For Dhamma friend, Jerry:
Mengenai pandangan anda bahwa vipassana bisa mengarah pada jhana, saya mempunyai opini tersendiri. Kita tahu bahwa dalam tujuan utama praktik vipassana adalah untuk melenyapkan kekotoran batin. Saya berpendapat ketika pikiran seorang praktisi vipassana bebas dari 5 rintangan batin atau ketika kekotoran2 batinnya berkurang, ia bisa mengarahkan pikirannya pada jhana dan berkonsentrasi pada satu obyek. Namn saya masih berpikir bahwa jhana tidak bisa dicapai PADA SAAT seseorang mengamati muncul dan lenyapnya obyek yang berbeda2 (setidaknya untuk puthujjana) ketika seseorang mempraktikkan vipassana. Namun KONDISI BATIN yang bebas dari 5 rintangan batin atau kekotoran2 batin lainnya yang dicapai melalui vipassana bisa digunakan seseorang untuk mengarahkan pikirannya kepada pencapaian jhana. Ini hanya pendapat saja dan saya juga tidak menutup pendapt2 lain juga.
Namun demikian, ada satu buku menarik yang ditulis oleh Bhikkhu Katukurunde Ñānananda berjudul, “The Magic of the Mind”. Beliau telah membedakan jhana yang dicapai oleh orang biasa dan sekha dengan arahat. Dikatakn bahwa seorang arahat bisa mencapai jhana tanpa harus memusatkan pikirannya terhadap satu obyek. Ini karena seorang arahat telah bebas dari segala kemelekatan, dan papañca (mental proliferation), juga karena arahat telah melihat melalui abhiññā muncul dan lenyapnya fenomena. Karena perbedaaan jhana ini lah, dewa pun bahkan tidak tahu obyek apa yang digunakan seorang arahat untuk mencapai jhana. Beliau mencatat beberapa bukti dan salh satuya terdapat dalam Saddhasutta, AN, V, hal. 323 versi PTS. Di sini ada dua macam orang. Pertama seseorang yang mencapai jhana tergantung pada obyek, kedua tidak tergantung pada obyek. Yang terakhir adalh jhana seorang arahat, sebagai berikut:
So neva pathaviṃ nissāya jhāyati, na āpaṃ nissāya jhāyati, na tejaṃ nissāya jhāyati, na vāyaṃ nissāya jhāyati, na ākāsānañcāyatanaṃ nissāya jhāyati, na viññāṇañcāyatanaṃ nissāya jhāyati, na ākiñcaññāyatanaṃ nissāya jhāyati, na nevasaññānāsaññāyatanaṃ nissāya jhāyati, na idhalokaṃ nissāya jhāyati, na paralokaṃ nissāya jhāyati, yampidaṃ diṭṭhaṃ sutaṃ mutaṃ viññātaṃ pattaṃ pariyesitaṃ anuvicaritaṃ manasā, tampi nissāya na jhāyati; jhāyati ca pana. Evaṃ jhāyiñca pana, saddha, bhadraṃ purisājānīyaṃ saindā devā sabrahmakā sapajāpatikā ārakāva namassanti –
‘‘Namo te purisājañña, namo te purisuttama;
Yassa te nābhijānāma, yampi nissāya jhāyasī’’ti.
Ia (arahat) mencapai jhana tanpa bergantung pada obyek tanah, air, api, udara, landasan angkasa tanpa batas, landasan kesadaran tanpa batas, landasan kekosongan, landasan bukan persepsi atau bukan non-persepsi. Ia mencapai jhana bukan di dunia ini atau di dunia lain. Apapun yang terlihat, terdengar, terasa, terpikir, tercapai, dicari dan dipikir melalui pikiran – ia tidak bergantung pada obyek2 demikian untuk mencapai jhana, tetapi ia masih mencapai jhana. Lebih lanjut, O, Saddha, kepadanya yang mencapai jhana demikian, para dewa bersama-sama raja mereka, dan para brahma bersama-sama permaisuri mereka, menghormati mereka dari jauh;
“Kami menghormat anda, manusia murni,
Kami menghormat anda, manusia utama;
Apapun obyek yang anda gunakan untuk mencapai jhana,
Kami sungguh tidak tahu”.
Jadi bisa disimpulkan bahwa bagi seorang arahat, ia bisa mencapai jhana melalui vipassana atau hanya dengan melihat muncul dan lenyapnya fenomena tanpa harus melekat dengan satu pun obyek. Untuk memperjelas ini, saya anjurkan anda untuk membaca buku yang saya sebutkan di atas. Juga satu buku Bhikkhu Katukurunde Ñānananda lainnya, “The Concept and Reality”. I find very interesting here especially how it is possible jhana can be attained without holding any object. That is a real great and wonder thing that can be done by an arahant!
Tentang supra-normal powers yang dicapai melalui pengembangan jhana, memang dalam sutta2 Sang Buddha tidak mengatakn bahwa seseorang harus keluar dari Jhana ketika menjelaskan pencapaian2 kekuatan batin (abhiññā). Seseorang harus keluar dari jhana sebelum mengembangkan kekuatan2 demikian, sebenarnya dijelaskan dalm kitab komentar dan Visuddhimagga secara detil. Visuddhimagga mengatakn, sebagai contoh, bahwa ketika seseorang mau menciptakan tubuhnya menjadi lebih dari satu, ia hendaknya keluar dari jhana dan masuk ke preliminary meditation dan membuat aspirasi untuk menciptakn tubuhnya lebih dari satu. Memang ini bisa diperdebatkan karena ini hanya terdapat dalam Kitab Komentar. Namun jika untuk mencapai kemampuan2 tersebut seseorang masih berada dalam jhana ke-empat, yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana seseorang beraspirasi atau berpikir untuk merubah dirinya menjadi satu, atau ingin melihat pikiran orang lain (cetopariyañana), atau mengingat masa lampau? Padahal dalam jhana ke-empat, vitakkavicārā yang menjadi basis untuk berpikir sudah lenyap. Apakah ia tidak usah berpikir atau membuat aspirasi untuk mengembangkan kekuatan2 tersebut sehingga seseorang tetap berada dalam jhana ke-empat? Ataukah, apakah kekuatan2 demikian akan muncul sendirinya ketika seseorang berada dalam jhana ke-empat? Ini juga merupakan pertanyaan2 yang memerlukan solusi.
May u be happy.