//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - ibro

Pages: [1]
1
Jurnal Pribadi / To be Nothing....?
« on: 20 April 2014, 09:17:05 AM »
Pertama, terimakasih buat Dhammcitta yang membuat saya banyak lebih tahu.
Sekalian salam kenal buat semuanya.
Saya Ibro, 46 tahun. Kali ini gak bohong (biasanya dikurangin 8 tahun).
Saya pertama mendekati Budhism 24 tahun yang lalu, mungkin lebih. Sekarang mendekat lagi.

Saya lahir dari keluarga taat beragama. Ayah saya malah pemuka agama. Seluruh keluarga orang baik-baik, dan hanya tahu, paham dan menerima satu jalan yang diwajibkan orang tua.
Dari SMP saya udah mempertanyakan apa yang tabu ditanyakan. Sudah berani merasa heran kok bisa-bisanya harus begini harus begitu. Sudah sedikit-sedikit berani menjadi kafir. Masih inget waktu liat orang ketabrak kereta lalu badan jadi lemes. Nah lu, orang itu tiba-tiba mati. Ngeri juga menjadi kafir.

SMA semakin jauh dari agama. Saya sudah berani bilang gak punya agama, ke teman terdekat saja tentunya. Lalu saya kenal Kahlil Gibran, orang pertama yang membenarkan jalan saya. Orang pertama yang berusaha membuat saya sedikit lebih tenang.

Dari kuliah sampai sekarang adalah perjalanan yang berliku-liku. Hampir di seluruh waktu itu saya hidup sebagai agnostik. Tetapi ada waktu-waktu ketika saya mencoba jalan yang lain.

Pada awal kuliah saya mendekati Budha. Saya meminjam buku-buku tentang Budhism dari teman. Saya juga membaca meditasi dan mencobanya. Masih ingat, harus memperhatikan ke nafas, bisa dibantu dengan cara berhitung. Susah. Dengan pengetahuan saya sekarang saya tahu memang susah meditasi dengan mengandalkan will power (Kata Ajahn Brahm). Masih ingat di bis pulang dari kuliah bermeditasi, lalu saya tertidur, dan saya anggap meditasi saya berhasil.  :) Saya tidak ingat mengapa saya berhenti mempelajari Budhism waktu itu. Mungkin karena belum cukup pintar.

Ada juga waktu ketika saya mencoba kembali ke agama saya. 2 kali malah. Tahun-tahun terakhir kuliah (kalau tidak salah), adalah percobaan pertama. Berhasil? Tentu tidak. Karena kalau berhasil tentunya saya tidak menulis disini sekarang. Yang ada malah gonjang-ganjing batin yang hebat. Saya ingin percaya, saya ingin punya iman supaya saya tenang, tapi pikiran saya selalu bertanya-tanya. Satu moment yang masih saya ingat, di bis juga; beberapa menit saya meyakini, beberapa menit kemudian tidak, beberapa menit kemudian yakin, lalu tidak lagi. Saat yakin, saya seperti diawang-awang. Melayang, enteng. Lalu beberapa kemudian, saat pikiran liar saya tidak yakin, saya seperti dibanting ketanah. Melayang, dibanting, melayang, dibanting. Siksaan itu masih saya ingat sampai sekarang.

Percobaan kedua sekitar sepuluh tahun yang lalu. Rindu sekali saya pada ketenangan tak juga berakhir. Rindu pada pegangan yang pasti. Lalu saya mulai masuk dari pintu yang lain. Saya pikir saya mungkin perlu bermain-main dengan interpretasi supaya saya bisa berdamai dengan dogma-dogma yang menurut saya sulit diterima kalau ditelan mentah-mentah. Dan saya kembali. Keluarga tentu senang. Orang sesat telah kembali ke jalan yang benar. Sayapun memperolah kedamaian. Wewanginan, lagu-lagu yang memang dari saya bayi sudah diperkenalkan, memang mempermudah saya untuk merasakan sensasi kesucian surgawi dalam dada saya. Tapi itupun tak berlangsung lama. Saya kembali menjadi kafir. Ketenangan itu hilang lagi.

Saya agnostik lagi. Saya pikir sudahlan. Asal saya jadi orang baik saja, tidak merugikan orang lain, mencoba berbuat baik pada orang lain, itu sudah cukup. Orang lain memerlukan agama untuk berbuat baik, saya tidak.

Pages: [1]