I. KONDISI MANUSIA1. USIA TUA, PENYAKIT, DAN KEMATIAN(1) Penuaan dan KematianDi Sāvatthi. Raja Pasenadi dari Kosala berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Adakah orang yang dilahirkan bebas dari penuaan dan kematian?”[1]
“Baginda, tidak ada seorang pun yang dilahirkan bebas dari penuaan dan kematian. Bahkan bagi para khattiya kaya raya – kaya, dengan harta dan kekayaan besar, dengan emas dan perak berlimpah, harta dan komoditi berlimpah, kekayaan dan hasil panen berlimpah – karena mereka telah terlahir, tidak bebas dari penuaan dan kematian. Bahkan bagi para brahmana kaya raya … perumah tangga kaya raya – kaya … dengan kekayaan dan hasil panen berlimpah - karena mereka telah terlahir, tidak bebas dari penuaan dan kematian. Bahkan bagi para bhikkhu yang adalah para Arahant, yang noda-nodanya telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah melepaskan beban, telah mencapai tujuan mereka, telah secara total menghancurkan belenggu kehidupan, dan sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan tertinggi: bahkan bagi mereka jasmani ini tunduk pada kehancuran, pasti terbaringkan. [2]
“Kereta indah para raja menjadi usang,
Jasmani ini juga mengalami kelapukan.
Tetapi Dhamma yang baik tidak lapuk:
Demikianlah yang baik menyatakan yang baik.”
(SN 3:3;171 <163-64>)
(2) Perumpamaan GunungDi Sāvatthi, di siang hari, Raja Pasenadi dari Kosala menghadap Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Dari manakah engkau datang, Baginda, di siang hari ini?”
“Baru saja, Yang Mulia, aku melakukan urusan kerajaan khusus untuk raja-raja, yang mabuk kekuasaan, yang terobsesi oleh keserakahan akan kenikmatan-indria, yang telah mencapai pengendalian yang stabil di negeri mereka, dan yang memerintah setelah menaklukkan wilayah teritorial yang luas di bumi ini.”
“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan, seseorang mendatangimu dari timur, seorang yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan, dan memberitahukan kepadamu: ‘Tentu saja, Baginda, engkau harus mengetahui hal ini: aku datang dari timur, dan di sana aku melihat sebuah gunung setinggi awan bergerak, menggilas semua makhluk hidup. Lakukanlah apa yang harus engkau lakukan, Baginda.’ Kemudian orang ke dua mendatangimu dari barat … orang ke tiga dari utara … dan orang ke empat mendatangimu dari selatan, seorang yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan, dan memberitahukan kepadamu:: ‘Tentu saja, Baginda, engkau harus mengetahui hal ini: aku datang dari selatan, dan di sana aku melihat sebuah gunung setinggi awan bergerak, menggilas semua makhluk hidup. Lakukanlah apa yang harus engkau lakukan, Baginda.’ Jika, Baginda, bencana dahsyat itu terjadi, kehancuran luar biasa bagi umat manusia, kondisi ke-manusia-an yang sangat sulit diperoleh, apakah yang harus dilakukan?”
“Jika, Yang Mulia, bencana dahsyat itu terjadi, kehancuran luar biasa bagi umat manusia, kondisi ke-manusia-an yang sangat sulit diperoleh, apa lagi kah yang dapat dilakukan kecuali hidup dalam Dhamma, hidup dengan benar, dan melakukan perbuatan baik dan bermanfaat?”
“Aku beritahukan kepadamu, Baginda, Aku mengumumkan kepadamu, Baginda: usia tua dan kematian sedang menghampirimu. Ketika usia-tua dan kematian sedang menghampirimu, Baginda, apakah yang harus dilakukan?”
“Karena usia-tua dan kematian sedang menghampiriku, Yang Mulia, apa lagi kah yang dapat dilakukan kecuali hidup dalam Dhamma, hidup dengan benar, dan melakukan perbuatan baik dan bermanfaat?
“Yang Mulia, raja-raja yang mabuk kekuasaan, yang terobsesi oleh keserakahan akan kenikmatan-indria, yang telah mencapai pengendalian yang stabil di negeri mereka, dan yang memerintah setelah menaklukkan wilayah teritorial yang luas di bumi ini, menaklukkan melalui pertempuran gajah, pertempuran kuda, pertempuran kereta, dan pertempuran pasukan pejalan kaki; tetapi tidak ada harapan kemenangan bagi perang-perang demikian, tidak ada kesempatan berhasil, ketika usia-tua dan kematian menghampiri. Dalam kerajaan ini, Yang Mulia, terdapat para menteri yang, ketika musuh datang, mampu memecah mereka dengan muslihat, namun tidak ada harapan kemenangan bagi muslihat, tidak ada kesempatan berhasil ketika usia-tua dan kematian menghampiri. Dalam kerajaan ini, Yang Mulia, terdapat emas dan perak dalam jumlah besar tersimpan dalam brankas dan gudang-gudang penyimpanan, dan dengan kekayaan sebanyak itu kami mampu meredam musuh ketika mereka datang; tetapi tidak ada harapan kemenangan bagi kekayaan, tidak ada kesempatan berhasil, ketika usia-tua dan kematian menghampiri. Karena usia-tua dan kematian sedang menghampiriku, Yang Mulia, apa lagi kah yang dapat dilakukan kecuali hidup dalam Dhamma, hidup dengan benar, dan melakukan perbuatan baik dan bermanfaat?”
“Demikianlah, Baginda! Memang demikian, Baginda! Karena usia-tua dan kematian menghampirimu, apa lagi kah yang dapat dilakukan kecuali hidup dalam Dhamma, hidup dengan benar, dan melakukan perbuatan baik dan bermanfaat?”
Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan:
“Bagaikan gunung karang,
Tinggi, menjulang ke langit,
Menarik segalanya dari segala sisi,
Menggilas segalanya di empat penjuru –
Demikian pula usia-tua dan kematian datang
Menghampiri semua makhluk hidup –
“Khattiya, Brahmana, Vessa, Sudda,
Kasta buangan dan binatang:
Tidak menyisakan apapun sepanjang perjalanannya
Namun datang menggilas segalanya.
“Tidak ada harapan di sini untuk kemenangan
Bagi pasukan gajah, kereta dan pasukan infanteri.
Seseorang tidak dapat mengalahkannya dengan muslihat,
Atau membelinya dengan kekayaan.
“Oleh karena itu seorang yang bijaksana di sini,
Demi kebaikannya sendiri,
Harus dengan teguh mengokohkan keyakinan
Dalam Sang Buddha, Dhamma dan Saṅgha.
“Ketika seseorang berperilaku sesuai Dhamma
Melalui jasmani, ucapan dan pikiran,
Mereka memujinya di sini dalam kehidupan ini,
Dan setelah kematian ia bergembira di alam surga.”
(SN 3:25; I 100-102 <224-29>)
(3) Utusan Surgawi“Ada, para bhikkhu, tiga utusan surgawi. [3] Apakah tiga ini?
“Ada orang yang berperilaku buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara, di alam yang buruk, di alam rendah, di neraka. Kemudian para penjaga neraka mencengkeramnya pada kedua tangannya dan membawanya ke hadapan Yama, Raja Kematian, [4] dengan mengatakan: ‘Orang ini, Baginda, tidak menghormati ayah dan ibu, juga tidak menghormati para petapa dan brahmana, juga tidak menghormati orang-orang tua dalam keluarga. Silakan Baginda menjatuhkan hukuman padanya!’
“Kemudian, para bhikkhu, Raja Yama menanyai orang itu, memeriksanya, dan berkata kepadanya sehubungan dengan utusan surgawi pertama: ‘Tidak pernahkah engkau melihat, sahabat, utusan surgawi pertama muncul di antara manusia?’
“Dan ia menjawab: ‘Tidak, Baginda, aku tidak melihatnya.’
“Kemudian Raja Yama berkata kepadanya: ‘Tetapi, sahabat, tidak pernahkah engkau melihat seorang perempuan atau laki-laki, berusia delapan puluh, sembilan puluh, atau seratus tahun; lemah, bungkuk bagaikan rusuk atap, bongkok, bersandar pada tongkat, gemetar, sakit, kemudaan dan kekuatan lenyap, dengan gigi tanggal, dengan rambut rontok atau botak, keriput, dengan anggota badan berbisul?’
“Dan orang itu menjawab: ‘Ya, Baginda, aku pernah melihatnya.’
“Kemudian Raja Yama berkata kepadanya: ‘Sahabat, tidak pernahkah terpikir olehmu, seorang dewasa dan cerdas, “Aku juga tunduk pada usia tua dan tidak dapat membebaskan diri darinya. Biarlah aku melakukan perbuatan mulia melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”?’
“‘Tidak, Baginda, aku tidak melakukannya. Aku lalai.’
“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian, Sahabat, engkau telah gagal melakukan perbuatan mulia melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Baiklah, engkau akan diperlakukan sesuai dengan kelalaianmu. Perbuatan jahatmu bukan dilakukan oleh ibu atau ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, teman-teman atau kerabat, juga bukan oleh sanak saudara, para deva, para petapa, atau para brahmana. Melainkan engkau sendiri yang telah melakukan perbuatan jahat itu, dan engkau akan mengalami buahnya.’
“Ketika, para bhikkhu, Raja Yama telah menanyai, memeriksa, dan berkata kepadanya demikian sehubungan dengan utusan surgawi pertama, kemudian ia menanyai, memeriksa, dan berkata kepada orang itu tentang yang ke dua, dengan berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat, Sahabat, utusan surgawi ke dua muncul di antara manusia?’
“Dan ia menjawab: ‘Tidak, Baginda, aku tidak melihatnya.’
“Kemudian Raja Yama berkata kepadanya: ‘Tetapi, sahabat, tidak pernahkah engkau melihat seorang perempuan atau laki-laki yang sedang sakit dan kesakitan, sakit parah, berbaring di atas kotorannya sendiri, harus diangkat oleh beberapa orang dan diletakkan di atas tempat tidur oleh orang lain?’
“‘Ya, Baginda, aku pernah melihatnya.’
“‘Sahabat, tidak pernahkah terpikir olehmu, seorang dewasa dan cerdas, “Aku juga tunduk pada penyakit dan tidak dapat membebaskan diri darinya. Biarlah aku melakukan perbuatan mulia melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”?’
“‘Tidak, Baginda, aku tidak melakukannya. Aku lalai.’
“‘Karena kelalaian, Sahabat, engkau telah gagal melakukan perbuatan mulia melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Baiklah, engkau akan diperlakukan sesuai dengan kelalaianmu. Perbuatan jahatmu bukan dilakukan oleh ibu atau ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, teman-teman atau kerabat, juga bukan oleh sanak saudara, para deva, para petapa, atau para brahmana. Melainkan engkau sendiri yang telah melakukan perbuatan jahat itu, dan engkau akan mengalami buahnya.’
“Ketika, para bhikkhu, Raja Yama telah menanyai, memeriksa, dan berkata kepadanya demikian sehubungan dengan utusan surgawi ke dua, kemudian ia menanyai, memeriksa, dan berkata kepada orang itu tentang yang ke tiga, dengan berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat, Sahabat, utusan surgawi ke tiga muncul di antara manusia?’
“Dan ia menjawab: ‘Tidak, Baginda, aku tidak melihatnya.’
“Kemudian Raja Yama berkata kepadanya: ‘Tetapi, sahabat, tidak pernahkah engkau melihat seorang perempuan atau laki-laki yang telah mati selama satu, dua, atau tiga hari, mayatnya membengkak, warnanya memudar, dan membusuk?’
“‘Ya, Baginda, aku pernah melihatnya.’
“‘Maka, Sahabat, tidak pernahkah terpikir olehmu, seorang dewasa dan cerdas, “Aku juga tunduk pada kematian dan tidak dapat membebaskan diri darinya. Biarlah aku melakukan perbuatan mulia melalui jasmani, ucapan, dan pikiran”?’
“‘Tidak, Baginda, aku tidak melakukannya. Aku lalai.’
“‘Karena kelalaian, Sahabat, engkau telah gagal melakukan perbuatan mulia melalui jasmani, ucapan, dan pikiran. Baiklah, engkau akan diperlakukan sesuai dengan kelalaianmu. Perbuatan jahatmu bukan dilakukan oleh ibu atau ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, teman-teman atau kerabat, juga bukan oleh sanak saudara, para deva, para petapa, atau para brahmana. Melainkan engkau sendiri yang telah melakukan perbuatan jahat itu, dan engkau akan mengalami buahnya.’
(dari AN 3:35; I 138-40)