//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: BUKAN TIPITAKA TEMATIK  (Read 28532 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VI)
« Reply #45 on: 10 December 2011, 09:05:15 PM »

(BENTUK)

18. (i) “Dan apakah, para bhikkhu, kepuasan sehubungan dengan bentuk? Misalkan terdapat seorang gadis dari kasta khattiya atau kasta brahmana atau perumah-tangga, berusia lima belas atau enam belas tahun, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, tidak terlalu kurus juga tidak terlalu gemuk, kulitnya tidak terlalu gelap juga tidak terlalu cerah. Apakah kecantikan dan kemenarikannya sedang berada pada puncaknya?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Kenikmatan dan kegembiraan yang bergantung pada kecantikan dan kemenarikan itu adalah kepuasan sehubungan dengan bentuk.

19. (ii) “Dan apakah, para bhikkhu, bahaya sehubungan dengan bentuk? Kemudian seseorang melihat perempuan yang sama di sini pada usia delapan puluh, Sembilan puluh, atau seratus tahun, tua, bungkuk seperti kerangka atap, terlipat, ditopang oleh tongkat, berjalan terhuyung-huyung, lemah, kemudaannya sirna, giginya tanggal, rambutnya memutih, rambutnya rontok, gundul, keriput, dengan seluruh tubuh berbisulan. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini adalah bahaya sehubungan dengan bentuk.

20. “Kemudian lagi, seseorang melihat perempuan yang sama ini sakit, menderita, dan sakit keras, berbaring dengan dikotori oleh kotoran dan air kencingnya sendiri, diangkat oleh beberapa orang dan dibaringkan oleh orang lain. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini juga adalah bahaya sehubungan dengan bentuk.

21. “Kemudian lagi, seseorang melihat perempuan yang sama ini sebagai mayat yang dibuang di pekuburan, satu, dua, tiga hari setelah kematian, membengkak, memucat, dan cairan menetes. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini juga adalah bahaya sehubungan dengan bentuk.

22-29. “Kemudian lagi, seseorang melihat perempuan yang sama ini sebagai mayat yang dibuang di pekuburan, dimangsa oleh burung gagak, burung elang, burung nasar, anjing, serigala, atau berbagai jenis belatung ... tulang-belulang dengan daging dan darah, terangkai oleh urat ... tulang-belulang tanpa daging berlumuran darah, terangkai oleh urat ... tulang-belulang tanpa daging dan darah, terangkai oleh urat … tulang-belulang yang tercerai-berai di segala penjuru – di sini tulang lengan, di sana tulang kaki, di sini tulang paha, di sana tulang rusuk, di sini tulang pinggul, di sana tulang punggung, di sini tengkorak ... tulang-belulang yang memutih, berwarna seperti kulit kerang ... tulang-belulang menumpuk … tulang-belulang yang lebih dari setahun. membusuk dan remuk menjadi debu. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah kecantikan dan kemenarikannya sebelumnya lenyap dan bahayanya menjadi nyata?” – “Benar, Yang Mulia.” – “Para bhikkhu, ini juga adalah bahaya sehubungan dengan bentuk.

30. (iii) “Dan apakah, para bhikkhu, jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk? Yaitu pelenyapan keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan bentuk. Ini adalah jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk.

31. “Bahwa para petapa dan brahmana yang tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk, dapat oleh mereka sendiri memahami sepenuhnya bentuk atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya bentuk – itu adalah tidak mungkin. Bahwa para petapa dan brahmana yang memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan bentuk, dapat oleh mereka sendiri memahami sepenuhnya bentuk atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya bentuk – itu adalah mungkin.

(PERASAAN)

32. (i) “Dan apakah, para bhikkhu, kepuasan sehubungan dengan perasaan? Di sini, para bhikkhu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Pada saat itu ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, atau penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya. Pada saat itu ia hanya merasakan perasaan yang bebas dari penderitaan. Kepuasan tertinggi sehubungan dengan perasaan adalah kebebasan dari penderitaan, Aku katakan.

33-35. “Kemudian lagi, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... dengan meluruhnya kegembiraan ... ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat ... Pada saat itu ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, atau penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya. Pada saat itu ia hanya merasakan perasaan yang bebas dari penderitaan. Kepuasan tertinggi sehubungan dengan perasaan adalah kebebasan dari penderitaan, Aku katakan.

36. (ii) “Dan apakah, para bhikkhu, bahaya sehubungan dengan perasaan? Perasaan adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan. Ini adalah bahaya sehubungan dengan perasaan.

37. (iii) “Dan apakah, para bhikkhu, jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan? Yaitu pelenyapan keinginan dan nafsu, ditinggalkannya keinginan dan nafsu akan perasaan. Ini adalah jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan.

38. “Bahwa para petapa dan brahmana yang tidak memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan, dapat oleh mereka sendiri memahami sepenuhnya perasaan atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya perasaan – itu adalah tidak mungkin. Bahwa para petapa dan brahmana yang memahami sebagaimana adanya kepuasan sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri sehubungan dengan perasaan, dapat oleh mereka sendiri memahami sepenuhnya perasaan atau mengajarkan kepada orang lain sehingga orang itu dapat memahami sepenuhnya perasaan – itu adalah mungkin.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

(MN 13: Mahādukkhakkhandha Sutta; I 84-90)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VI)
« Reply #46 on: 10 December 2011, 09:05:53 PM »
4. JEBAKAN-JEBAKAN DALAM KENIKMATAN INDRIA

(1) Memotong Segala Urusan

[Perumah-tangga Potaliya bertanya kepada Sang Bhagavā:] “Yang Mulia, bagaimanakah terpotongnya urusan-urusan  [3] dalam Disiplin Yang Mulia tercapai sepenuhnya dan dalam segala cara? Baik sekali, Yang Mulia, jika Bhagavā sudi mengajarkan Dhamma kepadaku, menunjukkan kepadaku bagaimana terpotongnya urusan-urusan dalam Disiplin Yang Mulia tercapai sepenuhnya dan dalam segala cara.”

“Maka dengarkanlah, perumah-tangga, dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Potaliya si perumah-tangga menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

15. “Perumah-tangga, misalkan seekor anjing, yang dikuasai oleh rasa lapar dan lemah, sedang menunggu di dekat sebuah toko daging. Kemudian seorang tukang daging terampil atau pelayannya akan melemparkan tulang-belulang tanpa daging yang berlumuran darah yang dipotong dengan baik dan bersih. Bagaimana menurutmu, perumah-tangga? Akankah anjing itu terpuaskan lapar dan lemahnya dengan menggerogoti tulang-belulang tanpa daging yang berlumuran darah yang dipotong dengan baik dan bersih itu?”

“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena itu adalah tulang-belulang tanpa daging yang berlumuran darah yang dipotong dengan baik dan bersih. Akhirnya anjing itu akan menemui keletihan dan kekecewaan.”

“Demikian pula, perumah-tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai tulang-belulang oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputus-asaan, sementara bahaya di dalamnya adalah lebih banyak lagi.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menghindari keseimbangan yang beragam, berdasarkan pada keberagaman, dan mengembangkan keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada keterpusatan,  [4] di mana kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.

16. “Perumah-tangga, misalkan seekor burung nasar, seekor burung bangau, seekor burung elang menyambar sepotong daging dan terbang, dan kemudian sekumpulan burung nasar, sekumpulan burung bangau dan sekumpulan burung elang lainnya mengejarnya dan mematuk dan mencakarnya. Bagaimana menurutmu, perumah-tangga? Jika burung nasar, burung bangau, atau burung elang itu tidak segera melepaskan sepotong daging itu, bukankah dengan cara itu ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan karena daging itu?”

“Benar, Yang Mulia.”

“Demikian pula, perumah-tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai sepotong daging oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputus-asaan, sementara bahaya di dalamnya adalah lebih banyak lagi.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar ... kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.

17. “Perumah-tangga, misalkan seseorang membawa obor rumput menyala dan pergi melawan arah angin. Bagaimana menurutmu, perumah-tangga? Jika orang itu tidak segera melepaskan obor rumput menyala itu, bukankah obor rumput menyala itu akan membakar tangannya atau lengannya atau bagian tubuh lainnya, sehingga ia dapat mengalami kematian atau penderitaan mematikan karena obor rumput menyala itu?”

“Benar, Yang Mulia.”

“Demikian pula, perumah-tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai obor rumput oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputus-asaan, sementara bahaya di dalamnya adalah lebih banyak lagi.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar ... kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.

18. “Perumah-tangga, misalkan terdapat sebuah lubang bara api sedalam tinggi seorang manusia penuh dengan bara api tanpa api atau asap. Kemudian seseorang datang menginginkan kehidupan tidak menginginkan kematian, yang menginginkan kenikmatan dan menghindari kesakitan, dan dua orang kuat menangkapnya pada kedua lengannya dan menariknya ke arah lubang bara api tersebut. Bagaimana menurutmu, perumah-tangga? Apakah orang itu akan menggeliatkan tubuhnya ke sana dan kemari?”

“Benar, Yang Mulia. Mengapakah? Karena orang itu mengetahui bahwa jika ia jatuh ke dalam lubang bara api itu, maka ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan karenanya.”

“Demikian pula, perumah-tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai lubang bara api oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputus-asaan, sementara bahaya di dalamnya sangat besar.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar ... kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.

19. “Perumah-tangga, misalkan seseorang bermimpi tentang taman-taman yang indah, hutan-hutan yang indah, padang rumput yang indah, dan danau yang indah, dan ketika terbangun ia tidak melihat apa-apa. Demikian pula, perumah-tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai mimpi oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputus-asaan, sementara bahaya di dalamnya adalah lebih banyak lagi.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar ... kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.

20. “Perumah-tangga, misalkan seseorang meminjam barang-barang – sebuah kereta indah dan anting-anting permata yang bagus – dan dengan barang-barang pinjaman itu ia pergi ke pasar. Kemudian orang-orang, ketika melihatnya, akan berkata: ‘Tuan-tuan, itu ada orang kaya! Itu adalah bagaimana orang kaya menikmati kekayaannya!’ kemudian pemilik barang-barang itu, ketika melihatnya, akan mengambil kembali barang-barang itu. Bagaimana menurutmu, perumah-tangga? Cukupkah hal itu untuk membuat orang itu bersedih?”

“Benar, Yang Mulia. Mengapakah? Karena pemilik barang-barang itu mengambil kembali barang-barang miliknya.”

“Demikian pula, perumah-tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai barang-barang pinjaman oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputus-asaan, sementara bahaya di dalamnya adalah lebih banyak lagi.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar ... kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.

21. “Perumah-tangga, misalkan terdapat sebuah hutan lebat tidak jauh dari sebuah desa atau pemukiman, di dalamnya terdapat sebatang pohon yang penuh buah-buahan tetapi tidak ada buah yang jatuh ke tanah. Kemudian seseorang datang memerlukan buah, mencari buah, mengembara mencari buah, dan ia memasuki hutan dan melihat pohon itu yang penuh buah-buahan. Kemudian ia berpikir: ‘Pohon ini penuh dengan buah tetapi tidak ada buah yang jatuh ke tanah. Aku tahu cara memanjat pohon, aku akan memanjat pohon ini, memakan buah sebanyak yang kuinginkan, dan memenuhi tasku.’ Dan ia melakukan hal itu. Kemudian seorang lainnya datang memerlukan buah, mencari buah, mengembara mencari buah, dan dengan membawa kapak tajam ia memasuki hutan dan melihat pohon itu yang penuh buah-buahan. Kemudian ia berpikir: ‘Pohon ini penuh dengan buah tetapi tidak ada buah yang jatuh ke tanah. Aku tidak tahu cara memanjat pohon, aku akan menebang pohon ini di akarnya, memakan buah sebanyak yang kuinginkan, dan memenuhi tasku.’ Dan ia melakukan hal itu. Bagaimana menurutmu, perumah-tangga, jika orang pertama yang telah memanjat pohon itu tidak segera turun ketika pohon itu tumbang, apakah tangan atau kaki atau bagian tubuh lainnya akan patah, sehingga ia dapat mengalami kematian atau penderitaan mematikan karena hal itu?”

“Benar, Yang Mulia.”

“Demikian pula, perumah-tangga, seorang siswa mulia merenungkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria telah diumpamakan sebagai buah-buahan di atas pohon oleh Sang Bhagavā; kenikmatan indria memberikan banyak penderitaan dan banyak keputus-asaan, sementara bahaya di dalamnya adalah lebih banyak lagi.’ Setelah melihatnya sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar, ia menghindari keseimbangan yang membeda-bedakan, berdasarkan pada keberagaman, dan mengembangkan keseimbangan yang terpusat, berdasarkan pada keterpusatan, di mana kemelekatan pada benda-benda materi duniawi lenyap sepenuhnya tanpa sisa.”

(dari MN 54: Potaliya Sutta; I 364-66)

(2) Demam Kenikmatan Indria

10. “Māgandiya, sebelumnya ketika Aku menjalani kehidupan rumah tangga, Aku menikmati, memiliki lima utas kenikmatan indria: dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu.  [5] Aku memiliki tiga istana, satu untuk musim hujan, satu untuk musim dingin, dan satu untuk musim panas. Aku menetap di istana musim hujan selama empat bulan musim hujan, menikmati para musisi, tidak ada yang laki-laki, dan Aku tidak turun ke istana yang lebih rendah.  [6]

“Belakangan, setelah memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, Aku meninggalkan nafsu pada kenikmatan indria, Aku melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, dan Aku berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Aku melihat makhluk-makhluk lain yang belum terbebas dari nafsu pada kenikmatan indria dilahap oleh nafsu pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, menuruti kenikmatan indria, dan Aku tidak iri pada mereka, juga tidak bergembira di dalamnya. Mengapakah? Karena ada, Māgandiya, kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, yang bahkan melampaui kebahagiaan surgawi.  [7] Karena Aku tidak bergembira di dalam hal itu, maka Aku tidak iri pada apa yang rendah, juga tidak bergembira di dalamnya.

11. “Misalkan, Māgandiya, seorang perumah-tangga atau putera perumah-tangga kaya, berlimpah, dengan banyak harta kekayaan, dan memiliki lima utas kenikmatan indria, ia menikmati bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Setelah berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia mungkin muncul kembali di alam bahagia, di alam surga di antara para pengikut para dewa Tiga Puluh Tiga; dan di sana, dengan dikelilingi oleh sekelompok bidadari di Hutan Nandana,  [8] ia menikmati memiliki lima utas kenikmatan indria surgawi. Misalkan ia melihat seorang perumah-tangga atau putera perumah-tangga menikmati memiliki lima utas kenikmatan indria [manusiawi]. Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah dewa muda itu yang dikelilingi oleh sekelompok bidadari di Hutan Nandana, yang menikmati memiliki lima utas kenikmatan indria surgawi, iri pada perumah-tangga atau putera perumah-tangga atas lima utas kenikmatan indria manusia atau apakah ia akan tertarik pada kenikmatan indria manusia?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapakah? Karena kenikmatan indria surgawi adalah lebih unggul dan lebih luhur daripada kenikmatan indria manusiawi.”

12. “Demikian pula, Māgandiya, sebelumnya ketika Aku menjalani kehidupan rumah tangga, Aku menikmati, memiliki lima utas kenikmatan indria: dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... obyek-obyek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Belakangan, setelah memahami sebagaimana adanya kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kenikmatan indria, Aku meninggalkan nafsu pada kenikmatan indria, Aku melenyapkan demam terhadap kenikmatan indria, dan Aku berdiam tanpa kehausan, dengan batin yang damai. Aku melihat makhluk-makhluk lain yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria dilahap oleh nafsu pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, menuruti kenikmatan indria, dan Aku tidak iri pada mereka, juga tidak bergembira di dalamnya. Mengapakah? Karena ada, Māgandiya, kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, yang bahkan melampaui kebahagiaan surgawi. Karena Aku tidak bergembira di dalam hal itu, maka Aku tidak iri pada apa yang rendah, juga tidak bergembira di dalamnya.

13. “Misalkan, Māgandiya, ada seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang bara api menyala. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib kepadanya. Tabib itu akan meracik obat untuknya, dan dengan obat itu orang itu menjadi sembuh dari penyakitnya dan menjadi pulih dan bahagia, tidak bergantung, menjadi majikan bagi dirinya sendiri, mampu bepergian ke manapun yang ia sukai. Kemudian ia mungkin melihat penderita penyakit kusta lainnya dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang bara api menyala. Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah orang itu iri pada penderita kusta itu karena lubang bara api menyala atau pengobatannya?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapakah? Karena ketika ada penyakit, maka ada kebutuhan akan obat-obatan, dan ketika tidak ada penyakit, maka tidak ada kebutuhan akan obat-obatan.”

14. “Demikian pula, Māgandiya, sebelumnya ketika Aku menjalani kehidupan rumah tangga … (seperti pada §12) … Karena Aku tidak bergembira di dalam hal itu, maka Aku tidak iri pada apa yang rendah, juga tidak bergembira di dalamnya.

15. “Misalkan, Māgandiya, ada seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang bara api menyala. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan membawa seorang tabib kepadanya. Tabib itu akan membuatkan obat untuknya, dan dengan obat itu orang itu menjadi sembuh dari penyakitnya dan menjadi pulih dan bahagia, tidak bergantung, menjadi majikan bagi dirinya sendiri, mampu bepergian ke manapun yang ia sukai. Kemudian dua orang kuat menangkapnya pada kedua lengannya dan menariknya ke arah lubang bara api menyala. Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah orang itu akan menggeliatkan badannya ke sana dan ke sini?”

“Benar, Guru Gotama. Mengapakah? Karena api itu sungguh menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar.”

“Bagaimana menurutmu, Māgandiya? Apakah hanya pada saat ini api itu menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar, atau sebelumnya juga api itu menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar?”

“Guru Gotama, api itu pada saat ini menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar, dan sebelumnya juga api itu menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar. Karena ketika orang itu adalah seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, maka indria-indrianya terganggu; demikianlah, walaupun api itu sesungguhnya menyakitkan ketika disentuh, namun ia memperoleh persepsi salah sebagai menyenangkan.”

16. “Demikian pula, di masa lalu kenikmatan indria adalah menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar; di masa depan kenikmatan indria akan menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar; dan sekarang pada masa kini kenikmatan indria adalah menyakitkan jika disentuh, panas, dan membakar. Tetapi makhluk-makhluk ini yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh keinginan pada kenikmatan indria, terbakar oleh demam terhadap kenikmatan indria, memiliki indria-indria yang telah rusak; demikianlah, walaupun kenikmatan indria sesungguhnya menyakitkan jika disentuh, namun mereka memperoleh persepsi keliru menganggapnya sebagai menyenangkan.  [9]

17. “Misalkan, Māgandiya, ada seorang penderita penyakit kusta dengan luka dan bagian-bagian tubuh melepuh, karena digigit oleh ulat, menggaruk bagian kulit yang terluka dengan kukunya, membersihkan dirinya di atas lubang bara api menyala; semakin ia menggaruk bagian kulitnya yang melepuh dan semakin ia membersihkan dirinya di atas lubang bara api menyala, maka luka-lukanya itu akan menjadi semakin membusuk, semakin bau, dan semakin terinfeksi, namun ia memperoleh suatu kepuasan dan kenikmatan dalam menggaruk luka-lukanya itu. Demikian pula, Māgandiya, makhluk-makhluk yang belum terbebas dari nafsu akan kenikmatan indria, yang dilahap oleh nafsu akan kenikmatan indria, yang terbakar oleh demam akan kenikmatan indria, masih menuruti kenikmatan indria; semakin makhluk-makhluk itu menuruti kenikmatan indria, maka semakin meningkat pula keinginan mereka akan kenikmatan indria dan semakin mereka terbakar oleh demam mereka terhadap kenikmatan indria, namun mereka memperoleh kepuasan dan kenikmatan dengan bergantung pada lima utas kenikmatan indria.”

(dari MN 75: Māgandiya Sutta; I 504-8)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VI)
« Reply #47 on: 10 December 2011, 09:09:11 PM »
5. HIDUP ADALAH SINGKAT DAN BERLALU DENGAN CEPAT

“Dulu, O para bhikkhu, hiduplah seorang guru religius bernama Araka, yang bebas dari nafsu indria. Ia memiliki ratusan murid, dan doktrin yang ia ajarkan kepada mereka adalah sebagai berikut:

“‘Sungguh singkat kehidupan manusia, O brahmana, terbatas dan pendek; penuh penderitaan, penuh kesengsaraan. Seseorang harus dengan bijaksana memahami hal ini. Ia harus melakukan perbuatan baik dan menjalani kehidupan murni; karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dapat menghindari kematian.

“‘Seperti halnya setetes embun pada sehelai rumput akan dengan cepat lenyap pada saat matahari terbit dan tidak akan bertahan lama; demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia adalah bagaikan setetes embun. Pendek, terbatas, dan singkat; kehidupan manusia adalah penuh penderitaan, penuh kesengsaraan. Seseorang harus dengan bijaksana memahami hal ini. Ia harus melakukan perbuatan baik dan menjalani kehidupan murni; karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dapat menghindari kematian.

“‘Seperti halnya, ketika hujan turun dari langit dalam tetesan-tetesan besar, gelembung yang muncul di atas permukaan air akan segera lenyap dan tidak bertahan lama; demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia adalah bagaikan gelembung air. Pendek … karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dapat menghindari kematian.

“‘Seperti halnya garis yang digambarkan di atas permukaan air dengan sebatang tongkat kayu akan segera lenyap dan tidak bertahan lama; demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia adalah bagaikan garis yang digambarkan di atas permukaan air. Pendek … karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dapat menghindari kematian.

“‘Seperti halnya sungai di gunung, mengalir dari jauh, mengalir dengan cepat, membawa banyak benda-benda yang hanyut, tidak akan berhenti diam selama sesaat, sejenak, sedetik, namun akan terus bergerak, berpusar dan mengalir maju; demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia adalah bagaikan sungai di gunung. Pendek … karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dapat menghindari kematian.

“‘Seperti halnya sepotong daging yang dilemparkan ke atas sebuah lempengan besi yang dipanaskan sepanjang hari akan segera terbakar dan tidak bertahan lama; demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia adalah bagaikan sepotong daging ini. Pendek … karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dapat menghindari kematian.

“‘Seperti halnya seekor sapi yang akan disembelih dan dituntun ke rumah jagal, ketika ia mengangkat kakinya maka ia lebih dekat menuju pembantaian, lebih dekat pada kematian; demikian pula, para brahmana, kehidupan manusia ini adalah seperti sapi-sapi yang akan disembelih; Pendek, terbatas, dan singkat; kehidupan manusia adalah penuh penderitaan, penuh kesengsaraan. Seseorang harus dengan bijaksana memahami hal ini. Ia harus melakukan perbuatan baik dan menjalani kehidupan murni; karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dapat menghindari kematian.’

“Tetapi pada waktu itu, O para bhikkhu, umur kehidupan manusia adalah 60,000 tahun, dan pada umur 500 tahun para gadis telah siap untuk berumah tangga. Pada masa itu orang-orang hanya memiliki enam kesusahan: dingin, panas, lapar, haus, buang air besar, dan buang air kecil. Walaupun orang-orang hidup sedemikian lama dan memiliki begitu sedikit kesusahan, Guru Araka itu mengajarkan kepada para muridnya suatu ajaran: ‘Sungguh singkat kehidupan manusia …’

“Tetapi pada masa sekarang, O para bhikkhu, seseorang dapat berkata dengan benar, ’Sungguh singkat kehidupan manusia …’; karena pada masa sekarang ini seseorang yang berumur panjang hidup selama seratus tahun atau sedikit lebih lama. Dan ketika hidup selama seratus tahun, itu hanyalah selama tiga ratus musim: seratus musim dingin, seratus musim panas, dan seratus musim hujan. Ketika hidup selama tiga ratus musim, itu hanyalah seribu dua ratus bulan: empat ratus bulan musim dingin, empat ratus bulan musim panas, dan empat ratus bulan musim hujan. Ketika hidup selama seribu dua ratus bulan, itu hanyalah dua ribu empat ratus dwiminggu: delapan ratus dwiminggu musim dingin, delapan ratus dwiminggu musim panas, delapan ratus dwiminggu musim hujan.

“Dan ketika hidup selama dua ribu empat ratus dwiminggu, itu hanyalah 36.000 hari: 12.000 hari di musim dingin, 12.000 dimusim panas, dan 12.000 di musim hujan. Dan ketika hidup selama 36.000 hari, ia makan hanya 72.000 kali: 24.000 kali makan di musim dingin, 24.000 kali di musim panas, dan 24.000 kali di musim hujan. Dan ini termasuk meminum susu ibu dan saat-saat tanpa makanan. Berikut ini adalah saat-saat tanpa makanan: ketika gelisah atau sedih atau sakit, ketika menjalankan puasa, atau ketika tidak memperoleh apapun untuk dimakan.

“Demikianlah, O para bhikkhu, Aku telah menghitung kehidupan dari seorang yang berumur seratus tahun: batas umur kehidupannya, jumlah musim, tahun, bulan, dan dwimingguan, hari dan malam, frekuensi makannya dan saat-saat tanpa makanan.

“Apapun yang harus dilakukan oleh seorang guru yang berbelas-kasih yang, demi belas-kasihnya, mengusahakan kesejahteraan para siswaNya, telah Aku lakukan untuk kalian. Ada bawah pohon ini, O para bhikkhu, ada gubuk-gubuk kosong ini. Bermeditasilah, para bhikkhu, jangan lalai, atau kalian akan menyesalinya kelak. Ini adalah instruksi kami kepada kalian.”

(AN 7:70; IV 136-39)


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VI)
« Reply #48 on: 10 December 2011, 09:09:32 PM »
6. EMPAT RINGKASAN DHAMMA

26. Setelah Yang Mulia Raṭṭhapāla pergi ke Taman Migācira Raja Koravya dan duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.

27. Kemudian Raja Koravya berkata kepada penjaga taman sebagai berikut: “Penjaga taman, bersihkan Taman Migācira agar kami dapat pergi ke taman rekreasi untuk melihat tempat yang menyenangkan.” – “Baik, Baginda,” ia menjawab. Ketika ia sedang membersihkan Taman Migācira, si penjaga taman melihat Yang Mulia Raṭṭhapāla duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari. Ketika ia melihatnya, ia mendatangi Raja Koravya dan memberitahunya: “Baginda, Kebun Migācira telah dibersihkan. Raṭṭhapāla ada di sana, putera seorang kepala suku terkemuka di Thullakoṭṭhita ini, yang sering engkau puji, ia duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.”

“Kalau begitu, penjaga taman, cukuplah dengan taman rekreasi untuk hari ini. Sekarang kami akan pergi memberi penghormatan kepada Guru Raṭṭhapāla itu.”

28. Kemudian, dengan berkata: “Bagikanlah semua makanan yang telah dipersiapkan di sana,” Raja Koravya mempersiapkan sejumlah kereta, dan mengendarai salah satunya, dengan disertai oleh banyak kereta, ia pergi keluar dari Thullakoṭṭhita dengan kemegahan penuh seorang raja untuk menemui Yang Mulia Raṭṭhapāla. Ia berkendara sejauh jalan yang dapat dilalui oleh kereta, dan kemudian ia turun dari kereta dan melanjutkan dengan berjalan kaki bersama dengan para menterinya menuju tempat di mana Yang Mulia Raṭṭhapāla berada. Ia saling bertukar sapa dengan Yang Mulia Raṭṭhapāla, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, ia berdiri di satu sisi dan berkata: “Ini adalah permadani kulit gajah. Silahkan Guru Raṭṭhapāla duduk di sini.”

“Tidak perlu, Baginda. Duduklah, aku sudah duduk di alas dudukku sendiri.”

Raja Koravya duduk di tempat yang telah dipersiapkan dan berkata:

29. “Guru Raṭṭhapāla, ada empat jenis kehilangan. Karena mereka mengalami empat jenis kehilangan ini, beberapa orang mencukur rambut dan janggut mereka, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Apakah empat ini? Yaitu kehilangan karena penuaan, kehilangan karena penyakit, kehilangan kekayaan, dan kehilangan sanak saudara.

30. “Dan apakah kehilangan karena penuaan? Di sini, Guru Raṭṭhapāla, seseorang menjadi tua, jompo, terbebani tahun demi tahun, lanjut dalam usia, sampai pada tahap terakhir kehidupan. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku sudah tua, jompo, terbebani tahun demi tahun, lanjut dalam usia, sampai pada tahap terakhir kehidupan. Tidaklah mudah bagiku untuk memperoleh kekayaan yang belum diperoleh atau untuk menambah kekayaan yang telah diperoleh. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Karena ia mengalami kehilangan karena penuaan itu, ia mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ini disebut kehilangan karena penuaan. Tetapi Guru Raṭṭhapāla saat ini masih muda, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam tahap utama kehidupan. Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami kehilangan apapun karena penuaan. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?

31. “Dan apakah kehilangan karena penyakit? Di sini, Guru Raṭṭhapāla, seseorang menjadi sakit, menderita, dan sakit parah. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku sakit, menderita, dan sakit parah. Tidaklah mudah bagiku untuk memperoleh kekayaan yang belum diperoleh … menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Karena ia mengalami kehilangan karena penyakit itu … ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ini disebut kehilangan karena penyakit. Tetapi Guru Raṭṭhapāla saat ini bebas dari penyakit dan kesakitan; ia memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan sedang. Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami kehilangan apapun karena penyakit. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?

32. “Dan apakah kehilangan kekayaan? Di sini, Guru Raṭṭhapāla, seseorang yang kaya, memiliki banyak harta, memiliki banyak kepemilikan. Perlahan-lahan kekayaannya menyusut. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Sebelumnya aku kaya, memiliki banyak harta, memiliki banyak kepemilikan. Perlahan-lahan kekayaanku menyusut. Tidaklah mudah bagiku untuk memperoleh kekayaan yang belum diperoleh … menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Karena ia telah mengalami kehilangan kekayaan … ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ini disebut kehilangan kekayaan. Tetapi Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami kehilangan kekayaan. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?

33. “Dan apakah kehilangan sanak saudara? Di sini, Guru Raṭṭhapāla, seseorang memiliki banyak teman dan sahabat, sanak saudara dan kerabat. Perlahan-lahan sanak saudaranya itu menyusut. Ia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Sebelumnya aku memiliki banyak teman dan sahabat, sanak saudara dan kerabat. Perlahan-lahan sanak saudaraku itu menyusut. Tidaklah mudah bagiku untuk memperoleh kekayaan yang belum diperoleh … menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Karena ia telah mengalami kehilangan sanak saudara … ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Ini disebut kehilangan sanak saudara. Tetapi Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami kehilangan sanak saudara manapun. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?

34. “Guru Raṭṭhapāla, ini adalah empat jenis kehilangan itu. Karena mereka mengalami empat jenis kehilangan ini, beberapa orang mencukur rambut dan janggut mereka, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Guru Raṭṭhapāla tidak mengalami salah satu dari empat ini. Apakah yang telah ia ketahui atau ia lihat atau ia dengar sehingga ia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah?”

35. “Baginda, ada empat ringkasan Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Setelah mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Apakah empat ini?

36. (1) “‘[Kehidupan di] alam manapun juga adalah tidak stabil, terhanyutkan’: ini adalah ringkasan pertama dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Setelah mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.

(2) “‘[Kehidupan di] alam manapun juga adalah tanpa naungan dan tanpa pelindung’: ini adalah ringkasan ke dua dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat …

(3) “‘[Kehidupan di] alam manapun juga adalah tidak memiliki apa-apa, seseorang harus meninggalkan segalanya dan melanjutkan’: ini adalah ringkasan ke tiga dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat …

(4) “‘[Kehidupan di] alam manapun juga adalah tidak lengkap, tidak pernah terpuaskan, budak keinginan’: ini adalah ringkasan ke empat dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat …

37. “Baginda, ini adalah ringkasan Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna. Setelah mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

38. “Guru Raṭṭhapāla berkata: ‘[Kehidupan di] alam manapun juga adalah tidak stabil, terhanyutkan.’ Bagaimanakah makna dari pernyataan ini dipahami?”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Ketika engkau berusia dua puluh atau dua puluh lima tahun, apakah engkau adalah seorang penunggang gajah yang mahir, seorang penunggang kuda yang mahir? Seorang kusir kereta yang mahir? Seorang pemanah mahir, seorang pemain pedang yang mahir, dengan tangan dan kaki yang kuat, kekar, dan mampu bertempur?”

“Ketika aku berusia dua puluh atau dua puluh lima tahun, Guru Raṭṭhapāla aku adalah seorang penunggang gajah yang mahir …dengan tangan dan kaki yang kuat, kekar, dan mampu bertempur. Bahkan kadang-kadang aku berpikir bahwa aku memiliki kekuatan super. Aku tidak melihat seorangpun yang dapat menyamaiku dalam hal kekuatan.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah engkau sekarang memiliki tangan dan kaki yang sama kuatnya, sama kekarnya dan sama mampunya untuk bertempur?”

“Tidak, Guru Raṭṭhapāla. Sekarang aku sudah tua, jompo, terbebani tahun demi tahun, lanjut dalam usia, sampai pada tahap terakhir kehidupan; umurku sudah delapan puluh tahun. Kadang-kadang aku bermaksud meletakkan kakiku di sini namun aku meletakkannya di tempat lain.”

“Baginda, adalah karena hal ini maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, berkata: ‘[Kehidupan di] alam manapun juga adalah tidak stabil, terhanyutkan’; dan ketika aku mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Sungguh mengagumkan, Guru Raṭṭhapāla, sungguh menakjubkan, betapa benarnya hal itu diungkapkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna: ‘[Kehidupan di] alam manapun juga adalah tidak stabil, terhanyutkan.’ Sungguh memang demikianlah adanya!

39. “Guru Ratthapāla, ada di kerajaan ini pasukan gajah dan pasukan berkuda, pasukan kereta dan pasukan pejalan-kaki, yang akan mengatasi segala ancaman pada kita. Sekarang Guru Ratthapāla berkata: ‘[Kehidupan di] alam manapun juga adalah tanpa naungan dan tanpa pelindung.’ Bagaimanakah makna dari pernyataan ini dipahami?”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah engkau memiliki penyakit kronis?”

“Aku memiliki penyakit masuk angin kronis, Guru Raṭṭhapāla. Kadang-kadang teman-teman dan sahabatku, sanak saudara dan kerabatku, berdiri di sekelilingku, berpikir: ‘Sekarang Raja Koravya akan mati, sekarang Raja Koravya akan mati!’”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Dapatkah engkau memerintahkan teman-teman dan sahabatmu, sanak saudara dan kerabatmu: ‘Marilah, teman-teman dan sahabatku, sanak saudara dan kerabatku, semua kalian yang hadir di sini ambillah sebagian perasaan sakit ini agar perasaan sakit ini menjadi berkurang’? Atau apakah engkau harus merasakan sakit itu sendiri?”

“Aku tidak dapat memerintahkan teman-teman dan sahabatku, sanak saudara dan kerabatku demikian, Guru Raṭṭhapāla. Aku harus merasakan sakit itu sendiri.”

“Baginda, adalah karena hal ini maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, berkata: ‘[Kehidupan di] alam manapun juga adalah tanpa naungan dan tanpa pelindung.’; dan ketika aku mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Sungguh mengagumkan, Guru Raṭṭhapāla, sungguh menakjubkan, betapa benarnya hal itu diungkapkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna: ‘[Kehidupan di] alam manapun juga adalah tanpa naungan dan tanpa pelindung.’ Sungguh memang demikianlah adanya!

40. “Guru Raṭṭhapāla, ada di kerajaan ini uang-uang emas dan perak yang berlimpah yang tersimpan dalam gudang-gudang harta dan lumbung-lumbung. Sekarang Guru Raṭṭhapāla berkata: ‘[Kehidupan di] alam manapun juga adalah tidak memiliki apa-apa, seseorang harus meninggalkan segalanya dan melanjutkan.’ Bagaimanakah makna dari pernyataan ini dipahami?”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Engkau sekarang menikmati dan memiliki lima utas kenikmatan indria, tetapi apakah engkau dapat memilikinya dalam kehidupan mendatang: ‘Semoga aku dapat menikmati dan memiliki kelima utas kenikmatan indria yang sama ini’? Atau apakah orang lain akan mengambil-alih harta ini, sementara engkau harus berlanjut sesuai dengan perbuatanmu?”

“Aku tidak dapat memastikan apa yang akan terjadi dalam kehidupan mendatang, Guru Raṭṭhapāla. Sebaliknya, orang lain akan mengambil-alih harta ini sementara aku harus berlanjut sesuai dengan perbuatanku.”

“Baginda, adalah karena hal ini maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, berkata: ‘[Kehidupan di] alam manapun juga adalah tidak memiliki apa-apa, seseorang harus meninggalkan segalanya dan melanjutkan’; dan ketika aku mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Sungguh mengagumkan, Guru Raṭṭhapāla, sungguh menakjubkan, betapa benarnya hal itu diungkapkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna: ‘[Kehidupan di] alam manapun juga adalah tidak memiliki apa-apa, seseorang harus meninggalkan segalanya dan melanjutkan.’ Sungguh memang demikianlah adanya!

41. “Sekarang Guru Raṭṭhapāla berkata: ‘[Kehidupan di] alam manapun juga adalah tidak lengkap, tidak pernah terpuaskan, budak keinginan.’ Bagaimanakah makna dari pernyataan ini dipahami?”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Apakah engkau menguasai negeri Kuru yang kaya ini?”

“Benar, Guru Raṭṭhapāla.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang yang terpercaya dan dapat diandalkan mendatangimu dari timur dan berkata: ‘Untuk engkau ketahui, Baginda, bahwa aku datang dari timur, dan di sana aku melihat suatu negeri yang luas, kuat dan kaya, berpenduduk padat dan ramai oleh orang-orang. Terdapat banyak pasukan gajah di sana, banyak pasukan berkuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan-kaki; ada banyak gading di sana, dan banyak uang-uang emas dan perak, baik yang telah diolah maupun belum diolah, dan banyak perempuan untuk dijadikan istri. Dengan kekuatanmu yang sekarang engkau dapat menaklukkannya. Taklukkanlah, Baginda.’ Apakah yang akan engkau lakukan?”

“Kami akan menaklukkannya dan menguasainya, Guru Raṭṭhapāla.”

“Bagaimana menurutmu, Baginda? Misalkan seorang yang terpercaya dan dapat diandalkan mendatangimu dari barat … dari utara … dari selatan … dari seberang samudera dan berkata: ‘Untuk engkau ketahui, Baginda, bahwa aku datang dari seberang samudera, dan di sana aku melihat suatu negeri yang luas, kuat dan kaya … Taklukkanlah, Baginda.’ Apakah yang akan engkau lakukan?”

“Kami akan menaklukkannya dan menguasainya, Guru Raṭṭhapāla.”

“Baginda, adalah karena hal ini maka Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, berkata: ‘[Kehidupan di] alam manapun juga adalah tidak lengkap, tidak pernah terpuaskan, budak keinginan.’; dan ketika aku mengetahui dan melihat dan mendengarnya, aku meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.”

“Sungguh mengagumkan, Guru Raṭṭhapāla, sungguh menakjubkan, betapa benarnya hal itu diungkapkan oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna: ’[Kehidupan di] alam manapun juga adalah tidak lengkap, tidak pernah terpuaskan, budak keinginan.’ Sungguh memang demikianlah adanya.”

(dari MN 82: Raṭṭhapāla Sutta; II 65-82)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VI)
« Reply #49 on: 10 December 2011, 09:10:39 PM »
7. BAHAYA DALAM PANDANGAN-PANDANGAN

(1) Bunga-rampai tentang Pandangan Salah

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang dengannya kualitas-kualitas batin tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas batin tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi meningkat dan meluas, seperti halnya pandangan salah.  [10] Pada seseorang yang berpandangan salah, kualitas-kualitas batin tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas batin tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi meningkat dan meluas.

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang dengannya kualitas-kualitas batin bermanfaat yang belum muncul menjadi tidak muncul dan kualitas-kualitas batin bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang, seperti halnya pandangan salah. Pada seseorang yang berpandangan salah, kualitas-kualitas batin bermanfaat yang belum muncul menjadi tidak muncul dan kualitas-kualitas batin  bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang dengannya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, di alam yang buruk, di alam rendah, di neraka, seperti halnya pandangan salah. Karena memiliki pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, makhluk-makhluk terlahir kembali di alam sengsara, di alam yang buruk, di alam rendah, di neraka.

“Para bhikkhu, bagi seseorang yang berpandangan salah, perbuatan apapun melalui jasmani, ucapan dan pikiran yang ia lakukan sesuai dengan pandangan itu, dan kehendak, cita-cita, harapan, dan bentukan-bentukan kehendak apapun yang ia munculkan sesuai dengan pandangan itu, semuanya mengarah menuju apa yang tidak menyenangkan, tidak diinginkan, dan tidak disukai, menuju bahaya dan penderitaan. Karena alasan apakah? Karena pandangannya buruk. Seperti halnya, ketika sebutir benih mimba, pare, atau labu pahit ditanam di dalam tanah yang lembab, tanaman ini akan mengubah nutrisi apapun yang diperoleh dari tanah dan air menjadi buah yang memiliki rasa pahit, getir, dan tidak menyenangkan, demikian pula bagi seseorang yang berpandangan salah. Karena alasan apakah? Karena pandangannya buruk.”

(AN 1: xvii, 1, 3, 7, 9; I 30-32)

(2) Orang-orang Buta dan Gajah

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Pada saat itu sejumlah petapa dan brahmana, para pengembara sekte lain, sedang menetap di sekitar Sāvatthī. Mereka menganut berbagai pandangan, kepercayaan, opini, dan menyebarkan berbagai pandangan. Dan mereka bertengkar, berselisih, bercekcok, saling melukai satu sama lain dengan anak panah ucapan, dengan mengatakan, “Dhamma adalah seperti ini, Dhamma tidak seperti itu! Dhamma tidak seperti ini, Dhamma adalah seperti itu!”

Kemudian sejumlah bhikkhu memasuki Sāvatthī untuk mengumpulkan dana makanan. Setelah kembali, setelah makan mereka menghadap Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan memberitahu Beliau tentang apa yang telah mereka lihat. [Sang Bhagavā berkata:]

“Para bhikkhu, para pengembara sekte lain buta dan tidak berpenglihatan. Mereka tidak mengetahui apa yang bermanfaat dan yang berbahaya. Mereka tidak mengetahui apa yang merupakan Dhamma dan apa yang bukan Dhamma, dan dengan demikian mereka bertengkar dan berselisih.

“Dulu, para bhikkhu, ada seorang raja di Sāvatthī yang memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan semua orang di kota yang buta sejak lahir. Ketika orang itu telah melakukan perintah itu, raja memerintahkan orang itu untuk menunjukkan seekor gajah kepada orang-orang buta itu. Beberapa orang buta itu diarahkan untuk memegang kepala gajah, beberapa memegang telinga, yang lain memegang gading, belalai, badan, kaki, badan bagian belakang, ekor, atau rambut di ujung ekor. Dan kepada masing-masing dari mereka ia berkata, ‘Ini adalah seekor gajah.’

“Ketika ia melaporkan kepada raja tentang apa yang telah ia lakukan, raja mendatangi orang-orang buta itu dan berkata, ‘Katakan padaku, orang-orang buta, seperti apakah gajah itu?’

“Mereka yang ditunjukkan kepala gajah menjawab, ‘Seekor gajah, Baginda, adalah seperti kendi air.’ Mereka yang ditunjukkan bagian telinga menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti penampi.’ Mereka yang ditunjukkan gadingnya menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti mata bajak.’ Mereka yang ditunjukkan belalainya menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti galah pembajak.’ Mereka yang ditunjukkan bagian badan menjawab, ‘Seekor gajah adalah seperti sebuah gudang.’ Dan masing-masing lainnya juga menggambarkan gajah menurut bagian yang ditunjukkan pada mereka.

“Kemudian, dengan mengatakan, ‘Seekor gajah adalah seperti ini, seekor gajah bukan seperti itu! Seekor gajah bukan seperti ini, seekor gajah adalah seperti itu!’ mereka saling berkelahi dengan tinju mereka. Dan raja merasa gembira. Demikian pula, para bhikkhu, para pengembara sekte lain buta dan tidak berpenglihatan, dan dengan demikian mereka menjadi bertengkar, berselisih, bercekcok, saling melukai satu sama lain dengan anak panah ucapan.”

(Ud 6:4; 67-69)

(3) Dicengkeram oleh Dua Jenis Pandangan

“Para bhikkhu, dicengkeram oleh dua jenis pandangan, beberapa deva dan manusia tertahan di belakang dan beberapa pergi terlalu jauh; hanya mereka yang berpenglihatan yang melihat.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, beberapa tertahan di belakang? Para deva dan manusia bergembira dalam kehidupan, sangat bergembira dalam kehidupan, bersukacita dalam kehidupan. Ketika Dhamma diajarkan kepada mereka demi pelenyapan kehidupan, batin mereka tidak memasukinya, tidak memperoleh keyakinan di dalamnya, kokoh di atasnya, atau bertekad padanya. Demikianlah, para bhikkhu, beberapa tertahan di belakang.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, beberapa pergi terlalu jauh? Beberapa mengalami kesusahan, malu, dan jijik dengan kehidupan yang sama ini dan mereka bergembira dalam ketiadaan kehidupan, dengan mengatakan, ‘Sejauh diri ini, Tuan, musnah dan hancur dengan hancurnya jasmani dan tidak ada lagi setelah kematian, ini adalah damai, ini adalah keluhuran, hanya itu!’ Demikianlah, para bhikkhu, beberapa pergi terlalu jauh.

“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, mereka yang berpenglihatan yang melihat? Di sini, seorang bhikkhu melihat apa telah terjadi sebagai telah terjadi. Setelah melihatnya demikian, ia melatih jalan menuju kekecewaan, menuju kebebasan dari nafsu, menuju lenyapnya apa yang telah terjadi. Demikianlah, para bhikkhu, mereka yang berpenglihatan yang melihat.”

(It 49;43-44)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VI)
« Reply #50 on: 10 December 2011, 09:11:23 PM »
8. DARI ALAM SURGA HINGGA NERAKA

“Para bhikkhu, ada empat jenis individu ini di dunia. Apakah empat ini?

“Di sini, para bhikkhu, beberapa orang berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ia menikmatinya, menyukainya, dan tergetar olehnya. Jika ia kokoh di dalamnya, bertekad padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia mati, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva pengikut Brahmā. Umur kehidupan para deva itu adalah satu kappa. Kaum duniawi menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah menjalani keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia pergi ke neraka, ke alam binatang, dan ke alam hantu. Tetapi siswa Sang Bhagavā menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah menjalani keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia mencapai Nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu. Ini adalah perbedaan, kesenjangan, yang membedakan antara siswa mulia yang terlatih dan kaum duniawi yang tidak terlatih, yaitu, sehubungan dengan alam tujuan dan kelahiran kembali.

“Di sini, para bhikkhu, beberapa orang berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh belas kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh belas kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ia menikmatinya, menyukainya, dan tergetar olehnya. Jika ia kokoh di dalamnya, bertekad padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia mati, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva bercahaya gilang-gemilang. Umur kehidupan para deva itu adalah dua kappa. Kaum duniawi menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah menjalani keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia pergi ke neraka, ke alam binatang, dan ke alam hantu. Tetapi siswa Sang Bhagavā menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah menjalani keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia mencapai Nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu. Ini adalah perbedaan, kesenjangan, yang membedakan antara siswa mulia yang terlatih dan kaum duniawi yang tidak terlatih, yaitu, sehubungan dengan alam tujuan dan kelahiran kembali.

“Di sini, para bhikkhu, beberapa orang berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh kegembiraan altruistik, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh kegembiraan altruistik, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ia menikmatinya, menyukainya, dan tergetar olehnya. Jika ia kokoh di dalamnya, bertekad padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia mati, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva dengan keagungan gilang-gemilang. Umur kehidupan para deva itu adalah empat kappa. Kaum duniawi menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah menjalani keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia pergi ke neraka, ke alam binatang, dan ke alam hantu. Tetapi siswa Sang Bhagavā menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah menjalani keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia mencapai Nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu. Ini adalah perbedaan, kesenjangan, yang membedakan antara siswa mulia yang terlatih dan kaum duniawi yang tidak terlatih, yaitu, sehubungan dengan alam tujuan dan kelahiran kembali.

“Di sini, para bhikkhu, beberapa orang berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran penuh keseimbangan, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran penuh keseimbangan, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk. Ia menikmatinya, menyukainya, dan tergetar olehnya. Jika ia kokoh di dalamnya, bertekad padanya, sering berdiam di dalamnya, dan tidak kehilangannya ketika ia mati, maka ia akan terlahir kembali di tengah-tengah para deva berbuah besar. Umur kehidupan para deva itu adalah lima ratus kappa. Kaum duniawi menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah menjalani keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia pergi ke neraka, ke alam binatang, dan ke alam hantu. Tetapi siswa Sang Bhagavā menetap di sana seumur hidupnya, dan ketika ia telah menjalani keseluruhan umur kehidupan para deva itu, ia mencapai Nibbāna akhir di dalam kehidupan yang sama itu. Ini adalah perbedaan, kesenjangan, yang membedakan antara siswa mulia yang terlatih dan kaum duniawi yang tidak terlatih, yaitu, sehubungan dengan alam tujuan dan kelahiran kembali.

“Ini, para bhikkhu, adalah empat jenis individu yang terdapat di dunia.”

(AN 4:125; II 128-29)

9. BAHAYA SAṂSĀRA

(1) Aliran Air-mata

 “Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara karena terhalangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh nafsu. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, manakah yang lebih banyak: air mata yang telah kalian teteskan ketika kalian berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini, menangis dan meratap karena berkumpul dengan yang tidak menyenangkan dan berpisah dari yang menyenangkan – ini atau air di empat samudera raya?”

“Seperti yang kami pahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, Yang Mulia, air mata yang telah kami teteskan ketika kami berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini, menangis dan meratap karena berkumpul dengan yang tidak menyenangkan dan berpisah dari yang menyenangkan – ini saja adalah lebih banyak daripada air di empat samudera raya.”

“Bagus, bagus, para bhikkhu! Bagus sekali kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti itu. Air mata yang telah kalian teteskan ketika kalian berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini, menangis dan meratap karena berkumpul dengan yang tidak menyenangkan dan berpisah dari yang menyenangkan – ini saja adalah lebih banyak daripada air di empat samudera raya. Sejak lama, para bhikkhu, kalian telah mengalami kematian ibu; ketika mengalami ini, menangis dan meratap karena berkumpul dengan yang tidak menyenangkan dan berpisah dari yang menyenangkan, tetesan air mata yang telah kalian teteskan adalah lebih banyak daripada air di empat samudera raya.

“Sejak lama, para bhikkhu, kalian telah mengalami kematian ayah … kematian saudara … kematian saudari … kematian putera … kematian puteri … kehilangan sanak saudara … kehilangan kekayaan … kehilangan karena penyakit; ketika mengalami ini, kalian menangis dan meratap karena berkumpul dengan yang tidak menyenangkan dan berpisah dari yang menyenangkan, tetesan air mata yang telah kalian teteskan adalah lebih banyak daripada air di empat samudera raya. Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan ... Cukuplah untuk mengalami kejijikan terhadap segala bentukan, cukuplah untuk menjadi bosan terhadapnya, cukup untuk terbebaskan darinya.”

(SN 15:3; II 179-80)

(2) Aliran Darah

Ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Hutan Bambu. Tiga puluh bhikkhu dari Pāvā mendekati Sang Bhagavā – semuanya adalah penghuni hutan, pemakan makanan persembahan, pemakai jubah kain buangan, pemakai jubah tiga helai, namun semuanya masih memiliki belenggu.  [11] Setelah mendekat, mereka memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Tiga puluh bhikkhu dari Pāvā ini semuanya adalah penghuni hutan, pemakan makanan persembahan, pemakai jubah kain buangan, pemakai jubah tiga helai, namun semuanya masih memiliki belenggu. Aku akan mengajarkan Dhamma sedemikian agar mereka selagi duduk di tempat ini batin mereka akan terbebaskan dari noda melalui ketidak-melekatan.”  [12]

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu itu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara karena terhalangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh nafsu. Bagaimana menurutmu, para bhikkhu, mana yang lebih banyak: darah yang telah kalian teteskan ketika kalian dipenggal sewaktu berkelana dan mengembara melalui perjalanan panjang ini – ini atau air di empat samudera raya?”

“Seperti yang kami pahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, Yang Mulia, darah yang telah kami teteskan ketika kami berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini – ini saja adalah lebih banyak daripada air di empat samudera raya.”

“Bagus, bagus, para bhikkhu! Bagus sekali kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti itu. Darah yang telah kalian teteskan ketika kalian berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini – ini saja adalah lebih banyak daripada air di empat samudera raya. Dalam waktu yang lama, para bhikkhu, kalian telah menjadi sapi, dan ketika sebagai sapi kalian dipenggal, darah yang kalian teteskan adalah lebih banyak daripada air di empat samudera raya. Dalam waktu yang lama kalian telah menjadi kerbau, domba, kambing, rusa, ayam, dan babi … Dalam waktu yang lama kalian telah ditangkap sebagai pencuri, penyamun, dan pemerkosa, dan ketika kalian dipenggal, darah yang kalian teteskan adalah lebih banyak daripada air di empat samudera raya. Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara karena terhalangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh nafsu. Untuk waktu yang lama, para bhikkhu, kalian telah mengalami penderitaan, kesedihan, dan kemalangan, dan memenuhi pekuburan. Cukuplah untuk mengalami kejijikan terhadap segala bentukan, cukuplah untuk menjadi bosan terhadapnya, cukup untuk terbebaskan darinya.”
 
Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Gembira, para bhikkhu itu bersukacita mendengar kata-kata Sang Bhagavā. Dan ketika penjelasan ini dibabarkan, batin ketiga-puluh bhikkhu dari Pāvā itu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidak-melekatan.

(SN 15:13; II 187-89)

« Last Edit: 10 December 2011, 09:27:24 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VI)
« Reply #51 on: 10 December 2011, 09:12:11 PM »
CATATAN BAB VI

[1] Ps: “Pemahaman penuh” (pariññā) di sini berarti mengatasi (samatikkama) atau meninggalkan (pahāna). Para pengembara sekte lain mengidentifikasikan pemahaman penuh pada kenikmatan indria sebagai jhāna pertama, pemahaman penuh pada bentuk sebagai alam kehidupan tanpa bentuk [alam tanpa bentuk yang bersesuaian dengan pencapaian meditatif tanpa bentuk], dan pemahaman penuh pada perasaan sebagai alam kehidupan tanpa-persepsi. Sang Buddha, sebaliknya, menggambarkan pemahaman penuh pada kenikmatan indria sebagai jalan menuju tingkat yang-tidak-kembali, dan pemahaman penuh pada bentuk dan perasaan sebagai jalan menuju Kearahatan.

    [2] Perhatikan bahwa sementara bahaya dalam kenikmatan indria sebelumnya disebut “kumpulan penderitaan dalam kehidupan ini” (sandiṭṭhiko dukkhakkhandho), yang ini disebut “kumpulan penderitaan dalam kehidupan mendatang” (samparāyiko dukkhakkhandho).

    [3] Vohārasamuccheda. Vohāra dapat berarti transaksi bisnis, jabatan, ucapan, dan kehendak. Ps mengatakan seluruh empat ini adalah relevan, karena ia berpikir bahwa ia telah meninggalkan bisnis, jabatan, ucapan, dan kehendak seorang perumah-tangga.

    [4] Ps menjelaskan, “keseimbangan yang beragam, yang berdasarkan pada keberagaman” sebagai yang berhubungan dengan kelima utas kenikmatan indria, “keseimbangan yang  terpusat, yang berdasarkan pada keterpusatan” sebagai yang berdasarkan pada jhāna ke empat.

    [5] Māgandiya adalah seorang hedonis filosofis yang menganut bahwa seseorang harus memperbolehkan kelima indria menikmati objeknya masing-masing. Ia mengkritik Sang Buddha karena menganjurkan pengekangan dan pengendalian indria-indria ini. Sang Buddha hendak mendemonstrasikan cacat-cacat dalam kenikmatan indria.

    [6] Ps mengemas kata nippurisa, lit. “bukan laki-laki,” sebagai berarti bahwa mereka semua adalah perempuan. Bukan hanya para musisi, tetapi semua posisi dalam istana, termasuk para penjaga pintu, terdiri dari para perempuan. Ayahnya telah memberikan kepadanya tiga istana dan para pengiring perempuan dengan harapan untuk mempertahankannya dalam kehidupan awam dan mengalihkannya dari pikiran meninggalkan keduniawian.

    [7] Ps: Ini dikatakan dengan merujuk pada pencapaian buah Kearahatan yang berdasarkan pada jhāna ke empat.

    [8] “Hutan Kebahagiaan” di alam surga Tāvatiṃsa.

    [9] Ungkapan viparitasaññā menyinggung pada “persepsi keliru”  yang melihat kenikmatan dalam apa yang sesungguhnya adalah menyakitkan. AN 4:49 mengatakan tentang empat penyimpangan persepsi (saññavipallāsa): mempersepsikan yang tidak menarik sebagai menarik, yang tidak kekal sebagai kekal, yang menyakitkan sebagai menyenangkan, dan tanpa-diri sebagai diri. Kenikmatan indria adalah menyakitkan karena membangkitkan kekotoran-kekotoran yang menyakitkan dan karena menghasilkan buah yang menyakitkan di masa depan.

    [10] Apa yang dimaksudkan di sini dengan pandangan salah (micchā diṭṭhi) adalah pandangan-pandangan yang menyangkal landasan moralitas, khususnya pandangan-pandangan yang menolak prinsip sebab-akibat moral dan kekuatan usaha kehendak.

    [11] Penghuni hutan dan seterusnya adalah praktik yang diperbolehkan oleh Sang Buddha. Tentang sepuluh belenggu, baca pp. 374-75. Spk mengatakan bahwa beberapa di antara mereka adalah pemasuk-arus, beberapa yang-kembali-sekali, dan beberapa yang-tidak-kembali. Tidak ada satupun yang masih menjadi kaum duniawi, dan tidak ada yang menjadi Arahant.

    [12] Ini berarti pencapaian Kearahattaan.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VII)
« Reply #52 on: 13 December 2011, 11:25:00 PM »
BAB VII
PENDAHULUAN


Dalam bab ini, kita sampai pada ciri unik yang istimewa dari ajaran Buddha, jalan “ke-adi-duniawi-an” atau “yang-melampaui keduniawian” menuju kebebasan. Jalan ini berdasarkan pada pemahaman transformatif dan perspektif mendalam pada sifat dunia yang muncul dari pengenalan kita pada bahaya dalam kenikmatan indria, kematian yang tidak terhindarkan, dan sifat ganas saṃsāra, tema yang kita pelajari dalam bab sebelumnya. Hal ini bertujuan untuk mengarahkan praktisi pada kondisi kebebasan yang berada di luar semua alam kehidupan yang terkondisi, pada kebahagiaan Nibbāna yang tanpa dukacita dan tanpa noda yang telah dicapai oleh Sang Buddha sendiri pada malam pencerahanNya.

Bab ini menyajikan teks-teks yang menawarkan suatu peninjauan luas pada jalan adi-duniawi Sang Buddha; dua bab berikutnya akan menyajikan teks-teks yang berfokus pada latihan batin yang lebih halus dan pengembangan kebijaksanaan, dua cabang utama dari jalan adi-duniawi. Akan tetapi, saya memulai dengan beberapa sutta yang dimaksudkan untuk memperjelas tujuan dari jalan ini, meneranginya dari sudut-sudut yang berbeda. Teks VII, 1(1), khotbah pendek kepada Māluṅkyāputta (MN 63), menunjukkan bahwa jalan Buddhis tidak dirancang untuk memberikan jawaban teoritis atas pertanyaan-pertanyaan filosofis. Dalam sutta ini Bhikkhu Māluṅkyāputta menghadap Sang Buddha dan menuntut jawaban atas sepuluh pertanyaan spekulatifnya, dengan mengancam akan meninggalkan Saṅgha jika tuntutannya tidak terpenuhi. Para cendekiawan telah memperdebatkan apakah Sang Buddha menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu karena secara prinsipil tidak dapat dijawab atau hanya karena tidak relevan dengan solusi praktis atas permasalahan penderitaan. Dua koleksi sutta dalam Saṃyutta NIkāya – SN 33:1-10 dan SN 44:7-8 – menjelaskan bahwa “diamnya” Sang Buddha memiliki dasar yang lebih mendalam daripada pertimbangan pragmatis. Sutta-sutta ini menunjukkan bahwa semua pertanyaan itu adalah berdasarkan pada asumsi mendasar bahwa kehidupan harus diinterpretasikan dalam hal diri dan dunia di mana diri itu berada. Karena alasan-alasan ini tidak benar, maka tidak ada jawaban atas alasan-alasan ini yang dapat dibenarkan, dan dengan demikian Sang Buddha harus menolak pertanyaan-pertanyaan itu.

Akan tetapi, walaupun Sang Buddha memiliki dasar filosofis untuk menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, namun Beliau juga menolaknya karena pertimbangan bahwa pengaruhnya adalah tidak relevan dengan pencarian kebebasan dari penderitaan. Alasan ini adalah poin yang nyata dari khotbah kepada Māluṅkyāputta ini, dengan perumpamaan yang terkenal tentang orang yang tertembak oleh panah beracun. Apakah pandangan-pandangan ini benar atau tidak, Sang Buddha mengatakan, “Ada kelahiran, ada penuaan, ada kematian, ada dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan, yang mana kehancurannya adalah apa yang Aku ajarkan di sini dan saat ini.” Berlawanan dengan gambaran latar belakang saṃsāra yang digambarkan pada akhir bab sebelumnya, pernyataan ini sekarang bermakna lebih luas: “hancurnya kelahiran, penuaan, dan kematian” bukan hanya akhir penderitaan dalam satu kehidupan, melainkan akhir dari penderitaan yang tidak terhingga dari kelahiran, penuaan, dan kematian yang berulang-ulang yang telah kita jalani dalam saṃsāra selama kappa-kappa yang tidak terhingga.

Teks VII, 1(2), Khotbah Panjang tentang Perumpamaan Inti Kayu (MN 29), menjelaskan dari sudut berbeda tentang tujuan Sang Buddha membabarkan Dhamma yang melampaui-keduniawian ini. Sutta ini adalah tentang seorang “anggota keluarga” yang telah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dengan maksud untuk mencapai akhir penderitaan. Dengan maksud yang sungguh-sungguh pada saat penahbisannya, namun begitu ia mencapai suatu keberhasilan, apakah pencapaian yang lebih rendah seperti keuntungan dan kehormatan atau yang lebih luhur seperti konsentrasi dan pandangan terang, maka ia menjadi puas dan mengabaikan tujuannya semula dalam memasuki Jalan Buddha. Sang Buddha menyatakan bahwa tidak ada satupun dari stasiun-stasiun ini di sepanjang perjalanan – bukan disiplin moral, bukan konsentrasi, dan bahkan bukan pengetahuan dan penglihatan – adalah tujuan akhir dari kehidupan spiritual. Tujuannya, inti kayu atau tujuan utamanya, adalah “kebebasan batin yang tidak tergoyahkan,” dan Beliau mendorong mereka yang telah memasuki sang jalan agar tidak menjadi puas dengan segala hal lain yang lebih rendah dari tujuan utama itu.

Teks VII, 1(3) adalah pilihan sutta-sutta dari “Khotbah-khotbah berkelompok tentang Sang Jalan” (Maggasaṃyutta). Sutta-sutta ini menyebutkan bahwa tujuan dari mempraktikkan kehidupan spiritual di bawah Sang Buddha adalah “meluruhnya nafsu, … Nibbāna akhir tanpa kemelekatan,” Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai jalan untuk mencapai tiap-tiap tujuan ini.

Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah formulasi klasik dari jalan menuju kebebasan, seperti yang telah dijelaskan dari khotbah pertama Sang Buddha, yang mana Beliau menyebut Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai jalan menuju lenyapnya penderitaan. Teks VII, 2 memberikan definisi formal dari masing-masing faktor sang jalan tetapi tidak menunjukkan secara jelas bagaimana praktiknya diterapkan dalam kehidupan seorang siswa. Penerapan terperinci akan dijelaskan kemudian dalam bab ini dan dalam bab VIII dan IX.

Teks VII, 3 menyorot dari sudut lain pada sang jalan yang berbeda dari biasa kita dengar dalam ceramah-ceramah standar Buddhis. Sementara kita seringkali diberitahu bahwa praktik jalan Buddhis bergantung sepenuhnya pada usaha pribadi, sutta ini menekankan pada pentingnya persahabatan spiritual. Sang Buddha menyatakan bahwa persahabatan spiritual bukan sekedar “setengah dari kehidupan spiritual” melainkan keseluruhannya, karena bagi seorang praktisi untuk mencapai kesempurnaan spiritual bukanlah murni usaha sendiri melainkan terjadi dengan bergantung pada hubungan pribadi yang akrab. Persahabatan spiritual memberikan pada praktik Dhamma suatu dimensi kemanusiaan yang tidak dapat dihindarkan dan menyatukan para praktisi Buddhis dalam suatu komunitas yang menyatu baik secara vertikal melalui hubungan guru ke murid dan secara horizontal melalui persahabatan antara teman-teman yang menapaki jalan yang sama.

Berlawanan dengan asumsi umum, delapan faktor sang jalan bukanlah tahapan-tahapan yang harus diikuti secara berurutan, satu demi satu. Faktor-faktor ini lebih tepat digambarkan sebagai komponen-komponen daripada langkah-langkah. Paling baik, seluruh delapan faktor ini seharusnya ada secara bersamaan, masing-masing memberikan kontribusi khususnya, bagaikan delapan helai kawat yang saling terjalin dalam seutas kabel yang memberikan kekuatan maksimum pada kabel itu. Akan tetapi, sampai tahap itu tercapai, tidak dapat dihindari bahwa faktor-faktor sang jalan itu memperlihatkan suatu tingkatan urutan dalam pengembangannya. Delapan faktor ini umumnya dikategorikan dalam tiga kelompok sebagai berikut:

1.   Kelompok disiplin moral (silakkhandha), terdiri dari ucapan benar, perbuatan benar, dan penghidupan benar.
2.   Kelompok konsentrasi (samādhikkhandha), terdiri dari usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.
3.   Kelompok kebijaksanaan (paññākkhandha), terdiri dari pandangan benar dan kehendak benar.

Akan tetapi, di dalam Nikāya-nikāya, hubungan ini hanya muncul satu kali (pada MN 44;I 301), di mana sutta ini berasal dari Bhikkhunī Dhammadinnā, bukan dari Sang Buddha sendiri. Mungkin dapat dikatakan bahwa kedua faktor kebijaksanaan ditempatkan di awal karena pandangan benar awal dan kehendak benar awal diperlukan pada permulaan sang jalan, pandangan benar memberikan pemahaman konseptual atas prinsip Buddhis yang menuntun menuju pengembangan faktor-faktor sang jalan lainnya, kehendak benar memberikan motivasi dan arah yang benar bagi pengembangan sang jalan.

Dalam Nikāya-nikāya, Sang Buddha seringkali membabarkan praktik Sang Jalan sebagai latihan bertahap (anupubbasikkhā) yang merentang dalam tahapan-tahapan dari langkah pertama hingga tujuan akhir. Latihan bertahap ini adalah pembagian yang lebih halus dari ketiga pembagian Sang jalan menjadi disiplin moral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Tanpa kecuali, dalam sutta-sutta pembabaran latihan bertahap ini juga dimulai dari meninggalkan keduniawian untuk menjalani kehidupan tanpa rumah dan menjalani gaya hidup seorang bhikkhu. Hal ini segera mengalihkan perhatian pada pentingnya kehidupan monastik dalam visi pragmatis Sang Buddha. Secara prinsipil keseluruhan praktik Jalan Mulia Berunsur Delapan ini terbuka bagi orang-orang dari berbagai gaya hidup, monastik atau awam, dan Sang Buddha menegaskan bahwa banyak di antara para umat awamNya yang berhasil dalam Dhamma dan telah mencapai tiga dari empat tingkat pencerahan, hingga tingkat yang-tidak-kembali (anāgāmī; Komentator Theravāda mengatakan bahwa umat awam juga dapat mencapai tingkat ke empat, Kearahattaan, tetapi mereka mencapainya menjelang kematiannya atau meninggalkan keduniawian segera setelah pencapaiannya). Akan tetapi, faktanya adalah bahwa kehidupan rumah tangga tidak dapat dibantah telah menumbuhkan banyak pertimbangan duniawi dan kemelekatan personal yang merintangi seorang yang tulus dan sungguh-sungguh mencari kebebasan. Demikianlah ketika Sang Buddha melakukan pencarian muliaNya, Beliau melakukannya dengan cara menjalani kehidupan tanpa rumah, dan setelah pencerahanNya, sebagai suatu cara praktis untuk membantu orang lain, Beliau mendirikan Saṅgha, kelompok para bhikkhu dan bhikkhunī, bagi mereka yang ingin mengabdikan diri sepenuhnya pada Dhamma tanpa dihalangi oleh urusan kehidupan rumah tangga.

Latihan bertahap muncul dalam dua versi: versi panjang dalam Dīgha Nikāya dan versi menengah dalam Majjhima Nikāya. Perbedaan utamanya adalah: (1) versi panjang memiliki penjelasan yang lebih terperinci pada pelaksanaan-pelaksanaan yang berhubungan dengan etika monastik dan pengendalian diri pertapaan; (2) versi panjang memasukkan delapan jenis pengetahuan yang lebih tinggi sementara versi menengah memiliki tiga jenis. Akan tetapi, karena ketiga jenis ini adalah apa yang disebutkan dalam kisah pencerahan Sang Buddha (baca Teks II, 3(2)), tiga ini dianggap sebagai yang paling penting. Paradigma utama dari versi panjang latihan bertahap ini terdapat pada DN 2; versi menengah terdapat pada MN 27 dan MN 51, dengan variasi pada MN 38, MN 39, MN 53, MN 107, dan MN 125. di sini, Teks VII, 4 memasukkan keseluruhan MN 27, yang menggabungkan latihan ini dalam perumpamaan jejak kaki gajah sesuai nama sutta ini. Teks VII, 5, sebuah ringkasan dari MN 39, mengulangi tahapan-tahapan yang lebih tinggi dari latihan seperti yang digambarkan pada MN 27, tetapi menambahkan perumpamaan-perumpamaan yang mengesankan yang tidak tercantum dalam versi MN 27.

Urutannya dimulai dengan munculnya Sang Tathāgata di dunia dan pembabaran Dhamma. Setelah mendengar ini, sang siswa memperoleh keyakinan dan mengikuti Sang Guru menjalani kehidupan tanpa rumah. Kemudian ia menjalani aturan disiplin yang meningkatkan pemurnian perilaku dan penghidupan benar sebagai seorang petapa. Tiga tahap berikutnya – kepuasan, pengendalian indria, dan perhatian dan pemahaman jernih – meng-internal-kan proses pemurnian dan karenanya menjembatani transisi dari disiplin moral menuju konsentrasi.

Bagian tentang meninggalkan kelima rintangan membahas latihan awal dalam konsentrasi. Kelima rintangan – keinginan indria, niat buruk, ketumpulan dan kelambanan, kegelisahan dan penyesalan, dan keragu-raguan – adalah rintangan utama bagi pengembangan meditatif, dan dengan demikian harus dilenyapkan agar pikiran menjadi tenang dan terpusat. Paragraf umum tentang latihan bertahap membahas tentang bagaimana mengatasi rintangan hanya secara skematis, tetapi teks-teks lain dalam Nikāya-nikāya memberikan instruksi yang lebih praktis, dan komentator Pāli memberikan penjelasan yang bahkan lebih terperinci lagi. Perumpamaan dalam versi MN 39 – baca Teks VII, 5 – mengilustrasikan perasaan gembira akan kebebasan yang diperoleh seseorang dengan mengatasi rintangan-rintangan.

Tahap selanjutnya dalam urutan ini menggambarkan pencapaian jhāna-jhāna, kondisi-kondisi konsentrasi yang mendalam yang mana pikiran menjadi sepenuhnya terserap dalam objeknya. Sang Buddha menguraikan empat jhāna, yang diberi nama sesuai dengan posisi numerisnya dalam rangkaian itu, masing-masing lebih halus dan lebih tinggi dari pendahulunya. Jhāna-jhāna selalu digambarkan dengan formula yang sama, yang dalam beberapa sutta ditambahkan dengan perumpamaan keindahan luar biasa; sekali lagi, baca Teks VII, 5, walaupun kebijaksanaan dan bukan konsentrasi yang menjadi faktor penting dalam pencapaian pencerahan, Sang Buddha tetap memasukkan jhāna-jhāna dalam latihan bertahap minimal karena dua alasan: pertama, karena jhāna-jhāna mendukung kesempurnaan intrinsik dari sang jalan; dan ke dua, karena konsentrasi mendalam yang dihasilkan berfungsi sebagai suatu landasan bagi munculnya pandangan terang. Sang Buddha menyebut jhāna-jhāna sebagai “jejak kaki Sang Tathāgata” (MN 27.19-22) dan menunjukkannya sebagai pelopor bagi kebahagiaan Nibbāna yang terletak di akhir latihan.

Dari jhāna ke empat, tiga jalur alternatif untuk pengembangan selanjutnya menjadi mungkin. Dalam sejumlah teks di luar paragraf umum tentang latihan bertahap Sang Buddha menyebutkan empat kondisi meditatif yang melanjutkan keterpusatan pikiran yang dibentuk oleh jhāna-jhāna. Kondisi-kondisi ini, digambarkan sebagai “kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa bentuk,” adalah penghalusan konsentrasi lebih jauh lagi. Dibedakan dari jhāna-jhāna melalui cirinya yang melampaui gambaran batin halus yang berfungsi sebagai objek dalam jhāna-jhāna, kondisi-kondisi ini dinamai landasan ruang tanpa batas, landasan kesadaran tanpa batas, landasan kekosongan, dan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.

Jalur pengembangan ke dua adalah perolehan pengetahuan supranatural. Sang Buddha seringkali merujuk pada kelompok enam jenis, yang kemudian disebut enam jenis pengetahuan langsung (chaḷabhiññā). Yang terakhir dari pengetahuan-pengetahuan ini, pengetahuan hancurnya noda-noda, adalah “adi-duniawi” atau melampaui-keduniawian dan dengan demikian menandai puncak jalur pengembangan ke tiga. Tetapi kelima pengetahuan lainnya semuanya adalah bersifat duniawi, produk dari konsentrasi pikiran yang luar biasa kuat yang dicapai dalam jhāna ke empat: kekuatan-kekuatan supranatural, telinga dewa, kemampuan membaca pikiran makhluk lain, mengingat kehidupan lampau, dan pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk (baca Teks VIII, 4).

Jhāna-jhāna dan pencapaian-pencapaian tanpa bentuk secara berdiri sendiri tidak menghasilkan pencerahan dan kebebasan. Melalui keluhuran dan kedamaian, pencapaian-pencapaian itu hanya mampu mendiamkan kekotoran-kekotoran yang memelihara lingkaran kelahiran kembali namun tidak mampu melenyapkannya. Untuk mencabut kekotoran-kekotoran pada tingkat yang paling mendasar, dan dengan demikian sampai pada pencerahan dan kebebasan, proses meditatif harus diarahkan pada jalur pengembangan ke tiga. Ini adalah perenungan “segala sesuatu sebagaimana adanya,” yang menghasilkan pandangan terang yang meningkat ke dalam sifat kehidupan dan memuncak dalam tujuan akhir, pencapaian Kearahattaan.

Jalur pengembangan ini adalah apa yang dimaksudkan oleh Sang Buddha dalam paragraf tentang latihan bertahap. Beliau mendahuluinya dengan penjelasan tentang dua pengetahuan langsung, mengingat kehidupan lampau dan pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk. Ketiganya bersama-sama digambarkan dengan sangat menonjol dalam pencerahan Sang Buddha sendiri – seperti yang kita lihat dalam Teks II, 3 (2) – dan secara kolektif disebut tiga pengetahuan sejati (tevijjā). Walaupun dua yang pertama tidak penting untuk pencapaian Kearahattaan, mungkin Sang Buddha memasukkannya di sini karena pengetahuan-pengetahuan itu mengungkapkan dimensi yang luas dan mendalam dari penderitaan dalam saṃsāra, karenanya mempersiapkan batin untuk menembus Empat Kebenaran Mulia yang dengannya penderitaan itu didiagnosa dan diatasi.

Paragraf tentang latihan bertahap tidak secara eksplisit menunjukkan proses perenungan yang dengannya meditator mengembangkan pandangan terang. Keseluruhan proses hanya disiratkan dengan disebutkannya buah akhir, yang disebut dengan pengetahuan hancurnya noda-noda (āsavakkhayañāṇa). Āsava atau noda-noda adalah suatu kelompok kekotoran yang dianggap berperan dalam memelihara gerak maju dari proses kelahiran dan kematian. Komentar menurunkan kata ini dari akar kata su yang berarti “mengalir.” Para cendikiawan berbeda pendapat sehubungan dengan apakah aliran ini disiratkan oleh awalan ā adalah ke dalam atau ke luar; karenanya beberapa menerjemahkannya sebagai “aliran masuk” atau “pengaruh,” beberapa lainnya sebagai “aliran keluar” atau “memancar.” Paragraf umum dalam sutta-sutta menunjukkan makna penting kata ini secara tidak bergantung pada etimologi jika menjelaskan āsava sebagai kondisi-kondisi “yang mengotori, membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan mengarah pada kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan” (MN 36:47; I 250). Demikianlah para penerjemah lain, dengan mengabaikan makna literal, menerjemahkannya sebagai “bisul,” “kerusakan,” atau “noda.” Ketiga noda yang disebutkan dalam Nikāya-nikāya berturut-turut bersinonim dengan nafsu pada kenikmatan indria, nafsu pada penjelmaan, dan kebodohan. Ketika batin sang siswa terbebaskan dari noda-noda melalui kesempurnaan jalan Kearahattaan, ia meninjau kembali kebebasan yang baru dicapainya dan mengaumkan raungan singanya: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan; tidak ada lagi kembali pada kondisi makhluk apapun juga.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VII)
« Reply #53 on: 13 December 2011, 11:26:47 PM »

VII. JALAN MENUJU KEBEBASAN


1. MENGAPA SESEORANG MEMASUKI SANG JALAN?

(1) Anak Panah Kelahiran, Penuaan, dan Kematian

1. Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, sewaktu Yang Mulia Māluṅkyāputta sedang sendirian dalam meditasi, pemikiran berikut ini muncul dalam pikirannya:

“Pandangan-pandangan spekulatif ini telah dibiarkan tidak dijelaskan oleh Sang Bhagavā, dikesampingkan dan ditolak oleh Beliau, yaitu: ‘dunia adalah abadi’ dan ‘dunia adalah tidak abadi’; ‘dunia adalah terbatas’ dan ‘dunia adalah tidak terbatas’; ‘jiwa adalah sama dengan badan’ dan ‘jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya’; dan ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ dan ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian.’  [1] Sang Bhagavā tidak menyatakan hal-hal ini kepadaku, dan aku tidak menyetujui dan menerima fakta bahwa Beliau tidak menyatakan ini kepadaku, maka aku akan mendatangi Sang Bhagavā dan menanyakan kepadanya makna dari hal ini. Jika Beliau menyatakan kepadaku apakah ‘dunia adalah abadi’ atau ‘dunia adalah tidak abadi’ … atau ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,’ maka aku akan menjalani kehidupan suci di bawah Beliau; jika Beliau tidak menyatakan hal-hal ini kepadaku, maka aku akan meninggalkan latihan ini dan kembali kepada kehidupan yang lebih rendah.”

3. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Māluṅkyāputta bangkit dari meditasinya dan menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:

“Di sini, Yang Mulia, sewaktu aku sendirian dalam meditasi, pemikiran berikut ini muncul dalam pikiranku: ‘Pandangan-pandangan spekulatif ini telah dibiarkan tidak dijelaskan oleh Sang Bhagavā … jika Beliau tidak menyatakan hal-hal ini kepadaku, maka aku akan meninggalkan latihan ini dan kembali kepada kehidupan yang lebih rendah.’ Jika Sang Bhagavā mengetahui ‘dunia adalah abadi,’ maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku ‘dunia adalah abadi’; jika Sang Bhagavā mengetahui ‘dunia adalah tidak abadi,’ maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku ‘dunia adalah tidak abadi.’ Jika Sang Bhagavā tidak mengetahui apakah ‘dunia adalah abadi’ atau ‘dunia adalah tidak abadi,’ maka adalah suatu keterus-terangan bagi seorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat untuk mengatakan: ‘aku tidak tahu, aku tidak melihat.’

“Jika Sang Bhagavā mengetahui ‘dunia adalah terbatas,’ … ’ dunia adalah tidak terbatas,’ … ‘jiwa adalah sama dengan badan,’ … ‘jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya,’ … ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian,’ … ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian,’ … Jika Sang Bhagavā mengetahui  ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian,’ maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku;  jika Sang Bhagavā mengetahui ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,’ maka sudilah Bhagavā menyatakannya kepadaku. Jika Sang Bhagavā tidak mengetahui apakah ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ atau ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,’ maka adalah suatu keterus-terangan bagi seorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat untuk mengatakan: ‘aku tidak tahu, aku tidak melihat.’”

4. “Bagaimanakah, Māluṅkyāputta, pernahkah Aku mengatakan kepadamu: ‘Marilah, Mālunkyāputta, jalanilah kehidupan suci di bawahKu dan Aku akan menyatakan kepadamu “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian”’?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Pernahkah engkau mengatakan kepadaKu: ‘Aku akan menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā, dan Sang Bhagavā akan menyatakan kepadaku “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian”’?” – “Tidak, Yang Mulia.” – “Kalau begitu, orang sesat, siapakah engkau dan apakah yang sedang engkau tinggalkan?

5. “Jika siapapun mengatakan sebagai berikut: ‘aku tidak akan menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā hingga Sang Bhagavā menyatakan kepadaku “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,”’ Hal itu masih tetap tidak dinyatakan oleh Sang Bhagavā dan sementara orang itu akan mati. Misalkan, Mālunkyāputta, seseorang terluka oleh anak panah beracun, dan teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, membawa seorang ahli bedah untuk merawatnya. Orang itu berkata: ‘aku tidak akan membiarkan ahli bedah ini mencabut anak panah ini hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku adalah seorang mulia atau seorang brahmana atau seorang pedagang atau seorang pekerja.’ Dan ia mengatakan: ‘aku tidak akan membiarkan ahli bedah ini mencabut anak panah ini hingga aku mengetahui nama dan suku dari orang yang melukaiku; … hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku tinggi atau pendek atau sedang; … hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku berkulit gelap atau cokelat atau keemasan; … hingga aku mengetahui apakah orang yang melukaiku hidup di desa atau pemukiman atau kota apa; … hingga aku mengetahui apakah busur yang melukaiku adalah sebuah busur panjang atau busur silang; … hingga aku mengetahui apakah tali busur yang melukaiku terbuat dari serat atau buluh atau urat atau rami atau kulit kayu; … hingga aku mengetahui tangkai anak panah yang melukaiku itu diambil dari alam liar atau hasil budidaya; … hingga aku mengetahui dari bulu apakah tangkai anak panah yang melukaiku itu dipasangkan – apakah dari burung nasar atau burung bangau atau burung elang atau burung merak atau burung jangkung; … hingga aku mengetahui dengan urat jenis apakah tangkai anak panah itu diikat – apakah urat sapi atau kerbau atau rusa atau monyet; … hingga aku mengetahui jenis mata anak panah apakah yang melukaiku – apakah berpaku atau berpisau atau melengkung atau berduri atau bergigi-anak-sapi atau berbentuk-tombak.’

“Semua ini masih tetap tidak diketahui oleh orang itu dan sementara itu orang itu akan mati. Demikian pula, Māluṅkyāputta, jika siapapun mengatakan sebagai berikut: ‘aku tidak akan menjalani kehidupan suci di bawah Sang Bhagavā hingga Sang Bhagavā menyatakan kepadaku “dunia adalah abadi” … atau “Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,”’ hal itu masih tetap tidak dinyatakan oleh Sang Bhagavā dan sementara orang itu akan mati.

6. “Māluṅkyāputta, jika ada pandangan ‘dunia adalah abadi,’ maka kehidupan spiritual tidak dapat dijalani; dan jika ada pandangan ‘dunia adalah tidak abadi,’ maka kehidupan spiritual tidak dapat dijalani. Apakah pandangan ‘dunia adalah abadi’ atau pandangan ‘dunia adalah tidak abadi’ ada atau tidak ada, kelahiran tetap ada, penuaan tetap ada, kematian tetap ada, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan tetap ada, yang mana hancurnya hal-hal itu Aku ajarkan di sini dan saat ini.

“Jika ada pandangan ‘dunia adalah terbatas,’ … ’ dunia adalah tidak terbatas,’ … ‘jiwa adalah sama dengan badan,’ … ‘jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya,’ … ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian,’ … ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian,’ maka kehidupan spiritual tidak dapat dijalani … Jika ada pandangan ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian,’ maka kehidupan spiritual tidak dapat dijalani; dan jika ada pandangan ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,’ maka kehidupan spiritual tidak dapat dijalani. Apakah ada pandangan ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ atau pandangan ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian,’ kelahiran tetap ada, penuaan tetap ada, kematian tetap ada, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan tetap ada, yang mana hancurnya hal-hal itu Aku ajarkan di sini dan saat ini.

7. “Oleh karena itu, Mālunkyāputta, ingatlah apa yang Kubiarkan tidak dinyatakan sebagai tidak dinyatakan, dan ingatlah apa yang telah dinyatakan olehKu sebagai dinyatakan. Dan apakah yang Kubiarkan tidak dinyatakan? ‘Dunia adalah abadi’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Dunia adalah tidak abadi’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Dunia adalah terbatas’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Dunia adalah tidak terbatas’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Jiwa adalah sama dengan badan’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ’Jiwa adalah satu hal dan badan adalah hal lainnya’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan.  ‘Sang Tathāgata ada setelah kematian’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Sang Tathāgata tidak ada setelah kematian’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Sang Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan. ‘Sang Tathāgata bukan ada dan bukan tidak ada setelah kematian’ – telah Kubiarkan tidak dinyatakan.

8. “Mengapakah Aku membiarkan tidak dinyatakan? Karena tidak bermanfaat, bukan bagian dari dasar-dasar kehidupan suci, tidak menuntun menuju kekecewaan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Itulah sebabnya mengapa Aku membiarkan tidak dinyatakan.

9. “Dan apakah yang telah Kunyatakan? ‘Ini adalah penderitaan’ – Aku telah menyatakan. ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’ – Aku telah menyatakan. ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’ – Aku telah menyatakan. ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’ – Aku telah menyatakan.

10. “Mengapakah Aku menyatakannya? Karena bermanfaat, menjadi bagian dari dasar-dasar kehidupan suci, menuntun menuju kekecewaan, menuju kebebasan dari nafsu, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Itulah sebabnya mengapa Aku menyatakannya.

“Oleh karena itu, Māluṅkyāputta, ingatlah apa yang Kubiarkan tidak dinyatakan sebagai tidak dinyatakan, dan ingatlah apa yang telah dinyatakan olehKu sebagai dinyatakan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Māluṅkyāputta merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.  [2]

(MN 63: Cūḷamāluṅkya Sutta; I 426-32)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VII)
« Reply #54 on: 13 December 2011, 11:27:24 PM »
(2) Inti Kayu Kehidupan Spiritual

1. Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar; tidak lama setelah Devadatta pergi.  [3] Di sana, dengan merujuk pada Devadatta, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya terpenuhi. Dan karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku memiliki keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran, tetapi para bhikkhu lain ini tidak terkenal, tidak berharga.’ Ia menjadi mabuk dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, ia sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan … ia hidup dalam penderitaan. Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa ranting dan dedaunan kehidupan suci dan berhenti di sana.

3. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal-hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu dan tujuannya tercapai.  Dan karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku adalah orang yang bermoral, berkarakter baik, tetapi para bhikkhu lain ini tidak bermoral, berkarakter buruk.’ Ia menjadi mabuk dengan pencapaian moralitas itu, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya dan kulit dalamnya, ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu ... ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan… ia hidup dalam penderitaan. Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa kulit luar kehidupan suci dan berhenti di sana.

4. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal itu,memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan pencapaian moralitas itu; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu dan tujuannya terpenuhi.  Dan karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku terkonsentrasi, pikiranku terpusat, tetapi para bhikkhu lain ini tidak terkonsentrasi dan pikiran mereka mengembara.’ Ia menjadi mabuk dengan pencapaian konsentrasi itu, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya dan kayu lunaknya, ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu ... ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan … ia hidup dalam penderitaan. Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa kulit dalam kehidupan suci dan berhenti di sana.

5. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi.  Ia tidak, karena hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan pencapaian konsentrasi itu; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai pengetahuan dan penglihatan.  [4] Ia senang dengan pengetahuan dan penglihatan tersebut dan tujuannya terpenuhi. Karena hal itu, ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku hidup dengan mengetahui dan melihat, tetapi para bhikkhu lain ini tidak mengetahui dan tidak melihat.’ Ia menjadi mabuk dengan pengetahuan dan penglihatan itu, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu ... ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan … ia hidup dalam penderitaan. Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa kayu lunak kehidupan suci dan berhenti di sana.

6. “Di sini, para bhikkhu, beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan, dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi.  Karena rajin, ia mencapai pengetahuan dan penglihatan. Ia senang akan pengetahuan dan penglihatan itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi.  Ia tidak, karena hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan pengetahuan dan penglihatan itu; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai kebebasan terus-menerus. Dan adalah tidak mungkin bagi bhikkhu itu untuk terjatuh dari pembebasan terus-menerus itu.  [5]

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan hanya memotong inti kayunya, ia akan membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini mengenali inti kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, ia sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan hanya memotong inti kayunya, ia membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya akan terlaksana.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan … Karena ia rajin, maka ia mencapai kebebasan terus-menerus. Dan adalah tidak mungkin bagi bhikkhu itu untuk terjatuh dari pembebasan terus-menerus itu.

7. “Demikian pula kehidupan suci ini, para bhikkhu, bukan memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran sebagai manfaatnya, atau pencapaian moralitas sebagai manfaatnya, atau pencapaian konsentrasi sebagai manfaatnya, atau pengetahuan dan penglihatan sebagai manfaatnya. Melainkan kebebasan batin yang tak tergoyahkan, yang merupakan tujuan kehidupan suci, inilah inti kayunya, dan inilah akhirnya.”  [6]

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

(MN 29: Mahāsāropama Sutta; I 192-97)

(3) Meluruhnya Nafsu

“Para bhikkhu, jika para pengembara sekte lain bertanya kepada kalian: ‘Untuk tujuan apakah, sahabat-sahabat, maka kehidupan spiritual dijalankan di bawah Petapa Gotama?’ – ditanya demikian, kalian harus menjawab: ‘Adalah, sahabat-sahabat, untuk Meluruhnya nafsu maka kehidupan spiritual ini dijalankan di bawah Sang Bhagavā.’

“Kemudian, para bhikkhu, jika para pengembara sekte lain bertanya kepada kalian: ‘Tetapi, sahabat-sahabat, adakah jalan, adakah cara untuk peluruhan nafsu?’ - ditanya demikian, kalian harus menjawab: ‘Ada jalan, sahabat-sahabat, ada cara untuk peluruhan nafsu.’

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan itu, apakah cara untuk peluruhan nafsu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu: pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar. Ini adalah jalan, ini adalah cara untuk peluruhan nafsu.

“Ditanya demikian, para bhikkhu, kalian harus menjawab para pengembara itu seperti itu.

“[Atau kalian juga dapat menjawab mereka:] ‘Adalah, sahabat-sahabat, untuk meninggalkan belenggu-belenggu … untuk mencabut kecenderungan-kecenderungan tersembunyi … untuk memahami sepenuhnya perjalanan [saṃsāra] … demi hancurnya noda-noda … untuk mencapai buah pengetahuan dan kebebasan sejati … demi pengetahuan dan penglihatan … untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan maka kehidupan spiritual dijalani di bawah Sang Bhagaavā.

“Kemudian, para bhikkhu, jika para pengembara sekte lain bertanya kepada kalian: ‘Tetapi, sahabat-sahabat, adakah jalan, adakah cara untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?’ - ditanya demikian, kalian harus menjawab: ‘Ada jalan, sahabat-sahabat, ada cara untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan.’

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan itu, apakah cara untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu: pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar. Ini adalah jalan, ini adalah cara untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan.

“Ditanya demikian, para bhikkhu, kalian harus menjawab para pengembara itu seperti itu.”


(SN 45:41-48, digabungkan; V 27-29)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VII)
« Reply #55 on: 13 December 2011, 11:28:16 PM »
2. ANALISIS JALAN BERUNSUR DELAPAN

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian mengenai Jalan Mulia Berunsur Delapan dan Aku akan menganalisanya untuk kalian. Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, Jalan Mulia Berunsur Delapan itu? pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar.

“Dan apakah, para bhikkhu, pandangan benar? Pengetahuan atas penderitaan, pengetahuan atas asal-mula penderitaan, pengetahuan atas lenyapnya penderitaan, pengetahuan atas jalan menuju lenyapnya penderitaan: ini disebut Pandangan Benar.

“Dan apakah, para bhikkhu, kehendak benar? Kehendak untuk melepaskan keduniawian, kehendak tanpa niat buruk, kehendak untuk tidak mencelakai: ini disebut kehendak benar.

“Dan apakah, para bhikkhu, ucapan benar? Menghindari ucapan salah, menghindari ucapan fitnah, menghindari ucapan kasar, menghindari gosip: ini disebut ucapan benar.

“Dan apakah, para bhikkhu, perbuatan benar? Menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari perbuatan seksual yang salah:  [7] ini disebut perbuatan benar.

“Dan apakah, para bhikkhu, penghidupan benar? Di sini seorang siswa mulia, setelah meninggalkan cara penghidupan yang salah, mencari penghidupan dengan cara penghidupan yang benar: ini disebut penghidupan benar.

“Dan apakah, para bhikkhu, usaha benar? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu memunculkan keinginan untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengarahkan pikirannya, dan berupaya. Ia memunculkan keinginan untuk meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat yang telah muncul … Ia memunculkan keinginan untuk memunculkan kondisi-kondisi bermanfaat yang belum muncul … ia memunculkan keinginan untuk mempertahankan kondisi-kondisi bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidak-mundurannya, untuk meningkatkannya, untuk memperluasnya, dan memenuhinya melalui pengembangan; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengarahkan pikirannya, dan berupaya. Ini disebut usaha benar.

“Dan apakah, para bhikkhu, perhatian benar? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani di dalam jasmani, tekun, memahami dengan jernih, setelah melenyapkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan perasaan di dalam perasaan, tekun, memahami dengan jernih, setelah melenyapkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan pikiran di dalam pikiran, tekun, memahami dengan jernih, setelah melenyapkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan fenomena di dalam fenomena, tekun, memahami dengan jernih, setelah melenyapkan ketamakan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Ini disebut perhatian benar.

“Dan apakah, para bhikkhu, konsentrasi benar? Di sini, para bhikkhu, dengan terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kebahagiaan yang timbul dari keterasingan. Dengan meredanya awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan internal dan keterpusatan pikiran, yang tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dan memiliki kegembiraan dan kebahagiaan yang timbul dari konsentrasi. Dengan meluruhnya kegembiraan, ia berdiam dalam keseimbangan dan, penuh perhatian dan pemahaman jernih, ia mengalami kebahagiaan dalam jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dalam kebahagiaan.’ Dengan meninggalkan kesenangan dan kesakitan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan dan termasuk pemurnian perhatian oleh keseimbangan. Ini disebut konsentrasi benar.”

(SN 45: 8; V 8-10)

3. PERSAHABATAN YANG BAIK

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di antara orang Sakya di mana terdapat sebuah kota Sakya bernama Nāgaraka. Kemudian Yang Mulia Ānanda menghadap Sang Bhagavā, ia bersujud kepada Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, dan berkata:

“Yang Mulia, ini adalah setengah dari kehidupan suci, yaitu, pertemanan yang baik, persahabatan yang baik, persaudaraan yang baik.”  [8]

“Tidak demikian, Ānanda! Tidak demikian, Ānanda! Ini adalah keseluruhan kehidupan suci, yaitu, pertemanan yang baik, persahabatan yang baik, persaudaraan yang baik. Ketika seorang bhikkhu memiliki seorang teman yang baik, sahabat yang baik, saudara yang baik, dapat diharapkan bahwa ia akan mengembangkan dan melatih Jalan Mulia Berunsur Delapan.

“Dan bagaimanakah, Ānanda, seorang bhikkhu yang memiliki seorang teman yang baik, sahabat yang baik, saudara yang baik, mengembangkan dan melatih Jalan Mulia Berunsur Delapan? Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu mengembangkan pandangan benar, yang berdasarkan pada keterasingan, kebebasan dari nafsu, dan lenyapnya, yang matang dalam pelepasan. Ia mengembangkan kehendak benar … ucapan benar … perbuatan benar … penghidupan benar … usaha benar … perhatian benar … konsentrasi benar, yang berdasarkan pada keterasingan, kebebasan dari nafsu, dan lenyapnya, yang matang dalam pelepasan. Demikianlah, Ānanda, bahwa seorang bhikkhu yang memiliki seorang teman yang baik, sahabat yang baik, saudara yang baik, mengembangkan dan melatih Jalan Mulia Berunsur Delapan.

“Dengan metode berikut ini juga, Ānanda, harus dipahami bagaimana keseluruhan kehidupan suci adalah pertemanan yang baik, persahabatan yang baik, persaudaraan yang baik: dengan mengandalkan aku sebagai seorang teman yang baik, Ānanda, makhluk-makhluk yang tunduk pada kelahiran akan terbebas dari kelahiran; makhluk-makhluk yang tunduk pada penuaan akan terbebas dari penuaan; makhluk-makhluk yang tunduk pada kematian akan terbebas dari kematian; makhluk-makhluk yang tunduk pada dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan akan terbebas dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Dengan metode ini, Ānanda, dapat dipahami bagaimana keseluruhan kehidupan suci adalah pertemanan yang baik, persahabatan yang baik, persaudaraan yang baik.”

(SN 45: 2; V 2-3)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VII)
« Reply #56 on: 13 December 2011, 11:29:53 PM »
4. LATIHAN BERTAHAP

1. Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu Brahmana Jāṇussoṇi sedang berkendara keluar dari Sāvatthī di siang hari dengan mengendarai kereta yang putih seluruhnya yang ditarik oleh kuda-kuda betina putih. Dari jauh ia melihat pengembara Pilotika datang dan bertanya kepadanya: “Dari manakah Guru Vacchāyana datang di siang hari ini?”  [9]

“Tuan, aku datang dari hadapan Petapa Gotama.”

“Bagaimanakah menurut Guru Vacchāyana sehubungan dengan kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama? Apakah Beliau bijaksana atau tidak?”

“Tuan, Siapakah aku yang dapat mengetahui kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama? Hanya seorang yang setara dengan Beliau yang dapat mengetahui kecemerlangan kebijaksanaan Petapa Gotama.”

“Guru Vacchāyana memuji Petapa Gotama dengan sangat tinggi.”

“Tuan, siapakah aku yang dapat memuji Petapa Gotama? Petapa Gotama dipuji oleh pujian sebagai yang terbaik di antara para dewa dan manusia.”

“Apakah alasan yang Guru Vacchāyana lihat hingga ia memiliki keyakinan demikian pada Petapa Gotama?”

3. “Tuan, misalkan seorang pemburu gajah yang cerdas memasuki hutan gajah dan melihat di dalam hutan itu jejak kaki gajah yang besar, panjang dan lebar. Ia akan berkesimpulan: ‘Sungguh, ini adalah gajah yang besar.’ Demikian pula, ketika aku melihat empat jejak kaki Petapa Gotama, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna, Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’ Apakah empat ini?

4. “Tuan, aku telah melihat di sini para mulia terpelajar tertentu yang cerdas, memiliki pengetahuan tentang ajaran-ajaran lain, secerdas para penembak pembelah rambut; mereka mengembara, sebagaimana seharusnya, meruntuhkan pandangan-pandangan lain dengan ketajaman kecerdasan mereka. Ketika mereka mendengar: ‘Petapa Gotama akan mengunjungi desa-desa atau kota itu,’ mereka menyusun pertanyaan sebagai berikut: ‘Kami akan menemui Petapa Gotama dan mengajukan pertanyaan ini kepada Beliau. Jika ia ditanya seperti ini, maka Beliau akan menjawab seperti ini, dan kemudian kami akan membantah ajaranNya dengan cara ini; dan jika ia ditanya seperti itu, maka Beliau akan menjawab seperti itu, dan kemudian kami akan membantah ajaranNya dengan cara itu.’

“Mereka mendengar: ‘Petapa Gotama telah datang mengunjungi desa atau pemukiman itu.’ Mereka pergi menemui Petapa Gotama, dan Petapa Gotama memberikan instruksi, menasihati, membangkitkan semangat, dan mendorong mereka dengan khotbah Dhamma. Setelah mereka menerima instruksi, dinasihati, dibangkitkan semangatnya, dan didorong oleh Petapa Gotama dengan khotbah Dhamma, mereka tidak jadi mengajukan pertanyaan kepada Beliau, jadi bagaimana mereka dapat membantah ajaran Beliau? Dalam kenyataannya, mereka malah menjadi siswa-siswa Beliau. Ketika aku melihat jejak kaki pertama Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna, Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’

5. “Kemudian, aku telah melihat para brahmana terpelajar tertentu yang cerdas ... Dalam kenyataannya, mereka malah menjadi siswa-siswa Beliau. Ketika aku melihat jejak kaki ke dua Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna ... ’

6. “Kemudian, aku telah melihat para perumah-tangga terpelajar tertentu yang cerdas ... Dalam kenyataannya, mereka malah menjadi siswa-siswa Beliau. Ketika aku melihat jejak kaki ke tiga Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna ... ’

7. “Kemudian, aku telah melihat para petapa terpelajar tertentu yang cerdas ... mereka tidak jadi mengajukan pertanyaan kepada Beliau, jadi bagaimana mereka dapat membantah ajaran Beliau? Dalam kenyataannya, mereka malah memohon agar Petapa Gotama mengizinkan mereka meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dan Beliau memberikan pelepasan keduniawian kepada mereka. Tidak lama setelah mereka meninggalkan keduniawian, dengan berdiam sendirian, terasing, rajin, tekun, dan teguh, dengan menembusnya untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung mereka di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan kehidupan tanpa rumah dan menjalani kehidupan rumah tangga. Mereka berkata sebagai berikut: ‘Kami hampir saja musnah, kami hampir saja binasa, karena sebelumnya kami mengaku bahwa kami adalah para petapa walaupun kami bukanlah para petapa yang sesungguhnya; kami mengaku bahwa kami adalah para brahmana walaupun kami bukanlah para brahmana yang sesungguhnya; kami mengaku bahwa kami adalah para Arahant walaupun kami bukanlah para Arahant yang sesungguhnya. Tetapi sekarang kami adalah para petapa, sekarang kami adalah para brahmana, sekarang kami adalah para Arahant.’ Ketika aku melihat jejak kaki ke empat Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna ... ’

“Ketika aku melihat empat jejak kaki Petapa Gotama ini, aku berkesimpulan: ‘Sang Bhagavā adalah seorang yang tercerahkan sempurna, Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’”

8. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Jāṇussoṇi turun dari kereta putihnya yang ditarik oleh kuda-kuda betina putih, dan merapikan jubah atasnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangannya sebagai penghormatan ke arah Sang Bhagavā dan mengucapkan seruan itu tiga kali: “Hormat kepada Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna! Hormat kepada Sang Bhagavā, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna! Mungkin suatu saat atau di saat lainnya kami dapat bertemu dengan Guru Gotama dan berbincang-bincang dengan Beliau.”

9. Kemudian Brahmana Jāṇussoṇi mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah itu berakhir, ia duduk di satu sisi dan menceritakan kepada Sang Bhagavā tentang seluruh percakapannya dengan Pengembara Pilotika. Setelah itu Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Pada titik ini, brahmana, perumpamaan jejak kaki gajah itu belum sepenuhnya selesai secara terperinci. Sehubungan dengan bagaimana menyelesaikannya secara terperinci, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.” – “Baik, Yang Mulia,” Brahmana Jāṇussoṇi menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

10. “Brahmana, misalkan seorang pemburu gajah yang cerdas memasuki hutan gajah dan melihat di dalam hutan itu jejak kaki gajah yang besar, panjang dan lebar. Ia tidak akan langsung berkesimpulan: ‘Sungguh, ini adalah gajah jantan yang besar.’ Mengapakah? Karena dalam suatu hutan gajah terdapat gajah-gajah betina kecil yang meninggalkan jejak kaki yang besar, dan ini mungkin salah satu jejaknya. Ia mengikuti jejak itu dan melihat di hutan gajah itu terdapat sebuah jejak kaki gajah besar, panjang dan lebar, dan beberapa guratan tinggi. Seorang pemburu gajah yang cerdas tidak akan langsung berkesimpulan: ‘Sungguh, ini adalah gajah jantan yang besar.’ Mengapakah? Karena dalam suatu hutan gajah terdapat gajah-gajah betina yang tinggi dan memiliki gigi yang panjang dan meninggalkan jejak-jejak yang besar, dan ini mungkin salah satu jejaknya. Ia mengikuti jejak itu lebih jauh dan melihat di hutan gajah itu terdapat sebuah jejak kaki gajah besar, panjang dan lebar, dan beberapa guratan tinggi dan tanda yang berasal dari goresan gading. Seorang pemburu gajah yang cerdas tidak akan langsung berkesimpulan: ‘Sungguh, ini adalah gajah jantan yang besar.’ Mengapakah? Karena dalam suatu hutan gajah terdapat gajah-gajah betina yang tinggi dan memiliki gading dan meninggalkan jejak-jejak yang besar, dan ini mungkin salah satu jejaknya. Ia mengikuti jejak itu lebih jauh dan melihat di hutan gajah itu terdapat sebuah jejak kaki gajah besar, panjang dan lebar, dan beberapa guratan tinggi dan tanda yang berasal dari goresan gading, dan dahan-dahan yang patah. Dan ia melihat gajah jantan itu di bawah sebatang pohon atau di tempat terbuka, berjalan, duduk, atau berbaring. Ia sampai pada kesimpulan: ‘Ini adalah gajah jantan besar itu.’

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VII)
« Reply #57 on: 13 December 2011, 11:30:25 PM »
11. “Demikian pula, Brahmana, di sini Seorang Tathāgata muncul di dunia, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal segala alam, pemimpin yang tanpa bandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi. Beliau menyatakan pada dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, dengan para deva dan manusianya, yang telah Beliau tembus oleh diriNya sendiri dengan pengetahuan langsung. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan makna ungkapan yang benar, dan Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna.

12.  “Seorang perumah-tangga atau putera perumah-tangga atau seseorang yang terlahir dalam salah satu kasta lainnya mendengar Dhamma itu. Setelah mendengar Dhamma ia memperoleh keyakinan pada Sang Tathāgata. Dengan memiliki keyakinan itu, ia merenungkan sebagai berikut: ‘Kehidupan rumah tangga ramai dan berdebu; kehidupan meninggalkan keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi hidup dalam rumah, menjalani kehidupan suci yang murni dan sempurna seperti kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Kemudian pada kesempatan lainnya, dengan meninggalkan keuntungan kecil atau besar, dengan meninggalkan lingkaran keluarga kecil atau besar, ia mencukur rambut dan janggut, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.

13. “Setelah meninggalkan keduniawian dan memiliki latihan dan gaya hidup kebhikkhuan, dengan meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, ia menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat pemukul dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelas-kasih pada semua makhluk. Dengan meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan; mengambil hanya apa yang diberikan, menerima hanya apa yang diberikan, dengan tidak mencuri ia berdiam dalam kemurnian. Dengan meninggalkan hubungan seksual, ia melaksanakan hidup selibat, hidup terpisah, menghindari praktik kasar hubungan seksual.

“Dengan meninggalkan ucapan salah, ia menghindari ucapan salah; ia mengatakan kebenaran, terikat pada kebenaran, dapat dipercaya dan dapat diandalkan, seorang yang bukan penipu dunia. Dengan menghindari ucapan fitnah, ia menghindari ucapan jahat; ia tidak mengulangi di tempat lain apa yang telah ia dengar di sini dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini, juga tidak mengulangi pada orang-orang ini apa yang telah ia dengar di tempat lain dengan tujuan untuk memecah-belah [orang-orang ini] dari orang-orang itu; demikianlah ia menjadi seorang yang merukunkan mereka yang terpecah-belah, seorang penganjur persahabatan, yang menikmati kerukunan, bergembira dalam kerukunan, senang dalam kerukunan, pengucap kata-kata yang menganjurkan kerukunan. Dengan meninggalkan ucapan kasar, ia menghindari ucapan kasar; ia mengucapkan kata-kata yang lembut, menyenangkan di telinga, dan indah, ketika masuk dalam batin, sopan, disukai banyak orang dan menyenangkan banyak orang. Dengan meninggalkan gosip, ia menghindari gosip; ia berbicara pada saat yang tepat, mengatakan apa yang sebenarnya, mengatakan apa yang baik, membicarakan Dhamma dan Disiplin; pada saat yang tepat ia mengucapkan kata-kata yang layak dicatat, yang logis, selayaknya, dan bermanfaat.

“Ia menghindari merusak benih dan tanaman. Ia berlatih makan hanya dalam satu bagian siang hari, menghindari makan di malam hari dan di luar waktu yang selayaknya.  [10] Ia menghindari menari, menyanyi, musik, dan pertunjukan hiburan. Ia menghindari mengenakan kalung bunga, mengharumkan dirinya dengan wewangian, dan menghias dirinya dengan salep. Ia menghindari dipan yang tinggi dan besar. Ia menghindari menerima emas dan perak. Ia menghindari menerima beras mentah. Ia menghindari menerima daging mentah. Ia menghindari menerima perempuan-perempuan dan gadis-gadis. Ia menghindari menerima budak laki-laki dan perempuan. Ia menghindari menerima kambing dan domba. Ia menghindari menerima unggas dan babi. Ia menghindari menerima gajah, sapi, kuda jantan, dan kuda betina. Ia menghindari menerima ladang dan tanah. Ia menghindari menjadi pesuruh dan penyampai pesan. Ia menghindari membeli dan menjual. Ia menghindari timbangan salah, logam palsu, dan ukuran salah. Ia menghindari kecurangan, penipuan, penggelapan, dan muslihat. Ia menghindari melukai, membunuh, mengikat, merampok, menjarah, dan kekerasan.

14. “Ia menjadi puas dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan dengan dana makanan untuk memelihara perutnya, dan ke manapun ia pergi, ia pergi dengan hanya membawa benda-benda ini. Bagaikan seekor burung, ke manapun ia pergi, ia terbang hanya dengan sayapnya sebagai beban satu-satunya, demikian pula bhikkhu itu menjadi puas dengan jubah untuk melindungi tubuhnya dan dengan dana makanan untuk memelihara perutnya, dan ke manapun ia pergi, ia pergi dengan hanya membawa benda-benda ini. Dengan memiliki kelompok moralitas mulia ini, ia mengalami dalam dirinya suatu kebahagiaan yang tanpa cela.

15. “Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, ia tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya.  [11] Karena, jika ia membiarkan indria mata tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menguasainya, ia melatih cara pengendaliannya, ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Ketika mendengar suatu suara dengan telinga ... Ketika mencium suatu bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah ... Ketika menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali suatu objek-pikiran dengan pikiran, ia tidak menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menguasainya, ia melatih cara pengendaliannya, ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Dengan memiliki pengendalian mulia akan indria-indria ini, ia mengalami dalam dirinya suatu kebahagiaan yang tanpa noda.

16. “Ia menjadi seorang yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan maju maupun mundur; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika melihat ke depan maupun ke belakang; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika menunduk maupun menegakkan badan; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika mengenakan jubahnya dan membawa jubah luar dan mangkuknya; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika makan, minum, mengunyah makanan, dan mengecap; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika buang air besar maupun buang air kecil; yang bertindak dalam kewaspadaan penuh ketika berjalan, berdiri, duduk, jatuh tertidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri.

17. “Dengan memiliki kelompok moralitas mulia ini, dan pengendalian mulia atas indria-indria ini, dan memiliki perhatian mulia dan kewaspadaan mulia ini, ia mencari tempat tinggal yang terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, hutan belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami.

18.  “Ketika kembali dari menerima dana makanan, setelah makan ia duduk bersila, menegakkan badannya, dan menegakkan perhatian di depannya. Dengan meninggalkan ketamakan akan dunia, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari ketamakan; ia memurnikan pikirannya dari ketamakan.  [12] Dengan meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari niat buruk, berbelas-kasih bagi kesejahteraan semua makhluk hidup; ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Dengan meninggalkan kelambanan dan ketumpulan, ia berdiam dengan terbebas dari kelambanan dan ketumpulan, seorang yang melihat cahaya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan; ia memurnikan pikirannya dari kelambanan dan ketumpulan. Dengan meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam dengan tanpa kegelisahan dengan batin yang damai; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. Dengan meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam setelah melampaui keragu-raguan, tanpa kebingungan akan kondisi-kondisi bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

19. “Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, ketidak-murnian pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari keterasingan. Ini, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang digoreskan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata, tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’  [13]

20. “Kemudian, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari konsentrasi. Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia  belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ... ’

21. “Kemudian, dengan meluruhnya kegembiraan, ia berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ... ’

22. “Kemudian, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang tanpa kesakitan juga tanpa kenikmatan dan memiliki kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ... ’

23. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penyusutan-dunia, banyak kappa pengembangan-dunia, banyak kappa penyusutan-dan-pengembangan-dunia: ‘Di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan seperti itu, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di tempat lain; dan di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan seperti itu, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di sini.’ Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampaunya. Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ... ’

24. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk. Dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. Ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka: ‘Makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, pencela para mulia, menganut pandangan salah, melakukan perbuatan yang berdasarkan pada pandangan salah, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam sengsara, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini, yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, bukan pencela para mulia, yang menganut pandangan benar, dan melakukan perbuatan yang berdasarkan pada pandangan benar, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam yang baik, di alam surga.’ Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata ... tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna ... ’

25. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan. Ini adalah asal-mula penderitaan. Ini adalah lenyapnya penderitaan. Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda. Ini adalah asal-mula noda-noda. Ini adalah lenyapnya noda-noda. Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

“Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang digoreskan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata, tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’ Tetapi, ia masih dalam proses menuju pada kesimpulan ini.  [14]

26. “Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, batinnya terbebas dari noda keinginan indria, bebas dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

“Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang digoreskan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata. Pada titik ini seorang siswa mulia telah sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’  [15] Dan pada titik ini, Brahmana, perumpamaan jejak kaki gajah itu selesai secara terperinci.

27. Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Jāṇussoṇi berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan pada mereka yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama menerimaku sebagai seorang pengikut awam yang telah menerima perlindungan dari Beliau seumur hidupku.”

(MN 27: Cūḷahatthipadopama Sutta; I 175-84)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VII)
« Reply #58 on: 13 December 2011, 11:30:54 PM »
5. TINGKATAN LATIHAN YANG LEBIH TINGGI DENGAN PERUMPAMAAN

12. “Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu mendatangi tempat tinggal terpencil: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, hutan belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami.

13. “Ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan ia duduk bersila, menegakkan badan dan menegakkan perhatian di depannya. Dengan meninggalkan ketamakan akan dunia ... [seperti pada teks sebelumnya, §18] ... ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

14. “Para bhikkhu, misalkan seseorang meminjam uang dan menjalankan usaha dan usahanya itu berhasil sehingga ia mampu mengembalikan uang pinjamannya sebelumnya dan masih tersisa cukup untuk menghidupi seorang istri; maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan gembira. Atau misalkan seseorang yang sedang sakit, menderita, sakit keras, dan makanannya tidak cocok baginya dan tubuhnya tidak memiliki kekuatan, tetapi kemudian ia sembuh dari penyakitnya dan makanannya cocok baginya dan tubuhnya memperoleh kembali kekuatannya; maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan gembira. Atau misalkan seseorang yang terkurung dalam penjara, tetapi kemudian ia dibebaskan, selamat dan aman, tanpa kehilangan hartanya; maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan gembira. Atau misalkan seseorang adalah budak, tidak bergantung pada diri sendiri melainkan bergantung pada orang lain, tidak dapat pergi ke manapun yang ia inginkan, tetapi kemudian ia dibebaskan dari perbudakan, bergantung pada diri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, seorang bebas yang dapat pergi ke manapun yang ia inginkan; maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan gembira. Atau misalkan seseorang yang membawa harta kekayaannya berjalan di jalan yang melintasi gurun pasir, tetapi kemudian ia berhasil menyeberangi gurun pasir itu, selamat dan aman, tanpa kehilangan harta kekayaannya; maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan gembira. Demikian pula, para bhikkhu, ketika kelima rintangan ini belum ditinggalkan dalam dirinya, seorang bhikkhu melihatnya berturut-turut sebagai pinjaman, penyakit, penjara, perbudakan, dan jalan yang melintasi gurun pasir. Tetapi ketika kelima rintangan ini telah ditinggalkan dalam dirinya, ia melihat hal itu sebagai kebebasan dari pinjaman, kepulihan dari penyakit, kebebasan dari penjara, kebebasan dari perbudakan, dan tanah keselamatan.

15. “Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, ketidak-sempurnaan batin yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari keterasingan. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu. Bagaikan seorang petugas pemandian atau murid petugas pemandian menumpuk bubuk mandi dalam baskom logam dan, secara perlahan memerciknya dengan air, meremasnya hingga kelembaban membasahi bola bubuk mandi tersebut, membasahinya, dan meliputinya di dalam dan di luar, namun bola itu sendiri tidak meneteskan air; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu.

16. “Kemudian, para bhikkhu, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari konsentrasi. Ia membuat kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari konsentrasi itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Bagaikan sebuah danau yang airnya berasal dari mata air di dasarnya dan tidak ada aliran masuk dari timur, barat, utara, atau selatan, dan tidak ditambah dari waktu ke waktu dengan curahan hujan, kemudian mata air sejuk memenuhi danau itu dan membuat air sejuk itu membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi seluruh danau itu, sehingga tidak ada bagian danau itu yang tidak terliputi oleh air sejuk itu; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi.

17. “Kemudian, para bhikkhu, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kebahagiaan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Ia membuat kebahagiaan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu. Bagaikan, dalam sebuah kolam teratai biru atau merah atau putih, beberapa teratai tumbuh dan berkembang dalam air tanpa keluar dari air, dan air sejuk membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi teratai-teratai itu dari pucuk hingga ke akarnya, sehingga tidak ada bagian dari teratai-teratai itu yang tidak terliputi oleh air sejuk; demikian pula, seorang bhikkhu, membuat kebahagiaan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, mengisi, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu.

18. “Kemudian, para bhikkhu, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ia duduk dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah. Bagaikan seorang yang duduk dan ditutupi dengan kain putih dari kepala ke bawah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak tertutupi oleh kain putih itu; demikian pula, seorang bhikkhu duduk dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah itu.

19. “Ketika konsentrasi pikirannya sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan pada pengetahuan perenungan kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … [Seperti teks sebelumnya, §23] … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Bagaikan seseorang yang pergi dari desa tempat tinggalnya ke desa lain dan kemudian kembali lagi ke desanya, ia berpikir: ‘Aku pergi dari desaku ke desa itu, dan di sana aku berdiri demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri demikian; dan dari desa itu aku pergi ke desa lain, dan di sana aku berdiri demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri demikian; dan dari desa itu aku kembali lagi ke desaku.’ Demikian pula, seorang bhikkhu mengingat banyak kehidupan lampau … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau.

20. “Ketika konsentrasi pikirannya sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … [Seperti teks sebelumnya, §24] …  Demikianlah dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. Ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Bagaikan terdapat dua rumah dengan pintu-pintu dan seseorang yang berpenglihatan baik berdiri di antara kedua rumah itu melihat orang-orang memasuki dan keluar dari rumah itu silih berganti, demikian pula, dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, seorang bhikkhu melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali … dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka.

21. “Ketika konsentrasi pikirannya sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’ … [Seperti teks sebelumnya, §25-26] Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan spiritual telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

“Bagaikan terdapat sebuah danau pada sebuah ceruk di gunung, bersih, jernih, dan tidak terganggu, sehingga seseorang dengan penglihatan yang baik yang berdiri di tepinya dapat melihat kerang, kerikil, dan koral, dan juga kawanan ikan yang berenang ke sana kemari dan beristirahat, ia berpikir: ‘Danau ini bersih, jernih, dan tidak terganggu, dan terdapat kerang, kerikil, dan koral ini, dan juga kawanan ikan yang berenang ke sana kemari dan beristirahat.’ Demikian pula, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan.’ ... Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’”

(dari MN 39: Mahā Assapura Sutta; I 274-80)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB VII)
« Reply #59 on: 13 December 2011, 11:31:34 PM »
Catatan BAB VII


  [1] Di antara sepuluh pandangan ini, pandangan-pandangan yang menyimpan gagasan tentang dunia (loka) juga secara implisit menyimpan gagasan tentang diri (atta). Dengan demikian pasangan pertama ini adalah lawan dari eternalisme dan nihilisme. Pandangan bahwa jiwa adalah sama dengan badan adalah materialisme, salah satu jenis dari nihilisme, pandangan bahwa jiwa dan badan adalah berbeda adalah pandangan eternalisme. Pandangan bahwa Sang Tathāgata – seorang yang terbebaskan - ada setelah kematian adalah eternalisme; pandangan bahwa Beliau tidak ada setelah kematian adalah nihilisme. Pandangan bahwa Beliau ada dan sekaligus tidak ada setelah kematian adalah doktrin sinkretis yang menggabungkan ciri-ciri dari eternalisme dan nihilisme; pandangan bahwa Beliau bukan ada juga bukan tidak ada adalah pandangan skeptis atau agnostik yang menyangkal bahwa kita dapat mengetahui kondisiNya setelah kematian. Semua pandangan ini, dari perspektif Buddhis, menyiratkan bahwa Sang Tathāgata pada saat itu ada sebagai suatu diri.. demikianlah pandangan-pandangan itu dimulai dengan pemikiran-pemikiran keliru dan hanya berbeda sejauh pandangan itu menempatkan takdir diri dalam cara-cara berbeda.

  [2] Mereka yang selalu bertanya-tanya tentang nasib bhikkhu yang nyaris meninggalkan Sang Buddha demi memuaskan keingin-tahuan metafisikanya akan merasa gembira setelah mengetahui bahwa dalam usia tuanya, Mālunkyāputta menerima khotbah singkat tentang enam landasan indria dari Sang Buddha, pergi memasuki keterasingan meditasi, dan mencapai Kearahattaan. Baca SN 35:95

  [3] Devadatta adalah saudara sepupu Sang Buddha yang penuh ambisi, yang berusaha untuk membunuh Sang Buddha dan merebut kekuasaan atas Saṅgha. Ketika usaha-usaha ini gagal, ia berpisah dari Sang Buddha dan mencoba untuk membentuk sektenya sendiri dengan dirinya sebagai pemimpin. Baca Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, pp. 266-69.

  [4] “Pengetahuan dan penglihatan” (ñāṇadassana) di sini merujuk pada mata dewa (MA), kemampuan melihat bentuk-bentuk yang halus yang tidak terlihat oleh penglihatan normal.

  [5] Terjemahan ini mengikuti Be dan Ce, yang menuliskan asamayavimokkhaṁ dalam kalimat sebelumnya dan asamayavimuttiyā dalam kalimat ini. Ee tampaknya keliru dalam membaca samaya dalam dua kata majemuk dan ṭhānaṁ sebagai pengganti aṭṭhānaṁ.  Ps mengutip Paṭisambhidāmagga untuk definisi asamayavimokkha (secara literal, kebebasan bukan-sementara atau “terus-menerus”) sebagai empat jalan, empat buah, dan Nibbāna, dan samayavomikkha (kebebasan sementara) sebagai empat jhāna dan empat pencapaian tanpa bentuk. Baca juga MN 122.4.

  [6] Ps mengatakan bahwa “kebebasan batin  yang tidak tergoyahkan” adalah buah Kearahatan (MA). Demikianlah “kebebasan terus-menerus” – sebagai termasuk empat jalan dan buah – memiliki jangkauan makna yang lebih luas daripada “kebebasan batin  yang tidak tergoyahkan,” yang dinyatakan sebagai tujuan kehidupan suci.

  [7] Rāgavirāgatthaṃ. Ini juga telah diterjemahkan dengan agak janggal, “untuk kebebasan dari nafsu.”

  [8] Spk: Ketika ia sedang berada dalam keterasingan, Ānanda berpikir, “Praktik pertapaan akan berhasil bagi mereka yang mengandalkan teman-teman baik dan mengandalkan usahanya sendiri, jadi setengahnya bergantung pada teman-teman baik dan setengahnya bergantung pada usahanya sendiri.”

  [9] Vacchāyana adalah nama suku Pilotika.

  [10] Baca p.436 (bab V n.19)

  [11] Gambaran (nimitta) adalah kualitas-kualitas menonjol dari objek yang, jika digenggam tanpa perhatian penuh dapat memicu pikiran-pikiran kotor; ciri-ciri (anubyañjana) adalah detil-detil yang menarik perhatian seseorang jika ia tidak mengendalikan indria-indria. “Ketamakan dan kesedihan” (abhijjhā-domanassa) menyiratkan reaksi berlawanan dari nafsu dan kebencian, ketertarikan dan kejijikan, terhadap objek-objek indria.

  [12] Di sini, ketamakan (abhijjhā) adalah bersinonim dengan keinginan indria (kāmacchanda), yang pertama dari lima rintangan. Keseluruhan paragraf membahas tentang bagaimana mengatasi kelima rintangan.

  [13] Ia belum sampai pada kesimpulan demikian, karena jhāna-jhāna, serta dua pengetahuan lebih tinggi berikutnya, bukan hanya terdapat dalam ajaran Buddha.

  [14]Menurut Ps, hal ini menunjukkan munculnya sang jalan adi-duniawi. Karena pada titik ini siswa mulia itu masih belum menyelesaikan tugasnya, ia belum sampai pada kesimpulan (na tveva niṭṭhaṁ gato hoti) sehubungan dengan Tiga Permata; sebaliknya, ia berada dalam proses sampai pada kesimpulan (niṭṭhaṁ gacchati). Sutta ini menggunakan permainan kata pada makna dari ungkapan “sampai pada kesimpulan” yang sama wajarnya dalam Pāli seperti dalam Bahasa Inggris.

  [15] Ps: Ini menunjukkan kejadian ketika siswa telah mencapai buah Kearahattaan, dan setelah menyelesaikan semua tugasnya, telah sampai pada kesimpulan sehubungan dengan Tiga Permata.