Ada beberapa poin yang perlu ditinjau di sini:
- Selama ini saya hanya menemukan kisah Sang Buddha 'mengancam' di Ambatha Sutta. Saya belum menemukan Sutta lain yang mengindikasikan hal yang sama. Maka, bisa disimpulkan bahwa "Sang Buddha tidak suka mengancam lawan diskusi-Nya", tapi "Sang Buddha pernah mengancam lawan diskusi-Nya".
Dalam Majjhima Nikaya 35, Cula Saccaka Sutta, Buddha juga mengatakan hal yang sama pada Saccaka Niganthaputta.
Dalam Digha Nikaya 24, Patika Sutta, Buddha juga mengatakan bahwa jika Patikaputta mempertahankan ide bahwa ia akan menantang Buddha dalam pertunjukan kekuatan bathin, kepalanya akan pecah.
yg saya tangkap, sudah jelas ia tidak akan menjawab pertanyaan tsb.
dengan "ancaman" pun, ia tidak menjawabnya.
saya lebih sehati dengan bro Virya yaitu menakut-nakuti, sehingga bukan mengenai ancam-mengancam atau hina-menghina. seperti penjelasan pada judul "Merendahkan Kesombongan".
Buddha tidak pernah menakut-nakuti, namun Buddha selalu memberitahu sebuah konsekwensi dari perbuatan yang tercela. Yang menakut-nakuti adalah Yakkha Vajirapani yang sengaja menampakkan diri dalam wujud menyeramkan dengan maksud agar jangan sampai orang bodoh itu kepalanya pecah tujuh betulan.
Yang penting dalam Sejarah di sutta .....
Tidak ada yang benar2 pecah kepalanya karna tidak menjawab pertanyaan Sang Buddha
Penting bagi yg baru belajar Buddhis
karna kedengarannya memang sadis
Jika suatu diskusi tidak menghasilkan manfaat, maka Buddha tidak akan berdiskusi. Biasa Buddha akan "menghindar". Maka jika suatu diskusi akan menyebabkan kepala seseorang pecah tujuh, tentu saja tidak akan dilayani oleh Buddha.
eit...jangan dulu dihapus.... ini menurut sutta ambattha :
#
Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ambattha : "Selanjutnya timbul pertanyaan lagi, Ambattha, suatu pertanyaan yang walaupun tidak diinginkan, engkau harus menjawabnya. Apabila engkau tidak memberikan jawaban yang jelas atau memberikan jawaban yang lain; atau engkau tetap diam atau pergi, maka kepalamu akan pecah berkeping-keping di tempat ini juga. Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha? Apakah engkau pernah mendengar, sewaktu para brahmana yang lanjut usianya atau para guru dari guru-gurumu yang berusia tua sedang bercakap-cakap bersama mengenai darimana asalnya suku Kanhayana dan siapa yang menjadi nenek moyang suku Kanhayana ?"
Setelah beliau berkata demikian, pemuda Ambattha tetap diam. Dan untuk kedua kalinya Sang Bhagava bertanya kepada pemuda Ambattha: "Bagaimanakah pendapatmu, Ambattha? Apakah engkau pernah mendengar, sewaktu para brahmana yang lanjut usianya atau para guru dari guru-gurumu yang berusia tua sedang bercakap-cakap bersama mengenai darimana asalnya suku Kanhayana dan siapakah yang menjadi nenek moyang suku Kanhayana ? Dan juga untuk kedua kalinya pemuda Ambattha tetap diam.
Kemudian Sang Bhagava berkata kepada Ambattha : "Engkau lebih baik menjawab pertanyaan itu sekarang, Ambattha. Ini bukan waktunya bagimu untuk tetap diam. Karena, Ambattha, siapapun juga yang tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Tathagata sampai ketiga kalinya; maka kepalanya akan pecah berkeping-keping di tempat itu juga."
Menurut Buddhisme tradisi India, kepala pecah tujuh bukanlah sesuatu yang luar biasa yang hanya berhubungan dengan seorang Buddha. Ketika seseorang melakukan sesuatu yang tercela (terutama pada makhluk yang mulia), kamma buruk tersebut bisa menyebabkan kepala seseorang pecah tujuh. Oleh karena itu, sebetulnya pernyataan "jika tidak menjawab sampai tiga kali jika ditanya oleh Tathagata mengenai dhamma, kepalamu akan pecah tujuh" tidak ada bedanya dengan "kalau tidak makan, maka kamu kelaparan".
Jadi dalam hal ini, tidak ada ancam-mengancam. Yang ada hanyalah mengingatkan akan konsekwensi sebuah perbuatan, kecuali kalau anda mengatakan bahwa "tidak makan = kelaparan" adalah sebuah ancaman.