//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA Buku SATU  (Read 6658 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
ANGUTTARA NIKAYA Buku SATU
« on: 30 December 2012, 05:12:37 PM »
untuk melengkapi koleksi Nikaya DC,
berikut ini saya persembahkan terjemahan dari "The Numerical Discourses of the Buddha", a Translation of Anguttara Nikaya

Semoga bermanfaat bagi para member dan guests DC.


catatan:
*angka dalam tanda <> adalah catatan kaki
*angka dalam tanda [] adalah ref no. hal pada edisi PTS

**Demi kerapian, mohon tidak memposting komentar apa pun di thread ini.

« Last Edit: 30 December 2012, 05:20:04 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku SATU
« Reply #1 on: 30 December 2012, 05:22:36 PM »
[1]BUKU KELOMPOK SATU

Terpujilah Sang Bhagavā, Sang Arahant,
Yang Tercerahkan Sempurna


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku SATU
« Reply #2 on: 30 December 2012, 05:24:20 PM »
I. OBSESI PIKIRAN

1 (1)

Demikianlah Yang kudengar. Pada suatu Ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu bentuk pun yang begitu mengobsesi pikiran<17> seorang laki-laki seperti halnya bentuk seorang perempuan. Bentuk seorang perempuan mengobsesi pikiran seorang laki-laki.”

2 (2)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu suara pun yang begitu mengobsesi pikiran seorang laki-laki seperti halnya suara seorang perempuan. Suara seorang perempuan mengobsesi pikiran seorang laki-laki.”

3 (3)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu bau pun yang begitu mengobsesi pikiran seorang laki-laki seperti halnya bau seorang perempuan. Bau seorang perempuan mengobsesi pikiran seorang laki-laki.”<18> [2]

4 (4)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu rasa kecapan pun yang begitu mengobsesi pikiran seorang laki-laki seperti halnya rasa kecapan seorang perempuan. Rasa kecapan seorang perempuan mengobsesi pikiran seorang laki-laki.”<19>

5 (5)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu sentuhan pun yang begitu mengobsesi pikiran seorang laki-laki seperti halnya sentuhan seorang perempuan. Sentuhan seorang perempuan mengobsesi pikiran seorang laki-laki.”<20>



6 (6)  <21>

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu bentuk pun yang begitu mengobsesi pikiran seorang perempuan seperti halnya bentuk seorang laki-laki. Bentuk seorang laki-laki mengobsesi pikiran seorang perempuan.”

7 (7)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu suara pun yang begitu mengobsesi pikiran seorang perempuan seperti halnya suara seorang laki-laki. Suara seorang laki-laki mengobsesi pikiran seorang perempuan.”

8 (8 )

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu bau pun yang begitu mengobsesi pikiran seorang perempuan seperti halnya bau seorang laki-laki. Bau seorang laki-laki mengobsesi pikiran seorang perempuan.”

9 (9)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu rasa kecapan pun yang begitu mengobsesi pikiran seorang perempuan seperti rasa halnya kecapan seorang laki-laki. Rasa kecapan seorang laki-laki mengobsesi pikiran seorang perempuan.”

10 (10)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu sentuhan pun yang begitu mengobsesi pikiran seorang perempuan seperti halnya sentuhan seorang laki-laki. Sentuhan seorang laki-laki mengobsesi pikiran seorang perempuan.” [3]


II. MENINGGALKAN RINTANGAN-RINTANGAN<22>

11 (1)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang karenanya keinginan indria yang belum muncul menjadi muncul dan keinginan indria yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat seperti halnya tanda dari apa yang menarik.<23> Bagi seorang yang mengamati secara tidak waspada pada tanda dari apa yang menarik, maka keinginan indria yang belum muncul menjadi muncul dan keinginan indria yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat.”

12 (2)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang karenanya permusuhan yang belum muncul menjadi muncul dan permusuhan yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat seperti halnya tanda dari apa yang menjijikkan.<24> Bagi seorang yang mengamati secara tidak waspada pada tanda dari apa yang menjijikkan, maka permusuhan yang belum muncul menjadi muncul dan permusuhan yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat.”

13 (3)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang karenanya ketumpulan dan kantuk yang belum muncul menjadi muncul dan dan ketumpulan dan kantuk yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat seperti halnya  ketidak-puasan, kelesuan, kemalasan, kantuk setelah makan, dan kelambanan pikiran.<25> Bagi seorang dengan pikiran yang lamban, maka ketumpulan dan kantuk belum muncul menjadi muncul dan ketumpulan dan kantuk yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat.”

14 (14)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang karenanya kegelisahan dan penyesalan yang belum muncul menjadi muncul dan kegelisahan dan penyesalan yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat seperti halnya pikiran yang kacau.<26> Bagi seorang dengan pikiran yang kacau, maka kegelisahan dan penyesalan dan yang belum muncul menjadi muncul dan kegelisahan dan penyesalan yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat.” [4]

15 (15)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang karenanya keragu-raguan yang belum muncul menjadi muncul dan dan keragu-raguan yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat seperti halnya pengamatan yang tidak waspada.<27> Bagi seorang yang mengamati secara tidak waspada, maka keragu-raguan yang belum muncul menjadi muncul dan keragu-raguan yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat.”

16 (16)  <28>

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang karenanya keinginan indria yang belum muncul menjadi tidak muncul dan keinginan indria yang telah muncul menjadi ditinggalkan seperti halnya tanda dari apa yang tidak menarik.<29> Bagi seorang yang mengamati secara waspada pada tanda dari apa yang tidak menarik, maka keinginan indria yang belum muncul menjadi tidak muncul dan keinginan indria yang telah muncul menjadi ditinggalkan.”<30>

17 (17)


“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang karenanya permusuhan yang belum muncul menjadi tidak muncul dan permusuhan yang telah muncul menjadi ditinggalkan seperti halnya kebebasan pikiran melalui cinta-kasih.<31> Bagi seorang yang mengamati secara waspada pada kebebasan pikiran melalui cinta-kasih, maka permusuhan yang belum muncul menjadi tidak muncul dan permusuhan yang telah muncul menjadi ditinggalkan.”<32>

18 (18 )

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang karenanya ketumpulan dan kelambanan yang belum muncul menjadi tidak muncul dan dan ketumpulan dan kelambanan yang telah muncul menjadi ditinggalkan seperti halnya  elemen dorongan, elemen keuletan, elemen pengerahan.<33> Bagi seorang yang telah membangkitkan kegigihan, maka ketumpulan dan kelamban belum muncul menjadi tidak muncul dan ketumpulan dan kelambanan yang telah muncul menjadi ditinggalkan.”<34>

19 (19)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang karenanya kegelisahan dan penyesalan yang belum muncul menjadi tidak muncul dan kegelisahan dan penyesalan yang telah muncul menjadi ditinggalkan seperti halnya penenteraman pikiran.<35> Bagi seorang dengan pikiran yang tenteram, maka kegelisahan dan penyesalan dan yang belum muncul menjadi tidak muncul dan kegelisahan dan penyesalan yang telah muncul menjadi ditinggalkan.”<36>

20 (20)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun [5] yang karenanya keragu-raguan yang belum muncul menjadi tidak muncul dan dan keragu-raguan yang telah muncul menjadi ditinggalkan seperti halnya pengamatan yang waspada.<37> Bagi seorang yang mengamati secara waspada, maka keragu-raguan yang belum muncul menjadi tidak muncul dan keragu-raguan yang telah muncul menjadi ditinggalkan.”<38>


III. KAKU

21 (1)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang ketika tidak terkembang maka menjadi begitu kaku seperti halnya pikiran. Pikiran yang tidak terkembang adalah kaku.”

22 (2)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang ketika terkembang maka menjadi begitu lentur seperti halnya pikiran. Pikiran yang terkembang adalah lentur.”

23 (3)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang ketika tidak terkembang maka mengarah pada bahaya besar seperti halnya pikiran. Pikiran yang tidak terkembang mengarah pada bahaya besar.”

24 (4)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang ketika terkembang maka mengarah pada manfaat besar seperti halnya pikiran. Pikiran yang terkembang mengarah pada manfaat besar.”

25 (5)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang, ketika tidak terkembang  dan tidak termanifestasi,<39> maka mengarah pada bahaya besar seperti halnya pikiran. Pikiran, ketika tidak terkembang dan tidak termanifestasi mengarah pada bahaya besar.”

26 (6)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun [6] yang, ketika terkembang  dan termanifestasi, maka mengarah pada manfaat besar seperti halnya pikiran. Pikiran, ketika terkembang dan termanifestasi mengarah pada manfaat besar.”

27 (7)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang, ketika tidak terkembang  dan tidak terlatih, maka mengarah pada bahaya besar seperti halnya pikiran. Pikiran, ketika tidak terkembang dan tidak terlatih mengarah pada bahaya besar.”

28 (8 )

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang, ketika terkembang  dan terlatih, maka mengarah pada manfaat besar seperti halnya pikiran. Pikiran, ketika terkembang dan terlatih mengarah pada manfaat besar.”

29 (9)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang, ketika tidak terkembang  dan tidak terlatih, maka membawa penderitaan seperti halnya pikiran. Pikiran, ketika tidak terkembang dan tidak terlatih, membawa penderitaan.”

30 (10)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang, ketika terkembang  dan terlatih, maka membawa kebahagiaan seperti halnya pikiran. Pikiran, ketika terkembang dan terlatih, membawa kebahagiaan.”

IV. TIDAK JINAK

31 (1)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang, ketika tidak jinak, maka mengarah pada bahaya besar seperti halnya pikiran. Pikiran yang tidak jinak mengarah pada bahaya besar.”

32 (2)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang, ketika jinak, maka mengarah pada manfaat besar seperti halnya pikiran. Pikiran yang jinak mengarah pada manfaat besar.”

33 (3)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun [7] yang, ketika tidak terjaga, maka mengarah pada bahaya besar seperti halnya pikiran. Pikiran yang tidak terjaga mengarah pada bahaya besar.”

34 (4)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang, ketika terjaga, maka mengarah pada manfaat besar seperti halnya pikiran. Pikiran yang terjaga mengarah pada manfaat besar.”

35 (5)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang, ketika tidak terlindungi, maka mengarah pada bahaya besar seperti halnya pikiran. Pikiran yang tidak terlindungi mengarah pada bahaya besar.”

36 (6)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang, ketika terlindungi, maka mengarah pada manfaat besar seperti halnya pikiran. Pikiran yang terlindungi mengarah pada manfaat besar.”

37 (7)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang, ketika tidak terkendali, maka mengarah pada bahaya besar seperti halnya pikiran. Pikiran yang tidak terkendali mengarah pada bahaya besar.”

38 (8 )

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang, ketika terkendali, maka mengarah pada manfaat besar seperti halnya pikiran. Pikiran yang terkendali mengarah pada manfaat besar.”

39 (9)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang, ketika tidak jinak, tidak terjaga, tidak terlindungi, atau tidak terkendali, maka mengarah pada bahaya besar seperti halnya pikiran. Pikiran, ketika tidak jinak, tidak terjaga, tidak terlindungi, atau tidak terkendali,  mengarah pada bahaya besar.”

40 (10)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang, ketika jinak, terjaga, terlindungi, dan terkendali, maka mengarah pada manfaat besar seperti halnya pikiran. Pikiran, ketika jinak, terjaga, terlindungi, dan terkendali,  mengarah pada manfaat besar.” [8]

V. TANGKAI

41 (1)

“Para bhikkhu, misalkan sebatang tangkai padi atau gandum yang arahnya terbalik ditekankan pada tangan atau kaki. Adalah tidak mungkin bahwa tangkai itu dapat menembus tangan atau kaki dan mengeluarkan darah. Karena alasan apakah? Karena tangkai itu terbalik. Demikian pula, adalah tidak mungkin bahwa seorang bhikkhu dengan pikiran yang arahnya terbalik dapat menembus ketidak-tahuan, membangkitkan pengetahuan sejati, dan merealisasi nibbāna. Karena alasan apakah? Karena pikiran itu terbalik.

42 (2)

“Para bhikkhu, misalkan sebatang tangkai padi atau gandum yang diarahkan dengan benar ditekankan pada tangan atau kaki. Adalah mungkin bahwa tangkai itu dapat menembus tangan atau kaki dan mengeluarkan darah. Karena alasan apakah? Karena tangkai itu diarahkan dengan benar. Demikian pula, adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu dengan pikiran yang diarahkan dengan benar dapat menembus ketidak-tahuan, membangkitkan pengetahuan sejati, dan merealisasi nibbāna. Karena alasan apakah? Karena pikiran itu diarahkan dengan benar.

43 (3)

“Di sini, para bhikkhu, setelah dengan pikiranKu melingkupi pikiran seseorang yang berpikiran jahat, Aku memahami bahwa jika orang ini mati pada saat ini, maka ia akan masuk ke neraka seolah-olah dibawa ke sana.<40> Karena alasan apakah? Karena pikirannya jahat.<41> Adalah karena pikiran jahat maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, beberapa makhluk di sini terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka.”

44 (4)

“Di sini, para bhikkhu, setelah dengan pikiranKu melingkupi pikiran seseorang yang berpikiran tenang, Aku memahami bahwa jika [9] orang ini mati pada saat ini, maka ia akan masuk ke surga seolah-olah dibawa ke sana. Karena alasan apakah? Karena pikirannya tenang.<42> Adalah karena pikiran tenang maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, beberapa makhluk di sini terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.”

45 (5)

“Para bhikkhu, misalkan terdapat sebuah kolam dengan air yang kotor, keruh, dan berlumpur. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik berdiri di tepinya tidak dapat melihat kerang-kerang, kerikil dan koral, dan kawanan ikan yang berenang kesana-kemari dan beristirahat. Karena alasan apakah? Karena air itu kotor. Demikian pula, adalah tidak mungkin bagi seorang bhikkhu dengan pikiran yang kotor dapat mengetahui kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, atau kebaikan keduanya, atau merealisasi keluhuran melampaui manusia dalam hal pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Karena alasan apakah? Karena pikirannya kotor.”<43>

46 (6)

“Para bhikkhu, misalkan terdapat sebuah kolam dengan air yang bersih, tenang, dan jernih. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik berdiri di tepinya dapat melihat kerang-kerang, kerikil dan koral, dan kawanan ikan yang berenang kesana-kemari dan beristirahat. Karena alasan apakah? Karena air itu jernih. Demikian pula, adalah mungkin bagi seorang bhikkhu dengan pikiran yang jernih dapat mengetahui kebaikannya sendiri, kebaikan orang lain, dan kebaikan keduanya, dan merealisasi keluhuran melampaui manusia dalam hal pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.<44> Karena alasan apakah? Karena pikirannya jernih.”

47 (7)

“Para bhikkhu, seperti halnya kayu cendana dinyatakan sebagai yang terbaik di antara pepohonan sehubungan dengan kelunakan dan kelenturannya, demikian pula Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang, ketika dikembangkan dan dilatih, dapat menjadi begitu lunak dan lentur seperti halnya pikiran. Pikiran yang terkembang dan terlatih adalah lunak dan lentur.” [10]

48 (8 )

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu cepat berubah seperti halnya pikiran.<45> Tidaklah mudah memberikan perumpamaan untuk menggambarkan betapa cepatnya pikiran berubah.”

49 (9)

“Bercahaya, para bhikkhu, pikiran ini, tetapi dikotori oleh kekotoran dari luar.”<46>

50 (10)

“Bercahaya, para bhikkhu, pikiran ini, dan terbebaskan dari kekotoran dari luar.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku SATU
« Reply #3 on: 30 December 2012, 05:28:01 PM »
VI. BERCAHAYA

51 (1)

“Bercahaya, para bhikkhu, pikiran ini, tetapi dikotori oleh kekotoran dari luar. Kaum duniawi yang tidak terpelajar tidak memahami hal ini sebagaimana adanya; oleh karena itu Kukatakan bahwa bagi kaum duniawi yang tidak terpelajar tidak ada pengembangan pikiran.”<47>

52 (2)

“Bercahaya, para bhikkhu, pikiran ini, dan terbebaskan dari kekotoran dari luar. Siswa mulia yang terpelajar memahami hal ini sebagaimana adanya; oleh karena itu Kukatakan bahwa bagi siswa mulia yang terpelajar ada pengembangan pikiran.”<48>

53 (3)

“Para bhikkhu, jika selama hanya sejentikan jari seorang bhikkhu mengejar pikiran cinta kasih, maka ia disebut seorang bhikkhu yang tidak hampa dari jhāna, yang bertindak sesuai ajaran Sang Guru, yang menuruti nasihat Beliau, dan yang tidak memakan dana makanan dari desa dengan sia-sia.<49> Apalagi bagi mereka yang melatihnya!”

54 (4)

“Para bhikkhu, jika selama hanya sejentikan jari seorang bhikkhu mengembangkan pikiran cinta kasih , maka ia disebut seorang bhikkhu yang tidak hampa dari jhāna, yang bertindak sesuai ajaran Sang Guru, yang menuruti nasihat Beliau, dan yang tidak memakan dana makanan dari desa dengan sia-sia. Apalagi bagi mereka yang melatihnya!” [11]

55 (5)

“Para bhikkhu, jika selama hanya sejentikan jari seorang bhikkhu menekuni pikiran cinta kasih, maka ia disebut seorang bhikkhu yang tidak hampa dari jhāna, yang bertindak sesuai ajaran Sang Guru, yang menuruti nasihat Beliau, dan yang tidak memakan dana makanan dari desa dengan sia-sia. Apalagi bagi mereka yang melatihnya!”

56 (6)

“Para bhikkhu, kualitas-kualitas apa pun yang tidak bermanfaat, yang menjadi bagian dari apa yang tidak bermanfaat, dan berhubungan dengan apa yang tidak bermanfaat, semuanya dipelopori oleh pikiran.<50> Pikiran muncul lebih dulu kemudian diikuti oleh kualitas-kualitas tidak bermanfaat.”

57 (7)

“Para bhikkhu, kualitas-kualitas apa pun yang bermanfaat, yang menjadi bagian dari apa yang bermanfaat, dan berhubungan dengan apa yang bermanfaat, semuanya dipelopori oleh pikiran. Pikiran muncul lebih dulu kemudian diikuti oleh kualitas-kualitas bermanfaat.”

58 (8 )

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang seperti halnya kelengahan.<51> Bagi seorang yang lengah, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”

59 (9)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang seperti halnya ketekunan. Bagi seorang yang tekun, maka kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”

60 (10)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang seperti halnya kemalasan. Bagi seorang yang malas, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.” [12]

VII. PEMBANGKITKAN KEGIGIHAN

61 (1)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang seperti halnya pembangkitan kegigihan. Bagi seorang yang telah membangkitkan kegigihan, maka kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”

62 (2)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang seperti halnya keinginan kuat.<52> Bagi seorang yang berkeinginan kuat, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”

63 (3)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang seperti halnya sedikit keinginan.<53> Bagi seorang dengan sedikit keinginan, maka kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”

64 (4)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang seperti halnya ketidak-puasan.<54> Bagi seorang yang tidak puas, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”

65 (5)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang seperti halnya kepuasan.<55> Bagi seorang yang puas, maka kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.” [13]

66 (6)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang seperti halnya perhatian tidak waspada. Bagi seorang yang memperhatikan dengan tidak waspada, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”

67 (7)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang seperti halnya perhatian waspada. Bagi seorang yang memperhatikan dengan waspada, maka kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”

68 (8 )

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang seperti halnya ketiadaan pemahaman jernih. Bagi seorang yang tidak memahami dengan jernih, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”

69 (9)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang seperti halnya pemahaman jernih.<56> Bagi seorang yang memahami dengan jernih, maka kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”

70 (10)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang seperti halnya pertemanan yang buruk. Bagi seorang dengan teman-teman yang buruk, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.” [14]

VIII. PERTEMANAN YANG BAIK

71 (1)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang seperti halnya pertemanan yang baik. Bagi seorang dengan teman-teman yang baik, maka kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”<57>

72 (2)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang seperti halnya pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat. Melalui pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”

73 (3)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang seperti halnya pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat. Melalui pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat, maka kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”

74 (4)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan faktor-faktor pencerahan yang belum muncul menjadi tidak muncul dan faktor-faktor pencerahan yang telah muncul tidak mencapai pemenuhan melalui pengembangan seperti halnya perhatian tidak waspada. Bagi seseorang yang memperhatikan dengan tidak waspada, maka faktor-faktor pencerahan yang belum muncul menjadi tidak muncul dan faktor-faktor pencerahan yang telah muncul tidak mencapai pemenuhan melalui pengembangan.”

75 (5)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan faktor-faktor pencerahan yang belum muncul menjadi muncul dan faktor-faktor pencerahan yang telah muncul mencapai pemenuhan melalui pengembangan seperti halnya perhatian waspada. [15] Bagi seseorang yang memperhatikan dengan waspada, maka faktor-faktor pencerahan yang belum muncul menjadi muncul dan faktor-faktor pencerahan yang telah muncul mencapai pemenuhan melalui pengembangan.”

76 (6)

“Tidak penting, para bhikkhu, kehilangan sanak-saudara. Hal yang paling buruk adalah kehilangan kebijaksanaan.”

77 (7)

“Tidak penting, para bhikkhu, peningkatan sanak-saudara. Hal yang paling baik adalah peningkatan kebijaksanaan. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan meningkat dalam hal kebijaksanaan.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

78 (8 )

“Tidak penting, para bhikkhu, kehilangan harta kekayaan. Hal yang paling buruk adalah kehilangan kebijaksanaan.”

79 (9)

“Tidak penting, para bhikkhu, peningkatan harta kekayaan. Hal yang paling baik adalah peningkatan kebijaksanaan. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan meningkat dalam hal kebijaksanaan.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

80 (10)

“Tidak penting, para bhikkhu, kehilangan kemasyhuran. Hal yang paling buruk adalah kehilangan kebijaksanaan.”

81 (11) <58>

“Tidak penting, para bhikkhu, peningkatan kemayshuran. Hal yang paling baik adalah peningkatan kebijaksanaan. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan meningkat dalam hal kebijaksanaan.’ Demikianlah kalian harus berlatih.” [16]

IX. KELENGAHAN

82 (1)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang mengarah pada bahaya besar seperti halnya kelengahan. Kelengahan mengarah pada bahaya besar.”

83 (2)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang ketika mengarah pada manfaat besar seperti halnya ketekunan. Ketekunan mengarah pada manfaat besar.”

84 (3) – 97 (16)

(84) “Para bhikkhu, Aku tidak melihat  satu hal pun yang ketika mengarah pada bahaya besar seperti halnya kemalasan … (85) … yang mengarah pada manfaat besar seperti pembangkitan kegigihan …”

(86) “… keinginan kuat … (87) …keinginan sedikit …”
(88 ) “… ketidak-puasan … (89) … kepuasan …”
(90) “… perhatian tidak waspada … (91) … perhatian waspada …”
(92) “ …ketiadaan pemahaman jernih … (93) … pemahaman jernih …”
(94) “… pertemanan yang buruk … (95) …pertemanan yang baik …”
(96) “… pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat … (97) … pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat mengarah pada manfaat besar.”

X. INTERNAL.<59>

98 (1)

“Di antara faktor-faktor internal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang mengarah pada bahaya besar seperti halnya kelengahan. Kelengahan mengarah pada bahaya besar.”

99 (2)

“Di antara faktor-faktor internal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang mengarah pada manfaat besar seperti halnya ketekunan.  [17] Ketekunan mengarah pada manfaat besar.”

100 (3) – 113 (16)

(100) “Di antara faktor-faktor internal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang mengarah pada bahaya besar seperti halnya kemalasan … (101) … yang mengarah pada manfaat besar seperti halnya pembangkitan kegigihan …”<60>

(102) “… keinginan kuat … (103) … keinginan sedikit…”
(104) “… ketidak-puasan … (105) … kepuasan … “
(106) “… perhatian tidak waspada … (107) … perhatian waspada … “
(108 ) “… ketiadaan pemahaman jernih … (109) … pemahaman jernih … “
(110) “Di antara faktor-faktor internal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang mengarah pada bahaya besar seperti halnya pertemanan yang buruk … “
(111) “Di antara faktor-faktor internal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang mengarah pada manfaat besar seperti halnya pertemanan yang baik … “
(112) “Di antara faktor-faktor internal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang mengarah pada bahaya besar seperti halnya pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat … (113) … yang mengarah pada manfaat besar seperti halnya pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat.  Pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat mengarah pada manfaat besar.”

114 (17)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati seperti halnya kelengahan. Kelengahan mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.”

115 (18 )

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati seperti halnya ketekunan. [18] Ketekunan mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.”

116 (19) – 129 (32)

(116) “Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati seperti halnya kemalasan … (117) … yang begitu mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati seperti halnya pembangkitan kegigihan … “

(118) “… keinginan kuat … (119) … keinginan sedikit … “
(120) “… ketidak-puasan … (121) … kepuasan … “
(122) “… ketiadaan pemahaman jernih … (125) … pemahaman jernih … “
(126) “… pertemanan yang buruk … (127) … pertemanan yang baik … “
(128) “… pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat … (129) … pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat. Pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.”

130 (33)

“Para bhikkhu, para bhikkhu itu yang menjelaskan bukan Dhamma sebagai Dhamma sedang bertindak demi bahaya banyak orang, ketidak-bahagiaan banyak orang, demi kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, deva dan manusia.<61> Para bhikkhu ini menghasilkan banyak keburukan dan menyebabkan Dhamma sejati ini menjadi lenyap.”

131 (34)  - 139 (42)

(131) “Para bhikkhu, para bhikkhu itu yang menjelaskan Dhamma sebagai bukan-Dhamma … (132) … bukan-disiplin sebagai disiplin<62> … (133) … disiplin sebagai bukan-disiplin … (134) … apa yang tidak dinyatakan dan tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai telah dinyatakan dan diucapkan oleh Beliau … [19] (135) … apa yang telah dinyatakan dan diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak dinyatakan dan diucapkan oleh Beliau … (136) … apa yang tidak dipraktikkan oleh Sang Tathāgata sebagai telah dipraktikkan oleh Beliau … (137) … apa yang telah dipraktikkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak dipraktikkan oleh Beliau … (138 ) … apa yang tidak ditetapkan oleh Sang Bhagavā sebagai telah ditetapkan oleh Beliau … (139) … apa yang telah ditetapkan oleh Sang Bhagavā sebagai tidak ditetapkan oleh Beliau sedang bertindak demi bahaya banyak orang, ketidak-bahagiaan banyak orang, demi kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, para deva dan manusia. Para bhikkhu ini menghasilkan banyak keburukan dan menyebabkan Dhamma sejati ini menjadi lenyap.”<63>

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku SATU
« Reply #4 on: 30 December 2012, 05:31:05 PM »
XI. BUKAN-DHAMMA<64>

140 (1)

“Para bhikkhu, para bhikkhu itu yang menjelaskan bukan-Dhamma sebagai bukan-Dhamma sedang bertindak demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi manfaat, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia. Para bhikkhu itu menghasilkan banyak jasa dan mempertahankan Dhamma sejati ini.”

141 (2)  - 149 (10)

(141) para bhikkhu itu yang menjelaskan Dhamma sebagai Dhamma … (142) … bukan-disiplin sebagai bukan-disiplin … (143) … disiplin sebagai disiplin … (144) … apa yang tidak dinyatakan dan tidak diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak dinyatakan dan tidak diucapkan oleh Beliau … (145) … apa yang telah dinyatakan dan diucapkan oleh Sang Tathāgata sebagai telah dinyatakan dan diucapkan oleh Beliau … [20] (146) … apa yang tidak dipraktikkan oleh Sang Tathāgata sebagai tidak dipraktikkan oleh Beliau … (147) … apa yang telah dipraktikkan oleh Sang Tathāgata sebagai telah dipraktikkan oleh Beliau … (148 ) … apa yang tidak ditetapkan oleh Sang Bhagavā sebagai tidak ditetapkan oleh Beliau … (149) … apa yang telah ditetapkan oleh Sang Bhagavā sebagai telah ditetapkan oleh Beliau sedang bertindak demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi manfaat, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia. Para bhikkhu itu menghasilkan banyak jasa dan mempertahankan Dhamma sejati ini.”

XII. BUKAN PELANGGARAN<65>

150 (1)

“Para bhikkhu, para bhikkhu itu yang menjelaskan apa yang bukan pelanggaran sebagai pelanggaran sedang bertindak demi bahaya banyak orang, ketidak-bahagiaan banyak orang, demi kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, para deva dan manusia. Para bhikkhu ini menghasilkan banyak keburukan dan menyebabkan Dhamma sejati ini menjadi lenyap.”

151 (2) – 159 (10)

(151) “Para bhikkhu, para bhikkhu itu yang menjelaskan pelanggaran sebagai bukan pelanggaran … (152) … pelanggaran ringan sebagai pelanggaran berat … (153) … pelanggaran berat sebagai pelanggaran ringan … (154) pelanggaran kasar sebagai bukan pelanggaran kasar … (155) pelanggaran yang tidak kasar sebagai pelanggaran kasar … (156) … pelanggaran yang dapat diperbaiki sebagai pelanggaran yang tidak dapat diperbaiki … [21] (157) pelanggaran yang tidak dapat diperbaiki sebagai pelanggaran yang dapat diperbaiki … (158 ) … pelanggaran dengan penebusan sebagai pelanggaran tanpa penebusan … (159) … pelanggaran tanpa penebusan sebagai pelanggaran dengan penebusan sedang bertindak demi bahaya banyak orang, ketidak-bahagiaan banyak orang, demi kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, para deva dan manusia.<66> Para bhikkhu ini menghasilkan banyak keburukan dan menyebabkan Dhamma sejati ini menjadi lenyap.”

160 (11)

“Para bhikkhu, para bhikkhu itu yang menjelaskan apa yang bukan pelanggaran sebagai bukan pelanggaran sedang bertindak demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi manfaat, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia. Para bhikkhu itu menghasilkan banyak jasa dan mempertahankan Dhamma sejati ini.”

161 (12) – 169 (20)

(161) “Para bhikkhu, para bhikkhu itu yang menjelaskan pelanggaran sebagai pelanggaran … (162) … pelanggaran ringan sebagai pelanggaran ringan … (163) … pelanggaran berat sebagai pelanggaran berat … (164) pelanggaran kasar sebagai pelanggaran kasar … (165) pelanggaran yang tidak kasar sebagai bukan pelanggaran kasar … (166) … pelanggaran yang dapat diperbaiki sebagai pelanggaran yang dapat diperbaiki … (167) pelanggaran yang tidak dapat diperbaiki sebagai pelanggaran yang tidak dapat diperbaiki … (168 ) … pelanggaran dengan penebusan sebagai pelanggaran dengan penebusan … (169) … pelanggaran tanpa penebusan sebagai pelanggaran tanpa penebusan sedang bertindak demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi manfaat, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia. Para bhikkhu itu menghasilkan banyak jasa dan mempertahankan Dhamma sejati ini.” [22]

XIII. SATU ORANG

170 (1)

“Para bhikkhu, terdapat satu orang yang muncul di dunia ini demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi belas kasihan kepada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia.<67> Siapakah satu orang itu? Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ini adalah satu orang itu yang muncul di dunia ini … demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia..”

171 (2) – 174 (5)

(171) “Para bhikkhu, manifestasi satu orang adalah jarang terjadi di dunia ini … (172) … terdapat satu orang yang muncul di dunia ini yang luar biasa … (173) … kematian satu orang yang diratapi oleh banyak orang … (174)<68> … terdapat satu orang yang muncul di dunia ini yang unik, tanpa tandingan, tanpa imbangan, tidak terbandingkan, tiada tara, tanpa saingan, tanpa padanan, tanpa ada yang menyamai,<69> yang terunggul di antara makhluk berkaki dua.<70> Siapakah satu orang itu? Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ini adalah satu orang itu yang muncul di dunia ini yang … terunggul di antara makhluk berkaki dua.”

175 (6) – 186 (17) <71>

“Para bhikkhu, manifestasi satu orang adalah (175) manifestasi penglihatan agung … (176) … manifestasi cahaya agung … (177) manifestasi sinar agung … (178) … manifestasi enam hal tidak terlampaui … (179) … realisasi empat pengetahuan analitis … (180) … penembusan banyak elemen … (181) … penembusan keberagaman elemen … (182) … realisasi buah pengetahuan sejati dan pembebasan [23] … (183) … realisasi buah memasuki arus … (184) … realisasi buah yang-kembali-sekali … (185) … realisasi buah yang-tidak-kembali … (186) … realisasi buah Kearahattaan. Siapakah satu orang itu? Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Ini adalah satu orang yang manifestasinya adalah manifestasi penglihatan agung … realisasi buah Kearahattaan.”<72>

187 (18)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu orang pun yang dengan benar melanjutkan pemutaran roda Dhamma yang tiada taranya yang telah diputar oleh Sang Tathāgata seperti halnya Sāriputta. Sāriputta dengan benar melanjutkan pemutaran roda Dhamma yang tiada taranya yang telah diputar oleh Sang Tathāgata.”



Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku SATU
« Reply #5 on: 30 December 2012, 05:32:39 PM »
XIV. TERKEMUKA<73>

i. Sub Bab Pertama

188 (1) – 197 (10)

(188) “Para bhikkhu, yang terkemuka di antara para bhikkhu siswaKu dalam hal senioritas adalah Aññākoṇḍañña.”<74>
(189) “… di antara mereka yang memiliki kebijaksanaan tinggi adalah Sāriputta.”<75>
(190) “… di antara mereka yang memiliki kekuatan batin adalah Mahāmoggallāna.”<76>
(191) “… di antara mereka yang menguraikan praktik pertapaan adalah Mahākassapa.”<77>
(192) “… di antara mereka yang memiliki mata dewa adalah Anuruddha.”<78>
(193) “… di antara mereka yang berasal dari keluarga terhormat adalah Bhaddiya Kāḷigodhāyaputta.”<79>
(194) “… di antara mereka yang memiliki suara merdu adalah Lakuṇṭaka Bhaddiya.”<80>
(195) “… di antara mereka yang memiliki raungan singa adalah Piṇḍola Bhāradvāja.”<81>
(196) “… di antara mereka yang membabarkan Dhamma adalah Puṇṇa Mantāṇiputta.”<82>
(197) .” … di antara mereka yang menjelaskan secara terperinci makna dari apa yang disampaikan secara singkat adalah Mahākaccāna.” [24]

ii. Sub Bab Ke Dua

198 (1) – 208 (11)

(198) “Para bhikkhu, yang terkemuka dari para bhikkhu siswaKu di antara mereka yang menciptakan jasmani ciptaan-pikiran adalah Cullapanthaka.”<83>
(199) “… di antara mereka yang mahir dalam transformasi pikiran adalah Cullapanthaka.”
(200) “… di antara mereka yang mahir dalam transformasi persepsi adalah Mahāpanthaka.”<84>
(201) “… di antara mereka yang berdiam tanpa konflik adalah Subhūti.”<85>
(202) “… di antara mereka yang layak menerima pemberian adalah Subhūti.”
(203) “… di antara para penghuni hutan adalah Revata Khadiravaniya.”<86>
(204) “… di antara para meditator adalah Kankhārevata.”<87>
(205) “… di antara mereka yang membangkitkan kegigihan adalah Soṇa Koḷivīsa.”<88>
(206) “… di antara mereka yang merupakan pembabar yang baik adalah Soṇa Kutikaṇṇa.”<89>
(207) “… Di antara mereka yang mendapatkan perolehan adalah Sīvalī.”<90>
(208) “… di antara mereka yang bertekad melalui keyakinan adalah Vakkalī.”<91>

iii. Sub Bab Ke Tiga

209 (1) – 218 (10)

(209) “Para bhikkhu, yang terkemuka dari para bhikkhu siswaKu di antara mereka yang menginginkan latihan adalah Rāhula.”<92>
(210) “… di antara mereka yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan adalah Raṭṭhapāla.”<93>
(211) “… di antara mereka yang pertama menerima kupon makan adalah Kuṇḍadhāna.”<94>
(212) “… di antara mereka yang menggubah syair inspiratif adalah Vaṅgīsa.”<95>
(213) “… di antara mereka yang menginspirasi keyakinan dalam segala hal adalah Upasena Vaṅgantaputta.”<96>
(214) “… di antara mereka yang menentukan tempat-tempat tinggal adalah Dabba Mallaputta.”<97>
(215) “… di antara mereka yang disukai dan disayangi oleh para dewa adalah Piḷindavaccha.”<98>
(216) “… di antara mereka yang dengan cepat mencapai pengetahuan langsung adalah Bahiya Dārucīriya.”<99>
(217) “… di antara mereka yang membabarkan dalam berbagai cara berbeda adalah Kumārakassapa.”<100>
(218) “… di antara mereka yang telah mencapai pengetahuan analitis adalah Mahākoṭṭhita.”<101>

iv. Sub Bab Ke Empat

219 (1) – 234 (16)

(219) “Para bhikkhu, yang terkemuka dari para bhikkhu siswaKu di antara mereka yang terpelajar adalah Ānanda.”<102>
(220) “… di antara mereka yang memiliki ingatan yang baik adalah Ānanda.” [25]
(221) “… di antara mereka yang memiliki daya tangkap cepat adalah Ānanda.”<103>
(222) “… di antara mereka yang bersungguh-sungguh adalah Ānanda.”<104>
(223) “… di antara para pelayan pribadi adalah Ānanda.”
(224) “… di antara mereka yang memiliki banyak pengikut adalah Uruvelakassapa.”<105>
(225) “… di antara mereka yang menginspirasi keyakinan dalam keluarga-keluarga adalah Kāludāyi.”<106>
(226) “… di antara mereka yang memiliki kesehatan yang baik adalah Bakkula.”<107>
(227) “… di antara mereka yang mengingat kehidupan lampau adalah Sobhita.”<108>
(228) “… di antara para penegak disiplin adalah Upāli.”<109>
(229) “… di antara mereka yang mendorong para bhikkhunī adalah Nandaka.”<110>
(230) “… di antara mereka yang menjaga pintu-pintu indria adalah Nanda.”<111>
(231) “… di antara mereka yang mendorong para bhikkhu adalah Mahākappina.”<112>
(232) “… di antara mereka yang mahir dalam unsur api adaah Sāgata.”<113>
(233) “… di antara mereka yang menerima khotbah yang mengesankan adalah Rādha.”<114>
(234) “… di antara mereka yang mengenakan jubah kasar adalah Mogharājā.”<115>

v. Sub Bab Ke Lima

235 (1) – 247 (13)

(235) “Para bhikkhu, yang terkemuka dari para bhikkhunī siswiKu dalam hal senioritas adalah Mahāpajāpati Gotamī.”<116>
(236) “… di antara mereka yang memiliki kebijaksanaan tinggi adalah Khemā.”<117>
(237) “… di antara mereka yang memiliki kekuatan batin adalah Uppalavaṇṇā.”<118>
(238) “… di antara mereka yang menegakkan disiplin adalah Paṭācārā.”<119>
(239) “… di antara para pembabar Dhamma adalah Dhammadinnā.”<120>
(240) “… di antara para meditator adalah Nandā.”<121>
(241) “… di antara mereka yang membangkitkan kegigihan adalah Soṇā.”<122>
(242) “… di antara mereka yang memiliki mata dewa adalah Sakulā.”<123>
(243) “… di antara mereka yang dengan cepat mencapai pengetahuan langsung adalah Bhadā Kuṇḍalakesā.”<124>
(244) “… di antara mereka yang mengingat kehidupan lampau adalah Bhaddā Kāpilāni.”<125>
(245) “… di antara mereka yang mencapai pengetahuan langsung yang agung adalah Bhaddā Kaccānā.”<126>
(246) “… di antara mereka yang mengenakan jubah kasar adalah Kisāgotamī.”<127>
(247) “… di antara mereka yang bersungguh-sungguh melalui keyakinan adalah Sīgālamātā.”<128>

vi. Sub Bab Ke Enam

248 (1) – 257 (10)

(248) “Para bhikkhu, yang terkemuka dari para umat awam laki-laki dalam hal menjadi yang pertama menyatakan perlindungan [26] adalah para pedagang Tapussa dan Bhallika.”<129>
(249) “… di antara para penyumbang adalah perumah tangga Sudatta Anāthapiṇḍika.”<130>
(250) “… di antara para pembabar Dhamma adalah perumah tangga Citta dari Macchikāsaṇḍa.”<131>
(251) “… di antara mereka yang menggunakan empat cara untuk menarik dan mempertahankan orang lain adalah Hatthaka dari Āḷavī.”<132>
(252) “… di antara mereka yang memberikan apa yang baik adalah Mahānāma orang Sakya.”<133>
(253) “… di antara mereka yang memberikan apa yang menyenangkan adalah perumah tangga Ugga dari Vesālī.”<134>
(254) “… di antara para pelayan Saṅgha adalah perumah tangga Uggata.”<135>
(255) “… di antara mereka yang memiliki keyakinan tak tergoyahkan adalah Sūra Ambaṭṭha.”<136>
(256) “… di antara mereka yang memiliki keyakinan pada orang-orang adalah Jīvaka Komārabhacca.”<137>
(257) “… di antara mereka yang memiliki kepercayaan adalah perumah tangga Nākulapita.”<138>

vii. Sub Bab Ke Tujuh

258 (1) – 267 (10)

(258) “Para bhikkhu, yang terkemuka dari para umat awam perempuan dalam hal menjadi yang pertama menyatakan perlindungan adalah Sujātā, puteri Senānī.”<139>
(259) “… di antara para penyumbang adalah Visākhā Migāramātā.”<140>
(260) “… di antara mereka yang terpelajar adalah Khujjuttarā.”<141>
(261) “… di antara mereka yang berdiam dalam cinta-kasih adalah Sāmāvatī.”<142>
(262) “… di antara para meditator adalah Uttarā Nandamātā.”<143>
(263) “… di antara mereka yang memberikan apa yang baik adalah Suppavāsā puteri orang Koliya.”<144>
(264) “… di antara mereka yang merawat orang sakit adalah umat awam perempuan Suppiya.”<145>
(265) “… di antara mereka yang memiliki keyakinan tak tergoyahkan adalah Kātiyāni.”<146>
(266) “… di antara mereka yang akrab adalah ibu rumah tangga Nākulamātā.”<147>
(267) “… di antara mereka yang memiliki keyakinan berdasarkan kabar angin adalah umat awam perempuan Kāḷī dari Kuraraghara.”<148>

XV. TIDAK MUNGKIN<149>

268 (1)

“Adalah tidak mungkin dan tidak masuk akal, para bhikkhu, bahwa seseorang yang sempurna dalam pandangan, dapat menganggap fenomena apa pun yang terkondisi sebagai kekal; tidak ada kemungkinan seperti itu. Tetapi adalah mungkin [27] bahwa seorang kaum duniawi dapat menganggap suatu fenomena terkondisi sebagai kekal; ada kemungkinan seperti itu.”<150>

269 (2)

“Adalah tidak mungkin dan tidak masuk akal, para bhikkhu, bahwa seseorang yang sempurna dalam pandangan, dapat menganggap fenomena apa pun yang terkondisi sebagai menyenangkan; tidak ada kemungkinan seperti itu. Tetapi adalah mungkin bahwa seorang kaum duniawi dapat menganggap suatu fenomena terkondisi sebagai menyenangkan; ada kemungkinan seperti itu.”<151>

270 (3)

“Adalah tidak mungkin dan tidak masuk akal, para bhikkhu, bahwa seseorang yang sempurna dalam pandangan, dapat menganggap fenomena apa pun yang terkondisi sebagai diri; tidak ada kemungkinan seperti itu. Tetapi adalah mungkin bahwa seorang kaum duniawi dapat menganggap suatu fenomena terkondisi sebagai diri; ada kemungkinan seperti itu.”<152>

271 (4) – 276 (9)

(271) “Adalah tidak mungkin dan tidak masuk akal, para bhikkhu, bahwa seseorang yang sempurna dalam pandangan, dapat membunuh ibunya … (272) bahwa seseorang yang sempurna dalam pandangan, dapat membunuh ayahnya … (273) bahwa seseorang yang sempurna dalam pandangan, dapat membunuh seorang Arahant … (274) bahwa seseorang yang sempurna dalam pandangan dapat, dengan pikiran kebencian, melukai seorang Tathāgata hingga berdarah … (275) bahwa seseorang yang sempurna dalam pandangan, dapat memecah belah Saṅgha … (276) bahwa seseorang yang sempurna dalam pandangan, dapat mengakui orang lain [selain Sang Buddha] sebagai gurunya; tidak ada kemungkinan seperti itu. Tetapi adalah mungkin bahwa seorang kaum duniawi dapat mengakui seorang lain [ selain Sang Buddha] sebagai gurunya; ada kemungkinan seperti itu.”<153>

277 (10)

“Adalah tidak mungkin dan tidak masuk akal, para bhikkhu, bahwa dua Arahant yang adalah para Buddha yang tercerahkan sempurna<154> [28] dapat muncul pada masa yang sama dalam satu sistem dunia; tidak ada kemungkinan seperti itu. Tetapi adalah mungkin bahwa seorang Arahant yang adalah Buddha yang tercerahkan sempurna dapat muncul dalam satu sistem dunia; ada kemungkinan seperti itu.”<155>

278 (11)

“Adalah tidak mungkin dan tidak masuk akal, para bhikkhu, bahwa dua Raja Pemutar Roda dapat muncul pada masa yang sama dalam satu sistem dunia; tidak ada kemungkinan seperti itu.<156> Tetapi adalah mungkin bahwa seorang Raja Pemutar Roda dapat muncul dalam satu sistem dunia; ada kemungkinan seperti itu.”

279 (12) – 283 (16)

(279) “Adalah tidak mungkin dan tidak masuk akal, para bhikkhu, bahwa seorang perempuan dapat menjadi seorang Arahant yang adalah seorang Buddha yang tercerahkan sempurna … (280) … bahwa seorang perempuan dapat menjadi seorang Raja Pemutar Roda … (281) … bahwa seorang perempuan dapat menempati posisi Sakka … (282) … bahwa seorang perempuan dapat menempati posisi Māra … (283) … bahwa seorang perempuan dapat menempati posisi Brahmā; tidak ada kemungkinan seperti itu. Tetapi adalah mungkin bahwa seorang laki-laki dapat menempati posisi Brahmā; ada kemungkinan seperti itu.”<157>

284 (17) – 286 (19)

(284) “Adalah tidak mungkin dan tidak masuk akal, para bhikkhu, bahwa suatu akibat yang diharapkan, diinginkan, dan menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku salah melalui jasmani … (285) …  bahwa suatu akibat yang diharapkan, diinginkan, dan menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku salah melalui ucapan … (286) … bahwa suatu akibat yang diharapkan, diinginkan, dan menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku salah melalui pikiran; tidak ada kemungkinan seperti itu. Tetapi ada kemungkinan bahwa suatu akibat yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan dapat dihasilkan dari [perilaku salah melalui jasmani … dari perilaku salah melalui ucapan …] dari perilaku salah melalui pikiran; ada kemungkinan seperti itu.”

287 (20) – 289 (22)

(287) “Adalah tidak mungkin dan tidak masuk akal, para bhikkhu, bahwa suatu akibat yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku benar melalui jasmani [29] … (288) …  bahwa suatu akibat yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku benar melalui ucapan … (289) … bahwa suatu akibat yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan dapat dihasilkan dari perilaku benar melalui pikiran; tidak ada kemungkinan seperti itu. Tetapi ada kemungkinan bahwa suatu akibat yang diharapkan, diinginkan, dan menyenangkan dapat dihasilkan [dari perilaku benar melalui jasmani … dari perilaku benar melalui ucapan … ] dari perilaku benar melalui pikiran; ada kemungkinan seperti itu.”<158>

290 (23) – 292 (25)

(290) “Adalah tidak mungkin dan tidak masuk akal, para bhikkhu, bahwa seseorang yang melakukan perbuatan salah melalui jasmani dapat karena hal itu, karena alasan itu, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga … (291) … bahwa seseorang yang melakukan perbuatan salah melalui ucapan dapat karena hal itu, karena alasan itu, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga … (292) , bahwa seseorang yang melakukan perbuatan salah melalui pikiran dapat karena hal itu, karena alasan itu, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga; tidak ada kemungkinan seperti itu. Tetapi adalah mungkin bahwa seseorang yang melakukan [perbuatan salah melalui jasmani … perbuatan salah melalui ucapan …] perbuatan salah melalui pikiran dapat karena hal itu, karena alasan itu, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka; ada kemungkinan seperti itu.”

293 (26) – 295 (28)

(293) “Adalah tidak mungkin dan tidak masuk akal, para bhikkhu, bahwa seseorang yang melakukan perbuatan benar melalui jasmani dapat karena hal itu, karena alasan itu, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka … (294) … bahwa seseorang yang melakukan perbuatan benar melalui ucapan dapat karena hal itu, karena alasan itu, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka … (295) bahwa seseorang yang melakukan perbuatan benar melalui pikiran dapat karena hal itu, karena alasan itu, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam sengsara, dalam takdir yang buruk, di alam rendah, di neraka; tidak ada kemungkinan seperti itu. Tetapi adalah mungkin [30] bahwa seseorang yang melakukan [perbuatan benar melalui jasmani … perbuatan benar melalui ucapan …] perbuatan benar melalui pikiran dapat karena hal itu, karena alasan itu, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga; ada kemungkinan seperti itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku SATU
« Reply #6 on: 30 December 2012, 05:33:49 PM »
XVI. SATU HAL<159>

i. Sub Bab Pertama

296 (1)

“Para bhikkhu, ada satu hal yang, ketika dikembangkan dan dilatih, akan mengarah secara eksklusif pada kekecewaan, pada kebosanan, pada lenyapnya, pada kedamaian, pada pengetahuan langsung, pada pencerahan, pada nibbāna.<160> Apakah satu hal itu? Perenungan pada Buddha.<161>Ini adalah satu hal yang, ketika dikembangkan dan dilatih, akan mengarah secara eksklusif pada kekecewaan … pada nibbāna.”

297 (2) – 305 (10) <162>

(297) “Para bhikkhu, ada satu hal yang, ketika dikembangkan dan dilatih, akan mengarah secara eksklusif pada kekecewaan, pada kebosanan, pada lenyapnya, pada kedamaian, pada pengetahuan langsung, pada pencerahan, pada nibbāna. Apakah satu hal itu? Perenungan pada Dhamma … (298) Perenungan pada Saṅgha … (299) Perenungan pada perilaku bermoral … (300) Perenungan pada kedermawanan … (301) Perenungan pada para deva … (302) Perhatian pada pernafasan … (303) Perhatian pada kematian … (304) Perhatian yang diarahkan pada jasmani … (305) Perenungan pada kedamaian.<163>  Ini adalah satu hal yang, ketika dikembangkan dan dilatih, akan mengarah secara eksklusif pada kekecewaan … pada nibbāna.”

ii. Sub Bab Ke Dua<164>

306 (1)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang karenanya kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat seperti halnya pandangan salah. Bagi seorang yang berpandangan salah, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat.”

307 (2)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang karenanya kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat seperti halnya pandangan benar. [31] Bagi seorang yang berpandangan benar, maka kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat.”

308 (3)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang karenanya kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi tidak muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang seperti halnya pandangan salah.<165> Bagi seorang yang berpandangan salah, maka kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi tidak muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”

309 (4)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang karenanya kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi tidak muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang seperti halnya pandangan benar.<166> Bagi seorang yang berpandangan benar, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi tidak muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”

310 (5)

“Para bhikkhu, Aku tidak bahkan satu hal pun yang karenanya pandangan salah yang belum muncul menjadi muncul dan pandangan salah yang telah muncul menjadi bertambah seperti halnya pengamatan tidak waspada. Bagi seorang yang memiliki pengamatan tidak waspada, maka pandangan salah yang belum muncul menjadi muncul dan pandangan salah yang telah muncul menjadi bertambah.”<167>

311 (6)

“Para bhikkhu, Aku tidak bahkan satu hal pun yang karenanya pandangan benar yang belum muncul menjadi muncul dan pandangan benar yang telah muncul menjadi bertambah seperti halnya pengamatan waspada. Bagi seorang yang memiliki pengamatan waspada, maka pandangan benar yang belum muncul menjadi muncul dan pandangan benar yang telah muncul menjadi bertambah.”<168>

312 (7)

“Para bhikkhu, Aku tidak bahkan satu hal pun yang karenanya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makkhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka, seperti halnya pandangan salah. Dengan memiliki pandangan salah, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makkhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka.”

313 (8 )

“Para bhikkhu, Aku tidak bahkan satu hal pun [32] yang karenanya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makkhluk-makhluk terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga, seperti halnya pandangan benar. Dengan memiliki pandangan benar, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makkhluk-makhluk terlahir kembali dalam takdir yang baik, di alam surga.”

314 (9) <169>

“Para bhikkhu, bagi seorang yang berpandangan salah, apa pun kamma jasmani, kamma ucapan, dan kamma pikiran yang ia dorong dan ia lakukan sesuai dengan pandangan itu, dan apa pun kehendaknya, kerinduannya, kecenderungannya, dan aktvitas-aktivitas kehendaknya, semuanya mengarah pada apa yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan, pada bahaya dan penderitaan. Karena alasan apakah? Karena pandangannya buruk.

“Misalkan, para bhikkhu, sebutir benih nimba, pare, atau labu pahit<170> ditanam di tanah yang lembab. Apa pun nutrisi yang diperoleh benih itu dari tanah dan dari air semuanya akan mengarah pada rasa pahit, getir, dan tidak menyenangkan. Karena alasan apakah? Karena benih itu adalah benih yang buruk. Demikian pula, bagi seorang yang berpandangan salah … semuanya mengarah pada apa yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan, pada bahaya dan penderitaan. Karena alasan apakah? Karena pandangannya buruk.”

315 (10)

“Para bhikkhu, bagi seorang yang berpandangan benar, apa pun kamma jasmani, kamma ucapan, dan kamma pikiran yang ia dorong dan ia lakukan sesuai dengan pandangan itu, dan apa pun kehendaknya, kerinduannya, kecenderungannya, dan aktvitas-aktivitas kehendaknya, semuanya mengarah pada apa yang diharapkan, diinginkan, dan menyenangkan, pada kesejahteraan dan kebahagiaan. Karena alasan apakah? Karena pandangannya baik.

“Misalkan, para bhikkhu, sebutir benih tebu, beras gunung, atau anggur ditanam di tanah yang lembab. Apa pun nutrisi yang diperoleh benih itu dari tanah dan dari air semuanya akan mengarah pada rasa manis, menyenangkan, dan lezat.<171> Karena alasan apakah? Karena benih itu adalah benih yang baik. Demikian pula, bagi seorang yang berpandangan benar … semuanya mengarah pada apa yang diharapkan, diinginkan, dan menyenangkan, pada kesejahteraan dan kebahagiaan. Karena alasan apakah? Karena pandangannya baik.” [33]

iii. Sub Bab Ke Tiga<172>

316 (1)

“Para bhikkhu, ada satu orang yang muncul di dunia ini demi bahaya banyak orang, demi ketidak-bahagiaan banyak orang, demi kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, para deva dan manusia. Siapakah satu orang itu? Yaitu seorang yang menganut pandangan salah dan memiliki perspektif yang tidak benar. Ia mengalihkan banyak orang dari Dhamma sejati dan menegakkan Dhamma yang buruk pada mereka. Ini adalah satu orang yang muncul di dunia ini demi bahaya banyak orang, demi ketidak-bahagiaan banyak orang, demi kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, para deva dan manusia.”<173>

317 (2)

“Para bhikkhu, ada satu orang yang muncul di dunia ini demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia. Siapakah satu orang itu? Yaitu seorang yang menganut pandangan benar dan memiliki perspektif yang benar. Ia mengalihkan banyak orang dari Dhamma yang buruk dan menegakkan Dhamma sejati pada mereka. Ini adalah satu orang yang muncul di dunia ini demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan banyak orang, para deva dan manusia.”<174>

318 (3)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu tercela seperti halnya pandangan salah. Pandangan salah adalah hal terburuk yang tercela.”

319 (4)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu orang pun yang bertindak sedemikian demi bahaya banyak orang, ketidak-bahagiaan banyak orang, demi kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, para deva dan manusia, seperti halnya manusia kosong Makkhali.<175> Seperti halnya sebuah perangkap yang dipasang di muara sungai akan membawa bahaya, penderitaan, kemalangan, dan bencana bagi banyak ikan, demikian pula, manusia kosong Makkhali adalah ‘perangkap bagi orang-orang’<176> yang telah muncul di dunia ini demi bahaya, penderitaan, kemalangan, dan bencana bagi banyak makhluk.” [34]

320 (5)

“Para bhikkhu, seorang yang mendorong [orang lain] dalam Dhamma dan disiplin yang dibabarkan dengan buruk, dan orang yang ia dorong, dan orang yang, setelah didorong demikian, kemudian mempraktikkan sesuai itu, semuanya menghasilkan banyak keburukan. Karena alasan apakah? Karena Dhamma itu dibabarkan dengan buruk.”

321 (6)

“Para bhikkhu, seorang yang mendorong [orang lain] dalam Dhamma dan disiplin yang dibabarkan dengan baik, dan orang yang ia dorong, dan orang yang, setelah didorong demikian, kemudian mempraktikkan sesuai itu, semuanya menghasilkan banyak kebaikan. Karena alasan apakah? Karena Dhamma itu dibabarkan dengan baik.”

322 (7)

“Para bhikkhu dengan Dhamma dan disiplin yang dibabarkan dengan buruk, maka jumlah secukupnya harus diketahui oleh pemberi [pemberian], bukan oleh penerima.<177> Karena alasan apakah? Karena Dhamma itu dibabarkan dengan buruk.”

323 (8 )

“Para bhikkhu dengan Dhamma dan disiplin yang dibabarkan dengan baik, maka jumlah secukupnya harus diketahui oleh penerima [pemberian], bukan oleh pemberi.<178> Karena alasan apakah? Karena Dhamma itu dibabarkan dengan baik.”

324 (9)

“Para bhikkhu, siapa pun yang membangkitkan kegigihan di dalam Dhamma dan displin yang dibabarkan dengan buruk, maka ia akan berdiam dalam penderitaan. Karena alasan apakah? Karena Dhamma itu dibabarkan dengan buruk.”

325 (10)

“Para bhikkhu, siapa pun yang malas di dalam Dhamma dan displin yang dibabarkan dengan baik, maka ia akan berdiam dalam penderitaan. Karena alasan apakah? Karena Dhamma itu dibabarkan dengan baik.”

326 (11)

“Para bhikkhu, siapa pun yang malas di dalam Dhamma dan displin yang dibabarkan dengan buruk, maka ia akan berdiam dalam kebahagiaan. Karena alasan apakah? Karena Dhamma itu dibabarkan dengan buruk.”

327 (12)

“Para bhikkhu, siapa pun yang membangkitkan kegigihan di dalam Dhamma dan displin yang dibabarkan dengan baik, maka ia akan berdiam dalam kebahagiaan. Karena alasan apakah? Karena Dhamma itu dibabarkan dengan baik.”

328 (13)

“Para bhikkhu, seperti halnya bahkan sejumlah kecil tinja adalah berbau busuk, demikian pula Aku tidak memuji bahkan sejumlah kecil penjelmaan, bahkan selama sejentikan jari.”<179>

329 (14) – 332 (17) <180>

(329) “Para bhikkhu, seperti halnya bahkan sejumlah kecil air kencing adalah berbau busuk … (330) sejumlah kecil air ludah adalah berbau busuk … (331) sejumlah kecil nanah adalah berbau busuk … [35] … (332) sejumlah kecil darah adalah berbau busuk, demikian pula Aku tidak memuji bahkan sejumlah kecil penjelmaan, bahkan selama sejentikan jari.”

iv. Rangkaian Pengulangan Jambudīpa [Sub Bab Ke Empat] <181>

333 (1) – 347 (15) <182>

(333) “Seperti halnya, para bhikkhu, di Jambudīpa ini,<183> taman-taman, hutan-hutan, pemandangan-pemandangan yang indah adalah sedikit, sedangkan lebih banyak bukit-bukti dan lereng-lereng, sungai-sungai yang sulit diseberangi, tempat-tempat dengan tunggul-tunggul pohon dan duri, dan barisan pegunungan, demikian pula makhluk-makhluk yang terlahir kembali di tanah kering adalah lebih sedikit; lebih banyak makhluk-makhluk yang terlahir di air.”

(334) “… demikian pula makhluk-makhluk yang terlahir kembali di antara manusia adalah lebih sedikit; lebih banyak makhluk-makhluk yang terlahir kembali di tempat selain daripada di antara manusia.”

(335) “… demikian pula makhluk-makhluk yang terlahir kembali di wilayah tengah adalah lebih sedikit; lebih banyak makhluk-makhluk yang terlahir kembali di wilayah terpencil di antara orang-orang asing yang kasar.”<184>

(336) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang bijaksana, cerdas, cerdik, mampu memahami apa yang telah dinyatakan dengan baik dan dinyatakan dengan buruk; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak bijaksana, bodoh, tumpul, tidak mampu memahami apa yang telah dinyatakan dengan baik dan dinyatakan dengan buruk.”

(337) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang memiliki mata kebijaksanaan yang mulia; lebih banyak makhluk-makhluk yang bingung dan tenggelam dalam ketidak-tahuan.”<185>

(338) “… … demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang dapat melihat Sang Tathāgata; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak dapat melihat Beliau.”

(339) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang dapat mendengar Dhamma dan disiplin yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata; [36] lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak dapat mendengarnya.”

(340) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang, setelah mendengar Dhamma, kemudian mengingatnya; lebih banyak makhluk-makhluk yang setelah mendengar Dhamma, tidak mengingatnya.”

(341) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang memeriksa makna dari ajaran-ajaran setelah mengingatnya; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak memeriksa makna dari ajaran-ajaran setelah mengingatnya.”

(342) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang memahami makna dan Dhamma dan kemudian mempraktikkan sesuai Dhamma; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak memahami makna dan Dhamma dan tidak mempraktikkan sesuai Dhamma.”<186>

(343) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang memperoleh desakan atas hal-hal yang menginspirasi desakan; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak memperoleh desakan atas hal-hal yang menginspirasi desakan.”<187>

(344) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang, ketika terinspirasi oleh keterdesakan, kemudian berusaha dengan seksama; lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika terinspirasi oleh keterdesakan, tidak berusaha dengan seksama.”

(345) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang memperoleh konsentrasi, keterpusatan pikiran, yang berdasarkan pada kebebasan; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak memperoleh konsentrasi, keterpusatan pikiran, yang berdasarkan pada kebebasan.”<188>

(346) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang memperoleh makanan-makanan lezat; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak memperoleh makanan demikian tetapi bertahan dari makanan-makanan sisa di dalam mangkuk.”

(347) “… demikian pula terdapat lebih sedikit makhluk-makhluk yang memperoleh rasa makna, rasa Dhamma, rasa kebebasan; lebih banyak makhluk-makhluk yang tidak memperoleh rasa makna, rasa Dhamma, rasa kebebasan.<189> Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memperoleh rasa makna, rasa Dhamma, rasa kebebasan.’ Demikianlah kalian harus berlatih.” [37]

348 (16) – 377 (45) <190>

(348) – (350) “Seperti halnya, para bhikkhu, di Jambudīpa ini, taman-taman, hutan-hutan, pemandangan-pemandangan yang indah adalah sedikit, sedangkan lebih banyak bukit-bukti dan lereng-lereng, sungai-sungai yang sulit diseberangi, tempat-tempat dengan tunggul-tunggul pohon dan duri, dan barisan pegunungan, demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, kemudian terlahir kembali di tengah-tengah manusia lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”<191>

(351) – (353) “… demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, kemudian terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai manusia, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”

(354) – (356) “… demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, kemudian terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”

(357) – (359) “… demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, kemudian terlahir kembali di antara para manusia lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia sebagai deva, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”

(360) – (362) “… demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, kemudian terlahir kembali di antara para manusia lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”

(363) – (365)  “… demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, kemudian terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam neraka, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”

(366) – (368)  “… demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, kemudian terlahir kembali di antara para manusia lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”

(369) – (371) “… demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, kemudian terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk [38] yang, ketika meninggal dunia dari alam binatang, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”

(372) – (374) “… demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu menderita, kemudian terlahir kembali di antara para menusia lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu menderita, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”

(375) – (377) “… demikian pula makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu menderita, kemudian terlahir kembali di antara para deva lebih sedikit. Lebih banyak makhluk-makhluk yang, ketika meninggal dunia dari alam hantu menderita, kemudian terlahir kembali di neraka … di alam binatang … di alam hantu-hantu yang menderita.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku SATU
« Reply #7 on: 30 December 2012, 05:35:03 PM »
XVII. KUALITAS-KUALITAS YANG MEMUNCULKAN KEYAKINAN

(378 (1) – 393 (16) <192>

“Para bhikkhu, ini adalah suatu jenis perolehan, yaitu, (378) menjadi seorang penghuni hutan, (379) menjadi seorang yang hidup dari makanan yang diperoleh dari menerima dana makanan, (380) menjadi seorang pemakai jubah potongan kain, (381) memiliki hanya tiga jubah,<193> (382) menjadi seorang pembabar Dhamma, (383) menjadi seorang penegak disiplin, (384) banyak belajar, (385) waktu yang lama menjadi bhikkhu, (386)  memiliki sikap selayaknya, (387) memperoleh pengikut, (388) memiliki banyak pengikut, (389) berasal dari keluarga yang baik, (390) memiliki penampilan yang menarik, (391) menjadi seorang pembabar yang baik, (392) memiliki sedikit keinginan, (393) memiliki kesehatan yang baik.”

XVIII. JENTIKAN JARI<194>

394 (1)

“Para bhikkhu, jika hanya selama sejentikan jari seorang bhikkhu mengembangkan jhāna pertama, maka ia disebut seorang bhikkhu yang tidak hampa dari jhāna, yang bertindak sesuai ajaran Sang Guru, yang menuruti nasihat Beliau, dan yang tidak memakan dana makanan dari desa dengan sia-sia. Apalagi bagi mereka yang melatihnya!”

395 (2) -401 (8 )

“Para bhikkhu, jika hanya selama sejentikan jari seorang bhikkhu mengembangkan (395) jhāna ke dua … (396) jhāna ke tiga … (397) jhāna ke empat … (498) kebebasan pikiran melalui cinta kasih … (399) kebebasan pikiran melalui belas kasihan … [39] (400) kebebasan pikiran melalui keseimbangan,<195> maka ia disebut seorang bhikkhu yang tidak hampa dari jhāna, yang bertindak sesuai ajaran Sang Guru, yang menuruti nasihat Beliau, dan yang tidak memakan dana makanan dari desa dengan sia-sia. Apalagi bagi mereka yang melatihnya!”

402 (9) – 405 (12) <196>

“… (402) berdiam dengan merenungkan jasmani dalam jasmani,<197> tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia … (403) berdiam dengan merenungkan perasaan dalam perasaan … (404) berdiam dengan merenungkan pikiran dalam pikiran … (405) berdiam dengan merenungkan fenomena-fenomena dalam fenomena-fenomena, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia …”

406 (13) – 409 (16)

“… (406) membangkitkan keinginan untuk tidak memunculkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul; berusaha, membangkitkan kegigihan, mengarahkan pikirannya, dan berjuang … (407) membangkitkan keinginan untuk meninggalkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul, berusaha; membangkitkan kegigihan, mengarahkan pikirannya, dan berjuang … (408) membangkitkan keinginan untuk memunculkan kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul; berusaha, membangkitkan kegigihan, mengarahkan pikirannya, dan berjuang … (409) membangkitkan keinginan untuk mempertahankan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul; berusaha, membangkitkan kegigihan, mengarahkan pikirannya, dan berjuang … “

410 (17) – 413 (20)

“… (410) mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena keinginan dan aktivitas-aktivitas berusaha … (411) mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi  karena kegigihan dan aktivitas-aktivitas berusaha … (412) mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena pikiran dan aktivitas-aktivitas berusaha … (413) mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena penyelidikan dan aktivitas-aktivitas berusaha …

414 (21) – 423 (30)

“… (414) mengembangkan indria keyakinan … (415) mengembangkan indria kegigihan … (416) mengembangkan indria perhatian … (417) mengembangkan indria konsentrasi … (418) mengembangkan indria kebijaksanaan … (419) mengembangkan kekuatan keyakinan … (420) mengembangkan kekuatan kegigihan … (421) mengembangkan kekuatan perhatian … (422) mengembangkan kekuatan konsentrasi … (423) mengembangkan kekuatan kebijaksanaan …

424 (31) – 430 (37)

“… (424) mengembangkan faktor pencerahan perhatian … (425) mengembangkan faktor pencerahan pembedaan fenomena-fenomena … (426) mengembangkan faktor pencerahan kegigihan [40] … (427) mengembangkan faktor pencerahan sukacita … (428) mengembangkan faktor pencerahan ketenangan … (429) mengembangkan faktor pencerahan konsentrasi … (430) mengembangkan faktor pencerahan keseimbangan …”

431 (38) – 438 (45)

“… (431) mengembangkan pandangan benar … (432) mengembangkan kehendak benar … (433) mengembangkan ucapan benar … (434) mengembangkan perbuatan benar … (435) mengembangkan penghidupan benar … (436) mengembangkan usaha benar … (437) mengembangkan perhatian benar … (438) mengembangkan konsentrasi benar …”

439 (46) – 446 (53) <198>

“… (439) memiliki persepsi bentuk-bentuk secara internal, melihat bentuk-bentuk secara eksternal, terbatas, indah atau buruk, dan setelah mengatasinya, kemudian memiliki persepsi sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat’ … (440) memiliki persepsi bentuk-bentuk secara internal, melihat bentuk-bentuk secara eksternal, tidak terukur, indah atau buruk, dan setelah mengatasinya, kemudian memiliki persepsi sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat’ … (440) memiliki persepsi bentuk-bentuk secara internal, melihat bentuk-bentuk secara eksternal, terbatas, indah atau buruk, dan setelah mengatasinya, kemudian memiliki persepsi sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat’ … (442) tidak memiliki persepsi bentuk-bentuk secara internal, melihat bentuk-bentuk secara eksternal, tidak terukur, indah atau buruk, dan setelah mengatasinya, kemudian memiliki persepsi sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat’ … (443) tidak memiliki persepsi bentuk-bentuk secara internal, melihat bentuk-bentuk secara eksternal, yang biru, berwarna biru, bercorak biru, bernuansa biru, dan setelah mengatasinya, kemudian memiliki persepsi sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat’ … (444) ) tidak memiliki persepsi bentuk-bentuk secara internal, melihat bentuk-bentuk secara eksternal, yang kuning, berwarna kuning, bercorak kuning, bernuansa kuning, dan setelah mengatasinya, kemudian memiliki persepsi sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat’ … (445) tidak memiliki persepsi bentuk-bentuk secara internal, melihat bentuk-bentuk secara eksternal, yang merah, berwarna merah, bercorak merah, bernuansa merah, dan setelah mengatasinya, kemudian memiliki persepsi sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat’ … (446) tidak memiliki persepsi bentuk-bentuk secara internal, melihat bentuk-bentuk secara eksternal, yang putih, berwarna putih, bercorak putih, bernuansa putih, dan setelah mengatasinya, kemudian memiliki persepsi sebagai berikut: ‘Aku mengetahui, aku melihat’ …

447 (54) – 454 961) <199>

“… (447) memiliki bentuk melihat bentuk-bentuk … [41] (448) tidak memiliki persepsi bentuk-bentuk secara internal melihat bentuk-bentuk secara eksternal … (449) terpusat hanya pada ‘yang indah’ … (450) dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan mempersepsikan] ‘ruang adalah tanpa batas,’ masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas … (451) dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas … (452) dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan mempersepsikan] ‘tidak ada apa-apa,’ masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan … (453) dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi … (454) dengan sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan …”

455 (62) – 464 (71)

“… (455) mengembangkan kasiṇa tanah …<200> (456) mengembangkan kasiṇa air … (457) mengembangkan kasiṇa api … (458) mengembangkan kasiṇa angin … (459) mengembangkan kasiṇa biru … (460) mengembangkan kasiṇa kuning … (461) mengembangkan kasiṇa merah … (462) mengembangkan kasiṇa putih … (463) mengembangkan kasiṇa ruang … (464 mengembangkan kasiṇa kesadaran …”

465 (72) – 474 (81)

“… (465) mengembangkan persepsi ketidak-menarikan … (464) mengembangkan persepsi kematian … (467) mengembangkan persepsi kejijikan pada makanan … (468) mengembangkan persepsi ketidak-menyenangkan dalam keseluruhan dunia … (469) mengembangkan persepsi ketidak-kekalan … (470) mengembangkan persepsi penderitaan dalam ketidak-kekalan … (471) mengembangkan persepsi bukan-diri dalam apa yang merupakan penderitaan … (472) mengembangkan persepsi pelepasan … (473) mengembangkan persepsi kebosanan … (474) mengembangkan persepsi pelenyapan …”

475 (82) – 484 (91)

“… (475) mengembangkan persepsi ketidak-kekalan … (476) mengembangkan persepsi bukan-diri … [42] (477) mengembangkan persepsi kematian … (478) mengembangkan persepsi kejijikan pada makanan … (479) mengembangkan persepsi ketidak-menyenangkan dalam keseluruhan dunia … (480) mengembangkan persepsi mayat yang dikerubuti belatung … (482) mengembangkan persepsi mayat yang memucat … (483) mengembangkan persepsi mayat yang tercabik … (484) mengembangkan persepsi mayat yang membengkak …”<201>

485 (92) – 494 (101)

“… (485) mengembangkan perenungan pada Buddha … (486) mengembangkan perenungan pada Dhamma … (487) mengembangkan perenungan pada Saṅgha … (488) mengembangkan perenungan pada perilaku bermoral … (489) mengembangkan perenungan pada kedermawanan … (490) mengembangkan perenungan pada dewata … (491) mengembangkan perhatian pada pernafasan … (492) mengembangkan perhatian pada kematian … (493) mengembangkan perhatian yang diarahkan pada jasmani … (494) mengembangkan perenungan pada kedamaian …”

495 (102) – 534 (141)

“… (495) mengembangkan indria keyakinan yang disertai oleh jhāna pertama … (496) mengembangkan indria kegigihan … (497) mengembangkan indria perhatian … (498) mengembangkan indria konsentrasi … (499) mengembangkan indria kebijaksanaan … (500) mengembangkan kekuatan keyakinan … (496) mengembangkan kekuatan kegigihan … (497) mengembangkan kekuatan perhatian … (498) mengembangkan kekuatan konsentrasi … (499) mengembangkan kekuatan kebijaksanaan disertai oleh jhāna pertama …”

“… (505) – (514) mengembangkan indria keyakinan … kekuatan kebijaksanaan yang disertai oleh jhāna ke dua … (515) – (524) mengembangkan indria keyakinan … kekuatan kebijaksanaan yang disertai oleh jhāna ke tiga … (525) – (534) mengembangkan indria keyakinan … kekuatan kebijaksanaan yang disertai oleh jhāna ke empat …”<202>

535 (142) – 574 (181)

“… (535) mengembangkan indria keyakinan yang disertai oleh cinta kasih … (536) mengembangkan indria kegigihan … (537) mengembangkan indria perhatian … (538) mengembangkan indria konsentrasi … (539) mengembangkan indria kebijaksanaan … (540) mengembangkan kekuatan keyakinan … (541) mengembangkan kekuatan kegigihan … (542) mengembangkan kekuatan perhatian … (543) mengembangkan kekuatan konsentrasi … (544) mengembangkan kekuatan kebijaksanaan yang disertai oleh cinta kasih … “

“… (545) – (554) mengembangkan indria keyakinan … mengembangkan kekuatan kebijaksanaan yang disertai oleh belas kasihan … (555) – (564) mengembangkan indria keyakinan … mengembangkan kekuatan kebijaksanaan yang disertai oleh kegembiraan altruistik … (565) – (574) mengembangkan indria keyakinan … mengembangkan kekuatan kebijaksanaan yang disertai oleh keseimbangan<203> … [43] … maka ia disebut seorang bhikkhu yang tidak hampa dari jhāna, yang bertindak sesuai ajaran Sang Guru, yang menuruti nasihat Beliau, dan yang tidak memakan dana makanan dari desa dengan sia-sia. Apalagi bagi mereka yang melatihnya!”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku SATU
« Reply #8 on: 30 December 2012, 05:37:24 PM »
XIX. PERHATIAN YANG DIARAHKAN PADA JASMANI<204>

575 (1)

“Para bhikkhu, seperti halnya seseorang yang dengan pikirannya melingkupi samudera raya telah memasukkan semua aliran yang memasuki samudera, demikian pula siapa pun yang mengembangkan dan melatih perhatian yang diarahkan pada jasmani telah memasukkan semua kualitas-kualitas bermanfaat yang berhubungan dengan pengetahuan sejati.”<205>

576 (2) – 582 (8 )

“Para bhikkhu, satu hal, ketika dikembangkan dan dilatih, (576) mengarah pada desakan kuat<206> … (577) mengarah pada manfaat besar … (578) mengarah pada keamanan tinggi dari belenggu … (579) mengarah pada perhatian dan pemahaman jernih … (580) mengarah pada pencapaian pengetahuan dan penglihatan … (581) mengarah pada kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini … (582) mengarah pada realisasi buah pengetahuan dan kebebasan. Apakah satu hal itu? Perhatian yang diarahkan pada jasmani. Ini adalah satu hal itu yang, , ketika dikembangkan dan dilatih, mengarah pada realisasi buah pengetahuan dan kebebasan.”

583 (9) <207>

“Para bhikkhu, ketika satu hal dikembangkan dan dilatih, maka jasmani menjadi tenang, pikiran menjadi tenang, pemikiran dan pemeriksaan mereda, dan semua kualitas-kualitas bermanfaat yang berhubungan dengan pengetahuan sejati mencapai pemenuhan melalui pengembangan. Apakah satu hal itu? Perhatian yang diarahkan pada jasmani. [44] Ketika satu hal ini dikembangkan dan dilatih, maka jasmani menjadi tenang, pikiran menjadi tenang, pemikiran dan pemeriksaan mereda, dan semua kualitas-kualitas bermanfaat yang berhubungan dengan pengetahuan sejati mencapai pemenuhan melalui pengembangan.”

584 (10) <208>

“Para bhikkhu, ketika satu hal dikembangkan dan dilatih, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi tidak muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi ditinggalkan. Apakah satu hal itu? Perhatian yang diarahkan pada jasmani. Ketika satu hal ini dikembangkan dan dilatih, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi tidak muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi ditinggalkan.”

585 (11) <209>

“Para bhikkhu, ketika satu hal dikembangkan dan dilatih, maka kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat. Apakah satu hal itu? Perhatian yang diarahkan pada jasmani. Ketika satu hal ini dikembangkan dan dilatih, maka kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi bertambah dan meningkat.”

586 (12) – 590 (16) <210>

“Para bhikkhu, ketika satu hal dikembangkan dan dilatih, maka (586) ketidak-tahuan ditinggalkan … (587) pengetahuan sejati muncul … (588) keangkuhan ‘aku’ ditinggalkan … (589) kecenderungan tersembunyi dicabut … (590) belenggu-belenggu ditinggalkan. Apakah satu hal itu? Perhatian yang diarahkan pada jasmani. Ketika satu hal ini dikembangkan dan dilatih, maka ketidak-tahuan ditinggalkan … pengetahuan sejati muncul … keangkuhan ‘aku’ ditinggalkan … kecenderungan tersembunyi dicabut … belenggu-belenggu ditinggalkan.”

591 (17) – 592 (18)

“Para bhikkhu, satu hal, ketika dikembangkan dan dilatih, maka (591) mengarah pada pembedaan melalui kebijaksanaan … (592) mengarah pada nibbāna melalui ketidak-melekatan.<211> Apakah satu hal itu? Perhatian yang diarahkan pada jasmani. Ini adalah satu hal ini yang, ketika dikembangkan dan dilatih, maka mengarah pada pembedaan melalui kebijaksanaan … mengarah pada nibbāna melalui ketidak-melekatan.”

593 (19) – 595 (21)

“Para bhikkhu, ketika satu hal dikembangkan dan dilatih, maka (593) terjadi penembusan pada banyak elemen … (594) terjadi penembusan pada keberagaman elemen-elemen… (595) muncul pengetahuan analitis pada banyak elemen.<212> Apakah satu hal itu? Perhatian yang diarahkan pada jasmani. Ketika satu hal ini dikembangkan dan dilatih, maka terjadi penembusan pada banyak elemen … terjadi penembusan pada keberagaman elemen-elemen … muncul pengetahuan analitis pada banyak elemen.”

596 (22) – 599 (25)

“Para bhikkhu, satu hal, ketika dikembangkan dan dilatih, maka mengarah (595) pada realisasi buah memasuki-arus … (597) pada realisasi buah yang-kembali-sekali … (598) pada realisasi buah yang-tidak-kembali [45] … (599) pada realisasi buah Kearahattaan. Apakah satu hal itu? Perhatian yang diarahkan pada jasmani. Ini adalah satu hal ini yang, ketika dikembangkan dan dilatih, maka mengarah pada realisasi buah memasuki-arus … pada realisasi buah yang-kembali-sekali … pada realisasi buah yang-tidak-kembali … pada realisasi buah Kearahattaan.”

600 (26) – 615 (41)

“Para bhikkhu, satu hal, ketika dikembangkan dan dilatih, maka mengarah (600) pada perolehan kebijaksanaan … (601) pada pertumbuhan kebijaksanaan … (602) pada pengembangan kebijaksanaan … (603) pada kebesaran kebijaksanaan … (604) pada keberagaman kebijaksanaan … (605) pada perluasan kebijaksanaan … (606) pada kedalaman kebijaksanaan … (607) pada kondisi kebijaksanaan yang tidak terlampaui … (608) pada ketebalan kebijaksanaan … (609) pada keberlimpahan kebijaksanaan … (610) pada kecepatan kebijaksanaan … (611) pada keringanan kebijaksanaan … (612) pada kegembiraan kebijaksanaan … (613) ketangkasan kebijaksanaan … (614) pada ketajaman kebijaksanaan … (615) pada kemampuan penembusan oleh kebijaksanaan.<213> Apakah satu hal itu? Perhatian yang diarahkan pada jasmani. Ini adalah satu hal ini yang, ketika dikembangkan dan dilatih, maka mengarah pada kemampuan penembusan oleh kebijaksanaan.”

XX. KEABADIAN<214>

616 (1) <215>

“Para bhikkhu, mereka yang tidak mengambil bagian dalam perhatian yang diarahkan pada jasmani tidak menjadi bagian dari keabadian. Mereka yang mengambil bagian dalam perhatian yang diarahkan pada jasmani menjadi bagian dari keabadian.”

617 (2)

“Para bhikkhu, keabadian tidak menjadi bagian dari mereka yang tidak mengambil bagian dalam perhatian yang diarahkan pada jasmani. Keabadian menjadi bagian dari mereka yang mengambil bagian dalam perhatian yang diarahkan pada jasmani.”

618 (3)

“Para bhikkhu, mereka yang terjatuh dari perhatian yang diarahkan pada jasmani telah terjatuh dari keabadian. Mereka yang tidak terjatuh dari perhatian yang diarahkan pada jasmani tidak terjatuh dari keabadian.”

619 (4)

“Para bhikkhu, mereka yang mengabaikan perhatian yang diarahkan pada jasmani telah mengabaikan keabadian. Mereka yang tidak mengabaikan perhatian yang diarahkan pada jasmani tidak mengabaikan keabadian.”

620 (5)

“Para bhikkhu, mereka yang melalaikan perhatian yang diarahkan pada jasmani telah melalaikan keabadian. Mereka yang tidak melalaikan perhatian yang diarahkan pada jasmani tidak melalaikan keabadian.”

621 (6)

“Para bhikkhu, mereka yang melupakan perhatian yang diarahkan pada jasmani telah melupakan keabadian. Mereka yang tidak melupakan perhatian yang diarahkan pada jasmani tidak melupakan keabadian.”

622 (7)

“Para bhikkhu, mereka yang tidak mengejar perhatian yang diarahkan pada jasmani tidak mengejar keabadian. Mereka yang mengejar perhatian yang diarahkan pada jasmani telah mengejar keabadian.”

623 (8 )

“Para bhikkhu, mereka yang tidak mengembangkan perhatian yang diarahkan pada jasmani tidak mengembangkan keabadian. Mereka yang mengembangkan perhatian yang diarahkan pada jasmani telah mengembangkan keabadian.”

624 (9)

“Para bhikkhu, mereka yang tidak melatih perhatian yang diarahkan pada jasmani tidak melatih keabadian. Mereka yang melatih perhatian yang diarahkan pada jasmani telah melatih keabadian.”

625 (10)

“Para bhikkhu, mereka yang tidak secara langsung mengetahui perhatian yang diarahkan pada jasmani tidak secara langsung mengetahui keabadian. Mereka yang secara langsung mengetahui perhatian yang diarahkan pada jasmani telah secara langsung mengetahui keabadian.”

626 (11)

“Para bhikkhu, mereka yang tidak sepenuhnya memahami perhatian yang diarahkan pada jasmani tidak sepenuhnya memahami keabadian. Mereka yang sepenuhnya memahami  perhatian yang diarahkan pada jasmani telah sepenuhnya memahami keabadian.”

627 (12)

“Para bhikkhu, mereka yang belum menyadari perhatian yang diarahkan pada jasmani belum menyadari keabadian. Mereka yang menyadari  perhatian yang diarahkan pada jasmani telah menyadari keabadian.”


Buku Kelompok Satu selesai

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku SATU
« Reply #9 on: 30 December 2012, 05:45:16 PM »
Catatan kaki

17 > Di sini dan di tempat lain saya menerjemahkan idiom Pāli cittaṃ pariyādāya tiṭṭhati hanya sebagai “[ini] mengobsesi pikiran.” Secara literal dapat diterjemahkan “setelah menguasai pikiran, [hal itu] menetap [di sana].”

18 > Mp: “aroma tubuh perempuan adalah memuakkan (duggandha), tetapi apa yang dimaksudkan di sini adalah bau-bauan yang berasal dari tubuhnya karena salep, dan sebagainya.”

19 > Mp: “Rasa kecapan perempuan adalah rasa kecapan bibirnya, ludahnya, dan sebagainya, dan rasa kecapan bubur, nasi, dan sebagainya yang ia berikan kepada suaminya. Banyak makhluk yang menemui bencana setelah menerima kemanisan dari seorang perempuan.”

20 > Mp: “Karena perbedaan  dan watak dan kecenderungan tersembunyi makhluk-makhluk, maka Sang Buddha menyebutkan masing-masing dari [kelima objek indria] seperti bentuk-bentuk, dengan mengatakan: ‘Aku tidak melihat apa pun seperti ini.’ Ketika seseorang memuja bentuk, maka bentuk sesosok perempuan mengobsesi pikirannya dan mengganggunya – mengikatnya, memikatnya, memperdayanya, dan membingungkannya; tetapi tidak demikian dengan objek-objek indria lainnya seperti suara. Demikian pula, suara dan bukan bentuk memikat seseorang yang memuja suara, dan seterusnya. Bagi beberapa orang, hanya satu objek indria yang mengobsesi pikirannya; bagi beberapa orang lain, dua objek – atau tiga, empat, atau lima objek – menguasai mereka. Demikianlah lima sutta ini dibabarkan karena kelima jenis pemujaan [pada objek-objek indria yang berbeda].”

21 > Mp: “Tidak hanya para laki-laki yang memuja kelima objek indria namun para perempuan juga. Oleh karena itu kelima sutta berikutnya diformulasikan dengan perempuan sebagai subjek.”

22 > Rangkaian sutta-sutta ini menempatkan hubungan antara kelima rintangan dan kondisi utamanya. Sehubungan dengan hal ini, sutta-sutta ini serupa dengan SN 46:2, V 64-65, dan SN 46:51, V 102-3, mengenai makanan bagi kelima rintangan. Untuk penjelasan lebih lanjut tentang kelima rintangan dalam AN, baca 5:23, 5:51, 5:52, 5:193.

23 > Subhanimitta. Mp: “Tanda dari apa yang  menarik adalah suatu objek yang menjadi landasan bagi nafsu.” Mp mengutip berbagai penggunaan kata nimitta: sebagai kondisi (paccaya), sebab (kāraṇa), konsentrasi (samādhi), dan pandangan terang (vipassanā). Di sini bermakna “suatu objek yang menyenangkan yang menjadi landasan bagi nafsu” (rāgaṭṭhāniyo iṭṭhārammaṇadhammo). Mp mengemas ayoniso manasikaroto sebagai anupāyena manasikarontassa (“bagi seorang yang mengamati dengan tidak terampil”) dan mengutip definisi “pengamatan tidak waspada” (ayoniso manasikāra) pada Vibh 373 (Be §936): “Pengamatan tidak waspada adalah pengamatan yang menyimpang, yang menganggap apa yang tidak kekal sebagai kekal, penderitaan sebagai kebahagiaan, apa yang bukan-diri sebagai diri, dan apa yang tidak menarik sebagai menarik. Atau ini adalah pengalihan batin, pengarahan, kecondongan, pertimbangan, pengamatan [pada objek] dalam suatu cara yang berlawanan dengan [empat kebenaran mulia.” Bagi saya tampaknya meragukan bahwa penjelasan dari ayoniso manasikāra dapat berlaku untuk semua penerapan kata ini dalam Nikāya-nikāya. Bahkan dalam sutta berikut ini, tentang muncul dan bertambahnya permusuhan, dapat dipertanyakan bahwa mengamati dengan tidak waspada pada “tanda dari apa yang menjijikkan” dapat digolongkan dalam salah satu dari empat penyimpangan dalam definisi pada Vibh 373.

24 > Paṭighanimitta. Mp: “Ini menunjukkan suatu tanda yang tidak menyenangkan; suatu sebutan bagi penolakan (kejijikan) dan bagi suatu objek yang menjijikkan” (aniṭṭhaṃ nimittaṃ; paṭighassapi paṭighassārammaṇassapi etaṃ adhivacanaṃ). Yang menarik, Mp melanjutkan dengan mengutip “komentar”: “Karena dikatakan dalam komentar: ‘Tanda dari apa yang menjijikkan adalah penolakan (kejijikan) dan sebuah objek yang menjijikkan” (vuttampi c’etaṃ aṭṭhakathāyaṃ paṭighampi paṭighanimittaṃ, paṭighārammaṇopi dhammo paṭighanimittan ti). Mp-ṭ mengidentifikasikan “Komentar” sebagai “Komentar Besar” (mahā aṭṭhakathā), salah satu komentar Sinhala kuno yang digunakan oleh Buddhaghosa sebagai sumber bagi komentarnya. Komentar-komentar kuno ini sudah tidak ada lagi, tetapi kiasan ini menjelaskan bahwa Buddhaghosa bekerja menurut sumber dan bukan menuliskan karya sendiri.

25 > Kata-kata ini didefinisikan pada Vibh 352 (Be §§856-860).

26 > Avūpasantacittassa. Mp: “Pikiran yang tidak ditenangkan oleh jhāna atau pandangan terang.”

27 > Mp mengutip Dhs 205 (Be §1167) untuk definisi dari rintangan keragu-raguan (vicikicchānīvaraṇa) sebagai keragu-raguan terhadap Buddha, Dhamma, Saṅgha, dan latihan (baca juga 5:205).

28 > Rangkaian ini, 1:16-20, bersesuaian dengan SN 46:51 §3, V 105-6, tentang “penelantaran” atau pelenyapan kelima rintangan.

29 > Mp menggunakan skema komentar atas kelima jenis pelepasan untuk menjelaskan bagaimana keinginan indria dan rintangan-rintangan lainnya ditinggalkan: (1) dalam hal tertentu (tadaṅgappahāna), melalui pandangan terang; (2) dengan penekanan (vikkhambhanappahāna), melalui pencapaian meditatif; (3) melalui pembasmian (samucchedappahāna), melalui jalan yang melampaui keduniawian; (4) dengan meredanya (paṭipassadhippahāna), melalui buah; dan (5) dengan jalan membebaskand iri (nissaraṇappahāna), melalui nibbāna, “kebebasan dari segala kekotoran.” Mp mengatakan bahwa seluruh lima ini berlaku di sini.

Mp mengidentifikasi “tanda dari apa yang tidak menarik” (asubhanimitta) sebagai jhāna pertama yang muncul dengan berlandaskan pada salah satu dari sepuluh objek yang tidak menarik (dasasu asubhesu uppannaṃ sārammaṇaṃ paṭhamajjhānaṃ). Penjelasan ini bersandar pada skema Vism, yang menganggap objek asubha sebagai mayat-mayat dalam berbagai tahap kerusakan (baca Vism 178-93, Ppn 6.1-80). Walaupun kita memang menemukan meditasi pada kerusakan mayat-mayat dalam Nikāya-nikāya (baca di bawah 1:480-84), khususnya sutta-sutta yang menjelaskan persepsi ketidak-menarikan (asubhasaññā) sebagai meditasi pada tiga puluh satu unsur jasmani (meningkat menjadi tiga puluh dua dalam karya-karya belakangan dengan menambahkan otak). Baca, misalnya, 10:60 §3, tentang persepsi ketidak-menarikan. Persepsi ini muncul di antara kelompok lima subjek meditasi yang memuncak pada keabadian (5:61), yang mengarah menuju nibbāna (5:69) dan hancurnya noda-noda (5:70), dan yang membawa kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan (5:71). Pada 7:49 §1, persepsi ketidak-menarikan direkomendasikan sebagai penawar bagi keinginan seksual, dan pada 9:1 §6 diresepkan untuk meninggalkan nafsu.

30 > Selaras dengan komentar pada Satipṭṭhāna Sutta (pada Sv III 778-82, Ps I 282-86), Mp menguraikan enam hal yang mengarah pada ditinggalkannya masing-masing dari kelima rintangan. Enam hal yang mengarah menuju ditinggalkannya keinginan indria adalah: mempelajari objek yang tidak menarik, meditasi pada objek yang tidak menarik, menjaga pintu-pintu indria, makan secukupnya, pertemanan yang baik, dan percakapan yang selayaknya.

31 > Mettācetovimutti. Mp: “Cinta kasih meliputi semua makhluk dengan [mengharapkan] kesejahteraan mereka. Karena pikiran yang berhubungan dengan cinta kasih itu terbebaskan dari kondisi-kondisi yang berlawanan seperti rintangan-rintangan, maka disebut kebebasan pikiran (cetovimutti). Khususnya, ‘kebebasan pikiran’ ini adalah terbebaskan dari obsesi oleh permusuhan. Di sini, apa yang dimaksudkan dengan ‘kebebasan pikiran’ adalah absorpsi (appanā) melalui tiga atau empat jhāna [tergantung dari pakah skema empat atau lima jhāna yang digunakan].” Mp-ṭ: “[Hal ini dikatakan] karena tidak ada kebebasan [pikiran] melalui cinta kasih hingga seseorang mencapai absorpsi.” Pada 6:31 cinta kasih diajarkan sebagai jalan membebaskan diri dari permusuhan. Pada 9:1 §7 dan 9:3 §7, hal ini direkomendasikan untuk meninggalkan permusuhan. 8:63 §1 mengajarkan pendekatan berbeda untuk mengembangkan kebebasan pikiran melalui cinta kasih, dan 8:1 dan  11:15 menjelaskan, berturut-turut, delapan dan sebelas manfaat menguasai kebebasan pikiran melalui cinta kash. Skema empat jhāna adalah khas Nikāya-nikāya; skema lima jhāna muncul dalam Abhidhamma dengan membagi jhāna ke dua menjadi dua: yang ke dua dengan pemeriksaan dan yang ke tiga tanpa pemikiran dan tanpa pemeriksaan.

32 > Mp menyebutkan enam hal yang mengarah pada ditinggalkannya permusuhan: mempelajari meditasi cinta kasih, melatih meditasi cinta kasih, meninjau kepemilikan kamma, perenungan berulang-ulang, pertemanan yang baik, dan percakapan yang selayaknya. Tentang “meninjau kepemilikan kamma,” Mp mengatakan bahwa seseorang harus merenungkan sebagai berikut: “Jika anda marah kepada orang lain, apakah yang dapat anda lakukan? Dapatkah anda menghancurkan perilaku bermoralnya, dan sebagainya? Bukankah anda datang ke dunia ini karena kamma anda sendiri dan bukankah anda meninggal dunia melalui kamma anda sendiri? Marah kepada orang lain adalah bagaikan memegang bara panas tanpa api atau sebatang tombak berlumuran kotoran untuk menusuk seseorang. Jika ia marah kepada anda, apakah yang dapat ia lakukan? Dapatkah ia menghancurkan perilaku bermoral anda, dan sebagainya? Bukankah ia datang ke dunia ini karena kammanya sendiri dan bukankah ia meninggal dunia melalui kammanya sendiri? Bagaikan sebuah persembahan kue yang ditolak, atau bagaikan segenggam debu yang ditebarkan melawan arah angina, kemarahannya akan tetap bersamanya.” Untuk cara-cara mengatasi kemarahan, baca Vism 298-306, Ppn 9:14-39.

33 > Ārambhadhātu, nikkamadhātu, parakkamadhātu. Mp menjelaskan hal-hal ini berturut-turut sebagai tingkat-tingkatan kegigihan yang kuat.

34 > Mp menyebutkan enam hal lain yang mengarah pada ditinggalkannya ketumpulan dan kelambanan: makan secukupnnya, mengubah postur, persepsi cahaya, menetap di ruang terbuka, pertemanan yang baik, dan percakapan selayaknya. Untuk makan secukupnya, Mp (selaras dengan komentar-komentar lain) menyarankan bahwa ketika seseorang masih memiliki ruang untuk empat atau lima suap, maka ia harus berhenti makan dan melanjutkan dengan meminum air.

35 > Vūpasantacittassa. Mp: “Pikiran yang ditenangkan oleh jhāna atau oleh pandangan terang.”

36 > Mp: “Enam hal lain yang mengarah pada ditinggalkannya kegelisahan dan penyesalan: banyak belajar, mengajukan pertanyaan, menjadi terampil dalam Vinaya, mengunjungi para bhikkhu senior, pertemanan yang baik, dan percakapan selayaknya.”

37 > Ini adalah ringkasan. SN 46:51 §3, V 106, 9-15, mengatakan bahwa “penelantaran” keragu-raguan terjadi “melalui perhatian waspada pada kualitas-kualitas bermanfaat dan tidak bermanfaat, kualitas-kualitas tercela dan tidak tercela, kualitas-kualitas hina atau mulia, kualitas-kualitas gelap dan terang dengan pasangannya.”

38 > Mp: “Enam hal lainnya yang mengarah pada ditinggalkannya keragu-raguan: banyak belajar, mengajukan pertanyaan, menjadi terampil dalam Vinaya, keteguhan berlimpah (yaitu, kepercayaan dan keyakinan pada Tiga Permata), pertemanan yang baik, dan percakapan selayaknya.”

39 > Apātubhūtaṃ. Seperti yang saya pahami, pernyataan ini mengatakan bahwa kekuatan pikiran masih belum terwujud, belum terbuka dan dikerahkan.

40 > Yathābhataṃ nikkhitto. Saya menerjemahkan idiom ini dengan berdasarkan kemasan Mp: yathā āharitvā ṭhapito.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku SATU
« Reply #10 on: 30 December 2012, 05:46:47 PM »
41 > Mp: “Pikiran yang dirusak oleh kebencian” (dosena paduṭṭhacittaṃ). Sutta ini dan yang berikutnya dapat dilihat sebagai prosa penjelasan dari Dhp 1 dan 2. walaupun Dhp 1 dan 2 menggunakan mano dan bukan citta, namun kata sifatnya sama: paduṭṭha dan pasanna.

42 > Mp: “[Pikiran] yang tenang dengan keyakinan dan kepercayaan” (saddhāpasādena pasannaṃ).

43 > Mp: “Keruh (āvilena): diselimuti oleh kelima rintangan.” Pada 5:193 §5 air keruh secara khusus diidentifikasikan sebagai keragu-raguan dan air jernih sebagai kebebasan dari keragu-raguan.

44 > Uttariṃ manussadhammā alamariyañāṇadassanavisesaṃ. Saya mengikuti Mp, yang memperlakukan uttariṃ manussadhammā sebagai bentuk frasa ablatif kompleks relatif dengan alamariyañāṇadassanavisesaṃ. Mp mengatakan: “Manusia luar biasa: lebih unggul daripada moralitas manusia yang terdapat dalam sepuluh kamma bermanfaat. Sepuluh moralitas ini disebut ‘moralitas manusiia’ karena dijalankan oleh orang-orang atas kehendak mereka sendiri – bahkan tanpa dorongan orang lain – setelah mereka tergerak di akhir ‘periode pedang’ (satthantarakappa; baca DN III 73,4). Hal-hal yang lebih unggul dari ini adalah jhāna-jhāna, pandangan terang, jalan, dan buah.  Keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia: keluhuran [keunggulan] yang terdapat dalam pengetahuan dan penglihatan yang sesuai bagi para mulia atau mampu menghasilkan kondisi mulia. Pengetahuan itu sendiri disebut ‘pengetahuan’ dalam hal bahwa pengetahuan itu mengetahui, dan disebut ‘penglihatan’ karena melihat. Ini adalah sebuah sebutan bagi pengetahuan mata dewa, pengetahuan pandangan terang, pengetahuan jalan, pengetahuan buah, dan pengetahuan peninjauan.”

45 > Mp, menggunakan model pikiran dari Abhidhamma, menganggap hal ini merujuk pada kecepatan luar biasa yang dengannya pikiran muncul dan lenyap. Tetapi pada Vin I 150, 7-14, dalam suatu paragraph tentang kondisi-kondisi yang memperbolehkan seorang bhikkhu memotong masa vassa-nya, dikatakan bahwa jika seorang perempuan mencoba menggoda seorang bhikkhu pada masa vassa, maka ia boleh meninggalkan vassa setelah merenungkan: “Sang Bhagavā berkata bahwa pikiran cepat berubah, dan di sini terdapat rintangan bagi kehidupan selibatku.” Dalam konteks ini, makna yang nyata bukanlah bahwa pikiran muncul dan lenyap dengan cepat melainkan bahwa seseorang boleh mendadak berubah pikiran, meninggalkan kehidupan selibat untuk menyerah pada pikatan perempuan.

46 > Pabhassaram idaṃ bhikkhave cittaṃ. Makna yang tepat dari pernyataan ini telah menjadi persoalan pendapat yang telah menimbulkan interpretasi yang berlawanan. Mp mengidentifikasikan “pikiran bercahaya” sebagai bhavaṅgacitta, suatu konsep Abhidhamma yang menunjukkan jenis peristiwa pikiran yang muncul dalam ketiadaan kognisi aktif. Hal ini bersesuaian, secara kasar, dengan bawah sadar atau tidak sadar dalam psikologi modern. Kata bhavaṅga berarti “faktor kehidupan,” yaitu, faktor yang bertanggung jawab untuk memelihara kelangsungan identitas personal seumur hidup dan dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya. Akan tetapi, bhavaṅga bukanlah suatu kondisi kesadaran yang terus-menerus, atau suatu diri yang abadi. Ini adaah serangkaian tindakan pikiran dari momen ke momen yang silih berganti dengan proses kognitif aktif (cittavīthi), rangkaian kognisi ketika pikiran secara sadar mengenali suatu objek. Karenanya teks-teks kadang-kadang menggunakan ungkapan bhavaṅgasota, “arus bhavaṅga,” untuk menekankan sifat mengalir dari jenis proses pikiran ini. Terjadinya bhavaṅga ini paling jelas ketika dalam tidur mendalam tanpa mimpi, tetapi hal ini juga terjadi tidak terhitung banyaknya dalam kehidupan terjaga di antara proses-proses kognitif.

Peristiwa yang paling penting dalam proses kognitif adalah javanacitta, peristiwa kesadaran yang pasti secara etika yang menghasilkan kamma. Javana dapat bermanfaat atau tidak bermanfaat. Adalah dalam tahap javana kekotoran-kekotoran tertidur dalam bawah sadar bhavaṅga, menyusup ke dalam aktivitas pikiran dan mengotori pikiran. Untuk pembahasan lebih lanjut tentang bhavaṅga, baca CMA 122-29, di mana hal ini diterjemahkan sebagai “rangkaian-kehidupan.” Harvey (1995: 166-79) memiliki suatu penjelasan menarik tentang hubungan antara bhavaṅga dan apa yang ia sebut “pikiran yang bersinar terang.”

Mp menjelaskan: “Bhavaṅgacitta disebut bercahaya, yaitu, murni (parisuddha), karena tanpa kekotoran (nirupakkilesatāya). Ini dikotori oleh kekotoran-kekotoran yang datang dari luar – melalui nafsu, dan seterusnya – yang muncul kemudian [setelah bhavaṅga] [ada momen javana. Bagaimanakah? Dengan cara yang mana orang tua – atau penahbis atau guru – yang berperilaku baik dan bermoral dikritik dan dicela karena ketidak-disiplinan anak-anak atau murid-muridnya yang berperilaku buruk, [seperti yang akan dikatakan oleh orang-orang]: ‘Mereka tidak menghukum, melatih, atau mengajari anak-anak atau murid-murid mereka.’ Orang tua, atau penahbis atau guru yang berperilaku baik, adalah bagaikan bhavaṅgacitta, sedangkan celaan yang dijatuhkan kepada orang tua karena anak-anak mereka [atau penahbis atau guru karena murid-murid mereka] adalah bagaikan bhavaṅgacitta yang murni secara alami yang dikotori oleh momen javana oleh kekotoran-kekotoran yang datang dari luar yang muncul dalam kondisi-kondisi pikiran yang berhubungan dengan keserakahan, dan seterusnya, yang menyebabkan nafsu, kebencian, dan delusi menjangkitinya.

Walaupun saya mengutip Mp sepenuhnya di sini, namun saya mendapati bahwa penjelasan ini tidak memuaskan dalam sedikitnya dua landasan. Yang pertama adalah bahwa konsep bhavaṅgacitta, dan gagasan proses kognitif yang bersesuaian, tidak terdapat dalam Nikāya-nikāya namun muncul pertama kali pada periode belakangan ketika Abhidhamma mulai terbentuk. Bahkan kata bhavaṅga, walaupun penting dalam sistem Abhidhamma Theravāda, hanya muncul dalam buku terakhir Abhidhamma Piṭaka, yaitu Paṭṭhāna. Kata ini lebih banyak terdapat dalam komentar-komentar Abhidhamma.

Alasan ke dua di mana saya mendapati bahwa penjelasan Mp tidak memuaskan adalah bahwa teks hanya menyebutkan “pikiran ini bercahaya,” tanpa kualifikasi. Ini menyiratkan bahwa kecerahan itu adalah intrinsik pada pikiran itu sendiri, dan bukan pada jenis peristiwa pikiran itu. Terlebih lagi, jika bhavaṅga bercahaya, maka seharusnya tetap demikian; menjadi membingungkan jika dikatakan dikotori oleh javana-javana. Interpretasi paling sederhana dari pernyataan ini, sejauh yang bisa saya lihat, adalah bahwa kecerahan itu adalah karakteristik bawaan dari pikiran, dilihat dalam kapasitasnya untuk menerangi bidang objektifnya. Kecerahan ini, walaupun menjadi sifatnya, secara fungsional terhalangi karena pikiran “dikotori oleh kekotoran-kekotoran yang datang dari luar” (āgantukehi upakkilesehi upakkiliṭṭham). Kekotoran-kekotoran disebut “datang dari luar” karena, tidak seperti kecerahan, kekotoran-kekotoran itu tidak intrinsik pada pikiran itu sendiri. Tentu saja, seperti yang ditegaskan dalam 10:61 dan 10:62, tidak ada “titik awal” bagi ketidak-tahuan dan ketagihan (dan kekotoran-kekotoran lainnya). Tetapi kekotoran-kekotoran ini dapat dilenyapkan melalui latihan pikiran. Dengan pelenyapannya, kecerahan intrinsik pikiran muncul – atau, lebih tepat lagi, menjadi terwujud. Pernyataan persis di bawah tentang siswa mulia yang memahami bahwa pikiran adalah bercahaya menyiratkan bahwa pandangan terang ke dalam kecerahan intrinsik pikiran berfungsi sebagai landasan bagi latihan pikiran lebih lanjut, yang membebaskan pikiran dari kekotoran-kekotoran. Dengan pelenyapan kekotoran sepenuhnya, maka kecerahan intrinsik pikiran bersinar tanpa terhalangi.

Pada 3:102,  I 257, 7 kata pabhassara digunakan untuk menggambarkan pikiran (citta) yang telah mencapai konsentrasi (samādhi). Dengan demikian tampaknya bahwa adalah di dalam samādhi mendalam maka kecerahan intrinsik pikiran itu muncul, setidaknya untuk sementara. 5:23, III 16-29 – 17,2  mengatakan secara eksplisit bahwa pikiran yang terbebas dari lima rintangan adalah bercahaya (pabhassara) dan terkonsentrasi dengan benar pada hancurnya noda-noda. Baca juga MN III 243,11-12, di mana adalah keseimbangan (upekkhā), yang diduga adalah jhāna ke empat, yang digambarkan sebagai bercahaya.

47 > Cittabhāvanā natthi. Mp: “Tidak ada stabilitas pikiran, tidak ada pemahaman pikiran” (cittaṭṭhiti cittapariggaho natthi). Mp-ṭ: “Pengembangan pikiran [yang disebut] ‘stabilitas pikiran’ (cittaṭṭhiti) adalah praktik yang melaluinya seseorang dapat secara tepat memahami kekotoran pikiran dan kebebasan dari kekotoran. Pengembangan pandangan terang (vipassanābhāvana), yang terjadi dengan berdasarkan pada stabilisasi [pikiran] dengan sepenuhnya memusatkannya pada satu objek tunggal, adalah apa yang dikenal sebagai pemahaman pikiran (cittassa pariggaha); [hal ini terjadi] bersamaan dengan faktor-faktor [pikiran] yang berhubungan yang berdasarkan pada objek tersebut. Adalah melalui ini maka seseorang dapat dengan tepat memahami makna yang dimaksudkan.”

Nikāya-nikāya sering kali memprtentangkan antara “kaum duniawi yang tidak terpelajar” (assutavā putthujjana), orang-orang duniawi biasa yang tidak berlatih di dalam ajaran Buddha, dan siswa mulia yang terpelajar (sutavā ariya sāvaka), yang telah mempelajari ajaran dan menjalankan latihan. Lebih luas lagi, seorang putthujjana adalah seorang yang belum mencapai jalan memasuki-arus (sotāpatti). Seorang ariyasāvaka tidak harus seorang “yang mulia” dalam makna teknis, melainkan seorang siswa, monastik atau awam, yang telah mempelajari ajaran dan bersungguh-sungguh menjalani praktik.

48 > Mp: “Sutta ini membahas pandangan terang yang kuat (balavavipassanā); tetapi beberapa orang mengatakan pandangan terang lemah (taruṇavipassanā).” Di sini, “pandangan terang lemah” merujuk pada tahap awal pengetahuan muncul dan lenyapnya, sedangkan “pandangan terang kuat” merujuk pada tahap matang dari pengetahuan muncul dan lenyapnya dan pengetahuan-pengetahuan pendangan terang yang lebih tinggi.

49 > Mp mengatakan bahwa dengan “mengejar pikiran cinta kasih’ (mettācittaṃ āsevati), teks merujuk pada sekedar meliputi semua makhluk dengan mengharapkan kesejahteraan mereka. Dengan demikian tampaknya di sini “tidak hampa dari jhāna” (arittajjhāno) tidak harus berarti bahwa bhikkhu itu benar-benar mencapai salah satu dari empat jhāna melainkan bahwa ia bersungghu-sungguh belatih meditasi. Frasa “tidak memakan dana makanan dari desa dengan sia-sia.” Berarti bahwa dengan berlatih meditasi, maka bhikkhu itu layak menerima dana makanan dari umat-umat awam. Ia memungkinkan para penyumbang untuk memperoleh jasa dan menggunakan dana makanan itu dengan benar untuk menyokong kehidupan spiritualnya.

50 > Sabb’ete manopubbaṅgamā. Mp menginterpretasikan ini selaras dengan doktrin Abhidhamma bahwa pikiran (citta) dan pendamping-pendampingnya (cetasika) muncul secara bersamaan: “[Faktor-faktor] ini muncul bersamaan dengan pikiran (mano); faktor-faktor ini memiliki satu kemunculan, landasan, kelenyapan, dan objek. Tetapi karena pikiran adalah apa yang membangkitan, menghasilkan, membentuk, dan menyebabkan, maka dikatakan pikiran adalah pelopornya.” Sekali lagi, Mp membaca pernyataan ini melaluo lensa analisis Abhidhamma pada pikiran. Dipahami selaras dengan Dhp 1 dan 2, teks ini mungkin hanya bermakna bahwa sebelum seseorang melakukan perbuatan jasmani atau ucapan apa pun yang tidak bermanfaat, maka ia pertama-tama memutuskan untuk bertindak demikian. Hal ini memberikan makna yang lebih bersifat etika daripada psikologis pada pernyataan ini. Interpretasi ini didukung oleh kalimat berikutnya tentang pikiran yang muncul pertama kali, diikuti oleh yang lainnya. Hal yang sama berlaku pada pikiran bermanfaat dan kualitas-kualitasnya dalam sutta berikutnya.

51 > Mp mengutip Vibh 350 (Be §846) untuk definisi kelengahan (pamāda): “Apakah kelengahan? Kelalaian pikiran, kekenduran pikiran, sehubungan dengan perilaku salah jasmani, perilaku salah ucapan, perilaku salah pikiran, dan kelima jenis kenikmatan indria; dan mengabaikan latihan kualitas-kualitas bermanfaat tanpa kesungguhan dan kegigihan dalam hal ini. [Adalah] kelonggaran prosedur, ketiadaan keinginan, tanpa-komitmen, tanpa-ketetapan, tanpa-ketekunan, tanpa-pengejaran, tanpa-pengembangan, dan tanpa-pelatihan [kualitas-kualitas bermanfaat].”

52 > Mahicchatā. Mp menjelaskan ini sebagai “keserakahan kuat” (mahālobho) dan, untuk definisi formal, Mp mengutip Vibh 351 (Be §850): “Apakah keinginan kuat? Kurangnya kepuasan, keinginan berlebihan sehubungan dengan jubah, makanan, tempat tinggal, obat-obatan, dan kelima objek kenikmatan indria. Keinginan, menginginkan, keinginan kuat, nafsu, kegemaran, kegemaran batin, ini disebut keinginan kuat.”

53 > Appicchatā. Mp: “Walaupun ungkapan [‘berkeinginan sedikit] dapat dianggap berarti bahwa tidak ada sisa [keinginan], maknanya adalah tidak ada sisa. Karena seseorang tidak disebut ‘berkeinginan sedikit’ jika ia masih memiliki keinginan kecil; adalah karena ketiadaan keinginan, melalui ketidak-serakahan terus-menerus, maka seseorang dikatakan berkeinginan sedikit.”

54 > Asantuṭṭhitā. Mp: “Ini adalah keserakahan yang muncul dari bergaul dengan, mengunjungi, dan melayani orang-orang yang tidak puas.”

55 > Santuṭṭhitā. Mp membedakan tiga jenis kepuasan: (1) kepuasan sesuai dengan apa yang diperoleh (yathālābhasantosa), yaitu merasa puas dengan jubah (atau benda kebutuhan lainnya) jenis apa pun apakah berkualitas baik atau buruk; (1) kepuasan sesuai dengan kemampuannya (yathābalasantosa), yaitu merasa puas dengan apa yang ia peroleh namun memilih untuk menggunakan yang paling baik untuk kesehatannya; dan (3) kepuasan sesuai denganapa yang selayaknya (yathāsāruppasantosa), yaitu mengambil hanya perolehan yang paling mendasar untuk dirinya sendiri dan memberikan yang lainnya kepada orang lain. Untuk terjemahan lengkapnya, baca Bodhi 1989: 130-34.

56 > Sampajjaññaṃ. DI sini, Mp hanya mengatakan bahwa ini adalah kata untuk kebijaksanaan (paññā). Untuk pembahasan yang lebih lengkap tentang sampajañña menurut metode komentar, baca Bodhi 1989: 94-130.

57 > Tentang pentingnya pertemanan yang baik (kalyāṇamittatā) dalam kehidupan spiritual, baca 9:3. baca juga SN 45:2-3, V 2-4.

58 > Saya mengikuti Ce, yang mmbahas sutta ini sebagai yang ke sebelas dalam vagga VIII. Be dan Ee keduanya mengakhiri vagga ini dengan 1:80 dan memulai vagga berikutnya dengan 1:81. Pengaturan Ce memiliki keuntungan menggabungkan sutta-sutta yang berpasangan secara tematik.

59 > Ee memberi judul bagian pertama dari vagga ini, yang terdiri dari tiga puluh dua sutta pertama, catukoṭika, “Empat yang ditunjuk,” dan bagian ke dua, yang terdiri dari sepuluh sutta terakhir, Adhammādi, “Bukan-Dhamma, dan seterusnya.”

60 > Di sini, dan semua bait hingga 1:113, saya bersama Ce dan Be membacanya sebagai ekaṅgampi tidak seperti Ee ekadhammam pi.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku SATU
« Reply #11 on: 30 December 2012, 05:47:24 PM »
61 > Mp: “Sepuluh kamma bermanfaat adalah Dhamma; sepuluh kamma tidak bermanfaat adalah bukan-Dhamma. Demikian pula, tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan – yaitu, empat penegakan perhatian, empat usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima indria, lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, dan Jalan Mulia Berunsur Delapan – adalah Dhamma; , tiga penegakan perhatian, tiga usaha benar, tiga landasan kekuatan batin, enam indria, enam kekuatan, delapan faktor pencerahan, dan Jalan Mulia Berunsur Sembilan [adalah bukan-Dhamma.] Empat jenis kemelekatan, lima rintangan, tujuh kecenderungan tersembunyi, dan delapan jenis kesalahan [lawan dari faktor-faktor jalan mulia] adalah bukan-Dhamma. Mereka mengajarkan bukan-Dhamma sebagai Dhamma ketika mereka memilih salah satu jenis bukan-Dhamma dan berpikir, “Kami akan mengajarkan hal ini sebagai Dhamma. Dengan demikian kelompok guru kami akan terbebaskan, dan kami akan menjadi terkenal di dunia ini.’ Dengan metode Vinaya, Dhamma adalah perbuatan disiplin yang harus dilakukan menurut klaim tersebut, setelah ditegur, setelah diingatkan, menurut landasan yang benar. Bukan-Dhamma adalah perbuatan disiplin yang dilakukan tanpa sebuah klaim, tanpa teguran, tanpa diingatkan, menuruti landaasn yang salah.

62 > Mp: “Dengan metode sutta, disiplin (vinaya) berarti pengendalian, meninggalkan, merefleksikan, dan pelenyapan nafsu, kebencian, dan delusi. Bukan-disiplin (avinaya) berarti tanpa-pengendalian, tidak meninggalkan, tanpa-refleksi, dan tanpa-pelenyapan nafsu, kebencian, dan delusi. Dengan metode Vinaya, disiplin adalah landasan, usul, pengumuman, wilayah terbatas, dan kumpulan yang benar. Bukan-disiplin adalah landasan, usul, pengumuman, wilayah terbatas, dan kumpulan yang cacat.”

63 > Mp, selaras dengan komentar-komentar lain, menjelaskan lima jenis lenyapnya Dhamma sejati. Saya merangkumnya: (1) Lenyapnya pencapaian (adhigama-antaradhāna): pelenyapan secara bertahap atas jalan, buah, dan pencapaian-pencapaian tambahan seperti pengetahuan analitis (paṭisambhidā) dan pengetahuan langsung (abhiñña). (2) Lenyapnya praktik (paṭipatti-antaradhāna); pelenyapann secara bertahap atas jhāna-jhāna, pandangan terang, jalan, dan buah, dan bahkan lenyapnya perilaku bermoral paad akhirnya. (3) Lenyapnya pembelajaran (pariyatti-antaradhāna): pelenyapan secara bertahap atas Tipitaka, kanon Buddhis. (4) Lenyapnya lambang-lambang (liṅga-antaradhāna): secara bertahap meninggalkan jubah pada mereka yang meninggalkan keduniawian hingga para monastik hanya memakai sehelai kain kuning di leher mereka. (5) Lenyapnya relic-relik (dhātu-antaradhāna): di akhir pengajaran Buddha Gotama, relic-relikNya semua berkumpul di pohon Bodhi di Bodhgaya, membentuk jasmani Sang Buddha, dan lenyap dalam nyala api agung.

64 > Ee memberi judul vagga ini “Yang Ke Sebelas.”

65 > Ee memberi judul vagga ini “Bukan suatu pelanggaran, dan seterusnya.” Pelanggaran (āpatti) yang dimaksudkan adalah pelanggaran disiplin monastik.

66 > Mp: “Lima kelompok pelanggaran disebut ringan (lahuka) dan dua disebut berat (gāruka, lit. “berat”). Dua disebut kasar dan lima tidak kasar. Enam kelompok disebut dapat diperbaiki dan satu tidak dapat diperbaiki; pelanggaran-pelanggaran dengan penebusan adalah sama dengan pelanggaran-pelanggaran yang dapat diperbaiki; pelanggaran-pelanggaran tanpa penebusan adalah sama dengan pelanggaran-pelanggaran yang tidak dapat diperbaiki.” Dua kelompok pelanggaran berat adalah (1) pārājika, yang mengakibatkan pengusiran permanent dari Saṅgha, dan (2) saṅghadisesa, yang menuntut diadakannya sidang resmi Saṅgha dan proses rehabilitasi yang rumit. Lima kelompok pelanggaran ringan adalah thullaccaya (pelanggaran kasar), pācittiya (penebusan), pātidesanīya (harus diakui), dukkaṭa (perbuatan salah), dan dubbhāsita (ucapan salah). Pelanggaran-pelanggaran ini dapat dipulihkan melalui pengakuan kepada bhikkhu lain. Pelanggaran-pelanggaran berat juga disebut “kasar” (duṭṭhulla); pelanggaran ringan, tidak kasar (aduṭṭhula). Pārājika adalah “tidak dapat diperbaiki” (anavasesa) dan “tanpa penebusan” (appaṭikamma), karena tidak dapat ditebus; enam kelompok lainnya adalah “dapat diperbaiki” (sāvasesa) dan “dengan penebusan” (sappaṭikamma) karena dapat dimurnikan melalui penebusan.

67 > Sutta ini, tidak seperti sutta-sutta pada vagga sebelumnya, tidak memasukkan bahuno janassa. Seluruh tiga edisi tidak memasukkannya, walaupun sulit untuk melihat alasan selain daripada pembacaan lama atau kesalahan editorial.

68 > Ce di sini menghitung sembilan sutta terpisah, satu untuk setiap gelar.  Saya mengikuti Be dan Ee, yang menggabungkannya menjadi satu sutta.

69 > Asamasamo. Mp menjelaskan hal ini bermakna “setara dengan mereka yang tanpa banding,” yaitu, setara dengan para Buddha yang tanpa banding di masa lampau dan di masa depan. Tetapi di tempat lain samasama berarti “persis sama,” dan dengan demikian asamasama  mungkin dapat dipahami sebagai bermakna “tanpa banding.” Baca DN I 123, 12, MN I 329,7, MN I 515,24, MN I 516,11, dan sebagainya.

70 > Dvipadānaṁ aggo. Mp: “Yang terbaik di antara manusia dan para deva.”

71 > Saya mengikuti Ce dan Be, yang memperlakukan setiap ucapan sebagai sutta terpisah dan dengan demikian menghitung dua belas sutta di sini. Ee menggabungkannya ke dalam satu sutta. Karena kalimat terakhir merangkum semua hal dari “manifestasi penglihatan agung” hingga “realisasi buah Kearahattaan,” maka tampaknya sutta ini berasal dari satu sutta. Akan tetapi, untuk mempertahankan penomoran saya selaras dengan Ce dan Be, maka saya menghitungnya secara terpisah.
72 > Mengenai “enam hal yang tidak terlampaui” (cha anuttarīyāni), baca 6:30. mengenai empat pengetahuan analitis (catasso paṭisambhidāyo), baca 4:172. ini dibahas secara terperinci dalam Vibh 293-305 (Be §§718-50) dan Vism 440-42, Ppn 14.21-27. Mp menjelaskan “penembusan banyak elemen” (anekadhātupaṭivedha) melalui delapan elemen (enam objek indria, enam organ indria, enam jenis kesadaran), dan “penembusan keberagaman elemen” (nānādhātupaṭivedha) melalui sifat khusus yang berbeda. Dalam ungkapan “buah pengetahuan sejati dan kebebasan” (vijjāvimuttiphala), Mp mengidentifikasikan pengetahuan sejati (vijjā) sebagai pengetahuan buah, dan “kebebasan” (vimutti) sebagai faktor-faktor lain yang berhubungan dengan buah. Diduga ini berarti buah Kearahattaan.

73 > Dari sini dan seterusnya, Ce dan Be menyebut kelompok-kelompok ini hanya sebagai -pāḷi bukan sebagai vagga, misalnya, judul dari kelompok ini adalah etadaggapāli. Tiap-tiap kelompok sepuluh (atau lebih) sutta dalam kelompok ini disebut sebagai vagga, nama dalam Ce hanya vaggo paṭhamo, vaggo dutiyo (bab pertama, bab ke dua), dan seterusnya, dan dalam Be paṭhamavaggo, dutiyavaggo, dan seterusnya. Akan tetapi, judul besar (dengan akhiran -pāḷi) diberi nomor berurutan dengan kelompok sebelumnya yang disebut –vagga, yang menyiratkan bahwa masing-masingnya dapat dianggap vagga besar yang terdiri dari beberapa vagga kecil. Demikianlah kelompok sekarang ini diberi nomor XIV (atau 14), mengikuti ekapuggalavagga (“Bab Satu Orang”), yang adalah XIII (atau 13). Saya mengikuti Be dan Ce dalam menghitung sebagai vagga terpisah atau sub bab untuk masing-masing kelompok sepuluh (atau lebih) sutta, tiap-tiap sutta ditentukan oleh pernyataan atas siswa tertentu sebagai yang terkemuka. Ee, sebaliknya, menggabungkan masing-masing kelompok (sub bab) sebagai satu sutta panjang. Banyak fakta dan referensi dalam catatan saya pada bab ini berasal dari DPPN.

74 > Ia adalah yang pertama memahami empat kebenaran mulia pada khotbah pertama Sang Buddha, dan yang pertama memohon penahbisan ke dalam Saṅgha. Baca SN 56:11, V 423,13-16 dan Vin I 11,34-36, 12,15-16.

75 > Untuk kisah biografi yang lengkap tentang Sāriputta, Mahāmoggallāma, Mahākassapa, Anuruddha, dan Mahākaccana, baca Nyanaponika and Hecker, bab 1, 2, 3, 5, dan 6, berturut-turut.

76 > Kekuatan batin (iddhi) yang dimaksudkan adalah kekuatan supernormal yang dijelaskan pada 3:60,  I 170; 3:101, I 255, dan tempat lainnya.

77 > Praktik pertapaan (dhuta, dhutaṅga) sering dijalankan oleh para bhikkhu demi keinginan yang sedikit, menjadi mudah disokong, dan pengendalian-diri. Praktik-praktik ini termasuk menetap di dalam hutan, di bawah pohon, di ruang terbuka, atau di tanah pekuburan; hanya memakai tiga jubah; memakai “jubah bertambalan” yang terbuat dari potongan-potongan kain yang dibuang; hanya memakan makanan yang diperoleh dari perjalanan mengumpulkan dana makanan; dan tidur dalam postur duduk. Baca I:378-81, 5:181-90. Tiga belas praktik pertapaan dibahas dalam Vism bab 2.

78 > Mata dewa (dibbacakkhu) adalah kemampuan untuk melihat objek-objek dalam jarak yang jauh, termasuk sistem-sistem dunia yang jauh; untuk melihat alam kehidupan yang lain; dan untuk melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali sesuai kamma mereka.

79 > Ia adalah putera dari Kāḷigodhā, seorang nyonya Sakya senior, dan sahabat karib Anuruddha, yang bersama-sama dengannya meninggalkan keduniawian. Kisah tentangnya terdapat dalam Ud 2:10, 18-20. syair-syairnya terdapat pada Th 842-65.

80 > Terlahir pada keluarga kaya di Sāvatthī, ia diberi julukan lakuṇṭaka (cebol) karena postur tubuhnya yang kecil. Pencapaian Kearahattaannya dikisahkan adlam Ud 7:1, 74. ia dipuji dalam Ud 7:2, 74-75; Ud 7:5, 76; dan SN 21:6, II 279. syair-syairnya terdapat pada Th 466-72.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku SATU
« Reply #12 on: 30 December 2012, 05:47:57 PM »
81 > Ia adalah putera brahmana kerajaan Raja Udena dari Kosambi. Ketika ia mengunjungi Rājagaha dan melihat perolehan yang didapat oleh para bhikkhu, ia memutuskan untuk menjadi seorang bhikkhu. Pada masa-masa awal menjadi bhikkhu ia sangat rakus, tetapi Sang Buddha mengajarkan kepadanya agar makan secukupnya. Segera ia mencapai Kearahattaan dengan enam pengetahuan langsung. Ia ditegur oleh Sang Buddha karena menggunakan kekuatan batin untuk memenangkan sebuah mangkuk cendana (Vin II 110-12). Ia berdebat dengan Raja Udena tentang pengendalian Indria pada SN 35:127, IV 110-13. ia dipuji dalam Ud 4:6, 42-43. syair-syairnya terdapat pada Th 123-24.

82 > Seorang keponakan Aññākoṇḍañña, ia berasal dari keluarga brahmana yang menetap di dekat Kapilavatthu, kota asal Sang Buddha. Setelah ia mencapai Kearahattaan ia pergi menemui Sang Buddha di Sāvatthī. Sāriputta menjumpainya dan mereka terlibat dalam sebuah diskusi Dhamma, dicatat dalam MN 24. ia dipuji oleh Ānanda atas keterampilannya sebagai seorang guru pada SN 22:83, III 105-6.

83 > Kisahnya dicatat dalam Vism 387-89, Ppn 12.60-66. karena ia terlahir di tepi jalan (pantha), maka ia diberi nama Panthaka. Ia dipuji dalam Ud 5:10, 61. syair-syairnya terdapat pada Th 557-66.

84 > Ia adalah kakak laki-laki Cullapanthaka, juga dilahirkan di tepi jalan. Sebagai kakak, ketika adiknya dilahirkan ia dipanggil Mahā (besar) dan adiknya Culla (kecil). Syair-syairnya terdapat pada Th 510-17. Mp mengatakan bahwa Cullapanthaka mahir khususnya dalam hal konsentrasi dan oleh karena itu menjadi yang terkemuka dalam transformasi pikiran (cetovivaṭṭa). Mahāpanthaka mahir khususnya dalam hal pandangan terang dan oleh karena itu menjadi yang terkemuka dalam hal transformasi persepsi (saññāvivaṭṭa). Mp-ṭ menjelaskan perbedaannya sebagai berikut: “Seorang yang mahir dalam hal transformasi pikiran adalah seorang pencapai jhāna alam berbentuk yang, sehubungan dengan satu objek tunggal, mampu mentransformasikan pikiran konsentrasi (sāmadhicittaṃ) dari jhāna-jhāna berturut-turut hingga jhāna-jhāna yang lebih tinggi berturut-turut. Seorang yang mahir dalam hal transformasi persepsi adalah mahir dalam mentransformasikan jhāna-jhāna yang disebutkan sebelumnya di bawah bidang persepsi, melampaui persepsi-persepsi bentuk dan bergerak dari [persepsi] yang berhubungan dengan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Demikian pula, ia mampu mentransformasikan pikirannya dari persepsi perempuan dan laki-laki, dan sebagainya, dan dari persepsi kekekalan, dan seterusnya, kepada hanya fenomena-fenomena tanpa bentuk dan, khususnya, kepada nibbāna yang tidak terkondisi. Seorang yang demikian terbiasa dengan perenungan kekosongan (suññatānupassanābahulo).”

85 > Ia adalah adik dari Anāthapiṇḍika, yang meninggalkan keduniawian pada hari ketika Vihara Jetavana dipersembahkan kepada Sang Buddha. Ia mencapai Kearahattaan dengan mengembangkan pandangan terang yang berdasarkan pada meditasi cinta kasih. Sebelum mengajarkan Dhamma dan ketika menerima dana makanan, ia akan terlebih dulu memasuki jhāna melalui cinta kasih dan kemudian keluar dari sana. Sang Buddha menjelaskan kepadanya tentang manifestasi keyakinan pada 11:14. Kemahirannya dalam meditasi dipuji dalam Ud 6:7, 71. syair-syairnya terdapat pada Th 1. Sosok Subhūti menonjol dalam [Mahāyāna] Prajñāpāramitā sūtra sebagai pembabar utama tentang kesempurnaan kebijaksanaan.

86 > Ia adalah adik Sāriputta. Dipaksa oleh ibunya untuk menikah pada usia muda, ia melarikan diri dan menerima penahbisan. Syair-syairnya terdapat pada Th 646-58.

87 > Ia berasal dari keluarga kaya di Sāvatthī. Konsepnya tentang bhikkhu ideal terdapat pada MN 32.5, I 213, 10-19. ia dipuji dalam Ud 5:7, 60. Ia memiliki syairnya sendiri pada Th 3.

88 > Kisah pencerahannya terdapat pada 6:55, diceritakan dengan lebih lengkap pada Vin I 179-85, di mana hal ini mengarah pada ditetapkannya aturan oleh Sang Buddha bahwa para bhikkhu boleh memakai sandal. Syair-syairnya terdapat pada Th 632-44.

89 > Ia berasal dari Avantī, putera Kāḷī (baca 1:267 di bawah) dan murid dari Mahākaccāna. Kisahnya terdapat pada Ud 5:6, 57-59. Ia melakukan perjalanan menuju Sāvatthī untuk menemui Sang Buddha. Sang Buddha mengundangnya untuk bermalam di gubuknya dan memujinya atas pembacaan Aṭṭhakavagga. Syair-syairnya terdapat pada Th 365-69.

90 > Ia adalah putera Suppavāsā, yang di rahimnya ia berdiam selama tujuh tahun dan tujuh hari. Ia lahir setelah ibunya memberikan persembahan kepada Sang Buddha (baca Ud 2:8, 15-18, walaupun nama bayi ini hanya teridentifikasi dalam komentar). Ia meninggalkan keduniawian pada hari kelahirannya dan menjadi seorang yang-tidak-kembali ketika rambutnya sedang dicukur. Setelah itu ia mencapai Kearahattaan. Syairnya terdapat pada Th 60.

91 > Kisah tentang cinta kasihnya pada Sang Buddha dan kematiannya dengan cara bunuh diri terdapat pada SN 22:87, III 119-24.

92 > Putera Sang Buddha. Pertemuan pertamanya dengan Sang Buddha, ketika ia berusia tujuh tahun, dikisahkan pada Vin I 82, 8-31. Sang Buddha membabarkan khotbah-khotbah berikut ini kepadanya: MN 61, MN 62, MN 147; SN 18:1-22.

93 > Kisah dan khotbahnya tentang Dhamma terdapat pada MN 82. syair-syairnya terdapat pada Th 350-54.

94 > Paṭhamaṃ salākaṃ gaṇhatānaṃ. Ini merujuk pada metode pembagian makanan dengan cara memilih undian. Ia jarang muncul dlam Nikāya-nikāya tetapi syair-syairnya terdapat pada Th 15 (= SN 1:5, 13, dianggap berasal dari Sang Buddha).

95 > Keseluruhan bab tentangnya, termasuk syair-syairnya, terdapat dalam SN bab 8. baca juga Sn 2:12. syair-syairnya, pada Th 1218-88, menjadi bagian terpanjang dalam Theragāthā.

96 > Adik dari Sāriputta, ia bergembira dalam pencapaiannya pada Ud 4:9, 45-46. Kisah kematiannya karena digigit ular terdapat pada SN 35:69, IV 40-41. syair-syairnya terdapat pada Th 577-86.

97 > Ia dikatakan telah mencapai Kearahattaan pada usia tujuh tahun. Ia ditunjuk oleh Saṅgha sebagai penentu tempat-tempat tinggal dan pembagi makanan tetapi kemudian difitnah oleh sekelompok bhikkhu berpikiran jahat (pada Vin III 158-63 dan sekali lagi pada Vin 166-67; baca juga Vin II 74-80, 124-26). Ia difitnah oleh kelompok yang sama pada Vin IV 37-38. Kisah kematiannya terdapat dalam Ud 8:9-10, 92-93. Ia memiliki satu syair pada Th 5.

98 > Ia telah menjalani kehidupan brahmana selama lima ratus kehidupan lampaunya dan bahkan setelah penahbisannya dan pencapaian Kearahattaannya, dengan dorongan kebiasaan, ia masih menyapa para bhikkhu lain dengan sebutan menghina sebagai vasala. Sang Buddha membebaskannya dari perbuatan-salah (dalam Ud 3:6, 28-29). Kekuatan batinnya dijelaskan pada Vin I 206-9; III 67,9-17; III 248-51. Ia memiliki satu syair pada Th 9 (identik dengan syair Aṅgulimāla pada Th 885).

99 > Kisahnya diceritakan dalam Ud 1:10, 6-9. Sebelum ia bertemu Sang Buddha, ia telah menjalani kehidupan sebagai petapa, yakin bahwa ia adalah seorang Arahant hingga sesosok dewa yang berbelas kasihan menyadarkannya dari kekeliruannya. Ia bergegas mendatangi Sang Buddha di Sāvatthī. Setelah menerima ajaran Sang Buddha ia segera mencapai Kearahattaan. Ia terbunuh oleh seekor sapi tidak lama setelah pencapaiannya. Walaupun ia tidak menerima penahbisan resmi, ia tetap dianggap sebagai seorang bhikkhu.

100 > Ia adalah putera seorang perempuan yang menjadi bhikkhunī tanpa menyadari bahwa ia sedang hamil. Ia meninggalkan keduniawian pada usia tujuh tahun. Ia muncul dalam DN 23 dan MN 23. syair-syairnya terdapat pada Th 201-2. Mp mengatakan bahwa ia ditetapkan sebagai yang terkemuka di antara mereka yang membabarkan dalam berbagai cara berbeda (cittakathikānaṃ aggo) karena ia menghias khotbah Dhamma dengan banyak perumpamaan dan alasan.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku SATU
« Reply #13 on: 30 December 2012, 05:48:47 PM »
101 > Ia muncul dalam banyak sutta, biasanya bertanya kepada Sāriputta: MN 43; SN 12:67; SN 22:122; SN 22:127-35; SN 35:232; SN 44:3-6; pada SN 35:162-63 ia menerima instruksi langsung dari Sang Buddha. Tentang pengetahuan-pengetahuan analitis (paṭisambhidā), baca 4:172.

102 > Selama dua puluh lima tahun terakhir kehidupan Sang Buddha ia bertindak sebagai pelayan pribadi Sang Buddha. Untuk kisah biografi, baca Nyanaponika and Hecker 2003, bab 4. dalam Th 1027, ia mengaku bahwa ia mempelajari 84,000 ajaran: 82,000 dari Sang Buddha dan 2,000 dari para bhikkhu.

103 > Mp: “Berdasarkan pada satu bagian, menangkap 60,000 bagian menurut metode yang diajarkan oleh Sang Guru, ia mengetahui semua bagian. Oleh karena itu ia adalah yang terkemuka di antara mereka yang menangkap dengan cepat (gatimantānaṃ aggo).”

104 > Mp: “Kegigihannya dalam mempelajari kata-kata Sang Buddha, dalam pembacaan, dalam mengingat, dan dalam melayani Sang Guru adalah tidak tertandingi oleh yang lain. Oleh karena itu ia adalah yang terkemuka di antara mereka yang bersungguh-sungguh (dhitimantānaṃ aggo).”

105 > Ia adalah pemimpin dari kelompok petapa pemuja api berambut kusut yang dialihkan oleh Sang Budddha pada awal pengajaranNya. Kedua adiknya, Nadīkassapa dan Gayākassapa, yang juga adalah pemuja api, mengikuti jejaknya di bawah Sang Buddha. Baca Vin I 24-37. syair-syairnya terdapat pada Th 375-80.

106 > Putera seorang menteri Raja Suddhodana, ia adalah teman sepermainan Sang Buddha pada masa kanak-kanak. Ia diutus oleh Suddhodana untuk mengundang Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu. Sepanjang misinya ia menginspirasi para Sakya agar berkeyakinan pada Sang Buddha. Syair-syairnya terdapat pada Th 527-36.

107 > Ia ditelan oleh seekor ikan ketika masih kanak-kanak tetapi ia berhasil selamat. Baca Vism 379, Ppn 12.27. Ia menjadi seorang bhikkhu pada usia delapan puluh dan mencapai Kearahattaan dalam tujuh hari. Perbincangannya dengan seorang teman bernama Acelakassapa, tercatat dalam MN 124. syair-syairnya terdapat pada Th 225-27.

108 > Ia adalah seorang brahmana dari Sāvatthī. Syair-syairnya terdapat pada Th 165-66.

109 > Ia adalah tukang cukur para Sakya di Kapilavatthu. Ia meninggalkan keduniawian bersama dengan Anuruddha dan para sepupunya dan menjadi yang terkemuka dalam hal disiplin monastik. Ia sering muncul dalam Vinaya dan dalam AN pada 7:83, 10:31-38, 10:41-43, dan 10:99. syair-syairnya terdapat pada Th 249-51.

110 > Seorang mantan perumah tangga dari Sāvatthī, ia menasihati para bhikkhunī pada MN 146. dalam AN, baca 3:66 dan 9:4. syair-syairnya terdapat pada Th 279-82.

111 > Ia adalah saudara tiri Sang Buddha, putera Raja Suddhodana dan Mahāpajāpati Gotami. Kisah tentang bagaimana ia meninggalkan tunangannya untuk menjadi bhikkhu dikisahkan dalam Ud 3:2, 21-24. ia diberi instruksi oleh Sang Buddha pada SN 21:8 dan dipuji dalam AN pada 8:9. syair-syairnya terdapat pada Th 157-58.

112 > Ia adalah raja dari negeri perbatasan yang meninggalkan tahtanya untuk mengikuti Sang Buddha. Istrinya, Anojā, bersama dengan para pelayannya mengikutinya dan menjadi bhikkhunī. Ia dipuji oleh Sang Buddha pada SN 21:11 dan SN 54:7. syair-syairnya terdapat pada Th 547-56.

113 > Ia adalah salah satu pelayan Sang Buddha sebelum Ānanda. Ia menggunakan kemahirannya atas lima elemen untuk menaklukkan seekor naga api yang ganas di penyeberangan Amba di dekat Kosambī. Atas instruksi kelompok enam bhikkhu pengacau, para perumah tangga Kosambī mempersiapkan minuman memabukkan yang disebut kāpotikā untuk Sāgata. Ia meminumnya dan terjatuh pingsan karena mabuk. Sebagai akibatnya, Sang Buddha menetapkan aturan yang melarang meminum minuman memabukkan (Pācittiya 51); baca Vin IV 108-10.

114 > Kata paṭibhāneyyaka jelas memiliki makna kausatif. Mp mengatakan “ia adalah yang terkemuka di antara para bhikkhu yang menyebabkan khotbah-khotbah yang mengesankan dibabarkan oleh Sang Buddha, yang menjadi kondisi bagi khotbah-khotbah demikian” (satthu dhammadesanāpaṭibhānassa paccayabhūtānaṃ paṭibhānajanakānaṃ bhikkhūnaṃ … aggo). Ia menerima khotbah-khotbah dari Sang Buddha pada SN 22:71, SN 23:1-46, dan SN 35:76-78.

115 > Ia adalah salah satu dari enam belas murid brahmana yang bertanya kepada Sang Buddha dalam Pārāyanavagga. Perbincangannya dengan Sang Buddha terdapat pada Sn 1116-19. ia mengajukan pertanyaan dari Buddha pada SN 1:34, I 23 dan memiliki sebuah syair pada Th 207.

116 > Ia adalah bibi dan ibu tiri Sang Buddha. Dalam AN, baca 8:51 (= Vin II 253-56) dan 8:53 (= Vin II 258-59). Syair-syairnya terdapat pada Thī 157-62, dan kisah tentang wafatnya terdapat pada Ap II 529-43.

117 > Untuk sketsa biografinya, baca Nyanaponika and Hecker 2003: 263-97. ia adalah permaisuri Raja Bimbisāra, yang bangga akan kecantikannya, tetapi kemudian meninggalkan keduniawian setelah Sang Buddha menaklukkan keangkuhannya. Ia membabarkan khotbah pada SN 44:1 dan syair-syairnya terdapat pada Thī 139-44. bersama dengan Uppalavaṇṇa, ia adalah salah satu dari dua siswa bhikkhunī utama yang dianggap sebagai teladan bagi para bhikkhunī dalam AN pada 2:131 dan 4:176 §2 dan dalam SN 17:24.

118 > Ia adalah puteri seorang banker dari Sāvatthī. Tidak lama setelah meninggalkan keduniawian, ia mencapai Kearahattaan lengkap dengan kekuatan batin. Ia diperkosa oleh seorang pemuda tetapi Sang Buddha menyatakan ketidak-bersalahannya karena ia tidak menyetujui tindakan itu. Ia berbincang-bincang dengan Māra pada SN 5:5, I 131-32. syair-syairnya terdapat pada Thī 224-35.

119 > Kisahnya terdapat dalam Nyanaponika and Hecker 2003: 293-300. syair-syairnya terdapat pada Thī 112-16.

120 > Ia mengajarkan kepada mantan suaminya dalam MN 44 dan syari-syairnya terdapat pada Thī 12.

121 > Juga dikenal sebagai Sundarīnandā karena kecantikannya, ia adalah saudari tiri Sang Buddha dan saudari kandung Nanda. Kisahnya terdapat dalam Nyanaponika and Hecker 2003: 282-85. syair-syairnya terdapat pada Thī 82-86.

122 > Kisahnya terdapat dalam Nyanaponika and Hecker 2003: 279-82. Syair-syairnya terdapat pada Thī 102-6.

123 > Ia adalah puteri dari keluarga brahmana di Sāvatthī. syair-syairnya terdapat pada Thī 98-101.

124 > Kisahnya terdapat dalam Nyanaponika and Hecker 2003: 269-73. Ia adalah seorang petapa pengembara dan pendebat sebelum ia bertemu dengan Sang Buddha. Syair-syairnya terdapat pada Thī 107-11.

125 > Dalam kehidupan awamnya ia adalah istri Mahākassapa, tetapi dengan kesepakatan bersama pernikahan mereka tidak pernah terjadi. Syair-syairnya terdapat pada Thī 63-66.

126 > Mp mengidentifikasikannya sebagai Rāhulamātā, ibu Rāhula; karena ia adalah istri Sang Buddha, lebih dikenal dalam tradisi Buddhis dengan nama Yasodharā.

127 > Ia adalah tokoh pemeran utama dalam kisah terkenal biji mostar. Sketsa biografinya terdapat dalam Nyanaponika and Hecker 2003: 273-78. Dialognya dengan Māra terdapat pada SN 5:3, I 129-30. Syair-syairnya terdapat pada Thī 213-23.

128 > Ia dikatakan telah mencapai Kearahattaan dengan indria keyakinan yang menonjol; karenanya ia ditetapkan sebagai yang terkemuka di antara mereka yang bertekad melalui keyakinan.

129 > Pertemuan mereka dengan Sang Buddha tidak lama setelah pencerahan Beliau dikisahkan dalam Vin I 4,1-27.  mereka dikatakan berasal dari negeri Ukkala. Mereka mempersembahkan makanan pertama Sang Buddha setelah pencerahan Beliau dan menyatakan berlindung pada Buddha dan Dhamma (karena Saṅgha masih belum ada). Mp menjelaskan bahwa Sang Buddha memberikan beberapa helai rambut dari kepalaNya, yang mereka bawa ke kota asal mereka, dan menyimpannya dalam sebuah cetiya (altar pemujaan) yang mereka bangun untuk menyimpan rambut itu.

130 > Untuk kisah terperinci tentang kehidupan dan aktivitasnya, baca Nyanaponika and Hecker 2003, bab 9.

131 > Ia adalah sosok utama dalam SN bab 41. untuk sketsa biografi, baca Nyanaponika and Hecker 2003: 365-72.

132 > Mp mengatakan bahwa ia adalah putera raja negeri Ālavī. Ia menjadi seorang yang-tidak-kembali ketika mendengar Sang Buddha mengajar. Dalam AN ia terlibat dalam perbincangan dengan Sang Buddha pada 3:35 dan, bersama Citta, ia dianggap sebagai teladan umat awam pada 2:132 dan 4:176 §3 serta pada SN 17:23, II 235, 20-25. Ia dipuji oleh Sang Buddha pada 8:23 dan 8:24. Setelah kelahiran kembalinya sebagai dewa, ia mengunjungi Sang Buddha pada 3:127. Empat cara untuk menarik dan memelihara orang lain (saṅgahavatthu) terdapat pada 4:32.

133 > Ia adalah seorang pangeran Sakya, kakak dari Anuruddha dan sepupu Sang Buddha. Ia sering terlibat diskusi dengan Sang Buddha dan para bhikkhu. Dalam AN ia muncul dalam 3:73, 3:126, 6:10, 8:25, 11:11, dan 11:12.

134 > Ia dipuji oleh Sang Buddha pada 8:21 dan membicarakan tentang hal-hal menyenangkan yang ia berikan dalam 5:44.

135 > Dari kisah dalam Mp, tampaknya ia identik dengan Ugga dari Hatthigāma, yang dipuji oleh Sang Buddha dalam 8:22.

136 > Mp menceritakan sebuah kisah tentang bagaimana Māra mengunjunginya dalam samaran Buddha untuk meggoyahkan keyakinannya. Akan tetapi, Sūra seketika menyadari muslihat ini dan membingkar pengunjungnya sebagai Māra.

137 > Ia adalah tabib resmi bagi Raja Bimbisāra serta bagi Buddha dan Saṅgha. Dalam AN ia hanya muncul dalam 8:26. kisah masa awal karirnya dan pelayanannya pada Sang Buddha dikisahkan pada Vin I 268-81. tentang ungkapan “yang terkemuka di antara mereka yang memiliki keyakinan pada orang-orang” (puggalappasannānaṃ aggo), Mp berpendapat hanya sebuah kata kesungguh-sungguhan. Saya menduga, makna yang dimaksudkan adalah bahwa keyakinannya didasarkan pada keyakinan personal terhadap Sang Buddha, bukan pada penyelidikan ke dalam Dhamma.

138 > Menurut Mp, ia dan istrinya Nakulamātā telah menjadi orang tua Sang Buddha dalam lima ratus kehidupan lampau dan  dengan dmeikian mereka masih menganggap Beliau sebagai putera mereka. Saya percaya bahwa hal inilah yang menjadikan mereka sebagai “yang terkemuka dalam hal memiliki kepercayaan” (vissāsakānaṃ aggo). Dalam AN mereka muncul bersama dalam 4:55 dan 6:16. suatu skema biografi singkat atas pasangan ini terdapat dalam Nyanaponika and Hecker 2003: 375-78.

139 > Ia mempersembahkan makanan terakhir kepada Sang Bodhisatta sebelum pencerahanNya. Mp mengidentifikasikannya sebagai ibu dari Yasa (baca Vin I 15-18), tetapi tampaknya tidak mungkin. Sujātā berasal dari Uruvelā, dekat Bodhgayā sekarang, sedangkan Yasa dikatakan berasal dari Bārāṇasī yang jauh.

140 > Ia adalah penyokong wanita utama Sang Buddha. Suatu sketsa biografi terdapat dalam dalam Nyanaponika and Hecker 2003: 247-55. Sang Buddha membabarkan khotbah kepadanya dalam 3:70, 8:43, dan 8:49.

141 > Pelayan Sāmāvatī, ia pergi mendengar Sang Buddha membabarkan khotbah dan kemudian mengulangi khotbah-khotbah itu kepada nyonya-nyonya di istana, Itivuttaka disebutkan sebagai catatan dari ajaran-ajaran ini. Dalam 2:133 dan 4:176 §4 ia dianggap, bersama dengan Veḷukaṇṭakī Nandamātā, sebagai teladan ideal seorang umat awam perempuan. Ia juga dipuji dalam SN 17:24.

142 > Seorang gadis yatim-piatu, ia menjadi istri Raja Udena dari Kosambī. Bersama dengan para perempuan lain di istana, ia meninggal dunia ketika istri lainnya yang cemburu, Māgandiyā, membakar kamar para perempuan. Kisah ini terdapat dalam Ud 7:10, 79. sketsa biografinya terdapat dalam Nyanaponika and Hecker 2003: 285-93.

143 > Ia mungkin identik dengan Veḷukaṇṭakī Nandamātā, yang walaupun di tempat lain disebutkan sebagai seorang umat awam perempuan ideal, namun tidak disebutkan dalam daftar ini. Veḷukaṇṭakī Nandamātā dipuji bersama dengan Khujjuttarā dalam sutta-sutta yang dikutip di atas dalam catatan 141. dalam 7:53 ia menyatakan tentang tujuh kualitasnya yang menakjubkan.

144 > Ia adalah ibu dari Sīvalī. Kisah tentang lamanya ia berada dalam rahim terdapat dalam Ud 2:8, 15-18. Sang Buddha memberikan nasihat tentang kemanjuran persembahan makanan dalam 4:57.

145 > Ia mengiris daging dari pahanya sendiri untuk dipersembahkan kepada seorang bhikkhu yang sakit yang memerlukan daging. Hal ini menyebabkan Sang Buddha melarang para bhikkhu memakan daging manusia, bahkan jika diberikan. Baca Vin I 216-18.

146 > Mp mengatakan bahwa ia adalah sahabat Kāḷi dari Kuraraghara. Suatu hari, ketika ia sedang mendengarkan khotbah Dhamma, para pencuri merampok rumahnya. Ia tidak mempedulikan tentang perampokan itu melainkan terus mendengarkan khotbah tersebut. Reaksinya tersebut menyebabkan para pencuri itu menyesal. Dengan bantuannya, mereka menjadi bhikkhu dan mencapai Kearahattaan.

147 > Ia adalah istri dari Nakulapitā. Ia mengungkapkan moralitasnya dalam 6:16 dan menerima khotbah secara pribadi dalam 8:48.

148 > Seorang penyokokng Mahākaccāna, ia berbincang-bincang dengannya dalam 10:26. Mp mengatakan bahwa ia memperoleh kepercayaan ketika ia mendengar dua yakkha (makhluk halus) memuji Tiga Permata sambil terbang di angkasa. Ia pada saat itu juga mencapai buah memasuki-arus.

149 > Be membagi dua puluh delapan sutta dalam vagga ini menjadi tiga sub bab terdiri dari sepuluh, sembilan, dan sembilan sutta berturut-tururt. Saya mengikuti Ce yang memperlakukan semuanya dalam satu vagga dengan nama Aṭṭhānapāti. Banyak dari ucapan-ucapan ini juga terdapat dalam MN 115.12-19, III 64-67.

150 > Mp: “Seorang yang sempurna dalam pandangan (diṭṭhisampanna) adalah seorang siswa mulia, seorang pemasuk-arus, yang memiliki pandangan sang jalan (maggadiṭṭhiyā sampanna). Kaum duniawi, sebaliknya, mungkin menganggap fenomena terkondisi dari tiga alam [alam indria, alam berbentuk, dan alam tanpa bentuk] sebagai kekal melalui pandangan eternalis (sassatadiṭṭhī).”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku SATU
« Reply #14 on: 30 December 2012, 05:49:34 PM »
151 > Mp: “Ini dikatakan sehubungan dengan obsesi dengan kenikmatan yang terjadi melalui pandangan diri (attadiṭṭhivasena), seperti pada mereka yang menganut bahwa diri adalah sangat berbahagia dan abadi, dan seterusnya. Tetapi, dengan pikiran yang terlepas dari pandangan-pandangan (diṭṭhivippayuttacittena), seorang siswa mulia yang menderita demam dapat menganggap bahkan tinja sebagai menyenangkan, mempercayainya dapat menyembuhkan demamnya.”

152 > Mp: “Pada bagian tentang diri, bukannya membicarakan tentang ‘fenomena terkondisi’ (sankhāra), yang digunakan adalah ungkapan ‘segala sesuatu’ (kañci dhammaṃ) ; ini bertujuan untuk memasukkan entitas-entitas konseptual seperti kasiṇa, dan seterusnya (baca 1:455-64). Apa pun yang digenggam oleh kaum duniawi sebagai kekal, menyenangkan, dan diri¸ siswa mulia melepaskan dirinya dari cengkeraman itu, menganggapnya sebagai tidak kekal, penderitaan, dan bukan-diri.”

153 > Lima yang pertama adalah perbuatan-perbuatan kejam yang menghasilkan akibat segera (ānantariya kamma), pasti menghasilkan kelahiran kembali di neraka pada kehidupan berikutnya. Kelima ini disebutkan secara kolektif pada 6:94. keenam hal secara bersama-sama dirujuk pada Sn 233 sebagai “enam hal yang tidak dapat dilakukan” (cha cābhiṭhānāni abhabbo kātuṃ) oleh pemasuk-arus. Mp: “ini di sini adalah kehendak: ‘kondisi seorang kaum duniawi adalah tercela sejauh seorang kaum duniawi dapat melakukan perbuatan-perbuatan ini yang menghasilkan akibat segera, seperti membunuh ibu dan seterusnya. Tetapi siswa mulia adalah kuat karena ia tidak melakukan perbuatan-perbuatan demikian.’” Sehubungan dengan melukai seorang Tathāgata hingga berdarah, Mp mengatakan bahwa ungkapan “dengan pikiran kebencian” (paduṭṭhacitto) digunakan untuk menggaris-bawahi motifnya. Devadatta, yang ingin membunuh Sang Buddha dan mengambil alih Saṅgha, melukai Sang Buddha dalam suatu percobaan pembunuhan yang gagal dan karenanya melakukan ānantariya kamma. Tetapi tabib Jīvaka, ingin memulihkan kesehatan Sang Buddha, melukai kulit Sang Buddha untuk mengeluarkan darah kotor; karena itu ia melakukan perbuatan baik. Tentang memecah-belah Saṅgha (saṅghabheda), baca 10:37, 10:39.

154 > Ini berlebihan, karena sammā sambuddha hanya berarti “Seorang yang tercerahkan sempurna,” tetapi saya menerjemahkan kata ini demikian untuk menghindari kesalah-pahaman. Walaupun para siswa Arahant mencapai sambodhi, pencerahan sempurna, dan kadang-kadang disebut sebagai sambuddha, “tercerahkan,” namun sebutan sammā sambuddha dikhususkan untuk pendiri, yang oleh diri sendiri mencapai anuttara sammā sambodhi, “pencerahan sempurna yang tidak terlampaui.”

155 > Mp menjelaskan kata “sezaman” (apubbaṃ acarimaṃ, lit. “bukan sebelum, bukan sesudah”) untuk mencakup periode dari saat seorang Bodhisatta memasuki rahim ibunya hingga relik-relik Sang Buddha lenyap. Hanya ada satu Buddha pada satu waktu karena seorang Buddha adalah tanpa imbangan atau tandingan (baca 1:172, 1:174). Dengan demikian jika dua Buddha muncul pada waktu yang sama, maka pernyataan ini akan menjadi tidak berlaku. Hal ini juga dibahas pada Mil 236-39, yang dikutip oleh Mp. Mp mengatakan demikian karena tidak ada sutta yang mengatakan tentang kemunculan Buddha di sistem dunia lain, sementara ada sutta yang mengatakan bahwa Buddha tidak muncul di tempat lain. Hanya di sistem dunia ini (imasmiṃyeva cakkavāḷe) Mereka muncul. Mp-ṭ mencantumkan beberapa sutta yang diinterpretasikan sebagai ketidak-mungkinan munculnya Buddha di tempat lain, tetapi teks-teks ini tampaknya tidak sepositif seperti yang dimaksudkan oleh penulis. Mungkin argument ini dimaksudkan untuk membantah gagasan yang telah berkembang dalam sūtra-sūtra Mahāyāna awal (atau bahkan di antara aliran-aliran pre-Mahāyāna lainnya) bahwa para Buddha muncul dalam sistem dunia di sepuluh penjuru. Untuk pandangan Buddhis awal tentang sistem dunia, baca 3:81.

156 > Seorang “raja pemutar roda” (rājā cakkavatī) adalah sesosok raja ideal yang menaklukkan negeri-negeri di empat penjuru dengan keadilan. Dalam AN ia disebutkan dalam 3:14, 5:131-33, 7:62, dan 7:66. untuk penjelasan terperinci, baca MN 129, 33-47, III 172-77.

157 > Tampaknya bahwa dalam Nikāya-nikāya lama gagasan bercita-cita untuk mencapai Kebuddhaan di masa depan tidak diangkat sama sekali. Dengan demikian klaim yang dinyatakan di sini bukanlah bahwa seorang perempuan tidak dapat menjadi seorang Buddha yang tercerahkan sempurna di masa depan tetapi bahwa seorang Buddha adalah selalu laki-laki. Penegasan dalam sutta ini jangan dibaca sebagai mengecualikan kemungkinan bahwa seseorang yang adalah perempuan pada kehidupan sekarang dapat menjadi seorang Buddha, tetapi hal ini harus terjadi dalam kehidupan mendatang, setelah ia telah mengalami perubahan jenis kelamin. Pernyataan ini tidak diragukan telah diformulasikan dalam konteks kebudayaan India pada masa itu, yang selalu menyerahkan posisi yang berkuasa kepada para laki-laki. MĀ 181, sebuah parallel China dari MN 115, tidak memasukkan bagian ketidak-mampuan para perempuan ini. Namun demikian, kita menemukan pernyataan bahwa seorang perempuan tidak dapat menjadi seorang Buddha dalam sutta parallel China lainnya, pada T XVII 713b20-22. juga muncul dalam sebuah sūtra yang dikutip dalam Abhidharma Mahāvibhāṣā pada T XXVI 502b16-18, dan dalam *Ṥāriputrābhidharma Ṥāstra pada T XXVIII, 600b10-12. menurut teks-teks kanonis belakangan seperti Buddhavaṃsa, jika seorang perempuan bertekad untuk mencapai Kebuddhan di hadapan seorang Buddha, maka tekadnya tidak berhasil (yaitu, ia tidak akan menerima ramalan mencapai Kebuddhaan di masa depan). Agar tekadnya berhsasil, maka sang calon harus seorang laki-aki dan telah meninggalkan kehidupan rumah tangga. Baca Bodhi 2007: 251-53. Sakka adalah penguasa para deva di alam surga Tāvatiṃsa.

158 > Kata-kata dalam kurung siku berturut-turut adalah bagian dari dua sutta yang diringkas dalam triad ini. Hal yang sama berlaku pada dua triad berikutnya.

159 > Ce dan Be membagi bab ini (disebut Ekadhammapāḷi) menjadi sub bab terpisah (disebut vagga), seperti yang terlihat, sedangkan Ee memperlakukan sub bab dari Ce dan Be sebagai vagga-vagga yang berdiri sendiri.

160 > Mp: “Kekecewaan (nibbidā) adalah ketidak-puasan terhadap lingkaran [kelahiran kembali]; kebosanan (virāga) adalah meluruhnya lingkaran, atau meluruhnya kekotoran-kekotoran seperti nafsu (rāga); lenyapnya (nirodha) adalah lenyapnya nafsu, dan seterusnya, atau lenyapnya lingkaran; kedamaian (upasama) adalah tenangnya kekotoran-kekotoran; pengetahuan langsung (abhiññā) adalah secara langsung mengetahui ketiga karakteristik; pencerahan (sambodha) adalah keterjagaan pada empat kebenaran; dan nibbāna adalah realisasi nibbāna yang tidak terkondisi.”

161 > Perenungan pada Buddha (buddhānussati) adalah yang pertama dari enam perenungan yang dijelaskan dengan lebih lengkap pada 6:10 dan dijelaskan pada Vism 197-213, Ppn 7.1-67. di sini Mp (diringkas): “Perenungan pada Sang Buddha memiliki dua tujuan: memberikan kegembiraan pada pikiran dan mengembangkan pandangan terang (cittasampahaṃsanatthañ c’eva vipassanatthañca). Bagaimanakah? Ketika seorang bhikkhu mengembangkan suatu subjek meditasi seperti ketidak-menarikan [jasmani], maka pikirannya mungkin tergannggu, tidak puas, and tidak gembira. Pikiran tidak menetap pada jalurnya melainkan mengembara bagaikan sapi liar. Pada saat itu, ia harus mengesampingkan subje meditasi utamanya dan merenungkan kualitas-kualitas mulia Sang Tathāgata. Ketika ia merenungkan Sang Buddha, pikirannya menjadi tenang dan bebas dari rintangan. Kemudian ia dapat kembali pada subjek meditasi utamanya, mengembangkan pandangan terang, dan mencapai alam para mulia. Demikianlah perenungan pada Buddha memberikan kegembiraan pada pikiran. Tetapi ia juga dapat menggunakan subjek meditasi ini secara langsung untuk tujuan mengembangkan pandangan terang. Setelah merenungkan Sang Buddha, ia memotong tindakan perenungan itu ke dalam kelima kelompok unsur kehidupan dan mendefinisikannya sebagai berikut: ‘Kelima kelompok unsur kehidupan ini, singkatnya, adalah kebenaran penderitaan. Ketagihan yang menghasilkannya adalah kebenaran asal-mula. Lenyapnya ketagihan adalah kebenaran lenyapnya; dan praktik yang memahami lenyapnya adalah kebenaran sang jalan.’ Demikianlah ia mendefinisikan keempat kebenaran dalam bagian pendahuluan [tahap pandangan terang] dan ia selangkah demi selangkah mencapai tahap para mulia.”

162 > Dalam Be sembilan sutta ini digabungkan menjadi satu, diberi nomor 297 dalam skema penomoran kumulatif Be (karena edisi-edisi ini menomori sutta pertama dalam tiap-tiap vagga sebagai “1” tanpa penomoran kumulatif). Saya mengikuti Be dalam menggunakan skema penomoran kumulatif, tetapi saya mengikuti Ce dan Ee dalam menghitung sutta-sutta ini secara terpisah. Demikianlah skema penomoran saya dari sini dan seterusnya akan melebihi Be sebanyak delapan, tetapi tanpa kecocokan dengan skema yang bersesuaian dalam Ce atau Ee. Dalam tanda kurung saya memberikan nomor sutta yang menjadi bagian dari sub bab, yang disebut vagga, tetapi hanya sekedar menomorinya tanpa judul yang sebenarnya.

163 > Subjek-subjek meditasi dari perenungan pada Dhamma hingga perenungan para deva adalah lima perenungan lainnya, juga dibahas dalam 6:10 §§2-6 dan dijelaskan pada Vism 213-26, Ppn 7.68-118. perhatian pada pernafasan (ānāpānassati) dibahas dengan lebih lengkap pada 10:60 §10, SN 54:10, V 322-25, dan SN 54:13, V 328-33. Untuk penjelasan komentar, baca Vism 267-93, Ppn 8.145-244. Perhatian pada kematian (maraṇassati) terdapat pada 6:19, 6:20, 8:73, dan 8:74, dijelaskan pada Vism 229-39, Ppn 8.1-41. Perhatian yang diarahkan pada jasmani (kāyagatā sati), sebagai sifat ketidak-menarikan jasmani, terdapat pada 10:60 §3, dan dijelaskan pada Vism 329-66, Ppn 8.42-144. Perenungan kedamaian (upasamānussati) hanya muncul di sini dan tidak dijelaskan secara terpisah tetapi dibahas pada Vism 293-94, Ppn 8.245-51; pembahasan ini sangat menyerupai persepsi kebosanan dan persepsi lenyapnya pada 10:60 §§6-7.

164 > Dalam Ee disebut vagga XVII dan dinamai “Benih” (Bīja).

165 > Mp: “Ini adala sebuah sebutan untuk enam puluh dua pandangan salah”; baca DN 1.1.29-3.31, I 12-39. Walaupun tampaknya bahwa kata micchādiṭṭhi digunakan dalam Nikāya-nikāya hanya sehubungan dengan tiga pandangan; nihilistik moral, doktrin tidak berbuat, dan doktrin tanpa penyebab (natthikavāda, akiriyavāda, ahetukavāda).

166 > Mp: “Ini adalah sebuah sebutan untuk lima jenis pandangan benar.” Mp-ṭ: “[Pandangan-pandangan] kepemilikan kamma, jhāna, pandangan terang, sang jalan, dan buah. Pengetahuan yang termasuk dalam kesadaran jhāna adalah pandangan benar jhāna, sedangkan pengetahuan pandangan terang adalah pandangan benar pandangan terang.”

167 > Baca 2:125, 10:93.

168 > Baca 2:126, MN 43.13, I 294, 1-4.

169 > Ce menganggap sutta ini dan sutta berikutnya masing-masing terdiri dari tujuh sutta: masing-masing satu untuk kamma jasmani, ucapan, dan pikiran, dan untuk kehendak, kerinduan, aspirasi, dan aktivitas-aktvitas kehendak. Demikianlah Ce menghitung dua puluh dua sutta pada bagian ini, bukan sepuluh seperti pada Be dan Ee.

170 > Nimbabījaṃ vā kosātakibījaṃ vā tittakalābubījaṃ vā.

171 >Asecanakatta. Lit., “tidak menyebabkan kejenuhan.”

172 > Ee menghitung ini sebagai vagga XVIII, yang dinamai “Makkhali.”

173 > Mp: “Devadatta bersama dengan enam guru [Non-Buddhis] dan yang lainnya yang sejenis,” Untuk pandangan-pandangan keenam guru ini, baca DN 2.16-33, I 52-59.

174 > Mp: “Ketika seorang Buddha tidak muncul, ini adalah seorang Bodhisatta dalam peran raja pemutar roda dan yang lainnya yang sejenis. Ketika seorang Buddha telah muncul, ini adalah seorang Buddha dan para siswaNya.”

175 > Makkhali Gosāla adalah salah satu dari enam guru sezaman dengan Sang Buddha. Ia adalah pendiri (atau mungkin hanya seorang guru terkenal) dari para Ājīvaka (atau Ājivika). DN 2.20, I 53-54 menganggap doktrin tanpa penyebab (ahetukavāda) berasal darinya, yang mana menurutnya tidak ada penyebab bagi kekotoran atau pemurnian makhluk-makhluk, yang tidak memiliki kekuatan, pengendalian-diri, atau kapasitas untuk pilihan bebas.

176 > Manussakhippaṃ. Mp: “Ia telah muncul di dunia bagaikan jala ikan bagi orang-orang, untuk mencegah mereka mencapai sang jalan menuju surga dan kebebasan.”

177 > Dāyakena mattā jānitabbā no paṭiggāhakena. Mp: “Seseorang harus memberi sesuai takaran. Seseorang tidak boleh memberikan semuanya, secara berlebihan. Ia [Sang Buddha] tidak mengatakan ‘seseorang tidak boleh memberi,’ melainkan ‘seseorang harus memberi sedikit, secukupnya.’ Mengapakah? Karena bahkan jika seseorang memberi semuanya, secara berlebihan, maka ia tidak mencapai [sebagai buah dari pemberiannya] kondisi seorang manusia, atau kelahiran kembali di alam surga, atau pencapaian nibbāna. Penerima tidak perlu menerima secukupnya. Mengapakah? Karena ia tidak perlu menerima secukupnya ketika benda-benda diberikan kepadanya semuanya; ia tidak mempraktikkan kesedikitan keinginan dengan berdasarkan pada penerimaan secukupnya.”

178 > Paṭiggāhakena mattā jānitabbā. Mp: “Orang yang menerima harus menentukan batas. Bagaimanakah? Dengan memperhitungkan si penyumbang, benda yang diberikan, dan kapasitasnya. Karena jika benda yang akan diberikan banyak, dan penyumbang ingin memberikan sedikit, maka dengan mempertimbangkan si penyumbang, ia harus menerima sedikit. Jika hanya sedikit yang akan diberikan, dan si penyumbang ingin memberikan banyak, maka dengan mempertimbangkan benda yang akan diberikan, ia harus menerima sedikit. Jika benda yang akan diberikan banyak, dan si penyumbang ingin memberikan banyak, maka dengan mempertimbangkan kapasitasnya, ia harus menerima secukupnya. Dengan mengetahui kecukupan, maka penerima memenuhi praktik berkeinginan sedikit. [Dengan cara ini] maka mereka yang tidak mendapat bagian akan mendapat bagian, dan perolehan yang didapat tetap stabil. Mereka yang tanpa keyakinan memperoleh keyakinan; mereka yang berkeyakinan menjadi meningkat keyakinannya; ia menjadi teladan bagi banyak orang; dan ia membantu mempertahankan kelangsungan Ajaran untuk waktu yang lama.”

179 > Mp menjelaskan bahwa setelah Sang Buddha membabarkan khotbah tentang kelahiran kembali makhluk-makhluk, dengan mengatakan bahwa ada sembilan individu “yang terbebas dari neraka, alam binatang, dan alam hantu menderita” (baca 9:12), Beliau mempertimbangkan: “Jika para bhikkhu, ketika mendengarkan khotbah ini, berpikir: ‘Kami terbebas dari neraka, dan seterusnya,’ maka mereka mungkin berpikir bahwa tidak ada gunanya berusaha untuk mencapai jalan dan buah yang lebih tinggi. Biarlah Aku mendorong rasa keterdesakan dalam diri mereka.” Mp mengemas kata-kata, “Aku tidak memuji bahkan sejumlah kecil penjelmaan,” dengan: “Aku tidak memuji kelahiran kembali di alam kehidupan mana pun bahkan selama waktu yang singkat” (appamattakampi kālaṃ bhave paṭisandhiṃ na vaṇṇayāmi).

180 > Ce dan Ee menghitung ini sebagai empat sutta terpisah, sedangkan Be menggabungkannya menjadi satu.

 

anything