//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Datang dan Percaya Vs Datang dan Melihat ?  (Read 2787 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Datang dan Percaya Vs Datang dan Melihat ?
« on: 27 June 2009, 04:57:13 PM »
Datang dan Percaya Vs Datang dan Melihat ?

SADDHIDHA VITTAM PURISASSA SETTHAM
Keyakinan merupakan kekayaan yang utama di dunia
(Samyuta Nikâya, Sagâhavagga)

Bhikkhu Abhayanando



Bukan hanya pada jaman modern seperti sekarang ini orang menawarkan kebenaran. Jaman Sang Buddha pun banyak guru spiritual yang menawarkan kebenaran dan semua guru spiritual itu menganggap ajarannya yang benar dan yang lain salah dan jika mengikuti ajarannya akan dijamin mendapatkan kebahagiaan. Kasus di atas membuat mereka yang mencari kebenaran menjadi bingung dan ragu, kebenaran mana yang benar dan mana yang salah. Keragu-raguan ini kadang membuat banyak orang terjerumus pada pandangan salah dan bahkan ada yang putus asa mencari kebenaran. Dalam Kalama Sutta ada kisah menarik yang dapat menjawab keragu-raguan pencari kebenaran. Untuk itu penulis akan memaparkan ringkasan kisah dalam Kalama Sutta.

Dalam Kalama Sutta Sang Buddha mengatakan,

"O, kaum Kalama! Jangan menerima apapun hanya karena tradisi. Jangan menerima apapun hanya karena desas-desus. Jangan menerima apapun hanya karena sesuai dengan kitab sucimu. Jangan menerima apapun hanya karena itu memiliki daya tarik pribadi bagimu. Jangan menerima apapun hanya karena sesuai dengan anggapanmu. Jangan menerima apapun hanya karena diucapkan oleh orang terkenal. Jangan menerima apa pun hanya karena diucapkan orang yang dihormati.

"O, kaum Kalama! Jika engkau mengetahui sendiri hal-hal ini tidak bermoral; hal-hal ini tidak pantas; hal-hal ini dicela oleh orang bijaksana; hal-hal ini jika dijalankan dan dilakukan, membawa kehancuran dan kesedihan, maka seharusnya kalian menolaknya.

"O, kaum Kalama! Jika engkau mengetahui sendiri hal-hal ini bermoral; hal-hal ini tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini jika dijalankan dan dilakukan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan, maka hiduplah sesuai dengannya."

Ini bukanlah kata-kata seorang rasionalis dari abad dua puluh di mana begitu banyak percakapan tentang rasionalisme. Kata-kata yang pantas diingat ini diucapkan lebih dari 2500 tahun yang lalu oleh Sang Buddha-Yang Telah Tercerahkan - pada sekelompok orang desa di lembah Gangga. Ini bisa dikatakan sebagai Magna Charta bagi kebebasan pikiran yang diberikan oleh Sang Buddha. Sejalan dengan sikap rasional, Sang Buddha memberikan ajaran-Nya kepada dunia. Sehubungan dengan sikap rasional, dapat dipertanyakan, "Adakah tempat keyakinan dalam agama Buddha?"

Hal ini sering dipertanyakan oleh banyak orang, apakah agama Buddha adalah suatu agama? Jawabannya; jika yang dianggap suatu agama adalah kepercayaan pada eksistensi Tuhan dalam sosok pribadi, kebenaran akan suatu wahyu, dan kemujaraban sakramen atau dogma-dogma tertentu, maka dalam sudut pandang tersebut, agama Buddha bukanlah suatu agama. Namun, jika agama merupakan cara hidup luhur, sistem etika, disiplin spiritual, maka dalam sudut pandang yang lebih luas itu tentu saja agama Buddha merupakan suatu agama.

Hal yang sama dapat dikatakan mengenai keyakinan. Keyakinan sangat erat hubungannya dengan agama sehingga istilah keyakinan sendiri kadang dianggap sinonim dengan agama. Maka dapat dikatakan bahwa seperti halnya agama Buddha bukan dianggap agama dalam pengertian lain, demikian juga agama Buddha merupakan suatu keyakinan dalam suatu pengertian tetapi bukan merupakan keyakinan dalam pengertian lainnya. Dengan kata lain keyakinan mempunyai tempat dalam agama Buddha.

Pandangan agama Buddha memang sangat lain, umat Buddha diberi kebebasan untuk menyelidiki kebenaran yang akan dijadikan pedoman hidup. Bukan berarti dianjurkan untuk tidak percaya sama sekali dengan kebenaran yang ada tetapi lebih menekankan untuk melihat kebenaran secara obyektif sehingga hasilnya betul-betul membawa kemajuan batin bukan malah membawa kemerosotan. Dengan demikian kita menjadi lebih mantap mengikuti kebenaran itu dan tidak ada keragu-raguan lagi.

Keragu-raguan (Vicikicchâ) salah satu dari lima penghalang untuk mendapatkan pengertian yang terang tentang kesunyataan dan menjadi rintangan bagi kemajuan batiniah seseorang. Tetapi keragu-raguan bukan merupakan dosa, karena pada hakekatnya agama Buddha tidak mengenal dosa seperti yang dimaksud agama-agama lain. Menurut agama Buddha akar semua kejahatan ialah avijjâ (ketidaktahuan, kegelapan batin) dan micchâditthi (pandangan keliru).

Memang tidak dapat disangkal bahwa apabila masih ada keragu-raguan dan kebimbangan, tidaklah mungkin orang mendapatkan kemajuan. Tetapi tak dapat disangkal pula bahwa keragu-raguan itu justru diperlukan agar orang mau menyelidiki sesuatu untuk mendapatkan pengertian yang baik dan dapat melihat sesuatu dengan baik dan terang. Namun, untuk memperoleh kemajuan, mutlak diperlukan untuk menyingkirkan keragu-raguan sampai ke akarnya, sebab hanya dengan disingkirkannya keragu-raguan orang dapat melihat sesuatu persoalan dengan terang dan jelas.

Sebenarnya yang menjadi persoalan bukanlah apakah orang ragu-ragu atau percaya. Sebab dengan mengatakan, "Aku percaya" bukanlah berarti, bahwa kita sudah mengerti, atau sudah dapat melihat suatu persoalan dengan terang dan jelas. Untuk melihat kebenaran, pencari kebenaran seharusnya datang dan melihat dengan jelas kebenaran itu dan baru akan mendapatkan pemahaman tentang kebenaran .

Dalam Majjhima Nikâya 140, Dhatuvibhañga Sutta dibahas tentang bagaimana seseorang mencari kebenaran.

Pada suatu malam Sang Buddha bermalam di suatu pondok seorang pembuat guci tanah liat. Dalam pondok itu ada seorang pertapa muda bernama Pukkhusati yang telah lebih dulu datang ke tempat itu. Mereka tidak saling mengenal. Sang Buddha mengamat-amati pemuda itu dan berpikir, "Pertapa muda ini memiliki pembawaan yang menyenangkan sekali. Alangkah baiknya kalau Aku bicara satu dua patah kata dengan orang ini."

Sang Buddha kemudian bertanya, "Saudara-Ku, untuk apakah kamu meninggalkan rumahmu dan siapakah nama gurumu atau ajaran siapakah yang kamu anut?"

Pertapa muda itu menjawab, "Orang telah memberitahukan padaku tentang seorang pertapa bernama Gotama dari suku sakya yang menurut mereka telah mencapai kebijaksanaan sempurna. Beliau itulah yang membuat aku menjadi seorang pertapa dan Beliau juga yang menjadi Guruku dan aku menjunjung tinggi ajaran-Nya." "Tahukah Anda di mana Orang Bijaksana itu berada?"

"Aku dengar, bahwa Beliau sekarang berada di suatu tempat yang disebut Sâvatthi"

"Pernahkah Anda melihat Orang Bijaksana itu dan dapatkah Anda mengenal-Nya kalau sekiranya Anda bertemu dengan-Nya?"

"Sebenarnya aku belum pernah melihat Orang Bijaksana itu dan aku juga tidak dapat mengenalnya sekiranya aku bertemu dengannya."

Sang Buddha sekarang mengetahui bahwa pertapa muda itu sebenarnya menjadi pertapa karena menganut ajaran-Nya sendiri. Kemudian tanpa memperkenalkan diri, Sang Buddha lalu berkata "O, saudaraku, Aku akan memberimu suatu pelajaran. Dengar dan perhatikan baik-baik apa yang akan kukatakan."

"Baiklah, sahabat", jawab pertapa muda itu. Sesudah itu Sang Buddha menerangkan ajaran-Nya tentang Dhamma.

Akhirnya insaflah Pukkhusati bahwa orang yang sedang berbicara kepadanya adalah Sang Buddha sendiri. Lantas ia berdiri dan memberi hormat dengan berlutut di hadapan Sang Buddha sambil mohon ampun atas kekurangajarannya karena telah memanggil Sang Buddha dengan kata-kata 'sahabat', setelah itu ia juga memohon agar diterima sebagai murid. Namun, di tengah perjalanan untuk mencari perlengkapan menjadi bhikkhu, Pukkhusati diseruduk sapi dan akhirnya meninggal. Sang Buddha mengatakan bahwa Pukkhusati sudah mencapai tingkat Anagami.

Dari kisah ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa ketika Pukkhusati mendengarkan Sang Buddha menguraikan ajaran-Nya, ia tidak tahu siapa sebenarnya yang bicara kepadanya atau ajaran siapa yang telah dibabarkan kepadanya. Ia hanya melihat kebenaran hakiki. Kalau obat itu baik tentunya dapat menyembuhkan orang sakit dan tidaklah perlu kita harus mengetahui siapa yang membuatnya atau dari mana obat itu datang.

Hampir semua agama didasarkan atas "percaya" yang sewaktu-waktu menjurus ke arah sifat "percaya" yang membuta. Tetapi agama Buddha justru menekankan pada "melihat", "mengetahui" dan "memahami" yang oleh sementara orang diterjemahkan menjadi "percaya".

Tetapi, "Saddhâ" bukanlah berarti "percaya" seperti yang lazim dipahami orang; ia berarti suatu "keyakinan" yang timbul dari suatu yang "nyata." Dalam agama Buddha memang harus diakui bahwa menurut pengertian umum, istilah "Saddhâ" juga mencakup pengertian "percaya" di dalamnya yang dimaksudkan sebagai "bakti" terhadap Tiratana; Buddha, Dhamma dan Sangha.

Sebenarnya pengertian Saddhâ itu sendiri seperti apa? Tidak mungkin bagi kita untuk hidup sesaat pun dengan apa yang bisa disebut keraguan universal. Ini tidak berarti kita harus memiliki keyakinan yang buta dalam suatu hal. Jika seorang murid tidak punya keyakinan terhadap gurunya, sulit baginya untuk menerima pelajaran dari guru itu. Oleh sebab itu, ia harus cukup pandai untuk membedakan mana guru yang baik dan mana guru yang tidak baik. Demikian juga, jika seseorang pasien tidak memiliki keyakinan terhadap dokternya,dia tidak dapat menerima manfaat pengobatan. Maka pasien itu harus cukup pandai untuk membedakan mana dokter yang asli dan mana dokter yang palsu.

Semangat menyelidiki ditekankan sekali dalam agama Buddha, sehingga kita mendapatkan sesuatu yang betul-betul baik. Jika mudah percaya begitu saja tidak membawa kemajuan bahkan nanti menjadikan batin diri kita merosot. Karena itu Sang Buddha menasihati kita untuk tidak menjadi korban skeptisisme atau mudah percaya. Kita harus tetap mempertahankan pikiran menyelidik untuk mencari kebenaran. Beliau mengajarkan kita untuk mengembangkan Pariyesanâ atau semangat menyelidik, dan pencaharian Beliau mencari kebenaran disebut Aryapariyesanâ atau Pencaharian Yang Agung. Untuk hal ini kita harus memiliki keyakinan yang merupakan keyakinan yang rasional, bukan keyakinan buta. Keyakinanlah yang memberikan kita dorongan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan yang kita canangkan.

Dalam bahasa Pâli, apa yang disebut keyakinan buta dikenal sebagai Okappana Saddhâ. Ini merupakan keyakinan orang biasa yang terbentuk dari desas-desus atau dari rasa hormat terhadap suatu tradisi yang sudah lama dihargai. Ini merupakan keyakinan profesional yang dihubungkan dengan kepercayaan semata. Sebaliknya, keyakinan rasional terlahir dari penghargaan, atau Pasaddha dalam bahasa Pâlinya. Ketika kita mengetahui nilai suatu hal, kita menghargainya. Maka dengan sendirinya keyakinan muncul.

Ada dua sifat utama dari keyakinan yang rasional. Salah satunya adalah Sampahansannalakkhana atau sifat ketenangan. Sesuai dengan kekuatan keyakinan itu, gangguan mental mereda dan ketenangan dicapai. Sifat lainnya adalah Sampakhanadalakkhana yang berarti melompat ke atas atau beraspirasi untuk mencapai apa yang belum dicapai. Hanya jika pikiran dalam keadaan seperti inilah energi dapat dilepaskan dan usaha dapat dikerahkan untuk mencapai apa yang belum dicapai sejauh ini. Jadi penting sekali memiliki Saddhâ atau keyakinan semacam ini di dalam agama Buddha.


Menurut Asañga, seorang pujanga Buddhis yang terkemuka pada abad ke-4 Masehi, "Saddhâ" mengandung tiga unsur, yaitu:

1. Keyakinan yang kuat akan sesuatu
2. Kegembiraan yang dalam akan sifat-sifat yang baik
3. Harapan untuk memperoleh sesuatu di kemudian hari

Dapat disimpulkan dari tiga unsur Saddhâ di atas pengertian "percaya" tidak ada. Persoalan "percaya" akan timbul apabila kita tidak dapat melihat sesuatu dengan jelas dan terang, jika kita dapat melihat sesuatu dengan jelas dan terang maka "percaya " itu tidak ada lagi. Seorang siswa Sang Buddha bernama Musila pernah berkata kepada seorang bhikkhu lain, "Saudara Savitha, tanpa bakti atau percaya, tanpa suka atau melekat, tanpa hanya dapat mendengar dari orang lain atau tradisi, tanpa mempertimbangkan sebab-sebab yang nyata, tanpa kegembiraan dalam menerka-nerka pendapat, aku tahu dan melihat bahwa Nibbâna itu akhir dari lingkaran tumimbal lahir."

Sang Buddha pernah bersabda, "O, bhikkhu, telah Aku katakan bahwa pemusnahan kekotoran batin dan noda-noda hanya dapat dilakukan oleh orang yang 'tahu' dan 'dapat melihat' dan bukan oleh orang yang 'tidak tahu' dan 'tidak dapat melihat'. Persoalannya selalu adalah 'tahu' dan 'melihat' dan bukan 'percaya'. " Ajaran Sang Buddha juga dikenal sebagai Ehipassiko, yaitu mengundang untuk "datang dan melihat" dan bukan untuk "datang dan percaya."

Jadi jelas usaha untuk pemahaman dan penghayatan adalah proses-proses yang dengan sendirinya memakan waktu. Fakta harus dikumpulkan, disusun secara benar, dipertimbangkan dan mungkin ditata kembali secara teliti untuk menjadi fakta baru, yang tentunya tidak dengan cara tergesa-gesa. Kadang-kadang orang tertentu ingin mengalihkan keagamaan kita, mencoba secepatnya agar kita dapat menerima ajaran agamanya tanpa penelitian mendalam dan pemikiran terlebih dahulu. Mereka melakukan karena gairah yang berlebihan dan keyakinan mereka, tapi juga karena mereka berharap dapat mengalahkan kesetiaan pada keyakinan kita, sebelum kita sempat menemukan semua fakta, fakta yang diperkirakan menjadi kelemahan dari agamanya sendiri. Bagaimanapun juga, membuat keputusan secara terburu-buru adalah suatu kesalahan. Sang Buddha dalam riwayat hidupnya tidak pernah mendesak orang untuk secepatnya menerima ajaran-Nya. Beliau malahan menganjurkan untuk tidak tergesa-gesa menerima ajaran-Nya, Beliau berpendapat bahwa jika seseorang yang dihadapi-Nya menerima Dhamma hanya karena gairah berlebihan, bukan didasarkan pada pemikiran yang matang. Sekali waktu, setelah diskusi yang lama, seorang tokoh yang bernama Upali berharap agar dapat diterima menjadi siswa oleh Sang Buddha, tetapi justru sang Buddha berkata kepadanya, "Upali, telitilah secara mendalam terlebih dahulu. Penelitian yang mendalam sangat baik bagi orang terkenal seperti dirimu."

Sewaktu-waktu dalam kehidupan Sang Buddha, ada kelompok bhikkhu yang mulai mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan Dhamma. Umat awam dan siswa-siswa menjadi bingung, dan ketika mereka mempertanyakan hal ini kepada Sang Buddha, Beliau memberikan jawaban yang sekaligus menunjukkan keyakinan-Nya. Akhirnya umat awam dan siswa-siswa dapat memahaminya. Beliau berkata kepada mereka, "Hendaknya engkau mendengarkan 'Dhamma' dari dua belah pihak, simaklah 'Dhamma' dari kedua belah pihak; lalu pilihlah pandangan, pihak ajakan dan ajaran dari Dhamma dari dia yang benar mengucapkan Dhamma"

Beliau tidak menekankan "siapa yang harus dipercaya", tetapi Beliau menyarankan agar mereka mendengarkan dulu kedua pendangan yang berbeda itu, mempertimbangkannya secara hati-hati dan terakhir baru menarik kesimpulan sendiri. Demikian pula hendaknya, kita dalam mencari kebenaran.

Walaupun kita telah berhasil membentuk keyakinan kita, namun sangatlah penting, bahwa kita meyakininya dengan luwes, dengan cara membiarkan pikiran kita tetap terbuka. Banyak orang berpendapat bahwa mereka baru dapat membuktikan keyakinan pada agama sendiri, dengan cara mempertahankan keyakinan sendiri secara dogmatis dan menolak untuk mendengarkan pandangan yang lain. Dari pandangan Buddhis, pendapat ini adalah salah. Sebab setelah menerima ajaran tertentu, mereka tidak dapat lagi mempelajari sesuatu yang baru, mereka hanya melihat kepercayaannya dari sudut pandangan mereka sendiri, atau memperoleh nilai-nilai wawasan yang rendah melalui tafsiran-tafsiran belaka. Alhasil, dalam usaha mencari kebenaran, mereka sering kali terlibat pertengkaran-pertengkaran kecil dengan yang lainnya. Sang Buddha menceritakan suatu perumpamaan yang sangat menarik untuk melukiskan masalah ini:

Pada suatu saat, ada seorang raja di Savatthi. Dia memanggil pengawalnya dan berkata, "Ke sini pengawalku yang baik, pergi dan kumpulkanlah mereka yang buta sejak lahir di Savatthi ini, pada satu tempat." "Baik, tuanku," sahut pengawalnya, lalu dia melaksanakan titah rajanya. Setelah selesai dikumpulkan, raja berseru lagi kepadanya. "Sekarang, pengawalku yang baik, tunjukkan orang-orang buta ini seekor gajah."

"Baik, tuanku", kata pengawalnya, lalu melaksanakan lagi titah rajanya.

Dia mendekatkan salah satu dari orang-orang buta itu di kepala gajah, seorang di telinganya, seorang di gadingnya, seorang di belalainya, seorang di kakinya, seorang di punggungnya, dan seorang lagi di ekornya. Lalu pengawalnya berseru, "Wahai, orang-orang buta, inilah yang disebut gajah." Setelah itu, sang pengawal menghadap raja kembali dan berkata, "Tuanku, gajah telah ditunjukkan kepada semua orang buta sesuai titah baginda."

"Sang raja kemudian menghampiri orang-orang buta tersebut dan berkata, "Wahai, orang-orang buta, sudahkah engkau tahu bagaimana gajah itu?" "Ya, tuanku, kita telah mengetahuinya," kata mereka. "Bila demikian, bagaimana yang disebut gajah. "Orang buta yang memegang kepala gajah berkata, "Gajah menyerupai tempayan." Yang memegang telinga berkata, "Gajah menyerupai kipas." Demikian seterusnya, mereka mengatakan gading seperti ujung bajak, belalai seperti pegangan bajak, badan gajah seperti lumbung padi, kaki seperti tiang, bokong seperti lesung dan ekor seperti alunya. Mereka mulai bertengkar, berteriak, "Ya, begitu!" Mereka kemudian berkelahi, dan raja malah menikmati apa yang dilihatnya.

Makna dari perumpamaan ini sangatlah jelas. Mereka yang menarik kesimpulan dengan tergesa-gesa, tanpa menelitinya dari segala sudut, adalah sama halnya mendapat sebagian sudut pandang dari suatu kebenaran, dan bila dia menutup mata batinnya dan tergantung pada pandangannya saja secara dogmatis, kecil kemungkinan mereka untuk mengerti sesuatu secara lengkap.

Pandangan atau pendapat tentang kebenaran tak ubahnya sebuah bayangan cermin seseorang. Pandangan atau pendapat itu bayangan cerminnya sedangkan kebenaran adalah orang itu sendiri. Pandangan mewakili kenyataan, namun bukanlah kenyataan itu sendiri. Bila kita senatiasa mengingat ini dalam batin, pandangan dapat menunjukan kita ke arah kebenaran, dan bila kita tetap berusaha maju, kita akan secara bertahap melepaskan pandangan itu dan mengantikannya dengan penghayatan langsung.

Dari semua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa agama Buddha lebih menekankan "datang untuk melihat" daripada sekedar "datang dan percaya." Menguji sebuah kebenaran akan mendapatkan keyakinan yang mantap karena berdasarkan pengertian atau pemahaman langsung. Keyakinan seperti inilah yang banyak membawa manfaat bagi kemajuan batin kita. Sebaliknya kalau kita hanya sekedar mempercayai sesuatu tanpa berdasarkan pengalaman langsung maka justru akan membuat keyakinan kita membuta sehingga akan berpendapat keyakinan lain yang tidak sama adalah tidak benar. Hal seperti inilah yang nantinya akan menimbulkan konflik.

Dalam agama Buddha, Saddhâ merupakan suatu indriya dan bala (kekuatan). Sebagai suatu indriya, Saddhâ ada pada setiap orang normal, paling tidak dalam bentuk yang tidak aktif. Sama seperti sifat luhur yang lain, Saddhâ harus dikembangkan. Jika telah dikembangkan, Saddhâ akan menjadi kekuatan. Terutama Saddha, terasa manfaatnya dalam tahap-tahap kehidupan spiritual yang lebih tinggi. Kita seharusnya demikian dalam mencari kebenaran, bukan hanya sekedar "datang dan percaya" tetapi seharusnya kita "datang dan melihat". Dengan penyelidikan inilah kita akan mendapatkan Saddha yang kuat dan tidak membuta, tetapi dilandasi dengan pemahaman langsung.


Sumber:

Dhammasari, MP. Sumedha Widyadharma
Dasar Pandangan Agama Buddha, Ven. S. Dhammika
Pengabdian Tiada Henti, Sañgha Theravâda Indonesia

---artikel yg diambil dari saudara Singthung----


Quote
Sorry, mau quote malah ke modify
« Last Edit: 29 June 2009, 12:15:35 PM by ryu »
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Datang dan Percaya Vs Datang dan Melihat ?
« Reply #1 on: 29 June 2009, 09:33:03 AM »
Artikel yang bagus, terutama untuk yang belum mengenal Buddhisme.
Bagi yang sudah lama belajar Buddhisme, seharusnya yang dibahas adalah:

Datang, melihat, dan percaya VS datang, merasa sudah melihat, dan percaya.


Offline nyanadhana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.903
  • Reputasi: 77
  • Gender: Male
  • Kebenaran melampaui batas persepsi agama...
Re: Datang dan Percaya Vs Datang dan Melihat ?
« Reply #2 on: 29 June 2009, 10:12:42 AM »
Bhante Abhayanando dulu pernah jadi pembimbing gw dalam retreat...great to read his inspirations.
Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one’s own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Datang dan Percaya Vs Datang dan Melihat ?
« Reply #3 on: 29 June 2009, 12:14:24 PM »
Quote
Dasar Pandangan Agama Buddha, Ven. S. Dhammika
punya bukunya, mau baca online? di sini
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline markosprawira

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.449
  • Reputasi: 155
Re: Datang dan Percaya Vs Datang dan Melihat ?
« Reply #4 on: 29 June 2009, 12:28:08 PM »
kalo saya pribadi sih lebih cocok dengan istilah : DATANG dan BUKTIKAN

Kata ehipassiko berasal dari kata ehipassika yang terdiri dari 3 suku kata yaitu ehi, passa dan ika. Secara harafiah ”ehipassika” berarti datang dan lihat. Ehipassikadhamma merupakan sebuah undangan kepada siapa saja untuk datang, melihat serta membuktikan sendiri kebenaran yang ada dalam Dhamma.

dimana ini sebenarnya sesuai dengan isi dari Kalama Sutta itu sendiri yaitu

"Wahai, suku Kalama. Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kata orang, koleksi kitab suci, penalaran logis, penalaran lewat kesimpulan, perenungan tentang alasan, penerimaan pandangan setelah mempertimbangkannya , pembicara yang kelihatannya meyakinkan, atau karena kalian berpikir, `Petapa itu adalah guru kami. `Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri, `Hal-hal ini adalah bermanfaat, hal-hal ini tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan dan kebahagiaan` , maka sudah selayaknya kalian menerimanya.”
(Kalama Sutta; Anguttara Nikaya 3.65)