//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)  (Read 29442 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
thread ini dibuka untuk partisipasi member dalam hal editing, silahkan posting editingnya dan untuk pembahasan diluar editing subjek silahkan ke thread ini => http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17307.60.html
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #1 on: 16 February 2011, 01:10:35 PM »
101  Devadaha Sutta
Di Devadaha

[214] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap Negeri Sakya di mana terdapat sebuah pemukiman Sakya bernama Devadaha. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Apa pun yang dirasakan oleh orang ini, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, semua itu disebabkan oleh apa yang dilakukan di masa lampau. [ ]Jadi, dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan  dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan. Dengan tidak adanya akibat di masa depan, maka hancurnya perbuatan terjadi. Dengan hancurnya perbuatan, maka hancurnya penderitaan terjadi. Dengan hancurnya penderitaan, maka hancurnya perasaan terjadi. Dengan hancurnya perasaan, maka segala penderitaan akan menjadi padam.’ Demikianlah menurut para Nigaṇṭha, Para bhikkhu.

3. “Aku mendatangi para Nigaṇṭha yang mengatakan demikian dan Aku mengatakan: ‘Teman-teman para Nigaṇṭha, benarkah bahwa kalian menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … maka segala penderitaan akan menjadi padam[.]”?’ Jika, ketika mereka ditanya demikian, para Nigaṇṭha itu mengakui dan mengatakan ‘Ya,’ maka aku mengatakan kepada mereka:

4. “‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian ada di masa lampau, dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak ada?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau bahwa setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam?’[215] ‘Tidak, Teman.’‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini?’‘Tidak, Teman.’

5. “‘Jadi, Teman-teman, sepertinya kalian tidak mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada; atau bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya; atau bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu; atau bahwa seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau bahwa setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam; atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu, [ ]tidaklah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, semua itu disebabkan oleh apa yang dilakukan di masa lampau. Jadi, dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan. Dengan tidak adanya akibat di masa depan … segala penderitaan akan menjadi padam.”

6. “‘Jika, Teman Nigaṇṭha, kalian mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada; atau bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya; atau bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu; atau bahwa seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau bahwa setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam; atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu, [ ]maka adalah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … [216] … segala penderitaan akan menjadi padam.”

7. “‘Teman Nigaṇṭha, misalkan seseorang terluka oleh anak panah beracun, dan karenanya ia merasakan perasaan sakit, menyiksa, dan menusuk. Kemudian teman-teman dan sahabatnya, sanak-saudara dan kerabatnya, membawa seorang ahli bedah. Ahli bedah itu membedah luka itu dengan pisau, memeriksa anak panah itu dengan alat periksa, mencabut anak panah itu, dan mengoleskan serbuk obat pada luka itu, dan pada setiap tahapan itu, orang itu akan merasakan perasaan sakit, menyiksa, dan menusuk. Kemudian belakangan, ketika luka itu sembuh dan tertutup kulit, orang itu menjadi baik dan bahagia, tidak bergantung, menguasai dirinya sendiri, mampu bepergian ke mana pun yang ia kehendaki. Ia mungkin berpikir: “Sebelumnya aku tertusuk oleh anak panah beracun, dan karenanya aku merasakan perasaan sakit, menyiksa, dan menusuk. Kemudian teman-teman dan sahabatku, sanak-saudara dan kerabatku, membawa seorang ahli bedah. Ahli bedah itu membedah luka itu dengan pisau, memeriksa anak panah itu dengan alat periksa, mencabut anak panah itu, dan mengoleskan serbuk obat pada luka itu, dan pada setiap tahapan itu, aku merasakan perasaan sakit, menyiksa, dan menusuk. [217] Tetapi sekarang luka itu sembuh dan tertutup kulit, aku menjadi baik dan bahagia, tidak bergantung, menguasai diriku sendiri, mampu bepergian ke mana pun yang kukehendaki.”

8. “‘Demikian pula, Teman Nigaṇṭha, jika kalian mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada … atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu, [ ]maka adalah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”’

10. “Ketika hal ini dikatakan, Para Nigaṇṭha berkata kepada-Ku: [218] ‘Teman, Nigaṇṭha Nātaputta mahatahu dan maha-melihat, memiliki pengetahuan dan penglihatan lengkap sebagai berikut: Apakah aku berjalan atau berdiri atau tidur atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan terus-menerus dan tanpa terputus ada padaku.” Ia berkata sebagai berikut: Para Nigaṇṭha, kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau, padamkanlah dengan melaksanakan pertapaan keras. Dan ketika kalian di sini dan saat ini terkendali dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, itu berarti tidak melakukan perbuatan jahat di masa depan. Jadi, dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan … maka segala penderitaan akan menjadi padam.” Kami menyetujui dan menerima ini, dan kami merasa puas.’

11. “Ketika hal ini dikatakan, Aku berkata kepada para Nigaṇṭha: [ ]‘Ada lima hal, Teman Nigaṇṭha, yang mungkin terbukti dalam dua cara berbeda di sini dan saat ini. Apakah lima ini? Keyakinan, persetujuan, tradisi lisan, penalaran, dan penerimaan pandangan melalui perenungan. Kelima hal ini mungkin terbukti dalam dua cara berbeda di sini dan saat ini. Di sini, keyakinan yang bagaimanakah yang Para Mulia Nigaṇṭha yakini pada guru yang mengatakan tentang masa lampau? Persetujuan yang bagaimanakah, tradisi lisan yang bagaimanakah, penalaran yang bagaimanakah, penerimaan pandangan melalui perenungan yang bagaimanakah?’ Dengan mengatakan demikian, Para bhikkhu, Aku tidak melihat adanya pembelaan yang sah atas posisi mereka oleh para Nigaṇṭha.

12. “Kemudian, Para bhikkhu, Aku berkata kepada para Nigaṇṭha: ‘Bagaimana menurut kalian, Teman Nigaṇṭha? Ketika ada pengerahan keras, ada usaha keras, apakah kalian merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu? Tetapi ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras, apakah kalian merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu?’—‘Ketika ada pengerahan keras, Teman Gotama, ada usaha keras, maka kami merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu; [219] tetapi ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras, maka kami tidak merasakan perasaan sakit, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu.’

13. “‘Jadi sepertinya, Teman Nigaṇṭha, bahwa ketika ada pengerahan keras … maka kalian merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu; tetapi ketika tidak ada pengerahan keras … maka kalian tidak merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu. Kalau begitu, tidaklah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: [ ]“Apa pun yang dirasakan oleh orang ini, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, semua itu disebabkan oleh apa yang dilakukan di masa lampau. Jadi, dengan memusnahkan perbuatan lampau melalui pertapaan dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada akibat di masa depan. Dengan tidak adanya akibat … segala penderitaan akan menjadi padam.”

14. “‘Jika, Teman Nigaṇṭha, bahwa ketika ada pengerahan keras, ada usaha keras, maka perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu juga ada, dan ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras maka perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu tetap masih ada; Kalau begitu, adalah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”

15. “‘Tetapi karena, Teman Nigaṇṭha, ketika ada pengerahan keras, ada usaha keras, maka kalian merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu, tetapi ketika tidak ada pengerahan keras, tidak ada usaha keras, maka kalian tidak merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena pengerahan keras itu, oleh karena itu, kalian hanya merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk dari pengerahan yang kalian lakukan sendiri, dan adalah karena kebodohan, ketidaktahuan, dan khayalan [220] maka kalian secara keliru menganggap: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”’ Dengan mengatakan demikian, Para bhikkhu, Aku tidak melihat adanya pembelaan yang sah atas posisi mereka oleh para Nigaṇṭha.

ko indra, no. 9 nya di bagian mana ya?
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #2 on: 16 February 2011, 07:09:15 PM »
16. “Kemudian, Para bhikkhu, Aku berkata kepada para Nigaṇṭha: ‘Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini [ ]dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami dalam kehidupan mendatang?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi mungkinkah suatu perbuatan [yang akibatnya] akan dialami dalam kehidupan mendatang, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini?’—‘Tidak, Teman.’

17. “‘Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan?’’—‘Tidak, Teman.’‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan?’‘Tidak, Teman.’

18. “‘Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam pribadi yang matang?’‘Tidak, Teman.’

19. “‘Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus banyak dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] sedikit dialami?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus sedikit dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] banyak dialami?’‘Tidak, Teman.’

20. “‘Bagaimana menurutmu, Teman Nigaṇṭha? Mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] tidak dialami?’‘Tidak, Teman.’‘Tetapi mungkinkah bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] tidak harus dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami?’‘Tidak, Teman.’

21. “‘Jadi sepertinya, Teman Nigaṇṭha, bahwa adalah tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami dalam kehidupan mendatang, dan tidak mungkin suatu perbuatan [yang akibatnya] akan dialami dalam kehidupan mendatang, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami di sini dan saat ini; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyakitkan dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami sebagai menyenangkan; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang belum matang dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dalam [pribadi] yang matang; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus banyak dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] sedikit dialami, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus sedikit dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] banyak dialami; tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] harus dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] tidak dialami, dan tidak mungkin bahwa suatu perbuatan [yang akibatnya] tidak harus dialami dapat, melalui pengerahan dan usaha keras, menjadi perbuatan [yang akibatnya] dialami. Oleh karena itu, pengerahan Yang Mulia para Nigaṇṭha adalah tidak berbuah, [22] usaha mereka adalah tidak berbuah.’

22. “Demikianlah para Nigaṇṭha berkata, Para bhikkhu. Dan karena para Nigaṇṭha berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah dari pernyataan mereka yang memberikan dasar untuk mencela mereka:

(1) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka para Nigaṇṭha pasti telah melakukan perbuatan buruk di masa lampau, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(2) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi, [ ]maka para Nigaṇṭha pasti diciptakan oleh Tuhan Tertinggi yang jahat, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(3) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh situasi dan alam,  maka para Nigaṇṭha pasti bernasib buruk, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(4) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok [di antara enam kelompok kelahiran], [ ]maka para Nigaṇṭha pasti berasal dari kelompok yang buruk, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(5) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, maka para Nigaṇṭha pasti berusaha dengan buruk di sini dan saat ini, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk.

(6) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka para Nigaṇṭha juga harus dicela.

(7) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.

( 8 ) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh nasib, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.

(9) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok, maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.

(10) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, [223] maka para Nigaṇṭha harus dicela; jika tidak, maka mereka juga harus dicela.

“Demikianlah para Nigaṇṭha berkata, Para bhikkhu. Dan karena para Nigaṇṭha berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah ini dari pernyataan mereka yang memberikan dasar untuk mencela mereka. Dengan demikian, pengerahan mereka adalah tidak berbuah, usaha mereka adalah tidak berbuah.

----------------------
*** Bersambung
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #3 on: 16 February 2011, 07:27:59 PM »
101  Devadaha Sutta
Di Devadaha


ko indra, no. 9 nya di bagian mana ya?

9. Tetapi karena, Teman Nigantha, kalian tidak mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada … atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu,maka adalah tidak selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”’


Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #4 on: 16 February 2011, 07:47:44 PM »
101  Devadaha Sutta
8. “‘Demikian pula, Teman Nigaṇṭha, jika kalian mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada … atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu, [ ]maka adalah selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”[’]


9. “‘Tetapi karena, Teman Nigaṇṭha, kalian tidak mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa bukan pada kenyataannya kalian tidak pernah ada … atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu,[ ]maka adalah tidak selayaknya bagi para mulia Nigaṇṭha untuk menyatakan: “Apa pun yang dirasakan oleh orang ini … segala penderitaan akan menjadi padam.”’

Lanjutan 101  Devadaha Sutta
----------------------------------------

23. “Dan bagaimanakah pengerahan menjadi berbuah, Para bhikkhu, bagaimanakah usaha menjadi berbuah? Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang tidak diliputi penderitaan tidak meliputi dirinya dengan penderitaan; dan ia tidak melepaskan kenikmatan yang sesuai dengan Dhamma, namun ia tidak tergila-gila dengan kenikmatan itu. [ ]Ia mengetahui sebagai berikut: ‘Jika aku berusaha dengan penuh tekad, sumber penderitaan ini akan meluruh dalam diriku karena usaha penuh tekad itu; dan jika mengamati dengan keseimbangan, sumber penderitaan ini meluruh dalam diriku selagi aku mengembangkan keseimbangan.’  Ia berusaha dengan penuh tekad sehubungan dengan sumber penderitaan itu yang meluruh dalam dirinya karena usaha penuh tekad itu; dan ia mengembangkan keseimbangan sehubungan dengan sumber penderitaan itu yang meluruh dalam dirinya selagi ia mengembangkan keseimbangan. Ketika ia berusaha dengan penuh tekad, sumber penderitaan ini dan itu meluruh dalam dirinya karena usaha penuh tekad itu; demikianlah penderitaan itu padam dalam dirinya. Ketika ia mengamati dengan keseimbangan, sumber penderitaan ini dan itu meluruh dalam dirinya selagi ia mengembangkan keseimbangan; demikianlah penderitaan itu padam dalam dirinya.

24. “Misalkan, Para bhikkhu, seorang laki-laki mencintai seorang perempuan dengan pikiran terikat padanya oleh keinginan dan nafsu yang kuat. Ia mungkin melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa. Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Tidakkah dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul pada laki-laki itu ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa?”

“Ya, Yang Mulia. Mengapakah? Karena laki-laki itu mencintai perempuan itu dengan pikiran terikat padanya oleh keinginan dan nafsu yang kuat; [224] itulah sebabnya mengapa dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul padanya ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa.”

25. “Kemudian, Para bhikkhu, laki-laki itu mungkin berpikir: ‘Aku mencintai perempuan ini dengan pikiranku terikat padanya oleh keinginan dan nafsu yang kuat; dengan demikian dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul padaku ketika aku melihatnya berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa. Bagaimana jika aku meninggalkan keinginan dan nafsuku pada perempuan itu?’ Ia meninggalkan keinginan dan nafsunya pada perempuan itu. Belakangan ia mungkin melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain, berbincang-bincang, bergurau, dan tertawa. Bagaimana menurut kalian, Para bhikkhu? Tidakkah dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul pada laki-laki itu ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain …?”

“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena laki-laki itu tidak lagi mencintai perempuan itu; itulah sebabnya mengapa dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan tidak muncul padanya ketika ia melihat perempuan itu berdiri bersama laki-laki lain ….”

26. “Demikian pula, Para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu tidak diliputi penderitaan tidak meliputi dirinya dengan penderitaan … (seperti pada §23 di atas) [225] … demikianlah penderitaan itu padam dalam dirinya. Demikianlah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

27. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang bhikkhu mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Sewaktu aku hidup menuruti kenikmatanku, kondisi-kondisi tidak bermanfaat bertambah dalam diriku dan kondisi-kondisi bermanfaat berkurang; tetapi ketika aku mengerahkan diriku dalam apa yang menyakitkan, kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam diriku dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah. Bagaimana jika aku mengerahkan diriku dalam apa yang menyakitkan?’ Ia mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan. Ketika ia melakukan itu, kondisi-kondisi tidak bermanfaat berkurang dalam dirinya dan kondisi-kondisi bermanfaat bertambah. [ ]Belakangan ia tidak lagi mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan. Mengapakah? Tujuan yang karenanya bhikkhu itu mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan telah tercapai; itulah sebabnya mengapa belakangan ia tidak lagi mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan.

28. “Misalkan, Para bhikkhu, seorang pembuat anak panah sedang memanaskan sebatang anak panah di antara dua kobaran api, membuatnya lurus dan dapat dikerjakan. Ketika batang anak panah itu telah dipanaskan di antara dua kobaran api dan telah lurus dan dapat dikerjakan, maka belakangan ia tidak lagi memanaskannya untuk membuatnya lurus dan dapat dikerjakan. Mengapakah? Tujuan yang karenanya si pembuat anak panah itu memanaskan anak panah itu dan membuatnya lurus dan dapat dikerjakan telah tercapai; itulah sebabnya mengapa belakangan ia tidak lagi memanaskannya untuk membuatnya lurus dan dapat dikerjakan.

29. “Demikian pula, seorang bhikkhu mempertimbangkan sebagai berikut ... (seperti pada §27 di atas) [226] ... itulah sebabnya mengapa belakangan ia tidak lagi mengerahkan dirinya dalam apa yang menyakitkan. Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

30-37. “Kemudian, Para bhikkhu, di sini seorang Tathāgata muncul di dunia ini, sempurna, tercerahkan sempurna ... (seperti Sutta 51, §§12-19) ... ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

38. “Setelah meninggalkan kelima rintangan, ketidaksempurnaan pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

39. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

40. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan dengan penuh perhatian dan kewaspadaan penuh, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

41. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya dari kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan kesakitan juga bukan kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

42. [ ]“Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 51, §24) … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

43. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … (seperti Sutta 51, §25) … Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah. [227]

44. “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan[.]’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda’.

45. “Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’ Demikian jugalah, Para bhikkhu, pengerahan menjadi berbuah, usaha menjadi berbuah.

46. “Demikianlah Sang Tathāgata berkata, Para bhikkhu. Dan karena Sang Tathāgata berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah untuk memuji Beliau:

(1) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka Sang Tathāgata pasti telah melakukan perbuatan baik di masa lampau, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(2) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi, maka Sang Tathāgata pasti diciptakan oleh Tuhan Tertinggi yang baik, karena mereka saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(3) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh situasi dan alam, maka Sang Tathāgata pasti bernasib baik, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(4) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok [di antara enam kelompok kelahiran], maka Sang Tathāgata pasti berasal dari kelompok yang baik, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(5) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, maka Sang Tathāgata pasti berusaha dengan baik di sini dan saat ini, karena Beliau saat ini merasakan perasaan menyenangkan yang tanpa noda.

(6) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lampau, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

(7) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh tindakan kreatif Tuhan yang Tertinggi, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

( 8 ) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh nasib, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

(9) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh kelompok, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

(10) “Jika kenikmatan dan kesakitan yang sedang dirasakan adalah disebabkan oleh pengerahan di sini dan saat ini, maka Sang Tathāgata harus dipuji; jika tidak, [228] maka Sang Tathāgata juga harus dipuji.

“Demikianlah Sang Tathāgata berkata, Para bhikkhu. Dan karena Sang Tathāgata berkata demikian, maka ada sepuluh kesimpulan sah ini untuk memuji Beliau.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #5 on: 16 February 2011, 08:45:28 PM »
102  Pañcattaya Sutta
Lima dan Tiga

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu,”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(SPEKULASI TENTANG MASA DEPAN)

2. “Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang berspekulasi tentang masa depan dan menganut pandangan tentang masa depan, yang menyatakan berbagai dalil doktrin sehubungan dengan masa depan.

(I)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian.’
(II)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian.’
(III)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian.’
(IV)   Atau mereka menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan dari makhluk yang ada [pada saat kematian].
(V)   Atau beberapa menyatakan Nibbāna di sini dan saat ini.

“Demikianlah (a) mereka menggambarkan keberadaan diri yang tidak hancur setelah kematian; (b) atau mereka menggambarkan pemusnahan kehancuran, dan kebinasaan dari makhluk yang ada [pada saat kematian]; (c) atau mereka menyatakan Nibbāna di sini dan saat ini. Demikianlah [pandangan-pandangan] ini dari lima menjadi tiga, dan dari tiga menjadi lima. Ini adalah ringkasan dari ‘lima dan tiga’.

3. (I) “Di sana, Para bhikkhu, para petapa dan brahmana [229] yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan bahwa diri itu, yang memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:
   Materi;
   Atau bukan materi;
   Atau materi juga bukan-materi;
   Atau bukan materi juga bukan bukan-materi;
   Atau memiliki persepsi dari kesatuan;
   Atau memiliki persepsi dari keberagaman;
   Atau memiliki persepsi terbatas;
   Atau memiliki persepsi tanpa batas.
Atau yang lainnya, di antara sedikit dari mereka yang melampaui hal ini, beberapa menyatakan tentang kasiṇa-kesadaran, yang tanpa batas dan tanpa gangguan.

4. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai memiliki diri dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu sebagai materi … atau mereka menggambarkannya sebagai memiliki persepsi dan tanpa batas. Atau yang lainnya, [230] beberapa menyatakan tentang landasan kekosongan, tanpa batas dan tanpa gangguan; [bagi mereka] “tidak ada apa-apa” dinyatakan sebagai persepsi yang paling murni, paling tinggi, paling baik, dan tidak terlampauiapakah persepsi bentuk, persepsi tanpa bentuk, persepsi kesatuan, atau persepsi keberagaman. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

5. (II) “Di sana, Para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:
   Materi;
   Atau bukan materi;
   Atau materi juga bukan-materi;
   Atau bukan materi juga bukan bukan-materi.

6. “Di sana, Para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian. Mengapakah? Karena mereka mengatakan: ‘Persepsi adalah penyakit, persepsi adalah tumor, persepsi adalah anak panah; ini adalah damai, ini adalah luhur, yaitu, tanpa persepsi.’

7. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai materi ... atau bukan materi juga bukan bukan-materi. Bahwa petapa atau brahmana mana pun mengatakan: “Terlepas dari bentuk materi, terlepas dari perasaan, terlepas dari persepsi, terlepas dari bentukan-bentukan, aku akan menjelaskan datang dan perginya kesadaran, lenyapnya dan kemunculan kembalinya, pertumbuhannya, peningkatannya, dan kematangannya.”—itu adalah tidak mungkin. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

8. (III) “Di sana, Para bhikkhu, para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan diri sebagai bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang memiliki juga tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:
   Materi;
   Atau bukan materi;
   Atau materi juga bukan-materi;
   Atau bukan materi juga bukan bukan-materi.

9. “Di sana, Para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, dan mereka mengkritik para petapa dan brahmana yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian. Mengapakah? Karena mereka mengatakan: ‘Persepsi adalah penyakit, persepsi adalah tumor, persepsi adalah anak panah dan tanpa persepsi adalah kelumpuhan; [ ]ini adalah damai, ini adalah luhur, yaitu, bukan [ ]persepsi juga bukan tanpa-persepsi.’

10. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai bukan memiliki persepsi juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian menggambarkan diri itu, yang bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai materi ... atau bukan materi juga bukan bukan-materi. Jika petapa atau brahmana mana pun menjelaskan bahwa memasuki landasan ini terjadi melalui bentukan-bentukan sehubungan dengan apa yang dilihat, didengar, dicerap, dan dikenali, itu dinyatakan sebagai bencana dalam memasuki landasan ini. [232] Untuk landasan ini, dinyatakan, tidak dicapai sebagai pencapaian dengan bentukan-bentukan; landasan ini, dinyatakan, dicapai sebagai pencapaian dengan sisa-sisa bentukan-bentukan. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

11. (IV) “Di sana, Para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan suatu makhluk yang ada [pada saat kematian] [ ]mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, dan mereka mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, dan mereka mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan diri sebagai bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian. Mengapakah? Semua petapa dan brahmana baik ini, bergegas ke depan, menyatakan keterikatan mereka sebagai berikut: ‘Kita akan demikian setelah mati, kita akan demikian setelah mati.’ Seperti halnya seorang pedagang yang pergi ke pasar dan berpikir: ‘Karena ini, itu akan menjadi milikku; dengan ini, aku akan mendapatkan itu’; demikian pula, para petapa dan brahmana baik ini tampak seperti para pedagang itu ketika mereka menyatakan: ‘Kita akan demikian setelah mati, kita akan demikian setelah mati.’

12. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan suatu makhluk yang ada [pada saat kematian], karena ketakutan pada identitas dan kejijikan pada identitas, terus-menerus berlari dan berputar di sekeliling identitas yang sama itu. [ ]Seperti halnya seekor anjing yang terikat oleh tali pengikat pada sebuah tiang atau tonggak [233] akan terus-menerus belari dan berputar di sekeliling tiang atau tonggak yang sama itu; demikian pula, para petapa dan brahmana baik itu, karena ketakutan pada identitas dan kejijikan pada identitas, terus-menerus berlari dan berputar di sekeliling identitas yang sama itu. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

13. [ ]“Para bhikkhu, petapa atau brahmana mana pun yang berspekulasi tentang masa depan dan menganut pandangan tentang masa depan, yang menyatakan berbagai dalil doktrin sehubungan dengan masa depan, semuanya menyatakan kelima landasan ini atau salah satu di antaranya.

-----------------------
*** Bersambung

ko indra, yg ini uda betul blm ya? krn beda dgn yg no. 10.
8. (III) “Di sana, ... menggambarkan diri itu, yang memiliki juga tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian, sebagai:

10. “Sang Tathāgata, ... menggambarkan diri itu, yang bukan memiliki juga bukan tidak memiliki persepsi dan tidak rusak setelah kematian,

trus yg ini "mereka mengkritik"nya dihapus kan?
11. (IV) “Di sana, Para bhikkhu, mereka mengkritik para petapa dan brahmana itu yang menjelaskan pemusnahan, kehancuran, dan kebinasaan suatu makhluk yang ada [pada saat kematian] [ ]mengkritik para petapa dan brahmana baik itu yang menjelaskan
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #6 on: 16 February 2011, 09:20:18 PM »
Lanjutan 102  Pañcattaya Sutta
-----------------------------------------

(SPEKULASI TENTANG MASA LAMPAU)

14. “Para bhikkhu, ada beberapa petapa dan brahmana yang berspekulasi tentang masa lampau dan menganut pandangan tentang masa lampau, yang menyatakan berbagai dalil doktrin sehubungan dengan masa lampau.

(1)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(2)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(3)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah abadi dan tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(4)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah bukan abadi juga bukan tidak abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(5)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(6)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(7)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah terbatas dan tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
( 8 )   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah bukan terbatas juga bukan tidak terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(9)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi kesatuan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(10)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi keberagaman: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(11)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi terbatas: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(12)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia memiliki persepsi tidak terukur: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(13)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia [mengalami] kenikmatan luar biasa: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(14)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia [mengalami] kesakitan luar biasa: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(15)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia [mengalami] kenikmatan dan kesakitan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’
(16)   Beberapa menyatakan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia tidak [mengalami] kenikmatan maupun kesakitan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah.’


15. (1) “Di sana, Para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah abadi: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ bahwa terlepas dari keyakinan, terlepas dari persetujuan, terlepas dari tradisi lisan, terlepas dari penalaran, terlepas dari penerimaan pandangan melalui perenungan, mereka akan memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih atas hal iniitu adalah tidak mungkin. [ ]Karena mereka tidak memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih, bahkan sekadar potongan pengetahuan yang dijelaskan oleh para petapa dan brahmana baik itu [atas pandangan mereka] dinyatakan sebagai kemelekatan di pihak mereka. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

16. (2-16) “Di sana, Para bhikkhu, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Diri dan dunia adalah tidak abadi ... abadi dan tidak abadi ... bukan abadi juga bukan tidak abadi ... terbatas ... tidak terbatas ... terbatas dan tidak terbatas ... bukan terbatas juga bukan tidak terbatas ... memiliki persepsi kesatuan ... memiliki persepsi keberagaman ... memiliki persepsi terbatas ... memiliki persepsi tidak terukur ... [mengalami] kenikmatan luar biasa ... [mengalami] kesakitan luar biasa ... [mengalami] kenikmatan dan kesakitan ... tidak [mengalami] kenikmatan maupun kesakitan: hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah,’ bahwa terlepas dari keyakinan, terlepas dari persetujuan, terlepas dari tradisi lisan, terlepas dari penalaran, terlepas dari penerimaan pandangan melalui perenungan, mereka akan memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih atas hal iniitu adalah tidak mungkin. Karena mereka tidak memiliki pengetahuan pribadi yang murni dan jernih, bahkan sekadar potongan pengetahuan yang dijelaskan oleh para petapa dan brahmana baik itu [atas pandangan mereka] dinyatakan sebagai kemelekatan di pihak mereka. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

(NIBBĀNA DI SINI DAN SAAT INI)

17. (V) “Di sini, Para bhikkhu, [ ]seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, masuk dan berdiam dalam kegembiraan keterasingan. [ ]Ia berpikir: ‘Ini damai, ini luhur, bahwa aku masuk dan berdiam dalam kegembiraan keterasingan.’ Kegembiraan keterasingan itu lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan itu, maka kesedihan muncul, dan dengan lenyapnya kesedihan, maka kegembiraan keterasingan muncul. [ ]Seperti halnya cahaya matahari meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh keteduhan, dan keteduhan meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh cahaya matahari, demikian pula, Dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan itu, maka kesedihan muncul, dan dengan lenyapnya kesedihan, maka kegembiraan keterasingan muncul.

18. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … dan dengan lenyapnya kesedihan, maka kegembiraan keterasingan muncul. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

19. “Di sini, Para bhikkhu, seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan, dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, dan dengan mengatasi kegembiraan keterasingan, masuk dan berdiam dalam kenikmatan nonduniawi. [ ]Ia berpikir: ‘Ini damai, ini luhur, bahwa aku masuk dan berdiam dalam kenikmatan nonduniawi.’ Kenikmatan nonduniawi itu lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka kegembiraan keterasingan muncul, dan dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan, maka kenikmatan nonduniawi muncul. [236] Seperti halnya cahaya matahari meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh keteduhan, dan keteduhan meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh cahaya matahari, demikian pula, dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka kegembiraan keterasingan muncul, dan dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan, maka kenikmatan nonduniawi muncul.

20. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … dan dengan lenyapnya kegembiraan keterasingan, maka kenikmatan nonduniawi muncul. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

21. “Di sini, Para bhikkhu, seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan, dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, dan dengan mengatasi kegembiraan keterasingan dan kenikmatan nonduniawi, masuk dan berdiam dalam perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. [ ]Ia berpikir: ‘Ini damai, ini luhur, bahwa aku masuk dan berdiam dalam perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan.’ Perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu, maka kenikmatan nonduniawi muncul, dan dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan muncul. Seperti halnya cahaya matahari meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh keteduhan, dan keteduhan meliputi wilayah yang ditinggalkan oleh cahaya matahari, demikian pula, dengan lenyapnya perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan itu, maka kenikmatan nonduniawi muncul, dan dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan muncul.

22. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … dan dengan lenyapnya kenikmatan nonduniawi, maka perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan muncul. Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

23. “Di sini, Para bhikkhu, seorang petapa atau brahmana, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan, dan karena sama sekali tidak menyerah pada belenggu-belenggu kenikmatan indria, dan dengan mengatasi kegembiraan keterasingan, kenikmatan nonduniawi, dan perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, menganggap dirinya sebagai berikut: ‘Aku dalam keadaan damai, aku telah mencapai Nibbāna, aku tanpa kemelekatan.’

24. “Sang Tathāgata, Para bhikkhu, memahami hal ini sebagai berikut: ‘Petapa atau brahmana baik ini, dengan melepaskan pandangan tentang masa lampau dan masa depan … menganggap dirinya sebagai berikut: ‘Aku dalam keadaan damai, aku telah mencapai Nibbāna, aku tanpa kemelekatan.’ Tentu saja yang mulia ini menyatakan jalan menuju Nibbāna. Namun petapa atau brahmana baik ini masih melekat, melekat apakah pada pandangan tentang masa lampau atau pada pandangan tentang masa depan atau pada belenggu kenikmatan indria atau pada kegembiraan keterasingan atau pada kenikmatan nonduniawi atau pada perasaan yang bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan. Dan ketika yang mulia ini menganggap dirinya sebagai berikut: ‘Aku dalam keadaan damai, aku telah mencapai Nibbāna, aku tanpa kemelekatan,’ itu juga dinyatakan sebagai kemelekatan di pihak petapa atau brahmana baik ini. [ ]Hal itu terkondisi dan kasar, tetapi ada lenyapnya bentukan-bentukan.’ Setelah mengetahui ‘Ada hal ini,’ dengan melihat jalan membebaskan diri dari hal itu, Sang Tathāgata telah melampauinya.

25. “Para bhikkhu, kondisi tertinggi dari kedamaian luhur ini telah ditemukan oleh Sang Tathāgata, yaitu, kebebasan melalui ketidakmelekatan, [ ]dengan memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dalam hal enam landasan kontak. Para bhikkhu, itu adalah kondisi tertinggi dari kedamaian luhur ini yang ditemukan oleh Sang Tathāgata, [238] yaitu, kebebasan melalui ketidakmelekatan, dengan memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dalam hal enam landasan kontak.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #7 on: 16 February 2011, 09:51:20 PM »
103  Kinti Sutta
Bagaimana Pendapat Kalian mengenai Aku?

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Kusināra, di Hutan Persembahan. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Bagaimanakah pendapat kalian mengenai Aku, Para bhikkhu? Bahwa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi jubah? Atau bahwa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi makanan? Atau bahwa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi tempat tinggal? Atau bahwa Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi kehidupan yang lebih baik?”

“Kami tidak berpendapat demikian mengenai Sang Bhagavā: ‘Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi jubah, atau demi makanan, atau demi tempat tinggal, atau demi kehidupan yang lebih baik.’”

“Jadi, Para bhikkhu, kalian tidak berpendapat demikian mengenai Aku: ‘Petapa Gotama mengajarkan Dhamma demi jubah … atau demi kehidupan yang lebih baik.’ Maka bagaimanakah pendapat kalian mengenai Aku?”

“Yang Mulia, kami berpendapat seperti berikut mengenai Sang Bhagavā: ‘Sang Bhagavā berbelaskasihan dan mengusahakan kesejahteraan kami; Beliau mengajarkan Dhamma karena berbelaskasihan.’”

“Jadi, Para bhikkhu, kalian berpendapat demikian mengenai Aku: ‘Sang Bhagavā berbelaskasihan dan mengusahakan kesejahteraan kami; Beliau mengajarkan Dhamma karena berbelaskasihan.’

3. “Maka, Para bhikkhu, hal-hal ini yang telah Kuajarkan kepada kalian setelah mengetahuinya secara langsungyaitu, empat landasan perhatian, empat jenis usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima indria, lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, Jalan Mulia Berunsur Delapandalam hal-hal ini kalian semuanya harus berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan.

4. “Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan, dua bhikkhu mungkin membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan Dhamma yang lebih tinggi.

5. “Sekarang, jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda baik dalam makna maupun kata-katanya,’ [ ]maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: Para mulia ini berbeda baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna dan perbedaan dalam kata-katanya; jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan.’ [ ]Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: [‘]‘Para mulia ini berbeda baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna dan perbedaan dalam kata-katanya; jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan.’ Maka apa yang secara keliru digenggam harus diingat sebagai secara keliru digenggam. Dengan mengingat apa yang secara keliru digenggam sebagai secara keliru digenggam, maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

6. “Sekarang, jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda dalam makna, tetapi sepakat dalam kata-kata,’ maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: Para mulia ini berbeda dalam makna, tetapi sepakat dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna tetapi terjadi kesepakatan dalam kata-katanya; jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan.’ [ ]Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini berbeda dalam makna, tetapi sepakat dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi perbedaan dalam makna tetapi terjadi kesepakatan dalam kata-katanya; jangan biarkan para mulia itu jatuh dalam perselisihan.’ [204] Maka apa yang secara keliru digenggam harus diingat sebagai secara keliru digenggam dan apa yang secara benar digenggam harus diingat sebagai secara benar digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara keliru digenggam sebagai secara keliru digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara benar digenggam sebagai secara benar digenggam maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

7. “Sekarang, jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat dalam makna, tetapi berbeda dalam kata-kata,’ maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: Para mulia ini sepakat dalam makna, tetapi berbeda dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan dalam makna tetapi terjadi perbedaan dalam kata-katanya. Tetapi kata-kata adalah persoalan sepele. Jangan biarkan para mulia itu jatuh dalam perselisihan karena persoalan sepele.’ [  ]Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat dalam makna, tetapi berbeda dalam kata-kata. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan dalam makna tetapi terjadi perbedaan dalam kata-katanya. Tetapi kata-kata adalah persoalan sepele. Jangan biarkan mereka jatuh dalam perselisihan karena persoalan sepele.’ Maka apa yang secara keliru digenggam harus diingat sebagai secara keliru digenggam dan apa yang secara benar digenggam harus diingat sebagai secara benar digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara keliru digenggam sebagai secara keliru digenggam, dan dengan mengingat apa yang secara benar digenggam sebagai secara benar digenggam maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

8. “Sekarang, jika kalian berpendapat sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat baik dalam makna maupun kata-katanya,’ maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: Para mulia ini sepakat baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan baik dalam makna maupun dalam kata-katanya; semoga para mulia itu tidak jatuh dalam perselisihan.’ [ ]Kemudian bhikkhu yang mana pun di pihak yang berlawanan yang kalian anggap paling layak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Para mulia ini sepakat baik dalam makna maupun kata-katanya. Para Mulia harus mengetahui bahwa adalah karena alasan ini maka terjadi kesepakatan baik dalam makna maupun dalam kata-katanya; semoga para mulia itu tidak jatuh dalam perselisihan.’ Maka apa yang secara benar digenggam harus diingat sebagai secara benar digenggam. Dengan mengingat apa yang secara benar digenggam sebagai secara benar digenggam, maka apa yang merupakan Dhamma dan apa yang merupakan Disiplin harus dijelaskan.

9. “Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan, seorang bhikkhu mungkin melakukan suatu pelanggaran.

10. “Sekarang, Para bhikkhu, kalian tidak boleh terburu-buru menegurnya; melainkan, orang itu harus diperiksa sebagai berikut: ‘Aku tidak akan direpotkan dan orang itu tidak akan terluka; karena orang itu tidak biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, ia tidak melekat dengan erat pada pandangannya dan ia dapat melepaskannya dengan mudah, dan aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, Para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

11. “Kemudian kalian mungkin berpikir, Para bhikkhu: ‘Aku tidak akan direpotkan, tetapi orang itu mungkin akan terluka; karena orang itu biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan. Akan tetapi, ia tidak melekat dengan erat pada pandangannya dan ia dapat melepaskannya dengan mudah, dan aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat. Adalah hal sepele bahwa ia akan terluka, tetapi adalah lebih penting bahwa aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, Para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

12. “Kemudian kalian mungkin berpikir, Para bhikkhu: ‘Aku akan direpotkan, tetapi orang itu tidak akan terluka; karena orang itu tidak biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, walaupun ia melekat dengan erat pada pandangannya dan ia sulit melepaskannya; namun aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat. Adalah hal sepele bahwa aku akan direpotkan, tetapi adalah lebih penting bahwa aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, Para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

13. “Kemudian kalian mungkin berpikir, Para bhikkhu: ‘Aku akan direpotkan, dan orang itu mungkin akan terluka; [242] karena orang itu biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, dan ia melekat dengan erat pada pandangannya dan ia sulit melepaskannya; namun aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat. Adalah hal sepele bahwa aku akan direpotkan dan orang itu mungkin terluka, tetapi adalah lebih penting bahwa aku dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Jika kalian berpikir demikian, Para bhikkhu, maka adalah selayaknya untuk berbicara.

14. “Kemudian kalian mungkin berpikir, Para bhikkhu: ‘Aku akan direpotkan dan orang itu mungkin akan terluka; karena orang itu biasanya menyerah pada kemarahan dan kekesalan, dan ia melekat dengan erat pada pandangannya dan ia sulit melepaskannya; dan aku tidak dapat membantu orang itu keluar dari yang tidak bermanfaat dan tidak dapat mengukuhkannya dalam yang bermanfaat.’ Seseorang sebaiknya tidak meremehkan keseimbangan terhadap orang seperti itu.

15. “Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, mungkin muncul percekcokan verbal, kesombongan dalam pandangan-pandangan, gangguan pikiran, permusuhan, dan kekecewaan, maka bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak yang memihak salah satu pihak harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, mungkin muncul percekcokan verbal, kesombongan dalam pandangan-pandangan, gangguan pikiran, permusuhan, dan kekecewaan. Jika Sang Petapa mengetahui, apakah ia akan mencela hal itu?’ [ ]Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih … Jika Sang Petapa mengetahui, maka ia akan mencela hal itu.’

“‘Tetapi, Teman, tanpa meninggalkan hal itu, dapatkah seseorang mencapai Nibbāna?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Teman, tanpa meninggalkan hal itu, ia tidak dapat mencapai Nibbāna.’

16. “Kemudian bhikkhu yang mana pun yang kalian anggap paling layak yang memihak pada pihak yang berlawanan harus didekati dan diberi tahu sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa berselisih, mungkin muncul percekcokan verbal, kesombongan dalam pandangan-pandangan, gangguan pikiran, permusuhan, dan kekecewaan. Jika Sang Petapa mengetahui, apakah ia akan mencela hal itu?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Sewaktu kami berlatih … Jika Sang Petapa mengetahui, maka ia akan mencela hal itu.

“‘Tetapi, Teman, tanpa meninggalkan hal itu, dapatkah seseorang mencapai Nibbāna?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: [243] ‘Teman, tanpa meninggalkan hal itu, ia tidak dapat mencapai Nibbāna.’

17. “Jika orang lain bertanya kepada bhikkhu itu sebagai berikut: ‘Apakah Yang Mulia yang membuat para bhikkhu keluar dari yang tidak bermanfaat dan mengukuhkan mereka dalam yang bermanfaat?’ Jika menjawab dengan benar, maka bhikkhu itu akan menjawab sebagai berikut: ‘Di sini, Teman-teman, aku menghadap Sang Bhagavā. Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku. Setelah mendengarkan Dhamma itu, aku berkata kepada para bhikkhu itu. Para bhikkhu itu mendengarkan Dhamma itu, dan mereka keluar dari yang tidak bermanfaat dan menjadi kukuh dalam yang bermanfaat.’ Dengan menjawab demikian, bhikkhu itu tidak meninggikan dirinya sendiri juga tidak merendahkan orang lain; ia menjawab sesuai dengan Dhamma sedemikian sehingga tidak memberikan peluang bagi celaan yang dapat dengan benar disimpulkan dari pernyataannya.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #8 on: 16 February 2011, 10:51:16 PM »
104  Sāmagāma Sutta
Di Sāmagāma

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Sakya di Sāmagāma.

2. Pada saat itu, Nigaṇṭha Nātaputta baru saja meninggal dunia di Pāvā.  Setelah kematiannya, para Nigaṇṭha terbagi menjadi dua kelompok; dan mereka bertengkar dan bercekcok dan berselisih, saling menusuk satu sama lain dengan pedang ucapan: “Engkau tidak memahami Dhamma dan Disiplin ini. Aku memahami Dhamma dan Disiplin ini. Bagaimana mungkin engkau memahami Dhamma dan Disiplin ini? Caramu salah. Caraku benar. Aku konsisten. Engkau tidak konsisten. Apa yang seharusnya engkau katakan di awal [244] engkau katakan di akhir. Apa yang seharusnya engkau katakan di akhir engkau katakan di awal. Apa yang telah engkau pikirkan dengan saksama telah diputarbalikkan. Pernyataanmu telah diperlihatkan. Engkau telah dibantah. Pergi dan belajarlah lebih baik, atau bebaskan dirimu dari kekusutan jika engkau mampu!” Sepertinya seolah-olah terjadi pembantaian di tengah-tengah para murid Nigaṇṭha Nātaputta. Dan para pengikut awam berpakaian putih menjadi jijik, cemas, dan kecewa dengan murid-murid Nigaṇṭha Nātaputta, seperti seharusnya yang terjadi pada Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan dengan buruk dan dibabarkan dengan buruk, yang tidak membebaskan, tidak menghasilkan kedamaian, dibabarkan oleh seorang yang tidak sepenuhnya tercerahkan, dan sekarang altarnya rusak, dibiarkan tanpa perlindungan.

3. Kemudian Samaṇera Cunda, [ ]yang telah melewatkan musim hujan di Pāvā, mendatangi Yang Mulia Ānanda, dan setelah bersujud kepadanya, ia duduk di satu sisi dan memberitahukan apa yang sedang terjadi.

Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Samaṇera Cunda: “Sahabat Cunda, ini adalah berita yang harus disampaikan kepada Sang Bhagavā. Marilah kita menghadap Sang Bhagavā dan memberitahukan kepada Beliau.”

“Baik, Yang Mulia,” Samaṇera Cunda menjawab.

4. Kemudian Yang Mulia Ānanda dan Samaṇera Cunda pergi menghadap Sang Bhagavā. Setelah bersujud kepada Beliau, mereka duduk di satu sisi, dan [345] Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Samaṇera Cunda ini, Yang Mulia, mengatakan bahwa: ‘Yang Mulia, Nigaṇṭha Nātaputta baru saja meninggal dunia. Setelah kematiannya, para Nigaṇṭha terbagi menjadi dua kelompok … dan sekarang altarnya rusak, dibiarkan tanpa naungan.’ Aku berpikir, Yang mulia, ‘Semoga tidak terjadi perselisihan dalam Sangha ketika Sang Bhagavā telah meninggal dunia. Karena perselisihan demikian, akan mengakibatkan bahaya dan ketidakbahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.’”

5. “Bagaimana menurutmu, Ānanda? Hal-hal ini yang telah Kuajarkan kepadamu setelah secara langsung mengetahuinyayaitu, empat landasan perhatian, empat jenis usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima indria, lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, Jalan Mulia Berunsur Delapanadakah engkau melihat, Ānanda, bahkan dua bhikkhu yang membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan hal-hal ini?”

“Tidak, Yang Mulia, aku tidak melihat bahkan ada dua bhikkhu yang membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan hal-hal ini. Tetapi, Yang Mulia, ada orang-orang yang hidup dengan menghormati Sang Bhagavā yang mungkin, setelah Beliau meninggal dunia, menciptakan perselisihan dalam Sangha sehubungan dengan penghidupan dan sehubungan dengan Pātimokkha. [ ]Perselisihan demikian dapat mengakibatkan bahaya dan ketidakbahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.”

“Perselisihan sehubungan dengan penghidupan atau sehubungan dengan Pātimokkha adalah hal sepele, Ānanda. Tetapi jika muncul perselisihan dalam Sangha sehubungan dengan jalan atau cara, [ ]perselisihan demikian dapat mengakibatkan bahaya dan ketidakbahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia.

6. “Terdapat, Ānanda, enam akar perselisihan ini. [ ]Apakah enam ini? Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu marah dan kesal. Bhikkhu demikian berdiam tanpa menghormati dan tanpa menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu yang tidak menghormati dan tidak menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, [246] dan yang tidak memenuhi latihan, menciptakan perselisihan dalam Sangha, yang dapat mengakibatkan bahaya dan ketidakbahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia. Sekarang jika engkau melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang buruk yang sama itu, dan jika engkau tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berlatih sedemikian sehingga akar perselisihan yang buruk yang sama itu tidak muncul di masa depan. Demikianlah ditinggalkannya akar perselisihan yang buruk itu; demikianlah ketidakmunculan akar perselisihan yang buruk itu di masa depan.

7-11. “Kemudian, seorang bhikkhu bersikap meremehkan dan congkak … iri dan tamak … curang dan menipu … berkeinginan jahat dan berpandangan salah, dan melepaskannya dengan susah-payah. Bhikkhu demikian berdiam tanpa menghormati dan tanpa menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan ia tidak memenuhi latihan. Seorang bhikkhu yang tidak menghormati dan tidak menghargai Sang Guru, Dhamma, dan Sangha, dan yang tidak memenuhi latihan, menciptakan perselisihan dalam Sangha, yang dapat mengakibatkan bahaya dan ketidakbahagiaan banyak makhluk, menghasilkan kehilangan, kemalangan, dan penderitaan para dewa dan manusia. Sekarang jika engkau melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berusaha untuk meninggalkan akar perselisihan yang buruk yang sama itu, dan jika engkau tidak melihat akar perselisihan demikian apakah dalam dirimu atau secara eksternal, maka engkau harus berlatih sedemikian sehingga akar perselisihan yang buruk yang sama itu tidak muncul di masa depan. [247] Demikianlah ditinggalkannya akar perselisihan yang buruk itu; demikianlah ketidakmunculan akar perselisihan yang buruk itu di masa depan. Ini adalah enam akar perselisihan.

12. “Ānanda, terdapat empat jenis perkara ini. Apakah empat ini? Perkara karena perselisihan, perkara karena tuduhan, perkara karena pelanggaran, dan perkara sehubungan dengan pelaksanaan perbuatan. Ini adalah empat jenis perkara.

13. “Ānanda, terdapat tujuh jenis penyelesaian perkara. [ ]Untuk menyelesaikan dan mendamaikan perkara pada saat terjadinya: penghapusan perkara melalui konfrontasi dapat diberikan, penghapusan perkara karena ingatan dapat diberikan, penghapusan perkara karena ketidakwarasan masa lalu dapat diberikan, pengaruh pengakuan atas suatu pelanggaran, pendapat mayoritas, pernyataan karakter buruk atas seseorang, dan menutup dengan rumput.

14. “Dan bagaimanakah terjadinya penghapusan perkara melalui konfrontasi? [ ]Di sini para bhikkhu berselisih: ‘Ini adalah Dhamma,’ atau ‘Ini bukan Dhamma,’ atau ‘Ini adalah Disiplin,’ atau ‘Ini bukan Disiplin.’ Para bhikkhu itu harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah berkumpul, tuntunan Dhamma harus ditetapkan. [ ]Begitu tuntunan Dhamma telah ditetapkan, perkara itu harus diselesaikan sedemikian sehingga sesuai dengan tuntunan Dhamma itu. Demikianlah penghapusan perkara melalui konfrontasi. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara melalui konfrontasi.

15. “Dan bagaimanakah terjadinya pendapat mayoritas? Jika para bhikkhu itu tidak dapat menyelesaikan perkara itu di dalam tempat kediaman itu, maka mereka harus mendatangi tempat kediaman di mana terdapat lebih banyak bhikkhu. Di sana, mereka semuanya harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah berkumpul, tuntunan Dhamma harus ditetapkan. Begitu tuntunan Dhamma telah ditetapkan, perkara itu harus diselesaikan sedemikian sehingga sesuai dengan tuntunan Dhamma itu. Demikianlah pendapat mayoritas. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara melalui pendapat mayoritas.

16. “Dan bagaimanakah penghapusan perkara karena ingatan? [  ]Di sini seorang bhikkhu menegur seorang bhikkhu lainnya untuk suatu pelanggaran berat, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan: [ ]‘Apakah Yang Mulia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan.’ [248] Dalam kasus ini, penghapusan perkara karena ingatan harus ditetapkan. Demikianlah penghapusan perkara karena ingatan. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara karena ingatan.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #9 on: 16 February 2011, 11:07:51 PM »
17. “Dan bagaimanakah penghapusan perkara karena ketidakwarasan masa lalu? [ ]Di sini seorang bhikkhu menegur seorang bhikkhu lainnya untuk suatu pelanggaran berat, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan: ‘Apakah Yang Mulia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan.’ Terlepas dari penyangkalannya, bhikkhu itu mendesaknya lebih jauh: ‘Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku telah menjadi gila, Teman, aku kehilangan akal-sehat, dan ketika aku gila aku mengatakan dan melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Aku tidak ingat, aku gila ketika aku melakukan hal itu.’ Dalam kasus ini, penghapusan perkara karena ketidakwarasan masa lalu harus ditetapkan. Demikianlah penghapusan perkara karena ketidakwarasan masa lalu. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara karena ketidakwarasan masa lalu.

18. “Dan bagaimanakah terjadinya pengaruh pengakuan atas suatu pelanggaran? Di sini seorang bhikkhu, apakah ditegur atau tidak ditegur, mengingat suatu pelanggaran, menyatakannya, dan mengungkapkannya. Ia harus mendatangi seorang bhikkhu senior, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia harus bersujud di kakinya. Kemudian, sambil duduk berlutut, ia harus merangkapkan tangan dan berkata: ‘Yang Mulia, aku telah melakukan pelanggaran itu; aku mengakuinya.’ Bhikkhu senior berkata: ‘Apakah engkau melihat?’‘Ya, aku melihat.’‘Apakah engkau akan mempraktikkan pengendalian di masa depan?’‘Aku akan mempraktikkan pengendalian di masa depan.’ Demikianlah pengaruh pengakuan atas suatu pelanggaran. [ ]Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan pengaruh pengakuan atas suatu pelanggaran. [249]

19. “Dan bagaimanakah terjadinya pernyataan karakter buruk atas seseorang? [ ]Di sini seorang bhikkhu menegur seorang bhikkhu lainnya untuk suatu pelanggaran berat, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan: ‘Apakah Yang Mulia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan.’ Terlepas dari penyangkalannya, bhikkhu itu mendesaknya lebih jauh: ‘Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Aku tidak ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan. Tetapi, Teman-teman, aku ingat telah melakukan pelanggaran ringan itu.’ Terlepas dari penyangkalannya, bhikkhu itu mendesaknya lebih jauh: ‘Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia mengatakan: ‘Teman-teman, ketika tidak ditanya, aku mengakui telah melakukan pelanggaran ringan; jadi ketika ditanya, mengapa aku tidak mengakui telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Bhikkhu itu berkata: ‘Teman, jika engkau tidak ditanya, engkau tidak akan mengakui telah melakukan pelanggaran ringan ini; jadi mengapa, ketika ditanya, engkau mengakui telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan? Yang Mulia pasti mengetahui dengan baik jika ia ingat telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan?’ Ia berkata: ‘Aku ingat, Teman-teman, telah melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan. Aku bergurau, aku hanya meracau, ketika aku mengatakan bahwa aku tidak ingat telah melakukan melakukan pelanggaran berat itu, pelanggaran yang melibatkan kejatuhan atau yang berbatasan dengan kejatuhan.’ Demikianlah terjadinya pernyataan karakter buruk atas seseorang. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan pernyataan karakter buruk atas seseorang. [250]

20. “Dan bagaimanakah terjadinya menutup dengan rumput? [ ]Di sini ketika para bhikkhu telah bertengkar dan bercekcok dan berselisih, mereka mungkin telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Para bhikkhu itu harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah mereka berkumpul, seorang bhikkhu yang bijaksana di antara para bhikkhu yang memihak salah satu pihak bangkit dari duduknya, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangan, dan mengundang Sangha sebagai berikut: ‘Mohon Yang Mulia Sangha mendengarkan aku. Ketika kami bertengkar dan bercekcok dan berselisih, kami telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Jika Sangha menyetujui, maka demi kebaikan para mulia ini dan demi kebaikanku, di tengah-tengah Sangha aku akan mengakui, melalui metode menutup dengan rumput, segala pelanggaran dari para mulia ini dan segala pelanggaranku, kecuali pelanggaran-pelanggaran yang memerlukan teguran serius dan yang berhubungan dengan umat awam.’

“Kemudian seorang bhikkhu yang bijaksana di antara para bhikkhu yang memihak pihak lainnya bangkit dari duduknya, dan setelah merapikan jubahnya di salah satu bahunya, ia merangkapkan tangan, dan mengundang Sangha sebagai berikut: ‘Mohon Yang Mulia Sangha mendengarkan aku. Ketika kami bertengkar dan bercekcok dan berselisih, kami telah mengatakan atau melakukan banyak hal yang tidak selayaknya bagi seorang petapa. Jika Sangha menyetujui, maka demi kebaikan para mulia ini dan demi kebaikanku, di tengah-tengah Sangha aku akan mengakui, melalui metode menutup dengan rumput, segala pelanggaran dari para mulia ini dan segala pelanggaranku, kecuali pelanggaran-pelanggaran yang memerlukan teguran serius dan yang berhubungan dengan umat awam.’ Demikianlah menutup dengan rumput. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan menutup dengan rumput.

21. “Ānanda, terdapat enam prinsip kerukunan ini yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan. [ ]Apakah enam ini?

“Di sini seorang bhikkhu memelihara perbuatan jasmani cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan ucapan cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu memelihara perbuatan pikiran cinta kasih baik secara terbuka maupun secara pribadi terhadap teman-temannya dalam kehidupan suci. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan [251] penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu menggunakan benda-benda bersama-sama dengan teman-temannya dalam kehidupan suci; tanpa merasa keberatan, ia berbagi dengan mereka apa pun jenis perolehan yang ia peroleh yang sesuai dengan Dhamma dan telah diperoleh dengan cara yang sesuai dengan Dhamma, bahkan termasuk isi mangkuknya. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal moralitas yang tidak rusak, tidak robek, tidak berbintik, tidak bercoreng, membebaskan, dipuji oleh para bijaksana, tidak disalahpahami, dan mendukung konsentrasi. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam … persatuan.

“Kemudian, seorang bhikkhu berdiam baik di depan umum maupun di tempat pribadi memiliki kesamaan dengan teman-temannya dalam kehidupan suci dalam hal pandangan yang mulia dan membebaskan, dan menuntun seseorang yang mempraktikkan sesuai pandangan itu menuju kehancuran total penderitaan. Ini juga adalah prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

“Ini adalah enam prinsip kerukunan yang menciptakan cinta kasih dan penghormatan dan berperan dalam kebersamaan, dalam tanpa-perselisihan, dalam kerukunan, dan dalam persatuan.

22. “Jika, Ānanda, kalian menjalankan dan mempertahankan keenam prinsip kerukunan ini, apakah engkau melihat ucapan apa pun juga, baik hal kecil maupun hal besar, yang tidak dapat engkau terima?”“Tidak, Yang Mulia.”“Oleh karena itu, Ānanda, jalankan dan pertahankanlah keenam prinsip kerukunan ini. Hal itu akan menuntun menuju kesejahteraan dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #10 on: 16 February 2011, 11:24:22 PM »
105  Sunakkhatta Sutta
Kepada Sunakkhatta

[252] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip.

2. Pada saat itu, sejumlah bhikkhu telah menyatakan pengetahuan akhir di hadapan Sang Bhagavā sebagai berikut: “Kami memahami: kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.”

3. Sunakkhatta, putra Licchavi, [ ]mendengar: “Sepertinya sejumlah bhikkhu telah menyatakan pengetahuan akhir di hadapan Sang Bhagavā sebagai berikut: ‘Kami memahami: kelahiran telah dihancurkan … tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.’” Kemudian Sunakkhatta, putra Licchavi, menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

4. “Aku telah mendengar, Yang Mulia, bahwa sejumlah bhikkhu telah menyatakan pengetahuan akhir di hadapan Sang Bhagavā. Apakah mereka benar-benar telah mencapainya atau adakah beberapa bhikkhu di sini yang menyatakan pengetahuan akhir karena menilai diri mereka terlalu tinggi?”

5. “Ketika para bhikkhu itu, Sunakkhatta, menyatakan pengetahuan akhir di hadapan-Ku, ada beberapa bhikkhu yang benar-benar telah mencapai pengetahuan akhir dan ada beberapa yang menyatakan telah mencapai pengetahuan akhir karena menilai diri mereka terlalu tinggi. [ ]Di sana, ketika para bhikkhu menyatakan pengetahuan akhir karena benar-benar telah mencapainya, maka pernyataan mereka adalah benar. Tetapi ketika para bhikkhu menyatakan pengetahuan akhir karena menilai diri mereka terlalu tinggi, Sang Tathāgata berpikir: ‘Aku harus mengajarkan Dhamma kepada mereka.’ [ ]Demikianlah dalam hal ini, Sunakkhatta, Sang Tathāgata berpikir: ‘Aku harus mengajarkan Dhamma kepada mereka.’ Tetapi beberapa orang sesat di sini menyusun pertanyaan, menghadap Sang Tathāgata, dan mengajukannya. Dalam hal ini, Sunakkhatta, [253] walaupun Sang Tathāgata telah berpikir: ‘Aku harus mengajarkan Dhamma kepada mereka,’ namun Beliau berubah pikiran.”

6. “Sekarang adalah waktunya, Sang Bhagavā, sekarang adalah waktunya, Yang Sempurna, bagi Sang Bhagavā untuk mengajarkan Dhamma. Setelah mendengarnya dari Sang Bhagavā, para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka dengarkanlah, Sunakkhatta, dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”

“Baik, Yang Mulia,” Sunakkhatta, putra Licchavi, menjawab Sang Bhagavā. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

7. “Ada, Sunakkhatta, lima utas kenikmatan indria ini. Apakah lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Suara-suara yang dikenali oleh telinga ... bau-bauan yang dikenali oleh hidung ... rasa kecapan yang dikenali oleh lidah ... objek-objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu. Ini adalah lima utas kenikmatan indria.

8. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seseorang di sini mungkin berhasrat pada hal-hal materi duniawi. [ ]Ketika seseorang berhasrat pada hal-hal materi duniawi, hanya pembicaraan sehubungan dengan hal itu yang menarik perhatiannya, dan pikiran dan renungannya selaras dengan hal-hal itu, dan ia bergaul dengan orang-orang sejenis, dan ia mendapatkan kepuasan dalam hal-hal itu. Tetapi ketika pembicaraan mengenai ketenangan sedang berlangsung, ia tidak mendengarkannya atau mengarahkan pikirannya untuk memahaminya. Ia tidak bergaul dengan orang demikian, dan ia tidak mendapatkan kepuasan dalam hal itu.

9. “Misalkan, Sunakkhatta, seseorang telah lama meninggalkan desa atau kota asalnya, dan ia bertemu dengan orang lain yang baru saja meninggalkan desa atau kota itu. Ia akan menanyakan kepada orang itu apakah para penduduk desa atau kota itu selamat, makmur, dan sehat, dan orang itu akan memberitahukan kepadanya apakah para penduduk desa atau kota itu selamat, makmur, [254] dan sehat. Bagaimana menurutmu, Sunakkhatta? Apakah orang pertama akan mendengarkannya, dan mengarahkan pikirannya untuk memahami?”“Benar, Yang Mulia.”“Demikian pula, Sunakkhatta, adalah mungkin bahwa seseorang di sini mungkin berhasrat pada hal-hal materi duniawi. Ketika seseorang berhasrat pada hal-hal materi duniawi … dan ia tidak mendapatkan kepuasan dalam hal itu. Ia harus dipahami sebagai seorang yang berhasrat pada hal-hal duniawi.

10. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seseorang di sini mungkin berhasrat pada ketenangan. [ ]Ketika seseorang berhasrat pada ketenangan, hanya pembicaraan sehubungan dengan hal itu yang menarik perhatiannya, dan pikiran dan renungannya selaras dengan hal-hal itu, dan ia bergaul dengan orang-orang sejenis, dan ia mendapatkan kepuasan dalam hal-hal itu. Tetapi ketika pembicaraan mengenai hal-hal materi duniawi sedang berlangsung, ia tidak mendengarkannya atau mengarahkan pikirannya untuk memahaminya. Ia tidak bergaul dengan orang demikian, dan ia tidak mendapatkan kepuasan dalam hal itu.

11. “Bagaikan sehelai daun yang telah menguning yang gugur dari tangkainya tidak mampu menjadi hijau kembali, demikian pula, Sunakkhatta, ketika seseorang berhasrat pada ketenangan, ia telah menghalau belenggu hal-hal materi duniawi. Ia harus dipahami sebagai seorang yang terlepas dari belenggu hal-hal materi duniawi yang berhasrat pada ketenangan.

12. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seseorang di sini mungkin berhasrat pada landasan kekosongan. Ketika seseorang berhasrat pada landasan kekosongan, hanya pembicaraan sehubungan dengan hal itu yang menarik perhatiannya, dan pikiran dan renungannya selaras dengan hal-hal itu, dan ia bergaul dengan orang-orang sejenis, dan ia mendapatkan kepuasan dalam hal-hal itu. [255] Tetapi ketika pembicaraan mengenai ketenangan sedang berlangsung, ia tidak mendengarkannya atau mengarahkan pikirannya untuk memahaminya. Ia tidak bergaul dengan orang demikian, dan ia tidak mendapatkan kepuasan dalam hal itu.

13. “Bagaikan sebutir batu besar yang pecah menjadi dua tidak dapat digabungkan kembali menjadi satu, demikian pula, Sunakkhatta, ketika seseorang berhasrat pada landasan kekosongan, ia telah menghalau belenggu ketenangan. Ia harus dipahami sebagai seorang yang terlepas dari belenggu ketenangan yang berhasrat pada landasan kekosongan.

14. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seseorang di sini mungkin berhasrat pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ketika seseorang berhasrat pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, hanya pembicaraan sehubungan dengan hal itu yang menarik perhatiannya, dan pikiran dan renungannya selaras dengan hal-hal itu, dan ia bergaul dengan orang-orang sejenis, dan ia mendapatkan kepuasan dalam hal-hal itu. Tetapi ketika pembicaraan mengenai landasan kekosongan sedang berlangsung, ia tidak mendengarkannya atau mengarahkan pikirannya untuk memahaminya. Ia tidak bergaul dengan orang demikian, dan ia tidak mendapatkan kepuasan dalam hal itu.

15. “Misalkan seseorang telah memakan makanan lezat dan memuntahkannya. Bagaimana menurutmu, Sunakkhatta? Apakah orang itu berkeinginan untuk memakannya lagi?”

“Tidak, Yang Mulia. Mengapakah? Karena makanan itu dianggap menjijikkan.”

“Demikian pula, Sunakkhatta, ketika seseorang berhasrat pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, belenggu landasan kekosongan telah ditolak. Ia harus dipahami sebagai seorang yang terlepas dari belenggu landasan kekosongan dan yang berhasrat pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.

16. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seseorang di sini mungkin berhasrat pada Nibbāna. Ketika seseorang berhasrat pada Nibbāna, hanya pembicaraan sehubungan dengan hal itu yang menarik perhatiannya, dan pikiran dan renungannya selaras dengan hal-hal itu, dan ia bergaul dengan orang-orang sejenis, dan ia mendapatkan kepuasan dalam hal-hal itu. Tetapi ketika pembicaraan mengenai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sedang berlangsung, [256] ia tidak mendengarkannya atau mengarahkan pikirannya untuk memahaminya. Ia tidak bergaul dengan orang demikian, dan ia tidak mendapatkan kepuasan dalam hal itu.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #11 on: 16 February 2011, 11:43:53 PM »
17. “Bagaikan sebatang pohon palem yang pucuknya dipotong menjadi tidak mampu tumbuh lagi, demikian pula, ketika seseorang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna, belenggu landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi telah dipotongterpotong di akarnya, dibuat menjadi tunggul pohon, dihancurkan sehingga tidak lagi muncul di masa depan. Ia harus dipahami sebagai seorang yang terlepas dari belenggu landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna.

18. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seorang bhikkhu di sini mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Keinginan telah disebut sebagai anak panah oleh Sang Petapa; [ ]cairan beracun kebodohan telah dilumurkan oleh keinginan, nafsu, dan niat buruk. Anak panah keinginan itu telah disingkirkan dari diriku; cairan beracun kebodohan telah dikeluarkan. Aku adalah seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna.’ Karena ia menganggap dirinya demikian, walaupun berlawanan dengan fakta, [ ]ia mungkin mengikuti hal-hal itu yang tidak selayaknya bagi seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna. Ia mungkin dengan matanya mengikuti pemandangan bentuk-bentuk yang tidak selayaknya, ia mungkin dengan telinganya mengikuti suara-suara yang tidak selayaknya, dengan hidungnya mengikuti bau-bauan yang tidak selayaknya, dengan lidahnya mengikuti rasa kecapan yang tidak selayaknya, dengan badannya mengikuti objek-objek sentuhan yang tidak selayaknya, atau dengan pikirannya mengikuti objek-objek pikiran yang tidak selayaknya. Ketika ia dengan mata mengikuti pemandangan bentuk-bentuk yang tidak selayaknya … dengan pikirannya mengikuti objek-objek pikiran yang tidak selayaknya, maka nafsu akan menyerbu pikirannya, ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan.

19. “Misalkan, Sunakkhatta, seseorang terluka oleh anak panah beracun, dan teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, membawa seorang ahli bedah. Ahli bedah itu membedah luka itu dengan pisau, memeriksa anak panah itu dengan alat periksa, [257] kemudian ia mencabut anak panah itu dan mengeluarkan cairan beracun dengan meninggalkan sisa-sisa racun itu. Karena berpikir bahwa tidak ada sisa-sisa racun yang tertinggal, [ ]ia berkata: ‘Tuan, anak panah telah dicabut dari tubuhmu; cairan beracun telah dikeluarkan tanpa meninggalkan sisa, dan tidak dapat mencelakaimu. Makanlah hanya makanan-makanan yang layak; jangan memakan makanan yang tidak layak agar luka itu tidak bernanah. Dari waktu ke waktu cucilah luka itu dan dari waktu ke waktu olesi luka itu agar nanah dan darah tidak menutupi luka itu. Jangan berjalan terpapar oleh angin dan matahari agar debu dan tanah tidak menginfeksi luka itu. Rawatlah luka itu, Tuan, dan uruslah luka itu hingga sembuh.’

20. “Orang itu akan berpikir: ‘Anak panah telah dicabut dari tubuhku; cairan beracun telah dikeluarkan tanpa meninggalkan sisa, dan tidak dapat mencelakaiku.’ Ia memakan makanan yang tidak layak, dan luka itu bernanah. Dari waktu ke waktu ia tidak mencuci lukanya dan dari waktu ke waktu ia tidak mengolesi lukanya, dan nanah dan darah menutupi lukanya. Ia berjalan dengan terpapar oleh angin dan matahari, dan debu dan tanah menginfeksi luka itu. Ia tidak merawat luka itu dan mengurusnya hingga sembuh. Kemudian, karena ia melakukan yang tidak selayaknya dan karena sisa cairan beracun yang tertinggal, luka itu membengkak, dan dengan pembengkakan itu, ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan.

21. “Demikian pula, Sunakkhatta, adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berpikir sebagai berikut: ‘Keinginan telah disebut sebagai anak panah oleh Sang Petapa; cairan beracun kebodohan telah dilumurkan oleh keinginan, nafsu, dan niat buruk. Anak panah keinginan itu telah disingkirkan dari diriku; [258] cairan beracun kebodohan telah dikeluarkan. Aku adalah seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna.’ Karena ia menganggap dirinya demikian, walaupun berlawanan dengan fakta, ia mungkin mengikuti hal-hal itu yang tidak selayaknya bagi seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna … (seperti di atas) … maka nafsu akan menyerbu pikirannya, ia akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan.

22. “Karena adalah kematian dalam Disiplin Para Mulia, Sunakkhatta, ketika seseorang meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rendah; dan adalah penderitaan mematikan ketika seseorang yang melakukan pelanggaran yang mengotori.

23. “Adalah mungkin, Sunakkhatta, bahwa seorang bhikkhu di sini mungkin berpikir sebagai berikut: ‘Keinginan telah disebut sebagai anak panah oleh Sang Petapa; cairan beracun kebodohan telah dilumurkan oleh keinginan, nafsu, dan niat buruk. Anak panah keinginan itu telah disingkirkan dari diriku; cairan beracun kebodohan telah dikeluarkan. Aku adalah seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna.’ Sebagai seorang yang sungguh-sungguh sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna, ia tidak mengikuti hal-hal yang tidak selayaknya bagi seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna. Ia tidak dengan matanya mengikuti pemandangan bentuk-bentuk yang tidak selayaknya, ia tidak dengan telinganya mengikuti suara-suara yang tidak selayaknya, tidak dengan hidungnya mengikuti bau-bauan yang tidak selayaknya, tidak dengan lidahnya mengikuti rasa kecapan yang tidak selayaknya, tidak dengan badannya mengikuti objek-objek sentuhan yang tidak selayaknya, dan tidak dengan pikirannya mengikuti objek-objek pikiran yang tidak selayaknya. Karena ia tidak dengan mata mengikuti pemandangan bentuk-bentuk yang tidak selayaknya … tidak dengan pikirannya mengikuti objek-objek pikiran yang tidak selayaknya. [259] Karena nafsu tidak menyerbu pikirannya, maka ia tidak mengalami kematian atau penderitaan mematikan.

24. “Misalkan, Sunakkhatta, seseorang terluka oleh anak panah beracun, dan teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, membawa seorang ahli bedah. Ahli bedah itu membedah luka itu dengan pisau, memeriksa anak panah itu dengan alat periksa, kemudian ia mencabut anak panah itu dan mengeluarkan cairan beracun tanpa meninggalkan sisa-sisa racun itu. Mengetahui bahwa tidak ada sisa-sisa racun yang tertinggal, ia berkata: ‘Tuan, anak panah telah dicabut dari tubuhmu; cairan beracun telah dikeluarkan tanpa meninggalkan sisa, dan tidak dapat mencelakaimu. Makanlah hanya makanan-makanan yang layak; jangan memakan makanan yang tidak layak agar luka itu tidak bernanah. Dari waktu ke waktu cucilah luka itu dan dari waktu ke waktu oleskan luka itu, sehingga nanah dan darah tidak menutupi luka itu. Jangan berjalan terpapar oleh angin dan matahari agar debu dan tanah tidak menginfeksi luka itu. Rawatlah luka itu, Tuan, dan uruslah luka itu hingga sembuh.’

25. “Orang itu akan berpikir: ‘Anak panah telah dicabut dari tubuhku; cairan beracun telah dikeluarkan tanpa meninggalkan sisa, dan tidak dapat mencelakaiku.’ Ia memakan hanya makanan yang layak, dan luka itu tidak bernanah. Dari waktu ke waktu ia mencuci lukanya dan dari waktu ke waktu ia mengolesi lukanya, dan nanah dan darah tidak menutupi lukanya. Ia tidak berjalan dengan terpapar oleh angin dan matahari, dan debu dan tanah tidak menginfeksi luka itu. Ia merawat luka itu dan mengurusnya hingga sembuh. Kemudian, karena ia melakukan yang [ ]selayaknya dan karena tidak ada sisa cairan beracun yang tertinggal, luka itu sembuh, dan dengan kesembuhan itu dan tertutup kulit, ia tidak akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan.

26. “Demikian pula, Sunakkhatta, adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berpikir sebagai berikut: ‘Keinginan telah disebut sebagai anak panah oleh Sang Petapa; [260] cairan beracun kebodohan telah dilumurkan oleh keinginan, nafsu, dan niat buruk. Anak panah keinginan itu telah disingkirkan dari diriku; cairan beracun kebodohan telah dikeluarkan. Aku adalah seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna.’ Sebagai seorang yang sungguh-sungguh sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna, ia tidak mengikuti hal-hal yang tidak selayaknya bagi seorang yang sepenuhnya berhasrat pada Nibbāna … (seperti di atas) … Karena nafsu tidak menyerbu pikirannya, maka ia tidak mengalami kematian atau penderitaan mematikan.

27. “Sunakkhatta, Aku memberikan perumpamaan ini untuk menyampaikan maknanya. Maknanya adalah sebagai berikut: ‘Luka’ adalah sebutan bagi enam landasan indria internal. ‘Cairan beracun’ adalah sebutan bagi kebodohan. ‘Anak panah’ adalah sebutan bagi keinginan. ‘Alat periksa’ adalah sebutan bagi perhatian. [ ]‘Pisau’ adalah sebutan bagi kebijaksanaan mulia. ‘Ahli bedah’ adalah sebutan bagi Sang Tathāgata, Yang Sempurna, Yang Tercerahkan Sempurna.

28. “Bhikkhu itu, Sunakkhatta, adalah seorang yang mempraktikkan pengendalian dalam enam landasan kontak. Setelah memahami bahwa perolehan adalah akar penderitaan, [ ]karena tanpa perolehan, terbebaskan dalam hancurnya perolehan, adalah tidak mungkin bahwa ia akan mengarahkan tubuhnya atau membangkitkan pikiran ke arah perolehan apa pun juga.

29. “Misalkan, Sunakkhatta, terdapat sebuah cangkir perunggu berisi minuman yang berwarna indah, berbau harum, dan rasa lezat, tetapi telah dicampur dengan racun, dan seseorang datang yang menginginkan kehidupan, bukan kematian, yang menginginkan kenikmatan dan menghindari kesakitan. [ ]Bagaimana menurutmu, Sunakkhatta, apakah orang itu akan meminum secangkir minuman itu, dengan mengetahui: ‘Jika aku meminum ini maka aku akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan’?”“Tidak, Yang Mulia.” [261]“Demikian pula, bhikkhu itu adalah seorang yang mempraktikkan pengendalian dalam enam landasan kontak. Setelah memahami bahwa perolehan adalah akar penderitaan, karena tanpa perolehan, terbebaskan dalam hancurnya perolehan, adalah tidak mungkin bahwa ia akan mengarahkan tubuhnya atau membangkitkan pikiran ke arah perolehan apa pun juga.

30. “Misalkan, Sunakkhatta, ada seekor ular berbisa yang mematikan, dan seseorang datang yang menginginkan kehidupan, bukan kematian, yang menginginkan kenikmatan dan menghindari kesakitan. Bagaimana menurutmu, Sunakkhatta, apakah orang itu akan mengulurkan tangannya atau jari tangannya, dengan mengetahui: ‘Jika aku digigit oleh ular itu, maka aku akan mengalami kematian atau penderitaan mematikan’?”“Tidak, Yang Mulia.”“Demikian pula, ketika seorang bhikkhu mempraktikkan pengendalian dalam enam landasan kontak, dan setelah memahami bahwa kemelekatan adalah akar penderitaan, maka ia adalah tanpa kemelekatan, terbebaskan dalam hancurnya kemelekatan, adalah tidak mungkin bahwa ia akan mengarahkan tubuhnya atau membangkitkan pikiran ke arah objek kemelekatan apa pun juga.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Sunakkhatta, putra Licchavi, merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #12 on: 17 February 2011, 01:07:11 PM »
106  Āneñjasappāya Sutta
Jalan Menuju Ketenangan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Kuru di mana terdapat sebuah pemukiman Kuru bernama Kammāsadhamma. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, kenikmatan indria [ ]adalah tidak kekal, kosong, palsu, menipu; kenikmatan indria adalah ilusi, ocehan orang-orang dungu. Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, [262] persepsi indria di sini dan saat ini dan persepsi indria pada kehidupan-kehidupan mendatangkeduanya adalah alam Māra, wilayah Māra, umpan Māra, tanah perburuan Māra. Oleh karenanya, kondisi-kondisi batin buruk yang tidak bermanfaat ini seperti ketamakan, niat buruk, dan anggapan muncul, dan merupakan rintangan bagi seorang siswa mulia yang dalam latihan di sini.

(KETENANGAN)

3. “Di sana, Para bhikkhu, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang … merupakan rintangan bagi seorang siswa mulia yang dalam latihan di sini. Bagaimana jika aku berdiam dengan pikiran berlimpah dan luhur, setelah melampaui dunia dan bertekad kuat dalam pikiran. [ ]Ketika aku melakukan demikian, tidak akan ada kondisi-kondisi pikiran buruk yang tidak bermanfaat dalam diriku, dan dengan ditinggalkannya kondisi-kondisi pikiran buruk yang tidak bermanfaat itu maka pikiranku akan menjadi tidak terbatas, tidak terukur, dan terkembang dengan baik.’ Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. [ ]Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai ketenangan saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin berlanjut [pada kelahiran kembali] di dalam ketenangan. [ ]Ini, Para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara pertama yang mengarah pada ketenangan.

4. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut: [ ]‘Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi indria di sini dan saat ini dan persepsi indria pada kehidupan-kehidupan mendatang; apa pun bentuk-bentuk materi [yang ada], segala bentuk materi adalah empat unsur utama dan bentuk materi yang diturunkan dari empat unsur utama.’ Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai ketenangan saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin berlanjut [pada kelahiran kembali] di dalam ketenangan. Ini, Para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara ke dua yang mengarah pada ketenangan. [263]

5. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut: [ ]‘Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi indria di sini dan saat ini dan persepsi indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, bentuk-bentuk materi di sini dan saat ini dan bentuk-bentuk materi pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi bentuk-bentuk di sini dan saat ini dan persepsi bentuk-bentuk pada kehidupan-kehidupan mendatangkeduanya adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal adalah tidak layak disenangi, tidak layak disambut, tidak layak digenggam.’ Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai ketenangan saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin berlanjut [pada kelahiran kembali] di dalam ketenangan. Ini, Para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara ke tiga yang mengarah pada ketenangan.

(LANDASAN KEKOSONGAN)

6. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut: [ ]‘Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi indria di sini dan saat ini dan persepsi indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, bentuk-bentuk materi di sini dan saat ini dan bentuk-bentuk materi pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi bentuk-bentuk di sini dan saat ini dan persepsi bentuk-bentuk pada kehidupan-kehidupan mendatang, dan persepsi-persepsi ketenangansemuanya adalah persepsi. Di mana persepsi-persepsi ini lenyap tanpa sisa, yang damai, yang luhur, yaitu, landasan kekosongan.’ Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai landasan kekosongan saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin berlanjut [pada kelahiran kembali] di dalam landasan kekosongan. Ini, Para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara ke pertama yang mengarah pada landasan kekosongan.

7. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang siswa mulia, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke gubuk kosong, mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Ini adalah kosong dari diri atau apa yang menjadi milik diri.’ [ ]Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai landasan kekosongan saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin berlanjut [pada kelahiran kembali] di dalam landasan kekosongan. Ini, Para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara ke dua yang mengarah pada landasan kekosongan.

8. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Aku bukanlah sesuatu yang menjadi milik siapa pun di mana pun, [264] juga tidak ada apa pun yang dimiliki olehku dalam diri siapa pun di mana pun.’ [ ]Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai landasan kekosongan saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin berlanjut [pada kelahiran kembali] di dalam landasan kekosongan. Ini, Para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara ke tiga yang mengarah pada landasan kekosongan.

ko, yg no. 2 memang "anggapan muncul" ya?
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #13 on: 17 February 2011, 03:54:31 PM »
106  Āneñjasappāya Sutta
ko, yg no. 2 memang "anggapan muncul" ya?

maksudnya  ketamakan, niat buruk, dan anggapan, tiga2 ini muncul, bukan cuma anggapannya aja

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 3 - Lima Puluh Khotbah ke Tiga (editing)
« Reply #14 on: 17 February 2011, 07:50:48 PM »
(LANDASAN BUKAN PERSEPSI JUGA BUKAN BUKAN-PERSEPSI)

9. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi indria di sini dan saat ini dan persepsi indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, bentuk-bentuk materi di sini dan saat ini dan bentuk-bentuk materi pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi bentuk-bentuk di sini dan saat ini dan persepsi bentuk-bentuk pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi-persepsi ketenangan dan persepsi-persepsi landasan kekosongansemuanya adalah persepsi. Di mana persepsi-persepsi ini lenyap tanpa sisa, yang damai, yang luhur, yaitu, landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.’ Ketika ia mempraktikkan dengan cara ini dan sering berdiam demikian, pikirannya memperoleh keyakinan di dalam landasan ini. Begitu ada keyakinan penuh, ia mencapai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi saat ini atau ia bertekad [untuk mencapainya] dengan kebijaksanaan. Ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, adalah mungkin bahwa kesadaran yang berkembang mungkin berlanjut [pada kelahiran kembali] di dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ini, Para bhikkhu, dinyatakan sebagai cara yang mengarah pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.”

(NIBBĀNA)

10. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Ānanda berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, di sini seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Sebelumnya tidak ada, dan sebelumnya tidak ada bagiku; tidak akan ada, dan tidak akan ada bagiku. Apa yang ada, apa yang telah terjadi, aku tinggalkan.’ Demikianlah ia memperoleh keseimbangan. [ ]Yang Mulia, apakah bhikkhu itu mencapai Nibbāna?”

“Seorang bhikkhu di sini, Ānanda, mungkin mencapai Nibbāna, bhikkhu lainnya di sini mungkin tidak mencapai Nibbāna.”
“Apakah sebab dan alasannya, Yang Mulia, mengapa seorang bhikkhu di sini mungkin mencapai Nibbāna, sedangkan seorang bhikkhu lainnya di sini mungkin tidak mencapai Nibbāna?”

“Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Sebelumnya tidak ada, dan sebelumnya tidak ada bagiku; tidak akan ada, dan tidak akan ada bagiku. Apa yang ada, [265] apa yang telah terjadi, aku tinggalkan.’ Demikianlah ia memperoleh keseimbangan. Ia bergembira di dalam keseimbangan itu, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya. Ketika ia melakukan itu, kesadarannya menjadi bergantung padanya dan melekat padanya. Seorang bhikkhu yang melekat, Ānanda, tidak mencapai Nibbāna.”

11. “Tetapi, Yang Mulia, ketika bhikkhu itu melekat, pada apakah ia melekat?”

“Pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, Ānanda.”

“Ketika bhikkhu itu melekat, Yang Mulia, tampaknya ia melekat pada [objek] kemelekatan yang terbaik.”

“Ketika bhikkhu itu melekat, Ānanda, ia melekat pada [objek] kemelekatan yang terbaik; karena ini adalah [objek] kemelekatan yang terbaik, yaitu, landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.

12. “Di sini, Ānanda, seorang bhikkhu berlatih sebagai berikut: ‘Sebelumnya tidak ada, dan sebelumnya tidak ada bagiku; tidak akan ada, dan tidak akan ada bagiku. Apa yang ada, [265] apa yang telah terjadi, aku tinggalkan.’ Demikianlah ia memperoleh keseimbangan. Ia tidak bergembira di dalam keseimbangan itu, tidak menyambutnya, dan tidak terus-menerus menggenggamnya. Karena ia tidak melakukan itu, kesadarannya menjadi tidak bergantung padanya dan tidak melekat padanya. Seorang bhikkhu yang tidak melekat, Ānanda, mencapai Nibbāna.”

13. “Mengagumkan, Yang Mulia, menakjubkan! Sang Bhagavā, sungguh, telah menjelaskan kepada kami menyeberangi banjir dengan bergantung pada dukungan seseorang atau orang lainnya. [ ]Tetapi, Yang Mulia, apakah pembebasan mulia?”

“Di sini, Ānanda, seorang siswa mulia mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Kenikmatan indria di sini dan saat ini dan kenikmatan indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi indria di sini dan saat ini dan persepsi indria pada kehidupan-kehidupan mendatang, bentuk-bentuk materi di sini dan saat ini dan bentuk-bentuk materi pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi bentuk-bentuk di sini dan saat ini dan persepsi bentuk-bentuk pada kehidupan-kehidupan mendatang, persepsi-persepsi ketenangan, persepsi-persepsi landasan kekosongan, dan persepsi-persepsi landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsiini adalah identitas sejauh jangkauan identitas. [ ]Ini adalah Keabadian, yaitu, pembebasan pikiran melalui ketidakmelekatan.’

14. “Demikianlah, Ānanda, Aku telah mengajarkan cara yang mengarah pada ketenangan, Aku telah mengajarkan cara yang mengarah pada landasan kekosongan, Aku telah mengajarkan cara yang mengarah pada landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, Aku telah mengajarkan menyeberangi banjir dengan bergantung pada dukungan seseorang atau orang lainnya, Aku telah mengajarkan pembebasan mulia.

15. “Apa yang seharusnya dilakukan bagi para siswa-Nya demi belas kasihan oleh seorang guru yang mengusahakan kesejahteraan dan memiliki belas kasihan terhadap mereka, [266] telah Aku lakukan untukmu, Ānanda. Ada bawah pepohonan ini, gubuk-gubuk kosong ini. Bermeditasilah, Ānanda, jangan menunda, agar engkau tidak menyesalinya kelak. Ini adalah instruksi kami kepadamu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Ānanda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

 

anything