Dalam Magandiya Sutta, Majjhima Nikaya II, Paribbajaka Vagga, Sang Buddha berkata bahwa kepada Magandiya, sebagai berikut: “Saya, Magandiya, ketika dulu masih berumah tangga, juga terikat kepada kelima kesenangan indria, bergelut di dalamnya, terlibat di dalamnya, … Tetapi, beberapa saat setelah mengetahui timbul tenggelamnya kesenangan-kesenangan idnria, kepuasannya, bahayanya, dan kemudian mengetahui jalan keluar sesungguhnya dari kemelekatan keliam indria, menekan gejolak-gejolak kesenangan, maka saya berdiam tanpa kemelekatan, dalam keadaan bathin yang tenang. Saya melihat makhluk-makhluk lain yang belum terbebas dari kemelekatan. Saya tidak iri kepadanya, saya terlepas daripadanya …”
Orang-orang yang memahami adanya kebahagiaan yang lebih luhur dari hanya sekedar kelima kesenangan indria, menerapkan meditasi ketenangan (Samatha Bhavana) dalam kehidupannya. Dalam Samatha Bhavana, seseorang mengkonsentrasikan dirinya pada obyek tunggal tertentu, misalnya: pernapasan, cinta-kasih (Metta), dan lain-lainnya.
Hal ini tergantung pada watak seseorang untuk memilih obyek meditasi yang cocok. Selama latihan, seseorang akan mendapatkan kemampuan konsentrasi yang bertambah terhadap obyek meditasinya. Pada saat ia sudah sangat mahir, ia dapat tercerap secara total pada obyeknya tersebut.
Terdapat berbagai tingkatan pencerapan (Jhana). Selama dalam keadaan Jhana, seseorang terbebas dari rangsangan panca indria, sehingga pada saat itu ia tidak diperbudak olehnya. Ia menikmati ketenangan yang luhur. Dalam tingkatan Jhana yang lebih tinggi, ia mencapai ketenangan yang lebih luhur, sehingga ia tidak lagi tergiur pada ketenangan itu, dan mengalami lebih dari sekedar perasaan-perasaan bahagia biasa.
Dalam keadaan demikian, ia hanya mengalami keseimbangan bathin (Upekkha). Namun, meditasi ketenangan (Samatha) inipun dipengaruhi oleh Citta. Apabila Cittanya bukan Jhanacitta, maka kesan-kesan indrianya dapat timbul kembali.
Samatha (meditasi ketenangan) adalah suatu cara untuk mengembangkan Kusala Kamma. Samatha Bhavana membutuhkan semangat dan keuletan yang tinggi. Orang yang melatih dirinya dengan Samatha Bhavana, menjadi amat tenang dan lemah lembut. Hal demikian akan sangat bermanfaat bagi mereka yang selalu resah. Namun, dalam Samatha Bhavana, kilesa (kekotoran bathin) tidak dapat dikikis seluruhnya.
Walaupun seseorang tidak lagi diperbudak oleh rangsangan pancaindera selama dalam keadaan Jhana, akan tetapi ia masih tergantung pada semua hal itu, dan bila cittanya bukan Jhanacitta, maka keadaan Jhana yang dialaminya tidak akan berlangsung terus, karena Jhana itu tidak kekal. Lebih lagi jika adanya ketergantungan yang sangat halus sekali, yaitu ketergantungan pada kesenangan dalam Jhana. Ia mungkin berpikir, jika ia tidak terikat lagi pada kesenangan indria, keadaan Jhana yang dialaminya itu tanpa kemelekatan. Akan tetapi, sebenarnya ia amsih terikat pada kesenangan Jhana yang tidak ada sangkut pautnya dengan kesenangan indria, perasaan senang, atau pengalaman keseimbangan yang dialami dalam Jhana.
Kebijaksanaan (Panna) yang dihasilkan dalam Samatha Bhavana tidak dapat menghilangkan seluruh kekotoran bathin (kilesa).
Ada Panna (kebijaksanaan) yang lebih luhur, yang dapat menghapuskan seluruh kekotoran-kekotoran bathin, bahkan bentuk-bentuk kemelekatan yang paling halus sekalipun. Kebijaksanaan (Panna) yang demikian itu dapat diperoleh melalui meditasi ‘Pandangan Terang’ atau ‘Vipassana’. Dalam Vipassana, kebijaksanaan secara bertahap akan melenyapkan kebodohan (Moha), yakni akar dari segala macam kekotoran bathin. Melalui Vipassana, orang akan mengetahui lebih banyak kenyataan-kenyataan yang dicerapnya melalui mata, telinga, lidah dan sentuhan badan pada setiap saat.
Kita menyadari bahwa kita hanya mengerti sedikit tentang kejadian-kejadian yang sangat umum dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat bertanya kepada diri kita sendiri, sampai sejauh mana kemampuan kita untuk menyadari gerakan-gerakan tubuh kita sepanjang hari?! Dan , sampai sejauh mana pula kita dapat menyadari sewaktu kita merentangkan dan menekukkan lengan kita, atau menyadari gerakan bibir pada saat kita berbicara?!
Sesungguhnya, kita tidak mengetahui apakah suara itu, apakah pendengaran itu, atau apakah yang kita namakan ‘Aku’ itu, pada saat kita mendengar sesuatu. Bahkan kita tidak dapat mengamati secara sederhana peristiwa yang sedang terjadi pada saat sekarang. Bila kita mencoba memahami lebih mendalam, apakah yang dimaksud dengan melihat, mendengar atau berpikir, sedangkan pada saat sekarang, hal demikian telah berlalu?!
Selama kita mencerap penampilan-penampilan luar dan memperhatikan hal yang sekecil-kecilnya, maka kita tidak akan mampu mengamati kenyataan-kenyataan pada saat sekarang. Selama kita terpesona pada kesukaan dan ketidaksukaan terhadap sesuatu yang dilihat dan didengar, mustahil kita dapat melihat/mengamati segala sesuatu sebagaimana adanya. Keadaan ini seolah-olah seperti kita tidur, dan belum terbangun untuk menyadari peristiwa yang sebenarnya. Sang Buddha yang sempurna kewaspadaanNya dan yang mempunyai pengetahuan sempurna, dapat mengetahui macam-macam perbedaan gejala-gejala fisik dan mental, sehingga Beliau di sebut sebagai ‘Orang Yang Sadar’. Beliau sadar sepenuhnya akan kebenaran. Seyogyanya kita juga sadar akan kebenaran, seperti halnya Sang Buddha.
Dalam Vipassana, kebijaksanaan akan meningkat secara bertahap dalam upaya mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya. Dalam proses menyadari kenyataan yang tampak pada saat sekarang, kita dihadapkan pada dua macam kenyataan, yaitu: (1) gejala fisik atau Rupa dan (2) gejala mental atau nama.
Gejala fisik (Rupa) tidak mengetahui segala sesuatu, sedangkan gejala mental (Nama) mengetahui bentuk-bentuk; misalnya, warna adalah Rupa, dalam hal ini Rupa tersebut tidak mengetahui apa-apa. Proses penglihatan adalah Nama, dan hanya penglihatan itulah yang sesungguhnya melihat. Mendengar dan berpikir merupakan jenis Nama yang lain lagi.
Sebenarnya, banyak terdapat jenis Nama dan Rupa yang berbeda. Dalam Vipassana, kita belajar untuk mengetahui sifat-sifat Nama dan Rupa tersebut. Dengan mengembangkan Vipassana secara bertahap, kita akan mengetahui bahwa Nama dan Rupa itu sesungguhnya tidak kekal.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita seharusnya merenungkan akan ketidakkekalan segala sesuatu. Perenungan dan meditasi adalah persiapan-persiapan yang diperlukan untuk mengetahui gejala ketidakkekalan segala sesuatu, namun tentu saja hal demikian tidak sama dengan pengalaman langsung tentang ketidakkekalan dari kenyataan-kenyataan yang terjadi di dalam dan diluar diri kita. Pada mulanya kita tidak dapat menyadari akan timbul tenggelamnya Nama dan Rupa.
Akan tetapi, jika kita dapat memahami sifat yang berbeda dari Nama dan Rupa yang timbul pada saat yang berbeda-beda, dimana setiap Nama dan Rupa yang timbul sekarang, berbeda dengan Nama dan Rupa yang telah timbul sebelumnya, maka kita tidak akan mempunyai kecenderungan untuk berpikir bahwa Nama dan Rupa itu langgeng, dan juga kita tidak cenderung menganggapnya sebagai ‘Aku’.