//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)  (Read 42868 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #90 on: 04 September 2010, 02:51:47 PM »
35  Cūḷasaccaka Sutta
Khotbah Pendek kepada Saccaka

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip.

2. Pada saat itu, Saccaka putra Nigaṇṭha sedang menetap Di Vesālī, seorang pendebat dan pembicara cerdas yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci. [ ]Ia membuat pernyataan di hadapan kumpulan orang-orang Vesālī: “Aku tidak melihat ada petapa atau brahmana, pemimpin suatu aliran, pemimpin suatu kelompok, guru dari suatu kelompok, bahkan seorang yang mengaku telah sempurna dan tercerahkan sempurna, yang tidak terguncang, menggigil, dan terguncang, dan ketiaknya berkeringat jika ia terlibat dalam perdebatan denganku. Bahkan jika aku berdebat dengan tiang yang mati, tiang itu akan terguncang, menggigil, dan terguncang, dan ketiaknya berkeringat jika tiang terlibat dalam perdebatan denganku, apalagi manusia?”

3. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Assaji merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan. [ ]Ketika Saccaka putra Nigaṇṭha sedang berjalan sambil berolahraga di Vesālī, [228] dari jauh ia melihat kedatangan Yang Mulia Assaji dan mendatanginya dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika ramah-tamah ini berakhir, Saccaka putra Nigaṇṭha berdiri di satu sisi dan berkata kepadanya:

4. “Guru Assaji, bagaimanakah Petapa Gotama mendisiplinkan para siswa-Nya? Dan bagaimanakah instruksi Petapa Gotama biasanya disampaikan kepada para siswa-Nya?”

“Beginilah Sang Bhagavā mendisiplinkan para siswa-Nya, Aggivessana, dan beginilah instruksi Sang Bhagavā biasanya disampaikan kepada para siswa-Nya: ‘Para bhikkhu, bentuk materi adalah tidak kekal, perasaan adalah tidak kekal, persepsi adalah tidak kekal, bentukan-bentukan adalah tidak kekal, kesadaran adalah tidak kekal. Para bhikkhu, bentuk materi adalah bukan-diri, perasaan adalah bukan-diri, persepsi adalah bukan-diri, bentukan-bentukan adalah bukan-diri, kesadaran adalah bukan-diri. Segala bentukan adalah tidak kekal; segala sesuatu adalah bukan-diri.;  demikianlah Sang Bhagavā mendisiplinkan para siswa-Nya, dan demikianlah instruksi Sang Bhagavā biasanya disampaikan kepada para siswa-Nya.”

“Jika itu adalah apa yang Petapa Gotama tegaskan, kami sungguh telah mendengar apa yang tidak menyenangkan. Mungkin suatu saat kami dapat bertemu dengan Guru Gotama dan berdiskusi dengan Beliau. Mungkin kami dapat melepaskan-Nya dari pandangan sesat itu.”

5. Pada saat itu, lima ratus Licchavi berkumpul di dalam sebuah aula pertemuan untuk suatu urusan. Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha mendatangi mereka dan berkata: “Marilah, Para Licchavi yang baik, datanglah! Hari ini akan ada suatu perdebatan antara aku dan Petapa Gotama. Jika Petapa Gotama mempertahankan di depanku apa yang telah dipertahankan di depanku oleh salah satu siswa terkenal-Nya, bhikkhu bernama Assaji, maka bagaikan seorang kuat dapat mencengkeram seekor domba jantan berbulu lebat pada bulunya dan menariknya berkeliling, demikian pula dalam perdebatan itu aku akan menarik Petapa Gotama ke sana dan menarik Beliau ke sini dan menariknya berkeliling. Bagaikan seorang pembuat minuman keras yang kuat dapat melemparkan sebuah panci minuman besar ke dalam tangki air yang dalam, dan dengan memegang salah satu sudutnya, menariknya ke sana dan menariknya ke sini dan menariknya berkeliling, demikian pula dalam perdebatan itu aku akan menarik Petapa Gotama ke sana dan menarik Beliau ke sini dan menariknya berkeliling. Bagaikan seorang pengaduk minuman keras yang kuat [229] dapat memegang tepi saringan dan mengguncangnya ke bawah dan mengguncangnya ke atas dan mengguncangnya ke segala arah, demikian pula dalam perdebatan itu aku akan mengguncang Petapa Gotama ke atas dan mengguncang Beliau ke bawah dan mengguncang Beliau ke segala arah. Dan bagaikan seekor gajah berumur enam puluh tahun mencebur ke dalam kolam dan menikmati permainan mencuci rami, demikian pula aku akan menikmati permainan mencuci rami dengan Petapa Gotama. [ ]Marilah, Para Licchavi yang baik, datanglah! Hari ini akan ada suatu perdebatan antara aku dan Petapa Gotama.”

6. Kemudian beberapa Licchavi berkata: “Bagaimana mungkin Petapa Gotama membantah pernyataan Saccaka putra Nigaṇṭha? Sebaliknya, Saccaka putra Nigaṇṭha akan membantah pernyataan Petapa Gotama.” Dan beberapa Licchavi berkata: “Siapakah Saccaka putra Nigaṇṭha yang mampu membantah pernyataan Petapa Gotama? Sebaliknya, Petapa Gotama akan membantah pernyataan Saccaka putra Nigaṇṭha.” Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha pergi dengan lima ratus Licchavi menuju Aula Beratap Lancip.

7. Pada saat itu, sejumlah bhikkhu sedang berjalan mondar-mandir di ruang terbuka. Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha mendatangi mereka dan bertanya: “Di manakah Guru Gotama menetap saat ini, Tuan-tuan? Kami ingin bertemu dengan Guru Gotama.”

“Sang Bhagavā telah pergi ke Hutan Besar, Aggivessana, dan sedang duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari.”

8. Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha, bersama dengan banyak pengikut dari Licchavi, memasuki Hutan Besar dan menjumpai Sang Bhagavā. Ia bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, dan setelah ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi. Beberapa Licchavi bersujud kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya bertukar sapa dengan Beliau, dan ketika ramah-tamah ini berakhir, duduk di satu sisi; beberapa lainnya merangkapkan tangan sebagai penghormatan terhadap Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya menyebutkan nama dan suku mereka di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi; beberapa lainnya berdiam diri dan duduk di satu sisi.

9. Ketika Saccaka putra Nigaṇṭha telah duduk, ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Aku ingin mengajukan pertanyaan kepada Guru Gotama mengenai hal tertentu, jika Guru Gotama berkenan menjawab pertanyaan ini.”

“Tanyakanlah apa yang engkau ingin tanyakan, Aggivessana.” [230]

“Bagaimanakah Guru Gotama mendisiplinkan para siswa-Nya? Dan bagaimanakah instruksi Guru Gotama biasanya disampaikan kepada para siswa-Nya?”

“Beginilah Aku mendisiplinkan para siswa-Ku, Aggivessana, dan beginilah instruksi-Ku biasanya disampaikan kepada para siswa-Ku: ‘Para bhikkhu, bentuk materi adalah tidak kekal, perasaan adalah tidak kekal, persepsi adalah tidak kekal, bentukan-bentukan adalah tidak kekal, kesadaran adalah tidak kekal. Para bhikkhu, bentuk materi adalah bukan-diri, perasaan adalah bukan-diri, persepsi adalah bukan-diri, bentukan-bentukan adalah bukan-diri, kesadaran adalah bukan-diri. Segala bentukan adalah tidak kekal; segala sesuatu adalah bukan-diri; demikianlah Aku mendisiplinkan para siswa-Ku, dan demikianlah instruksi Sang-Ku biasanya disampaikan kepada para siswa-Ku.”

10. “Sebuah perumpamaan muncul padaku, Guru Gotama.”

“Jelaskanlah, Aggivessana,” Sang Bhagavā berkata.

“Seperti halnya ketika benih dan tanaman, apa pun jenisnya, tumbuh, berkembang, dan matang, semuanya terjadi dengan bergantung pada tanah, berlandaskan pada tanah; dan seperti halnya pekerjaan keras, apa pun jenisnya, yang dilakukan, semua dilakukan dengan bergantung pada tanah, berlandaskan pada tanahdemikian pula, Guru Gotama, seseorang memiliki bentuk materi sebagai diri, dan berlandaskan pada bentuk materi itu ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki perasaan sebagai diri, dan berlandaskan pada perasaan ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki persepsi sebagai diri, dan berlandaskan pada persepsi ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki bentukan-bentukan sebagai diri, dan berlandaskan pada bentukan-bentukan ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan. Seseorang memiliki kesadaran sebagai diri, dan berlandaskan pada kesadaran ia menghasilkan kebajikan atau kejahatan.”

11. “Aggivessana, apakah engkau mengatakan bahwa: ‘Bentuk materi adalah diriku, perasaan adalah diriku, persepsi adalah diriku, bentukan-bentukan adalah diriku, kesadaran adalah diriku’.”

“Aku mengatakan demikian, Guru Gotama: ‘Bentuk materi adalah diriku, perasaan adalah diriku, persepsi adalah diriku, bentukan-bentukan adalah diriku, kesadaran adalah diriku’. Dan demikian pula dengan banyak orang ini.

“Apakah hubungannya banyak orang ini denganmu, Aggivessana? Mohon batasi pernyataanmu hanya pada dirimu sendiri.”

“Kalau begitu, Guru Gotama, aku mengatakan: ‘Bentuk materi adalah diriku, perasaan adalah diriku, persepsi adalah diriku, bentukan-bentukan adalah diriku, kesadaran adalah diriku’.”

12. “Maka, Aggivessana, aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu sebagai jawaban. Jawablah dengan apa yang menurutmu benar. [231] Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Apakah seorang raja agung yang sahmisalnya, Raja Pasenadi dari Kosala atau Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadhaakan menjalankan kekuasaannya untuk mengeksekusi mereka yang harus dieksekusi, menghukum mereka yang harus dihukum, dan mengusir mereka yang harus diusir?”

“Guru Gotama, seorang raja agung yang sahmisalnya, Raja Pasenadi dari Kosala atau Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadhaakan menjalankan kekuasaannya untuk mengeksekusi mereka yang harus dieksekusi, menghukum mereka yang harus dihukum, dan mengusir mereka yang harus diusir. Karena bahkan komunitas [oligarki] [ ]seperti para Vajji ini dan para Malla menjalankan menjalankan kekuasaannya untuk mengeksekusi mereka yang harus dieksekusi, menghukum mereka yang harus dihukum, dan mengusir mereka yang harus diusir; apalagi raja mulia yang sah seperti Raja Pasenadi dari Kosala atau Raja Ajātasattu Vedehiputta dari Magadha. Ia akan menjalankannya, Guru Gotama, dan ia selayaknya menjalankannya.”

13. “Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Bentuk materi adalah diriku’, apakah engkau menjalankan kekuasaan apa pun atas bentuk materi itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah bentukku seperti demikian; biarlah bentukku tidak seperti demikian’?” [ ]Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putra Nigaṇṭha berdiam diri.

Untuk ke dua kalinya Sang Bhagavā mengajukan pertanyaan yang sama, dan untuk ke dua kalinya Saccaka putra Nigaṇṭha berdiam diri. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Aggivessana, jawablah sekarang. Sekarang bukan waktunya untuk berdiam diri. Jika siapa pun, ketika ditanya dengan pertanyaan yang masuk akal oleh Sang Tathāgata untuk ke tiga kalinya, masih tidak menjawab, maka kepalanya akan pecah menjadi tujuh keping pada saat itu dan di tempat itu juga.”

14. Pada saat itu, sesosok makhluk penguasa halilintar memegang sebuah halilintar besi yang terbakar, menyala dan berpijar, muncul di udara di atas Saccaka putra Nigaṇṭha, dengan berpikir: “Jika Saccaka putra Nigaṇṭha ini, ketika ditanya dengan pertanyaan yang masuk akal oleh Sang Bhagavā sampai tiga kali, masih tidak menjawab, maka aku akan memecahkan kepalanya menjadi tujuh keping di sini dan saat ini.” [ ]Sang Bhagavā melihat makhluk penguasa halilintar itu dan demikian pula dengan Saccaka putra Nigaṇṭha. Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha ketakutan, gelisah, dan ngeri. [232] Untuk mencari naungan, suaka, dan perlindungan dari Sang Bhagavā, ia berkata: “Tanyakanlah padaku, Guru Gotama, aku akan menjawab.”

15. “Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Bentuk materi adalah diriku’, apakah engkau menjalankan kekuasaan apa pun atas bentuk materi itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah bentukku seperti demikian; biarlah bentukku tidak seperti demikian’?”“Tidak, Guru Gotama.”

16. “Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sesudahnya, juga apa yang engkau katakan sesudahnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Perasaan adalah diriku’, apakah engkau menjalankan kekuasaan apa pun atas perasaan itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah perasaanku seperti demikian; biarlah perasaanku tidak seperti demikian’?”“Tidak, Guru Gotama.”

17. “Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sesudahnya, juga apa yang engkau katakan sesudahnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Persepsi adalah diriku’, apakah engkau menjalankan kekuasaan apa pun atas persepsi itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah persepsiku seperti demikian; biarlah persepsiku tidak seperti demikian’?”“Tidak, Guru Gotama.”


ko indra, yg no. 2..
tiang itu akan terguncang, menggigil, dan terguncang, dan ketiaknya berkeringat
terguncang double ya? mau delete slh satu ato ganti translatenya?

trus memang ada "ketiaknya berkeringat" jg ya utk tiang?  :-?
yg aku dpt englishnya ga ada sweating lg nih.. ga sama ya dgn pny bhikkhu bodhi?  :-?


I do not see a recluse, a brahmin, a leader of a crowd, a teacher of a crowd, or one acknowledging he is perfect and rightfully enlightened not shivering, trembling and sweating when invited to a dispute by me. Even a lifeless pillar drawn to a dispute by me would shiver and tremble, so what of a human being.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #91 on: 04 September 2010, 03:11:51 PM »


ko indra, yg no. 2..
tiang itu akan terguncang, menggigil, dan terguncang, dan ketiaknya berkeringat
terguncang double ya? mau delete slh satu ato ganti translatenya?

trus memang ada "ketiaknya berkeringat" jg ya utk tiang?  :-?
yg aku dpt englishnya ga ada sweating lg nih.. ga sama ya dgn pny bhikkhu bodhi?  :-?


I do not see a recluse, a brahmin, a leader of a crowd, a teacher of a crowd, or one acknowledging he is perfect and rightfully enlightened not shivering, trembling and sweating when invited to a dispute by me. Even a lifeless pillar drawn to a dispute by me would shiver and tremble, so what of a human being.

edit jadi

"tiang itu akan terguncang, menggigil, dan gemetarterguncang, dan ketiaknya berkeringat


bandingkan sesuai dengan sumber asli terjemahan ini jangan bandingkan dengan sumber lain

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #92 on: 04 September 2010, 04:34:08 PM »
18. “Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sesudahnya, juga apa yang engkau katakan sesudahnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Bentukan-bentukan adalah diriku’, apakah engkau menjalankan kekuasaan apa pun atas bentukan-bentukan materi itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah bentukan-bentukanku seperti demikian; biarlah bentukan-bentukanku tidak seperti demikian’?”“Tidak, Guru Gotama.”

19. “Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sesudahnya, juga apa yang engkau katakan sesudahnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika engkau mengatakan: ‘Kesadaran adalah diriku’, apakah engkau menjalankan kekuasaan apa pun atas kesadaran itu sehingga dapat mengatakan: ‘Biarlah kesadaranku seperti demikian; biarlah kesadaranku tidak seperti demikian’?”“Tidak, Guru Gotama.”

20. “Berhati-hatilah, Aggivessana, berhati-hatilah bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sesudahnya, juga apa yang engkau katakan sesudahnya tidak sesuai dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Bagaimana menurutmu, Aggivessana, apakah bentuk materi adalah kekal atau tidak kekal?”“Tidak kekal, Guru Gotama.”“Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?”“Penderitaan, Guru Gotama.”“Apakah apa yang merupakan penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap: ‘Ini milikku, ini aku, [233] ini diriku’?”“Tidak, Guru Gotama.”

“Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Apakah perasaan kekal atau tidak kekal? ... Apakah persepsi kekal atau tidak kekal? ... Apakah bentukan-bentukan kekal atau tidak kekal? ... Apakah kesadaran kekal atau tidak kekal?”“Tidak kekal, Guru Gotama.”“Apakah yang tidak kekal adalah penderitaan atau kebahagiaan?”“Penderitaan, Guru Gotama.”“Apakah apa yang merupakan penderitaan, dan tunduk pada perubahan layak dianggap: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’?”“Tidak, Guru Gotama.”

21. “Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Ketika seseorang terikat pada penderitaan, mendatangi penderitaan, menggenggam penderitaan, dan menganggap penderitaan sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’. Dapatkah ia sepenuhnya memahami penderitaan oleh dirinya sendiri atau berdiam dengan penderitaan yang dihancurkan secara total?”

“Bagaimana mungkin, Guru Gotama? Tidak, Guru Gotama.”

“Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Kalau begitu, apakah engkau tidak terikat pada penderitaan, mendatangi penderitaan, menggenggam penderitaan, dan menganggap penderitaan sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’.?”

“Bagaimana aku tidak, Guru Gotama? Benar, Guru Gotama.”

22. “Ini seperti seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, membawa kapak tajam dan memasuki hutan, dan di sana ia melihat sebatang pohon pisang besar, lurus, muda, tanpa tandan buah. Kemudian ia menebangnya pada akarnya, memotong pucuknya, dan mengelupas pelepah daunnya; tetapi ketika ia terus mengelupasi pelepah daunnya, ia tidak menemukan bahkan kayu lunaknya, apalagi inti kayu. Demikian pula, Aggivessana, ketika engkau ditekan, ditanya, dan didebat oleh-Ku mengenai pernyataanmu sendiri, engkau terbukti, kosong, hampa, dan keliru. Tetapi adalah engkau yang membuat pernyataan ini di depan pertemuan Vesālī: ‘Aku tidak melihat ada petapa atau brahmana, pemimpin suatu aliran, pemimpin suatu kelompok, guru dari suatu kelompok, bahkan seorang yang mengaku telah sempurna dan tercerahkan sempurna, yang tidak terguncang, menggigil, dan terguncang, dan ketiaknya berkeringat jika ia terlibat dalam perdebatan denganku. Bahkan jika aku berdebat dengan tiang yang mati, tiang itu akan terguncang, menggigil, dan terguncang, dan ketiaknya berkeringatgemetar jika tiang terlibat dalam perdebatan denganku, apalagi manusia’? Sekarang ada butiran keringat di keningmu dan keringat itu telah membasahi jubah atasmu dan menetes ke tanah. Tetapi tidak ada keringat pada tubuh-Ku saat ini.” Dan Sang Bhagavā membuka tubuhnya yang berwarna keemasan di depan kelompok itu. [234] Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putra Nigaṇṭha duduk diam, dengan bahu terkulai dan kepala tertunduk, muram, dan tanpa reaksi.

23. Kemudian Dummukha, putra Licchavi, melihat Saccaka putra Nigaṇṭha dalam keadaan demikian, berkata kepada Sang Bhagavā: “Sebuah perumpamaan muncul padaku, Guru Gotama.”

“Jelaskanlah, Dummukha.”

“Misalkan, Yang Mulia, tidak jauh dari sebuah desa atau pemukiman terdapat sebuah kolam dengan seekor kepiting di dalamnya. Dan kemudian sekelompok anak-anak laki-laki dan perempuan pergi dari pemukiman atau desa itu menuju kolam tersebut, masuk ke air, dan menarik kepiting itu keluar dari air dan meletakkannya di atas tanah kering. Dan ketika kepiting itu menjulurkan kakinya, mereka memotongnya, mematahkannya, dan memukulnya dengan tongkat dan batu, sehingga kepiting itu dengan semua kakinya putus, patah, dan hancur, tidak mampu kembali ke kolam seperti sebelumnya. Demikian pula, semua dalih, geliat, dan kebimbangan Saccaka putra Nigaṇṭha telah diputuskan, dipatahkan, dan dihancurkan oleh Sang Bhagavā, dan sekarang ia tidak mampu berada di dekat Sang Bhagavā lagi untuk berdebat.”

24. Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putra Nigaṇṭha berkata kepadanya: “Tunggu, Dummukha, tunggu! Kami tidak berbicara denganmu, di sini kami sedang berbicara dengan Guru Gotama.”

[Kemudian ia berkata:] “Biarlah pembicaraan kita, Guru Gotama. Seperti halnya para petapa dan brahmana biasa, hanya sekadar obrolan santai, aku pikir. Tetapi bagaimanakah seorang siswa Petapa Gotama menjadi seorang yang melaksanakan instruksi Beliau, yang menanggapi nasihat Beliau, yang telah melampaui keragu-raguan, menjadi bebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam Pengajaran Sang Guru?”

“Di sini, Aggivessana, segala jenis bentuk materi apa pun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekatseorang siswa-Ku melihat segala bentuk materi sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. [235] Segala jenis perasaan apa pun ... Segala jenis persepsi apa pun ... Segala jenis bentukan-bentukan apa pun ... Segala jenis kesadaran apa pun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekatseorang siswa-Ku melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. Dengan cara inilah seorang siswa-Ku menjadi seorang yang melaksanakan instruksi-Ku, yang menanggapi nasihat-Ku, yang telah melampaui keragu-raguan, menjadi bebas dari kebingungan, memperoleh keberanian, dan menjadi tidak bergantung pada yang lain dalam Pengajaran Sang Guru.”

25. “Guru Gotama, bagaimanakah seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan, seorang yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir?”

“Di sini, Aggivessana, segala jenis bentuk materi apa pun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekatseorang bhikkhu telah melihat segala bentuk materi sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. Dan melalui ketidakmelekatan, ia terbebaskan. Segala jenis perasaan apa pun ... Segala jenis persepsi apa pun ... Segala jenis bentukan-bentukan apa pun ... Segala jenis kesadaran apa pun, apakah di masa lampau, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekatseorang bhikkhu telah melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku’. Dan melalui ketidakmelekatan, ia terbebaskan. Dengan cara inilah seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant dengan noda-noda dihancurkan, seorang yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sejati, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir.

26. “Ketika batin seorang bhikkhu terbebaskan demikian, ia memiliki tiga kualitas yang tidak terlampaui: penglihatan yang tidak terlampaui, praktik sang jalan yang tidak terlampaui, dan kebebasan yang tidak terlampaui. [ ]Ketika seorang bhikkhu terbebaskan demikian, ia masih menghormati, menghargai, dan memuliakan Sang Tathāgata sebagai berikut: ‘Sang Bhagavā telah tercerahkan dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk mencapai pencerahan. Sang Bhagavā telah jinak dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk menjinakkan diri sendiri. Sang Bhagavā dalam kondisi damai dan Beliau mengajarkan Dhamma demi kedamaian. Sang Bhagavā telah menyeberang dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk menyeberang. Sang Bhagavā telah mencapai Nibbāna dan Beliau mengajarkan Dhamma untuk mencapai Nibbāna’.”

27. Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putra Nigaṇṭha [236] menjawab: “Guru Gotama, kami sungguh berani dan lancang berpikir bahwa kami dapat menyerang Guru Gotama dalam perdebatan. Seseorang dapat menyerang seekor gajah gila dan selamat, namun ia tidak dapat menyerang Guru Gotama dan selamat. Seseorang dapat menyerang kobaran api yang menyala-nyala dan selamat, namun ia tidak dapat menyerang Guru Gotama dan selamat. Seseorang dapat menyerang seekor ular berbisa yang mengerikan dan selamat, namun ia tidak dapat menyerang Guru Gotama dan selamat. Kami sungguh berani dan lancang berpikir bahwa kami dapat menyerang Guru Gotama dalam perdebatan.

“Sudilah Sang Bhagavā bersama dengan Sangha para bhikkhu menyetujui untuk menerima persembahan makanan dariku besok.” Sang Bhagavā menerima dengan berdiam diri.

28. Kemudian, mengetahui bahwa Sang Bhagavā telah menyetujui, Saccaka putra Nigaṇṭha berkata kepada para Licchavi: “Dengarkan aku, Para Licchavi. Petapa Gotama bersama dengan Sangha para bhikkhu telah menerima undanganku untuk makan besok. Kalian boleh membawa kepadaku apa pun yang kalian anggap layak untuk Beliau.”

29. Kemudian, ketika malam berakhir, para Licchavi membawa lima ratus hidangan upacara berupa nasi susu sebagai persembahan makanan. Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha mempersiapkan makanan-makanan baik berbagai jenis di tamannya sendiri dan pada waktunya mengumumkan kepada Sang Bhagavā: “Sudah waktunya, Guru Gotama, makanan telah siap.”

30. Kemudian, pada pagi harinya, Sang Bhagavā merapikan jubah-Nya, dan membawa mangkuk dan jubah luar-Nya, Beliau pergi bersama Sangha para bhikkhu menuju taman Saccaka putra Nigaṇṭha dan duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian, dengan tangannya sendiri, Saccaka putra Nigaṇṭha melayani dan memuaskan Sangha para bhikkhu yang dipimpin oleh Sang Bhagavā dengan berbagai jenis makanan baik. Ketika Sang Bhagavā telah selesai makan dan telah menarik tangan-Nya dari mangkuk, Saccaka putra Nigaṇṭha mengambil tempat duduk yang rendah, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Guru Gotama, semoga jasa dan buah kebajikan dari persembahan ini adalah demi kebahagiaan si pemberi.”

“Aggivessana, apa pun yang dihasilkan dari tindakan memberi kepada penerima seperti engkauseorang yang belum terbebas dari nafsu, belum terbebas dari kebencian, belum terbebas dari kebodohan[237] itu adalah untuk si pemberi. Dan apa pun yang dihasilkan dari tindakan memberi kepada penerima seperti Akuseorang yang telah terbebas dari nafsu, terbebas dari kebencian, terbebas dari kebodohanitu adalah untuk engkau.


bandingkan sesuai dengan sumber asli terjemahan ini jangan bandingkan dengan sumber lain

ga tau bs liat sumber asli terjemahan itu di mana. search di google cuma dpt ini http://awake.kiev.ua/dhamma/tipitaka/2Sutta-Pitaka/2Majjhima-Nikaya/index.html. di access to insight jg kbtln ga ada yg no. 35.

yg no. 21 nya saya ganti gini ya?

21. Kalau begitu, apakah engkau tidak => tidakkah engkau terikat pada penderitaan, mendatangi penderitaan, menggenggam penderitaan, dan menganggap penderitaan sebagai: ‘Ini milikku, ini aku, ini diriku’.?”

“Bagaimana aku tidak, Guru Gotama? Benar, Guru Gotama.”

29. mempersiapkan makanan-makanan baik berbagai jenis di tamannya sendiri => mempersiapkan berbagai jenis makanan-makanan baik di tamannya sendiri

ko hendra, yg no. 2 jd gini:
2. Bahkan jika aku berdebat dengan tiang yang mati, tiang itu akan terguncang, menggigil, dan terguncang, dan ketiaknya berkeringat gemetar jika tiang terlibat dalam perdebatan denganku, apalagi manusia
« Last Edit: 04 September 2010, 04:38:25 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #93 on: 05 September 2010, 01:56:31 AM »
36  Mahāsaccaka Sutta
Khotbah Panjang kepada Saccaka

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Besar di Aula Beratap Lancip.

2. Pada saat itu, di pagi hari, Sang Bhagavā telah merapikan jubah dan telah mengambil mangkuk dan jubah luar-Nya, hendak memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan.

3. Kemudian, ketika Saccaka putra Nigaṇṭha sedang berjalan sambil berolahraga, ia tiba di Aula Beratap Lancip di Hutan Besar. [ ]Dari jauh Yang Mulia Ānanda melihat kedatangannya dan berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Saccaka putra Nigaṇṭha, seorang pendebat dan pembicara yang cerdas yang dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci, sedang datang ke sini. Ia ingin mendiskreditkan Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Baik sekali jika Bhagavā sudi duduk sebentar demi belas kasihan.” [ ]Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagavā:

4. “Guru Gotama, terdapat beberapa petapa dan brahmana yang berdiam dengan menjalani pengembangan jasmani, tetapi bukan pengembangan batin. [ ]Mereka tersentuh oleh perasaan sakit jasmani. Di masa lalu, jika seseorang tersentuh oleh perasaan sakit jasmani, maka pahanya menjadi kaku, jantungnya pecah, darah panas menyembur dari mulutnya, dan ia akan menjadi gila, kehilangan akal sehatnya. Karenanya batin tunduk pada jasmani, jasmani menguasai batin. Mengapakah? [238] Karena batin tidak dikembangkan. Tetapi terdapat beberapa petapa dan brahmana yang berdiam dengan menjalani pengembangan batin, tetapi bukan pengembangan jasmani. Mereka tersentuh oleh perasaan sakit batin. Di masa lalu, jika seseorang tersentuh oleh perasaan sakit batin, maka pahanya menjadi kaku, jantungnya pecah, darah panas menyembur dari mulutnya, dan ia akan menjadi gila, kehilangan akal sehatnya. Karenanya jasmani tunduk pada batin, batin menguasai jasmani. Mengapakah? Karena jasmani tidak dikembangkan. Guru Gotama, aku berpikir: ‘Para siswa Guru Gotama pasti berdiam dengan menjalani pengembangan batin, tetapi bukan pengembangan jasmani’.

5. “Tetapi, Aggivessana, apakah yang telah engkau pelajari tentang pengembangan jasmani?”

“Ada, misalnya, Nanda Vaccha, Kisa Sankicca, Makkhali Gosāla. [ ]Mereka bepergian dengan telanjang, melanggar kebiasaan, menjilat tangan mereka, tidak datang ketika diminta, tidak berhenti ketika diminta; mereka tidak menerima makanan yang diserahkan atau tidak menerima makanan yang secara khusus dipersiapkan atau tidak menerima undangan makan; mereka tidak menerima dari kendi, dari mangkuk, melintasi ambang pintu, terhalang tongkat kayu, terhalang alat penumbuk, dari dua orang yang sedang makan bersama, dari perempuan hamil, dari perempuan yang sedang menyusui, dari perempuan yang sedang berbaring bersama laki-laki, dari mana terdapat pengumuman pembagian makanan, dari mana seekor anjing sedang menunggu, dari mana lalat beterbangan; mereka tidak menerima ikan atau daging, mereka tidak meminum minuman keras, anggur, atau minuman fermentasi. Mereka mendatangi satu rumah, satu suap; mereka mendatangi dua rumah, dua suap; … mereka mendatangi tujuh rumah, tujuh suap. Mereka makan satu mangkuk sehari, dua mangkuk sehari … tujuh mangkuk sehari. Mereka makan sekali dalam sehari, sekali dalam  dua hari … sekali dalam tujuh hari, dan seterusnya hingga sekali setiap dua minggu; mereka berdiam dengan menjalani praktik makan pada interval waktu yang telah ditentukan.”

6. “Tetapi apakah mereka bertahan hidup dengan sedemikian sedikit, Aggivessana?”

“Tidak, Guru Gotama, kadang-kadang mereka memakan makanan padat yang baik, memakan makanan lunak yang baik, mengecap makanan-makanan lezat, meminum minuman-minuman yang baik. Karenanya mereka memperoleh kembali kesehatan mereka, memperkuat mereka, dan menjadi gemuk.”

“Apa yang mereka tinggalkan sebelumnya, Aggivessana, belakangan mereka kumpulkan lagi. Itu adalah bagaimana terdapat peningkatan dan penurunan dalam jasmani ini. Tetapi apakah engkau sudah mempelajari tentang pengembangan batin?” [239]

Ketika Saccaka putra Nigaṇṭha ditanya oleh Sang Bhagavā tentang pengembangan batin, ia tidak mampu menjawab.

7. Kemudian Sang Bhagavā memberitahunya: “Apa yang baru saja engkau katakan sebagai pengembangan jasmani, Aggivessana, bukanlah pengembangan jasmani menurut Dhamma dalam Disiplin para mulia. Karena engkau tidak mengetahui apakah pengembangan jasmani itu, bagaimana mungkin engkau mengetahui apakah pengembangan batin itu? Meskipun demikian, sehubungan dengan bagaimana seseorang tidak yang tidak terkembang dalam jasmani dan tidak terkembang dalam batin, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia,” Saccaka putra Nigaṇṭha menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

8. “Bagaimanakah, Aggivessana, seorang yang tidak terkembang dalam jasmani dan tidak terkembang dalam batin? Di sini, Aggivessana, perasaan menyenangkan muncul dalam diri seorang biasa yang tidak terpelajar. Tersentuh oleh perasaan menyenangkan itu, ia menginginkan kesenangan itu dan terus-menerus menginginkan kesenangan itu. Perasaan menyenangkan itu lenyap. Dengan lenyapnya perasaan menyenangkan itu, perasaan menyakitkan muncul. Tersentuh oleh perasaan menyakitkan itu, ia berdukacita, bersedih, dan meratap, ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan. Ketika perasaan menyenangkan itu muncul, perasaan itu menyerbu batinnya dan menetap di sana karena jasmaninya tidak terkembang. Dan ketika perasaan menyakitkan itu muncul, perasaan itu menyerbu batinnya dan menetap di sana karena batinnya tidak terkembang. Siapa pun yang dalam dirinya, dalam kedua kasus ini, perasaan menyenangkan yang muncul menyerbu batinnya dan menetap di sana karena jasmaninya tidak terkembang, dan perasaan menyakitkan yang muncul menyerbu batinnya dan menetap di sana karena batinnya tidak terkembang, demikianlah yang disebut tidak terkembang dalam jasmani dan tidak terkembang dalam batin.

9. “Dan bagaimanakah, Aggivessana, seorang yang terkembang dalam jasmani dan terkembang dalam batin? Di sini, Aggivessana, perasaan menyenangkan muncul dalam diri seorang siswa mulia yang terpelajar. Tersentuh oleh perasaan menyenangkan itu, ia tidak menginginkan kesenangan itu atau tidak terus-menerus menginginkan kesenangan itu. Perasaan menyenangkan itu lenyap. Dengan lenyapnya perasaan menyenangkan itu, perasaan menyakitkan muncul. Tersentuh oleh perasaan menyakitkan itu, ia tidak berdukacita, tidak bersedih, dan tidak meratap, ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan. Ketika perasaan menyenangkan itu muncul, perasaan itu tidak menyerbu batinnya dan tidak menetap di sana karena jasmaninya terkembang. Dan ketika perasaan menyakitkan itu muncul, perasaan itu tidak menyerbu batinnya dan tidak menetap di sana karena batinnya [ ]terkembang. Siapa pun yang dalam dirinya, dalam kedua kasus ini, perasaan menyenangkan yang muncul [240] tidak menyerbu batinnya dan tidak menetap di sana karena jasmaninya terkembang, dan perasaan menyakitkan yang muncul tidak menyerbu batinnya dan tidak menetap di sana karena batinnya terkembang, demikianlah yang disebut terkembang dalam jasmani dan terkembang dalam batin.”

10. “Aku berkeyakinan pada Guru Gotama sebagai berikut: ‘Guru Gotama terkembang dalam jasmani dan terkembang dalam batin’.

“Aggivessana, kata-katamu menyindir dan kasar, namun Aku akan tetap menjawabnya. Sejak Aku mencukur rambut dan janggut-Ku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, tidaklah mungkin perasaan menyenangkan yang muncul dapat menyerbu batin-Ku dan menetap di sana atau perasaan menyakitkan yang muncul dapat menyerbu batin-Ku dan menetap di sana.”

11. “Tidak pernahkah muncul pada Guru Gotama suatu perasaan yang begitu menyenangkan sehingga dapat menyerbu batin Beliau dan menetap di sana? Tidak pernahkah muncul pada Guru Gotama suatu perasaan yang begitu menyakitkan sehingga dapat menyerbu batin Beliau dan menetap di sana? [“]

12. “Mengapa tidak, Aggivessana? [ ]Di sini, Aggivessana, sebelum pencerahan-Ku, ketika Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang tidak tercerahkan, Aku berpikir: ‘Kehidupan rumah tangga ramai dan berdebu; kehidupan meninggalkan keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi menjalani kehidupan rumah tangga, juga menjalankan kehidupan suci yang sempurna dan murni bagaikan kulit kerang yang digosok. Bagaimana jika Aku mencukur rambut dan janggut-Ku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah’.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #94 on: 05 September 2010, 02:37:17 AM »
13-16. “Kemudian, selagi masih mudah, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam tahap utama kehidupan ... (seperti pada Sutta 26, §§14-17) ... Dan Aku duduk di sana berpikir: ‘Ini akan membantu usaha’.

17. “Sekarang ketiga perumpamaan ini muncul pada-Ku secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya. Misalkan terdapat sebatang kayu basah terletak di dalam air, dan seseorang datang dengan sebatang kayu-api, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas’. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkan kayu api dengan kayu basah yang terletak di dalam air?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapa tidak? Karena kayu itu adalah kayu basah, [241] dan terletak di dalam air. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

“Demikian pula, Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang masih belum hidup dengan jasmani dan batin yang terasing dari kenikmatan indria, dan yang keinginan indrianya, cintanya, ketergila-gilaannya, dahaganya, dan demamnya akan kenikmatan indria belum sepenuhnya ditinggalkan dan ditekan secara internal, bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi; dan bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu tidak merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi. Ini adalah perumpamaan pertama yang muncul pada-Ku secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya.

18. “Kemudian, Aggivessana, perumpamaan ke dua muncul pada-Ku secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya. Misalkan terdapat sebatang kayu basah terletak di atas tanah kering yang jauh dari air, dan seseorang datang dengan sebatang kayu-api, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas’. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkan kayu api dengan kayu basah yang terletak di atas tanah kering yang jauh dari air?”

“Tidak, Guru Gotama. Mengapa tidak? Karena kayu itu adalah kayu basah, bahkan walaupun kayu itu terletak di atas tanah kering yang jauh dari air. Akhirnya orang itu hanya akan memperoleh kelelahan dan kekecewaan.”

“Demikian pula, Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang masih hidup dengan jasmani dan batin yang terasing dari kenikmatan indria, [ ]tetapi keinginan indrianya, cintanya, ketergila-gilaannya, dahaganya, dan demamnya akan kenikmatan indria belum sepenuhnya ditinggalkan dan ditekan secara internal, bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi; dan bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu tidak merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka tidak akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi. Ini adalah perumpamaan ke dua yang muncul pada-Ku secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya.

19. “Kemudian, Aggivessana, perumpamaan ke tiga muncul pada-Ku [242] secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya. Misalkan terdapat sebatang kayu kering terletak di atas tanah kering yang jauh dari air, dan seseorang datang dengan sebatang kayu-api, dengan berpikir: ‘Aku akan menyalakan api, aku akan menghasilkan panas’. Bagaimana menurutmu, Aggivessana? Dapatkah orang itu menyalakan api dan menghasilkan panas dengan menggosokkan kayu api dengan kayu kering yang terletak di atas tanah kering yang jauh dari air?”

“Dapat, Guru Gotama. Mengapa? Karena kayu itu adalah kayu kering, dan kayu itu terletak di atas tanah kering yang jauh dari air.”

“Demikian pula, Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang masih hidup dengan jasmani dan batin yang terasing dari kenikmatan indria, dan yang keinginan indrianya, cintanya, ketergila-gilaannya, dahaganya, dan demamnya akan kenikmatan indria telah sepenuhnya ditinggalkan dan ditekan secara internal, bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi; dan bahkan jika para petapa dan brahmana baik itu tidak merasakan perasaan-perasaan yang menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha, mereka akan mampu mencapai pengetahuan dan penglihatan dan pencerahan tertinggi. [ ]Ini adalah perumpamaan ke tiga yang muncul pada-Ku secara spontan, yang belum pernah terdengar sebelumnya. Ini adalah tiga perumpamaan yang muncul pada-Ku secara spontan yang belum pernah terdengar sebelumnya.

20.  “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika, dengan menggertakkan gigi-Ku dan menekan lidah-Ku ke langit-langit mulut-Ku, Aku menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran’. Maka dengan gigi-Ku digertakkan dan lidah-Ku menekan langit-langit mulut, Aku menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran. Sewaktu Aku melakukan demikian, keringat menetes dari ketiak-Ku. Bagaikan seorang kuat mampu mencengkeram seorang yang lebih lemah pada kepala atau bahunya dan menekannya, mendesaknya, dan menggilasnya, demikian pula, gigi-Ku terkatup dan lidah-Ku menekan langit-langit mulut, Aku menekan, mendesak, dan menggilas pikiran dengan pikiran, dan keringat menetes dari ketiak-Ku. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diri-Ku dan perhatian yang tidak mengendur telah kukuh, tubuh-Ku kelelahan [243] dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul pada-Ku tidak menyerbu batin-Ku dan tidak menetap di sana.

21. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernapas’. Maka Aku menghentikan napas masuk dan napas keluar melalui mulut dan hidung-Ku. Sewaktu Aku melakukan demikian, terdengar suara angin yang keras menerobos keluar dari cuping telinga-Ku. Bagaikan suara keras yang terdengar ketika pipa pengembus pandai besi ditiup, demikian pula, sewaktu Aku menghentikan napas masuk dan napas keluar melalui hidung dan telinga-Ku, terdengar suara angin yang keras menerobos keluar dari cuping telinga-Ku. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diri-Ku dan perhatian yang tidak mengendur telah kukuh, tubuh-Ku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul pada-Ku tidak menyerbu batin-Ku dan tidak menetap di sana.

22. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernapas lebih jauh lagi’. Maka Aku menghentikan napas masuk dan napas keluar melalui mulut, hidung, dan telinga-Ku. Ketika Aku melakukan demikian, angin kencang menembus kepala-Ku. Seolah-olah seorang kuat memecahkan kepala-Ku dengan pedang tajam, demikian pula, sewaktu Aku menghentikan napas masuk dan napas keluar melalui mulut, hidung, dan telinga-Ku. Angin kencang menembus kepala-Ku. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diri-Ku dan perhatian yang tidak mengendur telah kukuh, tubuh-Ku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul pada-Ku tidak menyerbu batin-Ku dan tidak menetap di sana.

23. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernapas lebih jauh lagi’. Maka Aku menghentikan napas masuk dan napas keluar melalui mulut, hidung, dan telinga-Ku. Ketika Aku melakukan demikian, Aku merasakan kesakitan luar biasa di kepala-Ku. Seolah-olah seorang kuat [244] mengencangkan tali kulit di kepala-Ku sebagai ikat kepala, demikian pula, ketika Aku menghentikan napas masuk dan napas keluar melalui mulut, hidung, dan telinga-Ku, Aku merasakan kesakitan luar biasa di kepala-Ku. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diri-Ku dan perhatian yang tidak mengendur telah kukuh, tubuh-Ku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul pada-Ku tidak menyerbu batin-Ku dan tidak menetap di sana.

24. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernapas lebih jauh lagi’. Maka Aku menghentikan napas masuk dan napas keluar melalui mulut, hidung, dan telinga-Ku. Ketika Aku melakukan demikian, angin kencang menerobos keluar melalui perut-Ku. Bagaikan seorang tukang daging yang terampil atau muridnya membelah perut seekor sapi dengan pisau daging yang tajam, demikian pula, sewaktu Aku menghentikan napas masuk dan napas keluar melalui mulut, hidung, dan telinga-Ku, angin kencang menerobos keluar melalui perut-Ku. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diri-Ku dan perhatian yang tidak mengendur telah kukuh, tubuh-Ku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul pada-Ku tidak menyerbu batin-Ku dan tidak menetap di sana.

25. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih meditasi tanpa bernapas lebih jauh lagi’. Maka Aku menghentikan napas masuk dan napas keluar melalui mulut, hidung, dan telinga-Ku. Ketika Aku melakukan demikian, Aku merasakan kebakaran hebat di seluruh tubuh-Ku. Bagaikan dua orang kuat mencengkeram seseorang yang lebih lemah pada kedua lengannya dan memangganggnya di atas lubang membara, demikian pula, sewaktu Aku menghentikan napas masuk dan napas keluar melalui mulut, hidung, dan telinga-Ku, Aku merasakan kebakaran hebat di seluruh tubuh-Ku. Tetapi walaupun kegigihan yang tidak kenal lelah telah dibangkitkan dalam diri-Ku dan perhatian yang tidak mengendur telah kukuh, tubuh-Ku kelelahan dan tidak tenang karena Aku terlalu letih oleh usaha yang menyakitkan. Tetapi perasaan menyakitkan demikian yang muncul pada-Ku tidak menyerbu batin-Ku dan tidak menetap di sana.


ko, ini sbg perbandingan utk yg 18 & 19
17.
“Demikian pula, Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang masih belum hidup dengan jasmani dan batin yang terasing dari kenikmatan indria, dan yang keinginan indrianya, cintanya, ketergila-gilaannya, dahaganya, dan demamnya akan kenikmatan indria belum sepenuhnya ditinggalkan dan ditekan secara internal

yg di bawah ini kata "masih" nya saya ganti gini ok ga dgn makna dr sumbernya?
18.
“Demikian pula, Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang masih hidup dengan jasmani dan batin yang terasing dari kenikmatan indria, tetapi keinginan indrianya, cintanya, ketergila-gilaannya, dahaganya, dan demamnya akan kenikmatan indria masih belum sepenuhnya ditinggalkan dan ditekan secara internal
("masih" dipindahin ke blkg)

atau alternatif ke-2, mau kayak yg SP (masih => masih hanya)
“Demikian pula, Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang masih hanya hidup dengan jasmani dan batin yang terasing dari kenikmatan indria, tetapi keinginan indrianya, cintanya, ketergila-gilaannya, dahaganya, dan demamnya akan kenikmatan indria belum sepenuhnya ditinggalkan dan ditekan secara internal


klo yg ini hrsnya dihapus, krn kata "masih" di situ terkesan ada lagi yg kurang/belum, pdhl di akhir2 uda "telah sepenuhnya ditinggalkan"
19.
“Demikian pula, Aggivessana, sehubungan dengan para petapa dan brahmana itu yang masih hidup dengan jasmani dan batin yang terasing dari kenikmatan indria, dan yang keinginan indrianya, cintanya, ketergila-gilaannya, dahaganya, dan demamnya akan kenikmatan indria telah sepenuhnya ditinggalkan dan ditekan secara internal
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #95 on: 05 September 2010, 03:58:06 AM »
26. “Ketika [245] para dewa melihat-Ku, beberapa berkata: ‘Petapa Gotama telah mati’. Beberapa dewa lain berkata: ‘Petapa Gotama tidak mati, Beliau sekarat’. Dan para dewa klainnya lagi berkata: ‘Petapa Gotama tidak mati [ ]ataupun sekarat; Beliau adalah seorang Arahant, karena demikianlah cara para Arahant berdiam’.

27. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku berlatih sepenuhnya tidak makan’. Kemudian para dewa mendatangi-Ku dan berkata: ‘Tuan, jangan berlatih sepenuhnya tidak makan. Jika Engkau melakukan hal itu, kami akan memasukkan makanan surgawi ke dalam pori-pori kulit-Mu dan Engkau akan hidup dengan itu’. Aku mempertimbangkan: ‘Jika Aku mengaku sepenuhnya tidak makan sementara para dewa ini memasukkan makanan-makanan surgawi ke dalam pori-pori kulit-Ku dan Aku akan hidup dengan itu, maka artinya Aku berbohong’. Maka aku mengusir para dewa itu, dan berkata: ‘Tidak perlu’.

28. “Aku berpikir: ‘Bagaimana jika Aku memakan sangat sedikit makanan, segenggam setiap kalinya, apakah sup buncis atau sup kacang tanah atau sup kacang hijau atau sup kacang polong’. Maka Aku memakan sangat sedikit makanan segenggam setiap kalinya, apakah sup buncis atau sup kacang tanah atau sup kacang hijau atau sup kacang polong. Sewaktu Aku melakukan demikian, tubuh-Ku menjadi sangat kurus. Karena makan begitu sedikit, anggota-anggota tubuh-Ku menjadi seperti tanaman merambat atau batang bambu. Karena makan begitu sedikit, punggung-Ku menjadi seperti kuku unta. Karena makan begitu sedikit, tonjolan tulang punggung-Ku menonjol bagaikan untaian tasbih. Karena makan begitu sedikit, tulang rusuk-Ku menonjol karena kurus seperti kasau dari sebuah lumbung tanpa atap. Karena makan begitu sedikit, bola mata-Ku masuk jauh ke dalam lubang mata, terlihat seperti kilauan air yang jauh di dalam sumur yang dalam. Karena makan begitu sedikit, kulit kepala-Ku mengerut dan layu bagaikan [246] buah labu pahit yang mengerut dan layu oleh angin dan matahari. Karena makan begitu sedikit, kulit perut-Ku menempel pada tulang punggung-Ku; sedemikian sehingga jika Aku menyentuh kulit perut-Ku maka akan tersentuh tulang punggung-Ku, dan jika Aku menyentuh tulang punggung-Ku maka akan tersentuh kulit perut-Ku. Karena makan begitu sedikit, jika Aku mencoba menyamankan diri-Ku dengan memijat badan-Ku dengan tangan-Ku, maka bulunya, tercabut pada akarnya, berguguran dari badan-Ku ketika Aku menggosoknya.

29. “Saat itu ketika orang-orang melihat-Ku, beberapa berkata: ‘Petapa Gotama hitam’. Orang lain berkata: ‘Petapa Gotama tidak hitam, Beliau cokelat’. Orang lain lagi berkata: ‘Petapa Gotama bukan hitam juga bukan cokelat, Ia berkulit keemasan’. Kulit-Ku yang bersih dan cerah menjadi sangat kusam karena makan sangat sedikit.

30. “Aku berpikir: ‘Para petapa atau brahmana mana pun di masa lampau telah mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha ini, ini adalah yang terjauh, tidak ada yang melampaui ini. Dan para petapa atau brahmana mana pun di masa depan akan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha ini, ini adalah yang terjauh, tidak ada yang melampaui ini. Dan para petapa atau brahmana mana pun di masa sekarang mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha ini, ini adalah yang terjauh, tidak ada yang melampaui ini. Tetapi melalui latihan keras yang menyiksa ini, Aku tidak mencapai kondisi melampaui manusia apa pun, keluhuran apa pun dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Apakah ada jalan lain menuju pencerahan?[”]

31. “Aku mempertimbangkan: ‘Aku ingat ketika ayah-Ku orang Sakya yang berkuasa, sewaktu Aku sedang duduk di keteduhan pohon jambu, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.  Mungkinkah itu adalah jalan menuju pencerahan’? Kemudian, dengan mengikuti ingatan itu, muncullah pengetahuan: ‘Itu adalah jalan menuju pencerahan’.

32. “Aku berpikir: ‘Mengapa [247] Aku takut pada kenikmatan itu yang tidak berhubungan dengan kenikmatan indria dan kondisi-kondisi tidak bermanfaat’? Aku berpikir: ‘Aku tidak takut pada kenikmatan itu karena tidak berhubungan dengan kenikmatan indria dan kondisi-kondisi tidak bermanfaat’.

33. “Aku mempertimbangkan: ‘Tidaklah mudah untuk mencapai kenikmatan demikian dengan badan yang sangat kurus. Bagaimana jika Aku memakan sedikit makanan padatsedikit nasi dan roti’. Dan Aku memakan sedikit makanan padatsedikit nasi dan roti. Pada saat itu, lima bhikkhu melayani-Ku, dengan berpikir: ‘Jika Petapa Gotama kita mencapai kondisi yang lebih tinggi, Beliau akan memberi tahu kita’. Tetapi ketika Aku memakan nasi dan roti, kelima bhikkhu itu menjadi jijik dan meninggalkan Aku, dengan berpikir: ‘Petapa Gotama sekarang hidup dalam kemewahan; Ia telah meninggalkan usaha-Nya dan kembali ke kemewahan’.

34. “Ketika Aku telah memakan sedikit makanan padat dan memperoleh kembali kekuatan-Ku, maka dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul pada-Ku itu tidak menyerbu batin-Ku dan tidak menetap di sana.

35-37. “Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... Dengan lenyapnya kegembiraan ... Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... Dengan [ ]meninggalkan kesenangan dan kesakitan ... Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat ... Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul pada-Ku itu tidak menyerbu batin-Ku dan tidak menetap di sana.

38. “Ketika konsentrasi pikiran-Ku sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, [248] Aku mengarahkannya pada pengetahuan perenungan kehidupan lampau. Aku mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 4, §27) … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya, Aku mengingat banyak kehidupan lampau.

39. “Ini adalah pengetahuan sejati pertama yang dicapai oleh-Ku pada jaga pertama malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin, dan teguh. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul pada-Ku itu tidak menyerbu batin-Ku dan tidak menetap di sana.

40. “Ketika konsentrasi pikiran-Ku sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk  … (seperti Sutta 4, §29) … Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka.

41. “Ini adalah pengetahuan sejati ke dua yang dicapai oleh-Ku pada jaga ke dua malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, [249] kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin, dan teguh. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul pada-Ku itu tidak menyerbu batin-Ku dan tidak menetap di sana.

42. “Ketika konsentrasi pikiran-Ku sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kukuh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’. Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda’.

43. “Ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, batin-Ku terbebas dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan’. Aku secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun’.

44. “Ini adalah pengetahuan sejati ke tiga yang dicapai oleh-Ku pada jaga ke tiga malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin, dan teguh. Tetapi perasaan menyenangkan yang muncul pada-Ku itu tidak menyerbu batin-Ku dan tidak menetap di sana.

45. “Aggivessana, Aku ingat pernah mengajarkan Dhamma kepada ratusan kelompok. Mungkin tiap-tiap orang berpikir: ‘Petapa Gotama sedang mengajarkan Dhamma secara khusus untukku’. Tetapi jangan dianggap demikian; Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma kepada orang lain hanya untuk memberikan penghetahuan kepada mereka. [ ]Ketika pembabaran itu selesai, Aggivessana, kemudian Aku mengukuhkan pikiran-Ku secara internal, menenangkannya, memusatkannya, dan mengonsentrasikannya pada gambaran yang sama dengan gambaran konsentrasi sebelumnya, yang mana Aku berdiam di dalamnya secara terus-menerus.”

“Ini adalah suatu hal yang mana Guru Gotama dapat dipercaya, karena Beliau adalah Yang Sempurna dan Tercerahkan Sempurna. Tetapi apakah Guru Gotama ingat pernah tertidur di siang hari?”

46. “Aku ingat, Aggivessana, di bulan terakhir musim panas, ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan, Aku menggelar jubah luar-Ku yang dilipat empat, dan berbaring pada sisi kanan-Ku, Aku jatuh tertidur dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan.”

“Beberapa petapa dan brahmana menyebutnya kediaman dalam kebodohan, Guru Gotama.” [250]

“Bukanlah demikian seseorang itu bodoh atau tidak bodoh, Aggivessana. Sehubungan dengan bagaimana seseorang itu bodoh atau tidak bodoh, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Aku katakan.”“Baik, Yang Mulia.” Saccaka putra Nigaṇṭha menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

47. “Ia Kusebut bodoh, Aggivessana, yang belum meninggalkan noda-nodayang mengotori, membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam kesengsaraan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; karena adalah dengan tidak-meninggalkan noda-noda, maka seseorang menjadi bodoh. Ia Kusebut tidak bodoh, yang telah meninggalkan noda-nodayang mengotori, membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam kesengsaraan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; karena adalah dengan meninggalkan noda-noda, maka seseorang menjadi tidak bodoh. Sang Tathāgata, Aggivessana, telah meninggalkan noda-nodayang mengotori, membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam kesengsaraan, dan mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan; Beliau telah memotongnya pada akarnya, membuatnya seperti tunggul pohon palem, telah menyingkirkannya sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan. Seperti halnya sebatang pohon palem yang pucuknya dipotong tidak akan mampu tumbuh lagi, demikian pula, Sang Tathāgata telah meninggalkan noda-nodayang mengotori ... menyingkirkannya sehingga tidak akan muncul kembali di masa depan.”

[ ]48. Ketika hal ini dikatakan, Saccaka putra Nigaṇṭha berkata: “Sungguh menakjubkan, Guru Gotama, sungguh mengagumkan bagaimana ketika Guru Gotama menerima kata-kata sindiran lagi dan lagi, diserang oleh ucapan yang tidak sopan, warna kulit-Nya menjadi cerah dan warna wajah-Nya jernih, seperti yang seharusnya diharapkan dari seorang yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Aku ingat, Guru Gotama, ketika terlibat perdebatan dengan Pūraṇa Kassapa, dan kemudian ia berbicara berbelit-belit, mengalihkan permbicaraan, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Tetapi ketika Guru Gotama menerima kata-kata sindiran lagi dan lagi, diserang oleh ucapan yang tidak sopan, warna kulit-Nya menjadi cerah dan warna wajah-Nya jernih, seperti yang seharusnya diharapkan dari seorang yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Aku ingat, Guru Gotama, ketika terlibat perdebatan dengan Makkhali Gosāla ... Ajita Kesakambalin ... Pakudha Kaccāyana ... Sañjaya Belaṭṭhiputta ... Nigaṇṭha Nātaputta, [251] dan kemudian ia berbicara berbelit-belit, mengalihkan permbicaraan, dan menunjukkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Tetapi ketika Guru Gotama menerima kata-kata sindiran lagi dan lagi, diserang oleh ucapan yang tidak sopan, warna kulit-Nya menjadi cerah dan warna wajah-Nya jernih, seperti yang seharusnya diharapkan dari seorang yang sempurna dan tercerahkan sempurna. Dan sekarang, Guru Gotama, kami pergi. Kami sibuk dan banyak hal yang harus kami lakukan.”

“Sekarang adalah waktunya, Aggivessana, untuk melakukan apa yang engkau anggap baik.”

Kemudian Saccaka putra Nigaṇṭha, dengan merasa senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, bangkit dari duduknya dan pergi.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #96 on: 05 September 2010, 01:30:46 PM »
37  Cūḷataṇhāsankhaya Sutta
Khotbah Pendek tentang
Hancurnya Keinginan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Taman Timur, di Istana Ibu Migāra.

2. Kemudian Sakka, penguasa para dewa, mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah memberi hormat kepada Beliau, ia berdiri di satu sisi dan bertanya: “Yang Mulia, bagaimanakah secara ringkas seorang bhikkhu terbebaskan dengan hancurnya keinginan, seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, keamanan tertinggi dari belenggu, kehidupan suci tertinggi, tujuan tertinggi, seorang yang terkemuka di antara para dewa dan manusia?”

3. “Di sini, Penguasa para dewa, seorang bhikkhu telah mendengar bahwa tidak ada yang layak dilekati. Ketika seorang bhikkhu telah mendengar bahwa tidak ada yang layak dilekati, ia secara langsung sepenuhnya mengetahui segala sesuatu; setelah sepenuhnya mengetahui segala sesuatu, ia sepenuhnya memahami segala sesuatu; setelah sepenuhnya memahami segala sesuatu, apa pun perasaan yang ia rasakan, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia berdiam dengan merenungkan ketidakkekalan dalam perasaan-perasaan itu, merenungkan peluruhannya, merenungkan lenyapnya, merenungkan pelepasannya. Dengan merenungkan demikian, ia tidak melekat pada apa pun di dunia. Ketika ia tidak melekat, ia tidak terganggu. Ketika ia tidak terganggu, ia secara pribadi mencapai Nibbāna.  [252] Ia memahami: ‘‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun’. Secara ringkas, dengan cara inilah, Penguasa para dewa, bahwa seorang bhikkhu terbebaskan dengan hancurnya keinginan, seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, keamanan tertinggi dari belenggu, kehidupan suci tertinggi, tujuan tertinggi, seorang yang terkemuka di antara para dewa dan manusia.

4. Kemudian Sakka, penguasa para dewa, senang dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Sang Bhagavā, dan dengan Beliau di sisi kanannya, ia lenyap seketika.

5. Pada saat itu, Yang Mulia Mahā Moggallāna sedang duduk tidak jauh dari Sang Bhagavā. Kemudian ia mempertimbangkan: “Apakah makhluk itu menembus makna dari kata-kata Sang Bhagavā ketika ia bergembira, ataukah tidak? Bagaimana jika aku mencari tahu apakah ia memahami atau tidak.”

6. Kemudian, bagaikan seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, Yang Mulia Mahā Moggallāna lenyap dari Istana Ibu Migāra di Taman Timur dan muncul di antara para dewa Tiga Puluh Tiga.

7. Pada saat itu, Sakka, penguasa para dewa, memiliki seratus yang terdiri dari lima jenis musik surgawi, dan ia sedang menikmatinya di Taman Rekreasi Teratai Tunggal. Ketika dari jauh ia melihat kedatangan Yang Mulia Mahā Moggallāna, ia membubarkan musiknya, mendatangi Yang Mulia Mahā Moggallāna, dan berkata kepadanya: “Marilah, Tuan Moggallāna, karena engkau menemukan kesempatan untuk datang ke sini. Silakan duduk, Tuan Moggallāna; tempat duduk telah disiapkan.”

Yang Mulia Mahā Moggallāna duduk di tempat yang telah disediakan, dan Sakka mengambil tempat duduk yang rendah dan duduk di satu sisi. Yang Mulia Mahā Moggallāna kemudian bertanya kepadanya:

8. “Kosiya, [ ]bagaimanakah Sang Bhagavā menjelaskan kepadamu secara ringkas mengenai kebebasan melalui hancurnya keinginan? Baik sekali jika kami juga mendengarkan pernyataan itu.”

“Tuan Moggallāna yang baik, kami sangat sibuk, kami harus melakukan banyak urusan, tidak hanya dengan urusan kami, tetapi juga dengan urusan para dewa Tiga Puluh Tiga. Selain itu, Tuan Moggallāna, apa yang telah didengar, diketahui, [253] diperhatikan, diingat, tidak lenyap seketika. Tuan Moggallāna, pernah terjadi perang antara para dewa dan para raksasa. [ ]Dalam peperangan itu, para dewa menang dan para raksasa kalah. Ketika aku telah memenangkan perang itu dan kembali dari sana sebagai penakluk, aku membangun Istana Vejayanta. Tuan Moggallāna yang baik, Istana Vejayanta memiliki seratus menara, dan tiap-tiap menara memiliki tujuh ratus kamar, dan masing-masing kamar dihuni oleh tujuh bidadari, dan tiap-tiap bidadari memiliki tujuh pelayan. Sudikah engkau melihat Istana Vejayanta yang indah ini, Tuan Moggallāna yang baik?” Yang Mulia Mahā Moggallāna menyetujui dengan berdiam diri.

9. Kemudian Sakka, penguasa para dewa, dan Raja Dewa Vessavaṇa [ ]berjalan menuju Istana Vejayanta, mempersilakan Yang Mulia Mahā Moggallāna berjalan di depan. Ketika dari jauh para pelayan Sakka melihat kedatangan Yang Mulia Mahā Moggallāna, mereka menjadi malu dan masuk ke kamarnya masing-masing. Seperti halnya seorang menantu perempuan yang malu ketika melihat ayah mertuanya, demikian pula, para pelayan Sakka ketika melihat kedatangan Yang Mulia Mahā Moggallāna, mereka menjadi malu dan masuk ke kamarnya masing-masing.

10. Kemudian Sakka, penguasa para dewa, dan Raja Dewa Vessavaṇa mempersilakan Yang Mulia Mahā Moggallāna berjalan dan menjelajahi Istana Vejayanta: “Lihatlah, Tuan Moggallāna yang baik, Istana Vejayanta yang indah ini! Lihatlah, Tuan Moggallāna yang baik, Istana Vejayanta yang indah ini![!]

“Itu adalah pujian kepada Yang Mulia Kosiya sebagai seseorang yang sebelumnya telah melakukan jasa; dan ketika manusia melihat apa pun yang indah, mereka mengatakan: Tuan, itu adalah pujian kepada para dewa Tiga Puluh Tiga’! Itu adalah pujian kepada Yang Mulia Kosiya sebagai seseorang yang sebelumnya telah melakukan jasa.”

11. Kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna mempertimbangkan sebagai berikut: “Makhluk-makhluk ini hidup dengan sangat lalai. Bagaimana jika aku membangkitkan dorongan spiritual dalam dirinya?” Kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna melakukan keajaiban dengan kekuatan batinnya sehingga dengan ujung jari kakinya, ia membuat Istana Vejayanta bergoyang, berguncang, dan bergetar. [ ][254] Sakka dan Raja Dewa Vessavaṇa dan para dewa Tiga Puluh Tiga merasa kagum dan takjub, dan mereka berkata: “Tuan, sungguh mengagumkan, sungguh menakjubkan, kekuatan apakah yang dimiliki oleh petapa itu, sehingga dengan ujung jari kakinya ia membuat Istana alam surga ini, berguncang dan bergetar!”

12. Ketika Yang Mulia Mahā Moggallāna mengetahui bahwa Sakka, penguasa para dewa, telah tergerak oleh dorongan spiritual dengan bulu badannya berdiri, ia bertanya kepadanya: “Kosiya, bagaimanakah Sang Bhagavā menjelaskan kepadamu secara ringkas mengenai kebebasan melalui hancurnya keinginan? Baik sekali jika kami juga mendengarkan pernyataan itu.”

“Tuan Moggallāna yang baik, aku mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah memberi hormat kepada Beliau, aku berdiri di satu sisi dan berkata: ‘Yang Mulia, … [seperti pada §2] … para dewa dan manusia’? Ketika hal ini dikatakan, Tuan Moggallāna yang baik, Sang Bhagavā memberitahuku: ‘Di sini, Penguasa para dewa … [seperti pada §3] … para dewa dan manusia’. Demikianlah bagaimana Sang Bhagavā menjelaskan kepadaku secara ringkas mengenai kebebasan melalui hancurnya keinginan, Tuan Moggallāna.”

13. Kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna senang dan gembira mendengar kata-kata Sakka, penguasa para dewa. [255] Kemudian, bagaikan seorang kuat merentangkan lengannya yang tertekuk atau menekuk lengannya yang terentang, ia lenyap dari antara para dewa Tiga Puluh Tiga dan muncul di Taman Timur di Istana Ibu Migāra.

14. Kemudian, segera setelah Yang Mulia Mahā Moggallāna pergi, para pelayan Sakka, penguasa para dewa, bertanya kepadanya: “Tuan, apakah itu gurumu, Sang Bhagavā?”“Bukan, Teman-teman, itu bukan guruku, Sang Bhagavā. Dia adalah temanku dalam kehidupan suci, Yang Mulia Mahā Moggallāna.”“Tuan, suatu keuntungan bagimu bahwa temanmu dalam kehidupan suci memiliki kekuatan dan kesaktian seperti itu. O, betapa lebih saktinya Sang Bhagavā, gurumu!”

15. Kemudian Yang Mulia Mahā Moggallāna menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi dan bertanya kepada Beliau: “Yang Mulia, apakah Bhagavā ingat pernah menjelaskan secara ringkaskepada makhluk dewa terkenal yang memiliki banyak pengikutmengenai pembebasan melalui hancurnya keinginan?”

“Aku ingat, Moggallāna, di sini Sakka, penguasa para dewa mendatangi-Ku, dan setelah memberi hormat kepada-Ku, ia berdiri di satu sisi dan bertanya: ‘Yang Mulia, bagaimanakah secara ringkas seorang bhikkhu terbebaskan dengan hancurnya keinginan, seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, keamanan tertinggi dari belenggu, kehidupan suci tertinggi, tujuan tertinggi, seorang yang terkemuka di antara para dewa dan manusia’? Ketika hal ini dikatakan, Aku memberitahunya: ‘Di sini, Penguasa para dewa, seorang bhikkhu telah mendengar bahwa tidak ada yang layak dilekati. Ketika seorang bhikkhu telah mendengar bahwa tidak ada yang layak dilekati, ia secara langsung sepenuhnya mengetahui segala sesuatu; setelah sepenuhnya mengetahui segala sesuatu, ia sepenuhnya memahami segala sesuatu; setelah sepenuhnya memahami segala sesuatu, apa pun perasaan yang ia rasakan, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia berdiam dengan merenungkan ketidakkekalan dalam perasaan-perasaan itu, merenungkan peluruhannya, merenungkan lenyapnya, merenungkan pelepasannya. Dengan merenungkan demikian, ia tidak melekat pada apa pun di dunia. Ketika ia tidak melekat, ia tidak terganggu. Ketika ia tidak terganggu, ia secara pribadi mencapai Nibbāna. Ia memahami: ‘‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, [256] apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun. Secara ringkas, dengan cara inilah, Penguasa para dewa, bahwa seorang bhikkhu terbebaskan dengan hancurnya keinginan, seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, keamanan tertinggi dari belenggu, kehidupan suci tertinggi, tujuan tertinggi, seorang yang terkemuka di antara para dewa dan manusia’. Demikianlah Aku ingat pernah menjelaskan secara ringkas kepada Sakka, penguasa para dewa, mengenai pembebasan melalui hancurnya keinginan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Mahā Moggallāna merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


ko indra, yg no. 7 itu memiliki seratus apa ya yg terdiri dari lima jenis musik surgawi?  ???

10. Kemudian Sakka, penguasa para dewa, dan Raja Dewa Vessavaṇa mempersilakan  Yang Mulia Mahā Moggallāna berjalan dan menjelajahi Istana Vejayanta: “Lihatlah, Tuan Moggallāna yang baik, Istana Vejayanta yang indah ini! Lihatlah, Tuan Moggallāna yang baik, Istana Vejayanta yang indah ini!   (yg ini di sumbernya memang ada tanda petik penutup ya?)

(klo itu ditutup, berarti ini bukan Sakka lagi ya yg bicara, Raja Dewa Vessavaṇa kali ya?  :-?)
“Itu adalah pujian kepada Yang Mulia Kosiya sebagai seseorang yang sebelumnya telah melakukan jasa; dan ketika manusia melihat apa pun yang indah, mereka mengatakan: ‘Tuan, itu adalah pujian kepada para dewa Tiga Puluh Tiga’! Itu adalah pujian kepada Yang Mulia Kosiya sebagai seseorang yang sebelumnya telah melakukan jasa.”
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #97 on: 05 September 2010, 03:28:24 PM »
38  Mahātaṇhāsankhaya Sutta
Khotbah Panjang tentang
Hancurnya Keinginan

(SITUASI)

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di [ ]Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Pada saat itu, suatu pandangan sesat telah muncul pada seorang bhikkhu bernama Sāti, putra seorang nelayan, sebagai berikut: “Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain.”

3. Beberapa bhikkhu, setelah mendengar hal ini, mendatangi Bhikkhu Sāti dan bertanya kepadanya: “Teman Sāti, benarkah bahwa suatu pandangan sesat telah muncul padamu?”

“Demikianlah, Teman-teman. Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain.”

Kemudian para bhikkhu itu, berniat untuk melepaskannya dari pandangan sesat itu, menekan dan mempertanyakan dan mendebatnya sebagai berikut: “Teman Sati, jangan berkata seperti itu. Jangan salah memahami Sang Bhagavā. Tidaklah baik salah memahami Sang Bhagavā. Sang Bhagavā tidak mengatakan demikian. Karena dalam banyak khotbah, Sang Bhagavā telah menjelaskan bahwa kesadaran adalah muncul bergantungan, [257] jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran.”

Namun walaupun ditekan dan dipertanyakan dan didebat oleh para bhikkhu ini, Bhikkhu Sāti, putra seorang nelayan, masih dengan keras kepala melekat pada pandangan sesat itu dan terus mempertahankannya.

4. Karena para bhikkhu tidak mampu melepaskannya dari pandangan sesat itu, mereka menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud, mereka duduk di satu sisi dan memberitahukan semua yang telah terjadi, dan menambahkan: “Yang Mulia, karena kami tidak mampu melepaskan Bhikkhu Sāti, putra seorang nelayan, dari pandangan sesatnya, maka kami melaporkan persoalan ini kepada Sang Bhagavā.”

5. Kemudian Sang Bhagavā memanggil seorang bhikkhu: “Pergilah, [258] Bhikkhu, beri tahu Bhikkhu Sāti, putra seorang nelayan atas nama-Ku bahwa Sang Guru memanggilnya.”“Baik, Yang Mulia,” ia menjawab, dan ia mendatangi Bhikkhu Sāti dan memberitahunya: Sang Guru memanggilmu, Teman Sāti.”

“Baik, Teman,” ia menjawab, dan ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Sang Bhagavā kemudian bertanya kepadanya: “Sāti, benarkah bahwa suatu pandangan sesat telah muncul padamu: ‘Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain’.

“Demikianlah, Yang Mulia. Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain.”

“Apakah kesadaran itu, Sāti?”

“Yang Mulia, itu adalah apa yang berbicara dan merasakan dan mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk.”

“Orang sesat, dari siapakah engkau pernah mengetahui bahwa Aku mengajarkan Dhamma seperti itu? Orang sesat, dalam banyak khotbah, bukankah Aku menjelaskan bahwa kesadaran adalah muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran? Tetapi engkau, Orang sesat, telah salah memahami kami dengan pandangan salahmu dan melukai dirimu sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaanmu untuk waktu yang lama.”

6. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Apakah Bhikkhu Sāti, putra seorang nelayan, telah menyalakan bahkan sepercikan kebijaksanaan dalam Dhamma dan Disiplin ini?”

“Bagaimana mungkin, Yang Mulia? Tidak, Yang Mulia.”

Ketika hal ini dikatakan, Bhikkhu Sāti, putra seorang nelayan, duduk diam, cemas, dengan bahu terkulai dan kepala menunduk, muram dan tidak bereaksi. Kemudian, mengetahui hal ini, Sang Bhagavā memberitahunya: “Orang sesat, engkau akan dikenal dengan pandangan salahmu sendiri. Aku akan menanyai para bhikkhu sehubungan dengan hal ini.”

7. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu, apakah kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti yang dipahami oleh Bhikkhu Sāti ini, [259] putra seorang nelayan, ketika ia salah memahami kita dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan?”

“Tidak, Yang Mulia. Karena dalam banyak khotbah, Sang Bhagavā telah menyebutkan bahwa kesadaran muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran.”

“Bagus, Para bhikkhu, bagus sekali bahwa kalian memahami Dhamma yang Kuajarkan seperti demikian. Karena dalam banyak khotbah, Aku telah menyebutkan bahwa kesadaran muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran. Tetapi Bhikkhu Sāti ini, putra seorang nelayan, salah memahami kita dengan dengan pandangan salahnya dan melukai dirinya sendiri dan menimbun banyak keburukan; hal ini akan menuntun menuju bencana dan penderitaan orang sesat ini untuk waktu yang lama.

(KONDISIONALITAS KESADARAN)

8. “Para bhikkhu, kesadaran dikenali dengan kondisi tertentu yang dengan bergantung padanya maka kesadaran muncul. Ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, maka dikenal sebagai kesadaran-mata; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada telinga dan suara-suara, maka dikenal sebagai kesadaran-telinga; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada hidung dan bau-bauan, [260] maka dikenal sebagai kesadaran-hidung; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada lidah dan rasa kecapan, maka dikenal sebagai kesadaran-lidah; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada badan dan objek-sentuhan, maka dikenal sebagai kesadaran-badan; ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, maka dikenal sebagai kesadaran-pikiran. Seperti halnya api yang dikenali dengan kondisi tertentu yang dengan bergantung padanya maka api itu membakarketika api membakar dengan bergantung pada kayu gelondongan, maka dikenal sebagai api kayu gelondongan; ketika api membakar dengan bergantung pada kayu bakar, maka dikenal sebagai api kayu bakar; ketika api membakar dengan bergantung pada rumput, maka dikenal sebagai api rumput; ketika api membakar dengan bergantung pada kotoran sapi, maka dikenal sebagai api kotoran sapi; ketika api membakar dengan bergantung pada sekam, maka dikenal sebagai api sekam; ketika api membakar dengan bergantung pada sampah, maka dikenal sebagai api sampahdemikian pula, kesadaran dikenali dengan kondisi tertentu yang dengan bergantung padanya maka kesadaran muncul. [ ]Ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, maka dikenal sebagai kesadaran-mata … Ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada pikiran dan objek-objek pikiran, maka dikenal sebagai kesadaran-pikiran.

(PERTANYAAN UMUM TENTANG PENJELMAAN)

9. “Para bhikkhu, apakah kalian melihat: ‘Ini telah muncul’?”“Ya, Yang Mulia.”“Para bhikkhu, apakah kalian melihat: ‘Asal mulanya muncul dengan itu, sebagai makanan’?”“Ya, Yang Mulia.”“Para bhikkhu, apakah kalian melihat: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apa yang telah muncul itu juga akan lenyap’?”“Ya, Yang Mulia.”

10. “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan muncul jika seseorang tidak meyakini: ‘Apakah ini telah muncul atau tidak’?”“Ya, Yang Mulia.”“Para bhikkhu, apakah keragu-raguan muncul jika seseorang tidak meyakini: ‘Apakah asal mulanya muncul dengan itu, sebagai makanan atau tidak’?”“Ya, Yang Mulia.”“Para bhikkhu, apakah keragu-raguan muncul jika seseorang tidak meyakini: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apa yang telah muncul itu juga akan lenyap atau tidak’?”“Ya, Yang Mulia.”

11. “Para bhikkhu, apakah keragu-raguan ditinggalkan pada seseorang yang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Ini telah muncul’?”“Ya, Yang Mulia.”“Para bhikkhu, apakah keragu-raguan ditinggalkan pada seseorang yang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Asal mulanya muncul dengan itu, sebagai makanan’?”“Ya, Yang Mulia.”“Para bhikkhu, apakah keragu-raguan ditinggalkan pada seseorang yang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apa yang telah muncul itu juga akan lenyap’?”“Ya, Yang Mulia.”

12. “Para bhikkhu, apakah kalian bebas dari keragu-raguan di sini: ‘Ini telah muncul’?”“Ya, Yang Mulia.”“Para bhikkhu, apakah kalian bebas dari keragu-raguan di sini: ‘Asal mulanya muncul dengan itu, sebagai makanan’?”“Ya, Yang Mulia.”“Para bhikkhu, apakah kalian bebas dari keragu-raguan di sini: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apa yang telah muncul itu juga akan lenyap’?”“Ya, Yang Mulia.”

13. “Para bhikkhu, apakah telah terlihat jelas sebagaimana adanya oleh kalian dengan kebijaksanaan benar bahwa: ‘Ini telah muncul’?”“Ya, Yang Mulia.”“Para bhikkhu, apakah telah terlihat jelas sebagaimana adanya oleh kalian dengan kebijaksanaan benar bahwa: ‘Asal mulanya muncul dengan itu, sebagai makanan’?”“Ya, Yang Mulia.”“Para bhikkhu, apakah telah terlihat jelas sebagaimana adanya oleh kalian dengan kebijaksanaan benar bahwa: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, maka apa yang telah muncul itu juga akan lenyap’?”“Ya, Yang Mulia.”

14. “Para bhikkhu, sungguh murni dan cerah pandangan ini, jika kalian melekat padanya, memujanya, sangat menghargainya, dan memperlakukannya sebagai harta, maka apakah kalian memahami Dhamma yang telah Kuajarkan dalam perumpamaan rakit, sebagai bertujuan untuk menyeberang, bukan bertujuan untuk digenggam?”“Tidak, Yang Mulia.”“Para bhikkhu, sungguh murni dan cerah pandangan ini, [261] jika kalian tidak melekat padanya, tidak memujanya, tidak sangat menghargainya, dan tidak memperlakukannya sebagai harta, maka apakah kalian memahami Dhamma yang telah Kuajarkan dalam perumpamaan rakit, sebagai bertujuan untuk menyeberang, bukan bertujuan untuk digenggam?”“Ya, Yang Mulia.”


ko hendra, yg no. 9 - 13,
Asal mulanya muncul dengan itu[,] sebagai makanan
jgn lupa dijeda dgn tnd koma spy bacanya ga bingung

yg no. 3 reply sblmny ada yg terlewat di tanda petik pembuka, hrsny petik tunggal

Dengan merenungkan demikian, ia tidak melekat pada apa pun di dunia. Ketika ia tidak melekat, ia tidak terganggu. Ketika ia tidak terganggu, ia secara pribadi mencapai Nibbāna. [ ][252] Ia memahami: Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun’.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #98 on: 05 September 2010, 03:32:43 PM »
(MAKANAN DAN SEBAB AKIBAT YABNG SALING BERGANTUNGAN)

15. “Para bhikkhu, terdapat empat jenis makanan ini untuk memelihara makhluk-makhluk yang telah muncul dan untuk menyokong mereka yang sedang mencari kehidupan baru. Apakah empat ini? Yaitu: makanan fisik sebagai makanan, kasar atau halus; kontak sebagai yang ke dua; kehendak pikiran sebagai yang ke tiga; dan kesadaran sebagai yang ke empat.

16. “Sekarang, Para bhikkhu, keempat jenis makanan ini memiliki apakah sebagai sumbernya, apakah sebagai asal-mulanya, dari apakah munculnya dan dihasilkan? Keempat jenis makanan ini memiliki keinginan sebagai sumbernya, keinginan sebagai asal-mulanya, muncul dan dihasilkan dari keinginan. Dan keinginan ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Keinginan memiliki perasaan sebagai sumbernya … Dan perasaan ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Perasaan memiliki kontak sebagai sumbernya … Dan kontak ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Kontak [ ]memiliki enam landasan sebagai sumbernya … Dan enam landasan ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Enam landasan memiliki batin-jasmani sebagai sumbernya … Dan batin-jasmani memiliki apakah sebagai sumbernya …? Batin-jasmani memiliki kesadaran sebagai sumbernya … Dan kesadaran ini memiliki apakah sebagai sumbernya …? Kesadaran memiliki bentukan-bentukan sebagai sumbernya … Dan bentukan-bentukan ini memiliki apakah sebagai sumbernya, apakah sebagai asal-mulanya, dari apakah munculnya dan dihasilkan? Bentukan-bentukan memiliki kebodohan sebagai sumbernya, kebodohan sebagai asal-mulanya; muncul dan dihasilkan dari kebodohan.

(PENJELASAN TENTANG KEMUNCULAN DALAM URUTAN MAJU)

17. “Maka, Para bhikkhu, dengan kebodohan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan [muncul]; dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani; dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan; dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka keinginan; dengan keinginan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan, kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

(PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG MUNCULNYA DALAM URUTAN MUNDUR)

18. “Dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian’: demikianlah dikatakan. Sekarang, Para bhikkhu, apakah penuaan dan kematian memiliki kelahiran sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Penuaan dan kematian memiliki kelahiran sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian’.

Dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran’: demikianlah dikatakan. Sekarang, Para bhikkhu, apakah kelahiran memiliki penjelmaan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Kelahiran memiliki penjelmaan sebagai kondisi, [262] Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran’.

Dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, Para bhikkhu, apakah penjelmaan memiliki kemelekatan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Penjelmaan memiliki kemelekatan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan’.

Dengan keinginan sebagai kondisi, maka kemelekatan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, Para bhikkhu, apakah kemelekatan memiliki keinginan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Kemelekatan memiliki keinginan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan keinginan sebagai kondisi, maka kemelekatan’.

Dengan perasaan sebagai kondisi, maka keinginan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, Para bhikkhu, apakah keinginan memiliki perasaan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Keinginan memiliki perasaan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan perasaan sebagai kondisi, maka keinginan’.

Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, Para bhikkhu, apakah perasaan memilik kontak sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Perasaan memiliki kontak sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan’.

Dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak’: demikianlah dikatakan. Sekarang, Para bhikkhu, apakah kontak memiliki enam landasan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Kontak memiliki enam landasan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak’.

Dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, Para bhikkhu, apakah enam landasan memiliki batin-jasmani sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Enam landasan memiliki batin-jasmani sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan’.

Dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani’: demikianlah dikatakan. Sekarang, Para bhikkhu, apakah batin-jasmani memiliki kesadaran sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Batin-jasmani memiliki kesadaran sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani’.

Dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran’: demikianlah dikatakan. Sekarang, Para bhikkhu, apakah kesadaran memiliki bentukan-bentukan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Kesadaran memiliki bentukan-bentukan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran’.

Dengan kebodohan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, Para bhikkhu, apakah bentukan-bentukan memiliki kebodohan sebagai kondisi atau tidak, atau bagaimanakah kalian memahaminya dalam kasus ini?”

“Bentukan-bentukan memiliki kebodohan sebagai kondisi, Yang Mulia. Demikianlah kami memahami kasus ini: ‘Dengan kebodohan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan’.

(KESIMPULAN TENTANG MUNCULNYA)

19. “Bagus, Para bhikkhu, kalian mengatakan demikian, dan Aku juga mengatakan demikian: ‘Dengan adanya ini, maka itu ada; [263] dengan munculnya ini, maka muncul pula itu’. [ ]Yaitu, dengan kebodohan sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan [muncul]; dengan bentukan-bentukan sebagai kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-jasmani; dengan batin-jasmani sebagai kondisi, maka enam landasan; dengan enam landasan sebagai kondisi, maka kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka keinginan; dengan keinginan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

(PENJELASAN TENTANG LENYAPNYA DALAM URUTAN MAJU)

20. “Tetapi, dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya kebodohan, maka lenyap pula bentukan-bentukan; dengan lenyapnya bentukan-bentukan, lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, lenyap pula batin-jasmani; dengan lenyapnya batin-jasmani, lenyap pula enam landasan; dengan lenyapnya enam landasan, lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, lenyap pula keinginan; dengan lenyapnya keinginan, lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #99 on: 05 September 2010, 09:22:34 PM »
(PERTANYAAN-PERTANYAAN TENTANG LENYAPNYA DALAM URUTAN MUNDUR)

21. “Dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian’: demikianlah dikatakan. Sekarang, Para bhikkhu, apakah penuaan dan kematian lenyap dengan lenyapnya kelahiran atau tidak, atau begaimanakah kalian memahaminya dalam [ ]kasus ini?”

“Penuaan dan kematian lenyap dengan lenyapnya kelahiran, Yang Mulia. Demikianlah kami memahaminya dalam kasus ini:Dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian’.

Dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran’ … ‘Dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan’ … ‘Dengan lenyapnya keinginan, maka lenyap pula kemelekatan’ … Dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula keinginan’ … ‘Dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan’ [264] … ‘Dengan lenyapnya enam landasan, maka lenyap pula kontak’ … ‘Dengan lenyapnya batin-jasmani, maka lenyap pula enam landasan’ … ‘Dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula batin-jasmani’ … ‘Dengan lenyapnya bentukan-bentukan, maka lenyap pula kesadaran’ … Dengan lenyapnya kebodohan, maka lenyap pula bentukan-bentukan’: demikianlah dikatakan. Sekarang, Para bhikkhu, apakah bentukan-bentukan lenyap dengan lenyapnya kebodohan atau tidak, atau begaimanakah kalian memahaminya dalam [ ]kasus ini?”

“Bentukan-bentukan lenyap dengan lenyapnya kebodohan, Yang Mulia. Demikianlah kami memahaminya dalam kasus ini:[ ]Dengan lenyapnya kebodohan, maka lenyap pula bentukan-bentukan’.

(KESIMPULAN TENTANG LENYAPNYA)

22. “Bagus, Para bhikkhu, kalian mengatakan demikian, dan Aku juga mengatakan demikian: ‘Dengan tidak adanya ini, maka itu tidak ada; dengan lenyapnya ini, maka lenyap pula itu’. Yaitu, dengan lenyapnya kebodohan, maka lenyap pula bentukan-bentukan; dengan lenyapnya bentukan-bentukan, maka lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula batin-jasmani; dengan lenyapnya batin-jasmani, maka lenyap pula enam landasan; dengan lenyapnya enam landasan, maka lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula keinginan; dengan lenyapnya keinginan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

(PENGETAHUAN PRIBADI)

23. “Para bhikkhu, dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, [265] akankah kalian kembali ke masa lampau sebagai berikut: ‘Apakah kami ada di masa lampau? Apakah kami tidak ada di masa lampau? Apakah kami di masa lampau? Bagaimanakah kami di masa lampau? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah kami di masa lampau?’?”“Tidak, Yang Mulia.”“Dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian pergi ke masa depan sebagai berikut: ‘Apakah kami akan ada di masa depan? Apakah kami akan tidak ada di masa depan? Apakah kami di masa depan? Bagaimanakah kami di masa depan? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah kami di masa depan?’?”“Tidak, Yang Mulia.”“Dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian kebingungan dalam batin mengenai masa sekarang sebagai berikut: ‘Adakah aku? Tidak adakah aku? Apakah aku? Bagaimanakah aku? Dari mana makhluk ini datang? Ke manakah makhluk ini akan pergi?’?”“Tidak, Yang Mulia.”

24. “Para bhikkhu, dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian mengatakan sebagai berikut: ‘Kami menghormati Sang Guru. Kami berbicara sesuai apa yang kami lakukan demi hormat kami kepada Sang Guru’?”“Tidak, Yang Mulia.”“Dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian mengatakan sebagai berikut: ‘Petapa itu mengatakan hal ini, dan demikian pula para petapa [lainnya], tetapi kami tidak mengatakan seperti itu’?”“Tidak, Yang Mulia.”“Dengan mengetahui dan melihat dengan cara seperti ini, akankah kalian kembali pada pelaksanaan, perdebatan, dan tanda-tanda keberuntungan dari para petapa dan brahmana biasa, menganggapnya sebagai inti [dari kehidupan suci]?”“Tidak, Yang Mulia.”“Apakah kalian mengatakan hanya apa yang kalian telah ketahui, telah lihat, dan telah pahami bagi diri kalian sendiri?”“Ya, Yang Mulia.”

25. “Bagus, Para bhikkhu. Maka kalian telah dituntun oleh-Ku dengan Dhamma, yang terlihat di sini dan saat ini, efektif segera, mengundang untuk diselidiki, mengarah ke dalam batin, untuk dialami oleh para bijaksana untuk diri mereka sendiri. Karena sehubungan dengan hal ini telah dikatakan: ‘Para bhikkhu, Dhamma ini terlihat di sini dan saat ini, [ ]efektif segera, mengundang untuk diselidiki, mengarah ke dalam batin, untuk dialami oleh para bijaksana untuk diri mereka sendiri’.

(LINGKARAN KEHIDUPAN: KEHAMILAN HINGGA DEWASA)

26. “Para bhikkhu, kehamilan janin dalam rahim terjadi melalui perpaduan tiga hal. [ ]Di sini, ada perpaduan ibu dan ayah, tetapi saat itu bukan musim kesuburan ibu, dan tidak ada makhluk untuk dilahirkandalam kasus ini tidak ada [266] kehamilan janin dalam rahim. Di sini, ada perpaduan ibu dan ayah, dan saat itu adalah musim kesuburan ibu, dan tidak ada makhluk untuk dilahirkandalam kasus ini juga tidak ada kehamilan janin dalam rahim. Tetapi jika ada perpaduan ibu dan ayah, dan saat itu adalah musim kesuburan ibu, dan ada makhluk untuk dilahirkan, melalui perpaduan ketiga hal ini [ ]maka kehamilan janin dalam rahim terjadi.

27. “Sang ibu kemudian memelihara janin dalam rahimnya selama sembilan atau sepuluh bulan dengan banyak kesusahan, sebagai beban berat. Kemudian, di akhir sembilan atau sepuluh bulan, sang ibu melahirkan dengan banyak kesusahan, sebagai beban berat. Kemudian, ketika si anak lahir, sang ibu memberinya makan dengan darahnya sendiri; karena susu ibu disebut darah dalam Disiplin Para Mulia.

28. “Ketika anak itu tumbuh dan indrianya matang, anak itu memainkan permainan-permainan seperti alat membajak mainan, melempar kayu, berjungkir-balik, kincir angin mainan, alat ukur mainan, kereta mainan, dan busur dan anak panah mainan.

29. “Ketika anak itu tumbuh dan indrianya matang [lebih jauh lagi], pemuda itu menikmati lima utas kenikmatan indria, dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata … suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung … rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek sentuhan yang dikenali oleh badan yang diharapkan, diinginkan, menyenangkan dan disukai, terhubung dengan kenikmatan indria, dan merangsang nafsu.

(KELANJUTAN LINGKARAN)

30. “Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, ia menginginkannya jika bentuk itu menyenangkan; ia tidak menginginkannya jika bentuk itu tidak menyenangkan. Ia berdiam dengan perhatian pada jasmani tidak ditegakkan, dengan pikiran terbatas, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan di mana kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa. Masuk ke dalam apa yang disukai maupun tidak disukai, apa pun perasaan yang ia rasakanapakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan menyakitkan-juga-bukan-menyenangkania bergembira dalam perasaan itu, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya. [ ]Sewaktu ia melakukan hal itu, kegembiraan muncul dalam dirinya. Sekarang, kegembiraan dalam perasaan adalah kemelekatan. Dengan kemelekatannya sebagai kondisi, maka penjelmaan [muncul]; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Ketika mendengar suatu suara dengan telinga … Ketika mencium suatu bau dengan hidung … Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Ketika menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan … Ketika mengenali suatu objek pikiran dengan pikiran, [267] ia menginginkannya jika objek pikiran itu menyenangkan; ia tidak menginginkannya jika objek pikiran itu tidak menyenangkan … Sekarang, kegembiraan dalam perasaan adalah kemelekatan. Dengan kemelekatannya sebagai kondisi, maka penjelmaan [muncul]; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

(AKHIR DARI LINGKARAN: LATIHAN BERTAHAP)

31-38. “Di sini, Para bhikkhu, seorang Tathāgata muncul di dunia ini, sempurna, tercerahkan sempurna … (seperti Sutta 27, §§11-18) [268-69] … ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan. [270]

39. “Setelah meninggalkan kelima rintangan ini demikian, ketidaksempurnaan batin yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi yang tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama ... Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... Dengan lenyapnya kegembiraan ... ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga ... Dengan meninggalkan kesenangan dan kesakitan ... ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat ... yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kesenangan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.

(AKHIR DARI LINGKARAN: LENYAP SEPENUHNYA)

40. “Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, ia tidak menginginkannya jika bentuk itu menyenangkan; ia tidak menolaknya jika bentuk itu tidak menyenangkan. Ia berdiam dengan perhatian pada jasmani ditegakkan, dengan pikiran tanpa batas, dan ia memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan di mana kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa. [ ]Setelah meninggalkan apa yang disukai maupun tidak disukai, apa pun perasaan yang ia rasakanapakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkania tidak bergembira dalam perasaan itu, tidak menyambutnya, dan tidak terus-menerus menggenggamnya. [ ]Sewaktu ia tidak melakukan hal itu, kegembiraan dalam perasaan lenyap dalam dirinya. Dengan lenyapnya kegembiraannya, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

“Ketika mendengar suatu suara dengan telinga … Ketika mencium suatu bau dengan hidung … Ketika mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Ketika menyentuh suatu objek sentuhan dengan badan … Ketika mengenali suatu objek pikiran dengan pikiran, ia tidak menginginkannya jika objek pikiran itu menyenangkan; ia tidak menolaknya jika objek-pikiran itu tidak menyenangkan … Dengan lenyapnya kegembiraannya, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini.

(PENUTUP)

41. “Para bhikkhu, ingatlah kebebasan melalui hancurnya keinginan ini seperti yang diajarkan secara ringkas oleh-Ku. Tetapi Bhikkhu Sāti ini, [271] putra seorang nelayan, terjebak dalam jaring besar keinginan, jala keinginan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 05 September 2010, 09:27:59 PM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #100 on: 06 September 2010, 02:27:16 PM »
39  Mahā-Assapura Sutta
Khotbah Panjang di Assapura

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di  Negeri Angan, di pemukiman Angan bernama Assapura. Di sana, Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “’Petapa, petapa’, Para bhikkhu, itu adalah bagaimana orang-orang mengenali kalian. Dan jika kalian ditanya, ‘Apakah kalian?’, maka kalian mengaku bahwa kalian adalah para petapa. Karena itu adalah sebutan bagi kalian dan apa yang kalian akui, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan melaksanakan dan melatih hal-hal yang membuat seseorang menjadi seorang petapa, yang membuat seseorang menjadi seorang brahmana,  sehingga sebutan kami menjadi benar dan pengakuan kami benar, dan sehingga pelayanan dari mereka yang jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatannya kami gunakan akan memberikan buah dan manfaat besar bagi mereka, dan sehingga pelepasan keduniawian kami tidak sia-sia melainkan subur dan berbuah’.

(PERILAKU DAN PENGHIDUPAN)

3. “Dan apakah, Para bhikkhu, hal-hal yang membuat seseorang menjadi seorang petapa, yang membuat seseorang menjadi seorang brahmana? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memiliki rasa malu dan rasa takut akan pelanggaran’. [ ]Sekarang, Para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan pelanggaran. Itu sudah cukup, itu sudah dilakukan, tujuan pertapaan telah dicapai, tidak ada lagi yang harus kami lakukan’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

4. “Apa lagi yang harus dilakukan? [272] Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Perilaku jasmani kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain karena kemurnian perilaku jasmani itu’. Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan pelanggaran dan perilaku jasmani kami telah dimurnikan. Itu sudah cukup, itu sudah dilakukan, tujuan pertapaan telah dicapai, tidak ada lagi yang harus kami lakukan’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

5. “Apa lagi yang harus dilakukan ? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Perilaku ucapan kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain karena kemurnian perilaku ucapan itu’. Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan pelanggaran dan perilaku jasmani kami telah dimurnikan dan perilaku ucapan kami telah dimurnikan. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

6. “Apa lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Perilaku pikiran kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain karena kemurnian perilaku pikiran itu’. Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan pelanggaran dan perilaku jasmani dan perilaku ucapan kami telah dimurnikan dan perilaku pikiran kami telah dimurnikan. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

7. “Apa lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Penghidupan kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain karena kemurnian penghidupan itu’. Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan pelanggaran dan perilaku jasmani, perilaku ucapan, dan perilaku pikiran kami telah dimurnikan dan penghidupan kami telah dimurnikan. [273] Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

(PENGENDALIAN INDRIA)

8. “Apa lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menjaga pintu-pintu indria kami. Ketika melihat suatu bentuk dengan mata, kami tidak akan menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika kami membiarkan indria mata tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menguasai kami, kami akan berlatih cara pengendaliannya, kami akan menjaga indria mata, kami akan menjalankan pengendalian indria mata. Ketika mendengar suara dengan telinga ... Ketika mencium bau-bauan dengan hidung ... Ketika mengecap rasa kecapan dengan lidah ... Ketika menyentuh objek sentuhan dengan badan ... Ketika mengenali objek-pikiran dengan pikiran, kami tidak akan menggenggam gambaran dan ciri-cirinya. Karena, jika kami membiarkan indria pikiran tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menguasai kami, kami akan berlatih cara pengendaliannya, kami akan menjaga indria mata, kami akan menjalankan pengendalian indria’. Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan pelanggaran dan perilaku jasmani, perilaku ucapan, [ ]perilaku pikiran, dan penghidupan kami telah dimurnikan, dan kami menjaga pintu-pintu indria kami. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

(MAKAN SECUKUPNYA)

9. “Apa lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan makan secukupnya. Merenungkan dengan bijaksana, kami akan mengambil makanan bukan untuk kesenangan juga bukan untuk ketagihan juga bukan demi kecantikan dan kemenarikan fisik, tetapi hanya untuk ketahanan dan kelangsungan tubuh ini, untuk mengakhiri ketidaknyamanan, untuk menunjang kehidupan suci, dengan mempertimbangkan: “Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan lama tanpa membangkitkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan dapat hidup dalam kenyamanan’.” Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan pelanggaran dan perilaku jasmani, perilaku ucapan, [ ]perilaku pikiran, dan penghidupan kami telah dimurnikan, kami menjaga pintu-pintu indria kami, dan kami makan secukupnya. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

(KESADARAN)

10. “Apa lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menekuni kesadaran. Pada siang hari, sewaktu berjalan mondar-mandir dan duduk, kami akan memurnikan pikiran kami dari pikiran-pikiran dengan kondisi-kondisi yang merintangi. Pada jaga pertama malam hari, [274] sewaktu berjalan mondar-mandir dan duduk, kami akan memurnikan pikiran kami dari pikiran-pikiran dengan kondisi-kondisi yang merintangi. Pada jaga pertengahan malam hari, kami akan berbaring pada sisi kanan dalam posisi singa dengan satu kaki di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, setelah mencatat dalam batin waktu untuk bangun. Setelah bangun, pada jaga ke tiga malam hari, sewaktu berjalan mondar-mandir dan duduk, kami akan memurnikan pikiran kami dari pikiran-pikiran dengan kondisi-kondisi yang merintangi’. Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan pelanggaran dan perilaku jasmani, perilaku ucapan, [ ]perilaku pikiran, dan penghidupan kami telah dimurnikan, kami menjaga pintu-pintu indria kami, kami makan secukupnya, dan kami menekuni kesadaran. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

(PERHATIAN DAN KEWASPADAAN PENUH)

11. “Apa lagi yang harus dilakukan? Para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan memiliki perhatian dan kesadaran penuh. Kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika berjalan maju dan mundur; kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika melihat ke depan dan melihat ke belakang; kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika membungkuk dan meregangkan badan; kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika mengenakan jubah dan membawa jubah luar dan mangkuk; kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika makan, minum, mengunyah, dan mengecap; kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika buang air besar dan buang air kecil; kami akan bertindak dengan kewaspadaan penuh ketika berjalan, berdiri, duduk, jatuh tertidur, bangun tidur, berbicara, dan berdiam diri’. Sekarang para bhikkhu, kalian mungkin berpikir: ‘Kami memiliki rasa malu dan rasa takut akan pelanggaran dan perilaku jasmani, perilaku ucapan, [ ]perilaku pikiran, dan penghidupan kami telah dimurnikan, kami menjaga pintu-pintu indria kami, kami makan secukupnya, kami menekuni kesadaran, dan kemi memiliki perhatian dan kewaspadaan penuh. Itu sudah cukup ... ’; dan kalian menjadi puas dengan sejauh itu. Para bhikkhu, Aku beritahukan kepada kalian, Aku nyatakan kepada kalian: Kalian yang mencari status petapa, jangan jatuh dari tujuan pertapaan selagi masih ada yang harus dilakukan.

(MENINGGALKAN RINTANGAN-RINTANGAN)

12. “Apa lagi yang harus dilakukan? Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu mendatangi tempat tinggal terpencil: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, hutan belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami.

13. “Ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan ia duduk bersila, menegakkan badan dan menegakkan perhatian di depannya. Dengan meninggalkan ketamakan akan dunia, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari ketamakan; ia memurnikan pikirannya dari ketamakan. Dengan meninggalkan niat buruk dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari niat buruk, berbelas kasihan demi kesekajteraan semua makhluk; [275] ia memurnikan pikirannya dari niat buruk dan kebencian. Dengan meninggalkan kelambanan dan ketumpulan, ia berdiam bebas dari kelambanan dan ketumpulan, melihat cahaya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan; ia memurnikan pikirannya dari kelambanan dan ketumpulan. Dengan meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam tanpa kegelisahan dengan kedamaian dalam batin; ia memurnikan pikirannya dari kegelisahan dan penyesalan. Dengan meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam melampaui keragu-raguan, tanpa kebingungan sehubungan dengan kondisi-kondisi bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.

14. “Para bhikkhu, misalkan seseorang meminjam uang dan menjalankan usahanya dan usahanya itu berhasil sehingga ia mampu mengembalikan uang pinjamannya sebelumnya dan masih tersisa cukup untuk memelihara seorang istri; maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan gembira. Atau misalkan seseorang yang sedang sakit, menderita, sakit keras, dan makanannya tidak cocok baginya dan tubuhnya tidak memiliki kekuatan, tetapi kemudian ia sembuh dari penyakitnya dan makanannya cocok baginya dan tubuhnya memperoleh kembali kekuatannya; maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan gembira. Atau misalkan seseorang yang terkurung dalam penjara, tetapi kemudian ia dibebaskan, selamat dan aman, tanpa kehilangan hartanya; maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan gembira. Atau misalkan seseorang adalah budak, tidak bergantung pada diri sendiri melainkan bergantung pada orang lain, tidak dapat pergi ke manapun yang ia inginkan, tetapi kemudian ia dibebaskan dari perbudakan, bergantung pada diri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, seorang bebas yang dapat pergi ke manapun yang ia inginkan; maka dengan mempertimbangkan hal ini, [276] ia akan senang dan gembira. Atau misalkan seseorang yang membawa harta kekayaannya berjalan di jalan yang melintasi gurun pasir, tetapi kemudian ia berhasil menyeberangi gurun pasir itu, selamat dan aman, tanpa kehilangan harta kekayaannya; maka dengan mempertimbangkan hal ini, ia akan senang dan gembira. Demikian pula, Para bhikkhu, ketika kelima rintangan ini belum ditinggalkan dalam dirinya, seorang bhikkhu melihatnya berturut-turut sebagai pinjaman, penyakit, penjara, perbudakan, dan jalan yang melintasi gurun pasir. Tetapi ketika kelima rintangan ini telah ditinggalkan dalam dirinya, ia melihat hal itu sebagai kebebasan dari pinjaman, kesehatan, kebebasan dari penjara, kebebasan dari perbudakan, dan tanah keselamatan.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #101 on: 06 September 2010, 02:53:25 PM »
sambungan 39 Mahā-Assapura Sutta

15. “Setelah meninggalkann kelima rintangan ini, ketidaksempurnaan batin yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu. Bagaikan seorang petugas pemandian atau murid petugas pemandian menumpuk bubuk mandi dalam baskom logam dan, secara perlahan memerciknya dengan air, meremasnya hingga kelembaban membasahi bola bubuk mandi tersebut, membasahinya, dan meliputinya di dalam dan di luar, namun bola itu sendiri tidak meneteskan air; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu.

16. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ia membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Bagaikan sebuah danau yang airnya berasal dari mata air di dasarnya [277] dan tidak ada aliran masuk dari timur, barat, utara, atau selatan, dan tidak ditambah dari waktu ke waktu dengan curahan hujan, kemudian mata air sejuk memenuhi danau itu dan membuat air sejuk itu membasahi, merendam, memenuhi, dan meliputi seluruh danau itu, sehingga tidak ada bagian danau itu yang tidak terliputi oleh air sejuk itu; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi.

17. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan lenyapnya kegembiraan, seorang bhikkhu berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan dengan jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang dikatakan oleh para mulia: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian’. Ia membuat kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu. Bagaikan, dalam sebuah kolam teratai biru atau merah atau putih, beberapa teratai tumbuh dan berkembang dalam air tanpa keluar dari air, dan air sejuk membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi teratai-teratai itu dari pucuk hingga ke akarnya; demikian pula, seorang bhikkhu, membuat kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu basah, merendam, dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kenikmatan yang terlepas dari kegembiraan itu.

18. “Kemudian, Para bhikkhu, dengan meninggalkan kesenangan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ia duduk dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah. Bagaikan seorang yang duduk dan ditutupi dengan kain putih dari kepala ke bawah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya [278] yang tidak tertutupi oleh kain putih itu; demikianlah, seorang bhikkhu duduk dengan dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah itu.

(TIGA PENGETAHUAN SEJATI)

19. “Ketika konsentrasi pikirannya sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan pada pengetahuan perenungan kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu: satu kelahiran, dua kelahiran … (Seperti Sutta 4, §27) … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau. Bagaikan seseorang yang pergi dari desa tempat tinggalnya ke desa lain dan kemudian kembali lagi ke desanya, ia berpikir: ‘Aku pergi dari desaku ke desa itu, dan di sana aku berdiri demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri demikian; dan dari desa itu aku pergi ke desa lain, dan di sana aku berdiri demikian, duduk demikian, berbicara demikian, berdiam diri demikian; dan dari desa itu aku kembali lagi ke desaku’. Demikian pula, seorang bhikkhu mengingat banyak kehidupan lampau … Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau.

20. “Ketika konsentrasi pikirannya sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk … (Seperti Sutta 4, §29) [279] …  Demikianlah dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Bagaikan terdapat dua rumah dengan pintu-pintu dan seseorang yang berpenglihatan baik berdiri di antara kedua rumah itu melihat orang-orang memasuki dan keluar dari rumah itu silih berganti, demikian pula, [ ]dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, seorang bhikkhu melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali … dan ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka.

21. “Ketika konsentrasi pikirannya sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidaksempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda, ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; … ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; … ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’.; … ‘Ini adalah noda-noda’; … ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; … ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda’.

“Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, batinnya terbebas dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘terbebaskan’. Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun’.

“Bagaikan terdapat sebuah danau pada sebuah ceruk di gunung, bersih, jernih, dan tidak terganggu, sehingga seseorang dengan penglihatan yang baik yang berdiri di tepinya dapat melihat kerang, kerikil, dan koral, dan juga kawanan ikan yang berenang kesana kemari [ ]dan beristirahat, ia berpikir: ‘Danau ini bersih, jernih, dan tidak terganggu, dan terdapat [280] kerang, kerikil, dan koral ini, dan juga kawanan ikan yang berenang kesana kemari [ ]dan beristirahat’. Demikian pula, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’. ... Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun’.

(ARAHANT)

22. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang demikian disebut seorang petapa, seorang brahmana, seorang yang telah dicuci, seorang yang telah mencapai pengetahuan, seorang terpelajar suci, seorang mulia, seorang Arahant.

23. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang petapa? Ia telah menenangkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, yang memberikan kesulitan, yang matang dalam kesengsaraan, dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang petapa.

24. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang brahmana? Ia telah menyingkirkan kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori ... dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang brahmana.

25. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang telah dicuci? [ ]Ia telah mencuci kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori ... dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang yang telah dicuci.

26. “Dan baaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang telah mencapai pengetahuan? Ia telah mengetahui kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori ... dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang yang telah mencapai pengetahuan.

27. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang terpelajar suci? [ ]Kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori ... dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan, telah mengalir keluar dari dirinya. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang terpelajar suci.

28. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang mulia? Kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori ... dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan, jauh dari dirinya. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang mulia.

29. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang Arahant? Kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, yang memberikan kesulitan, yang matang dalam kesengsaraan, dan yang mengarah menuju kelahiran, penuaan, dan kematian di masa depan, jauh dari dirinya. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu adalah seorang Arahant.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #102 on: 18 September 2010, 12:18:15 PM »
40  Cūḷa-Assapura Sutta
Khotbah Pendek di Assapura

[281] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di  Negeri Angan, di pemukiman Angan bernama Assapura. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “’Petapa, petapa’, para bhikkhu, itu adalah bagaimana orang-orang mengenali kalian. Dan jika kalian ditanya, ‘Apakah kalian?’, maka kalian mengaku bahwa kalian adalah para petapa. Karena itu adalah sebutan bagi kalian dan apa yang kalian akui, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan melatih jalan benar selayaknya bagi [ ]seorang petapa [ ]sehingga sebutan kami menjadi benar dan pengakuan kami benar, dan sehingga pelayanan dari mereka yang jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatannya kami gunakan akan memberikan buah dan manfaat besar bagi mereka, dan sehingga pelepasan keduniawian kami tidak sia-sia melainkan subur dan berbuah’.

3. “Bagaimanakah, Para bhikkhu, seorang bhikkhu tidak melatih jalan benar selayaknya bagi [ ]seorang petapa? Selama seorang bhikkhu yang tamak belum meninggalkan ketamakan, yang memiliki pikiran berniat buruk belum meninggalkan niat buruk, yang penuh kemarahan belum meninggalkan kemarahan, yang penuh kekesalan belum meninggalkan kekesalan, yang bersikap meremehkan belum meninggalkan sikap meremehkan, yang bersikap sombong belum meninggalkan kesombongan, yang iri-hati belum meninggalkan keirihatian, yang kikir belum meninggalkan kekikiran, yang curang belum meninggalkan kecurangan, yang menipu belum meninggalkan penipuan, yang memiliki keinginan jahat belum meninggalkan keinginan jahat, yang berpandangan salah belum meninggalkan pandangan salah, [ ]selama ia tidak melatih jalan benar selayaknya bagi petapa, Aku katakan, karena kegagalannya dalam meninggalkan noda-noda bagi petapa ini, cacat bagi petapa ini, sampah bagi petapa ini, yang merupakan landasan bagi kelahiran kembali dalam kondisi sengsara dan yang akibat-akibatnya akan dialami di alam yang tidak berbahagia.

4. “Misalkan senjata yang disebut mataja, terasah dengan baik pada kedua sisinya, tertutup dan tersimpan dalam sarung kain. Aku katakan bahwa pelepasan keduniawian bhikkhu itu adalah seperti senjata itu.

5. “Aku tidak mengatakan bahwa status petapa datang dari pemakai jubah bertambalan hanya karena mengenakan jubah bertambalan, juga bukan dari seorang petapa telanjang hanya karena ketelanjangannya, juga bukan dari seorang yang bertempat tinggal di tanah dan debu hanya karena tanah dan debu, juga bukan dari seorang pencuci karena mencuci dalam air, juga bukan dari seorang penghuni bawah pohon hanya karena [282] menetap di bawah pohon, juga bukan seorang yang menetap di ruang terbuka hanya karena menetap di ruang terbuka, juga bukan dari seorang praktisi yang berlatih terus-menerus berdiri hanya karena terus-menerus berdiri, juga bukan dari seorang yang makan dalam interval waktu yang telah ditentukan hanya karena makan dalam interval waktu yang telah ditentukan, juga bukan dari seorang pembaca mantera hanya karena membaca mantera; Aku juga tidak mengatakan bahwa status petapa datang dari seorang petapa berambut kusut hanya karena berambut kusut.

6. “Para bhikkhu, jika dengan hanya mengenakan jubah bertambalan seorang pemakai jubah bertambalan yang tamak meninggalkan ketamakan, yang memiliki pikiran berniat buruk meninggalkan niat buruk ... yang berpandangan salah meninggalkan pandangan salah, maka teman-teman dan sahabatnya, sanak saudara dan kerabatnya, akan menjadikannya seorang pemakai jubah bertambalan segera setelah ia dilahirkan dan menyuruhnya menjalani praktik mengenakan jubah bertambalan sebagai berikut: ‘Marilah, sayangku, jadilah seorang pemakai jubah bertambalan, agar, sebagai seorang pemakai jubah bertambalan maka, ketika engkau tamak engkau akan meninggalkan ketamakan, ketika engkau memiliki pikiran berniat buruk engkau akan meninggalkan niat buruk ... ketika engkau berpandangan salah engkau akan meninggalkan pandangan salah’. Tetapi Aku melihat di sini seorang pemakai jubah bertambalan yang tamak, yang memiliki pikiran berniat buruk ... yang berpandangan salah; dan itulah sebabnya mengapa Aku tidak mengatakan bahwa status petapa datang dari pemakai jubah bertambalan hanya karena mengenakan jubah bertambalan.

“Jika dengan ketelanjangan seorang petapa telanjang yang tamak meninggalkan ketamakan ... Jika dengan tanah dan debu ... Jika dengan mencuci dalam air ... Jika dengan menetap di bawah pohon ... Jika dengan menetap di ruang terbuka ... jika dengan terus-menerus berdiri ... Jika dengan makan pada interval waktu yang telah ditentukan ... Jika dengan membaca mantera ... Jika dengan berambut kusut ... [283] ... dan itulah sebabnya mengapa Aku tidak mengatakan bahwa status petapa datang dari seorang petapa berambut kusut hanya karena berambut kusut.

7. “Bagaimanakah, Para bhikkhu, seorang bhikkhu melatih jalan benar selayaknya bagi  seorang petapa? Ketika seorang bhikkhu yang tamak telah meninggalkan ketamakan, yang memiliki pikiran berniat buruk telah meninggalkan niat buruk, yang penuh kemarahan telah meninggalkan kemarahan, yang penuh kekesalan telah meninggalkan kekesalan, yang bersikap meremehkan telah meninggalkan sikap meremehkan, yang bersikap sombong telah meninggalkan kesombongan, yang iri-hati telah meninggalkan keirihatian, yang kikir telah meninggalkan kekikiran, yang curang telah meninggalkan kecurangan, yang menipu telah meninggalkan penipuan, yang memiliki keinginan jahat telah meninggalkan keinginan jahat, yang berpandangan salah telah meninggalkan pandangan salah, maka ia melatih jalan benar selayaknya bagi seorang petapa, Aku katakan, karena dengan meninggalkan noda-noda bagi petapa ini, cacat bagi petapa ini, sampah bagi petapa ini, yang merupakan landasan bagi kelahiran kembali dalam kondisi sengsara dan yang akibat-akibatnya akan dialami di alam yang tidak berbahagia.

8. “Ia melihat dirinya murni dari kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat ini, ia melihat dirinya terbebas dari kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat ini. Ketika ia melihat ini, kegembiraan muncul dalan dirinya. Ketika ia gembira, kegembiraan meluap muncul dalam dirinya; dalam diri seorang dengan kegembiraan meluap, jasmaninya menjadi tenang; seseorang yang jasmaninya tenang merasakan kenikmatan; dalam diri seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi.

9. “Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan cinta kasih, demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; seperti ke atas, demikian pula ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala tempat, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan meliputi seluruh penjuru dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan, dan tanpa niat buruk.

10-12. “Ia berdiam dengan meliputi satu arah dengan pikiran yang penuh dengan belas kasihan ... dengan pikiran yang penuh dengan kegembiraan altruistik ... dengan pikiran yang penuh dengan keseimbangan ... berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan, dan tanpa niat buruk.

13. “Misalkan terdapat sebuah kolam, dengan air yang jernih, sejuk menyenangkan, bening, dengan tepian yang landai, indah, dan dekat dengan hutan. [284] Jika seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang dari arah timur atau dari arah barat atau dari arah utara atau dari arah selatan atau dari manapun kalian inginkan, setelah mendatangi kolam itu ia akan memuaskan dahaganya dan demam cuaca-panasnya. Demikian pula, Para bhikkhu, jika siapapun dari kasta para mulia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dan setelah menemukan Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, mengembangkan cinta kasih, belas kasihan, kegembiraan altruistik, dan keseimbangan, dan karenanya memperoleh kedamaian internal, maka karena kedamaian internal itu ia melatih jalan benar selayaknya seorang petapa, Aku katakan. Jika siapapun dari kasta brahmana meninggalkan keduniawian … jika siapapun dari kasta pedagang meninggalkan keduniawian … jika siapapun dari kasta para mulia meninggalkan keduniawian … jika siapapun dari kasta pekerja meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dan setelah menemukan Dhamma dan Disiplin yang dinyatakan oleh Sang Tathāgata, mengembangkan cinta kasih, belas kasihan, kegembiraan altruistik, dan keseimbangan, dan karenanya memperoleh kedamaian internal, maka karena kedamaian internal itu ia melatih jalan benar selayaknya seorang petapa, Aku katakan.

14. “Para bhikkhu, jika siapapun dari kasta para mulia meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dan dengan menembus untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda, maka ia telah menjadi seorang petapa karena hancurnya noda-noda itu. [ ]Dan jika siapapun dari kasta brahmana meninggalkan keduniawian … Jika siapapun dari kasta pedagang meninggalkan keduniawian … Jika siapapun dari kasta pekerja meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah, dan dengan menembus untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda, maka ia telah menjadi seorang petapa karena hancurnya noda-noda itu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.Khotbah Pendek di Assapura
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #103 on: 18 September 2010, 12:42:57 PM »
Quote
1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di  Negeri Angan, di pemukiman [n]Angan[/b] bernama Assapura. Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.”—“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

Angan seharusnya adalah Anga [tanpa akhiran -n]
penambahan akhiran -an atau -n (seperti Indonesia -> Indonesian) adalah kebiasaan dalam Bahasa Inggris yang tidak diadopsi dalam Bahasa Indonesia

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)
« Reply #104 on: 18 September 2010, 02:54:04 PM »
Tambahan

39  Mahā-Assapura Sutta
Khotbah Panjang di Assapura

1. Sang Bhagavā sedang menetap di [ ]Negeri Anga,

2. “[’]Petapa, petapa’,
menjadi seorang brahmana, [ ]sehingga sebutan

3. Para bhikkhu, Aku beri tahukan kepada kalian

4. Sekarang, Para bhikkhu, kalian mungkin berpikir:
Para bhikkhu, Aku beri tahukan kepada kalian

5. “Apa [ ]lagi yang harus dilakukan[ ]?
Sekarang, Para bhikkhu, kalian mungkin berpikir:
Para bhikkhu, Aku beri tahukan kepada kalian

6. Sekarang, Para bhikkhu, kalian mungkin berpikir:
Para bhikkhu, Aku beri tahukan kepada kalian

7. Sekarang, Para bhikkhu, kalian mungkin berpikir:
Para bhikkhu, Aku beri tahukan kepada kalian

8. Karena, jika kami membiarkan indria pikiran tanpa terkendali, kondisi jahat yang tidak bermanfaat berupa ketamakan dan kesedihan akan dapat menguasai kami, kami akan berlatih cara pengendaliannya, kami akan menjaga indria matapikiran, kami akan menjalankan pengendalian indria’. Sekarang, Para bhikkhu, kalian mungkin berpikir:
Para bhikkhu, Aku beri tahukan kepada kalian

9. “Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan lama tanpa membangkitkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan dapat hidup dalam kenyamanan.”’ Sekarang, Para bhikkhu, kalian mungkin berpikir:
Para bhikkhu, Aku beri tahukan kepada kalian

10. Sekarang, Para bhikkhu, kalian mungkin berpikir:
Para bhikkhu, Aku beri tahukan kepada kalian

11. Sekarang, Para bhikkhu, kalian mungkin berpikir:
kami menekuni kesadaran, dan kami memiliki perhatian dan kewaspadaan penuh.
Para bhikkhu, Aku beri tahukan kepada kalian

13. ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari niat buruk, berbelaskasihan demi kesejahteraan semua makhluk

14. tidak dapat pergi ke mana pun yang ia inginkan, tetapi kemudian ia dibebaskan dari perbudakan,
seorang bebas yang dapat pergi ke mana pun yang ia inginkan;

15. “Setelah meninggalkann kelima rintangan ini,
meremasnya hingga kelembapan membasahi bola bubuk mandi tersebut,

16. sehingga tidak ada bagian danau itu yang tidak terliputi oleh air sejuk itu; demikian pula, seorang bhikkhu membuat kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingankonsentrasi itu basah, merendam,

18. demikianlah, seorang bhikkhu duduk dengan dengan meliputi tubuh ini

19. lunak, lentur, kukuh, dan mencapai
ia mengarahkannya pada pengetahuan pada pengetahuan perenungan kehidupan lampau.

20. lunak, lentur, kukuh, dan mencapai

21. lunak, lentur, kukuh, dan mencapai
‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’[.]; … ‘Ini adalah noda-noda’;

tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun’.

dan juga kawanan ikan yang berenang ke sana kemari
dan juga kawanan ikan yang berenang ke sana kemari
Demikian pula, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’[.] ...
tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun’.

26. “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang telah mencapai pengetahuan?

paragraf 4 - 12 kata "Apakah" tetap aja ya..
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

 

anything