//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: BUKAN TIPITAKA TEMATIK  (Read 28565 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB II)
« Reply #15 on: 07 October 2011, 09:17:23 PM »
(2) Pencapaian Tiga Pengetahun Sejati

11. [Saccaka bertanya kepada Sang Bhagavā:]  [15] “Tidak pernahkah muncul pada Guru Gotama suatu perasaan yang begitu menyenangkan sehingga dapat menyerbu batin Beliau dan menetap di sana? Tidak pernahkah muncul pada Guru Gotama suatu perasaan yang begitu menyakitkan sehingga dapat menyerbu batin Beliau dan menetap di sana?“

12. “Mengapa tidak, Aggivessana? Di sini, Aggivessana, sebelum pencerahanKu, ketika Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang tidak tercerahkan, Aku berpikir: ‘Kehidupan rumah tangga ramai dan berdebu; kehidupan meninggalkan keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi menjalani kehidupan rumah tangga, juga menjalankan kehidupan suci yang sempurna dan murni bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika Aku mencukur rambut dan janggutKu, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’

13-16. “Kemudian, selagi masih muda, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam tahap utama kehidupan ... [seperti pada Teks II, 3(1) §§14-17] ... Dan Aku duduk di sana berpikir: ‘Ini akan membantu usaha.’

17. “Sekarang ketiga perumpamaan ini muncul padaKu secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya. Misalkan terdapat sebatang kayu basah terletak di dalam air, dan seseorang datang dengan sebatang kayu-api, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.’ Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkan kayu api dengan kayu basah yang terletak di dalam air?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapa tidak? Karena kayu itu adalah kayu basah, dan terletak di dalam air. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

“Demikian pula, Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang masih belum hidup dengan jasmani dan batin yang terasing dari kenikmatan indria, dan yang keinginan indrianya, cintanya, ketergila-gilaannya, dahaganya, dan demamnya akan kenikmatan indria belum sepenuhnya ditinggalkan dan ditekan secara internal, bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi; dan bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu tidak merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi. Ini adalah perumpamaan pertama yang muncul padaku secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya.

18. “Kemudian, Aggivessana, perumpamaan ke dua muncul padaKu secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya. Misalkan terdapat sebatang kayu basah terletak di atas tanah kering yang jauh dari air, dan seseorang datang dengan sebatang kayu-api, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.’ Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkan kayu api dengan kayu basah yang terletak di atas tanah kering yang jauh dari air?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapa tidak? Karena kayu itu adalah kayu basah, bahkan walaupun kayu itu terletak di atas tanah kering yang jauh dari air. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

“Demikian pula, Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang hidup dengan jasmani yang terasing dari kenikmatan indria, tetapi keinginan indrianya, cintanya, ketergila-gilaannya, dahaganya, dan demamnya akan kenikmatan indria belum sepenuhnya ditinggalkan dan ditekan secara internal, bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi; dan bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu tidak merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi. Ini adalah perumpamaan ke dua yang muncul padaku secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya.

19. “Kemudian, Aggivessana, perumpamaan ke tiga muncul padaKu secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya. Misalkan terdapat sebatang kayu kering terletak di atas tanah kering yang jauh dari air, dan seseorang datang dengan sebatang kayu-api, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas.’ Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkan kayu api dengan kayu kering yang terletak di atas tanah kering yang jauh dari air?”

“Dapat, Guru Gotama. Mengapa? Karena kayu itu adalah kayu kering, dan kayu itu terletak di atas tanah kering yang jauh dari air.”

“Demikian pula, Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang hidup dengan jasmani yang terasing dari kenikmatan indria, dan yang keinginan indrianya, cintanya, ketergila-gilaannya, dahaganya, dan demamnya akan kenikmatan indria telah sepenuhnya ditinggalkan dan ditekan secara internal, bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi; dan bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu tidak merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi.  [16] Ini adalah perumpamaan ke tiga yang muncul padaku secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya. Ini adalah tiga perumpamaan yang muncul padaku secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya.

20. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika, dengan menggertakkan gigiku dan menekan lidahku ke langit-langit mulutku, aku menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran.’ Maka dengan gigiku digertakkan dan lidahku menekan langit-langit mulut, aku menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran. Sewaktu aku melakukan demikian, keringat menetes dari ketiakKu. Bagaikan seorang kuat mampu mencengkeram seorang yang lebih lemah pada kepala atau bahunya dan menekannya, mendesaknya, dan menggilasnya, demikian pula, gigiku terkatup dan lidahku menekan langit-langit mulut, aku menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran, dan keringat menetes dari ketiakKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu batinKu dan tidak menetap di sana.  [17]

21. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut dan hidungKu. Sewaktu Aku melakukan demikian, terdengar suara angin yang keras menerobos keluar dari lubang telingaKu. Bagaikan suara keras yang terdengar ketika pipa pengembus pandai besi ditiup, demikian pula, sewaktu aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut dan hidungKu, terdengar suara angin yang keras menerobos keluar dari lubang telingaKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu batinKu dan tidak menetap di sana.

22. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas lebih jauh lagi.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku. Ketika Aku melakukan demikian, angin kencang menembus kepalaKu. Seolah-olah seorang kuat menusuk kepalaKu dengan pedang tajam, demikian pula, sewaktu Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku. Angin kencang menembus kepalaKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu batinKu dan tidak menetap di sana.

23. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas lebih jauh lagi.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku. Ketika Aku melakukan demikian, Aku merasakan kesakitan luar biasa di kepalaKu. Seolah-olah seorang kuat mengencangkan tali kulit di kepalaku sebagai ikat kepala, demikian pula, ketika Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku, Aku merasakan kesakitan luar biasa di kepalaKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu batinKu dan tidak menetap di sana.

24. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas lebih jauh lagi.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku. Ketika Aku melakukan demikian, angin kencang menerobos keluar melalui perutKu. Bagaikan seorang tukang daging yang terampil atau muridnya membelah perut seekor sapi dengan pisau daging yang tajam, demikian pula, sewaktu Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku, angin kencang menerobos keluar melalui perutKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu batinKu dan tidak menetap di sana.

25. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernafas lebih jauh lagi.’ Maka Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku. Ketika Aku melakukan demikian, Aku merasakan kebakaran hebat di seluruh tubuhKu. Bagaikan dua orang kuat mencengkeram seseorang yang lebih lemah pada kedua lengannya dan memanggangnya di atas lubang arang membara, demikian pula, sewaktu Aku menghentikan nafas masuk dan nafas keluar melalui mulut, hidung, dan telingaku, Aku merasakan kebakaran hebat di seluruh tubuhKu. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diriKu dan perhatian yang tidak mengendur telah kokoh, tubuhku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul padaKu tidak menyerbu batinKu dan tidak menetap di sana.

26. “Ketika para dewa melihatKu, beberapa berkata: ‘Petapa Gotama telah mati.’ Beberapa dewa lain berkata: ‘Petapa Gotama tidak mati, Beliau sekarat.’ Dan para dewa lainnya lagi berkata: ‘Petapa Gotama tidak mati ataupun sekarat; Beliau adalah seorang Arahant, karena demikianlah cara para Arahant berdiam.’

27. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika aku berlatih sepenuhnya tidak makan.’ Kemudian para dewa mendatangiKu dan berkata: ‘Tuan, jangan berlatih sepenuhnya tidak makan. Jika Engkau melakukan hal itu, kami akan memasukkan makanan surgawi ke dalam pori-pori kulitMu dan Engkau akan hidup dengan itu.’ Aku mempertimbangkan: ‘Jika Aku mengaku sepenuhnya tidak makan sementara para dewa ini memasukkan makan-makanan surgawi ke dalam pori-pori kulitku dan Aku akan hidup dengan itu, maka artinya Aku berbohong.’ Maka aku mengusir para dewa itu, dan berkata: ‘Tidak perlu.’

28. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku memakan sangat sedikit makanan, segenggam setiap kalinya, apakah sop buncis atau sop kacang tanah atau sop kacang hijau atau sop kacang polong.’ Maka Aku memakan sangat sedikit makanan, segenggam setiap kalinya, apakah sop buncis atau sop kacang tanah atau sop kacang hijau atau sop kacang polong. Sewaktu Aku melakukan demikian, tubuhKu menjadi sangat kurus. Karena makan begitu sedikit anggota-anggota tubuhku menjadi seperti tanaman merambat atau batang bambu. Karena makan begitu sedikit punggungku menjadi seperti kuku unta. Karena makan begitu sedikit tonjolan tulang punggungku menonjol bagaikan untaian tasbih. Karena makan begitu sedikit tulang rusukKu menonjol karena kurus seperti kasau dari sebuah lumbung tanpa atap. Karena makan begitu sedikit bola mataKu masuk jauh ke dalam lubang mata, terlihat seperti kilauan air yang jauh di dalam sumur yang dalam. Karena makan begitu sedikit kulit kepalaKu mengerut dan layu bagaikan buah labu pahit yang mengerut dan layu oleh angin dan matahari. Karena makan begitu sedikit kulit perutku menempel pada tulang punggungKu; sedemikian sehingga jika Aku menyentuh kulit perutKu maka akan tersentuh tulang punggungKu, dan jika Aku menyentuh tulang punggungKu maka akan tersentuh kulit perutKu. Karena makan begitu sedikit, jika Aku buang air besar atau air kecil, Aku terjatuh dengan wajahku di sana. Karena makan begitu sedikit, jika Aku mencoba menyamankan diriKu dengan memijat badanKu dengan tanganKu, maka bulunya, tercabut pada akarnya, berguguran dari badanKu ketika Aku menggosoknya.

29. “Saat itu ketika orang-orang melihatKu, beberapa berkata: ‘Petapa Gotama hitam.’ Orang lain berkata: ‘Petapa Gotama tidak hitam, Beliau cokelat.’ Orang lain lagi berkata: ‘Petapa Gotama bukan hitam juga bukan cokelat, Beliau berkulit keemasan.’ KulitKu yang bersih dan cerah menjadi sangat kusam karena makan sangat sedikit.

30. “Aku berpikir: ‘Para petapa atau brahmana manapun di masa lampau yang telah mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha ini, ini adalah yang terjauh, tidak ada yang melampaui ini. Dan para petapa atau brahmana manapun di masa depan yang akan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha ini, ini adalah yang terjauh, tidak ada yang melampaui ini. Dan para petapa atau brahmana manapun di masa sekarang yang mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk Karena usaha ini, ini adalah yang terjauh, tidak ada yang melampaui ini. Tetapi melalui latihan keras yang menyiksa ini Aku tidak mencapai kondisi apa pun yang melampaui manusia, keluhuran apapun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Apakah ada jalan lain menuju pencerahan?’



Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB II)
« Reply #16 on: 07 October 2011, 09:18:24 PM »
31. “Aku mempertimbangkan: ‘Aku ingat ketika ayahKu orang Sakya yang berkuasa, sewaktu Aku sedang duduk di keteduhan pohon jambu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.  [18] Mungkinkah itu adalah jalan menuju pencerahan?’ kemudian, dengan mengikuti ingatan itu, muncullah pengetahuan: ‘Itu adalah jalan menuju pencerahan.’

32. “Aku berpikir: ‘Mengapa Aku takut pada kenikmatan itu yang tidak berhubungan dengan kenikmatan indria dan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu?’ Aku berpikir: ‘Aku tidak takut pada kenikmatan itu karena tidak berhubungan dengan kenikmatan indria dan kondisi-kondisi tidak bermanfaat.’

33. “Aku mempertimbangkan: ‘Tidaklah mudah untuk mencapai kenikmatan demikian dengan badan yang sangat kurus. Bagaimana jika Aku memakan sedikit makanan padat – sedikit nasi dan bubur.’ Dan Aku memakan sedikit makanan padat – sedikit nasi dan bubur. Pada saat itu lima bhikkhu melayaniku, dengan berpikir: ‘Jika Petapa Gotama kita mencapai kondisi yang lebih tinggi, Beliau akan memberitahu kita.’ Tetapi ketika Aku memakan nasi dan bubur, kelima bhikkhu itu menjadi jijik dan meninggalkan Aku, dengan berpikir: ‘Petapa Gotama sekarang hidup dalam kemewahan; ia telah meninggalkan usahaNya dan kembali kepada kemewahan.’

34. “Ketika Aku telah memakan sedikit makanan padat dan memperoleh kembali kekuatanKu, maka dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu batinku dan tidak menetap di sana.  [19]

35. “Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan internal dan keterpusatan pikiran, tanpa awal pikiran dan tanpa kelangsungan pikiran, dan memiliki kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari konsentrasi. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu batinku dan tidak menetap di sana.

36. “Dengan memudarnya kegembiraan, Aku berdiam dalam keseimbangan dan penuh perhatian dan pemahaman jernih, Aku mengalami kebahagiaan dalam jasmani; Aku memasuki dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dinyatakan oleh para mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu batinku dan tidak menetap di sana.

37. “Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan ketidak-senangan, Aku memasuki dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang tidak menyakitkan juga tidak menyenangkan dan termasuk pemurnian perhatian oleh keseimbangan. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu batinku dan tidak menetap di sana.

38. “Ketika pikiranKu sedemikian terkonsentrasi, murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan perenungan kehidupan lampau. Aku mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penyusutan-dunia, banyak kappa pengembangan-dunia, banyak kappa penyusutan-dan-pengembangan-dunia: ‘Di sana aku bernama ini, dari suku itu, dengan penampilan seperti ini, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti ini, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di tempat lain; dan di sana aku bernama ini, dari suku itu, dengan penampilan seperti ini, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti ini, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di sini.’ Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya Aku mengingat banyak kehidupan lampau.

39. “Ini adalah pengetahuan sejati pertama yang dicapai olehKu pada jaga pertama malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan teguh. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu batinku dan tidak menetap di sana.

40. “Ketika pikiranKu sedemikian terkonsentrasi murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk. Dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka: ‘Makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, pencela para mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan perbuatan buruk yang berdasarkan pada pandangan salah, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam sengsara, di alam yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini, yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, bukan pencela para mulia, berpandangan benar, dan melakukan perbuatan yang berdasarkan pada pandangan benar, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam yang baik, di alam surga.’ Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka.

41. “Ini adalah pengetahuan sejati ke dua yang dicapai olehKu pada jaga ke dua malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan teguh. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu batinku dan tidak menetap di sana.

42. “Ketika pikiranKu sedemikian terkonsentrasi, murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan. Ini adalah asal-mula penderitaan. Ini adalah lenyapnya penderitaan. Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda. Ini adalah asal-mula noda-noda. Ini adalah lenyapnya noda-noda. Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

43. “Ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, batinKu terbebas dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘terbebaskan.’ Aku secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

44. “Ini adalah pengetahuan sejati ke tiga yang dicapai olehKu pada jaga terakhir malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan teguh. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul padaKu itu tidak menyerbu batinku dan tidak menetap di sana.”

(dari MN 36: Mahāsaccaka Sutta; I 240-49)


(3) Kota Tua

“Para bhikkhu, sebelum pencerahanKu, ketika Aku masih seorang Bodhisatta, belum tercerahkan sempurna, aku berpikir: ‘Aduh, dunia ini telah jatuh dalam masalah, dalam hal yang dilahirkan, menjadi tua, dan mati, meninggal dunia dan terlahir kembali, namun masih belum memahami jalan membebaskan diri dari penderitaan yang dipimpin oleh penuaan-dan-kematian. Kapankah suatu jalan pembebasan terlihat dari penderitaan yang dipimpin oleh penuaan-dan-kematian ini?’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika ada apakah maka penuaan-dan-kematian terjadi? Oleh apakah penuaan-dan-kematian dikondisikan?’ kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriku suatu penembusan oleh kebijaksanaan: ‘Ketika ada kelahiran, maka penuaan-dan-kematian muncul; penuaan-dan-kematian memiliki kelahiran sebagai kondisinya.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika ada apakah maka kelahiran terjadi? … penjelmaan? … kemelekatan? … nafsu? … perasaan? … kontak? … enam landasan indria? … nama-dan-bentuk? Oleh apakah nama-dan-bentuk dikondisikan?’ kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriku suatu penembusan oleh kebijaksanaan: ‘Ketika ada kesadaran, maka nama-dan-bentuk muncul; nama-dan-bentuk memiliki kesadaran sebagai kondisinya.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika ada apakah maka kesadaran muncul? Oleh apakah kesadaran dikondisikan?’ kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriku suatu penembusan oleh kebijaksanaan:  ‘Ketika ada nama-dan-bentuk, maka kesadaran muncul; kesadaran memiliki nama-dan-bentuk sebagai kondisinya.’  [20]

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Kesadaran ini berbalik; tidak pergi lebih jauh dari nama-dan-bentuk. Sampai sejauh inilah seseorang dilahirkan dan menua dan mati, meninggal dunia dan terlahir kembali, yaitu, ketika ada kesadaran dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisinya, dan nama-dan-bentuk dengan kesadaran sebagai kondisinya.  [21] Dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, enam landasan indria; dengan enam landasan indria sebagai kondisi, kontak … Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’

“‘Asal-mula, asal-mula’ – demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan segala sesuatu yang belum pernah terdengar sebelumya muncullah dalam diriku, penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika tidak ada apakah maka penuaan-dan-kematian tidak terjadi? Dengan lenyapnya apakah maka lenyapnya penuaan-dan-kematian terjadi?’ kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriku suatu penembusan oleh kebijaksanaan:  ‘Ketika tidak ada kelahiran, maka penuaan-dan-kematian tidak terjadi; dengan lenyapnya kelahiran maka lenyap pula penuaan-dan-kematian.’

“Aku berpikir: ‘Ketika tidak ada apakah maka kelahiran tidak terjadi? … penjelmaan? … kemelekatan? … nafsu? … perasaan? … kontak? … enam landasan indria? … nama-dan-bentuk? Dengan lenyapnya apakah maka lenyapnya nama-dan-bentuk terjadi?’ kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriku suatu penembusan oleh kebijaksanaan: ‘Ketika tidak ada kesadaran, maka nama-dan-bentuk tidak muncul; dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula nama-dan-bentuk.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Ketika tidak ada apakah maka kesadaran tidak muncul? Dengan lenyapnya apakah maka lenyapnya kesadaran terjadi?’ kemudian, para bhikkhu, melalui perhatian seksama, terjadi dalam diriku suatu penembusan oleh kebijaksanaan: ‘Ketika tidak ada nama-dan-bentuk, maka kesadaran tidak muncul; dengan lenyapnya nama-dan-bentuk maka lenyap pula kesadaran.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku berpikir: ‘Aku telah menemukan jalan menuju pencerahan ini, yaitu, dengan lenyapnya nama-dan-bentuk maka lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran maka lenyap pula nama-dan-bentuk; dengan lenyapnya nama-dan-bentuk, lenyap pula enam landasan indria; dengan lenyapnya enam landasan indria, lenyap pula kontak … Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.’  [22]

“‘Lenyapnya, lenyapnya’ – demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan segala sesuatu yang belum pernah terdengar sebelumya muncullah dalam diri Ku, penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.

“Misalnya, para bhikkhu, seseorang mengembara menembus hutan melihat jalan setapak tua, jalan tua yang dilalui oleh orang-orang di masa lalu. Ia mengikuti jalan itu dan melihat sebuah kota tua, sebuah ibukota tua yang pernah dihuni oleh orang-orang di masa lalu, dengan taman-taman, hutan-hutan, kolam-kolam, dan benteng, sebuah tempat yang indah. Kemudian orang itu memberitahukan kepada raja atau menteri kerajaan: ‘Baginda, sewaktu aku mengembara menembus hutan aku melihat sebuah jalan setapak tua, jalan tua yang dilalui oleh orang-orang di masa lalu. Aku mengikuti jalan itu dan melihat sebuah kota tua, sebuah ibukota tua yang pernah dihuni oleh orang-orang di masa lalu, dengan taman-taman, hutan-hutan, kolam-kolam, dan benteng, sebuah tempat yang indah. Perbaruilah kota itu, Baginda!’ Kemudian raja atau menteri kerajaan memperbarui kota itu, dan beberapa waktu kemudian kota itu menjadi berhasil dan makmur, berpenduduk banyak, dipenuhi dengan orang-orang, mengalami pertumbuhan dan pengembangan.

“Demikian pula, para bhikkhu, Aku melihat jalan setapak tua, jalan tua yang dilalui oleh mereka Yang Tercerahkan di masa lalu. Dan apakah jalan setapak tua itu, jalan tua itu? Bukan lain adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar. Aku mengikuti jalan itu dan dengan melakukan hal ini Aku telah secara langsung mengetahui penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya. Aku secara langsung mengetahui kelahiran … penjelmaan … kemelekatan … nafsu … perasaan … kontak … enam landasan indria … nama-dan-bentuk … kesadaran … bentukan-bentukan kehendak, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya.  [23] Setelah mengetahuinya secara langsung, Aku telah menjelaskannya kepada para bhikkhu, para bhikkhunī, umat awam laki-laki, dan umat awam perempuan. Kehidupan suci ini, para bhikkhu, telah menjadi berhasil dan makmur, meluas, terkenal, menyebar, dibabarkan dengan sempurna di antara para deva dan manusia.”

(SN 12:65; II 104-7)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB II)
« Reply #17 on: 07 October 2011, 09:22:23 PM »
4. KEPUTUSAN UNTUK MENGAJAR

19. “Aku merenungkan: ‘Dhamma ini yang telah Kucapai sungguh mendalam, sulit dilihat dan sulit dipahami, damai dan luhur, tidak dapat dicapai hanya dengan penalaran, halus, untuk dialami oleh para bijaksana. Tetapi orang-orang ini menyenangi kemelekatan, bergembira dalam kemelekatan, bersukacita dalam kemelekatan.  [24] Adalah sulit bagi orang-orang demikian untuk melihat kebenaran ini, yaitu, kondisionalitas spesifik, sebab-akibat yang saling bergantungan. Dan adalah sulit untuk melihat kebenaran ini, yaitu, tenangnya segala bentukan, lepasnya segala perolehan, hancurnya nafsu, kebosanan, lenyapnya, Nibbāna.  [25] Jika Aku harus mengajarkan Dhamma, orang-orang lain tidak akan memahamiKu, dan itu akan melelahkan dan menyusahkan bagiKu.’ Setelah itu muncullah padaKu secara spontan syair-syair ini yang tidak pernah didengar sebelumnya:

‘Cukuplah dengan mengajarkan Dhamma
Yang bahkan Kuketahui sulit untuk dicapai;
Karena tidak akan pernah dilihat
Oleh mereka yang hidup dalam nafsu dan kebencian.

Mereka yang tenggelam dalam nafsu, terselimuti dalam kegelapan
Tidak akan pernah melihat Dhamma yang mendalam ini
Yang mengalir melawan arus duniawi.
Halus, dalam, dan sulit dilihat.’

Dengan merenungkan demikian, batinKu lebih condong pada tidak melakukan apa-apa daripada mengajarkan Dhamma.  [26]

20. “Kemudian, para bhikkhu, Brahmā Sahampati dengan pikirannya mengetahui pikiranKu dan ia merenungkan: ‘Dunia akan musnah, dunia akan binasa, karena pikiran Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, lebih condong pada tidak berbuat apa-apa daripada mengajarkan Dhamma.’ Kemudian secepat seorang kuat merentangkan tangannya yang tertekuk atau menekuk tangannya yang terentang, Brahmā Sahampati lenyap dari alam Brahmā dan muncul di hadapanKu. Ia merapikan jubah atasnya di satu bahunya, dan merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepadaKu, dan berkata: ‘Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma, sudilah Yang Sempurna mengajarkan Dhamma. Ada makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka yang akan binasa karena tidak mendengarkan Dhamma. Akan ada di antara mereka yang dapat memahami Dhamma.’ Brahmā Sahampati berkata demikian, dan kemudian ia berkata lebih lanjut:

‘Di Magadha telah muncul hingga sekarang
Ajaran tidak murni yang diajarkan oleh mereka yang masih ternoda.
Bukalah pintu menuju Keabadian! Biarkan mereka mendengar
Dhamma yang ditemukan oleh Yang Tanpa Noda.

‘Bagaikan seseorang yang berdiri di sebuah puncak gunung
Dapat melihat ke bawah, orang-orang di segala penjuru,
Maka, O Yang Bijaksana, Yang Maha-melihat,
Naiklah ke istana Dhamma
Sudilah Yang Tanpa Dukacita mengamati keturunan manusia ini,
Diliputi oleh dukacita, dikuasai oleh kelahiran dan usia tua.

‘Bangkitlah, pahlawan pemenang, pemimpin pengembara,
Yang tanpa kewajiban, dan mengembaralah di dunia.
Sudilah Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma,
Akan ada di antara mereka yang dapat memahami.’

21. “Kemudian Aku mendengarkan permohonan Brahmā, dan demi belas kasihan kepada makhluk-makhluk Aku memeriksa dunia dengan mata Buddha. Dengan memeriksa dunia dengan mata Buddha, Aku melihat makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka dan dengan banyak debu di mata mereka, dengan indria tajam dan dengan indria tumpul, dengan kualitas-kualitas baik dan dengan kualitas-kualitas buruk, mudah diajar dan sulit diajar, dan beberapa yang berdiam melihat dengan takut pada dunia lain. Bagaikan dalam sebuah kolam teratai biru atau merah atau putih, beberapa teratai lahir dan tumbuh dalam air berkembang dalam air tanpa keluar dari air, dan beberapa teratai lain lahir dan berkembang dalam air dan berdiam di permukaan air, dan beberapa teratai lainnya lahir dan berkembang dalam air keluar dari air dan berdiri dengan bersih, tidak dibasahi oleh air; demikian pula, dengan memeriksa dunia ini dengan mata Buddha, Aku melihat makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka dan dengan banyak debu di mata mereka, dengan indria tajam dan dengan indria tumpul, dengan kualitas-kualitas baik dan dengan kualitas-kualitas buruk, mudah diajar dan sulit diajar, dan beberapa yang berdiam melihat dengan takut pada dunia lain. Kemudian Aku menjawab Brahmā Sahampati dalam syair ini:

‘Terbukalah bagi mereka pintu menuju Keabadian,
Semoga mereka yang memiliki telinga sekarang menunjukkan keyakinan mereka.
Karena berpikir akan menyusahkan, O Brahmā,
Aku tidak membabarkan Dhamma yang halus dan luhur.’

Kemudian Brahmā Sahampati berpikir: ‘Sang Bhagavā telah menyetujui permohonanku untuk mengajarkan Dhamma.’ Dan setelah memberi hormat kepadaKu, dengan Aku tetap di sisi kanannya, ia seketika lenyap dari sana.

22. “Aku merenungkan: ‘Kepada siapakah pertama kali Aku mengajarkan Dhamma? Siapakah yang akan memahami Dhamma ini dengan cepat?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Āḷāra Kālāma bijaksana, cerdas, dan dapat melihat; ia telah lama memiliki sedikit debu di matanya. Bagaimana jika Aku mengajarkan Dhamma pertama kali kepada Āḷāra Kālāma. Ia akan memahaminya dengan cepat.’ Kemudian para dewa mendatangiKu dan berkata: ‘Yang Mulia, Āḷāra Kālāma meninggal dunia tujuh hari yang lalu.’ Dan pengetahuan dan penglihatan muncul padaku: ‘Āḷāra Kālāma meninggal dunia tujuh hari yang lalu.’ Aku berpikir: ‘Kerugian Āḷāra Kālāma sungguh besar. Jika ia mendengarkan Dhamma ini, ia akan memahaminya dengan cepat.’

23. “Aku merenungkan: ‘Kepada siapakah pertama kali Aku mengajarkan Dhamma? Siapakah yang akan memahami Dhamma ini dengan cepat?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Uddaka Rāmaputta bijaksana, cerdas, dan dapat melihat; ia telah lama memiliki sedikit debu di matanya. Bagaimana jika Aku mengajarkan Dhamma pertama kali kepada Uddaka Rāmaputta. Ia akan memahaminya dengan cepat.’ Kemudian para dewa mendatangiKu dan berkata: ‘Yang Mulia, Uddaka Rāmaputta meninggal dunia kemarin malam.’ Dan pengetahuan dan penglihatan muncul padaku: ‘Uddaka Rāmaputta meninggal dunia kemarin malam.’ Aku berpikir: ‘Kerugian Uddaka Rāmaputta sungguh besar. Jika ia mendengarkan Dhamma ini, ia akan memahaminya dengan cepat.’

24. “Aku merenungkan: ‘Kepada siapakah pertama kali Aku mengajarkan Dhamma? Siapakah yang akan memahami Dhamma ini dengan cepat?’ Kemudian Aku berpikir: ‘Para bhikkhu dari kelompok lima yang melayaniKu sewaktu Aku menjalani usahaKu telah sangat membantu.  [27] Bagaimana jika Aku mengajarkan Dhamma pertama kali kepada mereka.’ Kemudian Aku berpikir: ‘Di manakah para bhikkhu dari kelompok lima itu menetap?’ Dan dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat bahwa mereka sedang menetap di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana.

25. “Kemudian, para bhikkhu, ketika Aku telah menetap di Uruvelā selama yang Aku inginkan, Aku melakukan perjalanan secara bertahap menuju Bārāṇasī. Antara Gayā dan Bodhi, Ājīvaka Upaka melihatKu dalam perjalanan dan berkata: ‘Teman, indriaMu cerah, warna kulitMu bersih dan cemerlang. Di bawah siapakah Engkau meninggalkan keduniawian, teman? Siapakah guruMu? Dhamma siapakah yang Engkau anut? Aku menjawab Ājīvaka Upaka dalam syair:

‘Aku adalah seorang yang telah melampaui segalanya, pengenal segalanya,
Tidak ternoda di antara segalanya, meninggalkan segalanya,
Terbebaskan dalam lenyapnya nafsu. Setelah mengetahui semua ini
Bagi diriKu, siapakah yang harus Kutunjuk sebagai guru?

‘Aku tidak memiliki guru, dan seseorang yang setara denganKu
Tidak ada di segala alam
Bersama dengan semua deva, karena Aku tidak memiliki
Siapapun yang dapat menandingiKu.

‘Karena Aku adalah Arahant di dunia ini,
Aku adalah Guru Tertinggi.
Aku sendiri adalah seorang Yang Tercerahkan Sempurna
Yang api-apinya telah padam.

Aku pergi sekarang ke kota Kāsi
Untuk memutar Roda Dhamma.
Dalam dunia yang telah buta
Aku pergi untuk menabuh tambur Keabadian.’

‘Dengan pengakuanMu, teman,
Engkau pasti adalah Pemenang Segalanya.’  [28]

‘Para pemenang adalah mereka yang sepertiKu
Yang telah memenangkan penghancuran noda-noda.
Aku telah menaklukkan segala kondisi jahat,
Oleh karena itu, Upaka, Aku adalah pemenang.’

“Ketika ini dikatakan, Ājīvaka Upaka berkata: ‘Semoga demikian, teman.’ Dengan menggelengkan kepala, ia berjalan melalui jalan kecil dan pergi.

26. “Kemudian, para bhikkhu, dengan berjalan secara bertahap, Aku akhirnya sampai di Bārāṇasī, Taman Rusa di Isipatana, dan Aku mendekati para bhikkhu dari kelompok lima. Dari jauh Para bhikkhu melihatKu mendekat, dan mereka sepakat: ‘Teman-teman, telah datang Petapa Gotama yang hidup dalam kemewahan, yang telah meninggalkan usahaNya, dan kembali kepada kemewahan. Kita tidak perlu memberi hormat kepadaNya atau bangkit menyambutNya atau menerima mangkuk dan jubah luarNya. Tetapi sebuah tempat duduk boleh disediakan untukNya. Jika Ia menginginkan, Ia boleh duduk.’ Akan tetapi, ketika Aku mendekat, para bhikkhu itu tidak dapat mempertahankan kesepakatan mereka. Salah seorang datang menyambutKu dan mengambil mangkuk dan jubah luarKu, yang lain menyiapkan tempat duduk, dan yang lain lagi menyediakan air untuk membasuh kakiKu; akan tetapi mereka menyapaKu dengan nama dan sebagai ‘teman.’  [29]

27. “Kemudian Aku memberitahu mereka: ‘Para bhikkhu, jangan menyapa Sang Tathāgata dengan nama dan sebagai “teman.” Sang Tathāgata adalah seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna. Dengarkanlah, para bhikkhu, Keabadian telah tercapai. Aku akan memberikan instruksi kepada kalian, Aku akan mengajarkan Dhamma kepada kalian. Dengan mempraktikkan sesuai yang diinstruksikan, dengan menembusnya untuk kalian sendiri di sini dan saat ini melalui pengetahuan langsung, kalian akan segera memasuki dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’

“Ketika hal ini dikatakan, para bhikkhu dari kelompok lima itu menjawabKu sebagai berikut: ‘Teman Gotama, dengan perilaku, praktik, dan pelaksanaan pertapaan keras yang Engkau jalani, Engkau tidak mencapai kondisi apapun yang melampaui manusia, tidak mencapai keluhuran apapun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Karena sekarang Engkau hidup dalam kemewahan, telah meninggalkan usahaMu dan kembali kepada kemewahan, bagaimana mungkin Engkau telah mencapai kondisi apapun yang melampaui manusia, telah mencapai keluhuran apapun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia?’ Ketika hal ini dikatakan, Aku memberitahu mereka: ‘Sang Tathāgata tidak hidup dalam kemewahan, juga tidak meninggalkan usahaNya dan tidak kembali kepada kemewahan. Sang Tathāgata adalah seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna. Dengarkanlah, para bhikkhu, Keabadian telah tercapai ... dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’

“Untuk ke dua kalinya para bhikkhu dari kelompok lima itu berkata kepadaKu: ‘Teman Gotama ... bagaimana mungkin Engkau telah mencapai kondisi apapun yang melampaui manusia, telah mencapai keluhuran apapun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia?’ Untuk ke dua kalinya Aku memberitahu mereka: Sang Tathāgata tidak hidup dalam kemewahan ... dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’ Untuk ke tiga kalinya para bhikkhu dari kelompok lima itu berkata kepadaKu: ‘Teman Gotama ... bagaimana mungkin Engkau telah mencapai kondisi apapun yang melampaui manusia, telah mencapai keluhuran apapun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia?’

28. “Ketika hal ini dikatakan Aku bertanya kepada mereka: ‘Para bhikkhu, pernahkah kalian mendengar Aku berkata seperti ini sebelumnya?’ – ‘Tidak, Yang Mulia.’  [30] – ‘Para bhikkhu, Sang Tathāgata adalah seorang Arahant, seorang Yang Tercerahkan Sempurna. Dengarkanlah, para bhikkhu, Keabadian telah tercapai. Aku akan memberikan instruksi kepada kalian, Aku akan mengajarkan Dhamma kepada kalian. Dengan mempraktikkan sesuai yang diinstruksikan, dengan menembusnya untuk kalian sendiri di sini dan saat ini melalui pengetahuan langsung, kalian akan segera memasuki dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang karenanya para anggota keluarga meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’

29. “Aku berhasil meyakinkan para bhikkhu dari kelompok lima.  [31] Kemudian Aku kadang-kadang memberikan instruksi kepada dua bhikkhu sementara tiga lainnya mengumpulkan dana makanan, dan kami berenam bertahan hidup dari apa yang dibawa kembali oleh ketiga bhikkhu dari perjalanan mereka menerima dana makanan. kadang-kadang Aku memberikan instruksi kepada tiga bhikkhu sementara dua lainnya mengumpulkan dana makanan, dan kami berenam bertahan hidup dari apa yang dibawa kembali oleh kedua bhikkhu dari perjalanan mereka menerima dana makanan.

30. “Kemudian para bhikkhu dari kelompok lima, setelah diajari dan diberikan instruksi olehKu, dengan diri mereka sendiri tunduk pada kelahiran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kelahiran, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, yaitu Nibbāna; mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, yaitu Nibbāna; dengan diri mereka sendiri tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, yaitu Nibbāna; mereka mencapai keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, yaitu Nibbāna. Pengetahuan dan penglihatan muncul pada mereka: ‘Pembebasan kami tidak tergoyahkan; ini adalah kelahiran kami yang terakhir; sekarang tidak ada lagi penjelmaan makhluk yang baru.’”

(dari MN 26: Ariyapariyesana Sutta; I 167-73)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB II)
« Reply #18 on: 07 October 2011, 09:23:05 PM »
5. KHOTBAH PERTAMA

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Bārāṇasī di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada Kelompok Lima Bhikkhu sebagai berikut:

“Para bhikkhu, kedua ekstrim ini tidak boleh diikuti oleh seorang yang telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Apakah dua ini? mengejar kebahagiaan indria dalam kenikmatan indria, yang rendah, kasar, cara-cara kaum duniawi, tidak mulia, tidak bermanfaat; dan praktik penyiksaan-diri, yang menyakitkan, tidak mulia, tidak bermanfaat. Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim ini, Sang Tathāgata telah membangkitkan  jalan tengah, yang memunculkan penglihatan, yang memunculkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.

“Dan apakah, para bhikkhu, jalan tengah yang dibangkitkan oleh Sang Tathāgata? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar. Ini, para bhikkhu, adalah jalan tengah yang dibangkitkan oleh Sang Tathāgata, yang memunculkan penglihatan, yang memunculkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.

“Ini, para bhikkhu, adalah kebenaran mulia penderitaan: kelahiran adalah penderitaan, penuaan adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan; berkumpul dengan apa yang tidak menyenangkan adalah penderitaan; berpisah dengan apa yang menyenangkan adalah penderitaan; tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan adalah penderitaan.

“Ini, para bhikkhu, adalah kebenaran mulia asal-mula penderitaan: adalah nafsu yang menuntun menuju penjelmaan baru, disertai dengan kesenangan dan nafsu, mencari kenikmatan di sana-sini; yaitu, nafsu pada kenikmatan indria, nafsu pada penjelmaan, nafsu pada pemusnahan.

“Ini, para bhikkhu, adalah kebenaran mulia lenyapnya penderitaan: adalah peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya nafsu yang sama itu, meninggalkan dan melepaskannya, kebebasan darinya, ketidak-melekatan.

“Ini, para bhikkhu, adalah kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan:  adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“‘Ini adalah kebenaran mulia penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.  [32]

“‘Kebenaran mulia penderitaan harus dipahami sepenuhnya’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.  [33]

“‘Kebenaran mulia penderitaan telah dipahami sepenuhnya’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.  [34]

“‘Ini adalah kebenaran mulia asal-mula penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.

“‘Kebenaran mulia asal-mula penderitaan harus ditinggalkan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.

“‘Kebenaran mulia asal-mula penderitaan telah ditinggalkan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.

“‘Ini adalah kebenaran mulia lenyapnya penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.

“‘Kebenaran mulia lenyapnya penderitaan harus dicapai’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.

“‘Kebenaran mulia lenyapnya penderitaan telah dicapai’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.

“‘Ini adalah kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.

“‘Kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan harus dikembangkan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.

“‘Kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan telah dikembangkan’: demikianlah, para bhikkhu, sehubungan dengan hal-hal yang belum pernah terdengar sebelumnya, muncullah padaKu penglihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pengetahuan sejati, dan cahaya.

“Selama, para bhikkhu, pengetahuanKu dan penglihatan terhadap Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya ini dengan tiga tahap dan dua belas aspeknya ini belum sempurna dimurnikan dengan cara ini,  [35]Aku tidak mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tiada bandingnya di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Tetapi ketika pengetahuanKu dan penglihatan terhadap Empat Kebenaran Mulia sebagaimana adanya ini dengan tiga tahap dan dua belas aspeknya ini telah sempurna dimurnikan dengan cara ini, maka Aku mengaku telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tiada bandingnya di dunia ini dengan para deva, Māra, dan Brahmā, dalam populasi ini bersama dengan para petapa dan brahmana, para deva dan manusia. Pengetahuan dan penglihatan muncul padaKu: ‘Kebebasan batinKu tidak tergoyahkan. Ini adalah kelahiranKu yang terakhir. Tidak akan ada lagi penjelmaan baru.’”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Bersuka cita, Kelompok Lima Bhikkhu itu gembira mendengar penjelasan Sang Bhagavā. Dan selagi khotbah ini sedang dibabarkan, muncullah pada Yang Mulia Koṇḍañña penglihatan Dhamma tanpa noda, bebas dari debu: “Apapun yang tunduk pada asal-mula semuanya tunduk pada lenyapnya.”  [36]

Dan ketika Roda Dhamma ini telah diputar oleh Sang Bhagavā, para deva yang bertempat tinggal di bumi berseru: “Di Bārāṇasī, di Taman Rusa di Isipatana, Roda Dhamma yang tanpa bandingnya telah diputar oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat diputar balik oleh petapa atau brahmana atau deva atau Māra atau Brahmā atau siapapun di dunia.” Setelah mendengar seruan para deva yang bertempat tinggal di bumi, para deva di alam Empat Raja Deva berseru: “Di Bārāṇasī … Roda Dhamma yang tanpa bandingnya telah diputar oleh Sang Bhagavā, yang tidak dapat diputar balik … oleh siapapun di dunia.” Setelah mendengar seruan para deva di alam Empat Raja Deva, para deva Tāvatiṃsa … para deva Yāma … para deva Tusita … para deva yang bergembira dalam mencipta … para deva yang menguasai ciptaan deva lain … para deva pengikut Brahmā  berseru: “Di Bārāṇasī, di Taman Rusa di Isipatana, Roda Dhamma yang tanpa bandingnya telah diputar oleh Sang Bhagavā,  yang tidak dapat diputar balik oleh petapa atau brahmana atau deva atau Māra atau Brahmā atau siapapun di dunia.”

Demikianlah pada saat itu, seketika itu, pada detik itu, seruan itu menyebar hingga sejauh alam brahma, dan sepuluh ribu sistem dunia ini berguncang, bergoyang, dan bergetar, dan cahaya agung yang tanpa batas muncul di dunia melampaui keagungan para deva di surga.

Kemudian Sang Bhagavā mengucapkan ucapan inspiratif ini: “Koṇḍañña sungguh telah mengerti! Koṇḍañña sungguh telah mengerti!” Demikianlah Yang Mulia Koṇḍañña memperoleh nama “Aññā Koṇḍañña - Koṇḍañña Yang Telah Mengerti.”

(SN 56:11: Dhammacakkappavattana Sutta; V 420-24)
« Last Edit: 07 October 2011, 09:30:17 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB II)
« Reply #19 on: 07 October 2011, 09:26:30 PM »
Catatan BAB II


[1] Suttanipāta v.335.

[2] Walaupun sosok ideal bodhisattva umumnya dipahami sebagai ciri khas dari Buddhisme Mahāyāna, namun semua aliran Buddhisme sektarian pada masa sebelum munculnya Mahāyāna sama-sama mempercayai bahwa Sang Buddha mengikuti jalan seorang bodhisattva selama banyak kappa, memenuhi prasyarat untuk mencapai Kebuddhaan. Kontribusi Mahāyāna adalah menyokong karir Bodhisattva sebagai suatu model petunjuk bagi semua pengikut Buddhis untuk diteladani.

[3] “Enam hal tidak terlampaui” (cha anuttariyā) dijelaskan pada AN 6:130: pandangan tidak terlampaui (yaitu, pandangan seorang Buddha atau siswaNya); pendengaran tidak terlampaui (yaitu, mendengar Dhamma dari seorang Buddha atau siswaNya); perolehan tidak terlampaui (yaitu, perolehan keyakinan pada seorang Buddha atau siswaNya); latihan tidak terlampaui (yaitu, latihan dalam moralitas yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, kebijaksanaan yang lebih tinggi seperti yang diajarkan oleh seorang Buddha atau siswaNya); pelayanan tidak terlampaui (yaitu, pelayanan kepada seorang Buddha atau siswaNya); perenungan tidak terlampaui (yaitu, perenungan dari seorang Buddha atau siswaNya). “Empat pengetahuan analitis” (catasso paṭisambhidhā) adalah pengetahuan analitis makna, doktrin, bahasa, dan kecerdikan. Buah memasuki-arus, dan seterusnya, dijelaskan dalam Bab X.

[4] Sebagai pelayan pribadi Sang Buddha, Ānanda dikenal dalam hal pengabdiannya kepada Gurunya. Dalam sebagian besar dari sutta ini, di mana ia menyerukan kepercayaan tradisional tentang keajaiban yang menyertai konsepsi dan kelahiran Sang Buddha, ia tampak menunjukkan suara pengabdian penuh kesetiaan.

[5] Ini merujuk pada kelahiran kembali Sang Bodhisatta di alam surga Tusita, sebelum kelahiranNya di alam manusia sebagai Gotama Sang Calon Buddha.

[6] Ps: Antara setiap tiga sistem dunia terdapat ruang berukuran 8,000 yojana; ini menyerupai ruang antara tiga roda kereta atau mangkuk yang disusun saling bersentuhan satu sama lain. Makhluk-makhluk yang berdiam di sana terlahirkan kembali karena melakukan pelanggaran yang mengerikan terhadap orang tua mereka atau para petapa dan brahmana yang baik, atau karena beberapa kebiasaan jahat seperti membunuh binatang, dan sebagainya.

[7] Ps: Empat dewa adalah Empat Raja Dewa (yaitu, para dewa yang menghuni alam surga Empat Raja Dewa).

[8] Ps menjelaskan masing-masing aspek dari peristiwa ini sebagai pertanda dari pencapaian Sang Buddha kelak. Demikianlah, berdiri dengan kakinya (pāda) dengan kokoh di atas tanah adalah pertanda bagi pencapaian empat landasan kekuatan spiritual (iddhipāda); menghadap ke utara, Beliau pergi ke atas dan melampaui banyak makhluk; tujuh langkahnya, Beliau memperoleh tujuh faktor pencerahan; payung putih, Beliau memperoleh payung kebebasan; Beliau mengamati empat penjuru, Beliau memperoleh pengetahuan kemaha-tahuan yang tanpa halangan; Beliau mengucapkan kata-kata “pemimpin kelompok” (gelar bagi seorang terkemuka), Beliau memutar Roda Dhamma yang tidak dapat diputar balik; pernyataan Beliau “Ini adalah kelahiranKu yang terakhir,” meninggal dunia ke dalam elemen Nibbāna tanpa sisa (baca Teks IX, 5(5)).
   
[9] Pernyataan ini tampaknya adalah cara Sang Buddha untuk mengalihkan perhatian pada kualitas yang Beliau anggap sebagai sesuatu yang sungguh menakjubkan dan mengagumkan.

[10] Dalam versi ringkas dari teks ini, emas dan perak dikeluarkan dari hal-hal yang tunduk pada kesakitan, kematian, dan dukacita, tetapi hal-hal itu tunduk pada kekotoran, menurut Ps, karena dapat dicampur dengan logam-logam yang bernilai lebih rendah.

[11] Ākiñcaññāyatana. Ini adalah pencapaian meditatif tanpa bentuk ke tiga; yang didahului oleh empat jhāna, ini adalah yang ke tujuh dari delapan pencapaian (samāpatti) dalam skala konsentrasi. Pencapaian-pencapaian ini, walaupun cukup agung, namun masih bersifat duniawi, terpisah dari pandangan terang, tidak secara langsung mendukung Nibbāna.

[12] Yaitu, mengarah menuju kelahiran kembali di alam kehidupan yang disebut landasan kekosongan, objek dari pencapaian meditatif ke tujuh. Di sini umur kehidupan dikatakan selama 60,000 kappa, tetapi ketika rentang waktu itu telah berlalu seseorang akan meninggal dunia dan kembali ke alam yang lebih rendah. Demikianlah seseorang yang mencapai ini masih belum terbebas dari kelahiran dan kematian.

[13] N’eva saññānāsaññāyatana. Ini adalah pencapaian tanpa bentuk ke empat dan tertinggi. Harus dimengerti bahwa Uddaka Rāmaputta adalah putera Rāma, bukan Rāma sendiri. Teks memberikan kesan bahwa walaupun Rāma sendiri telah mencapai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, namun Uddhaka sendiri belum mencapainya. Pencapaian landasan ini mengarah pada kelahiran kembali di alam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, alam kelahiran kembali yang tertinggi dalam saṃsāra. Umur kehidupan di sana dikatakan adalah 84,000 kappa, tetapi karena terkondisi dan tidak kekal, maka masih tidak memuaskan.

[14] Teks II, 3(2) berlanjut dari titik ini dengan kisah panjang tentang praktik pertapaan ekstrim Sang Bodhisatta yang dilanjutkan dengan penemuan Jalan Tengah oleh Beliau.

[15] Saccaka adalah seorang pendebat yang, pada kesempatan sebelumnya, Sang Buddha telah mengalahkannya dalam sebuah diskusi. Aggivessana, nama yang digunakan oleh Sang Buddha untuk memanggilnya di bawah, mungkin adalah nama sukunya. Khotbah ini dimulai dengan diskusi tentang perasaan menyenangkan dan menyakitkan, yang memberikan isyarat kepada Saccaka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaannya kepada Sang Buddha.

[16] Adalah mengherankan bahwa dalam paragraf berikutnya Sang Bodhisatta ditunjukkan melakukan penyiksaan-diri setelah Beliau telah sampai pada kesimpulan – dalam paragraf ini - bahwa praktik demikian adalah tidak berguna untuk mencapai Pencerahan. Ketidak-sesuaian gagasan ini menimbulkan kecurigaan bahwa urutan narasi sutta ini telah tercampur-aduk. Tempat yang seharusnya bagi perumpamaan kayu api ini adalah di akhir masa percobaan pertapaan Sang Bodhisatta, ketika Beliau telah memperoleh landasan kuat untuk menolak penyiksaan-diri sebagai jalan menuju pencerahan.

[17] Kalimat ini, yang juga diulangi pada setiap akhir dari masing-masing bagian berikutnya, menjawab pertanyaan ke dua dari dua pertanyaan yang diajukan oleh Saccaka pada §11.

[18] Ps menjelaskan bahwa ketika Sang Bodhisatta masih kanak-kanak, ayahnya membawanya menghadiri upacara membajak sawah pada suatu festival tradisi orang Sakya. Para pelayan meninggalkannya di bawah pohon jambu dan pergi menonton ucapara pembajakan. Mengetahui bahwa ia sendirian, Sang Bodhisatta secara spontan duduk dalam posisi meditasi dan mencapai jhāna pertama melalui perhatian pada pernafasan. Walaupun matahari bergeser, namun keteduhan bayangan pohon tetap menaungi Sang Bodhisatta. Ketika para pelayannya kembali dan melihat Sang Anak sedang duduk bermeditasi, mereka melaporkan hal ini kepada Sang Raja yang segera datang dan bersujud menghormati puteranya.

[19] Kalimat ini menjawab pertanyaan pertama dari dua pertanyaan yang diajukan oleh Saccaka pada §11. Paragraf ini menunjukkan perubahan dalam penilaian Sang Bodhisatta atas kenikmatan. Ketika kenikmatan muncul dari keterasingan dan pelepasan, hal ini bukanlah sesuatu untuk ditakuti dan harus disingkirkan melalui praktik pertapaan keras, melainkan menjadi suatu pendukung bagi tingkatan yang lebih tinggi dalam sang jalan menuju pencerahan.

[20] Dalam formula umum dari sebab-akibat yang saling bergantungan, kesadaran dikatakan sebagai dikondisikan oleh bentukan-bentukan kehendak (saṅkhārapaccayā viññāṇaṃ). Variasi ini mengungkapkan bahwa kesadaran dan nama-dan-bentuk yang saling mempengaruhi sebagai “pusaran tersembunyi” yang mendasari segala kehidupan di dalam lingkaran kelahiran kembali.

[21] Spk: “Sejauh ini seseorang dilahirkan, menjadi tua, dan mati: dengan kesadaran sebagai kondisi bagi nama-dan-bentuk, dan dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi bagi kesadaran, hingga sejauh ini seseorang terlahir dan mengalami kelahiran kembali. Apakah yang di luar ini yang dapat terlahir dan mengalami kelahiran kembali? Bukankah hanya ini yang terlahir dan mengalami kelahiran kembali?”

[22] Perhatikan bahwa Sang Buddha menemukan jalan menuju pencerahan dengan menembus lenyapnya kesadaran, nama-dan-bentuk, dan mata rantai lainnya dari sebab-akibat yang saling bergantungan. Lenyapnya ditembus dengan pengalaman Nibbāna, elemen keabadian.

[23] Pada titik ini teks memperkenalkan bentukan-bentukan kehendak, kondisi utamanya adalah kebodohan, dan karena itu dengan menyebutkan asal-mulanya, maka kebodohan juga disiratkan, dengan cara ini, seluruh dua belas faktor dari formula umum sebab akibat yang saling bergantungan telah termasuk, minimal secara tersirat.

[24] Ālaya. Kata ini menyiratkan baik objek kemelekatan maupun sikap subjektif kemelekatan.

[25] Dengan menyebutkan kedua tema ini – sebab-akibat yang saling bergantungan dan Nibbāna – dalam perenungannya segera setelah pencerahanNya, Sang Buddha menekankan pentingnya memahami isi dari pencerahanNya. Pencerahan itu melibatkan pemahaman atas, pertama, sebab-akibat yang saling bergantungan dari penderitaan, dan ke dua, Nibbāna sebagai kebebasan tertinggi yang melampaui segala fenomena yang terlibat dalam sebab-akibat yang saling bergantungan dari penderitaan. Sang Buddha pertama-tama harus memahami sebab-akibat yang saling bergantungan, dan hanya ketika Beliau telah melakukan itu maka Beliau dapat sampai pada pencapaian Nibbāna. “Perolehan” (upadhi) yang dilepaskan dapat dipahami sebagai dua: dalam hal objek, seperti kelima kelompok unsur kehidupan atau, secara lebih luas, sebagai segala objek peruntukan; dan secara subjektif, sebagai nafsu yang memotivasi tindakan peruntukan.

[26] Ps mempertanyakan mengapa, ketika Sang Bodhisatta sejak lama telah bercita-cita untuk mencapai Kebuddhaan untuk membebaskan makhluk-makhluk lain, sekarang pikirannya malah condong pada tidak berbuat apa-apa. Alasannya, dikatakan adalah, bahwa sekarang setelah tercerahkan, Beliau mengetahui betapa dalamnya Dhamma itu dan betapa sulitnya bagi mereka yang memiliki kekotoran yang kuat untuk memahaminya. Juga, Beliau ingin agar Brahmā memohonNya untuk mengajar sehingga orang-orang yang menghormati Brahmā juga akan menghormati Dhamma dan berkeinginan untuk mendengarkanNya.

[27] Kelima bhikkhu ini melayani Sang Bodhisatta selama masa penyiksaan-diri, yakin bahwa Beliau akan mencapai pencerahan dan mengajarkan Dhamma kepada mereka. Akan tetapi, ketika Beliau meninggalkan praktik keras dan kembali memakan makanan padat, mereka kehilangan keyakinan pada Beliau dan meninggalkanNya, menuduh Beliau telah kembali kepada kemewahan. Baca Teks II, 3(2).

[28] Anantajina: mungkin ini adalah sebuah gelar yang digunakan oleh para Ajivaka kepada individu yang sempurna secara spiritual.

[29] Āvuso: panggilan akrab yang digunakan oleh orang-orang yang setara.

[30] Perubahan dalam sapaan dari “teman” (āvuso) menjadi “Yang Mulia” (bhante) menunjukkan bahwa mereka sekarang telah menerima pengakuan Sang Buddha dan siap untuk menganggapNya lebih tinggi.

[31] Pada titik ini Sang Buddha membabarkan khotbah pertama kepada mereka, Dhammacakkappavattana Sutta, “Memutar Roda Dhamma”; baca Teks II,5. Beberapa hari kemudian, setelah mereka semuanya menjadi pemasuk-arus, Beliau mengajarkan Anattalakkhaṇa Sutta, “karakteristik bukan-diri,” yang setelah mendengarnya mereka mencapai Kearahattaan; baca Teks IX, 4(1)(c). Uraian lengkap terdapat pada Vin 17-14. baca Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, p.47.

[32] Bagian pertama dalam penjelasan atas masing-masing kebenaran mulia hanya mengungkapkan pengetahuan atas kebenaran itu sendiri (saccañāṇa).

[33] Bagian ke dua dalam penjelasan atas masing-masing kebenaran mulia mengungkapkan pengetahuan terhadap tugas yang harus diselesaikan sehubungan dengan kebenaran itu (kiccañāṇa). Kebenaran pertama harus dipahami sepenuhnya (pariññeyya), ke dua harus ditinggalkan (pahātabba), ke tiga harus dicapai (sacchikata), dan ke empat harus dikembangkan (bhāveta).

[34] Bagian ke tiga dalam penjelasan atas masing-masing kebenaran mulia mengungkapkan pengetahuan terhadap selesainya tugas sehubungan dengan kebenaran itu (katañāṇa). Kebenaran pertama telah dipahami sepenuhnya (pariññeyya), ke dua telah ditinggalkan (pahātabba), ke tiga telah dicapai (sacchikata), dan ke empat telah dikembangkan (bhāveta).

[35] Ketiga tahap (tiparivañña) adalah: (i) pengetahuan atas masing-masing kebenaran; (ii) pengetahuan atas tugas yang harus diselesaikan sehubungan kebenaran itu; (iii) pengetahuan bahwa tugas itu telah diselesaikan. Kedua belas modus ini (dvadasākāra) dicapai dengan menerapkan ketiga tahap ini pada empat kebenaran.

[36] Formula umum ini menyiratkan bahwa pada kesempatan ini, Koṇḍañña mencapai tingkat pencerahan pertama, memasuki-arus.

[37] Mereka ini adalah para deva dari enam alam surga indriawi dan alam brahma.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB III)
« Reply #20 on: 15 October 2011, 10:30:06 AM »
BAB III
PENDAHULUAN


Salah satu masalah yang menyulitkan yang dihadapi oleh seorang pencari spiritual yang tekun dan berpikiran terbuka adalah kesulitan dalam memilih di antara keberagaman ajaran religius dan spiritual yang ada. Secara alamiah, di atas ketaatan kita ajaran-ajaran spiritual mengaku mutlak dan mencakup segalanya. Para penganut suatu kepercayaan tertentu cenderung menegaskan bahwa hanya agama mereka saja yang mengungkapkan kebenaran tertinggi tentang tempat kita di alam semesta dan tentang takdir kita; mereka dengan berani mengatakan bahwa hanya jalan mereka yang memberikan cara pasti menuju keselamatan abadi. Jika kita dapat menangguhkan semua janji-janji kepercayaan dan membandingkan doktrin-doktrin secara tidak memihak, menyerahkannya kepada pengujian empiris, maka kita akan memperoleh metode pasti untuk memutuskannya, dan kemudian siksaan kita akan berakhir. Tetapi hal ini tidaklah sesederhana itu. Agama-agama saingan semuanya mengusulkan – atau mengisyaratkan – doktrin-doktrin yang tidak dapat kita sahkan secara langsung melalui pengalaman pribadi; mereka menganjurkan ajaran-ajaran yang menuntut kepercayaan pada tingkat tertentu. Oleh karena itu, ketika ajaran mereka tidak sesuai dengan praktik, maka kita menghadapi masalah dalam mencari cara-cara untuk memutuskan di antaranya dan menegosiasikan pengakuan mereka yang saling bersaing sebagai kebenaran.

Salah satu solusi untuk permasalahan ini adalah dengan menyangkal adanya konflik nyata antara sistem kepercayaan yang berbeda-beda. Para pengikut pendekatan ini yang dapat kita sebut sebagai universalis religius, mengatakan bahwa pada intinya semua tradisi spiritual mengajarkan hal yang sama. Formulasinya mungkin berbeda namun intinya sama, diungkapkan secara berbeda hanya untuk menyesuaikan dengan tingkat pemahaman yang berbeda. Apa yang harus kita lakukan, menurut universalis, ketika berhadapan dengan tradisi spiritual berbeda, adalah memeras inti sari kebenaran dari kelopak kepercayaan eksoteris mereka. Di tingkat dasar tujuan kita terlihat berbeda, namun di ketinggian kita akan menemukan bahwa tujuannya adalah sama; ini seperti memandang bulan dari berbagai puncak gunung yang berbeda. Universalis dalam hal doktrin sering kali mendukung sikap memilih-milih dalam praktik, menganggap bahwa kita dapat memilih praktik apa pun yang kita sukai dan menggabungkannya seperti mencampurkan makanan pada suatu pesta prasmanan.

Solusi terhadap permasalahan keberagaman religius ini memiliki suatu daya tarik kepada mereka yang kecewa dengan klaim eksklusif dari agama dogmatik. Akan tetapi, suatu perenungan kritis yang jujur akan menunjukkan bahwa pada kebanyakan hal yang penting, tradisi spiritual dan religius yang berbeda-beda mengambil sudut pandang yang berbeda. Tradisi-tradisi spiritual dan religius ini memberikan jawaban yang sangat berbeda pada pertanyaan-pertanyaan kita sehubungan dengan landasan dasar dan tujuan dari pencarian spiritual dan sering kali perbedaan ini tidak hanya secara verbal. Menganggapnya hanya suatu perbedaan verbal mungkin menjadi cara yang efektif untuk menjaga keharmonisan antara para penganut sistem kepercayaan yang berbeda-beda, tetapi hal ini tidak dapat bertahan terhadap pemeriksaan seksama. Pada akhirnya,
hal ini sama lemahnya seperti mengatakan bahwa, karena sama-sama memiliki paruh dan sayap, elang, burung pipit, dan ayam pada intinya adalah  hewan yang sama, perbedaan di antara hewan-hewan itu hanyalah secara verbal.

Bukan hanya agama Theistik yang mengajarkan doktrin yang berada di luar jangkauan konfirmasi empiris saat ini. Sang Buddha juga mengajarkan doktrin yang orang-orang biasa tidak dapat secara langsung mengonfirmasinya melalui pengalaman sehari-hari, dan doktrin ini adalah dasar dari struktur ajaranNya. Misalnya, dalam Pendahuluan Bab I dan II, bahwa Nikāya-nikāya menggambarkan suatu alam semesta dengan banyak alam makhluk-makhluk yang tersebar dalam ruang dan waktu yang tanpa batas, suatu alam semesta di mana makhluk-makhluk mengembara dan berkelana dari kehidupan ke kehidupan sesuai dengan kebodohan, nafsu, dan kamma mereka. Nikāya-nikāya menyiratkan bahwa sepanjang waktu yang tanpa awal itu, Sang Buddha yang berjumlah tak terhingga telah muncul dan memutar Roda Dhamma, dan bahwa tiap-tiap Buddha mencapai pencerahan setelah mengembangkan kesempurnaan spiritual selama jangka waktu kosmis yang panjang. Ketika kita mendekati Dhamma maka kita cenderung menolak kepercayaan demikian dan merasa bahwa doktrin seperti itu secara berlebihan menuntut kepercayaan kita. Dengan demikian kita menghadapi pertanyaan apakah, jika kita ingin mengikuti ajaran Buddha, maka kita harus membawa keseluruhan doktrin Buddhis klasik.

Bagi Buddhisme awal, semua permasalahan yang kita hadapi dalam memutuskan berapa jauh kita harus menempatkan keyakinan dapat diselesaikan dengan satu cara. Satu cara itu adalah mengembalikan kepada pengalaman langsung sebagai landasan penilaian tertinggi. Salah satu ciri yang membedakan Ajaran Buddha adalah sehubungan dengan kesesuaiannya dengan pengalaman langsung. Teks-teks Buddhisme awal tidak mengajarkan doktrin rahasia, juga tidak meninggalkan suatu cakupan apa pun seperti jalan esoteris yang khusus diajarkan kepada suatu elit anggotanya dan dirahasiakan dari orang lain. Menurut Teks III,1, kerahasiaan dalam suatu ajaran religius adalah pertanda pandangan-pandangan salah dan pemikiran yang membingungkan. Ajaran Buddha bersinar secara terbuka, seperti sinar dan kecemerlangan cahaya matahari dan bulan. Kebebasan dari selubung kerahasiaan adalah penting bagi suatu ajaran yang memberikan prioritas pada pengalaman langsung, mengundang tiap-tiap individu untuk menguji prinsip-prinsipnya dalam wadah pengalaman pribadinya.

Ini bukan berarti bahwa seorang biasa dapat sepenuhnya membuktikan doktrin-doktrin Sang Buddha melalui pengalaman langsung tanpa usaha khusus. Sebaliknya, ajaran hanya dapat sepenuhnya ditembus melalui pencapaian jenis pengalaman luar biasa tertentu yang jauh melampaui jangkauan orang-orang biasa yang tenggelam dalam berbagai urusan kehidupan keduniawian. Akan tetapi, berlawanan dengan mengungkapkan agama, Sang Buddha tidak menuntut agar kita memulai pencarian spiritual kita dengan menumbuhkan keyakinan di dalam doktrin-doktrin yang melampaui jangkauan pengalaman kita. Bukannya menganjurkan kita untuk bergulat dengan hal-hal yang, bagi kita dalam kondisi kita sekarang,  tidak dapat diputuskan melalui pengalaman apa pun, Beliau menganjurkan kita untuk mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang berhubungan dengan kesejahteraan dan kebahagiaan kita saat ini, pertanyaan-pertanyaan yang dapat kita jawab berdasarkan pada pengalaman pribadi. Saya menekankan ungkapan “bagi kita dalam kondisi sekarang,” karena fakta bahwa pada saat sekarang ini kita yang tidak dapat membuktikan hal-hal demikian tidak menjadi alasan untuk menolaknya sebagai tidak benar atau bahkan sebagai tidak-relevan. Ini hanya berarti kita seharusnya mengesampingkannya untuk sementara waktu dan mengurus hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman langsung kita.

Sang Buddha mengatakan bahwa ajaran Beliau adalah tentang penderitaan dan lenyapnya penderitaan. Pernyataan ini bukan berarti bahwa Dhamma hanya berhubungan dengan pengalaman penderitaan kita dalam kehidupan ini, melainkan hal ini menyiratkan bahwa kita dapat menggunakan pengalaman kita sekarang ini, didukung oleh pengamatan cerdas, sebagai sebuah kriteria untuk menentukan apa yang bermanfaat dan apa yang menghalangi kemajuan spiritual kita. Tuntutan hidup kita yang bertubi-tubi, yang memancar dari dalam diri kita, adalah kebutuhan akan kebebasan dari bahaya, dukacita, dan kesedihan; atau, disebutkan secara positif, kebutuhan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan. Akan tetapi, untuk menghindari bahaya dan untuk mengamankan kesejahteraan kita, tidaklah cukup bagi kita untuk hanya dengan berharap. Pertama-tama kita harus memahami kondisi-kondisi di mana bahaya dan kesejahteraan itu bergantung. Menurut Sang Buddha, apa pun yang muncul, muncul melalui penyebab dan kondisi yang bersesuaian, dan hal ini berlaku dengan kekuatan yang sama baik pada penderitaan maupun kebahagiaan. Demikianlah kita harus mengetahui penyebab-penyebab dan kondisi-kondisi yang mengarah menuju bahaya dan penderitaan, dan demikian pula dengan penyebab-penyebab dan kondisi yang mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Begitu kita telah menggali kedua prinsip ini – kondisi-kondisi yang mengarah menuju bahaya dan penderitaan, dan kondisi-kondisi yang mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan – maka kita memiliki penyelesaian secara garis besar atas keseluruhan proses yang mengarahkan kita menuju tujuan akhir, kebebasan tertinggi dari penderitaan.

Salah satu teks yang memberikan contoh yang bagus sekali sehubungan dengan pendekatan ini adalah sebuah khotbah pendek dalam Anguttara Nikāya yang dikenal sebagai Kālāma Sutta, yang dimasukkan dalam buku ini sebagai Teks III,2. Suku Kālāma adalah sekelompok penduduk yang menetap di daerah terpencil di dataran Gangga. Berbagai guru religius mengunjungi mereka dan masing-masing akan memuji doktrinnya dan mencela doktrin-doktrin dari pesaingnya. Karena bimbang dan ragu oleh konflik sistem kepercayaan ini, penduduk Kālāma tidak mengetahui yang mana yang harus dipercayai. Ketika Sang Buddha melewati kota mereka, mereka mendatangi Beliau dan bertanya kepada Beliau untuk melenyapkan keragu-raguan mereka. Walaupun teks tidak secara khusus menyebutkan tentang hal yang menyusahkan penduduk Kālāma, namun bagian berikutnya dari khotbah ini menjelaskan bahwa kebimbangan mereka berkisar pada pertanyaan tentang kelahiran kembali dan kamma.

Sang Buddha memulai dengan meyakinkan para Kālāma bahwa dalam situasi demikian adalah selayaknya mereka menjadi bingung, karena hal-hal yang menyusahkan mereka itu sesungguhnya adalah sumber keraguan dan kebimbangan yang umum. Kemudian Beliau memberitahu mereka agar tidak mengandalkan pada sepuluh sumber kepercayaan. Empat di antaranya berhubungan dengan pembentukan otoritas kitab suci (tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, dan kumpulan teks); empat pada landasan rasional (logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan); dan dua pada orang-orang yang memiliki otoritas (pembabar-pembabar yang mengesankan dan guru-guru yang terhormat). Nasihat ini kadang-kadang dikutip untuk membuktikan bahwa Sang Buddha menolak semua otoritas eksternal dan mengundang tiap-tiap individu untuk membentuk jalannya sendiri secara pribadi menuju kebenaran. Akan tetapi, membaca konteksnya, pesan dalam Kālāma Sutta cukup berbeda. Sang Buddha tidak menasihati penduduk Kālāma – yang, harus ditekankan, pada titik ini masih belum menjadi pengikutNya – untuk menolak semua tuntunan otoritatif yang mengarah pada pemahaman spiritual dan kembali pada intuisi pribadi mereka. Melainkan, Beliau menawarkan kepada mereka suatu jalan keluar yang sederhana dan pragmatis dari rawa keragu-raguan dan kebimbangan di mana mereka terbenam. Dengan menggunakan metode penyelidikan yang terampil, Beliau menuntun mereka untuk memahami sejumlah prinsip-prinsip dasar yang dapat dibuktikan oleh mereka melalui pengalaman pribadi mereka dan oleh karenanya memperoleh titik awal yang pasti untuk pengembangan spiritual lebih lanjut.  [1]

Yang selalu mendasari pertanyaan Sang Buddha dan jawaban mereka adalah alasan umum bahwa manusia pada umumnya termotivasi untuk bertindak atas dasar kesejahteraan dan kebahagiaan mereka sendiri. Dalam mengajukan kumpulan pertanyaan ini, tujuan Sang Buddha adalah untuk menuntun para penduduk Kālāma untuk melihat bahwa, bahkan jika kita mengabaikan segala pertimbangan akan kehidupan-kehidupan di masa depan, namun kondisi-kondisi batin tidak bermanfaat seperti membunuh, mencuri, pada akhirnya akan berakibat pada bahaya dan penderitaan seseorang di sini dan saat ini. Sebaliknya, kondisi-kondisi batin bermanfaat dan perbuatan-perbuatan bermanfaat meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan jangka panjang di sini dan saat ini. Begitu hal ini terlihat, akibat-akibat berbahaya yang segera terlihat yang padanya kondisi-kondisi batin tidak bermanfaat mengarah menjadi alasan yang cukup untuk meninggalkannya, sementara keuntungan bermanfaat yang padanya kondisi-kondisi batin bermanfaat mengarah menjadi alasan yang cukup untuk mengembangkannya. Kemudian, apakah ada atau tidak ada kehidupan setelah kematian, seseorang memiliki alasan yang cukup memadai dalam kehidupan ini untuk meninggalkan kondisi-kondisi batin tidak bermanfaat dan mengembangkan kondisi-kondisi batin bermanfaat. Jika ada kehidupan setelah kematian, maka balasan yang diterima seseorang bahkan lebih besar lagi.

Pendekatan serupa mendasari Teks III,3, yang mana Sang Buddha mendemonstrasikan bagaimana penderitaan saat ini muncul dan lenyap berkaitan dengan nafsu saat ini. Sutta pendek ini, dibabarkan kepada seorang pengikut awam, secara ringkas menjelaskan prinsip sebab-akibat yang terdapat di balik Empat Kebenaran Mulia, tetapi bukannya melakukannya secara abstrak, sutta ini mengadopsi suatu pendekatan konkrit dan membumi yang memiliki daya tarik kontemporer luar biasa. Dengan menggunakan contoh-contoh yang ditarik dari kehidupan seorang awam yang sangat terikat pada istri dan anaknya, sutta ini memberikan kesan mendalam pada kita.

Fakta bahwa teks-teks demikian seperti sutta ini dan Kālāma Sutta tidak membahas doktrin kamma dan kelahiran kembali bukan berarti, seperti yang kadang-kadang diasumsikan, bahwa ajaran-ajaran demikian adalah sisipan pada Dhamma yang dapat dihilangkan atau diabaikan tanpa kehilangan intinya. Hal ini hanya berarti bahwa, pada awalnya, Dhamma dapat didekati dalam cara-cara yang tidak membutuhkan rujukan pada kehidupan masa lampau dan masa depan. Ajaran Buddha memiliki banyak sisi, dan dengan demikian, dari sudut tertentu, dapat secara langsung dievaluasi pada perhatian kita pada kesejahteraan dan kebahagiaan kita saat ini. Begitu kita melihat bahwa praktik ajaran sungguh-sungguh membawa kedamaian, kegembiraan, dan keamanan batin dalam kehidupan ini, hal ini akan menginspirasi kepercayaan dan keyakinan dalam Dhamma sebagai keseluruhan, termasuk aspek-aspek yang terletak di luar kapasitas kita saat ini untuk pembuktian pribadi. Jika kita harus menjalankan praktik tertentu – praktik yang memerlukan keterampilan tinggi dan usaha keras – kita akan dapat memperoleh kemampuan yang diperlukan untuk membuktikan aspek-aspek lain itu, seperti hukum kamma, realitas kelahiran kembali, dan kehidupan di alam-alam halus (baca Teks VII,4 §§23-24 dan Teks VII,5 §§19-20).

Problem utama lainnya yang sering menyerang para pencari spiritual adalah tuntutan yang dibebankan oleh guru-guru pada kapasitas kepercayaan mereka. Problem ini menjadi sangat parah pada masa kita sekarang ini, ketika media berita dengan gembira menyorot kelemahan banyak guru-guru dan menerkam kesempatan untuk menunjukkan orang-orang suci masa kini sebagai tidak lebih baik daripada seorang penipu berjubah. Tetapi problem guru-guru palsu adalah kasus abadi yang tidak hanya terjadi pada masa kita. Ketika seseorang mengerahkan otoritas spiritual terhadap orang lain, adalah sangat mudah bagi orang itu untuk tergoda untuk mengeksploitasi kepercayaan orang lain terhadapnya dalam cara-cara yang dapat dengan serius menghalangi dirinya dan murid-muridnya. Ketika seorang murid mendatangi seorang guru yang mengaku telah tercerahkan sempurna dan dengan demikian mampu mengajarkan jalan menuju kebebasan akhir, murid harus memiliki kriteria tertentu untuk menguji sang guru untuk menentukan apakah sang guru sungguh-sungguh sesuai pengakuannya tentang dirinya – atau yang diyakini orang lain tentangnya.

Dalam Vimaṃsaka Sutta – Teks III, 4 – Sang Buddha menetapkan petunjuk yang dengannya seorang bhikkhu dapat menguji “Sang Tathāgata,” yaitu, Sang Buddha, untuk mengevaluasi klaim Beliau bahwa Beliau telah mencapai pencerahan sempurna. Salah satu ukuran pencerahan sempurna adalah kebebasan batin dari segala kekotoran. Jika seorang bhikkhu tidak mampu secara langsung melihat ke dalam pikiran Sang Buddha,  namun demikian ia dapat mengandalkan bukti-bukti tidak langsung untuk memastikan bahwa Sang Buddha bebas dari kekotoran-kekotoran, yaitu, dengan menilai perbuatan jasmani dan ucapan Sang Buddha ia dapat menyimpulkan bahwa kondisi-kondisi batin Sang Buddha adalah sangat murni, tidak terpengaruh oleh keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Sebagai tambahan dari kesimpulan melalui pengamatan itu, lebih jauh lagi Sang Buddha mendorong para bhikkhu untuk mendatanginya dan secara langsung menanyakan tentang kondisi-kondisi batinNya.

Begitu sang murid memperoleh keyakinan bahwa Sang Buddha adalah seorang guru yang berkualitas, maka kemudian ia melakukan pengujian tertinggi terhadap Sang Guru. Ia mempelajari ajaran Beliau, memasuki praktik, dan menembus Dhamma dengan pengetahuan langsung. Penembusan ini – di sini setara dengan pencapaian minimum memasuki-arus – menghasilkan perolehan “keyakinan yang tidak tergoyahkan,” keyakinan dari seseorang yang kokoh dalam jalan satu arah menuju kebebasan akhir.

Secara terpisah, Vimaṃsaka Sutta dapat memberikan kesan bahwa seseorang memperoleh keyakinan hanya setelah mencapai penembusan di dalam ajaran, dan karena penembusan adalah pembuktian-sendiri, maka keyakinan akan menjadi suatu hal yang berlebihan. Akan tetapi, kesan ini, adalah sepihak. Poin yang ditunjukkan oleh sutta adalah bahwa keyakinan menjadi tidak tergoyahkan sebagai hasil dari penembusan, bukan bahwa keyakinan memasuki sang jalan hanya setelah seseorang mencapai penembusan. Keyakinan adalah yang pertama dari lima kemampuan spiritual, dan dalam tingkat tertentu, sebagai keyakinan di dalam pencerahan Sang Buddha dan dalam prinsip-prinsip utama ajaranNya, ini adalah prasyarat bagi latihan yang lebih tinggi. Kita melihat keyakinan berfungsi dalam peran persiapan ini dalam Teks III,5, suatu ringkasan panjang dari Caṅki Sutta. Di sini, Sang Buddha menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki keyakinan di dalam sesuatu “melestarikan kebenaran” ketika ia mengatakan “ini adalah keyakinanku.” Ia “melestarikan kebenaran” karena ia sekadar menyatakan apa yang ia percayai tanpa melompat pada kesimpulan bahwa apa yang ia percayai adalah pasti benar dan segala sesuatu lainnya yang berlawanan adalah salah. Sang Buddha membedakan “pelestarian kebenaran” (saccānurakkhanā) dengan “penemuan kebenaran” (saccānubodha), yang dimulai dengan menumbuhkan keyakinan dalam seorang guru yang telah membuktikan dirinya layak menerima kepercayaan. Setelah memperoleh keyakinan dalam seorang guru demikian, kemudian ia mendatangi guru tersebut untuk menerima instruksi, mempelajari Dhamma, mempraktikkannya (menurut serangkaian langkah yang lebih terkalibrasi daripada teks sebelumnya), dan akhirnya melihat kebenaran tertinggi itu untuk dirinya sendiri.

Hal ini belum menandai akhir dari perjalanan seorang siswa, melainkan hanya penembusan awal ke dalam kebenaran, sekali lagi bersesuaian dengan pencapaian tingkat memasuki-arus. Setelah memperoleh penglihatan kebenaran, untuk mencapai “kedatangan terakhir pada kebenaran” (saccānupatti) – yaitu, pencapaian Kearahatan atau kebebasan akhir – ia harus mengulang, mengembangkan, dan melatih rangkaian langkah yang sama hingga ia sepenuhnya terserap dan menyatu dengan kebenaran tertinggi yang terungkap oleh penglihatan awal. Demikianlah keseluruhan proses latihan dalam Dhamma berakar pada pengalaman pribadi. Bahkan keyakinan harus berakar dalam penyelidikan dan pertanyaan dan bukan berdasarkan hanya pada kecenderungan emosional dan kepercayaan buta. Keyakinan berfungsi sebagai pendorong praktik; praktik yang mengarah menuju pemahaman berdasarkan pengalaman; dan ketika pemahamannya masak, akan mekar menjadi pencapaian penuh.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB III)
« Reply #21 on: 15 October 2011, 10:31:03 AM »
III. MENDATANGI DHAMMA

1. BUKAN DOKTRIN RAHASIA

“Tiga hal ini, para bhikkhu, dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka. Apakah tiga ini? Hubungan gelap dengan perempuan, mantra-mantra para brahmana, dan pandangan salah.

“Tetapi ketiga hal ini, para bhikkhu, bersinar terbuka, bukan secara rahasia. Apakah tiga ini? Bulan, matahari, dan Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata.”

(AN 3:129; I 282-83)

2. TANPA DOGMA ATAU KEPERCAYAAN MEMBUTA

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang mengembara bersama dengan sejumlah besar Saṅgha para bhikkhu ketika Beliau tiba di sebuah pemukiman para penduduk Kālāma bernama Kesaputta.  [2] Pada saat itu, para penduduk Kālāma di Kesaputta telah mendengar: “Dikatakan bahwa Petapa Gotama, putera Sakya yang meninggalkan keduniawian dari sebuah keluarga Sakya, telah tiba di Kesaputta. Sekarang berita baik sehubungan dengan Guru Gotama telah beredar sebagai berikut: ‘Bahwa Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, suci, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, Yang Tercerahkan, Sang Bhagavā. Setelah menembus dengan pengetahuan langsungNya sendiri dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, populasi ini dengan para petapa dan brahmana, dengan para deva dan manusia, Beliau mengajarkannya kepada orang lain. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dengan kata-kata dan makna yang benar, dan Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang murni dan sempurna sepenuhnya.’ Sekarang adalah baik sekali jika dapat menemui para Arahant demikian.”  [3]

Kemudian para penduduk Kālāma di Kesaputta mendatangi Sang Bhagavā. Beberapa orang bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya saling bertukar sapa dengan Beliau, dan setelah ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa hanya berdiam diri dan duduk di satu sisi. Kemudian para penduduk Kālāma itu berkata kepada Sang Bhagavā:

“Yang Mulia, beberapa petapa dan brahmana yang datang ke Kesaputta menjelaskan dan membabarkan doktrin-doktrin mereka sendiri, tetapi meremehkan, menolak, mencela, dan menjelek-jelekkan doktrin yang lain. Tetapi kemudian beberapa petapa dan brahmana lainnya datang ke Kesaputta, dan mereka juga menjelaskan dan membabarkan doktrin-doktrin mereka sendiri, tetapi meremehkan, menolak, mencela, dan menjelek-jelekkan doktrin yang lain. Bagi kami, Yang Mulia, muncul kebingungan dan keraguan sehubungan dengan petapa mana yang mengatakan yang sebenarnya dan yang mana yang berbohong.”

“Adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi bingung, O penduduk Kālāma, adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi ragu-ragu. Keragu-raguan muncul dalam diri kalian sehubungan dengan suatu persoalan yang membingungkan. Marilah, O Kālāma. Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir, ‘Petapa itu adalah guru kami.’  [4] Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri, ‘Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,’ maka kalian harus meninggalkannya.

“Bagaimana menurut kalian, penduduk Kālāma? Ketika keserakahan, kebencian, dan kebodohan muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?”  [5] – “Demi bahaya baginya, Yang Mulia.” – “Kālāma, seseorang yang serakah, membenci, dan bodoh, dikuasai oleh keserakahan, kebencian, dan kebodohan, pikirannya dikendalikan oleh keserakahan, kebencian, dan kebodohan, akan menghancurkan kehidupan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan perilaku salah dalam hubungan seksual, dan mengucapkan kebohongan; ia juga akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal yang sama. Apakah itu akan mengakibatkan bahaya dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?” – “Benar, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurut kalian, penduduk Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” –“ Tidak bermanfaat, Yang Mulia.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tercela, Yang Mulia.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dicela, Yang Mulia.” – “Dijalankan dan dipraktikkan, apakah hal-hal ini mengarah menuju bahaya dan penderitaan atau tidak, atau bagaimanakah dalam kasus ini?” – “Dijalankan dan dipraktikkan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan. Demikianlah hal ini terlihat pada kami dalam kasus ini.”

“Adalah karena alasan ini, penduduk Kālāma, maka kami berkata: Jangan menuruti tradisi lisan …

“Marilah, O penduduk Kālāma. Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir, ‘Petapa itu adalah guru kami.’  Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri, ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka kalian harus menekuninya.

“Bagaimana menurut kalian, penduduk Kālāma? Ketika ketidak-serakahan, ketidak-bencian, dan ketidak-bodohan muncul dalam diri seseorang, apakah hal itu demi kesejahteraan atau bahaya baginya?” – “Demi kesejahteraan baginya, Yang Mulia.” – “Kālāma, seseorang yang tidak serakah, tidak membenci, dan tidak bodoh, tidak dikuasai oleh keserakahan, kebencian, dan kebodohan, pikirannya tidak dikendalikan oleh keserakahan, kebencian, dan kebodohan, akan menghindari menghancurkan kehidupan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan perilaku salah dalam hubungan seksual, dan menghindari mengucapkan kebohongan; ia juga akan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal yang sama. Apakah itu akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baginya untuk waktu yang lama?” – “Benar, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurut kalian, penduduk Kālāma? Apakah hal-hal ini adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat?” –“Bermanfaat, Yang Mulia.” - “Tercela atau tidak tercela?” – “Tidak tercela, Yang Mulia.” – “Dicela atau dipuji oleh para bijaksana?” – “Dipuji, Yang Mulia.” – “Dijalankan dan dipraktikkan, apakah hal-hal ini mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimanakah dalam kasus ini?” – “Dijalankan dan dipraktikkan, maka hal-hal ini akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikianlah hal ini terlihat pada kami dalam kasus ini.”

“Adalah karena alasan ini, penduduk Kālāma, maka kami berkata: Jangan menuruti tradisi lisan …

“Kemudian, penduduk Kālāma, siswa mulia itu – tanpa iri-hati, tanpa niat-buruk, tidak bingung, memahami dengan jernih, penuh perhatian – berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta-kasih, demikian pula dengan arah ke dua, ke tiga, dan ke empat.  [6] Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta-kasih, luas, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat-buruk.

“Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas-kasih … dengan kegembiraan altruistik … dengan keseimbangan, demikian pula dengan arah ke dua, ke tiga, dan ke empat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada diri sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan keseimbangan, luas, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat-buruk.

“Ketika, penduduk Kālāma, siswa mulia ini telah membebaskan pikirannya dari permusuhan, bebas dari niat-buruk, tidak cacat dan murni, ia telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini.

“Jaminan pertama yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Jika ada dunia lain, dan jika perbuatan baik dan buruk menghasilkan buah dan menghasilkan akibat, maka adalah mungkin bahwa dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, maka aku akan muncul di alam yang baik, di alam surga.’

“Jaminan ke dua yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Jika tidak ada dunia lain, dan jika perbuatan baik dan buruk tidak menghasilkan buah dan tidak menghasilkan akibat, tetap saja di sini, dalam kehidupan ini, aku hidup dengan bahagia, bebas dari permusuhan dan niat-buruk.’

“Jaminan ke tiga yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan menimpa si pelaku kejahatan. Maka, karena aku tidak bermaksud jahat terhadap siapa pun, bagaimana mungkin penderitaan menimpaku, seorang yang tidak melakukan perbuatan jahat?’

“Jaminan ke empat yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan tidak menimpa si pelaku kejahatan. Maka di sini aku akan melihat diriku dimurnikan dalam kedua hal.’  [7]

“Ketika, penduduk Kālāma, siswa mulia ini telah membebaskan pikirannya dari permusuhan, bebas dari niat-buruk, tidak cacat dan murni, ia telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini.”

“Menakjubkan, Yang Mulia!, mengagumkan, Yang Mulia! Sang Bhagavā telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara, seolah-olah Beliau menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan bagi seseorang yang tersesat, atau memegang pelita dalam kegelapan sehingga mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Kami sekarang menyatakan berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan kepada Saṅgha. Sudilah Sang Bhagavā menerima kami sebagai pengikut awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga akhir hidup kami.”  [8]

(AN 3:65; I 188-93)

3. ASAL-MULA YANG TERLIHAT DAN LENYAPNYA PENDERITAAN

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di sebuah kota orang-orang Malla bernama Uruvelakappa. Kemudian Bhadraka si kepala desa  [9] mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Baik sekali, Yang Mulia, jika Bhagavā sudi mengajarkan kepadaku mengenai asal-mula dan lenyapnya penderitaan.”

“Jika, kepala desa, Aku mengajarkan kepadamu mengenai asal-mula dan lenyapnya penderitaan masa lalu, dengan mengatakan, ‘Demikianlah di masa lalu,’ kebingungan dan keraguan mengenai hal itu akan muncul dalam dirimu. Dan jika Aku mengajarkan kepadamu mengenai asal-mula dan lenyapnya penderitaan masa depan, dengan mengatakan, ‘Demikianlah di masa depan,’ kebingungan dan keraguan mengenai hal itu akan muncul dalam dirimu. Sebaliknya, kepala desa, selagi Aku duduk di sini, dan engkau duduk di sana, Aku akan mengajarkan kepadamu mengenai asal-mula dan lenyapnya penderitaan. Dengarkan dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” Kepala Desa Bhadraka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Bagaimana menurutmu, Kepala Desa? Adakah orang-orang di Uruvelakappa yang karenanya, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan akan muncul dalam dirimu jika mereka dieksekusi, dipenjara, dihukum, atau dicela?”

“Ada orang-orang demikian, Yang Mulia.”

“Tetapi adakah orang-orang di Uruvelakappa yang karenanya, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan tidak muncul dalam dirimu dalam peristiwa demikian?”

“Ada orang-orang demikian, Yang Mulia.”

“Apakah, Kepala Desa, sebab dan alasan mengapa sehubungan dengan beberapa orang di Uruvelakappa, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan muncul dalam dirimu jika mereka dieksekusi, dipenjara, dihukum, atau dicela, sementara sehubungan dengan orang-orang lainnya, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan tidak muncul dalam dirimu?”

“Orang-orang di Uruvelakappa itu, Yang Mulia, yang sehubungan dengan mereka, kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan muncul dalam diriku jika mereka dieksekusi, dipenjara, dihukum, atau dicela – mereka adalah orang-orang yang terhadap mereka aku memiliki keinginan dan kemelekatan. Tetapi Orang-orang di Uruvelakappa itu, yang sehubungan dengan mereka tidak ada kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan muncul dalam diriku - mereka adalah orang-orang yang terhadap mereka aku tidak memiliki keinginan dan kemelekatan.”

“Kepala Desa, dengan prinsip ini yang terlihat, dipahami, segera tercapai, terukur, terapkan metode ini ke masa lalu dan ke masa depan sebagai berikut: ‘Penderitaan apapun yang muncul di masa lalu, semuanya itu muncul dengan berakar pada keinginan, dengan keinginan sebagai sumbernya; karena keinginan adalah akar dari penderitaan. Penderitaan apapun yang akan muncul di masa depan, semuanya itu muncul dengan berakar pada keinginan, dengan keinginan sebagai sumbernya; karena keinginan adalah akar dari penderitaan.’”

“Sungguh mengagumkan, Yang Mulia! Sungguh menakjubkan, Yang Mulia! Betapa indahnya hal itu dinyatakan oleh Bhagavā: ‘Penderitaan apapun yang muncul, semuanya itu muncul dengan berakar pada keinginan, dengan keinginan sebagai sumbernya; karena keinginan adalah akar dari penderitaan.’  [10] Yang Mulia, aku memiliki seorang anak bernama Ciravāsī, yang menetap di tempat lain. Aku bangun pagi-pagi dan mengutus seseorang, dengan mengatakan, ‘Pergilah, dan lihat bagaimana keadaan Ciravāsī.’ Hingga orang itu kembali, Yang Mulia, aku merasa tidak tenang, berpikir, ‘Kuharap Ciravāsī tidak mengalami penderitaan apapun!’”

“Bagaimana menurutmu, Kepala Desa? Jika Ciravāsī dieksekusi, dipenjara, dihukum, atau dicela, apakah kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan akan muncul dalam dirimu?”

“Yang Mulia, Jika Ciravāsī dieksekusi, dipenjara, dihukum, atau dicela, bahkan hidupku menjadi sia-sia, jadi bagaimana mungkin kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan tidak muncul dalam diriku?”

“Demikianlah, Kepala Desa, dapat dipahami: ‘Penderitaan apapun yang muncul, semuanya itu muncul dengan berakar pada keinginan, dengan keinginan sebagai sumbernya; karena keinginan adalah akar dari penderitaan.’

“Bagaimana menurutmu, Kepala Desa? Sebelum engkau bertemu dengan ibu Ciravāsī atau mendengar tentangnya, apakah engkau memiliki keinginan, kemelekatan, atau kasih sayang terhadapnya?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Kalau begitu apakah, Kepala Desa, karena melihatnya atau mendengar tentangnya maka keinginan, kemelekatan, dan kasih sayang muncul dalam dirimu?”

“Benar, Yang Mulia.”

“Bagaimana menurutmu, Kepala Desa? Jika ibu Ciravāsī dieksekusi, dipenjara, dihukum, atau dicela, apakah kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan akan muncul dalam dirimu?”

“Yang Mulia, Jika ibu Ciravāsī dieksekusi, dipenjara, dihukum, atau dicela, bahkan hidupku menjadi sia-sia, jadi bagaimana mungkin kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan, dan keputus-asaan tidak muncul dalam diriku?”

“Demikianlah pula, Kepala Desa, dapat dipahami: ‘Penderitaan apapun yang muncul, semuanya itu muncul dengan berakar pada keinginan, dengan keinginan sebagai sumbernya; karena keinginan adalah akar dari penderitaan.’”

(SN 42:11; IV 327-30)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB III)
« Reply #22 on: 15 October 2011, 10:32:59 AM »
4. MENYELIDIKI SANG GURU SENDIRI

1. Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang penanya, tidak mengetahui bagaimana mengukur pikiran orang lain,  [11] seharusnya menyelidiki pikiran Sang Tathāgata untuk mengetahui apakah Beliau tercerahkan sempurna atau tidak.”

3. “Yang Mulia, ajaran kami berakar dalam Sang Bhagavā, dituntun oleh Sang Bhagavā, dilindungi oleh Sang Bhagavā. Baik sekali jika Sang Bhagavā sudi menjelaskan makna dari kata-kata ini. Setelah mendengarkan dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, para bhikkhu, dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.”

“Baik, Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

4. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang penanya, tidak mengetahui bagaimana mengukur pikiran orang lain, seharusnya menyelidiki pikiran Sang Tathāgata sehubungan dengan dua kondisi, kondisi yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga sebagai berikut: ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata, kondisi apapun yang mengotori yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’  [12] Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi apapun yang mengotori yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga yang dapat ditemukan pada Sang Tathāgata.’

5. “Ketika ia mengetahui hal ini, ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata kondisi campuran apapun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’  [13] Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi campuran apapun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga yang dapat ditemukan pada Sang Tathāgata.’

6. “Ketika ia mengetahui hal ini, ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata kondisi bersih apapun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’ Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Kondisi bersih yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga  terdapat pada Sang Tathāgata.’

7. “Ketika ia mengetahui hal ini, ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia ini telah mencapai kondisi bermanfaat ini sejak waktu yang lama atau apakah ia baru saja mencapainya?’ Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Yang Mulia ini telah mencapai kondisi bermanfaat ini sejak waktu yang lama; ia bukan baru saja mencapainya.’

8. “Ketika ia mengetahui hal ini, ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia ini telah memiliki reputasi dan mencapai kemasyhuran, sehingga bahaya [yang berhubungan dengan reputasi dan kemasyhuran] terdapat padanya?’ Karena, para bhikkhu, selama seorang bhikkhu belum memiliki reputasi dan belum mencapai kemasyhuran, maka bahaya [yang berhubungan dengan reputasi dan kemasyhuran] tidak terdapat padanya; tetapi ketika ia telah memiliki reputasi dan mencapai kemasyhuran, maka bahaya-bahaya itu terdapat padanya.  [14] Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Yang Mulia ini telah memiliki reputasi dan mencapai kemasyhuran, tetapi bahaya [yang berhubungan dengan reputasi dan kemasyhuran]  tidak terdapat padanya.’

9. “Ketika ia mengetahui hal ini, ia menyelidiki Beliau lebih lanjut sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia ini terkendali tanpa ketakutan, bukan terkendali oleh ketakutan, dan apakah ia menghindari perbuatan yang melibatkan diri dalam kenikmatan indria karena ia adalah tanpa nafsu melalui hancurnya nafsu?’ Ketika ia menyelidikinya, ia mengetahui: ‘Yang Mulia ini terkendali tanpa ketakutan, bukan terkendali oleh ketakutan, dan ia menghindari perbuatan yang melibatkan diri dalam kenikmatan indria karena ia adalah tanpa nafsu melalui hancurnya nafsu.’

10. “Sekarang, para bhikkhu, jika orang lain bertanya kepada bhikkhu itu sebagai berikut: ‘Apakah alasan yang mulia dan apakah buktinya sehingga ia mengatakan: “Yang Mulia itu terkendali tanpa ketakutan, bukan terkendali oleh ketakutan, dan ia menghindari perbuatan yang melibatkan diri dalam kenikmatan indria karena ia adalah tanpa nafsu melalui hancurnya nafsu.”?’ – jika menjawab dengan benar, bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia itu bersama dengan Sangha ataupun sendirian, sementara terdapat beberapa orang yang berperilaku baik dan beberapa orang berperilaku buruk dan beberapa orang mengajar suatu kelompok, sementara beberapa orang di sini mementingkan benda-benda materi dan beberapa orang tidak ternoda oleh benda-benda materi, namun Yang Mulia itu tidak merendahkan siapapun karena hal tersebut.  [15] Dan aku telah mendengar dan mengetahui hal ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: “Aku terkendali tanpa ketakutan, bukan terkendali oleh ketakutan, dan Aku menghindari perbuatan yang melibatkan diri dalam kenikmatan indria karena Aku adalah tanpa nafsu melalui hancurnya nafsu.”’

11. “Sang Tathāgata, para bhikkhu, harus ditanya lebih jauh mengenai hal ini sebagai berikut: ‘Apakah terdapat atau tidak terdapat pada Sang Tathāgata kondisi apapun yang mengotori yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’ Sang Tathāgata akan menjawab: ‘Tidak ada kondisi apapun yang mengotori yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga terdapat pada Sang Tathāgata.’

12. “Jika ditanya, ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata kondisi campuran apapun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’ Sang Tathāgata akan menjawab: ‘Tidak ada kondisi campuran apapun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga yang dapat ditemukan pada Sang Tathāgata.’

13. “Jika ditanya, ‘Ada atau tidakkah terdapat pada Sang Tathāgata kondisi bersih apapun yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga?’ Sang Tathāgata akan menjawab: ‘Kondisi bersih yang dapat dikenali melalui mata atau melalui telinga  terdapat pada Sang Tathāgata. Itu adalah jalan dan wilayahKu, namun Aku tidak mengidentifikasikan dengannya.’

14. “Para bhikkhu, seorang siswa seharusnya mendatangi Sang Guru yang mengajarkan demikian untuk mendengarkan Dhamma. Sang Guru mengajarkan kepadanya Dhamma dengan tingkat yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, dengan tingkat yang lebih luhur dan lebih luhur lagi, dengan pasangan-pasangan gelap dan cerahnya. Ketika Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada seorang bhikkhu dengan cara ini, melalui pengetahuan langsung terhadap suatu ajaran tertentu di sini dalam Dhamma itu, bhikkhu itu sampai pada kesimpulan mengenai ajaran.  [16] Ia berkeyakinan pada Sang Guru sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Saṅgha mempraktikkan jalan yang baik.’

15. “Sekarang jika orang lain bertanya kepada bhikkhu itu sebagai berikut: ‘Apakah alasan yang mulia dan apakah buktinya sehingga ia mengatakan: “Sang Bhagavā telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.”?’ – jika menjawab dengan benar, bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Di sini, teman, aku mendatangi Sang Bhagavā untuk mendengarkan Dhamma. Sang Bhagavā mengajarkan kepadaku Dhamma dengan tingkat yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, dengan tingkat yang lebih luhur dan lebih luhur lagi, dengan pasangan-pasangan gelap dan cerahnya. Ketika Sang Guru mengajarkan Dhamma kepadaku dengan cara ini, melalui pengetahuan langsung terhadap suatu ajaran tertentu di sini dalam Dhamma itu, aku sampai pada kesimpulan mengenai ajaran. Aku berkeyakinan pada Sang Guru sebagai berikut: “Sang Bhagavā telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan baik, Saṅgha mempraktikkan jalan yang baik.’

16. “Para bhikkhu, ketika keyakinan siapapun telah ditanam, berakar, dan kokoh dalam Sang Tathāgata melalui alasan-alasan, kata-kata, dan frasa-frasa ini, keyakinannya dikatakan sebagai didukung oleh alasan-alasan, berakar dalam penglihatan, kokoh; tidak terkalahkan oleh petapa atau brahmana manapun atau dewa atau Māra atau Brahmā atau siapapun di dunia ini.  [17] Itulah, para bhikkhu, bagaimana terdapat suatu penyelidikan terhadap Sang Tathāgata sesuai Dhamma, dan itulah bagaimana Sang Bhagavā diselidiki dengan baik sesuai Dhamma.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

(MN 47: Vimaṃsaka Sutta; I 317-20)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB III)
« Reply #23 on: 15 October 2011, 10:34:06 AM »
5. LANGKAH-LANGKAH MENUJU PENEMBUSAN KEBENARAN

10. Kemudian Brahmana Cankī,  [18] bersama dengan sejumlah besar brahmana, pergi mendatangi Sang Bhagavā, saling bertukar sapa dengan Beliau, dan ia duduk di satu sisi.

11. Pada saat itu Sang Bhagavā sedang duduk dan beramah-tamah dengan beberapa brahmana yang sangat senior. Ketika itu, duduk dalam kumpulan itu, seorang murid brahmana bernama Kāpaṭhika. Muda, berkepala-gundul, berusia enam belas tahun, ia adalah seorang yang menguasai Tiga Veda dengan kosa-kata, liturgi, fonologi, dan etimologi, dan sejarah-sejarah sebagai yang ke lima; mahir dalam ilmu bahasa dan tata bahasa, ia mahir dalam filosofi alam dan dalam tanda-tanda manusia luar biasa. Sementara para brahmana yang sangat senior sedang berbincang-bincang dengan Sang Bhagavā, ia berulang-ulang menyela pembicaraan mereka. Kemudian Sang Bhagavā menegur murid brahmana Kāpaṭhika sebagai berikut: “Yang terhormat Bhāradvāja  [19] sebaiknya tidak menyela pembicaraan para brahmana senior ketika mereka sedang berbicara. Ia seharusnya menunggu hingga pembicaraan selesai.”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Cankī berkata kepada Sang Bhagavā: “Mohon Guru Gotama tidak menegur murid brahmana Kāpaṭhika. Murid brahmana Kāpaṭhika adalah seorang yang sangat terpelajar, ia adalah penyampai ajaran yang baik, ia bijaksana; ia mampu mengambil bagian dalam diskusi dengan Guru Gotama.”

12. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Tentu saja, karena para brahmana menghormatinya demikian, murid brahmana Kāpaṭhika pasti mahir dalam kitab Tiga Veda.”

Kemudian, mengetahui pikiran murid brahmana Kāpaṭhika dengan pikiran Beliau sendiri, Sang Bhagavā berpaling kepadanya. Kemudian murid brahmana Kāpaṭhika berpikir: “Petapa Gotama telah berpaling kepadaku. Bagaimana jika aku mengajukan sebuah pertanyaan.” Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, sehubungan dengan syair-syair pujian brahmana kuno yang diturunkan melalui penyampaian lisan, yang dilestarikan dalam kitab-kitab, para brahmana sampai pada kesimpulan pasti: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Apakah yang Guru Gotama katakan sehubungan dengan hal ini?”

13. “Bagaimanakah, Bhāradvāja, di antara para brahmana adakah bahkan seorang brahmana yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

“Bagaimanakah, Bhāradvāja, di antara para brahmana adakah bahkan seorang guru atau guru dari para guru sampai tujuh generasi para guru sebelumnya yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

“Bagaimanakah, Bhāradvāja, para petapa brahmana masa lampau, para pencipta syair-syair pujian, para penggubah syair-syair pujian, yang syair-syair pujiannya dulu dibacakan, diucapkan, dan dihimpun, yang oleh para brahmana sekarang masih dibacakan dan diulangi – yaitu, Aṭṭhaka, Vāmaka, Vāmadeva, Vessāmitta, Yamataggi, Angirasa, Bhāradvāja, Vāseṭṭha, Kassapa, dan Bhagu  [20] - apakah bahkan para petapa brahmana masa lampau ini mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah’?” – “Tidak, Guru Gotama.”

“Jadi, Bhāradvāja, sepertinya di antara para brahmana tidak ada bahkan seorang brahmana yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Dan di antara para brahmana tidak ada bahkan seorang guru atau guru dari para guru sampai tujuh generasi para guru sebelumnya yang mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Dan para petapa brahmana masa lampau, para pencipta syair-syair pujian, para penggubah syair-syair pujian … bahkan para petapa brahmana masa lampau ini tidak mengatakan sebagai berikut: ‘Aku mengetahui ini, aku melihat ini: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Misalkan terdapat sebaris orang buta yang masing-masing bersentuhan dengan yang berikutnya: orang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir tidak melihat. Demikian pula, Bhāradvāja, sehubungan dengan pernyataan mereka, para brahmana itu tampak seperti sebaris orang buta itu: orang pertama tidak melihat, yang di tengah tidak melihat, dan yang terakhir tidak melihat. Bagaimana menurutmu, Bhāradvāja, oleh karena itu, apakah keyakinan para brahmana itu terbukti tidak berdasar?”

14. “Para brahmana menghormati ini hanya karena keyakinan, Guru Gotama. Mereka juga menghormatinya sebagai tradisi lisan.”

“Bhāradvāja, pertama-tama engkau berpegang pada keyakinan, sekarang engkau mengatakan tradisi lisan. Ada lima hal, Bhāradvāja, yang mungkin terbukti dalam dua cara berbeda di sini dan saat ini. Apakah lima ini? Keyakinan, persetujuan, tradisi lisan, pertimbangan, dan penerimaan pandangan melalui perenungan.  [21] Kelima hal ini mungkin terbukti dalam dua cara berbeda di sini dan saat ini. Sekarang sesuatu mungkin sepenuhnya diterima karena keyakinan, namun hal itu mungkin kosong, hampa, dan salah; tetapi hal lainnya mungkin tidak sepenuhnya diterima karena keyakinan, namun hal itu mungkin adalah fakta, benar, dan tidak salah. Kemudian, sesuatu mungkin sepenuhnya disetujui … disampaikan dengan baik … dipertimbangkan dengan baik … direnungkan dengan baik, namun hal itu mungkin kosong, hampa, dan salah; tetapi hal lainnya mungkin tidak direnungkan dengan baik, namun hal itu mungkin adalah fakta, benar, dan tidak salah. [Dalam kondisi-kondisi ini] adalah tidak selayaknya bagi seorang bijaksana yang melestarikan kebenaran untuk sampai pada kesimpulan pasti: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’”  [22]

15. “Tetapi, Guru Gotama, dengan cara bagaimanakah pelestarian kebenaran itu?  [23] Bagaimanakah seseorang melestarikan kebenaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang pelestarian kebenaran.”

“Jika seseorang memiliki keyakinan, Bhāradvāja, ia melestarikan kebenaran ketika ia mengatakan: ‘Keyakinanku adalah demikian’; tetapi ia belum sampai pada kesimpulan pasti: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Dengan cara ini terjadi pelestarian kebenaran; dengan cara inilah ia melestarikan kebenaran; dengan cara ini kami menjelaskan pelestarian kebenaran. Tetapi belum terjadi penemuan kebenaran.  [24]

“Jika seseorang menyetujui sesuatu … jika ia menerima penyampaian tradisi lisan … jika ia [sampai pada kesimpulan yang berdasarkan pada] pertimbangan … jika ia memperoleh penerimaan pandangan melalui perenungan, ia melestarikan kebenaran ketika ia mengatakan: ‘Penerimaanku atas suatu pandangan setelah merenungkan adalah demikian’; tetapi ia belum sampai pada kesimpulan pasti: ‘Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’ Dengan cara ini juga, Bhāradvāja, terjadi pelestarian kebenaran; dengan cara ini ia melestarikan kebenaran; dengan cara ini kami menjelaskan pelestarian kebenaran. Tetapi belum terjadi penemuan kebenaran.”

16. “Dengan cara itu, Guru Gotama, terjadi pelestarian kebenaran; dengan cara itu seseorang melestarikan kebenaran; dengan cara itu kami mengetahui pelestarian kebenaran. Tetapi dengan cara bagaimanakah, Guru Gotama, penemuan kebenaran itu? Dengan cara bagaimanakah seseorang menemukan kebenaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang penemuan kebenaran.”

17. “Di sini, Bhāradvāja, seorang bhikkhu mungkin hidup dengan bergantung pada suatu desa atau pemukiman. Kemudian seorang perumah-tangga atau putera perumah-tangga mendatanginya dan menyelidikinya sehubungan dengan tiga jenis kondisi: sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada keserakahan, sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebencian, dan sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebodohan: ‘Adakah pada Yang Mulia ini kondisi-kondisi apa pun yang berdasarkan pada keserakahan sehingga, dengan pikirannya dikuasai oleh kondisi-kondisi tersebut, walaupun tidak mengetahui ia akan mengatakan, “Aku tahu,” atau walaupun tidak melihat ia akan mengatakan “Aku melihat,” atau ia mungkin mendorong orang lain untuk berbuat dalam suatu cara yang akan mengarahkannya pada bahaya dan penderitaan untuk waktu yang lama?’ Ketika ia menyelidikinya ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi-kondisi yang berdasarkan pada keserakahan demikian pada Yang Mulia ini. Perilaku jasmani dan perilaku ucapan dari Yang Mulia ini tidak seperti seorang yang terpengaruh oleh keserakahan. Dan Dhamma yang diajarkan oleh Yang Mulia ini adalah mendalam, sulit dilihat dan sulit dipahami, damai dan luhur, tidak dapat dicapai hanya melalui penalaran, halus, untuk dialami oleh para bijaksana. Dhamma ini tidak mungkin dengan mudah diajarkan oleh seorang yang terpengaruh oleh keserakahan.’

18. “Ketika ia telah menyelidikinya dan telah melihat bahwa ia murni dari kondisi-kondisi yang berdasarkan pada keserakahan, selanjutnya ia menyelidikinya sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebencian: ‘Adakah pada Yang Mulia ini kondisi-kondisi apa pun yang berdasarkan pada kebencian sehingga, dengan pikirannya dikuasai oleh kondisi-kondisi tersebut … ia mungkin mendorong orang lain untuk berbuat dalam suatu cara yang akan mengarahkannya pada bahaya dan penderitaan untuk waktu yang lama?’ Ketika ia menyelidikinya ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebencian demikian pada Yang Mulia ini. Perilaku jasmani dan perilaku ucapan dari Yang Mulia ini tidak seperti seorang yang terpengaruh oleh kebencian. Dan Dhamma yang diajarkan oleh Yang Mulia ini adalah mendalam … untuk dialami oleh para bijaksana. Dhamma ini tidak mungkin dengan mudah diajarkan oleh seorang yang terpengaruh oleh kebencian.’

19. Ketika ia telah menyelidikinya dan telah melihat bahwa ia murni dari kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebencian, selanjutnya ia menyelidikinya sehubungan dengan kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebodohan: ‘Adakah pada Yang Mulia ini kondisi-kondisi apa pun yang berdasarkan pada kebodohan sehingga, dengan pikirannya dikuasai oleh kondisi-kondisi tersebut … ia mungkin mendorong orang lain untuk berbuat dalam suatu cara yang akan mengarahkannya pada bahaya dan penderitaan untuk waktu yang lama?’ Ketika ia menyelidikinya ia mengetahui: ‘Tidak ada kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebodohan demikian pada Yang Mulia ini. Perilaku jasmani dan perilaku ucapan dari Yang Mulia ini tidak seperti seorang yang terpengaruh oleh kebodohan. Dan Dhamma yang diajarkan oleh Yang Mulia ini adalah mendalam … untuk dialami oleh para bijaksana. Dhamma ini tidak mungkin dengan mudah diajarkan oleh seorang yang terpengaruh oleh kebodohan.’

20. “Ketika ia telah menyelidikinya dan telah melihat bahwa ia murni dari kondisi-kondisi yang berdasarkan pada kebodohan, kemudian ia berkeyakinan padanya; dengan penuh keyakinan ia mengunjunginya dan memberikan penghormatan kepadanya; setelah memberikan penghormatan, ia menyimak; ketika ia mendengarkan, ia mendengar Dhamma; setelah mendengar Dhamma, ia menghafalnya dan meneliti makna dari ajaran yang telah ia hafalkan; ketika ia meneliti makna-maknanya, ia menerima ajaran-ajaran itu sebagai hasil dari perenungan terhadap ajaran-ajaran itu; ketika ia menerima ajaran-ajaran itu sebagai hasil dari perenungan terhadap ajaran-ajaran itu, semangat muncul; ketika semangat muncul, ia mengerahkan tekadnya; setelah mengerahkan tekadnya, ia menyelidiki; setelah menyelidiki, ia berusaha; karena berusaha dengan tekun, ia dengan tubuhnya mencapai kebenaran tertinggi dan melihat dengan menembusnya dengan kebijaksanaan.  [25] Dengan cara ini, Bhāradvāja, terjadi penemuan kebenaran; dengan cara ini seseorang menemukan kebenaran; dengan cara ini kami menjelaskan penemuan kebenaran. Tetapi masih belum kedatangan akhir pada kebenaran.”  [26]

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB III)
« Reply #24 on: 15 October 2011, 10:34:26 AM »

21. “Dengan cara itu, Guru Gotama, terjadi penemuan kebenaran; dengan cara itu seseorang menemukan kebenaran; dengan cara itu kami mengetahui penemuan kebenaran. Tetapi dengan cara bagaimanakah, Guru Gotama, terjadi kedatangan akhir pada kebenaran? Dengan cara bagaimanakah seseorang akhirnya sampai pada kebenaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang kedatangan akhir pada kebenaran.”

“Kedatangan akhir pada kebenaran, Bhāradvāja, terletak pada pengulangan, pengembangan, dan pelatihan hal-hal yang sama itu. Dengan cara inilah, Bhāradvāja, terjadi kedatangan akhir pada kebenaran; dengan cara ini seseorang akhirnya sampai pada kebenaran; dengan cara ini kami menjelaskan kedatangan akhir pada kebenaran.”

22. “Dengan cara itu, Guru Gotama, terjadi kedatangan akhir pada kebenaran; dengan cara itu seseorang akhirnya sampai pada kebenaran; dengan cara itu kami mengetahui kedatangan akhir pada kebenaran. Tetapi dengan cara apakah, Guru Gotama, hal yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran.”

“Usaha adalah yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak berusaha, maka ia tidak akan, pada akhirnya, sampai pada kebenaran; tetapi karena ia berusaha, maka ia akhirnya sampai pada kebenaran. Itulah sebabnya mengapa usaha adalah yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran.”

23. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi usaha? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi usaha.”

“Penyelidikan adalah yang paling membantu bagi usaha, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak menyelidiki, maka ia tidak akan berusaha; tetapi karena ia menyelidiki, maka ia berusaha. Itulah sebabnya mengapa penyelidikan adalah yang paling membantu bagi usaha.”

24. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi penyelidikan? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi penyelidikan.”

“Pengerahan tekad adalah yang paling membantu bagi penyelidikan, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak mengerahkan tekadnya, maka ia tidak akan menyelidiki; tetapi karena ia mengerahkan tekadnya, maka ia menyelidiki. Itulah sebabnya mengapa pengerahan tekad adalah yang paling membantu bagi penyelidikan.”

25. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi pengerahan tekad? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi pengerahan tekad.”

“Semangat adalah yang paling membantu bagi pengerahan tekad, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak membangkitkan semangat, maka ia tidak akan mengerahkan tekadnya; tetapi karena ia membangkitkan semangat, maka ia berusaha. Itulah sebabnya mengapa semangat adalah yang paling membantu bagi pengerahan tekad.”

26. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi semangat? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi semangat.”

“Menerima ajaran-ajaran sebagai hasil dari perenungan terhadap ajaran-ajaran adalah yang paling membantu bagi semangat, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak menerima ajaran-ajaran sebagai hasil dari perenungan terhadap ajaran-ajaran, maka semangat tidak akan muncul; tetapi karena ia menerima ajaran-ajaran sebagai hasil dari perenungan terhadap ajaran-ajaran, maka semangat muncul. Itulah sebabnya mengapa menerima ajaran-ajaran sebagai hasil dari perenungan terhadap ajaran-ajaran adalah yang paling membantu bagi semangat.”

27. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu untuk menerima ajaran-ajaran sebagai hasil dari perenungan terhadap ajaran-ajaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu untuk menerima ajaran-ajaran sebagai hasil dari perenungan terhadap ajaran-ajaran.”

“Penelitian makna adalah yang paling membantu untuk menerima ajaran-ajaran sebagai hasil dari perenungan terhadap ajaran-ajaran, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak meneliti makna-maknanya, maka ia tidak akan menerima ajaran-ajaran sebagai hasil dari perenungan terhadap ajaran-ajaran; tetapi karena ia meneliti makna-maknanya, maka ia menerima ajaran-ajaran sebagai hasil dari perenungan terhadap ajaran-ajaran. Itulah sebabnya mengapa penelitian adalah yang paling membantu untuk menerima ajaran-ajaran sebagai hasil dari perenungan terhadap ajaran-ajaran.”

28. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu bagi penelitian makna? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi penelitian makna.”

“menghafalkan ajaran-ajaran adalah yang paling membantu bagi penelitian makna, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak menghafalkan ajaran, maka ia tidak akan meneliti maknanya; tetapi karena ia menghafalkan ajaran, maka ia meneliti maknanya.”

29. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu untuk menghafalkan ajaran-ajaran? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu untuk menghafalkan ajaran-ajaran.”

“Mendengarkan Dhamma adalah yang paling membantu untuk menghafalkan ajaran-ajaran, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak mendengarkan Dhamma, maka ia tidak akan menghafalkan ajaran-ajaran; tetapi karena ia mendengarkan Dhamma, maka ia menghafalkan ajaran-ajaran. Itulah sebabnya mengapa mendengarkan Dhamma adalah yang paling membantu untuk menghafalkan ajaran-ajaran.”

30. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu untuk mendengarkan Dhamma? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu untuk mendengarkan Dhamma.”

“Menyimak adalah yang paling membantu untuk mendengarkan Dhamma, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak menyimak, maka ia tidak akan mendengarkan Dhamma; tetapi karena ia menyimak, maka ia mendengarkan Dhamma. Itulah sebabnya mengapa menyimak adalah yang paling membantu untuk mendengarkan Dhamma.”

31. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu untuk menyimak? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu untuk menyimak.”

“Memberikan penghormatan adalah yang paling membantu untuk menyimak, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak menghormat, maka ia tidak akan menyimak; tetapi karena ia menghormat, maka ia menyimak. Itulah sebabnya mengapa memberi penghormatan adalah yang paling membantu untuk menyimak.”

32. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu dalam memberi penghormatan? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu dalam memberi penghormatan.”

“Mengunjungi adalah yang paling membantu dalam memberi penghormatan, Bhāradvāja. Jika seseorang tidak mengunjungi seorang guru, maka ia tidak akan memberi penghormatan kepadanya; tetapi karena ia mengunjungi seorang guru, maka ia memberi penghormatan kepadanya. Itulah sebabnya mengapa mengunjungi adalah yang paling membantu dalam memberi penghormatan.”

31. “Tetapi apakah, Guru Gotama, yang paling membantu dalam mengunjungi? Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu dalam mengunjungi.”

“Keyakinan adalah yang paling membantu dalam mengunjungi, Bhāradvāja. Jika keyakinan pada seorang guru tidak muncul, maka ia tidak akan mengunjunginya; tetapi karena keyakinan pada seorang guru muncul, maka ia mengunjunginya. Itulah sebabnya mengapa keyakinan adalah yang paling membantu dalam mengunjungi.”

34. “Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang pelestarian kebenaran, dan Guru Gotama menjawab tentang pelestarian kebenaran; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang penemuan kebenaran, dan Guru Gotama menjawab tentang penemuan kebenaran; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang kedatangan akhir pada kebenaran, dan Guru Gotama menjawab tentang kedatangan akhir pada kebenaran; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. Kami bertanya kepada Guru Gotama tentang hal yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran, dan Guru Gotama menjawab tentang hal yang paling membantu bagi kedatangan akhir pada kebenaran; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. Apapun yang kami tanyakan kepada Guru Gotama, Beliau telah menjawab kami; kami menyetujui dan menerima jawaban itu, dan karena itu kami merasa puas. Sebelumnya, Guru Gotama, kami biasanya berpikir: ‘Siapakah petapa berkepala gundul ini, keturunan rendah dan gelap dari kaki Leluhur, sehingga mereka dapat memahami Dhamma?’  [27] Tetapi Guru Gotama sungguh telah menginspirasiku dalam cinta kasih kepada para petapa, keyakinan pada para petapa, hormat pada para petapa.

35. “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! … (seperti dalam Teks III,2] … Mulai hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang umat awam yang telah menerima perlindungan seumur hidup.”


(dari MN 95: Caṅkī Sutta; II 168-77)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB III)
« Reply #25 on: 15 October 2011, 10:35:52 AM »
Catatan BAB III


[1] Di antara kriteria yang ia usulkan adalah opini para bijaksana, yang menunjukkan bahwa bukannya menolak opini orang lain, Sang Buddha justru memasukkan opini jenis orang tertentu di antara patokan untuk menentukan perilaku yang baik. Sutta-sutta lain mengajarkan kepada kita bagaimana kita dapat menilai siapa yang sungguh-sungguh bijaksana; baca Teks III,4 dan Teks III,5.

[2] Mp menjelaskan bahwa pemukiman ini berlokasi di pinggir sebuah hutan. Berbagai kelompok pengembara dan petapa akan berhenti di sana untuk bermalam sebelum memasuki hutan. Selama di sana mereka akan memberikan khotbah kepada para penduduk Kālāma, dan dengan demikian para Kālāma menjadi terpapar oleh berbagai teori filosofis. Konflik antara berbagai pandangan yang berbeda menyebabkan keragu-raguan dan kebingungan pada mereka.

[3] Kalimat di atas adalah paragraf umum dalam Nikāya-nikāya.

[4] Sepuluh kriteria kebenaran yang tidak cukup ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok:  (1)  Yang pertama terdiri dari empat kriteria pertama, semua posisi berdasarkan pada tradisi. Di antaranya (1) “tradisi lisan” (anussava) yang merujuk pada tradisi Veda, yang, menurut para brahmana, telah diturunkan oleh dewa pertama dan diwariskan dari generasi ke generasi. (ii) “Turun-temurun” (paramparā) menyiratkan penyampaian ajaran secara turun-temurun tanpa terputus. (iii) “Kabar angin” (atau “berita,” itikirā) dapat berarti opini populer atau konsensus umum. Dan (iv) “kumpulan teks” (piṭakasampadā) merujuk pada teks-teks religius yang dianggap selalu benar. (2) Kelompok ke dua, juga terdiri dari empat kriteria, empat jenis penalaran yang dikenali oleh para pemikir pada masa Sang Buddha; perbedaannya tidak perlu menahan kita di sini. (3) Kelompok ke tiga, terdiri dari dua hal terakhir, merujuk pada dua jenis otoritas personal: (i) kharisma pribadi si pembabar (mungkin termasuk kualitas eksternalnya, misalnya bahwa ia adalah seorang yang berpendidikan tinggi, memiliki banyak pengikut, ia dihargai oleh raja, dan sebagainya); dan (ii) status si pembabar sebagai guru seseorang (kata garu dalam Pāli identik dengan guru dalam Sanskrit). Untuk analisis lebih terperinci, baca Jayatilleke, Early Buddhist Theory of Knowledge, pp.175-202,271-75.
   
[5] Keserakahan, kebencian, dan kebodohan adalah tiga akar tidak bermanfaat. Tujuan dari ajaran Buddha, Nibbāna, didefinisikan sebagai hancurnya keserakahan (atau nafsu), kebencian, dan kebodohan. Demikianlah Sang Buddha menuntun para penduduk Kālāma menuju inti ajaranNya.

[6] Di sini Sang Buddha memperkenalkan empat alam Brahmā (brahmavihāra): cinta-kasih, belas-kasih, kegembiraan altruistik, dan keseimbangan yang tanpa batas.

[7] Mp: Karena ia tidak melakukan kejahatan dan karena tidak ada kejahatan (yaitu, pederitaan) yang akan menghampirinya.

[8] Frasa umum ini. “menerima perlindungan” adalah tindakan yang dengannya seseorang yang baru beralih keyakinan menerima Sang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha sebagai sosok penuntun. Dalam tradisi Buddhis, hal ini menjadi suatu prosedur yang harus diucapkan secara formal ketika ia mengaku sebagai seorang Buddhis.

[9] Gāmaṇi. Kata ini menyiratkan bahwa ia adalah seorang yang memiliki jabatan di pemukiman itu.

[10] Perhatikan bahwa sang kepala desa di sini mengatakan berasal dari Sang Buddha, sebagai kutipan langsung, pernyataan umum sebab akibat antara keinginan dan penderitaan yang tidak terdapat dalam kata-kata Sang Buddha di atas. Akan tetapi, pernyataan ini jelas diperlukan sebagai keterangan bagi “prinsip ini” (iminà dhammena), sepertinya mungkin bahwa pernyataan ini terdapat dalam teks asli tetapi hilang dalam perjalanan penyampaian lisan persis di bawah Sang Buddha sendiri juga membuat generalisasi itu.

[11] Dibaca seperti Be dan Ce, ajānantena, bukan seperti Ee ājānantena. Bentuk negatif diperlukan di sini, karena bhikkhu yang tidak dapat secara langsung mengetahui pikiran Sang Buddha, harus menarik kesimpulan dari perilaku jasmani dan ucapan bahwa Beliau telah murni sepenuhnya.

[12] “Kondisi-kondisi yang dikenali melalui mata” adalah perbuatan-perbuatan jasmani; “kondisi-kondisi yang dikenali melalui telinga,” adalah ucapan.

[13] “Kondisi-kondisi campuran” dapat berarti perilaku seseorang yang menjalani pemurnian perilaku tetapi tidak mampu mempertahankannya secara konsisten. Kadang-kadang perilakunya murni, kadang-kadang tidak murni.

[14] Ps: Bahayanya adalah keangkuhan, kesombongan, dan sebagainya. Karena beberapa bhikkhu tenang dan rendah-hati selama mereka belum menjadi terkenal atau populer; tetapi ketika mereka telah menjadi terkenal dan populer, maka mereka bepergian dengan berperilaku tidak selayaknya, menyerang para bhikkhu lain bagaikan seekor macan menerkam sekumpulan rusa.

[15] Ps: Paragraf ini menunjukkan sifat Sang Buddha yang tidak-membeda-bedakan. Beliau tidak memuji seseorang dan menghina orang lain.

[16] So tasmiṁ dhamme abhiññāya idh’ekaccaṁ dhammaṁ dhammesu niṭṭhaṁ gacchati. Untuk menyampaikan makna yang dimaksudkan, saya menerjemahkan kata dhamma yang ke dua di sini sebagai “ajaran,” yaitu, doktrin tertentu yang diajarkan kepadanya, bentuk jamak dhammesu sebagai “ajaran-ajaran,” dan tasmiṁ dhamme sebagai “Dhamma itu,” dalam makna keseluruhan ajaran. Ps dan Ps-pṭ sama-sama menjelaskan maknanya sebagai berikut: Ketika Dhamma telah diajarkan oleh Sang Guru, dengan secara langsung mengetahui Dhamma melalui penembusan sang jalan, buah, dan Nibbāna, bhikkhu itu sampai pada kesimpulan tentang ajaran awal dari Dhamma tentang bantuan-bantuan menuju pencerahan (bodhipakkhiyā dhammā).

[17] Ini merujuk pada keyakinan seorang mulia (ariyapuggala), yang telah melihat Dhamma dan dengan demikian tidak mungkin menerima guru lain selain Sang Buddha.

[18] Ia adalah seorang brahmana terkemuka yang memerintah Opasāda, suatu wilayah dalam kekuasaan Negeri Kosala yang dianugerahkan kepadanya oleh Raja Pasenadi.

[19] Jelas ini adalah nama suku Kāpaṭhika

[20] Mereka ini adalah para rishi masa lampau yang oleh para brahmana dianggap sebagai para penulis syair-syair pujian Veda yang terinspirasi dari para dewa.

[21] Dalam Pali: saddhā, ruci, anussava, ākāparivitakka, diṭṭhinijjhānakkhanti. Di antara kelima landasan bagi kepastian ini, dua yang pertama sepertinya umumnya berdasarkan perasaan, yang ke tiga adalah penerimaan tradisi secara membuta, dan dua terakhir umumnya adalah penalaran rasional atau kognitif. Tiga yang terakhir termasuk di antara sepuluh landasan yang tidak dapat diterima untuk sebuah kepercayaan dalam Teks III,2. “Dua cara berbeda” masing-masing adalah terbukti benar dan salah.

[22] Tidaklah selayaknya baginya untuk sampai pada kesimpulan karena ia belum secara pribadi memastikan kebenaran yang ia yakini tetapi hanya menerimanya atas dasar yang tidak dapat menghasilkan kepastian.

[23] Saccānurakkhana: atau, mengamankan kebenaran, perlindungan kebenaran.

[24] Saccānubodha: atau, tercerahkan pada kebenaran.

[25] Dalam rangkaian ini, “ia menyelidiki” (tūleti), menurut Ps, berarti bahwa ia menyelidiki fenomena sebagai tidak kekal, penderitaan, dan tanpa-diri. Ini adalah tahap perenungan pandangan terang. “Mengerahkan tekad” (ussahati) dan “berusaha” (padahati) tampak serupa. Kita dapat memahami yang pertama sebagai usaha yang mengarah menuju pandangan terang, yang belakangan adalah usaha yang mengarah dari pandangan terang menuju pencapaian yang melampaui-keduniawian. Langkah terakhir ini disiratkan oleh ungkapan, “ia dengan tubuhnya mencapai kebenaran tertinggi.” Kebenaran tertinggi (paramasacca) adalah Nibbāna.

[26] Sementara “penemuan kebenaran” (saccānubodha) dalam konteks ini sepertinya menyiratkan pencapaian tingkat memasuki-arus, kedatangan akhir pada kebenaran (saccānuppati) sepertinya bermakna pencapaian Kearahatan. Perhatikan bahwa kedatangan akhir pada kebenaran tidak terjadi melalui langkah baru, melainkan hanya melalui pengulangan pengembangan faktor-faktor yang mengarah menuju penemuan kebenaran.

[27] Ps: para brahmana meyakini bahwa mereka adalah keturunan dari mulut Brahmā, para khattiya dari dada, para pedagang (vessa) dari perut, para pekerja (sudda) dari kaki, dan para samaṇa dari telapak kaki.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IV)
« Reply #26 on: 02 November 2011, 02:41:00 PM »
BAB IV
PENDAHULUAN


Benarkah, seperti yang dianggap oleh para cendekiawan, bahwa pesan asli Sang Buddha adalah eksklusif berupa kebebasan yang melampaui keduniawian, dengan hanya sedikit keterkaitan dengan orang-orang dalam rutinitas kehidupan duniawi? Apakah para Buddhis masa lalu meyakini bahwa hanya di dalam vihara praktik Dhamma yang sesungguhnya dimulai dan bahwa hanya mereka yang meninggalkan kehidupan duniawi yang dianggap sebagai penerima yang layak dari ajaran? Apakah ajaran Buddha bagi umat awam tidak lebih hanya sebagai makna simbolis? Apakah ajaran itu hanya bermakna perintah untuk mengumpulkan jasa dengan memberikan persembahan materi sebagai dukungan terhadap kelompok monastik dan anggotanya sehingga mereka dapat menjadi bhikkhu dan bhikkhunī (terutama bhikkhu) dalam kehidupan mendatang dan kemudian menjalankan praktik sesungguhnya?

Pada periode tertentu, dalam hampir semua tradisi, umat Buddhis telah memberikan dukungan pada anggapan yang mendasari pertanyaan-pertanyaan ini. Mereka menolak kepedulian pada kehidupan sekarang dan menolak dunia sebagai lembah air mata, sebuah ilusi yang menipu, percaya bahwa gambaran kematangan spiritual adalah suatu fokus eksklusif tentang kebebasan dari lingkaran kelahiran dan kematian. Para bhikkhu kadang-kadang memperlihatkan sedikit minat dalam menunjukkan kepada mereka yang masih terperangkap dalam dunia sehubungan dengan bagaimana menggunakan kebijaksanaan Dhamma untuk menghadapi problem kehidupan biasa. Pada gilirannya para perumah-tangga telah melihat sedikit harapan kemajuan spiritual dalam gaya hidup yang mereka pilih dan dengan demikian menghentikan perolehan jasa melalui persembahan materi kepada para bhikkhu.

Walaupun Nikāya-nikāya mengungkapkan mahkota ajaran Buddha terletak dalam jalan menuju kebebasan akhir dari penderitaan, namun adalah kesalahan untuk mengecilkan ajaran-ajaran, yang begitu beragam dalam sumber aslinya, menjadi hanya puncaknya yang transenden. Sekali lagi kita harus mengingat pernyataan bahwa seorang Buddha muncul “demi kesejahteraan banyak makhluk, demi kebahagiaan banyak makhluk … demi belas kasih kepada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia” (p/50). Fungsi seorang Buddha adalah menemukan, menembus, dan mengajarkan Dhamma itu secara meluas dan mendalam, dan hal ini melibatkan pemahaman komprehensif atas penerapan Dhamma yang bervariasi dalam banyak dimensinya. Seorang Buddha tidak hanya menembus kondisi kebahagiaan sempurna yang tak terkondisi yang terletak di luar saṃsāra, di luar pagar kelahiran, penuaan, dan kematian; Beliau tidak hanya mengajarkan jalan menuju pencerahan sempurna dan kebebasan akhir; tetapi Beliau juga menerangi banyak jalan di mana Dhamma diterapkan pada kondisi kehidupan manusia yang kompleks bagi orang-orang yang masih tenggelam dalam keduniawian.

Dhamma, dalam makna terluasnya, adalah imanen, tata tertib tanpa pengecualian dari alam semesta di mana kebenaran, keteraturan menurut hukum, dan kebajikan bergabung tak terpisahkan. Dhamma kosmis ini tercermin dalam pikiran manusia sebagai aspirasi pada kebenaran, keindahan spiritual, dan kebaikan; hal ini diungkapkan dalam perbuatan manusia sebagai perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran yang bermanfaat. Dhamma memiliki perwujudan kelembagaan serta ungkapan dalam kehidupan individu-individu yang menganggapnya sebagai sumber penuntun mereka dalam perilaku yang selayaknya dalam kehidupan. Perwujudan-perwujudan, baik yang bersifat sekuler maupun spiritual. Tradisi Buddhis melihat tanggung jawab untuk menegakkan Dhamma dalam wilayah sekuler seperti yang terdapat dalam legenda Raja Pemutar Roda (rāja cakkavatti). Raja Pemutar Roda adalah seorang penguasa yang bajik yang memerintah kerajaannya sesuai dengan norma-norma etis tertinggi (dhammiko dhammarāja) dan dengan kedamaian menyatukan dunia di bawah kekuasaan keadilan dan kemakmuran universal. Seperti yang ditunjukkan dalam Teks IV, 1(1), dalam wilayah spiritual, Sang Buddha adalah padanan dari Raja Pemutar Roda. Seperti halnya Raja Pemutar Roda, Sang Buddha juga mengandalkan Dhamma dan menghormati Dhamma, akan tetapi sementara Raja Pemutar Roda mengandalkan Dhamma sebagai prinsip kebajikan dalam memerintah kerajaannya, Sang Buddha mengandalkan Dhamma sebagai norma etis dan spiritual untuk mengajar dan mentransformasi manusia dan menuntun mereka menuju perilaku jasmani, ucapan, dan pikiran yang selayaknya. Baik Raja Pemutar Roda maupun Sang Buddha tidak menciptakan Dhamma yang mereka tegakkan, juga mereka tidak melakukan fungsi-fungsi mereka masing-masing tanpa Dhamma; karena Dhamma adalah sasarannya, impersonal, prinsip keteraturan yang senantiasa ada yang berfungsi sebagai sumber dan standar bagi kebijakan dan pengajarannya masing-masing.

Sebagai Raja Dhamma, Sang Buddha mengambil tugas memajukan kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan sejati bagi dunia. Beliau melakukannya dengan cara mengajarkan orang-orang di dunia mengenai bagaimana hidup yang selaras dengan Dhamma dan berperilaku sedemikian sehingga mereka dapat mencapai penembusan Dhamma yang membebaskan yang sama seperti yang telah Beliau tembus melalui pencerahanNya. Komentar Pāli mendemonstrasikan cakupan luas dari Dhamma dengan membedakan tiga jenis manfaat yang dimaksudkan untuk memajukan ajaran Buddha, diurutkan secara hirarki menurut nilai relatifnya:

1.   Kesejahteraan dan kebahagiaan yang secara langsung terlihat dalam kehidupan ini (diṭṭhadhamma-hitasukha), yang dicapai dengan memenuhi komitmen moral seseorang dan tanggung jawab sosial;
2.   Kesejahteraan dan kebahagiaan yang berhubungan dengan kehidupan berikut (samparāyika-hitasukha), yang dicapai dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik.
3.   Kebaikan tertinggi atau tujuan tertinggi (paramattha), Nibbāna, kebebasan akhir dari lingkaran kelahiran kembali, yang dicapai dengan mengembangkan Jalan Mulia Berunsur Delapan.

Sementara banyak penulis Barat tentang Buddhisme Awal berfokus pada aspek terakhir sebagai yang nyaris eksklusif merepresentasikan ajaran asli Sang Buddha, namun suatu presentasi seimbang akan mempertimbangkan ketiga aspek. Oleh karena itu, dalam bab ini dan bab-bab berikutnya, kita akan mengeksplorasi teks-teks dari Nikāya-nikāya yang mengilustrasikan masing-masing dari ketiga segi Dhamma ini.

Bab ini memasukkan berbagai teks tentang ajaran Buddha yang berhubungan dengan kebahagiaan yang terlihat secara langsung dalam kehidupan ini. Teks Nikāya yang paling komprehensif dalam hal ini adalah Sigālaka Sutta (DN 31, juga dikenal sebagai Siṅgalovāda Sutta), kadang-kadang disebut “Aturan Disiplin Umat Awam.” Inti dari sutta ini adalah bagian “menyembah enam arah” – Teks IV, 1(2) – di mana Sang Buddha menafsirkan kembali ritual India kuno, memasukkan ke dalamnya suatu makna etis yang baru. Praktik “menyembah enam arah,” seperti yang dijelaskan oleh Sang Buddha, mensyaratkan bahwa masyarakat didukung oleh suatu jaringan yang saling berhubungan yang membawa pertalian kepada kelompok sosial ketika anggota-anggotanya memenuhi tugas dan tanggung jawab timbal-balik dalam semangat kebaikan, simpati, dan niat-baik. Enam hubungan sosial utama yang disimpulkan oleh Sang Buddha untuk mengisi metafora ini adalah: orang tua dan anak-anak, guru dan murid, suami dan istri, teman dan teman, pekerja dan majikan, umat awam dan penuntun religius. Masing-masing dianggap sebagai satu dari enam arah sehubungan dengan padanannya. Bagi seorang pemuda seperti Sigālaka, orang tuanya adalah timur, gurunya adalah selatan, istri dan anak-anaknya adalah barat, teman-temannya adalah utara, para pekerjanya adalah bawah, dan para penuntun spiritualnya adalah atas. Dengan makna sesuai kebiasaanNya akan penjelasan yang ringkas dan sistematis, Sang Buddha menguraikan  lima kewajiban sehubungan dengan pasangannya untuk  masing-masing anggota dari masing-masing pasangan; ketika masing-masing anggota memenuhi kewajiban-kewajiban ini, maka “arah” yang bersesuaian menjadi “damai dan bebas dari ketakutan.” “Demikianlah, bagi Buddhisme awal, stabilitas dan keamanan sosial yang berkontribusi pada kebahagiaan manusia adalah paling efektif tercapai jika setiap anggota masyarakat memenuhi berbagai tugas yang dibebankan kepada mereka seperti yang ditentukan oleh hubungan sosial mereka. Masing-masing individu tidak mementingkan tuntutan-tuntutan kepentingan pribadinya yang sempit dan mengembangkan keprihatinan yang tulus dan berjiwa besar demi kesejahteraan umum dan demi kebaikan umum yang lebih besar.”

Dari kode etik umat awam Buddhis secara umum, kita beralih kepada teks-teks yang menjelaskan nasihat-nasihat yang lebih spesifik, yang dimulai dengan pilihan sutta-sutta tentang “Keluarga.” Ini terdiri dari bagian terpisah tentang “Orang tua dan Anak” (IV, 2(1)) dan “Suami dan Istri” (IV, 2(2)). Untuk menyesuaikan dengan norma-norma masyarakat India – sebenarnya, semua tradisi masyarakat agraris – Sang Buddha menganggap keluarga sebagai unit dasar dari integrasi dan akulturasi sosial. Hal ini khususnya pada hubungan antara orang tua dan anak yang dekat dan saling mencintai yang membantu perkembangan moralitas dan rasa tanggung jawab kemanusiaan yang penting bagi kelompok sosial yang bersatu-padu. Di dalam keluarga, nilai-nilai ini disampaikan dari satu generasi kepada generasi berikutnya, dan dengan demikian suatu masyarakat yang harmonis adalah sangat bergantung pada hubungan harmonis antara orang tua dan anak-anak. Sang Buddha menekankan bakti anak – Teks IV, 2(1)(a) – dan rasa syukur anak kepada orang tuanya, hutang yang  dapat mereka bayar setimpal hanya dengan mengokohkan orang tua mereka dalam Dhamma yang selayaknya – Teks IV, 2(1)(b).

Hubungan yang baik antara orang tua dan anak-anak pada gilirannya bergantung pada saling menyayangi dan saling menghormati suami dan istri, dan demikianlah Sang Buddha juga memberikan tuntunan bagi hubungan selayaknya antara pasangan-pasangan suami-istri. Hal ini sekali lagi menekankan suatu komitmen bersama pada perbuatan etis dan idealisme spiritual. Di antara yang menjadi perhatian khusus kita, kadang-kadang ketika banyak perkawinan yang berakhir begitu cepat dalam perceraian, adalah nasihat Sang Buddha kepada pasangan yang saling mencintai Nakulapitā dan Nakulamātā – Teks IV, 2(2)(b) – mengenai bagaimana cinta antara seorang suami dan istrinya dapat dipertahankan begitu kuat sehingga mereka dapat bersatu kembali dalam kehidupan-kehidupan mereka di masa depan. Khotbah ini juga menunjukkan bahwa bukannya menuntut para siswa awamNya menolak nafsu pada dunia, Sang Buddha justru menunjukkan kepada mereka yang masih berada dalam ayunan nafsu duniawi untuk memperoleh objek-objek yang mereka inginkan. Satu persyaratan yang Beliau ajarkan adalah bahwa pemenuhan keinginan harus sesuai dengan prinsip-prinsip etis.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IV)
« Reply #27 on: 02 November 2011, 02:41:42 PM »

Berikutnya adalah sejumlah teks yang membahas aspek-aspek berbeda dari kehidupan rumah tangga dengan penekanan pada penghidupan benar. Dua karakteristik anjuran Sang Buddha kepada umat awamNya sehubungan dengan pengejaran kebahagiaan duniawi mencuat dari  teks-teks ini.

Pertama, dalam mencari “kebaikan yang terlihat dalam kehidupan ini,”umat-umat awam harus secara konsisten mematuhi prinsip-prinsip perbuatan baik, khususnya lima aturan dan aturan-aturan penghidupan benar. Demikianlah, misalnya, Beliau menetapkan bahwa kekayaan harus “diperoleh melalui usaha yang bersemangat …kekayaan benar yang diperoleh dengan benar” – Teks IV, 3. Sekali lagi, Beliau menganjurkan kepada umat-umat awamNya agar menggunakan kekayaan yang mereka peroleh bukan hanya untuk memuaskan diri mereka sendiri tetapi juga untuk digunakan demi manfaat mereka yang bergantung padanya dan orang-orang lain yang hidup dari persembahan, khususnya para petapa dan brahmana yang bermoral – Teks IV, 4(2).

Ke dua, umat awam seharusnya tidak puas hanya dengan mengejar kesejahteraan dan kebahagiaan sementara tetapi juga harus mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan sehubungan dengan kehidupan mendatang. Hal ini dilakukan dengan cara mengembangkan kualitas-kualitas yang dapat mengarah menuju kelahiran kembali yang bahagia dan pencapaian Nibbāna. Menurut Teks IV, 3 dan IV, 5, prinsip kebaikan yang harus dimiliki oleh seorang umat awam, yang menuntun menuju kesejahteraan di masa depan, adalah: (1) keyakinan (pada Sang Buddha sebagai Yang Tercerahkan), (2) Disiplin moral (sebagai pelaksanaan lima aturan tanpa cacat), (3) Kedermawanan (sebagai penerapan praktik memberikan persembahan, memberi, dan berbagi), dan (4) kebijaksanaan (sebagai pandangan terang ke dalam muncul dan lenyapnya fenomena). Dalam Buddhisme Awal, perumah-tangga yang ideal bukan hanya seorang penyokong monastik yang berbakti tetapi juga seorang mulia yang telah mencapai minimal tingkat pertama dari empat tingkat pencapaian, buah memasuki-arus (sotāpatti).

Terakhir, pada bagian 6, kita sampai pada teks mengenai “Komunitas.” Saya menggunakan kata ini untuk merujuk secara luas pada Saṅgha, kelompok monastik, dan masyarakat sosial dari mana setiap cabang kelompok monastik berasal. Dalam Nikāya-nikāya, jelas bahwa walaupun secara prinsipil Sang Buddha bertujuan untuk menuntun orang-orang menuju kemajuan moral dan spiritual, namun Beliau menyadari sepenuhnya bahwa kapasitas mereka dalam hal pengembangan moral dan spiritual bergantung pada kondisi material dari masyarakat di mana mereka berada. Beliau benar-benar menyadari bahwa ketika orang-orang terperosok ke dalam kemiskinan dan diserang oleh lapar dan nafsu, maka mereka akan sulit untuk berpegang pada jalan moralitas. Lapar dan kebutuhan untuk mengusir elemen-elemen dan memenuhi kebutuhan keluarga mereka, akan memaksa mereka untuk beralih pada perilaku yang mereka hindari jika mereka memperoleh pekerjaan yang baik dan penghasilan yang memadai atas pekerjaan mereka. Demikianlah kita melihat bahwa pemenuhan tuntutan ekonomi adalah bagian integral pada stabilitas keharmonisan sosial dan politik.

Dua teks pertama yang termasuk di sini merumuskan dua kelompok penuntun untuk kelompok monastik. Keduanya adalah kutipan dari khotbah panjang Sang Buddha yang dibabarkan tidak lama setelah kematian Mahāvira, pemimpin Jain. Menurut Nikāya-nikāya, setelah kematian pemimpinnya, kelompok monastik Jain mulai terpecah-belah, dan Sang Buddha merasa perlu untuk menetapkan tuntunan untuk melindungi kelompokNya dari akibat serupa setelah Beliau meninggal dunia. Teks IV, 6(1) menguraikan enam kualitas yang mengarah pada pertengkaran dan perselisihan, yang mana para bhikkhu seharusnya berhati-hati dan berusaha untuk melenyapkannya ketika mereka menemukannya di antara mereka. Walupun tuntunan ini ditetapkan untuk para bhikkhu, namun dapat dengan mudah diterapkan secara lebih luas pada organisasi manapun, baik sekuler maupun religius, karena ini adalah enam faktor yang sama yang mendasari semua konflik. Padanan positif dari kelompok tuntunan yang harus diwaspadai ini adalah Teks IV, 6(2), yang menguraikan “enam prinsip kerukunan” yang mengarah pada cinta, hormat, dan kerukunan di antara para anggota komunitas. Sekali lagi, dengan adaptasi selayaknya, prinsip-prinsip ini – tindakan cinta kasih melalui jasmani, ucapan, dan pikiran; berbagi kepemilikan; pelaksanaan peraturan bersama-sama; dan kesamaan pandangan – dapat diterapkan di luar kelompok monastik pada komunitas yang lebih luas. Sutta yang sama memberikan tuntunan yang lebih terperinci untuk melestarikan keharmonisan dalam kelompok monastik setelah kematian Sang Buddha, tetapi hal ini berhubungan dengan aspek-aspek disiplin monastik yang terlalu spesifik untuk buku ini.

Teks IV, 6(3), sebuah kutipan panjang dari Assalāyana Sutta, menangkap perdebatan Sang Buddha dengan seorang brahmana terpelajar tentang klaim brahmana mengenai sistem kasta. Pada masa Sang Buddha sistem kasta baru mulai terbentuk di India Timur Laut dan belum berkembang menjadi kelompok-kelompok yang tak terhitung dan peraturan kaku yang membelenggu masyarakat India selama berabad-abad. Masyarakat dibagi dalam empat kelompok sosial besar: brahmana, yang melakukan fungsi-fungsi upacara yang ditentukan dalam Veda; khattiya, para mulia, pejuang, dan pejabat; vessa, pedagang dan petani; dan sudda, orang-orang kasar dan budak. Juga terdapat mereka yang berada di luar empat kelompok utama ini, yang dianggap bahkan lebih rendah daripada sudda. Dalam Nikāya-nikāya tampaknya para brahmana, sewaktu memimpin dalam urusan-urusan religius, namun mereka masih belum mencapai kepemimpinan yang tanpa bandingan yang harus mereka peroleh setelah kemunculan dalam upacara-upacara demikian sebagai Hukum Manu, yang menetapkan aturan baku sistem kasta. Akan tetapi, mereka telah siap menguasai masyarakat India dan melakukannya dengan mengajarkan tesis bahwa brahmana adalah kasta tertinggi, keturunan Brahmā yang terberkahi dan hanya mereka yang mampu mencapai kemurnian.

Berlawanan dengan gagasan populer tertentu, Sang Buddha tidak berusaha menghapuskan sistem kasta India dan berusaha menegakkan suatu sistem masyarakat tanpa kasta. Akan tetapi, di dalam Saṅgha, semua perbedaan kasta terhapuskan sejak saat penahbisan. Orang-orang dari empat kasta sosial yang meninggalkan keduniawian di bawah Sang Buddha juga meninggalkan gelar dan hak-hak kastanya, menjadi hanya dikenal sebagai para siswa dari putera Sakya (yaitu, dari Sang Buddha, yang berasal dari suku Sakya). Ketika Sang Buddha dan para siswaNya menghadapi klaim superioritas para brahmana, mereka berdebat dengan penuh semangat. Seperti yang ditunjukkan dalam teks kita, Sang Buddha mempertahankan bahwa semua klaim demikian adalah tidak berdasar. Pemurnian, Beliau berpendapat, adalah hasil dari perbuatan, bukan kelahiran, dan oleh karena itu dapat dicapai oleh semua kasta. Sang Buddha bahkan melepaskan sebutan “brahmana” dari gelar kebesaranNya, dan kembali pada konotasi asli dari orang suci, yang mendefinisikan brahmana sejati sebagai Arahant (baca MN 98, tidak termasuk dalam buku ini).

Dua pilihan selanjutnya menyiratkan tuntunan bagi administrasi politik. Pada masa Sang Buddha, terdapat dua bentuk pemerintahan di antara Negara-negara di India Utara di mana Sang Buddha mengembara dan mengajar, kerajaan-kerajaan monarki dan republik kesukuan. Sebagai seorang guru spiritual, Sang Buddha tidak lebih menyukai salah satu jenis pemerintahan daripada yang lainnya, juga Beliau tidak secara aktif terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan. Tetapi di antara para pengikutnya ada yang menjadi pemimpin dari kedua jenis pemerintahan, dan demikianlah Beliau kadang-kadang memberikan tuntunan yang dimaksudkan untuk memastikan bahwa mereka memerintah negeri mereka sesuai dengan norma-norma etis.

Episode pembuka dari Mahāparinibbāna Sutta, kisah hari-hari terakhir Sang Buddha – Teks IV, 6(4) – memberikan kepada kita penglihatan sekilas dalam fase pergolakan dalam sejarah India ketika Magadha, si bintang baru di antara kerajaan-kerajaan utara, sedang memperluas pengaruhnya dan menguasai republik-republik kesukuan di sekitarnya. Dalam paragraf yang termasuk di sini kita melihat Raja Ajātasattu, penguasa Magadha, sedang mengincar konfederasi Vajji, republik kesukuan terbesar dengan organisasi terbaik. Ketika sutta dimulai, ia mengutus perdana menterinya untuk bertanya kepada Sang Buddha apakah ia memiliki peluang untuk menang dalam perang mendadak melawan Vajji. Sang Buddha menanyai Ānanda tentang tujuh kondisi stabilitas sosial yang pernah Beliau ajarkan kepada para Vajji, menutup dengan pernyataan “selama mereka menjaga ketujuh prinsip ini, selama prinsip-prinsip ini masih ditegakkan, maka para Vajji dapat diharapkan akan makmur dan bukan mundur.” Kemudian Beliau mengumpulkan para bhikkhu dan mengajarkan kepada mereka ketujuh prinsip serupa ini yang berlaku pada kelompok monastik.

Karena kemenangan akhir dari pemerintahan jenis kerajaan tampaknya tidak dapat dihindarkan, Sang Buddha berusaha menegakkan suatu model kerajaan yang mampu mengekang kekuasaan sewenang-wenang dan menempatkan raja pada otoritas yang lebih tinggi. Beliau melakukannya dengan cara membabarkan sosok ideal “Raja Pemutar Roda,” raja yang adil yang memerintah sesuai Dhamma, hukum kebajikan impersonal (baca Teks IV, 1(1)). Dhamma yang ia patuhi adalah peraturan yang berdasarkan etika. Disimbolkan dengan pusaka roda suci, Dhamma memungkinkannya menaklukkan semua negeri di dunia tanpa kekerasan dan mendirikan suatu pemerintahan universal yang damai dan bermoral berdasarkan pada pelaksanaan lima aturan – baca Teks IV, 6(5).

Raja Pemutar Roda memerintah demi kesejahteraan dan kebahagiaan subjeknya dan meningkatkan perlindungan kepada semua makhluk di dalam wilayah kekuasaannya, bahkan kepada burung-burung dan binatang liar. Tugas-tugasnya meliputi pencegahan kejahatan terjadi di dalam kerajaannya, dan untuk menjaga kerajaannya tetap aman dari kejahatan ia harus memberikan harta kepada mereka yang memerlukan, karena dalam pandangan Nikāya-nikāya kemiskinan adalah sumber kriminalitas. Tema ini, yang disebutkan di antara tugas-tugas Sang Raja Pemutar Roda dalam Teks IV, 6(5), dijelaskan dalam Teks IV, 6(6). Di sini kita melihat seorang penasihat kerajaan yang bijaksana menasihati seorang raja bahwa cara yang benar untuk mengakhiri pencurian dan perampokan dalam wilayah kerajaannya bukanlah dengan menjatuhkan hukuman dan kekuatan penegak hukum yang lebih ketat, melainkan dengan memberikan kepada para penduduk alat-alat untuk mencari penghidupan mereka. Begitu para penduduk menikmati kehidupan yang memuaskan, maka mereka akan kehilangan minat dalam mencelakai orang lain, dan Negara akan menikmati kedamaian dan ketenangan.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IV)
« Reply #28 on: 02 November 2011, 02:43:33 PM »
IV. KEBAHAGIAAN YANG TERLIHAT DALAM KEHIDUPAN INI


1. MENEGAKKAN DHAMMA DALAM MASYARAKAT

(1) Raja Dhamma

Sang Bhagavā berkata: “Para bhikkhu, bahkan seorang Raja Pemutar Roda, raja yang adil dan baik, tidak memerintah wilayahnya tanpa wakil.”

Ketika Beliau telah selesai mengatakan hal ini, seorang bhikkhu bertanya kepada Sang Bhagavā: “Tetapi siapakah, Yang Mulia, wakil dari Raja Pemutar Roda, raja yang adil dan baik?”

“Adalah Dhamma, hukum kebaikan, O bhikkhu,” jawab Sang Bhagavā.  [1]

“Dalam hal ini, Raja Pemutar Roda, raja yang adil dan baik, mengandalkan pada Dhamma, memuliakan Dhamma, menghargai dan menghormatinya, dengan Dhamma sebagai patokannya, panjinya, dan kekuasaannya, memberikan perlindungan, naungan, dan keamanan sesuai hukum kepada warganya. Ia memberikan perlindungan, naungan, dan keamanan sesuai hukum kepada para khattiya yang melayaninya; kepada para prajuritnya, kepada para brahmana dan perumah-tangga, kepada para penduduk kota dan desa, kepada para petapa dan brahmana, kepada binatang-binatang liar dan burung-burung.

“Seorang Raja Pemutar Roda, seorang raja yang adil dan baik, yang memberikan perlindungan, naungan, dan keamanan sesuai hukum kepada semua makhluk, adalah seorang yang memerintah hanya dengan Dhamma. Dan pemerintahan itu tidak dapat digulingkan oleh manusia jahat manapun.

“Demikian pula, O bhikkhu, Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, Raja Dhamma yang adil dan baik, mengandalkan pada Dhamma, memuliakan Dhamma, menghargai dan menghormatinya, dengan Dhamma sebagai patokanNya, panjiNya, dan kekuasaanNya, memberikan perlindungan, naungan, dan keamanan sesuai hukum sehubungan dengan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran. [Beliau mengajarkan sebagai berikut:] ‘Perbuatan jasmani demikian harus dilakukan dan yang demikian tidak boleh dilakukan. Perbuatan ucapan demikian harus dijalankan dan yang demikian tidak boleh dilakukan. Perbuatan pikiran demikian harus dilakukan dan yang demikian tidak boleh dilakukan.’

“Sang Tathāgata, Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, Raja Dhamma yang adil dan baik, yang memberikan perlindungan, naungan, dan keamanan sesuai hukum sehubungan dengan perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran demikian, adalah seorang yang memutar Roda Dhamma yang tidak ada bandingnya sesuai hanya dengan Dhamma. Dan Roda Dhamma itu tidak dapat diputar balik oleh petapa atau brahmana manapun, oleh deva atau Māra atau Brahmā atau siapapun di dunia.”  [2]

(AN 3:14; I 109-10)

(2) Menyembah Enam Arah

1. Demikianlah yang kudengar. Suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Pada saat itu Sigālaka, putera seorang perumah-tangga, setelah bangun pagi dan keluar dari Ràjagaha, sedang menyembah, dengan pakaian dan rambut basah dan tangan dirangkapkan, ke arah yang berbeda-beda: ke timur, selatan, barat dan utara, ke bawah dan ke atas.

2. Dan Sang Bhagavā, setelah bangun pagi dan merapikan jubah, membawa jubah dan mangkukNya pergi ke Rājagaha untuk menerima dana makanan. Dan melihat Sigàlaka menyembah arah yang berbeda-beda, Beliau berkata: “Putera perumah-tangga, mengapa engkau bangun pagi untuk menyembah arah yang berbeda-beda?”

“Yang Mulia, ayahku, ketika menjelang meninggal dunia, menyuruhku melakukan hal ini. Dan karena itu, demi hormatku terhadap kata-kata ayahku, yang sangat kuhargai, hormati dan sucikan, aku  bangun pagi dan menyembah dengan cara ini ke enam arah.”

“Tetapi, putera perumah-tangga, itu bukanlah cara yang benar dalam menyembah enam arah menurut disiplin Para Mulia.”

“Jadi, Yang Mulia, bagaimanakah seharusnya seseorang menyembah ke enam arah menurut disiplin Para Mulia? Baik sekali jika Sang Bhagavā mengajariku cara yang benar dalam menyembah enam arah menurut disiplin Para Mulia.”

“Maka, dengarkan dan perhatikanlah, putera perumah-tangga, Aku akan menjelaskan”

“Baik, Yang Mulia,” jawab Sigālaka, dan Sang Bhagavà berkata sebagai berikut: ...




27. “Dan bagaimanakah, putera perumah-tangga, siswa Ariya melindungi enam penjuru? Enam hal ini harus dianggap sebagai enam penjuru. Timur menunjukkan ibu dan ayah. Selatan menunjukkan guru-guru. Barat menunjukkan istri dan anak-anak. Utara menunjukkan teman-teman dan rekan-rekan. Bawah menunjukkan para pelayan, pekerja dan pembantu. Atas menunjukkan para petapa dan Brahmana.

28. “Ada lima cara bagi seorang putera untuk melayani ibu dan ayahnya sebagai arah timur. [Ia harus berpikir:] ‘Setelah disokong mereka, aku akan menyokong mereka. Aku akan melakukan tugas-tugas mereka untuk mereka. Aku harus menjaga tradisi keluarga. Aku akan berharga bagi silsilahku. Setelah orangtuaku meninggal dunia aku akan membagikan persembahan mewakili mereka.’ Dan ada lima cara oleh orangtua, yang dilayani demikian oleh putera mereka sebagai arah timur, akan membalas: mereka harus menjauhkannya dari kejahatan, mendukungnya dalam melakukan kebaikan, mengajarinya beberapa keterampilan, mencarikan istri yang layak dan, pada waktunya, mewariskan warisan kepadanya. Dengan demikian arah timur telah dicakup, memberikan kedamaian dan bebas dari ketakutan di arah itu.

29. “Ada lima cara bagi seorang murid untuk melayani guru-guru mereka sebagai arah selatan: dengan bangkit menyapanya, dengan melayaninya, dengan memperhatikan, dengan mambantunya, dengan menguasai keterampilan yang mereka ajarkan. Dan ada lima cara bagi guru yang dilayani demikian oleh murid mereka sebagai arah selatan, dapat membalas: mereka akan memberikan instruksi yang menyeluruh, memastikan mereka menangkap apa yang seharusnya mereka tangkap, memberikan landasan menyeluruh terhadap semua keterampilan, merekomendasikan mereka kepada teman dan rekan mereka, dan memberikan keamanan di segala penjuru. Dengan demikian arah selatan telah dicakup, memberikan kedamaian dan bebas dari ketakutan di arah itu.

30. “Ada lima cara bagi seorang suami untuk melayani istri mereka sebagai arah barat: dengan menghormatinya, dengan tidak merendahkannya, dengan setia kepadanya, dengan memberikan kekuasaan kepadanya, dengan memberikan perhiasan kepadanya. Dan ada lima cara bagi seorang istri yang dilayani demikian sebagai arah barat, dapat membalas: dengan mengatur pekerjaannya dengan benar, dengan bersikap baik kepada para pelayan, dengan setia kepadanya, dengan menjaga tabungan, dan dengan terampil dan rajin dalam semua yang harus ia lakukan. Dengan demikian arah barat telah dicakup, memberikan kedamaian dan bebas dari ketakutan di arah itu.

31. ‘Ada lima cara bagi seseorang untuk melayani teman dan rekan mereka sebagai arah utara: dengan pemberian, dengan kata-kata yang baik, dengan menjaga kesejahteraan mereka, dengan memperlakukan mereka seperti diri sendiri, dengan menepati janjinya. Dan ada lima cara bagi teman dan rekan, yang dilayani demikian sebagai arah utara, dapat membalas: dengan menjaganya saat ia lengah, dengan menjaga hartanya saat ia lengah, dengan menjadi pelindung baginya saat ia ketakutan, dengan tidak meninggalkannya saat ia berada dalam masalah, dan dengan menunjukkan perhatian terhadap anak-anaknya. Dengan demikian arah utara telah dicakup, memberikan kedamaian dan bebas dari ketakutan di arah itu.
   
32. “Ada lima cara bagi seorang majikan untuk melayani para pelayan dan para pekerjanya sebagai arah bawah: dengan mengatur pekerjaan mereka sesuai kekuatan mereka, dengan memberikan makan dan upah, dengan merawat mereka ketika mereka sakit, dengan berbagi makanan lezat dengan mereka, dan dengan memberikan hari libur pada waktu yang tepat. Dan ada lima cara bagi para pelayan dan para pekerja, yang dilayani demikian sebagai arah bawah, dapat membalas: dengan bangun tidur lebih pagi daripada majikannya, dengan pergi tidur lebih larut daripada majikannya, mengambil hanya apa yang diberikan, melakukan tugas-tugas mereka dengan benar, dan menjadi pembawa pujian dan reputasi baik bagi majikannya. Dengan demikian arah bawah telah dicakup, memberikan kedamaian dan bebas dari ketakutan di arah itu.

33. “Ada lima cara bagi seseorang untuk melayani para petapa dan Brahmana mereka sebagai arah atas: dengan bersikap baik dalam jasmani, ucapan dan pikiran, dengan membuka pintu bagi kedatangan mereka, dengan memberikan barang-barang kebutuhan fisik mereka. Dan ada lima cara bagi para petapa dan Brahmana, yang dilayani demikian sebagai arah atas, dapat membalas: mereka akan menjauhkannya dari kejahatan, mendukungnya dalam melakukan kebaikan, berbelas kasihan kepadanya, mengajarinya apa yang belum pernah ia dengar, menjelaskan apa yang telah ia dengar, dan menunjukkan jalan menuju alam surga. Dengan demikian arah atas telah dicakup, memberikan kedamaian dan bebas dari ketakutan di arah itu.”

(dari DN 31: Sigālaka Sutta; III 180-81, 187-91)

2. KELUARGA

(1) Orangtua dan Anak-anak

(a) Hormat kepada Orangtua

“Para bhikkhu, keluarga-keluarga demikian berdiam bersama Brahmā jika, di rumah, orang tua dihormati oleh anak-anaknya. Keluarga-keluarga demikian berdiam bersama guru-guru masa dulu jika, di rumah, orang tua dihormati oleh anak-anaknya. Keluarga-keluarga demikian berdiam bersama dewa-dewa masa dulu jika, di rumah, orang tua dihormati oleh anak-anaknya. Keluarga-keluarga demikian berdiam bersama para orang suci jika, di rumah, orang tua dihormati oleh anak-anaknya.

“‘Brahmā,’ para bhikkhu, adalah sebutan untuk ayah dan ibu. ‘Guru-guru masa dulu’ adalah sebutan untuk ayah dan ibu. ‘Dewa-dewa masa dulu’ adalah sebutan untuk ayah dan ibu. ‘Para orang suci’ adalah sebutan untuk ayah dan ibu. Dan mengapakah? Orang tua adalah bantuan besar bagi anak-anaknya; mereka membesarkan mereka, memberi mereka makan, dan menunjukkan dunia kepada mereka.”

(AN 4:63; II 70)

(b) Membalas Budi Orangtua

“Para bhikkhu, Aku katakan bahwa ada dua orang yang tidak dapat dibalas budinya. Apakah dua ini? Ibu dan ayah seseorang.

“Bahkan jika seseorang menggendong ibunya di satu bahunya dan ayahnya di bahu yang lain, dan sambil melakukan itu ia hidup selama seratus tahun, mencapai usia seratus tahun; dan jika ia melayani mereka dengan mengoleskan minyak, dengan memijat, memandikan, dan menggosok bagian-bagian tubuh mereka, dan mereka bahkan buang air di sana – bahkan dengan melakukan hal-hal itu ia masih belum melakukan hal yang cukup untuk orangtuanya, juga belum membalas budi mereka. Bahkan jika ia mengangkat orang tuanya sebagai raja dan penguasa tertinggi di dunia ini, ia masih belum melakukan hal yang cukup untuk orang tuanya, juga belum membalas budi mereka. Karena alasan apakah? Orang tua adalah bantuan besar bagi anak-anaknya; mereka membesarkan mereka, memberi mereka makan, dan menunjukkan dunia kepada mereka.

“Tetapi, para bhikkhu, seseorang yang mendorong orang tuanya yang tidak percaya, menegakkan dan mengokohkan mereka dalam keyakinan; yang mendorong orang tuanya yang tidak bermoral, menegakkan dan mengokohkan mereka dalam disiplin bermoral; yang mendorong orang tuanya yang kikir, menegakkan dan mengokohkan mereka dalam kedermawanan; yang mendorong orang tuanya yang bodoh, menegakkan dan mengokohkan mereka dalam kebijaksanaan – seorang demikian, para bhikkhu, melakukan hal yang cukup untuk orang tuanya; ia membalas budi mereka dan membalas mereka lebih dari apa yang telah mereka lakukan.”

(AN 2: iv, 2; I 61-62)

(2) Suami dan Istri

(a) Jenis-jenis Perkawinan yang Berbeda.

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang melakukan perjalanan di sepanjang jalan raya antara Madhurā dan Verañjā, dan sejumlah perumah-tangga dan istri-istri mereka melakukan perjalanan di jalan yang sama. Kemudian Sang Bhagavā meninggalkan jalan itu dan duduk di atas tempat duduk di bawah sebatang pohon. Para perumah-tangga dan istri-istri mereka melihat Sang Bhagavā duduk di sana dan mendatangi Beliau. Setelah memberi hormat kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi, dan Sang Bhagavā berkata kepada mereka:

“Para perumah-tangga, ada empat jenis perkawinan ini. Apakah empat ini? Seorang jahat hidup bersama dengan seorang jahat; seorang jahat hidup bersama dengan seorang dewi; seorang dewa hidup bersama dengan seorang jahat; seorang dewa hidup bersama dengan seorang dewi.

“Dan bagaimanakah seorang jahat hidup bersama dengan seorang jahat? Di sini, para perumah-tangga, si suami adalah seorang yang merusak kehidupan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan hubungan seksual yang salah, berkata bohong, dan menikmati anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan; ia tidak bermoral, berkarakter buruk; ia berdiam di rumah dengan batin yang dikuasai oleh noda kekikiran; ia menghina dan mencela para petapa dan brahmana. Dan istrinya persis sama dalam segala hal. Demikianlah dikatakan bahwa seorang jahat hidup bersama dengan seorang jahat.

“Dan bagaimanakah seorang jahat hidup bersama dengan seorang dewi? Di sini, para perumah-tangga, si suami adalah seorang yang merusak kehidupan … mencela para petapa dan brahmana. Tetapi istrinya adalah seorang yang menghindari merusak kehidupan … menghindari anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan; ia bermoral, berkarakter baik; ia berdiam di rumah dengan batin yang bebas dari noda kekikiran; ia tidak menghina atau mencela para petapa dan brahmana. Demikianlah dikatakan bahwa seorang jahat hidup bersama dengan seorang dewi.

“Dan bagaimanakah seorang dewa hidup bersama dengan seorang jahat? Di sini, para perumah-tangga, si suami adalah seorang yang menghindari merusak kehidupan … menghindari anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan; ia bermoral, berkarakter baik; ia berdiam di rumah dengan batin yang bebas dari noda kekikiran; ia tidak menghina atau mencela para petapa dan brahmana. Tetapi istrinya adalah seorang yang merusak kehidupan … yang menghina dan mencela para petapa dan brahmana. Demikianlah dikatakan bahwa seorang dewa hidup bersama dengan seorang jahat.

“Dan bagaimanakah seorang dewa hidup bersama dengan seorang dewi? Di sini, para perumah-tangga, si suami adalah seorang yang menghindari merusak kehidupan … menghindari anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan; ia bermoral, berkarakter baik; ia berdiam di rumah dengan batin yang bebas dari noda kekikiran; ia tidak menghina atau mencela para petapa dan brahmana. Dan istrinya persis sama dalam segala hal. Demikianlah dikatakan bahwa seorang dewa hidup bersama dengan seorang dewi.

“Ini, para perumah-tangga, adalah empat jenis perkawinan.”

(AN 4:53; II 57-59)

(b) Bagaimana agar Bersatu dalam Kehidupan Mendatang

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di tengah-tengah penduduk Bhagga, di dekat Suṃsumāragiri, di Taman Rusa di Hutan Bhesakalā. Suatu pagi Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa jubah atas dan mangkukNya, dan pergi ke kediaman perumah-tangga Nakulapitā.  [3] Setelah sampai di sana, Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan untukNya. Kemudian perumah-tangga Nakulapitā dan istrinya, Nakulamātā mendekati Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Setelah duduk, perumah-tangga Nakulapitā berkata kepada Sang Bhagavā:

“Yang Mulia, sejak Nakulamātā muda di bawa ke rumah untukku ketika aku juga masih muda, aku tidak ingat pernah memperlakukannya dengan buruk bahkan dalam pikiranku, apalagi dalam perbuatanku. Keinginan kami adalah agar dapat senantiasa saling melihat satu sama lain seumur hidup dan juga dalam kehidupan mendatang.”

Kemudian Nakulamātā sang istri berkata kepada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Yang Mulia, sejak aku dibawa ke rumah suamiku Nakulapitā muda, sewaktu aku masih seorang gadis muda, aku tidak ingat pernah memperlakukannya dengan buruk bahkan dalam pikiranku, apalagi dalam perbuatanku. Keinginan kami adalah agar dapat senantiasa saling melihat satu sama lain seumur hidup dan juga dalam kehidupan mendatang.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Jika, perumah-tangga, baik istri maupun suami ingin dapat senantiasa saling melihat satu sama lain seumur hidup dan juga dalam kehidupan mendatang, mereka harus memiliki keyakinan yang sama, disiplin moral yang sama, kedermawanan yang sama, kebijaksanaan yang sama; maka mereka akan dapat senantiasa saling melihat satu sama lain seumur hidup dan juga dalam kehidupan mendatang.”

   Ketika keduanya berkeyakinan dan dermawan,
   Memiliki pengendalian diri, berpenghidupan yang baik
   Mereka akan bersama sebagai suami dan istri
   Saling mencintai satu sama lain.

   Banyak berkah menghampiri jalan mereka,
   Mereka berdiam bersama dalam kebahagiaan,
   Musuh-musuh mereka akan kecewa,
   Jika keduanya setara dalam moralitas.

   Setelah hidup sesuai Dhamma dalam dunia ini,
   Sama dalam moralitas dan pelaksanaan,
   Mereka bergembira di alam deva setelah kematian,
   Menikmati kebahagiaan berlimpah.

(AN 4:55; II 61-62)

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: BUKAN TIPITAKA TEMATIK (BAB IV)
« Reply #29 on: 02 November 2011, 02:46:20 PM »
(c) Tujuh Jenis Istri

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Vihara Anāthapiṇḍika. Pada suatu pagi Sang Bhagavā merapikan jubah, membawa mangkuk dan jubahnya, dan pergi ke rumah Anāthapiṇḍika, di mana Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan untukNya. Pada saat itu orang-orang di rumah itu gaduh dan ribut. Perumah-tangga Anāthapiṇḍika mendekati Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi.  [4] Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Mengapakah orang-orang di rumahmu gaduh dan ribut, perumah-tangga? Seseorang akan berpikir bahwa mereka adalah para nelayan yang sedang mengangkut ikan.”

“Itu, Yang Mulia, adalah menantu kami Sujātā. Ia kaya dan telah dibawa ke rumah kami dari keluarga kaya. Ia tidak mematuhi ayah dan ibu mertuanya, juga suaminya. Ia bahkan tidak menghormati, menghargai, menjunjung, dan memuliakan Sang Bhagavā.”

Kemudian Sang Bhagavā memanggil si menantu Sujātā, dengan berkata, “Kemarilah, Sujātā.”

“Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepadanya, dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Ada tujuh jenis istri ini, Sujātā. Apakah tujuh ini? Seorang yang bagaikan pembunuh, seorang yang bagaikan pencuri, seorang yang bagaikan raja lalim, seorang yang bagaikan ibu, seorang yang bagaikan saudari, seorang yang bagaikan sahabat, seorang yang bagaikan pelayan. Ini adalah tujuh jenis istri. Sekarang yang mana dari ketujuh inikah engkau?”


“Aku tidak memahami secara terperinci makna dari pernyataan singkat Sang Bhagavā. Baik sekali, Yang Mulia, jika Sang Bhagavā sudi mengajarkan Dhamma sedemikian sehingga aku dapat memahami maknanya secara terperinci.”

“Maka dengarkanlah, Sujātā, dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” Sujātā menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dengan pikiran penuh kebencian, dingin dan tanpa belas kasihan,
Bernafsu pada orang lain, merendahkan suaminya;
Yang berusaha membunuh orang yang membelinya –
Istri demikian disebut seorang pembunuh.

   “Ketika suaminya memperoleh kekayaan
   Melalui pekerjaan keterampilan atau perdagangan atau pertanian,
   Ia berusaha mencuri sedikit untuk dirinya –
   Istri demikian disebut seorang pencuri.

   “Seorang rakus yang malas, cenderung bermalas-malasan,
   Kejam, ganas, kasar dalam ucapan,
   Seorang perempuan yang menindas penyokongnya sendiri,
   Istri demikian disebut seorang raja lalim.

   “Seorang yang selalu membantu dan baik hati,
   Yang menjaga suaminya seperti seorang ibu menjaga anaknya,
   Yang secara seksama melindungi harta yang ia peroleh –
   Istri demikian disebut seorang ibu.

   “Ia yang menempatkan suaminya dalam penghormatan yang tinggi
   Seperti seorang adik perempuan menempatkan kakak laki-lakinya,
   Yang dengan rendah hati mematuhi kehendak suaminya –
   Istri demikian disebut seorang saudari.

   “Seorang yang bergembira di hadapan suaminya
   Seperti seorang sahabat yang menyambut sahabatnya,
   Tumbuh, bermoral, mengabdi dengan baik –
   Istri demikian disebut seorang sahabat.

   “Seorang yang tanpa kemarahan, takut akan hukuman,
   Yang menerima suaminya dengan bebas dari kebencian,
   Yang dengan rendah hati mematuhi kehendak suaminya –
   Istri demikian disebut seorang pelayan.  [5]

   “Jenis-jenis istri di sini disebut pembunuh,
   Pencuri, dan istri yang bagaikan raja lalim,
   Jenis-jenis istri ini, ketika hancurnya jasmani,
   Akan terlahir kembali di dalam kedalaman neraka.

   “Tetapi istri-istri yang bagaikan ibu, saudari, sahabat,
   Dan istri yang disebut pelayan,
   Kokoh dalam moralitas, terkendali,
   Dengan hancurnya jasmani akan pergi ke alam surga.

“Ini, Sujātā, adalah tujuh jenis istri. Sekarang yang mana dari ketujuh inikah engkau?”

“Mulai hari ini, Yang Mulia, Engkau dapat menganggapku sebagai seorang istri yang bagaikan seorang pelayan.”

(AN 7:59; IV 91-94)

3. KESEJAHTERAAN MASA SEKARANG, KESEJAHTERAAN MASA DEPAN

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di antara penduduk Koliya di mana terdapat suatu pemukiman Koliya bernama Kakkarapatta. Kemudian seorang keluarga Koliya bernama Dighajānu mendatangi Sang Bhagavā, bersujud kepada Beliau, dan duduk di satu sisi. Setelah duduk, ia berkata kepada Sang Bhagavā:

“Yang Mulia, kami adalah umat awam yang menikmati kenikmatan indria, berdiam di rumah di sebuah tempat tidur yang ramai dengan anak-anak, menikmati kayu cendana bagus, memakai kalung bunga, wewangian, dan salep, menerima emas dan perak. Sudilah Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepada kami dalam suatu cara yang dapat menuntun kami menuju kesejahteraan dan kebahagiaan kami baik dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan mendatang.”

“Ada, Byagghapajja, empat hal yang menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan seorang perumah-tangga dalam kehidupan ini. Apakah empat ini? Pencapaian usaha yang gigih, pencapaian perlindungan, persahabatan yang baik, dan kehidupan seimbang.

“Dan apakah pencapaian usaha yang gigih? Di sini, Byagghapajja, apapun yang dengannya seorang perumah-tangga mencari penghidupannya – apakah melalui pertanian, perdagangan, peternakan, memanah atau pelayanan sipil, atau melalui keterampilan lainnya – ia terampil dan tekun; ia menyelidiki cara-cara yang tepat, dan mampu bertindak dan mengatur segala sesuatunya dengan baik. Ini disebut pencapaian usaha yang gigih.

“Dan apakah pencapaian perlindungan? Di sini, Byagghapajja, seorang perumah-tangga mendirikan perlindungan dan menjaga kekayaannya yang diperoleh melalui usaha bersemangat, yang dikumpulkan oleh kekuatan lengannya, diperoleh melalui keringat di keningnya, kekayaan benar yang diperoleh dengan benar, berpikir: ‘Bagaimana aku dapat mencegah raja dan penjahat mengambil kekayaan ini, api membakarnya, banjir menghanyutkannya, dan keturunan yang tidak disukai mewarisinya?’ ini disebut pencapaian perlindungan.

“Dan apakah persahabatan yang baik? Di sini, Byagghapajja, di desa atau kota manapun seorang perumah-tangga menetap, ia bergaul dengan para perumah-tangga atau putera-putera mereka, apakah muda atau tua, yang memiliki moralitas matang, sempurna dalam keyakinan, disiplin moral, kedermawanan, dan kebijaksanaan; ia berbincang-bincang dengan mereka dan berdiskusi dengan mereka. Ia meniru mereka sehubungan dengan pencapaian mereka dalam hal keyakinan, disiplin moral, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Ini disebut persahabatan yang baik.

“Dan apakah kehidupan yang seimbang? Di sini, Byagghapajja, seorang perumah-tangga mengetahui pendapatan dan pengeluarannya dan mengarah pada kehidupan seimbang, tidak boros juga tidak pelit, sehingga pendapatannya melebihi pengeluarannya dan bukan sebaliknya. Bagaikan seorang pandai emas atau muridnya, memegang timbangan, mengetahui, ‘dengan sebanyak ini timbangan akan turun, dengan sebanyak ini timbangan akan naik,’ demikian pula seorang perumah-tangga mengarah pada kehidupan seimbang.

“Kekayaan yang dikumpulkan demikian memiliki empat sumber berkurangnya: bermain perempuan, bermabuk-mabukan, berjudi, dan persahabatan dengan orang jahat. Bagaikan sebuah tangki dengan empat aliran masuk dan keluar, jika seseorang menutup aliran masuk dan membuka aliran keluar, dan tidak ada hujan yang memadai, maka berkurangnya dan bukan bertambahnya air dalam tangki yang dapat diharapkan, demikian pula empat hal ini akan berakibat pada berkurangnya kekayaan yang terkumpul.

“Demikian pula, ada empat sumber untuk bertambahnya kekayaan yang dikumpulkan: menghindari bermain perempuan, menghindari bermabuk-mabukan, menghindari berjudi, menghindari persahabatan dengan orang jahat. Bagaikan sebuah tangki dengan empat aliran masuk dan keluar, jika seseorang membuka aliran masuk dan menutup aliran keluar, dan ada hujan yang memadai, maka bertambahnya dan bukan berkurangnya air dalam tangki yang dapat diharapkan, demikian pula empat hal ini akan berakibat pada bertambahnya kekayaan yang terkumpul.

“Empat hal ini, Byagghapajja, menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan seorang perumah-tangga dalam kehidupan ini.

“Empat hal lain menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan seorang perumah-tangga dalam kehidupan mendatang. Apakah empat ini? Mencapai kesempurnaan dalam keyakinan, disiplin moral, kedermawanan, dan kebijaksanaan.

“Dan bagaimanakah seorang perumah-tangga mencapai kesempurnaan dalam keyakinan? Di sini, Byagghapajja, seorang perumah-tangga memiliki keyakinan; ia menempatkan keyakinan dalam pencerahan Sang Tathāgata: ‘Demikianlah Sang Bhagavā adalah seorang Arahant, tercerahkan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, suci, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, Yang Tercerahkan, Sang Bhagavā.’ Demikianlah seorang perumah-tangga mencapai kesempurnaan dalam keyakinan.

“Dan bagaimanakah seorang perumah-tangga mencapai kesempurnaan dalam disiplin moral? Di sini, Byagghapajja, seorang perumah-tangga menghindari menghancurkan kehidupan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari hubungan seksual yang salah, menghindari kebohongan, menghindari anggur, minuman keras, dan minuman memabukkan, landasan bagi kelengahan. Demikianlah seorang perumah-tangga mencapai kesempurnaan dalam disiplin moral.

“Dan bagaimanakah seorang perumah-tangga mencapai kesempurnaan dalam kedermawanan? Di sini, Byagghapajja, seorang perumah-tangga berdiam di rumah dengan pikiran yang bebas dari noda kekikiran, murah hati, bertangan terbuka, gembira dalam melepaskan, seseorang yang tekun memberikan derma, gembira dalam memberi dan berbagi. Demikianlah seorang perumah-tangga yang mencapai kesempurnaan dalam kedermawanan.

“Dan bagaimanakah seorang perumah-tangga mencapai kesempurnaan dalam kebijaksanaan? Di sini, Byagghapajja, seorang perumah-tangga memiliki kebijaksanaan yang melihat ke dalam muncul dan lenyapnya fenomena, yang mulia dan menembus dan mengarah pada kehancuran total penderitaan. Demikianlah seorang perumah-tangga mencapai kesempurnaan dalam kebijaksanaan.

“Empat hal ini, Byagghapajja, menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan seorang perumah-tangga dalam kehidupan mendatang.”

(AN 8:54; IV 281-85)