//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pattidāna, Makanan Hantu, dan Transfer Kamma.  (Read 26575 times)

0 Members and 2 Guests are viewing this topic.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Pattidāna, Makanan Hantu, dan Transfer Kamma.
« on: 20 June 2019, 01:45:31 AM »
Pelimpahan jasa atau pattidāna/pariṇāmanā adalah ritual yang melibatkan perbuatan baik dilakukan atas nama leluhur dan keluarga yang telah meninggal dengan tujuan agar mereka mendapatkan kondisi yang lebih baik. Ritual ini cukup umum dijumpai dalam masyarakat Buddhis dan dalam Tradisi Theravada prinsip dan sumber teks yang digunakan sebagai dasar adalah Tirokudda Sutta (Kp7), Petavatthu (kitab ke 7 di KN ini memberikan aneka kisah kelahiran sebagai peta karena perbuatan yang tidak baik), Janussoni Sutta (AN10.177), beserta komentar dari sutta bersangkutan. Semua kisah dari sumber-sumber tersebut menggambarkan ritual yang dilakukan oleh kerabat dari orang yang meninggal dan dalam Janussoni Sutta terdapat pernyataan bahwa ritual tersebut hanya bermanfaat bagi mereka yang terlahir di alam peta, bukan lainnya. Komentar dari Petavatthu memberikan 4 kategori peta (Paramatthajotikā memberikan daftar lebih panjang yang intinya jenis peta bersesuaian dengan kamma buruk yang dilakukan) dan hanya jenis Paradattūpajīvīka (“hidup dari pemberian orang lain”) yang dapat menerima manfaat ritual pattidāna ini. Sebagian dari sumber-sumber tersebut mengisahkan bagaimana setelah ritual dilakukan, maka para kerabat yang telah meninggal tersebut mendapatkan kondisi yang lebih baik.

Permasalahan timbul di sini berkenaan dengan prinsip utama dari Buddhisme di mana kamma tidak dapat ‘dipindah-tangan’, seperti dalam kutipan yang terkenal bahwa setiap makhluk memiliki, mewarisi, terlahir dari, berhubungan dengan, dan terlindung oleh kammanya sendiri (AN 5.57; MN 135). Pattidāna terlihat seperti memindahkan kamma baik yang dilakukan oleh pelaku ritual kepada leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal, yang tidak melakukannya, sehingga terjadi kontradiksi.

Salah satu solusi yang dikemukakan adalah bahwa tidak ada transfer kamma di sini, namun sanak saudara yang telah meninggal tersebut diajak untuk ikut berbahagia atas kebaikan yang dilakukan atas nama mereka oleh kerabat yang masih hidup. Kebahagiaan simpatik atau muditā adalah juga bentuk kamma baik melalui pikiran (AN 5.36) dan buah dari perbuatan baik ini, yang dilakukan oleh kerabat yang telah meninggal itu sendiri, yang berbuah dan mengondisikan hal baik. Solusi ini menimbulkan permasalahan baru: mengapa muditā tersebut hanya bisa dilakukan oleh mereka yang terlahir di alam peta? Bukankah alam lebih tinggi, terutama Brahma yang utama dalam 4 Brahmavihārā justru (jauh sekali) lebih berpotensi dalam ber-muditā? Selain itu, mengapa perbuatan baik itu hanya bermanfaat bagi seorang yang berhubungan keluarga? Bagaimana jika dilakukan oleh anak angkat atau mereka yang berbudi namun tidak berhubungan darah?



Solusi lainnya adalah bahwa ritual Pattidāna ini bukan merupakan transfer kamma, juga bukan ajakan muditā, namun sebuah ritual untuk mengondisikan kamma baik dari kerabat yang telah meninggal berbuah. Namun ini juga tidak menjawab permasalahan eksklusifitas alam peta dan hubungan keluarga dalam melakukan ritual di samping menimbulkan pertanyaan lain: apakah ada ritual yang dapat memanipulasi kamma agar lebih cepat (atau mungkin menghambat) berbuah? Apakah Buddha ada mengajarkannya? Bukankah dalam Devadaha Sutta (MN 101) Buddha mengkritik para Nigaṇṭha yang dikisahkan dalam sutta melakukan ritual penyiksaan-diri untuk mengondisikan kamma buruk mereka berbuah, sementara mereka sendiri tidak tahu apa perbuatan mereka di masa lampau, dan perbuatan apa mematangkan kamma yang mana? 

Berdasarkan pengalaman pribadi, diskusi dan argumentasi topik ini biasanya buntu atau berkembang terlalu luas, dan akhirnya kembali pada Acinteyya Sutta (AN 4.77). Dan selesailah diskusi. Namun menurut saya, sebenarnya permasalahan ini tidak terlalu rumit jika saja pemahaman teks menggunakan konteks yang sesuai: latar belakang budaya, tempat, waktu, kepada siapa teks ditujukan.


Janussoni Sutta biasa dikutip untuk menguatkan konsep pattidāna hanya berlaku untuk alam peta, namun apakah benar sutta tersebut membahas pattidāna atau hal lain?

“Dānāni dema, saddhāni karoma – ‘idaṃ dānaṃ petānaṃ ñātisālohitānaṃ upakappatu, idaṃ dānaṃ petā ñātisālohitā paribhuñjantū’ti. Kacci taṃ, bho gotama, dānaṃ petānaṃ ñātisālohitānaṃ upakappati; kacci te petā ñātisālohitā taṃ dānaṃ paribhuñjantī”

“Memberikan dana, menjalankan saddhā – ‘semoga pemberian ini bermanfaat bagi kerabat yang telah pergi, semoga pemberian ini dinikmati oleh kerabat yang telah pergi.’ Seberapakah, Gotama yang baik, pemberian ini bermanfaat ... dinikmati oleh kerabat yang telah pergi?”


Saddhā atau keyakinan adalah istilah familiar bagi umat Buddhis, namun di sini merujuk pada ritual yang dilakukan untuk orang meninggal. Istilah “peta” dalam kosmologi Buddhis adalah makhluk penghuni petaloka, sebuah alam sengsara akibat dari kamma buruk yang dilakukannya, namun bagi umat Hindu adalah hal yang berbeda.

Antyeshti – ritual kremasi dilaksanakan dalam sehari setelah kematian. Setelah jasad hancur, maka orang yang meninggal dianggap memiliki tubuh ‘halus’ tersusun atas unsur angin (vayu) dan ruang (akasha), dan kondisi ini yang disebut peta/preta (“yang telah pergi”). Kemudian prosesi saddha/śrāddha dilakukan oleh sanak-saudara: anak lelaki sulung, atau jika memiliki lebih dari satu anak lelaki yang tinggal terpisah, semuanya wajib melakukannya. Jika tidak memiliki anak lelaki, maka kakak atau adik lelaki, menantu lelaki, atau cucu lelaki yang cukup umur dapat melakukannya, dan seterusnya sesuai aturan yang berlaku. Selama 10 hari pertama dibuat bola nasi pinda yang adalah pembentuk tubuh bagi peta. Pada hari ke sebelas, dilakukan ritual dana makanan bagi para leluhur dan peta, juga secara simbolis diwakili sebelas Brahmana khusus. Pada hari ke duabelas, dilakukan ritual sapiṇḍikaraṇa yang melambangkan bersatunya peta dengan para leluhur (pitr) dan merupakan lengkapnya ritual. Kesalahan ritual ini dianggap menyebabkan gagalnya transformasi peta menjadi pitr dan sebagai akibatnya akan mengembara tak menentu sebagai hantu. (Ini adalah proses umum, namun jumlah hari dan tata cara pelaksanaan bervariasi tergantung banyak hal seperti waktu meninggal, siapa yang meninggal, penyebabnya, kastanya, dan lain-lain.) Ritual inilah yang dimaksud dengan saddhā dalam Janussoni Sutta. (Salah satu kondisi untuk memperoleh kekayaan dalam  AN 5.41 adalah melakukan persembahan (bali) menggunakan kekayaan yang diperoleh dengan benar kepada 'ñāti, atithi, pubbapeta, rāja, devatā', 'sanak saudara, tamu/orang asing, yang telah meninggal, raja, dewa', yang juga mengindikasikan pemberian fisik, bukan bentuk 'transfer'.) 

Konsep tumimbal lahir yang dikemukakan Buddha berbeda dan tidak mengalami fase peta tersebut, melainkan terlahir kembali langsung sesuai alam tujuannya masing-masing. Namun demikian, dinyatakan bahwa ketika seseorang terlahir sebagai peta, maka ia dapat menerima dan menikmati dana tersebut. Tidak ada apapun di sini yang mengindikasikan transfer kamma, muditā, atau manipulasi kamma baik. Di sini makhluk peta secara langsung menerima makanan yang diberikan, yang juga sesuai dengan Tirokudda Sutta di mana pemberian diberikan kepada peta: “Adāsi me akāsi me, ñātimittā sakhā ca me;Petānaṃ dakkhiṇaṃ dajjā, pubbe katamanussaraṃ.”

Spoiler: ShowHide
[Kv 7.6 mencatat perbedaan penafsiran pemberian kepada peta ini. KvA dan Paramatthajotikā merincikan sekte Rājagiriya dan Siddhatthika berpendapat bahwa pemberian diberikan kepada sangha dan manfaatnya adalah menyokong kehidupan peta. Sekte (proto-)Theravāda membantah dan menjelaskan pemberian kepada peta adalah dengan menyajikan langsung untuk dimanfaatkan peta, bukan untuk sangha, mirip dengan śrāddha. Suatu hal yang menarik mengingat ritual yang dilaksanakan sekarang lebih condong pada pendapat non-Theravāda.]


Kisah-kisah dalam Petavatthu memiliki pola yang hampir sama: seorang yang berkelakuan buruk meninggal dan terlahir dalam kondisi buruk sebagai peta. Kemudian ia muncul di hadapan kerabatnya dan menjelaskan secara spesifik bagaimana perbuatan buruknya di masa lampau mengakibatkannya terlahir dalam kondisi demikian. Sebagian dari kisah tersebut berlanjut dengan pola menasihati kerabatnya untuk melakukan perbuatan baik, khususnya ke sangha, yang kemudian dilaksanakan, mengakibatkan peta tersebut terlahir kembali di alam baik, muncul kembali di hadapan kerabat yang sama dan menceritakan bagaimana perbuatan baik tersebut membebaskannya dari kondisi buruk sebelumnya dan mencapai kondisi baik.

Pola ritual di Petavatthu memiliki kemiripan dengan pattidāna yang kita kenal karena sama-sama melibatkan sangha sebagai penerima dana, bukan merupakan pemberian langsung ke peta. Perbedaan utamanya adalah pencetus dana bukanlah oleh kerabat yang masih hidup, namun peta itu sendiri. Karena niat baik itu memang muncul dari si peta, maka ia sendiri melakukan kamma baik dan ketika perbuatan baik itu terpenuhi, maka kamma baiknya juga menjadi lengkap. Tidak terlihat pola transfer kamma di sini.

Buddhisme berkembang di masyarakat di mana pelaksanaan ritual untuk membantu keluarga yang meninggal adalah sebuah bakti, suatu keharusan. Tidaklah mengherankan jika Buddhisme juga mengadopsi ritual tersebut, yang tentu saja dengan penyesuaian doktrin, untuk menjadi substitusi bagi kebutuhan umat dalam budaya tersebut, sementara masih terlihat sifat-sifat warisan pendahulunya. Prasyarat hubungan keluarga pelaku ritual masuk akal jika dilihat sebagai warisan dari peraturan Veda, sementara tidak relevan dalam konsep Buddhisme. Pelaksanaan ritual yang segera bagi kerabat yang meninggal juga merupakan kewajaran dibanding menunggu yang bersangkutan muncul sebagai peta seperti dalam Petavatthu. Konsekwensinya, inisiatif ritual dari kerabat yang masih hidup tanpa niat dari si peta membuatnya terlihat seperti ritual transfer kamma.

Berdasarkan pertimbangan di atas, tampaknya ‘problem’ dalam konsep pattidāna ini lebih condong pada alasan tradisi dan budaya praktis ketimbang ‘perubahan’ doktrin, yang sebenarnya menjadi tidak masalah ketika dilihat lewat perspektif berbeda.
« Last Edit: 26 May 2020, 02:17:35 PM by K.K. »

Offline Sostradanie

  • Sebelumnya: sriyeklina
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.375
  • Reputasi: 42
Re: Pattidāna, Makanan Hantu, dan Transfer Kamma.
« Reply #1 on: 22 June 2019, 08:18:20 PM »
Pola ritual di Petavatthu memiliki kemiripan dengan pattidāna yang kita kenal karena sama-sama melibatkan sangha sebagai penerima dana, bukan merupakan pemberian langsung ke peta. Perbedaan utamanya adalah pencetus dana bukanlah oleh kerabat yang masih hidup, namunpeta itu sendiri. Karena niat baik itu memang muncul dari si peta, maka ia sendiri melakukan kamma baik dan ketika perbuatan baik itu terpenuhi, maka kamma baiknya juga menjadi lengkap.

Ilmu bedah dari mana itu bro? Manusia yang di bedah dan ditonton atau alam peta yang membedah anda. Untuk alasan manusia bisa memakai alasan salah mengetik karena sedang trrinspirasi wahyu2 iI
PEMUSNAHAN BAIK ADANYA (2019)

Offline Sostradanie

  • Sebelumnya: sriyeklina
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.375
  • Reputasi: 42
Re: Pattidāna, Makanan Hantu, dan Transfer Kamma.
« Reply #2 on: 22 June 2019, 08:25:29 PM »

Sumber daya

Agama BuddhaHinduismeJainismeSejarah IndiaShaivismeVaishnavismeShaktismePancaratraTheravadaMahayanaBuddhisme TibetArthashastraAyurvedaChandasDhanurvedaDharmashastraItihasaJyotishaKathaKavyaMimamsaNatyashastraNyayaPuranaRasashastraSamkhyaShikshaShilpashastraVaisheshikaVastushastraVedantaVyakaranaYogaSansekertaPaliMarathiKoshaSubhashitaBerbagai tradisiSemua glosarium

Yakkha Samyutta, alias : Yakkha-saṃyutta; 2 Definisi

pengantar

pengantarDalam agama BuddhaTheravadaBahasaPaliDefinisi yang relevanTeks yang relevanKomentar

Yakkha Samyutta berarti sesuatu dalam agama Buddha , Pali. Jika Anda ingin mengetahui arti sebenarnya, sejarah, etimologi, atau terjemahan bahasa Inggris dari istilah ini, lihat deskripsi di halaman ini. Tambahkan komentar atau referensi Anda ke buku jika Anda ingin berkontribusi pada artikel ringkasan ini.

Dalam agama BuddhaTheravada (cabang utama agama Buddha)

Theravada > glosarium [y]

[Yakkha Samyutta dalam daftar istilah Theravada]

«Sebelumnya · selanjutnya»

Bab kesepuluh Samyutta Nikaya. Si206ff.

(Sumber) : Pali Kanon: Pali Proper Namesinformasi konteks

Theravāda adalah cabang utama agama Buddha yang memiliki kanon Pali ( tipitaka ) sebagai literatur kanonik mereka, yang meliputi vinaya-pitaka (aturan-aturan biara), sutta-pitaka (khotbah-khotbah Buddhis) dan abhidhamma-pitaka (filsafat dan psikologi).

Temukan arti yakkha samyutta dalam konteks Theravada dari buku-buku yang relevan tentang Exotic India

Bahasa India dan luar negeriKamus Bahasa Pali-Bahasa Inggris

Pali > glosarium [y]

[Yakkha Samyutta dalam daftar istilah Pali]

«Sebelumnya · selanjutnya»

Yakkha, (Veda yakṣa, sinar cahaya yang cepat, tetapi juga "hantu"; fr. Yaks bergerak cepat; mungkin: makhluk yang gesit, mengubah tempat tinggal mereka dengan cepat dan sesuka hati. — Etika Pali Komentator yang populer (populer) adalah y ... sebagai quâsi grd. dari yaj , untuk berkorban, dengan demikian: suatu makhluk kepada siapa suatu pengorbanan (penebusan atau pendamaian) diberikan. Lihat misalnya VvA. 224: yajanti tattha baliṃ upaharantī ti yakkhā; atau VvA. ti vuccati. — Istilah yakṣa sebagai pelayan Kubera sudah ada dalam Upanishad.) 1. nama makhluk non-manusia tertentu, seperti roh, raksasa, dryad, hantu, hantu. Julukan dan kategori mereka yang biasa adalah amanussa , yaitu bukan manusia (tetapi juga bukan dewa yang agung); seorang yang setengah didewakan dan memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi orang (sebagian membantu, sebagian lagi menyakiti). Mereka berkisar penampilan tepat di atas Petas;banyak Petas yang "sukses" atau bahagia sebenarnya adalah Yakkhas (lihat juga di bawah). Mereka sesuai dengan "genii" atau peri dongeng kami dan menunjukkan semua kualitas mereka. Dalam banyak hal mereka bersesuaian dengan Veda Piśācas, meskipun berbeda dalam banyak hal lain, dan berbeda. asal. Secara historis mereka adalah sisa-sisa dari demonologi kuno dan minat cerita rakyat yang cukup besar, karena di dalamnya keyakinan animistik lama tergabung dan ketika mereka mewakili makhluk liar dan hutan, beberapa dari mereka berdasarkan fitur etnologi. Lihat istilah misalnya Dial.III, 188; tentang sejarah dan identitas mereka Stede, Gespenstergeschichten des Peta Vatthu chap. v .; hlm. 39-44. — Mereka kadang-kadang disebut devata : S. I, 205; ataudevaputtā : PvA. 113, 139. Yakkha betina disebut yakkhinī(qv).

2. Kapasitas mereka yang biasa adalah kebaikan kepada pria (cp. Ger. Rūbezahl). Mereka juga tertarik pada kesejahteraan spiritual manusia yang dengannya mereka berhubungan, dan adalah sesuatu seperti "genus pengajar" atau bahkan "malaikat" ( yaitu utusan dari dunia lain) yang akan menyelamatkan calon orang berdosa dari melakukan kejahatan (cp. Pv IV. 1). Mereka juga bertindak sebagai panduan dalam "inferno": Pv IV. 11, cp. IV. 3. "Mentor" yang agak berbahaya diwakili di D. I, 95, di mana y. Vajirapāṇī mengancam akan membunuh Ambaṭṭha ​​dengan palu besi, jika dia tidak menjawab Bhagavā. Dia digambarkan melayang-layang di udara; Bdhgh. (DA. I, 264) mengatakan tentang ini: na yo vā so vā yakkho, Sakko devarājā ti veditabbo: harus dipahami bukan seperti ini atau itu y. tetapi sebagai Sakka raja deva. — Seluruh kota berdiri di bawah perlindungan, atau dihuni oleh yakkha; D. II, 147 (ākiṇṇa-yakkha penuh dengan y.; Dengan demikian Āḷakamandā di sini mungkin berarti semua jenis makhluk supra-duniawi), cp. Lankā (Ceylon) seperti yang dihuni oleh y. : Mhvs 7, 33. — Namun, sering kali mereka kejam dan berbahaya. Yakkha betina tampaknya secara keseluruhan lebih menakutkan dan lebih jahat daripada laki-laki (lihat di bawah yakkhinī). Mereka memakan daging dan darah: J. IV, 549; melahap laki-laki genap: D. II, 346; J. II, 15-17, atau mayat: J. I, 265; disebutkan di bawah 5 ādīnavā (bahaya) di A. III, 256. Seorang yakkha ingin membunuh Sāriputta: Ud. 4.

3. Var. kelas y. enum d at D. II, 256, 257; dalam urutan progresif mereka peringkat antara manussa dan gandhabba diA. II, 38; mereka disebutkan dengan para dewa, rakkhasas, dānava, gandhabba, kinnaras, dan mah'oragas di J.V, 420. Menurut VvA. 333 Sakka, 4 raja besar (lokapālā), pengikut Vessavaṇa (alias Yama, yakkhas) dan orang - orang (lihat di bawah 7) menggunakan nama yakkha. — Sakka, raja para deva, sering disebut yakkha : J. IV, 4; DA. I, 264. Beberapa adalah roh pohon (rukkha-devatā): J. III, 309 345; Pv. Saya, 9;II, 9; PvA. 5; juga disebut bhumma-devā (dewa duniawi) PvA.45, 55. Kultus mereka tampaknya terutama berasal dari hutan (dengan demikian di pohon-pohon: Pv. II, 9; IV, 3), dan yang kedua dari legenda para pedagang penjelajah laut (cp. Kisah orang Belanda yang terbang). Sampai titik akhir disebutkandeskripsi asli Vimāna atau istana-peri, yang disebabkan oleh semacam fatamorgana. Ini biasanya ditemukan di atau di laut, atau di lingkungan danau yang sunyi, di mana rasa angker telah menimbulkan ketakutan akan setan atau ilmu gaib. Cp. pintu masuk ke Vimāna melalui dasar sungai yang mengering ( Pv. I, 9; II, 12) dan banyak deskripsi tentang Vimāna di distrik-distrik Lake di Himavant di Vv. (Lihat Stede, Peta Vatthu trsl n hal. 104 sq.)

4. Nama mereka juga memberi kita petunjuk tentang asal dan fungsinya. Ini diambil dari (a) penampilan tubuh mereka, yang memiliki banyak atribut Petas, misalnya Khara "Kulit kasar" atau "Shaggy" Sn. hal. 48 (= khara-samphassaṃ cammaṃ SnA 302), juga sebagai Vism Khara-loma “Rough-hair” . 208;Khara-dāṭhika “ Gigi kasar” J. I, 31. Citta “Speckled” Mhvs 9, 22; 10, 4; juga sebagai Citta-rājā J. II, 372; Mhvs 10, 84. Silesa-loma "Rambut-lengket" J. I, 273. Sūci-loma "Needlehair" Sn.hal. 47, 48; S. I, 207; Vism. 208; SnA 302.— (b) tempat-tempat penghunian, atribut dari ranah mereka, hewan dan tumbuhan, misalnya Ajakalāpaka “Kambing-bundel” Ud. 1. Āḷavaka “Penghuni Hutan” J. IV, 180; VI, 329; Mhvs 30, 84: Vism. 208.Uppala “Lotus” DhA. IV, 209. Kakudha “K. -tree ”(Terminalia arjuna) S. I, 54. Kumbhīra “ Crocodile ” J. VI, 272. Gumbiyaentah“ Salah satu pasukan ”(tentara Yama) atau“ Thicket-er ”(fr. gumba thicket) J. III, 200, 201. Disāmukha “Skyfacer” DhA. IV, 209. Yamamoli "Yamachignon" DhA. IV, 208. Vajira"Thunderbolt" DhA. IV, 209; alias Vajira-pāṇī D. I, 95, atauVajira-bāhu DhA. IV, 209. Sātāgira “ Gunung YangMenyenangkan” D. II, 256; Sn. 153; J. IV, 314; VI, 440. Serīsaka“ Penghuni Akasia” VvA. 341 (utusan Vessavaṇa) .— (c) kualitas karakter, misalnya Adhamma , Miln “Tidak Benar ” .202 (sebelumnya Devadatta). Katattha “Well-wisher” DhA. IV, 209. Dhamma “Benar” Miln. 202 (= Bodhisatta). Puṇṇaka"Penuh (-moon?)" J. VI, 255 sq. (Seorang pemimpin tentara, keponakan Vessavaṇa). Māra si "Pencoba" Sn. 449; S. I, 122;M. I, 338. Sakata "beban-Waggon" (kekayaan) DhA. IV, 209 - (d) perwujudan dari mantan orang, misalnya Janavasabha"Tuan atas manusia" D. II, 205. Dīgha M. I, 210. Naradeva J. VI, 383, 387. Paṇḍaka “Kasim” Mhvs 12, 21. Sīvaka S. I, 241 = Vin.II, 156. Seri " Berkemauan keras" S. I, 57.— Cp. nama-nama serupa yakkhinī.

5. Mereka berdiri dalam hubungan dekat dengan dan di bawah otoritas Vessavaṇa (Kuvera), salah satu dari 4 lokapālas. Mereka seringkali adalah pelayan langsung (pembawa pesan) dari Yama sendiri, Penguasa Dunia Bawah (dan terutama Peta-ranah). Cp. D. II, 257; III, 194 sq.; J. IV, 492 (yakkhinī mengambil air untuk Vessavaṇa); VI, 255 sq. (Puṇṇaka, keponakan dari V,); VvA. 341 (Serīsaka, utusannya).Sehubungan dengan Yama: dve yakkhā Yamassa dūtā Vv 52 2; cp. Np. Yamamoli DhA. IV, 208. — Selaras dengan tradisi, mereka berbagi peran tuannya Kuvera sebagai penguasa kekayaan (lih. Pv II, 9 22 ) dan merupakan penjaga (dan pembelanja liberal) kekayaan bawah tanah, harta tersembunyi, dll. Dengan siapa mereka menyenangkan laki-laki: lihat misalnya frame story ke Pv. II, 11 (PvA. 145), dan ke IV. 12 (PvA. 274). Mereka menikmati segala jenis kemegahan & kenikmatan, karenanya atribut mereka kāma-kāmin Pv.Saya, 3 3 . Karenanya mereka memiliki kekuatan gaib, dapat memindahkan diri ke tempat mana pun dengan istana mereka dan melakukan keajaiban; atribut mereka yang sering adalahmah'iddhika ( Pv. II, 9 10 ; J. VI, 118). Penampilan mereka sangat bagus, sebagai hasil dari prestasi lama: cp. Pv. Saya, 2; Saya, 9; II, 11; IV, 3 17 . Pada saat yang sama mereka memiliki sifat-sifat aneh (sebagai akibat dari kemurkaan sebelumnya); mereka pemalu, dan takut pada daun palmyra & besi: J. IV, 492; mata mereka merah & jangan mengedipkan mata: J. V, 34; VI, 336, 337. — Tempat tinggal mereka adalah istana ciptaan mereka sendiri ( Vimāna ), yang ada di mana saja di udara, atau di pepohonan, dll. (Lihat di bawah vimāna).Terkadang kita menemukan persekutuan yakkha yang dikelompokkan dalam sebuah kota, misalnya Āḷakamandā D.II, 147; Sirīsa-vatthu (dalam Ceylon) Mhvs 7, 32.

6. Karakter manusiawi mereka yang esensial juga terlihat dari sikap mereka terhadap “Dhamma. ”Dalam hal ini banyak dari mereka adalah“ malaikat yang jatuh ”dan menerima firman Sang Buddha, dengan demikian dipertobatkan dan mampu naik ke tingkat keberadaan yang lebih tinggi di saṃsāra. Cp.D. III, 194, 195; J. II, 17; VvA. 333; Pv. II, 8 10 (di mana “yakkha” dijelaskan d oleh Dhpāla sebagai “pet-attabhāvato cuto (jadi baca untuk mato!) Yakkho ataho jāto dev-attabhāvaṃ patto” PvA. 110); SnA 301 (baik Sūciloma & Khara dikonversi) .— Lihat secara umum juga foll. bagian: Sn. 153, 179, 273, 449; S.I, 206-15; A. I, 160; Vism. 366 (dalam perumpamaan); Miln. 23.

7. Secara khusus, istilah "yakkha" digunakan sebagai istilah filosofis yang menunjukkan "jiwa individu" (lih. Arti Veda yang serupa "das lebendige Ding" (BR) di beberapa bagian AV.);karenanya mungkin ungkapan lama: ettāvatā yakkhassa suddhi (pemurnian hati) Sn. 478, mengutip VvA. 333 (ettāvat'aggaṃ no vadanti h'eke yakkhassa sudhiṃ idha paṇḍitāse). Sn. 875 (cp. Nd 1 282: yakkha = satta, nara, puggala, manussa).

—Ânubhāva potensi yakkha J. I, 240. —viviha dimiliki oleh seorang y. J. VI, 586. —iddhi (yakkh °) kekuatan sihir y. PvA.117, 241. —gaṇa banyak ys. J. VI, 287. —gaha = mengikuti DhA. III, 362. —gāha “cengkeraman yakkha ,” ditangkap oleh seorang y. S. I, 208; PvA. 144. —ṭṭhāna tempat tinggal seorang y. —Dāsī “budak kuil wanita,” atau mungkin “kerasukan setan” (?) J. VI, 501 (vl BB devatā-paviṭṭhā cp. Hal. 586: yakkh'āviṭṭhā.) —Nagara kota ys. J. II, 127 (= Sirīsavatthu); cp.pisāca-nagara. —Pura id. Mhvs 7. 32. — Bhavana kerajaan atau tempat tinggal y. Nd 1 448. —bhūta makhluk yakkha , hantu Pv III, 5 2 (= pisāca-bhūta vā yakkha-bh. Va PvA. 198);IV, 1 35 . —Mahiddhi = ° iddhi; Pv IV. 1 54 . —Yoni si y. -Dunia, ranah y. SnA 301. —samāgama pertemuan y. PvA. 55 (di mana juga devaputtā bergabung). —Sūkara a y. dalam bentuk Vbha babi. 494. —senas pasukan ys. D. III, 194; SnA 209. —senāpati kepala-komandan pasukan yakkha J. IV, 478; SnA 197. (Halaman 545)

(Sumber) : Sutta: Kamus Pali-Inggris Masyarakat Teks Paliinformasi konteks

Pali adalah bahasa Tipiṭaka, yang merupakan kanon suci agama Buddha Theravāda dan mengandung banyak ucapan Buddha. Terkait Closeley dengan bahasa Sansekerta, kedua bahasa digunakan secara bergantian antara agama.

Temukan arti yakkha samyutta dalam konteks Pali dari buku-buku yang relevan tentang Exotic India



Nb : ini sumber artikel dari Internet yang agak menarik.Mungkin bisa anda Teliti dengan sutta dll.karena banyak ditulis kodenya.
Yakha lebih sedikit lebih jelas dirincikan. Dan lebih sedikit jelas  mendapatkan gambaran yang sesuai . Mungkin ini dewa yang anda anggap seperti teman yang bisa dimintai tolong . Dalam bahasa manusia disebut siluman.
« Last Edit: 22 June 2019, 08:31:32 PM by Sostradanie »
PEMUSNAHAN BAIK ADANYA (2019)