebagai berikut:

   “Pemberi apa yang menyenangkan memperoleh apa yang menyenangkan,
   Ketika ia dengan kerelaan memberikan kepada mereka yang lurus
   Kain, tempat tidur, makanan, dan minuman,
   Dan berbagai jenis benda kebutuhan.

   “Setelah mengetahui para Arahant adalah bagaikan lahan
   Karena apa yang dilepaskan dan dipersembahkan, tidak ditahan,<1032>
   Orang-orang baik memberikan apa yang sulit diberikan:
   Pemberi apa yang menyenangkan memperoleh apa yang menyenangkan.”

Kemudian, setelah mengungkapkan penghargaannya kepada perumah tangga Ugga dari Vesālī, Sang Bhagavā bangkit dari duduknya dan pergi. Kemudian, beberapa waktu kemudian, perumah tangga Ugga dari Vesālī meninggal dunia. Setelah kematiannya, perumah tangga Ugga dari Vesālī terlahir kembali di tengah-tengah kelompok [dewata] dengan tubuh ciptaan-pikiran.<1033> Pada saat itu Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian, ketika malam telah berlalu, deva muda Ugga, dengan keindahan mempesona, menerangi seluruh [51] Hutan Jeta, mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan berdiri di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Aku harap Ugga, bahwa ini adalah apa yang engkau harapkan.”

“Tentu saja, Bhante, ini adalah apa yang kuharapkan.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada deva muda Ugga dalam syair berikut:

   “Pemberi apa yang menyenangkan memperoleh apa yang menyenangkan;
   Pemberi apa yang terunggul sekali lagi memperoleh apa yang terunggul;
   Pemberi apa yang baik memperoleh apa yang baik;
   Pemberi apa yang terbaik mencapai kondisi terbaik.

   “Orang yang memberikan apa yang terbaik,
   Pemberi apa yang terunggul,
   Pemberi apa yang baik,
   Berumur panjang dan termasyhur
   Di mana pun ia terlahir kembali.”<1034>

45 (5) Arus <1035>

“Para bhikkhu, ada lima arus jasa ini, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan – surgawi, matang dalam kebahagiaan, mengarah menuju surga – yang mengarah pada apa yang diharapkan, diinginkan, disukai, mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang. Apakah lima ini?

“(1) Ketika seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran yang tanpa batas sewaktu menggunakan jubah [yang diberikan kepadanya oleh seseorang], maka orang itu memperoleh arus jasa, yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan … yang mengarah pada … kesejahteraan dan kebahagiaan orang itu. (2) Ketika seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran yang tanpa batas sewaktu memakan makanan [yang diberikan kepadanya oleh seseorang], maka orang itu memperoleh arus jasa, yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan … yang mengarah pada … kesejahteraan dan kebahagiaan orang itu. (3) Ketika seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran yang tanpa batas sewaktu menggunakan tempat kediaman [yang diberikan kepadanya oleh seseorang], maka orang itu memperoleh arus jasa, yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan … yang mengarah pada … kesejahteraan dan kebahagiaan orang itu. (4) Ketika seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran yang tanpa batas sewaktu menggunakan tempat tidur dan tempat duduk [yang diberikan kepadanya oleh seseorang], maka orang itu memperoleh arus jasa, yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan … yang mengarah pada … kesejahteraan dan kebahagiaan orang itu. (5) Ketika seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam konsentrasi pikiran yang tanpa batas sewaktu menggunakan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit [yang diberikan kepadanya oleh seseorang], [52] maka orang itu memperoleh arus jasa, yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan … yang mengarah pada … kesejahteraan dan kebahagiaan orang itu.

“Ini adalah kelima arus jasa itu, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan – surgawi, matang dalam kebahagiaan, mengarah menuju surga – yang mengarah pada apa yang diharapkan, diinginkan, disukai, mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang.

“Ketika, para hikkhu, seorang siswa mulia memiliki kelima arus jasa ini, arus yang bermanfaat ini, tidaklah mudah untuk mengukur jasanya sebagai berikut: ‘Sebanyak ini arus jasanya, arus yang bermanfaat, makanan bagi kebahagiaan – surgawi … yang mengarah pada … kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang’; melainkan, hanya dianggap sebagai tidak terhitung, tidak terukur, kumpulan jasa yang besar.

“Para bhikkhu, seperti halnya tidaklah mudah untuk mengukur air di samudera raya sebagai berikut: ‘Ada berapa galon air,’ atau ‘ Ada berapa ratus galon air,’ atau ‘Ada berapa ribu galon air,’<1036> atau ‘Ada berapa ratus ribu galon air,’ melainkan ini hanya dianggap kumpulan air yang banyak, tidak terhitung, tidak terukur; demikian pula, ketika seorang siswa mulia memiliki empat arus jasa ini …  ini hanya dianggap sebagai sebagai tidak terhitung, tidak terukur, kumpulan jasa yang besar.

   Seperti halnya banyak sungai yang digunakan oleh banyak orang,
   Mengalir ke hilir, mencapai samudera,
   Kumpulan besar air, lautan yang tanpa batas,
   Wadah luar biasa dari tumpukan permata; [53]
   Demikian pula arus jasa yang mencapai seorang bijaksana
   Yang adalah pemberi makanan, minuman, dan pakaian;
[arus itu mencapai] penyumbang tempat tidur, tempat duduk, dan penutup tempat tidur
Bagaikan sungai membawa air ke lautan.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #8 on: 12 March 2013, 02:21:45 AM »
46 (6) Penyempurnaan

“Para bhikkhu, ada lima penyempurnaan ini. Apakah lima ini? Penyempurnaan keyakinan, penyempurnaan perilaku bermoral, penyempurnaan pembelajaran, penyempurnaan kedermawanan, dan penyempurnaan kebijaksanaan. Ini adalah kelima penyempurnaan itu.”

47 (7) Kekayaan

“Para bhikkhu, ada lima jenis kekayaan ini. Apakah lima ini? Kekayaan keyakinan, kekayaan perilaku bermoral, kekayaan pembelajaran, kekayaan kedermawanan, dan kekayaan kebijaksanaan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, kekayaan keyakinan? Di sini, seorang siswa mulia memiliki keyakinan. Ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’ Ini disebut kekayaan keyakinan.

(2) “Dan apakah kekayaan perilaku bermoral? Di sini, seorang siswa mulia menghindari membunuh, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perilaku seksual yang salah, menghindari berbohong, menghindari minuman keras, anggur, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Ini disebut kekayaan perilaku bermoral.

(3) “Dan apakah kekayaan pembelajaran? Di sini, seorang siswa mulia telah benyak belajar, mengingat apa yang telah dipelajari, mengumpulkan apa yang telah dipelajari. Ajaran-ajaran itu yang baik di awal, baik di pertengahan, dan baik di akhir, dengan makna dan kata-kata yang benar, yang menyatakan kehidupan spiritual yang murni dan lengkap sempurna – ajaran-ajaran demikian telah banyak ia pelajari, dihafalkan, dilafalkan secara lisan, dan diselidiki dalam pikiran, dan ditembus dengan baik melalui pandangan.<1037>

(4) “Dan apakah kekayaan kedermawanan? Di sini, seorang siswa mulia berdiam di rumah dengan pikiran yang hampa dari noda kekikiran, dermawan dengan bebas, bertangan terbuka, bersenang dalam pelepasan, menekuni derma, bersenang dlam memberi dan berbagi. Ini disebut kekayaan kedermawanan.

(5) “Dan apakah kekayaan kebijaksanaan? Di sini, seorang siswa mulia bijaksana, memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran sepenuhnya penderitaan. Ini disebut kekayaan kebijaksanaan.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima jenis kekayaan itu.” [54]

   Ketika seseorang berkeyakinan pada Sang Tathāgata,<1038>
   Tidak tergoyahkan dan berdiri kokoh,
   Dan berperilaku bermoral yang baik,
   Disukai dan dipuji oleh para mulia;
   Ketika Ia memiliki keyakinan pada Saṅgha,
   Dan pandangannya telah diluruskan,
   Mereka mengatakan bahwa ia tidak miskin,
   Bahwa kehidupannya tidak dijalankan secara sia-sia.
   Oleh karena itu seorang yang cerdas,
   Yang mengingat ajaran para Buddha,
   Harus bersungguh-sungguh pada keyakinan dan perilaku bermoral,
   Memiliki keyakinan dan penglihatan pada Dhamma.

48 (8 ) Situasi

“Para bhikkhu, ada lima situasi ini yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa atau brahmana, oleh deva, Māra, atau Brahmā, atau oleh siapa pun di dunia. Apakah lima ini? (1) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada penuaan tidak menjadi tua’: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa atau brahmana, oleh deva, Māra, atau Brahmā, atau oleh siapa pun di dunia. (2) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada penyakit tidak jatuh sakit’: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa … atau oleh siapa pun di dunia. (3) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada kematian tidak mati: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa … atau oleh siapa pun di dunia. (4) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada kehancuran tidak menjadi hancur: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa … atau oleh siapa pun di dunia. (5) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada kehilangan tidak menjadi hilang: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa atau brahmana, oleh deva, Māra, atau Brahmā, atau oleh siapa pun di dunia.

(1) “Para bhikkhu, bagi kaum duniawi yang tidak terpelajar, apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua. Ketika hal ini terjadi, ia tidak merenungkan: ‘Aku bukan satu-satunya yang padanya apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua. Karena semua makhluk yang datang dan pergi, yang meninggal dunia dan mengalami kelahiran kembali, apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua. Jika aku berdukacita, merana, meratap, menangis dengan memukul dada, dan menjadi kebingungan ketika apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua, maka aku akan kehilangan selera makanku dan penampilanku akan menjadi buruk. Aku tidak akan mampu melakukan pekerjaanku, musuh-musuhku akan menjadi gembira, dan teman-temanku akan menjadi sedih.’ Demikianlah, ketika apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua, ia berdukacita, merana, meratap, menangis dengan memukul dada, dan menjadi kebingungan. Ini disebut seorang kaum duniawi yang tertusuk oleh anak panah dukacita yang beracun yang hanya menyiksa dirinya sendiri.

(2) “Kemudian, bagi kaum duniawi yang tidak terpelajar, [55] apa yang tunduk pada penyakit jatuh sakit … (3) … apa yang tunduk pada kematian menjadi mati … (4) … apa yang tunduk pada kehancuran menjadi hancur … (5) … apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang. Ketika hal ini terjadi, ia tidak merenungkan: ‘Aku bukan satu-satunya yang padanya apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang. Karena semua makhluk yang datang dan pergi, yang meninggal dunia dan mengalami kelahiran kembali, apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang. Jika aku berdukacita, merana, meratap, menangis dengan memukul dada, dan menjadi kebingungan ketika apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang, maka aku akan kehilangan selera makanku dan penampilanku akan menjadi buruk. Aku tidak akan mampu melakukan pekerjaanku, musuh-musuhku akan menjadi gembira, dan teman-temanku akan menjadi sedih.’ Demikianlah, ketika apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang, ia berdukacita, merana, meratap, menangis dengan memukul dada, dan menjadi kebingungan. Ini disebut seorang kaum duniawi yang tertusuk oleh anak panah dukacita yang beracun yang hanya menyiksa dirinya sendiri.

(1) “Para bhikkhu, bagi siswa mulia yang terpelajar, apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua. Ketika hal ini terjadi, ia merenungkan: ‘Aku bukan satu-satunya yang padanya apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua. Karena semua makhluk yang datang dan pergi, yang meninggal dunia dan mengalami kelahiran kembali, apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua. Jika aku berdukacita, merana, meratap, menangis dengan memukul dada, dan menjadi kebingungan ketika apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua, maka aku akan kehilangan selera makanku dan penampilanku akan menjadi buruk. Aku tidak akan mampu melakukan pekerjaanku, musuh-musuhku akan menjadi gembira, dan teman-temanku akan menjadi sedih.’ Demikianlah, ketika apa yang tunduk pada penuaan menjadi tua, ia tidak berdukacita, tidak merana, tidak meratap, tidak menangis dengan memukul dada, dan tidak menjadi kebingungan. Ini disebut seorang siswa mulia yang telah mencabut anak panah dukacita yang beracun yang karena tertusuk oleh anak panah ini kaum duniawi yang tidak terpelajar hanya menyiksa dirinya sendiri. Dengan tidak berdukacita, tanpa anak panah, siswa mulia itu merealisasi nibbāna.<1039>

(2) “Kemudian, bagi siswa mulia yang terpelajar, apa yang tunduk pada penyakit jatuh sakit … (3) … apa yang tunduk pada kematian menjadi mati … (4) … apa yang tunduk pada kehancuran menjadi hancur … (5) … apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang. Ketika hal ini terjadi, ia merenungkan: ‘Aku bukan satu-satunya yang padanya apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang. Karena semua makhluk yang datang dan pergi, yang meninggal dunia dan mengalami kelahiran kembali, apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang. Jika aku berdukacita, merana, meratap, menangis dengan memukul dada, dan menjadi kebingungan ketika apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang, maka aku akan kehilangan selera makanku dan penampilanku akan menjadi buruk. Aku tidak akan mampu melakukan pekerjaanku, musuh-musuhku akan menjadi gembira, dan teman-temanku akan menjadi sedih.’ Demikianlah, ketika apa yang tunduk pada kehilangan menjadi hilang, ia tidak berdukacita, tidak merana, tidak meratap, tidak menangis dengan memukul dada, dan tidak menjadi kebingungan. Ini disebut seorang siswa mulia yang telah mencabut anak panah dukacita yang beracun yang karena tertusuk oleh anak panah ini kaum duniawi yang tidak terpelajar hanya menyiksa dirinya sendiri. Dengan tidak berdukacita, tanpa anak panah, siswa mulia itu merealisasi nibbāna.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima situasi itu ini yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa atau brahmana, oleh deva, Māra, atau Brahmā, atau oleh siapa pun di dunia.

   “Bukanlah dengan berdukacita dan meratap
   Maka bahkan kebaikan terkecil pun di sini dapat diperoleh.<1040>
   Karena mengetahui bahwa seseorang berdukacita dan bersedih,
   Maka musuh-musuhnya bergembira.

   “Ketika orang bijaksana tidak terguncang dalam kemalangan,
   Mengetahui bagaimana menentukan apa yang baik,
   Musuh-musuhnya menjadi sedih, setelah melihat
   Bahwa raut wajahnya tidak berubah.

   “Di mana pun seseorang dapat memperoleh kebaikannya,
   Dalam cara apa pun – dengan merapal, mantra-mantra,
   Peribahasa-peribahasa, pemberian, atau tradisi<1041> - di sana
   Ia harus mengerahkan usaha dengan cara itu.

   “Tetapi jika ia memahami: ‘Kebaikan ini
   Tidak dapat diperoleh olehku atau siapa pun juga,’
   Ia harus menerima situasi tersebut tanpa berdukacita,
Dengan berpikir: ‘Kamma adalah kuat; apakah yang dapat kulakukan sekarang?” [57]

49 (9) Kosala

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Kemudian Raja Pasenadi dari Kosala mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. [Pada saat itu Ratu Mallikā baru saja meninggal dunia.]<1042> seseorang mendatang Raja Pasenadi dan berbisik di telinganya: “Baginda, Ratu Mallikā baru saja meninggal dunia.” Ketika hal ini dikatakan, Raja Pasenadi merasa sakit dan sedih, dan ia duduk di sana dengan bahu terkulai, wajah merunduk, murung, dan terdiam.

Kemudian Sang Bhagavā, setelah mengetahui kondisi raja, berkata kepadanya:

“Baginda, ada lima situasi ini yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa atau brahmana, oleh deva, Māra, atau Brahmā, atau oleh siapa pun di dunia.”

[Bagian selanjutnya dari sutta ini identik dengan 5:48, termasuk syairnya.]

50 (10) Nārada

Paad suatu ketika Yang Mulia Nārada sedang menetap di Pāṭaliputta di Taman Ayam. Pada saat itu Ratu Bhaddā, [istri]Raja Muṇḍa yang disayangi dan dicintai oleh raja telah meninggal dunia. Sejak kematian istrinya, ia tidak mandi, tidak meminyaki dirinya, tidak makan, dan tidak melakukan pekerjaannya. Siang dan malam, ia hanya menunggui jenazah Ratu Bhaddā. Kemudian Raja Muṇḍa berkata kepada bendaharanya, Piyaka: “Piyaka, [58] rendamlah tubuh Ratu Bhadā dalam wadah besi yang berisikan minyak dan tutuplah dengan wadah besi lainnya agar kita dapat melihat tubuh Ratu Bhaddā lebih lama lagi.”

“Baik, Baginda,” bendahara Piyaka menjawab. Kemudian ia merendam tubuh Ratu Bhadā dalam wadah besi yang berisikan minyak dan menutupnya dengan wadah besi lainnya.

Kemudian bendahara Piyaka berpikir: “Ratu Bhaddā [istri] Raja Muṇḍa telah meninggal dunia, dan ia disayangi dan dicintai oleh raja. Sejak kematian istrinya, ia tidak mandi, tidak meminyaki dirinya, tidak makan, dan tidak melakukan pekerjaannya. Siang dan malam, ia hanya menunggui jenazah Ratu Bhaddā. Petapa atau brahmana manakah yang dapat dikunjungi oleh Raja Muṇḍa, yang setelah mendengar Dhamma darinya, ia dapat mencabut anak panah dukacita?”

Kemudian Piyaka berpikir: “Yang Mulia Nārada sedang menetap di Pāṭaliputta, di Taman Ayam. Sekarang suatu berita baik tentang Yang Mulia Nārada telah beredar sebagai berikut: “Ia bijaksana, kompeten, cerdas, terpelajar, dan pembabar yang cerdik, fasih, matang, dan seorang Arahant.” Bagaimana jika Raja Muṇḍa mengunjungi Yang Mulia Nārada: mungkin jika ia mendengar Dhamma dari Yang Mulia Nārada, ia dapat mencabut anak panah dukacita.”

Kemudian Bendahara Piyaka mendatangi Raja Muṇḍa dan berkata kepadanya: “Baginda, Yang Mulia Nārada sedang menetap di Pāṭaliputta, di Taman Ayam. Sekarang suatu berita baik tentang Yang Mulia Nārada telah beredar sebagai berikut: “Ia bijaksana … dan seorang Arahant.” Baginda harus mengunjungi Yang Mulia Nārada. Mungkin, jika engkau mendengar Dhamma dari Yang Mulia Nārada, engkau dapat mencabut anak panah dukacita.” [Raja berkata:], Piyaka, [59] beritahukanlah kepada Yang Mulia Nārada. Karena bagaimana mungkin seseorang sepertiku dapat berpikir untuk mendatangi seorang petapa atau brahmana yang menetap di negerinya tanpa pemberitahuan sebelumnya?”

“Baik, Baginda,” piyaka menjawab. Kemudian ia mendatangi Yang Mulia Nārada, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata: “Bhante, Ratu Bhaddā [istri] Raja Muṇḍa telah meninggal dunia, dan ia disayangi dan dicintai oleh raja. Sejak kematian istrinya, ia tidak mandi, tidak meminyaki dirinya, tidak makan, dan tidak melakukan pekerjaannya. Siang dan malam, ia hanya menunggui jenazah Ratu Bhaddā. Baik sekali, Bhante, jika Yang Mulia Nārada sudi mengajarkan Dhamma kepada Raja Muṇḍa sedemikian sehingga ia dapat mencabut anak panah dukacita.”

“Maka biarlah Raja Muṇḍa datang kapan saja.”

Kemudian Bendahara Piyaka bangkit dari duduknya, bersujud kepada Yang Mulia Nārada, mengelilinginya dengan sisi kanannya menghadap Yang Mulia Nārada, dan pergi menghadap Raja Muṇḍa. ia memberi tahu raja: “Baginda, Yang Mulia Nārada telah memberikan persetujuan. Engkau boleh pergi kapan saja.”

“Baiklah, Piyaka, persiapkan kereta-kereta terbaik!”

“Baik, Baginda,” Piyaka menjawab, dan setelah ia mempersiapkan kereta terbaik ia memberitahu Raja Muṇḍa: “Baginda, kereta terbaik telah siap. . Engkau boleh pergi kapan saja.”

Kemudian Raja Muṇḍa menaiki sebuah kereta yang baik, dan bersama dengan kereta-kereta lainnya ia pergi dengan kemegahan kerajaan menuju Taman Ayam untuk menemui Yang Mulia Nārada. Ia mengendarai kereta sejauh tanah yang layak dilalui oleh kereta, dan kemudian ia turun dari keretanya dan memasuki taman dengan berjalan kaki. Ia mendatangi Yang Mulia Nārada, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sisi. [60] Kemudian Yang Mulia Nārada berkata kepadanya:

“Baginda, ada lima situasi ini yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa atau brahmana, oleh deva, Māra, atau Brahmā, atau oleh siapa pun di dunia. Apakah lima ini? (1) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada penuaan tidak menjadi tua’: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa atau brahmana, oleh deva, Māra, atau Brahmā, atau oleh siapa pun di dunia. (2) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada penyakit tidak jatuh sakit’: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa … atau oleh siapa pun di dunia. (3) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada kematian tidak mati: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa … atau oleh siapa pun di dunia. (4) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada kehancuran tidak menjadi hancur: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa … atau oleh siapa pun di dunia. (5) ‘Semoga apa pun yang tunduk pada kehilangan tidak menjadi hilang: ini adalah sebuah situasi yang tidak dapat didapatkan oleh seorang petapa atau brahmana, oleh deva, Māra, atau Brahmā, atau oleh siapa pun di dunia …

[Selanjutnya identik dengan 5:48, termasuk syairnya.] [61-62]

Ketika hal ini dikatakan, Raja Muṇḍa bertanya kepada Yang Mulia Nārada: “Bhante, apakah judul dari pembabaran Dhamma ini?”

“Baginda, pembabaran Dhamma ini berjudul pencabutan anak panah dukacita.”<1043>

“Tentu saja, Bhante, ini adalah pencabutan anak panah dukacita! Tentu saja, Bhante, ini adalah pencabutan anak panah dukacita! Karena setelah mendengar pembabaran Dhamma ini, aku telah mencabut anak panah dukacita.”

Kemudian Raja Muṇḍa berkata kepada bendahara Piyaka: “Baiklah, Piyaka, kremasilah jenazah Ratu Bhaddā dan bangunlah sebuah tugu peringatan untuknya. Mulai hari ini, aku akan mandi dan meminyaki diriku dan makan dan melakukan pekerjaanku.” [63]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #9 on: 12 March 2013, 02:22:18 AM »
LIMA PULUH KE DUA


I. RINTANGAN-RINTANGAN

1 (1) Halangan

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, ada lima halangan, rintangan, beban pikiran, kondisi-kondisi yang melemahkan kebijaksanaan. Apakah lima ini? (1) Keinginan indria adalah sebuah halangan, sebuah rintangan, sebuah beban pikiran, sebuah kondisi yang melemahkan kebijaksanaan. (2) Niat buruk … (3) Ketumpulan dan kantuk … (4) Kegelisahan dan penyesalan … (5) Keragu-raguan adalah sebuah halangan, sebuah rintangan, sebuah beban pikiran, sebuah kondisi yang melemahkan kebijaksanaan. Ini adalah kelima halangan, rintangan, beban pikiran, kondisi-kondisi yang melemahkan kebijaksanaan itu.

“Para bhikkhu, tanpa meninggalkan kelima halangan, rintangan, beban pikiran, kondisi-kondisi yang melemahkan kebijaksanaan ini, adalah tidak mungkin seorang bhikkhu, dengan kebijaksanaannya yang lemah dan tanpa kekuatan, dapat mengetahui kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, [64] atau kebaikan keduanya, atau merealisasikan keluhuran melampaui manusia dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Misalkan sebuah sungai mengalir turun dari sebuah gunung, berjalan menempuh jarak yang jauh, dengan arus yang kencang, membawa serta segala reruntuhan. Kemudian, di kedua tepinya, seseorang membuka saluran irigasi.<1044> Dalam kasus demikian, arus di tengah sungai akan terpecah, menyebar, dan terbagi, sehingga sungai itu tidak lagi menempuh jarak yang jauh, tidak dengan arus yang kencang, dan tidak membawa serta segala reruntuhan. Demikian pula, tanpa meninggalkan kelima halangan …  adalah tidak mungkin seorang bhikkhu … dapat merealisasikan keluhuran melampaui manusia dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.

“Tetapi, para bhikkhu, setelah meninggalkan kelima halangan, rintangan, beban pikiran, kondisi-kondisi yang melemahkan kebijaksanaan ini, adalah mungkin seorang bhikkhu, dengan kebijaksanaannya yang kuat, dapat mengetahui kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya, dan merealisasikan keluhuran melampaui manusia dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Misalkan sebuah sungai mengalir turun dari sebuah gunung, berjalan menempuh jarak yang jauh, dengan arus yang kencang, membawa serta segala reruntuhan. Kemudian, seseorang menutup saluran irigasi di kedua tepinya. Dalam kasus demikian, arus di tengah sungai tidak akan terpecah, menyebar, dan terbagi, sehingga sungai itu dapat menempuh jarak yang jauh, dengan arus yang kencang, dan membawa serta segala reruntuhan. Demikian pula, setelah meninggalkan kelima halangan …  adalah mungkin seorang bhikkhu … dapat merealisasikan keluhuran melampaui manusia dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. [65]

52 (2) Tumpukan

“Para bhikkhu, dengan mengatakan ‘tumpukan yang tidak bermanfaat,’ adalah tentang kelima rintangan maka seseorang dapat dengan benar mengatakan hal ini.<1045> Apakah lima ini? Rintangan keinginan indria, rintangan niat buruk, rintangan ketumpulan dan kantuk, rintangan kegelisahan dan penyesalan, rintangan keragu-raguan. Para bhikkhu, dengan mengatakan ‘tumpukan yang tidak bermanfaat,’ adalah tentang kelima rintangan maka seseorang dapat dengan benar mengatakan hal ini. Karena kelima rintangan ini adalah tumpukan yang tidak bermanfaat sepenuhnya.”

53 (3) Faktor

“Para bhikkhu, ada lima faktor ini yang membantu usaha. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu memiliki keyakinan, ia berkeyakinan pada pencerahan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, berbahagia, pengenal dunia, pelatih terbaik dari orang-orang yang harus dijinakkan, guru para deva dan manusia, Yang Tercerahkan, Yang Suci.’

(2) “Ia jarang sakit atau menderita, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan sedang dan sesuai untuk berusaha.

(3) “Ia jujur dan terbuka, seorang yang mengungkapkan dirinya sebagaimana adanya kepada Sang Guru dan teman-temannya para bhikkhu yang bijaksana.

(4) “Ia membangkitkan kegigihan untuk meninggalkan kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat dan mendapatkan kualitas-kualitas yang bermanfaat; ia kuat, teguh dalam pengerahan usaha, tidak mengabaikan tugas melatih kualitas-kualitas bermanfaat.

(5) “Ia bijaksana; ia memiliki kebijaksanaan yang melihat muncul dan lenyapnya, yang mulia dan menembus dan mengarah menuju kehancuran penderitaan sepenuhnya.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima faktor yang membantu usaha itu.”

54 (4) Kesempatan

“Para bhikkhu, ada lima kesempatan yang tidak menguntungkan ini untuk berusaha. Apakah lima ini? [66]

(1) “Di sini, seorang bhikkhu sudah tua, dikuasai oleh usia tua. Ini adalah kesempatan pertama  yang tidak menguntungkan yang untuk berusaha.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu sakit, dikuasai oleh penyakit. Ini adalah kesempatan ke dua yang tidak menguntungkan yang untuk berusaha.

(3) “Kemudian, terjadi bencana kelaparan, panen yang gagal, suatu masa ketika dana makanan sulit diperoleh dan tidak mudah untuk bertahan dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit.<1046> Ini adalah kesempatan ke tiga yang tidak menguntungkan yang untuk berusaha.

(4) “Kemudian, terjadi marabahaya, pergolakan berbahaya di dalam hutan belantara, dan ketika orang-orang di pedalaman, menaiki kendaraan mereka, dan pergi ke berbagai arah. Ini adalah kesempatan ke empat yang tidak menguntungkan yang untuk berusaha.

(5) “Kemudian, terjadi perpecahan dalam Saṅgha, dan ketika terjadi perpecahan dalam Saṅgha maka ada saling menghina, saling mencaci, saling mencela, dan saling menolak.<1047> Maka mereka yang tanpa keyakinan tidak memperoleh keyakinan, sedangkan beberapa yang berkeyakinan berubah pikiran. Ini adalah kesempatan ke lima yang tidak menguntungkan yang untuk berusaha.

“Ini adalah kelima kesempatan yang tidak menguntungkan untuk berusaha itu.

“Ada, para bhikkhu, kelima kesempatan itu yang menguntungkan untuk berusaha. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu masih muda, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam masa utama kehidupan. Ini adalah kesempatan  pertama yang menguntungkan yang untuk berusaha.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu jarang sakit atau menderita, memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan sedang dan sesuai untuk berusaha. Ini adalah kesempatan ke dua yang menguntungkan yang untuk berusaha.

(3) “Kemudian, makanan yang banyak; ada panen yang baik [67] dan dana makanan berlimpah, sehingga seseorang dapat dengan meudah bertahan dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit. Ini adalah kesempatan ke tiga yang menguntungkan yang untuk berusaha.

(4) “Kemudian, orang-orang berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur seperti susu dan air, saling melihat satu sama lain dengan tatapan kasih sayang. Ini adalah kesempatan ke empat yang menguntungkan yang untuk berusaha.

(5) “Kemudian, Saṅgha berdiam dengan nyaman – dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, dengan pembacaan tunggal. Ketika Saṅgha berdiam dalam kerukunan, maka tidak ada saling menghina, tidak ada saling mencaci, tidak ada saling mencela, dan tidak ada saling menolak. Maka mereka yang tanpa keyakinan memperoleh keyakinan dan mereka yang berkeyakinan meningkat [keyakinannya].<1048> Ini adalah kesempatan ke lima yang menguntungkan yang untuk berusaha

“Ini adalah kelima kesempatan itu yang menguntungkan untuk berusaha.”

55 (5) Ibu dan Anak

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu seorang ibu dan putranya, yang adalah seorang bhikkhunī dan seorang bhikkhu, memasuki masa musim hujan di Sāvatthī. Mereka sering kali ingin saling bertemu satu sama lain, sang ibu sering ingin bertemu putranya dan sang putra ingin bertemu ibunya. Karena mereka sering bertemu satu sama lain, maka suatu keterikatan terbentuk; karena keterikatan terbentuk, maka keakraban muncul; karena ada keakraban, maka nafsu mendapatkan peluang.<1049> Dengan pikiran mereka dicengkeram oleh nafsu, tanpa meninggalkan latihan dan menyatakan kelemahan mereka, mereka melakukan hubungan seksual.<1050>

Kemudian sejumlah para bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan melaporkan apa yang telah terjadi. [68] [Sang Bhagava berkata:]

“Para bhikkhu, apakah orang dungu itu berpikir: ‘Seorang ibu tidak jatuh cinta pada putranya, atau seorang putra tidak jatuh cinta pada ibunya’? (1) Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu bentuk lain pun yang begitu menggoda, sensual, memabukkan, memikat, menggilakan, dan begitu menghalangi untuk mencapai keamanan yang tidak terlampaui dari belenggu seperti halnya bentuk seorang perempuan. Makhluk-makhluk yang bernafsu pada bentuk seorang perempuan – kelaparan, terikat padanya, tergila-gila, dan secara membuta terserap di dalamnya<1051> - berdukacita untuk waktu yang lama di bawah kendali bentuk seorang perempuan. (2) Aku tidak melihat bahkan satu suara lain pun … (3) … bahkan satu bau lain pun … (4) … bahkan satu rasa kecapan lain pun … (5) … bahkan satu sentuhan lain pun yang begitu menggoda, sensual, memabukkan, memikat, menggilakan, dan begitu menghalangi untuk mencapai keamanan yang tidak terlampaui dari belenggu seperti halnya sentuhan seorang perempuan - Makhluk-makhluk yang bernafsu pada sentuhan seorang perempuan – kelaparan, terikat padanya, tergila-gila, dan secara membuta terserap di dalamnya - berdukacita untuk waktu yang lama di bawah kendali sentuhan seorang perempuan.

“Para bhikkhu, sewaktu berjalan, seorang perempuan menguasai pikiran seorang laki-laki; sewaktu berdiri … sewaktu duduk … sewaktu berbaring … sewaktu tertawa … sewaktu berbicara … sewaktu bernyanyi … sewaktu menangis seorang perempuan menguasai pikiran seorang laki-laki. Ketika membengkak,<1052> juga seorang perempuan menguasai pikiran seorang laki-laki. Bahkan ketika mati, seorang perempuan menguasai pikiran seorang laki-laki. Jika, para bhikkhu, seseorang dapat dengan benar mengatakan tentang sesuatu: ‘Keseluruhan jerat Māra,’ adalah sehubungan dengan para perempuan hal ini dikatakan.”<1053> [69]

   Seseorang boleh berbicara dengan musuh yang berniat membunuh,
   Seseorang boleh berbicara dengan makhluk jahat,
   Seseorang bahkan boleh mendekati seekor ular berbisa,
   Yang gigitannya pasti mengakibatkan kematian;
   Tetapi dengan seorang perempuan, satu lawan satu,
   Seseorang tidak boleh berbicara.

   Mereka mengikat seseorang yang pikirannya kacau
   Dengan lirikan dan senyuman,
   Dengan pakaiannya yang berantakan,
   Dan dengan tutur kata yang lembut,
   Tidaklah aman mendekati<1054> orang demikian
   Walaupun ia membengkak dan mati.

   Kelima objek kenikmatan indria ini
   Terlihat dalam tubuh seorag perempuan:
   Bentuk, suara, rasa kecapan, dan bau-bauan,
   Dan juga sentuhan yang menyenangkan.

   Mereka yang terhanyutkan oleh banjir indriawi,
   Yang tidak sepenuhnya memahami kenikmatan-kenikmatan indria,
   Jatuh dengan kepala lebih dulu ke dalam saṃsāra, [ke dalam] waktu,
   Takdir, dan kehidupan demi kehidupan.<1055>

Tetapi mereka yang telah sepenuhnya memahami kenikmatan-kenikmatan indria
Hidup tanpa takut dari arah mana pun juga,
Setelah mencapai hancurnya noda-noda,
Selagi masih di dunia ini, mereka telah menyeberang

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #10 on: 12 March 2013, 02:23:19 AM »
56 (6) Penahbis

Seorang bhikkhu mendatangi penahbisnya dan berkata kepadanya: “Bhante, tubuhku sekarang rasanya seolah-olah terbius, aku menjadi kebingungan, dan ajaran-ajaran tidak lagi menjadi jelas bagiku. Ketumpulan dan kantuk menguasai pikiranku. Aku menjalani kehidupan spiritual dengan tidak puas dan memiliki keragu-raguan sehubungan dengan ajaran-ajaran.”<1056>

Kemudian sang penahbis membawa muridnya menghadap Sang Bhagavā. Ia bersujud kepada Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, dan memberitahu Sang Bhagavā tentang apa yang dikatakan oleh muridnya. [70] [Sang Bhagavā berkata:]

“Demikianlah, bhikkhu! (1) Ketika seseorang tidak terjaga dalam pintu-pintu organ indria, (2) makan berlebihan, (3) dan tidak menekuni keawasan; (4) ketika ia tidak memiliki pandangan terang ke dalam kualitas-kualitas bermanfaat (5) dan tidak berdiam dalam usaha untuk mengembangkan bantuan-bantuan menuju pencerahan pada tahap awal dan akhir malam hari, ṃaka tubuh seseorang terasa seolah-olah terbius, ia menjadi kebingungan, dan ajaran-ajaran tidak lagi menjadi jelas baginya. Ketumpulan dan kantuk mengusai pikirannya. Ia menjalani kehidupan spiritual dengan tidak puas dan memiliki keragu-raguan sehubungan dengan ajaran-ajaran.

“Oleh karena itu, bhikkhu, engkau harus berlatih sebagai berikut: (1) ‘Aku akan terjaga dalam pintu-pintu organ indria, (2) makan secukupnya, (3) dan menekuni keawasan; (4) aku akan memiliki pandangan terang ke dalam kualitas-kualitas bermanfaat (5) dan akan berdiam dalam usaha untuk mengembangkan bantuan-bantuan menuju pencerahan pada tahap awal dan akhir malam hari.’ Adalah dengan cara ini, bhikkhu, engkau harus berlatih.”

Kemudian, setelah menerima nasihat demikian dari Sang Bhagavā, bhikkhu itu bangkit dari duduknya, bersujud kepada Sang Bhagavā, mengelilingi Beliau dengan sisi kanannya menghadap Beliau, dan pergi. Kemudian, dengan berdiam sendirian, terasing, waspada, tekun, dan bersungguh-sungguh, dalam waktu tidak lama bhikkhu itu merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kesempurnaan kehidupan spiritual yang tidak terlampaui yang karenanya anggota-anggota keluarga dengan benar meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.” Dan bhikkhu itu menjadi salah satu di antara para Arahant.

Kemudian, setelah mencapai Kearahattaan, bhikkhu itu mendatangi penahbisnya dan berkata: “Bhante, tubuhku sekarang tidak lagi terasa seolah-olah terbius, aku tidak menjadi kebingungan, dan ajaran-ajaran menjadi jelas bagiku. Ketumpulan dan kantuk tidak menguasai pikiranku. Aku menjalani kehidupan spiritual dengan gembira dan tidak memiliki keragu-raguan sehubungan dengan ajaran-ajaran.”<1057>

Kemudian sang penahbis membawa muridnya menghadap Sang Bhagavā. [71] Ia bersujud kepada Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, dan memberitahu Sang Bhagavā tentang apa yang dikatakan oleh muridnya. [Sang Bhagavā berkata:]

“Demikianlah, bhikkhu! Ketika seseorang terjaga dalam pintu-pintu organ indria, makan secukupnya, dan menekuni keawasan; ketika ia memiliki pandangan terang ke dalam kualitas-kualitas bermanfaat dan berdiam dalam usaha untuk mengembangkan bantuan-bantuan menuju pencerahan pada tahap awal dan akhir malam hari, ṃaka tubuh seseorang tidak terasa seolah-olah terbius, ia tidak menjadi kebingungan, dan ajaran-ajaran menjadi jelas baginya. Ketumpulan dan kantuk tidak mengusai pikirannya. Ia menjalani kehidupan spiritual dengan gembira dan tidak memiliki keragu-raguan sehubungan dengan ajaran-ajaran.


“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: (1) ‘Kami akan terjaga dalam pintu-pintu organ indria, (2) makan secukupnya, (3) dan menekuni keawasan; (4) kami akan memiliki pandangan terang ke dalam kualitas-kualitas bermanfaat (5) dan akan berdiam dalam usaha untuk mengembangkan bantuan-bantuan menuju pencerahan pada tahap awal dan akhir malam hari.’ Adalah dengan cara ini, para bhikkhu, kalian harus berlatih.”

57 (7) Tema

“Para bhikkhu, ada lima tema ini yang harus sering kali direnungkan oleh seorang perempuan atau laki-laki, oleh seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian.<1058> Apakah lima ini? (1) Seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku tunduk pada usia tua; aku tidak terbebas dari usia tua.’ (2) Seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku tunduk penyakit; aku tidak terbebas dari penyakit.’ (3) Seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku tunduk pada kematian; aku tidak terbebas dari kematian.’ (4) Seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan [72] sebagai berikut: ‘Aku pasti berpisah dan terpisah dari siapa pun dan apa pun yang kusukai dan kusayangi.’<1059> (5) Seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku adalah pemilik kammaku, pewaris kammaku; aku memiliki kamma sebagai asal-mula, kamma sebagai sanak saudara, kamma sebagai pelindungku; aku akan menjadi pewaris kamma apa pun, baik atau buruk, yang kulakukan.’

(1) “Demi manfaat apakah maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku tunduk pada usia tua; aku tidak terbebas dari usia tua’? Pada masa muda mereka, makhluk-makhluk dimabukkan oleh kemudaan mereka, dan ketika mereka dimabukkan oleh kemudaan mereka maka mereka melakukan perbuatan salah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika mereka sering kali merenungkan tema ini, kemabukan pada kemudaan akan sepenuhnya ditinggalkan atau berkurang. Adalah demi manfaat ini maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku tunduk pada usia tua; aku tidak terbebas dari usia tua.’

(2) “Dan demi manfaat apakah maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku tunduk penyakit; aku tidak terbebas dari penyakit’? Dalam keadaan sehat makhluk-makhluk dimabukkan oleh kesehatan mereka, dan ketika mereka dimabukkan oleh kesehatan mereka maka mereka melakukan perbuatan salah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika mereka sering kali merenungkan tema ini, kemabukan pada kesehatan akan sepenuhnya ditinggalkan atau berkurang. Adalah demi manfaat ini maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku tunduk pada usia tua; aku tidak terbebas dari usia tua.’

(3) “Dan demi manfaat apakah maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut:: ‘Aku tunduk pada kematian; aku tidak terbebas dari kematian’? Selama masa kehidupan mereka makhluk-makhluk dimabukkan oleh kehidupan mereka, dan ketika mereka dimabukkan oleh kehidupan mereka maka mereka melakukan perbuatan salah melalui jasmani, ucapan, [73] dan pikiran. Tetapi ketika mereka sering kali merenungkan tema ini, kemabukan pada kehidupan akan sepenuhnya ditinggalkan atau berkurang. Adalah demi manfaat ini maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku tunduk pada kematian; aku tidak terbebas dari kematian.’

(4) “Dan demi manfaat apakah maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku pasti berpisah dan terpisah dari siapa pun dan apa pun yang kusukai dan kusayangi’? Makhluk-makhluk memiliki keinginan dan nafsu sehubungan dengan orang-orang dan benda-benda yang mereka sukai dan sayangi, dan dengan digerakkan oleh nafsu ini maka mereka melakukan perbuatan salah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika mereka sering kali merenungkan tema ini, keinginan dan nafsu sehubungan dengan siapa pun dan apa pun yang disukai dan disayangi akan sepenuhnya ditinggalkan atau berkurang. Adalah demi manfaat ini maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku pasti berpisah dan terpisah dari siapa pun dan apa pun yang kusukai dan kusayangi.’

(5) “Dan demi manfaat apakah maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku adalah pemilik kammaku, pewaris kammaku; aku memiliki kamma sebagai asal-mula, kamma sebagai sanak saudara, kamma sebagai pelindungku; aku akan menjadi pewaris kamma apa pun, baik atau buruk, yang kulakukan’? Orang-orang melakukan perbuatan salah melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Tetapi ketika mereka sering kali merenungkan tema ini, perbuatan salah demikian akan sepenuhnya ditinggalkan atau berkurang. Adalah demi manfaat ini maka seorang perempuan atau laki-laki, seorang perumah tangga atau seorang yang meninggalkan keduniawian, harus sering kali merenungkan sebagai berikut: ‘Aku adalah pemilik kammaku, pewaris kammaku; aku memiliki kamma sebagai asal-mula, kamma sebagai sanak saudara, kamma sebagai pelindungku; aku akan menjadi pewaris kamma apa pun, baik atau buruk, yang kulakukan.’

(1) “Siswa mulia ini merenungkan sebagai berikut: [74] ‘Aku bukanlah satu-satunya yang tunduk pada usia tua, tidak terbebas dari usia tua. Semua makhluk yang datang dan pergi, yang meninggal dunia dan mengalami kelahiran kembali, tunduk pada usia tua, tidak ada yang terbebas dari usia tua.’ Sewaktu ia sering kali merenungkan tema ini, sang jalan muncul. Ia mengejar jalan itu, mengembangkannya, dan melatihnya. Sewaktu ia melakukan hal itu, belenggu-belenggu sepenuhnya ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi tercabut.<1060>

(2) “Siswa mulia ini merenungkan sebagai berikut: ‘Aku bukanlah satu-satunya yang tunduk pada penyakit, tidak terbebas dari penyakit. Semua makhluk yang datang dan pergi, yang meninggal dunia dan mengalami kelahiran kembali, tunduk pada penyakit, tidak ada yang terbebas dari penyakit.’ Sewaktu ia sering kali merenungkan tema ini, sang jalan muncul. Ia mengejar jalan itu, mengembangkannya, dan melatihnya. Sewaktu ia melakukan hal itu, belenggu-belenggu sepenuhnya ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi tercabut.

(3) “Siswa mulia ini merenungkan sebagai berikut: ‘Aku bukanlah satu-satunya yang tunduk pada kematian, tidak terbebas dari kematian. Semua makhluk yang datang dan pergi, yang meninggal dunia dan mengalami kelahiran kembali, tunduk pada kematian, tidak ada yang terbebas dari kematian.’ Sewaktu ia sering kali merenungkan tema ini, sang jalan muncul. Ia mengejar jalan itu, mengembangkannya, dan melatihnya. Sewaktu ia melakukan hal itu, belenggu-belenggu sepenuhnya ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi tercabut.

(4) “Siswa mulia ini merenungkan sebagai berikut: ‘Aku bukanlah satu-satunya yang pasti berpisah dan terpisah dari siapa pun dan apa pun yang disukai dan disayangi. Semua makhluk yang datang dan pergi, yang meninggal dunia dan mengalami kelahiran kembali, pasti berpisah dan terpisah dari siapa pun dan apa pun yang disukai dan disayangi.’ Sewaktu ia sering kali merenungkan tema ini, sang jalan muncul. Ia mengejar jalan itu, mengembangkannya, dan melatihnya. Sewaktu ia melakukan hal itu, belenggu-belenggu sepenuhnya ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi tercabut.

(5) “Siswa mulia ini merenungkan sebagai berikut: ‘Aku bukanlah satu-satunya yang menjadi pemilik kamma sendiri, pewaris kamma sendiri; yang memiliki kamma sebagai asal-mula, kamma sebagai sanak saudara, kamma sebagai pelindung; yang akan menjadi pewaris kamma apa pun, baik atau buruk, yang dilakukan. Semua makhluk yang datang dan pergi, yang meninggal dunia dan mengalami kelahiran kembali, adalah pemilik kamma mereka sendiri, pewaris kamma mereka sendiri; yang memiliki kamma sebagai asal-mula, kamma sebagai sanak saudara, kamma sebagai pelindung; yang akan menjadi pewaris kamma apa pun, baik atau buruk, yang mereka lakukan.’ [75] Sewaktu ia sering kali merenungkan tema ini, sang jalan muncul. Ia mengejar jalan itu, mengembangkannya, dan melatihnya. Sewaktu ia melakukan hal itu, belenggu-belenggu sepenuhnya ditinggalkan dan kecenderungan-kecenderungan tersembunyi tercabut.

   “Kaum duniawi tunduk pada penyakit,<1061>
   Usia tua, dan kematian adalah menjijikkan
   [bagi orang-orang lain] yang ada
   Sesuai dengan sifatnya

   “Jika aku menjadi jijik
   Pada makhluk-makhluk yang memiliki sifat demikian,
   Maka itu tidaklah selayaknya bagiku
   Karena aku juga memiliki sifat yang sama.

   “Sewaktu aku berdiam demikian,
   Setelah mengetahui kondisi tanpa perolehan,
   Aku mengatasi segala kemabukan –
   Kemabukan pada kesehatan,
   Pada kemudaan, dan pada kehidupan –
   Setelah melihat keamanan dalam pelepasan keduniawian.<1062>

   “Kemudian semangat muncul dalam diriku
   Ketika aku dengan jelas melihat nibbāna.
   Sekarang aku tidak mampu lagi
   Menikmati kenikmatan-kenikmatan indria.
   Dengan mengandalkan kehidupan spiritual,
   Aku tidak akan pernah berbalik lagi.”


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #11 on: 12 March 2013, 02:23:29 AM »
58 (8 ) Pemuda Licchavi

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di aula beratap lancip di Hutan Besar. Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahNya, dan memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan. Setelah berjalan menerima dana makanan di Vesālī, setelah makan, ketika Beliau telah kembali dari perjalanan menerima dana makanan itu, Beliau memasuki Hutan Besar dan duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.

Pada saat itu sejumlah pemuda Licchavi membawa busur mereka dan sedang berjalan-jalan di Hutan Besar, disertai oleh sekumpulan anjing, ketika mereka melihat Sang Bhagavā duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari. Ketika mereka melihat Beliau, mereka meletakkan busur mereka, mengusir anjing-anhing ke satu sisi, dan mendatangi Beliau. Mereka bersujud kepada Sang Bhagavā [76] dan berdiri diam mengawasi Beliau sambil merangkapkan tangan sebagai penghormatan.

Pada saat itu Mahānāma pemuda Licchavi sedang berjalan-jalan untuk berolah-raga di Hutan Besar ketika ia melihat para pemuda Licchavi berdiri diam mengawasi Beliau sambil merangkapkan tangan sebagai penghormatan. Kemudian ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan mengucapkan ucapan inspiratif ini: “Mereka akan menjadi Vajji! Mereka akan menjadi Vajji!”

[Sang Bhagava berkata:] “Tetapi mengapakah, Mahānāma, engkau mengatakan: ‘Mereka akan menjadi Vajji! Mereka akan menjadi Vajji!’?”

“Para pemuda Licchavi ini, Bhante, bengis, kasar, dan kurang ajar. Mereka selalu merampas manisan apa pun yang disisakan sebagai pemberian di antara keluarga-keluarga, apakah tebu, buah jujube, kue, pai, atau kembang gula, dan kemudian mereka memakannya. Mereka memukul punggung para perempuan dan gadis-gadis dari keluarga-keluarga terhormat.<1063> Sekarang mereka berdiri diam mengawasi Sang Bhagavā sambil merangkapkan tangan sebagai penghormatan.”

“Mahānāma, dalam anggota keluarga mana pun juga terdapat lima kualitas ini – apakah ia adalah seorang raja khattiya yang sah, seorang laki-laki terhormat, jenderal dari suatu bala tentara, kepala desa, kepala kelompok pekerja, atau salah satu di antara mereka yang memimpin berbagai suku – hanya kemajuan yang dapat diharapkan, bukan kemunduran. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, Mahānāma, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat, dikumpulkan dengan kekuatan lengannya, dicari dengan keringat di dahinya, kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik, seorang anggota keluarga menghormati, menjunjung, menghargai, [77] dan memuliakan orang tuanya. Orang tuanya, karena dihormati, dijunjung, dihargai, dan dimuliakan, akan berbelas kasihan padanya dengan pikiran baik, berpikir: ‘Semoga engkau berumur panjang dan mempertahankan umur panjang.’ Ketika orang tua seorang anggota keluarga berbelas kasihan padanya, maka hanya kemajuan yang dapat diharapkan, bukan kemunduran.

(2) “Kemudian, Mahānāma, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat, dikumpulkan dengan kekuatan lengannya, dicari dengan keringat di dahinya, kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik, seorang anggota keluarga menghormati, menjunjung, menghargai, dan memuliakan istri dan anak-anaknya, para budak, pekerja dan pelayannya. Karena dihormati, dijunjung, dihargai, dan dimuliakan, mereka akan berbelas kasihan padanya dengan pikiran baik, berpikir: ‘Semoga engkau berumur panjang dan mempertahankan umur panjang.’ Ketika istri dan anak-anak seorang anggota keluarga, para budak, pekerja dan pelayannya berbelas kasihan padanya, maka hanya kemajuan yang dapat diharapkan, bukan kemunduran.

(3) “Kemudian, Mahānāma, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat, dikumpulkan dengan kekuatan lengannya, dicari dengan keringat di dahinya, kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik, seorang anggota keluarga menghormati, menjunjung, menghargai, dan memuliakan para pemilik lahan tetangga dan mereka yang kepadanya ia melakukan bisnis.<1064> Karena dihormati, dijunjung, dihargai, dan dimuliakan, mereka akan berbelas kasihan padanya dengan pikiran baik, berpikir: ‘Semoga engkau berumur panjang dan mempertahankan umur panjang.’ Ketika para pemilik lahan tetangga dan mereka yang kepadanya ia melakukan bisnis berbelas kasihan padanya, maka hanya kemajuan yang dapat diharapkan, bukan kemunduran.

(4) “Kemudian, Mahānāma, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat, dikumpulkan dengan kekuatan lengannya, dicari dengan keringat di dahinya, kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik, seorang anggota keluarga menghormati, menjunjung, menghargai, dan memuliakan para dewata yang diberikan pengorbanan.<1065> Karena dihormati, dijunjung, dihargai, dan dimuliakan, mereka akan berbelas kasihan padanya dengan pikiran baik, berpikir: ‘Semoga engkau berumur panjang dan mempertahankan umur panjang.’ Ketika para dewata yang diberikan pengorbanan berbelas kasihan padanya, maka hanya kemajuan yang dapat diharapkan, bukan kemunduran.

(5) “Kemudian, Mahānāma, dengan kekayaan yang diperoleh melalui usaha bersemangat, dikumpulkan dengan kekuatan lengannya, dicari dengan keringat di dahinya, kekayaan yang baik yang diperoleh dengan baik, seorang anggota keluarga menghormati, menjunjung, menghargai, dan memuliakan para petapa dan brahmana. Karena dihormati, dijunjung, dihargai, dan dimuliakan, mereka akan berbelas kasihan padanya dengan pikiran baik, berpikir: ‘Semoga engkau berumur panjang dan mempertahankan umur panjang.’ Ketika para petapa dan brahmana berbelas kasihan [78] padanya, maka hanya kemajuan yang dapat diharapkan, bukan kemunduran.

“Mahānāma, dalam anggota keluarga mana pun juga terdapat kelima kualitas ini – apakah ia adalah seorang raja khattiya yang sah, seorang laki-laki terhormat, jenderal dari suatu bala tentara, kepala desa, kepala kelompok pekerja, atau salah satu di antara mereka yang memimpin berbagai suku – hanya kemajuan yang dapat diharapkan, bukan kemunduran.”

   Ia selalu melakukan tugasnya terhadap orang tuanya;
   Ia memajukan kesejahteraan istri dan anak-anaknya.
   Ia mengurus orang-orang di rumahnya
   Dan mereka yang hidup dengan bergantung padanya.

   Orang bijaksana, murah hati dan bermoral,
   Bertindak demi kebaikan kedua jenis sanak saudara,
   Mereka yang telah meninggal dunia
   Dan mereka yang masih hidup di dunia ini.

   [Ia memberi keuntungan] kepada para petapa dan brahmana,
   Dan [juga] para dewata;
   Ia adalah seorang yang memberikan kegembiraan
   Selagi menjalani kehidupan yang baik di rumah.

   Setelah melakukan apa yang baik,
   Ia layak dimuliakan dan dipuji.
   Mereka memujinya di sini di dunia ini
   Dan setelah kematian ia bergembira di surga.

59 (9) Meninggalkan Keduniawian di Usia Tua (1)

“Para bhikkhu, adalah jarang menemukan seorang yang meninggalkan keduniawian di usia tua yang memiliki lima kualitas ini. Apakah lima ini? Adalah jarang menemukan seorang yang meninggalkan keduniawian di usia tua (1) yang cerdik; (2) yang memiliki tingkah laku selayaknya; (3) yang terpelajar; (4) yang dapat membabarkan Dhamma; dan (5) yang ahli dalam disiplin. Adalah jarang menemukan seorang yang meninggalkan keduniawian di usia tua yang memiliki kelima kualitas ini.”

60 (10) Meninggalkan Keduniawian di Usia Tua (2)

“Para bhikkhu, adalah jarang menemukan seorang yang meninggalkan keduniawian di usia tua yang memiliki lima kualitas ini. Apakah lima ini? Adalah jarang menemukan seorang yang meninggalkan keduniawian di usia tua (1) yang mudah diperbaiki; [79] (2) yang mengingat dengan baik apa yang telah ia pelajari; (3) yang menerima ajaran dengan penuh hormat; (4) yang dapat membabarkan Dhamma; dan (5) yang ahli dalam disiplin. Adalah jarang menemukan seorang yang meninggalkan keduniawian di usia tua yang memiliki kelima kualitas ini.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #12 on: 12 March 2013, 02:23:55 AM »
II. PERSEPSI

61 (1) Persepsi (1)
   
“Para bhikkhu, lima persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak dalam keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya. Apakah lima ini? Persepsi ketidak-menarikan, persepsi kematian, persepsi bahaya, persepsi kejijikan pada makanan, dan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia.<1066> Kelima persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak dalam keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya.”

62 (2) Persepsi (2)

“Para bhikkhu, lima persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak dalam keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya. Apakah lima ini? Persepsi ketidak-kekalan, persepsi tanpa-diri, persepsi kematian, persepsi kejijikan pada makanan, dan persepsi ketidak-senangan pada seluruh dunia.<1067> Kelima persepsi ini, ketika dikembangkan dan dilatih, adalah berbuah dan bermanfaat besar, memuncak dalam keabadian, dengan keabadian sebagai kesempurnaannya.”

63 (3) Pertumbuhan (1)

“Para bhikkhu, dengan tumbuh dalam lima cara, seorang siswa mulia laki-laki tumbuh melalui pertumbuhan mulia, dan ia menyerap inti kehidupan ini dan yang terbaik dari kehidupan ini. Apakah lima ini? Ia tumbuh dalam keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Dengan tumbuh dalam kelima cara ini, seorang siswa mulia laki-laki tumbuh melalui pertumbuhan mulia, dan ia menyerap inti kehidupan ini dan yang terbaik dari kehidupan ini.

   Ia yang tumbuh dalam keyakinan dan perilaku bermoral,
   Dalam kebijaksanaan, kedermawanan, dan pembelajaran –
   Laki-laki unggul yang arif demikian
   Menyerap untuk dirinya inti kehidupan ini.

64 (3) Pertumbuhan (2)

“Para bhikkhu, dengan tumbuh dalam lima cara, seorang siswa mulia perempuan tumbuh melalui pertumbuhan mulia, dan ia menyerap inti kehidupan ini dan yang terbaik dari kehidupan ini. Apakah lima ini? Ia tumbuh dalam keyakinan, perilaku bermoral, pembelajaran, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Dengan tumbuh dalam kelima cara ini, seorang siswa mulia perempuan tumbuh melalui pertumbuhan mulia, dan ia menyerap inti kehidupan ini dan yang terbaik dari kehidupan ini.

   Ia yang tumbuh dalam keyakinan dan perilaku bermoral,
   Dalam kebijaksanaan, kedermawanan, dan pembelajaran –
   Umat awam perempuan yang bermoral demikian
   Menyerap untuk dirinya inti kehidupan ini. [81]

65 (5) Diskusi

“Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu memiliki lima kualitas, maka adalah layak bagi teman-temannya para bhikkhu untuk berdiskusi dengannya. Apakah lima ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral, dan ia menjawab pertanyaan yang muncul dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan perilaku bermoral. (2) Ia sendiri sempurna dalam konsentrasi, dan ia menjawab pertanyaan yang muncul dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan konsentrasi. (3) Ia sendiri sempurna dalam kebijaksanaan, dan ia menjawab pertanyaan yang muncul dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan kebijaksanaan. (4) Ia sendiri sempurna dalam kebebasan, dan ia menjawab pertanyaan yang muncul dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan kebebasan. (5) Ia sendiri sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan, dan ia menjawab pertanyaan yang muncul dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Jika seorang bhikkhu memiliki kelima kualitas ini, maka adalah layak bagi teman-temannya para bhikkhu untuk berdiskusi dengannya.”

66 (6) Gaya Hidup

“Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu memiliki lima kualitas, maka adalah layak bagi teman-temannya para bhikkhu untuk menetap bersama dengannya.<1068> Apakah lima ini? ? (1) Di sini, seorang bhikkhu sempurna dalam perilaku bermoral, dan ia menjawab pertanyaan yang diajukan dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan perilaku bermoral. (2) Ia sendiri sempurna dalam konsentrasi, dan ia menjawab pertanyaan yang diajukan dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan konsentrasi. (3) Ia sendiri sempurna dalam kebijaksanaan, dan ia menjawab pertanyaan yang diajukan dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan kebijaksanaan. (4) Ia sendiri sempurna dalam kebebasan, dan ia menjawab pertanyaan yang diajukan dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan kebebasan. (5) Ia sendiri sempurna dalam pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan, dan ia menjawab pertanyaan yang diajukan dalam suatu diskusi tentang kesempurnaan pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan. Jika seorang bhikkhu memiliki kelima kualitas ini, maka adalah layak bagi teman-temannya para bhikkhu untuk menetap bersama dengannya.”

67 (7) Landasan Kekuatan Batin (1)

“Para bhikkhu, jika bhikkhu atau bhikkhunī mana pun mengembangkan dan melatih lima hal, maka satu di antara dua buah menantinya: [82] apakah pengetahuan akhir dalam kehidupan ini atau, jika masih ada sisa yang tertinggal, kondisi yang-tidak-kembali. Apakah lima ini?

“(1) Di sini, seorang bhikkhu mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena keinginan dan aktivitas-aktivitas berusaha. (2) Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena kegigihan dan aktivitas-aktivitas berusaha. (3) mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena pikiran dan aktivitas-aktivitas berusaha. (4) mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena penyelidikan dan aktivitas-aktivitas berusaha.<1069> (5) Semangat itu sendiri sebagai yang ke lima.<1070>

“Jika bhikkhu atau bhikkhunī mana pun mengembangkan dan melatih kelima hal ini, maka satu di antara dua buah menantinya: apakah pengetahuan akhir dalam kehidupan ini atau, jika masih ada sisa yang tertinggal, kondisi yang-tidak-kembali.”

68 (8 ) Landasan Kekuatan Batin (2)

“Para bhikkhu, sebelum pencerahanKu, sewaktu Aku masih seorang bodhisatta, belum tercerahkan sempurna, Aku mengembangkan dan melatih lima hal. Apakah lima ini?

“(1) Aku mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena keinginan dan aktivitas-aktivitas berusaha. (2) Aku mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena kegigihan dan aktivitas-aktivitas berusaha. (3) Aku mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena pikiran dan aktivitas-aktivitas berusaha. (4) Aku mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena penyelidikan dan aktivitas-aktivitas berusaha. (5) Semangat itu sendiri sebagai yang ke lima.

“Karena Aku telah mengembangkan dan melatih hal-hal ini dengan semangat sebagai yang ke lima, maka jika ada landasan yang sesuai, Aku mampu merealisasikan kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke mana Aku mengarahkan pikiranKu.

“Jika Aku menghendaki: ‘Semoga aku mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, semoga aku menjadi banyak … [seperti pada 5:23] …  semoga aku mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā,’ Aku mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai … [seperti pada 5:23]

“Jika Aku menghendaki: [83] ‘Semoga aku, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini merealisasikan untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya,’ Aku mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.”

69 (9) Kekecewaan

“Para bhikkhu, kelima hal ini, jika dikembangkan dan dilatih, akan mengarah hanya menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju nibbāna. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani, mempersepsikan kejijikan pada makanan, mempersepsikan ketidak-senangan pada seluruh dunia, merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi; dan ia telah menegakkan dengan baik persepsi kematian secara internal. Kelima hal ini, jika dikembangkan dan dilatih, akan mengarah hanya menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju nibbāna.”

70 (10) Hancurnya Noda-Noda

“Para bhikkhu, kelima hal ini, jika dikembangkan dan dilatih, akan mengarah menuju hancurnya noda-noda. Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani, mempersepsikan kejijikan pada makanan, mempersepsikan ketidak-senangan pada seluruh dunia, merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi; dan ia telah menegakkan dengan baik persepsi kematian secara internal. Kelima hal ini, jika dikembangkan dan dilatih, akan mengarah menuju hancurnya noda-noda.” [84]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #13 on: 12 March 2013, 02:24:17 AM »
III. BAHAYA MASA DEPAN

71 (1) Kebebasan Pikiran (1)

“Para bhikkhu, lima hal ini, ketika dikembangkan dan dilatih, memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya; lima hal ini memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya.<1071> Apakah lima ini? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan ketidak-menarikan jasmani, mempersepsikan kejijikan pada makanan, mempersepsikan ketidak-senangan pada seluruh dunia, merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi; dan ia telah menegakkan dengan baik persepsi kematian secara internal. Kelima hal ini, jika dikembangkan dan dilatih, akan memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya; kelima hal ini memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya; kelima hal ini memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya.

“Ketika seorang bhikkhu terbebaskan dalam pikiran dan terbebaskan melalui kebijaksanaan, maka ia disebut seorang bhikkhu yang telah menyingkirkan palang penghalang, telah menimbun parit, telah mencabut tiang, tanpa pasak, seorang mulia dengan panji diturunkan, dengan beban diturunkan, terlepas.<1072>

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu menyingkirkan palang penghalang? Di sini, seorang bhikkhu telah meninggalkan ketidak-tahuan, memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu telah menyingkirkan palang penghalang.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu telah menimbun parit? Di sini, seorang bhikkhu telah meninggalkan pengembaraan dalam kelahiran yang membawa penjelmaan baru; ia memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu telah menimbun parit.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu telah mencabut tiang? [85] Di sini, seorang bhikkhu telah meninggalkan ketagihan; memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu telah mencabut tiang.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah tanpa pasak? Di sini, seorang bhikkhu telah meninggalkan lima belenggu yang lebih rendah, memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah tanpa pasak.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang mulia dengan panji diturunkan, dengan beban diturunkan, terlepas? Di sini, seorang bhikkhu telah meninggalkan keangkuhan ‘aku,’ memotongnya di akar, membuatnya seperti tunggul pohon palem, melenyapkannya sehingga tidak muncul lagi di masa depan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang mulia dengan panji diturunkan, dengan beban diturunkan, terlepas.”

72 (2) Kebebasan Pikiran (2)

“Para bhikkhu, lima hal ini, ketika dikembangkan dan dilatih, memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya; lima hal ini memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya. Apakah lima ini? Persepsi ketidak-kekalan, persepsi penderitaan di dalam apa yang tidak kekal, persepsi tanpa-diri dalam apa yang merupakan penderitaan, persepsi ditinggalkannya, persepsi kebosanan.<1073> Kelima hal ini memiliki kebebasan pikiran sebagai buahnya, kebebasan pikiran sebagai buah dan manfaatnya; kelima hal ini memiliki kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buahnya, kebebasan melalui kebijaksanaan sebagai buah dan manfaatnya.

“Ketika seorang bhikkhu terbebaskan dalam pikiran dan terbebaskan melalui kebijaksanaan, maka ia disebut seorang bhikkhu yang telah menyingkirkan palang penghalang, telah menimbun parit, telah mencabut tiang, tanpa pasak, seorang mulia dengan panji diturunkan, dengan beban diturunkan, terlepas.

“Dan bagaimanakah seorang bhikkhu menyingkirkan palang penghalang … [seluruhnya sama seperti pada 5:71, hingga:] [86] … Dengan cara inilah seorang bhikkhu adalah seorang mulia dengan panji diturunkan, dengan beban diturunkan, terlepas.”

73 (3) Seorang yang Berdiam dalam Dhamma (1)

Seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Dikatakan, Bhante, ‘seorang yang berdiam dalam Dhamma, seorang yang berdiam dalam Dhamma.’<1074> Dengan cara bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang berdiam dalam Dhamma?”

(1) “Di sini, bhikkhu, seorang bhikkhu mempelajari Dhamma: khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban. Ia melewatkan hari dengan mempelajari Dhamma tetapi mengabaikan keterasingan dan tidak menekuni ketenangan pikiran internal. Ini disebut seorang bhikkhu yang tenggelam dalam pembelajaran, bukan seorang yang berdiam dalam Dhamma. [87]

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengarkan dan pelajari. Ia melewatkan hari dengan mengkomunikasikan Dhamma<1075> tetapi mengabaikan keterasingan dan tidak menekuni ketenangan pikiran internal. Ini disebut seorang bhikkhu yang tenggelam dalam komunikasi, bukan seorang yang berdiam dalam Dhamma.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah ia dengarkan dan pelajari. Ia melewatkan hari dengan melafalkan Dhamma tetapi mengabaikan keterasingan dan tidak menekuni ketenangan pikiran internal. Ini disebut seorang bhikkhu yang tenggelam dalam pelafalan, bukan seorang yang berdiam dalam Dhamma.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan, memeriksa, dan menyelidiki Dhamma dalam pikiran seperti yang telah ia dengarkan dan pelajari. Ia melewatkan hari dengan memikirkan tentang Dhamma tetapi mengabaikan keterasingan dan tidak menekuni ketenangan pikiran internal. Ini disebut seorang bhikkhu yang tenggelam dalam pemikiran, bukan seorang yang berdiam dalam Dhamma.

(5) “Di sini, seorang bhikkhu mempelajari Dhamma - khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban – tetapi ia tidak melewatkan hari [hanya] dengan mempelajari Dhamma. Ia tidak mengabaikan keterasingan melainkan menekuni ketenangan pikiran internal.<1076> Dengan cara inilah seorang bhikkhu disebut seorang yang berdiam dalam Dhamma.

“Demikianlah, bhikkhu, Aku telah mengajarkan tentang seorang yang tenggelam dalam pembelajaran, seorang yang tenggelam dalam komunikasi, seorang yang tenggelam dalam pelafalan, seorang yang tenggelam dalam pemikiran, dan seorang yang berdiam dalam Dhamma. Apa pun yang harus dilakukan oleh seorang guru yang berbelas kasihan demi belas kasihan kepada para siswanya, mengusahakan kesejahteraan mereka, telah Aku lakukan untukmu. Ada bawah pepohonan ini, ada gubuk-gubuk kosong ini. Bermeditasilah, bhikkhu, jangan lalai. Jangan sampai menyesalinya kelak. Ini adalah instruksi kami kepadamu.” [88]

74 (4) Seorang yang Berdiam dalam Dhamma (2)

Seorang bhikkhu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Dikatakan, Bhante, ‘seorang yang berdiam dalam Dhamma, seorang yang berdiam dalam Dhamma.’ Dengan cara bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang berdiam dalam Dhamma?”

(1) “Di sini, bhikkhu, seorang bhikkhu mempelajari Dhamma: khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban – tetapi ia tidak pergi lebih jauh dan memahami maknanya dengan kebijaksanaan.<1077> Ini disebut seorang bhikkhu yang tenggelam dalam pembelajaran, bukan seorang yang berdiam dalam Dhamma.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu mengajarkan Dhamma kepada orang lain secara terperinci seperti yang telah ia dengarkan dan pelajari, tetapi ia tidak pergi lebih jauh dan memahami maknanya dengan kebijaksanaan. Ini disebut seorang bhikkhu yang tenggelam dalam komunikasi, bukan seorang yang berdiam dalam Dhamma.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah ia dengarkan dan pelajari, tetapi ia tidak pergi lebih jauh dan memahami maknanya dengan kebijaksanaan. Ini disebut seorang bhikkhu yang tenggelam dalam pelafalan, bukan seorang yang berdiam dalam Dhamma.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu merenungkan, memeriksa, dan dalam pikiran menyelidiki Dhamma seperti yang telah ia dengarkan dan pelajari tetapi ia tidak pergi lebih jauh dan memahami maknanya dengan kebijaksanaan. Ini disebut seorang bhikkhu yang tenggelam dalam pemikiran, bukan seorang yang berdiam dalam Dhamma.

(5) “Di sini, seorang bhikkhu mempelajari Dhamma - khotbah-khotbah, campuran prosa dan syair, penjelasan-penjelasan, syair-syair, ucapan-ucapan inspiratif, kutipan-kutipan, kisah-kisah kelahiran, kisah-kisah menakjubkan, dan pertanyaan-dan-jawaban – tetapi ia pergi lebih jauh dan memahami maknanya dengan kebijaksanaan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu disebut seorang yang berdiam dalam Dhamma.

“Demikianlah, bhikkhu, Aku telah mengajarkan tentang seorang yang tenggelam dalam pembelajaran, [89] seorang yang tenggelam dalam komunikasi, seorang yang tenggelam dalam pelafalan, seorang yang tenggelam dalam pemikiran, dan seorang yang berdiam dalam Dhamma. Apa pun yang harus dilakukan oleh seorang guru yang berbelas kasihan demi belas kasihan kepada para siswanya, mengusahakan kesejahteraan mereka, telah Aku lakukan untukmu. Ada bawah pepohonan ini, ada gubuk-gubuk kosong. Bermeditasilah, bhikkhu, jangan lalai. Jangan sampai menyesalinya kelak. Ini adalah instruksi kami kepadamu.”

75 (5) Prajurit (1)

“Para bhikkhu, ada lima jenis prajurit ini terdapat di dunia. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang prajurit, ketika melihat awan debu,<1078> ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit pertama yang terdapat di dunia.

(2) “Kemudian, seorang prajurit dapat menahankan awan debu, tetapi ketika ia melihat panji-panji, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit ke dua yang terdapat di dunia.

(3) “Kemudian, seorang prajurit dapat menahankan awan debu dan panji-panji, tetapi ketika ia mendengar hiruk-pikuk, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit ke tiga yang terdapat di dunia.

(4) “Kemudian, seorang prajurit dapat menahankan awan debu dan panji-panji, dan hiruk-pikuk, tetapi ia jatuh dan terluka oleh serangan. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit ke empat yang terdapat di dunia.

(5) “Kemudian, seorang prajurit dapat menahankan awan debu dan panji-panji, hiruk-pikuk, [90] dan serangan. Setelah memenangkan pertempuran, ia keluar sebagai pemenang dan menempati posisi di garis depan medan perang. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit ke lima yang terdapat di dunia.

“Ini adalah kelima jenis prajurit itu yang terdapat di dunia.

“Demikian pula, ada lima jenis orang ini yang serupa dengan para prajurit itu terdapat di antara para bhikkhu. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu, ketika ia melihat awan debu, merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah.<1079> Apakah awan debu dalam hal ini? Bhikkhu itu mendengar: ‘Di suatu desa atau pemukiman terdapat seorang perempuan atau gadis yang cantik, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa.’ Setelah mendengar hal ini, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Ini adalah awan debu dalam hal ini. Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang, ketika ia melihat awan debu, merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis pertama yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu dapat menahankan awan debu, tetapi ketika ia melihat panji-panji, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Apakah panji-panji dalam hal ini? Bhikkhu itu tidak mendengar: ‘Di suatu desa atau pemukiman terdapat seorang perempuan atau gadis yang cantik, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa.’ Tetapi ia sendiri melihat seorang perempuan atau gadis yang cantik, menarik, anggun, memiliki kecantikan luar biasa. Setelah melihatnya, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan [91] tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Ini adalah panji-panji dalam hal ini. Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang dapat menahankan awan debu, tetapi ketika ia melihat panji-panji, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke dua yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu dapat menahankan awan debu dan panji-panji, tetapi ketika ia mendengar hiruk-pikuk, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Apakah hiruk-pikuk dalam hal ini? Ketika bhikkhu itu telah memasuki hutan, ke bawah pohon, atau gubuk kosong, seorang perempuan mendatanginya, tersenyum kepadanya, berbincang-bincang dengannya, tertawa padanya, dan menggodanya. Ketika perempuan itu tersenyum kepadanya, berbincang-bincang dengannya, tertawa padanya, dan menggodanya, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah. Ini adalah hiruk-pikuk dalam hal ini. Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang dapat menahankan awan debu dan panji-panji, tetapi ketika ia mendengar hiruk-pikuk, ia merosot, terperosok, tidak dapat menahan dirinya, dan tidak dapat memasuki pertempuran. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke tiga yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu dapat menahankan awan debu dan panji-panji, dan hiruk-pikuk, tetapi ia jatuh dan terluka oleh serangan. Apakah serangan dalam hal ini? Ketika bhikkhu itu telah memasuki hutan, ke bawah pohon, [92] atau gubuk kosong, seorang perempuan mendatanginya, duduk atau berbaring di sebelahnya, dan merangkulnya. Ketika ia melakukan hal itu, bhikkhu itu melakukan hubungan seksual dengannya tanpa meninggalkan latihan dan mengungkapkan kelemahannya. Ini adalah serangan dalam hal ini. Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang dapat menahankan awan debu dan panji-panji, dan hiruk-pikuk, tetapi ia jatuh dan terluka oleh serangan. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke empat yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(5) Kemudian, seorang bhikkhu dapat menahankan awan debu dan panji-panji, hiruk-pikuk, dan serangan. Setelah memenangkan pertempuran, ia keluar sebagai pemenang dan menempati posisi di garis depan medan perang. Apakah kemenangan dalam hal ini? Ketika bhikkhu itu telah memasuki hutan, ke bawah pohon, atau gubuk kosong, seorang perempuan mendatanginya, duduk atau berbaring di sebelahnya, dan merangkulnya. Tetapi ia melepaskan dirinya, membebaskan dirinya, dan pergi ke mana pun yang ia kehendaki.

“Ia mendatangi tempat tinggal terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, hutan pegunungan, ruang terbuka, tumpukan jerami. Setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, ia duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya. Setelah meninggalkan kerinduan pada dunia, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari kerinduan; ia memurnikan pikirannya dari kerinduan. Setelah meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran bebas dari niat buruk, berbelas kasihan pada semua makhluk hidup; ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Setelah meninggalkan ketumpulan dan kantuk, ia berdiam dengan bebas dari ketumpulan dan kantuk, mempersepsikan cahaya, penuh perhatian dan memahami dengan jernih. Setelah meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam tanpa gejolak, dengan pikiran damai; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. Setelah meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam setelah melampaui keragu-raguan, [93] tidak bingung sehubungan dengan kualitas-kualitas bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

“Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, kekotoran-kekotoran pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke empat, yang tidak menyakitkan juga tidak menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan.

“Ketika pikirannya terkonsentrasi demikian, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahaun hancurnya noda-noda.<1080> Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’ Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebas dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda ketidak-tahuan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’ Ini adalah kemenangan dalam pertempuran.

“Para bhikkhu, Aku katakan bahwa orang ini adalah serupa dengan prajurit yang dapat menahankan awan debu dan panji-panji, hiruk-pikuk, dan serangan. Setelah memenangkan pertempuran, ia keluar sebagai pemenang dan menempati posisi di garis depan medan perang. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke lima yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

“Ini adalah kelima jenis orang itu yang serupa dengan para prajurit itu terdapat di antara para bhikkhu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku LIMA
« Reply #14 on: 12 March 2013, 02:25:26 AM »
76 (6) Prajurit (2)

“Para bhikkhu, ada lima jenis prajurit ini terdapat di dunia. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang prajurit mengambil pedang dan perisai, [94] mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang. Ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, tetapi lawannya membunuhnya dan menewaskannya. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit pertama yang terdapat di dunia.

(2) “Kemudian, seorang prajurit mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang. Ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, tetapi lawannya melukainya. [teman-temannya] mengangkatnya dan membawanya kepada sanak saudaranya. Sewaktu ia sedang dibawa kepada sanak saudaranya, ia meninggal dunia dalam perjalanan sebelum sampai di sana. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit ke dua yang terdapat di dunia.

(3) “Kemudian, seorang prajurit mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang. Ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, tetapi lawannya melukainya. [teman-temannya] mengangkatnya dan membawanya kepada sanak saudaranya. Sanak saudaranya mengobatinya dan merawatnya, tetapi ketika mereka sedang melakukan hal itu ia meninggal dunia karena lukanya. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit ke tiga yang terdapat di dunia.

(4) “Kemudian, seorang prajurit mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang. Ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, tetapi lawannya melukainya. [teman-temannya] mengangkatnya dan membawanya kepada sanak saudaranya. Sanak saudaranya mengobatinya dan merawatnya, dan sebagai akibatnya ia sembuh dari luka itu. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit ke empat yang terdapat di dunia.

(5) ) “Kemudian, seorang prajurit mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang. Setelah memenangkan pertempuran, ia keluar sebagai pemenang [95] dan menempati posisi di garis depan medan perang. Ada, para bhikkhu, prajurit demikian di sini, ini adalah jenis prajurit ke lima yang terdapat di dunia.

“Ini adalah kelima jenis prajurit itu yang terdapat di dunia.

“Demikian pula, ada lima jenis orang ini yang serupa dengan para prajurit itu terdapat di antara para bhikkhu. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Pada pagi hari, ia merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya, dan memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan, dengan jasmani, ucapan, dan pikiran tidak terjaga, tanpa menegakkan perhatian, organ-organ indrianya tidak terkendali. Di sana ia melihat para perempuan dengan pakaian berantakan dan terbuka. Ketika ia melihat mereka, nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia melakukan hubungan seksual tanpa mengungkapkan kelemahannya dan tanpa meninggalkan latihan. Orang ini, Aku katakan, adalah serupa dengan prajurit yang mengambil pedang dan perisai, [94] mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang. Ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, tetapi lawannya membunuhnya dan menewaskannya. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis pertama yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Pada pagi hari, ia merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya, dan memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan … [dan] nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia terbakar secara jasmani dan secara pikiran [oleh demam nafsu]. Ia berpikir: ‘Biarlah aku kembali di vihara [96] dan memberitahu para bhikkhu: “Teman-teman, aku dikuasai oleh nafsu, tertindas oleh nafsu. Aku tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Setelah mengungkapkan kelemahanku dalam latihan, aku akan meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.”’ Sewaktu ia berjalan kembali ke vihara, bahkan sebelum sampai, ia mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, meninggalkan latihan, dan kembali kepada kehidupan rendah dalam perjalanan itu. Orang ini, Aku katakan, adalah serupa dengan prajurit yang mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang, terluka oleh lawannya sewaktu ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, dan diangkat dan dibawa kepada sanak saudaranya tetapi meninggal dunia dalam perjalanan bahkan sebelum sampai. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke dua yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Pada pagi hari, ia merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya, dan memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan … [dan] nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia terbakar secara jasmani dan secara pikiran [oleh demam nafsu]. Ia berpikir: ‘Biarlah aku kembali di vihara dan memberitahu para bhikkhu: “Teman-teman, aku dikuasai oleh nafsu, tertindas oleh nafsu. Aku tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Setelah mengungkapkan kelemahanku dalam latihan, aku akan meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.”’ Ia kembali ke vihara dan memberitahu para bhikkhu: ‘Teman-teman, aku dikuasai oleh nafsu, tertindas oleh nafsu. Aku tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Setelah mengungkapkan kelemahanku dalam latihan, aku akan meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Teman-temannya para bhikkhu menasihatinya dan mengajarinya: [97] ‘Teman, Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kenikmatan-kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan dan kesengsaraan, dan bahwa bahaya di dalamnya lebih banyak lagi.<1081> Dengan perumpaan tulang-belulang Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kenikmatan-kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan dan kesengsaraan, dan bahwa bahaya di dalamnya lebih banyak lagi. Dengan perumpamaan sepotong daging … dengan perumpamaan obor rumput … dengan perumpamaan lubang bara api … dengan perumpamaan mimpi … dengan perumpamaan barang-barang pinjaman … dengan perumpamaan buah-buahan di atas pohon … dengan perumpamaan pisau dan papan pemotong tukang daging … dengan perumpamaan pedang pancang … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kenikmatan-kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan dan kesengsaraan, dan bahwa bahaya di dalamnya lebih banyak lagi. Nikmatilah kehidupan spiritual. Jangan berpikir bahwa engkau tidak mampu mengikuti latihan, meninggalkannya, dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Sewaktu ia sedang dinasihati dan diajari oleh teman-temannya para bhikkhu dengan cara ini, ia membantah: ‘Teman-teman, walaupun Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kenikmatan-kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan dan kesengsaraan, dan bahwa bahaya di dalamnya lebih banyak lagi, tetap saja, aku tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Setelah mengungkapkan kelemahanku dalam latihan, aku akan meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Setelah mengungkapkan kelemahannya dalam latihan, ia meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah. Orang ini, Aku katakan, adalah serupa dengan prajurit yang mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang, terluka oleh lawannya sewaktu ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, dan diangkat [98] dan dibawa kepada sanak saudaranya, yang mengobati dan merawatnya, tetapi meninggal dunia karena luka itu. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke tiga yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Pada pagi hari, ia merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya, dan memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan … nafsu menyerang pikirannya. Dengan pikirannya diserang oleh nafsu, ia terbakar secara jasmani dan secara pikiran [oleh demam nafsu]. Ia berpikir: ‘Biarlah aku kembali di vihara dan memberitahu para bhikkhu: “Teman-teman, aku dikuasai oleh nafsu, tertindas oleh nafsu. Aku tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Setelah mengungkapkan kelemahanku dalam latihan, aku akan meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.”’ Ia kembali ke vihara dan memberitahu para bhikkhu: ‘Teman-teman, aku dikuasai oleh nafsu, tertindas oleh nafsu. Aku tidak dapat mempertahankan kehidupan spiritual. Setelah mengungkapkan kelemahanku dalam latihan, aku akan meninggalkan latihan dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Teman-temannya para bhikkhu menasihatinya dan mengajarinya: ‘Teman, Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kenikmatan-kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan dan kesengsaraan, dan bahwa bahaya di dalamnya lebih banyak lagi. Dengan perumpaan tulang-belulang … [99] … dengan perumpamaan kepala ular, Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kenikmatan-kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan dan kesengsaraan, dan bahwa bahaya di dalamnya lebih banyak lagi. Nikmatilah kehidupan spiritual. Jangan berpikir bahwa engkau tidak mampu mengikuti latihan, meninggalkannya, dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Sewaktu ia sedang dinasihati dan diajari oleh teman-temannya para bhikkhu dengan cara ini, ia berkata: ‘Aku akan berusaha, teman-teman, aku akan melanjutkan, aku akan menikmatinya. Aku tidak akan berpikir bahwa aku tidak mampu mengikuti latihan, meninggalkannya, dan kembali kepada kehidupan rendah.’ Orang ini, Aku katakan, adalah serupa dengan prajurit yang mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang, terluka oleh lawannya sewaktu ia berjuang dan mengerahkan usahanya dalam pertempuran, dan diangkat dan dibawa kepada sanak saudaranya, yang mengobati dan merawatnya, dan yang kemudian sembuh dari luka itu. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke empat yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu berdiam dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman tertentu. Pada pagi hari, ia merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya, dan memasuki desa atau pemukiman untuk menerima dana makanan dengan jasmani, ucapan, dan pikiran terjaga, dengan perhatian ditegakkan, dan organ-organ indrianya terkendali.  Setelah melihat suatu bentuk dengan mata, ia tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tidak terkendali, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan akan dapat menyerangnya, ia berlatih mengekangnya; ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Setelah medengar suatu suara dengan telinga … Setelah mencium suatu bau dengan hidung … Setelah mengecap suatu rasa kecapain dengan lidah … [100] … Setelah merasakan suatu objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali suatu fenomena pikiran dengan pikiran, ia tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tidak terkendali, maka kondisi-kondisi tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan akan dapat menyerangnya, ia berlatih mengekangnya; ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Setelah makan, setelah kembali dari perjalanan menerima dana makanan, ia mendatangi tempat tinggal terasing: : hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, hutan pegunungan, ruang terbuka, tumpukan jerami. Setelah pergi ke hutan, ke bawah pohon, atau ke gubuk kosong, ia duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya. Setelah meninggalkan kerinduan pada dunia … [seperti pada 5:75] … ; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

“Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, kekotoran-kekotoran pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama … jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat, yang tidak menyakitkan juga tidak menyenangkan, dengan pemurnian perhatian melalui keseimbangan.

“Ketika pikirannya terkonsentrasi demikian, murni, bersih, tanpa noda, bebas dari kotoran, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai ketanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahaun hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan kembali lagi pada kondisi makhluk apa pun.’ Orang ini, Aku katakan, adalah serupa dengan prajurit yang mengambil pedang dan perisai, mempersenjatai dirinya dengan busur dan anak panah, dan memasuki medan perang, dan setelah memenangkan pertempuran, ia keluar sebagai pemenang dan menempati posisi di garis depan medan perang. Ada, para bhikkhu, orang seperti demikian di sini. Ini adalah orang jenis ke lima yang serupa dengan seorang prajurit yang terdapat di antara para bhikkhu.

“Ini adalah kelima jenis orang itu yang serupa dengan para prajurit itu terdapat di antara para bhikkhu.”

77 (7) Bahaya Masa Depan (1)

“Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu hutan mempertimbangkan lima bahaya masa depan, cukuplah baginya untuk berdiam dengan waspada, teguh, [101] dan bersungguh-sungguh untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Apakah lima ini?

(1) “Di sini, seorang bhikkhu hutan merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang aku berdiam sendirian di dalam hutan. Tetapi sewaktu aku sedang menetap di sini, seekor ular mungkin memggigitku, seekor kalajengking mungkin menyengatku, seekor lipan mungkin menyengatku. Karena hal itu aku mungkin mengalami kematian, yang akan menjadi suatu halangan bagiku. Biarlah sekarang aku membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.’ Ini adalah bahaya masa depan pertama yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu hutan untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

(2) “Kemudian, seorang bhikkhu hutan merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang aku berdiam sendirian di dalam hutan. Tetapi sewaktu aku sedang menetap di sini, aku mungkin tersandung dan terjatuh, atau makanan yang kumakan mungkin membahayakanku, atau empedu atau dahak atau angin tajam mungkin bergejolak dalam tubuhku. Karena hal itu aku mungkin mengalami kematian, yang akan menjadi suatu halangan bagiku. Biarlah sekarang aku membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.’ Ini adalah bahaya masa depan ke dua yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu hutan untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

(3) “Kemudian, seorang bhikkhu hutan merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang aku berdiam sendirian di dalam hutan. Tetapi sewaktu aku sedang menetap di sini, aku mungkin bertemu dengan binatang-binatang buas, seperti singa, harimau, macan, beruang, atau dubuk, dan binatang-binatang itu mungkin membunuhku. Karena hal itu aku mungkin mengalami kematian, [102] yang akan menjadi suatu halangan bagiku. Biarlah sekarang aku membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.’ Ini adalah bahaya masa depan ke tiga yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu hutan untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

(4) “Kemudian, seorang bhikkhu hutan merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang aku berdiam sendirian di dalam hutan. Tetapi sewaktu aku sedang menetap di sini, aku mungkin bertemu dengan penjahat yang sedang melarikan diri dari suatu kejahatan atau yang sedang merencanakan suatu kejahatan dan mereka mungkin membunuhku. Karena hal itu aku mungkin mengalami kematian, yang akan menjadi suatu halangan bagiku. Biarlah sekarang aku membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.’ Ini adalah bahaya masa depan ke empat yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu hutan untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

(5) “Kemudian, seorang bhikkhu hutan merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang aku berdiam sendirian di dalam hutan. Tetapi di dalam hutan ini terdapat makhluk-makhluk halus yang buas,<1082> dan mereka mungkin membunuhku. Karena hal itu aku mungkin mengalami kematian, yang akan menjadi suatu halangan bagiku. Biarlah sekarang aku membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.’ Ini adalah bahaya masa depan ke lima yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu hutan untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh … untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.

“Ini, para bhikkhu, adalah kelima bahaya masa depan itu yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu hutan untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.” [103]


 

anything