Copas..
Jembatan Harapan
Jembatan Harapan
Sore itu perasaan Gedok sedang sangat kelam. Sepulang dari kerja
ia langsung menyelonong masuk ke rumah dan berbaring di ranjangnya. Bagaimana
perasaannya tidak kelam, dia sedang menanggung hutang ratusan juta rupiah!?!
Setahun yang lalu dia meminjam uang kepada beberapa relasi
dekatnya. Bunga dari pinjaman tersebut dibayarkan setiap tiga bulan sekali.
Gedok menggunakan uang tersebut untuk membuka sebuah café. Bisnisnya berjalan
lancar sekali, pengunjung café tersebut semakin banyak dan dia terus menambah
fasilitas café-nya untuk menarik pengunjung lebih banyak lagi. “Saat ini uang
laba masih saya putar untuk mengembangkan café.” kata Gedok pada temannya yang
waktu itu bertanya mengapa Gedok tidak membeli mobil. Tapi tiba-tiba sebulan
yang lalu café itu terbakar habis. Ludes semua! Bahkan Gedok masih harus
membayar beberapa perabot yang baru saja diantarkan minggu sebelumnya.
Gedok panik dan takut tidak bisa membayar hutangnya pada
kerabatnya. “Tidak enak hati. Tapi saya harus katakan saya belum bisa membayar
hutang-hutang saya. Entah kapan bisa membayarnya, saya sama sekali tidak punya
uang!” panik Gedok dalam hati. Gedok adalah seorang karyawan di sebuah
perusahaan asing. Gajinya sedang-sedang saja, justru karena itulah ia membuka
bisnis café untuk meningkatkan taraf hidupnya. Tapi ternyata musibah kebakaran
itu terjadi. Rasa gundah tentang bagaimana caranya bisa membayar
hutang-hutangnya menghantui setiap menit hari-harinya. Menyiksa! Bahkan niatan
bunuh diri sempat terlintas di benaknya.
Dalam keadaan setengah tidur dan setengah sadar, Gedok merasakan
dirinya berada di sebuah pantai yag indah. “Sungguh, padahal saya waktu itu
sedang tidur-tiduran di ranjang saya!” cerita Gedok pada pacarnya. “Saya berdiri
membelakangi lautan yang sedang tenang di suasana sore hari yang teduh.
Tiba-tiba di hadapan saya berdiri banyak orang dalam formasi setengah lingkaran.
Mereka terlihat begitu damai dan berwibawa. Ada yang memakai jubah putih panjang
dengan jenggot dan rambut putih, ada yang memakai jas seperti seragam jenderal,
ada wanita yang seperti peri, pokoknya mereka terlihat seperti malaikat yang ada
di film-film! Dan mereka semua memandangi saya dengan senyum yang kalau kamu
lihat akan membuat kamu damai.” lanjut cerita Gedok pada pacarnya. Gedok
mengatakan seolah mereka sudah mengetahui permasalahan yang terjadi dalam hidup
Gedok. Kemudian mereka berkata pada Gedok sambil menunjuk ke arah kanan atas,
“Lihatlah ke lembah impian yang tercapai…” Lalu
Gedok melihat ke sisi kirinya, “Di atas lembah di sebelah kiri langsung muncul
gambaran film. Dan yang menjadi layarnya yang lebar itu adalah langit biru yang
teduh. Di film itu saya melihat saya sedang duduk di sebuah kantor. Mereka
berkata – “Itulah kamu sedang berada di kantor pribadi kamu. Kamu adalah pemilik
beberapa cabang café yang tersebar di seluruh kota.” – Saya bilang ke mereka
boro-boro saya menjadi pemilik perusahaan itu, toh sekarang saya sedang dililit
hutang dan tidak tahu kapan bisa membayarnya.” Kemudian para malaikat itu
menunjukkan gambar-gambar lainnya. “Lalu saya melihat kamu di layar itu. Kamu
sedang mengajar di hadapan para mahasiswa. Kamu terlihat sangat percaya diri dan
menguasai materi yang kamu bawakan. Setelah itu saya melihat gambar ayah yang
sedang mengawasi sebuah supermarket. Kemudian ada gambar ibu tapi tubuh ibu
terlihat begitu langsing dan dia sedang mengelola sebuah restoran.” Para
malaikat mengatakan, “Itulah masa depan kalian, impian
yang tercapai.” Gedok menjawab, “Tapi sekarang ayah saya hanya memiliki toko
sederhana. Tiap malam ia hanya menonton TV dan tertidur di sofa sampai acara TV
selesai. Ibu saya gemuk lagipula ia hanya ibu rumah tangga yang sekali-kali
membantu ayah di toko. Sedangkan saya saat ini sedang terlilit hutang, entah
bisa bangkit atau tidak. Mana mungkin itu adalah masa depan kami?”
Tiba-tiba muncul sebuah pijakan di depan Gedok diikuti siluet
jembatan melengkung yang mengarah ke lembah impian yang tercapai.
“Kebanyakan dari kalian tidak pernah melanjutkan hidup. Kallian hanya terpaku
di tempat. Atau bahkan kalian membuat jembatan ke arah yang berlawanan. Ayah dan
ibu kamu membangun jembatan ke arah yang berlawanan. Coba kamu renungkan apa
yang mereka selalu utarakan?” tanya salah seorang malaikat berjenggot putih pada
Gedok.
“Ayah sering bilang rejeki sudah dipatok dan mustahil dia menjadi kaya karena
orang tuanya dulu pun mengatakan hal yang sama.” Lalu muncul gambaran ayahnya di
samping Gedok dengan pijakan-pijakan jembatan yang mengarah ke arah sebaliknya.
“Kamu lihat kan, pikiran dan ucapan ayah kamu membuat jembatan ke arah yang
berlawanan? Begitu juga yang terjadi dengan ibumu, dia tidak pernah
mengembangkan potensinya. Makanya jembatan mereka mengantar mereka ke kehidupan
sekarang ini, bukan ke masa depan yang semestinya menjadi potensi mereka.
Sedangkan kamu hanya terpaku di tempatmu saja.”
“Bagaimana lagi? Saya sudah tidak tahu lagi harus ngapain. Sudah ludes semua!”
“Buatlah harapan. Harapan akan membuat kamu tetap hidup. Saat ini apa yang
paling kamu harapkan?”
“Saya hanya berharap saya bisa berbicara dengan baik-baik dengan kerabat saya
dan menegosiasikan perpanjangan waktu untuk membayar hutang-hutang saya.”
Tiba-tiba muncul sebuah pijakan di hadapan Gedok. “Apa ini?” tanya Gedok.
“Jembatan harapan mulai terbangun. Jembatan ini terbuat dari harapan. Dan
harapan akan membuat kamu tetap hidup.”
Kemudian Gedok terbangun dengan masih terngiang kata “Harapan akan membuat
kamu tetap hidup” di pikirannya. “Saya bermimpi, tapi mimpi itu nyata banget!”
kata Gedok menutup percakapannya dengan pacarnya.
Dalam hidup kadang kita dihadapkan pada situasi yang membuat kita depresi dan
sangat tertekan. Di saat seperti itu seolah tidak ada jalan keluar yang bisa
ditemukan. Maka kata bunuh diri bisa terngiang di pikiran dan terdengar menjadi
satu-satunya solusi.
Tapi ada satu hal yang perlu kita ingat, di hadapan kita selalu terdapat
berbagai potensi masa depan terbaik yang bisa kita capai dalam hidup ini. Jika
saya memprogresi para klien saya ke masa depan mereka, mereka akan melihat
potensi masa depan mereka begitu mengagumkan. Dan masa depan yang dimunculkan
oleh alam bawah sadar itu adalah masa depan yang sangat mungkin diraih karena
itu merupakan projection dari segala potensi/talenta yang ada di dalam diri
kita.
Ada sebuah cerita ilustrasi di mana seorang anak perempuan remaja selalu
melihat gambaran-gambaran yang tersorot dari dahi setiap orang. Anak perempuan
itu kemudian menanyakan hal tersebut pada mamanya, “Mom, apa sih
gambaran-gambaran yang selalu aku lihat di depan dahi setiap orang?” Jawab
mamanya, “Oh, itu adalah masa depan mereka yang tercipta dari pikiran, ucapan
dan tindakan mereka. Tapi nak, coba kamu lihat gambaran-gambaran yang ada di
atas kepala mereka. Itulah masa depan terbaik yang semestinya bisa mereka raih.
Kamu lihat di dahi pemuda itu tersorot dia akan meninggal akibat HIV/AIDS karena
kemarin dia baru saja berhubungan seksual dengan salah seorang wanita pengidap
HIV+ yang dia temui di pesta. Padahal kamu lihat, kan, di atas kepalanya ada
gambaran dia sedang memandang gedung pencakar langit miliknya yang dia namakan
sesuai namanya?”
Selalu ada potensi masa depan terbaik yang sedang terbentang di hadapan kita
yaitu di lembah impian yang tercapai. Dan impian itu bisa kita capai dengan
membangun jembatan harapan langkah demi langkah. Pacar saya, Gunawan, mengatakan
jembatan harapan itu adalah planning yang kita buat dalam meraih goal kita. Tapi
saya lebih suka menyebut jembatan itu adalah harapan-harapan yang kita buat
dimulai dari posisi kita sekarang sampai ke impian terindah kita. (Bisakah Anda
melihat perbedaan pola pikir kami? Gunawan adalah dominan otak kiri yang selalu
merasionalkan segala hal dan saya adalah dominan otak kanan yang selalu
mengikuti hati dan keindahan).
“Apa pun boleh hilang. Asal jangan hilang harapan”
(kata-kata ini saya kutip dari kartu nama seorang bhikkhu yang saya kagumi)
(dan saya menambahkan) karena harapan membuat kita tetap hidup.
www.nathaliainstitute.com