//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama (editing)  (Read 42534 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #15 on: 07 August 2010, 12:35:42 AM »

(KECENDERUNGAN PIKIRAN)

13. “Cunda, Aku katakan bahwa bahkan kecenderungan pikiran pada kondisi-kondisi bermanfaat adalah bermanfaat besar, apalagi tindakan-tindakan perbuatan dan ucapan yang selaras [dengan kondisi-kondisi pikiran demikian]? [ ]Oleh karena itu, Cunda:
(1) Pikiran harus cenderung pada: ‘Orang lain akan kejam; kita tidak boleh kejam di sini’.
(2) Pikiran harus cenderung pada: ‘Orang lain akan membunuh makhluk-makhluk hidupa; kita harus menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup di sini’.
(3)-(43) Pikiran harus cenderung pada: ….
(44) Pikiran harus cenderung pada: ‘Orang lain akan terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah; kita tidak boleh terikat pada pandangan-pandangan kita sendiri atau menggenggamnya erat-erat, melainkan harus melepaskannya dengan mudah’.

(PENGHINDARAN)

14. “Cunda, misalkan terdapat jalan setapak yang tidak rata dan ada jalan setapak lainnya yang rata untuk menghindari jalan setapak yang tidak rata; dan misalkan terdapat penyeberangan yang tidak rata dan ada penyeberangan lain yang rata untuk menghindari penyeberangan yang tidak rata. [44] Demikian pula:

(1) Seseorang yang terbiasa kejam memiliki ketidakkejaman untuk menghindarinya.
(2) Seseorang yang terbiasa membunuh makhluk-makhluk hidup memiliki penghindaran dari pembunuhan untuk menghindarinya.
(3) Seseorang yang terbiasa mengambil apa yang tidak diberikan memiliki penghindaran dari mengambil apa yang tidak diberikan untuk menghindarinya.
(4) Seorang yang tidak selibat memiliki selibat untuk menghindarinya.
(5) Seorang yang terbiasa berbohong memiliki penghindaran dari berbohong untuk menghindarinya.
(6) Seorang yang terbiasa berkata jahat memiliki penghindaran dari berkata jahat untuk menghindarinya.
(7) Seorang yang terbiasa berkata kasar memiliki penghindaran dari berkata kasar untuk menghindarinya.
( 8 ) Seorang yang terbiasa bergosip memiliki penghindaran dari bergosip untuk menghindarinya.
(9) Seorang yang terbiasa tamak memiliki sifat tidak tamak untuk menghindarinya.
(10) Seorang yang terbiasa berniat buruk memiliki tanpa niat buruk untuk menghindarinya.
(11) Seorang yang terbiasa berpandangan salah memiliki pandangan benar untuk menghindarinya.
(12) Seorang yang terbiasa berkehendak salah memiliki kehendak benar untuk menghindarinya.
(13) Seorang yang terbiasa berucapan salah memiliki ucapan benar untuk menghindarinya.
(14) Seorang yang terbiasa berperbuatan salah memiliki perbuatan benar untuk menghindarinya.
(15) Seorang yang terbiasa berpenghidupan salah memiliki penghidupan benar untuk menghindarinya.
(16) Seorang yang terbiasa berusaha salah memiliki usaha benar untuk menghindarinya.
(17) Seorang yang terbiasa berperhatian salah memiliki perhatian benar untuk menghindarinya.
(18) Seorang yang terbiasa berkonsentrasi salah memiliki konsentrasi benar untuk menghindarinya.
(19) Seorang yang terbiasa berpengetahuan salah memiliki pengetahuan benar untuk menghindarinya.
(20) Seorang yang terbiasa berpembebasan salah memiliki pembebasan benar untuk menghindarinya.
(21) Seorang yang terbiasa dengan kelambanan dan ketumpulan memiliki kebebasan dari kelambanan dan ketumpulan untuk menghindarinya.
(22) Seorang yang terbiasa dengan kegelisahan memiliki ketidakgelisahan untuk menghindarinya.
(23) Seorang yang terbiasa dengan keragu-raguan memiliki keadaan yang melampaui keragu-raguan untuk menghindarinya.
(24) Seorang yang terbiasa dengan kemarahan memiliki ketidakmarahan untuk menghindarinya.
(25) Seorang yang terbiasa dengan kekesalan memiliki ketidakkesalan untuk menghindarinya.
(26) Seorang yang terbiasa meremehkan orang lain memiliki tidak-meremehkan orang lain untuk menghindarinya.
(27) Seorang yang terbiasa bersikap sombong memiliki sikap tidak sombong untuk menghindarinya.
(28) Seorang yang terbiasa iri memiliki ketidakirian untuk menghindarinya.
(29) Seorang yang terbiasa tamak memiliki ketidaktamakan untuk menghindarinya.
(30) Seorang yang terbiasa curang memiliki ketidakcurangan untuk menghindarinya.
(31) Seorang yang terbiasa menipu memiliki sikap tidak-menipu untuk menghindarinya.
(32) Seorang yang terbiasa bersifat keras-kepala memiliki ketidak-keras-kepalaan untuk menghindarinya.
(33) Seorang yang terbiasa bersifat angkuh memiliki ketidakangkuhan untuk menghindarinya.
(34) Seorang yang terbiasa sulit dinasihati memiliki sifat mudah dinasihati untuk menghindarinya.
(35) [ ]Seorang yang terbiasa bergaul dengan teman-teman jahat memiliki pergaulan dengan teman-teman baik untuk menghindarinya.
(36) Seorang yang terbiasa lalai memiliki kerajinan untuk menghindarinya.
(37) Seorang yang terbiasa tidak berkeyakinan memiliki keyakinan untuk menghindarinya.
(38) Seorang yang terbiasa tidak merasa malu memiliki rasa malu untuk menghindarinya.
(39) Seorang yang terbiasa merasa tidak takut melakukan kejahatan memiliki rasa takut melakukan kejahatan untuk menghindarinya.
(40) Seorang yang terbiasa sedikit belajar memiliki banyak belajar untuk menghindarinya.
(41) Seorang yang terbiasa malas memiliki bangkitnya semangat untuk menghindarinya.
(42) [ ]Seorang yang terbiasa tanpa perhatian memiliki kekukuhan perhatian untuk menghindarinya.
(43) Seorang yang terbiasa tanpa kebijaksanaan memiliki perolehan kebijaksanaan untuk menghindarinya.
(44) Seorang yang terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri, yang menggenggamnya erat-erat dan melepaskannya dengan susah-payah, memiliki ketidakterikatan pada pandangan-pandangannya sendiri, tidak menggenggamnya erat-erat dan melepaskannya dengan mudah, untuk menghindarinya.

(JALAN MENGARAH KE ATAS)

15. “Cunda, seperti halnya semua kondisi-kondisi tidak bermanfaat mengarah ke bawah dan semua kondisi-kondisi bermanfaat mengarah ke atas, demikian pula:

(1) Seseorang yang terbiasa kejam memiliki ketidakkejaman untuk mengarahkannya ke atas.
(2) Seseorang yang terbiasa membunuh makhluk-makhluk hidup memiliki penghindaran dari pembunuhan untuk mengarahkannya ke atas.
(3-43) Seseorang yang terbiasa … untuk mengarahkannya ke atas.
(44) Seorang yang terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri, yang menggenggamnya erat-erat [45] dan melepaskannya dengan susah-payah, memiliki ketidakterikatan pada pandangan-pandangannya sendiri, tidak menggenggamnya erat-erat dan melepaskannya dengan mudah, untuk mengarahkannya ke atas.

(JALAN UNTUK MEMADAMKAN)

16. “Cunda, bahwa seseorang yang tenggelam dalam lumpur harus menarik seorang lainnya yang tenggelam dalam lumpur adalah tidak mungkin; bahwa seseorang yang tidak tenggelam dalam lumpur harus menarik seorang lainnya yang tenggelam dalam lumpur adalah mungkin. Bahwa seorang yang tidak jinak, tidak disiplin, [dengan kekotoran] belum padam, harus menjinakkan orang lain, mendisiplinkannya, dan membantunya memadamkan [kekotorannya] adalah tidak mungkin; Bahwa seorang yang jinak, [ ]disiplin, [dengan kekotoran] telah padam, harus menjinakkan orang lain, mendisiplinkannya, dan membantunya memadamkan [kekotorannya] adalah mungkin. [ ]Demikian pula:

(1) Seseorang yang terbiasa kejam memiliki ketidakkejaman untuk memadamkannya.
(2) Seseorang yang terbiasa membunuh makhluk-makhluk hidup memiliki penghindaran dari pembunuhan untuk memadamkannya.
(3-43) Seseorang yang terbiasa … [46] … untuk memadamkannya.
(44) Seorang yang terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri, yang menggenggamnya erat-erat dan melepaskannya dengan susah-payah, memiliki ketidakterikatan pada pandangan-pandangannya sendiri, tidak menggenggamnya erat-erat dan melepaskannya dengan mudah, yang dengannya memadamkannya.

(PENUTUP)

17. “Maka, Cunda, jalan pemurnian telah diajarkan oleh-Ku, jalan kecenderungan batin telah diajarkan oleh-Ku, jalan penghindaran telah diajarkan oleh-Ku, jalan pemadaman telah diajarkan oleh-Ku.

18. “Apa yang harus dilakukan untuk para siswa-Nya demi belas kasih seorang guru yang mengutamakan kesejahteraan mereka dan memiliki belas kasihan pada mereka, telah Aku lakukan untukmu, Cunda. [ ]Pada bawah pohon ini, gubuk kosong ini. Bermeditasilah, Cunda, jangan menunda atau engkau akan menyesalinya kelak. Ini adalah instruksi kami kepadamu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Mahā Cunda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Buddha.

"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #16 on: 07 August 2010, 02:01:40 AM »
Tambahan utk 9  Sammādiṭṭhi Sutta


1. “Teman-teman, para bhikkhu.”“Teman,” mereka menjawab.

2. “Seorang yang berpandangan benar, seorang yang berpandangan benar’, dikatakan, Teman-teman.

“Sesungguhnya, Teman,

“Maka, Teman-teman,


(YANG BERMANFAAT DAN YANG TIDAK BERMANFAAT)

3. “Ketika, Teman-teman,

4. “Dan apakah, Teman-teman,

6. ketidaktamakan adalah bermanfaat;

7. Ketidakserakahan adalah akar dari yang bermanfaat; ketidakbencian adalah akar dari yang bermanfaat; ketidakbodohan adalah akar dari yang bermanfaat.

8. yang bermanfaat, [ ]maka ia sepenuhnya
menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada ketidaksenangan,
memadamkan kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan ‘Aku’,
mengakhiri penderitaan. [ ]Dengan cara ini

(MAKANAN)

9. Dengan mengatakan, “Bagus, Teman,”
“Tetapi, Teman, adakah cara lain
sampai pada Dhamma sejati ini?”“Ada, Teman-teman.

10. “Ketika, Teman-teman,

11. dan kesadaran sebagai yang ke empat. [ ]Dengan munculnya keinginan, maka muncul pula makanan. Dengan lenyapnya keinginan, maka lenyap pula makanan. Jalan menuju lenyapnya makanan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu: pandangan benar,

12. asal-mula makanan, lenyapnya makanan, dan jalan menuju lenyapnya makanan,
ia memadamkan kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan ‘Aku’, dan

(EMPAT KEBENARAN MULIA)

13. Dengan mengatakan, “Bagus, Teman,”
“Tetapi, Teman, adakah cara lain
sampai pada Dhamma sejati ini?”“Ada, Teman-teman.

14. “Ketika, Teman-teman,

15. dan keputusasaan adalah penderitaan;

18. Yaitu Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu: pandangan benar … konsentrasi benar.

(PENUAAN DAN KEMATIAN)

20. Dengan mengatakan, “Bagus, Teman,”
“Tetapi, Teman, adakah cara lain
sampai pada Dhamma sejati ini?”“Ada, Teman-teman.

21. “Ketika, Teman-teman,

22. kehidupan menurun, indria-indria melemahini disebut penuaan.
hancurnya kelompok-kelompok unsur kehidupan, [ ]terbaringnya tubuhini disebut kematian.
Jalan menuju lenyapnya penuaan dan kematian adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu: pandangan benar … konsentrasi benar.


(KELAHIRAN)

24. Dengan mengatakan, “Bagus, Teman,”
“Tetapi, Teman, adakah cara lain
sampai pada Dhamma sejati ini?”“Ada, Teman-teman.

25. “Ketika, Teman-teman,

26. memperoleh landasan-landasan kontakini disebut kelahiran. Dengan munculnya penjelmaan, maka muncul pula kelahiran. Dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran. Jalan menuju lenyapnya kelahiran adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu: pandangan benar … konsentrasi benar.


(PENJELMAAN)

28. Dengan mengatakan, “Bagus, Teman,”
“Tetapi, Teman, adakah cara lain
sampai pada Dhamma sejati ini?”“Ada, Teman-teman.

29. “Ketika, Teman-teman,

30. dan makhluk tanpa bentuk. [ ]Dengan munculnya
Jalan menuju lenyapnya penjelmaan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu: pandangan benar … konsentrasi benar.


(KEMELEKATAN)

32. Dengan mengatakan, “Bagus, Teman,”
“Tetapi, Teman, adakah cara lain
sampai pada Dhamma sejati ini?”“Ada, Teman-teman.

33. “Ketika, Teman-teman,

34. dan kemelekatan pada doktrin diri. [ ]Dengan munculnya
Jalan menuju lenyapnya kemelekatan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu: pandangan benar … konsentrasi benar.


(KEINGINAN)

36. Dengan mengatakan, “Bagus, Teman,”
“Tetapi, Teman, adakah cara lain
sampai pada Dhamma sejati ini?”“Ada, Teman-teman.

37. “Ketika, Teman-teman,

38. keinginan akan objek-objek sentuhan,
keinginan akan objek-objek pikiran. [ ]Dengan munculnya perasaan, maka muncul pula keinginan. Dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula keinginan. Jalan menuju lenyapnya keinginan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu: pandangan benar … konsentrasi benar.


(PERASAAN)

40. Dengan mengatakan, “Bagus, Teman,”
“Tetapi, Teman, adakah cara lain
sampai pada Dhamma sejati ini?”“Ada, Teman-teman.

41. “Ketika, Teman-teman,

42. Dengan munculnya kontak, maka muncul pula perasaan. Dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan. Jalan menuju lenyapnya perasaan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu: pandangan benar … konsentrasi benar. [52]


(KONTAK)

44. Dengan mengatakan, “Bagus, Teman,”
“Tetapi, Teman, adakah cara lain
sampai pada Dhamma sejati ini?”“Ada, Teman-teman.

45. “Ketika, Teman-teman,

46. [ ]Dengan munculnya enam landasan, maka muncul pula kontak. Dengan lenyapnya enam landasan, maka lenyap pula kontak. Jalan menuju lenyapnya kontak adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu: pandangan benar … konsentrasi benar.


(ENAM LANDASAN)

48. Dengan mengatakan, “Bagus, Teman,”
“Tetapi, Teman, adakah cara lain
sampai pada Dhamma sejati ini?”“Ada, Teman-teman.

49. “Ketika, Teman-teman,

50. [ ]Dengan munculnya batin-jasmani, maka muncul pula enam landasan. Dengan lenyapnya batin-jasmani, maka lenyap pula enam landasan. Jalan menuju lenyapnya enam landasan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu: pandangan benar … konsentrasi benar.

bersambung..
« Last Edit: 07 August 2010, 02:03:28 AM by Yumi »
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #17 on: 07 August 2010, 08:08:45 PM »
9  Sammādiṭṭhi Sutta

(BATIN-JASMANI)

52. Dengan mengatakan, “Bagus, Teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, Teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?”“Ada, Teman-teman.

53. “Ketika, Teman-teman, seorang siswa mulia memahami batin-jasmani, asal-mula batin-jasmani, lenyapnya batin-jasmani, dan jalan menuju lenyapnya batin-jasmani, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

54. “Dan apakah batin-jasmani, apakah asal-mula batin-jasmani, apakah lenyapnya batin-jasmani, apakah jalan menuju lenyapnya batin-jasmani? Perasaan, persepsi, kehendak, kontak, dan perhatianini disebut batin. Empat unsur utama dan bentuk materi yang diturunkan dari empat unsur utamaini disebut jasmani. Maka batin ini dan jasmani ini adalah apa yang disebut batin-jasmani. Dengan munculnya kesadaran, maka muncul pula batin-jasmani. Dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula batin-jasmani. Jalan menuju lenyapnya batin-jasmani adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu: pandangan benar … konsentrasi benar.

(KESADARAN)

56. Dengan mengatakan, “Bagus, Teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, Teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?”“Ada, Teman-teman.

57. “Ketika, Teman-teman, seorang siswa mulia memahami kesadaran, asal-mula kesadaran, lenyapnya kesadaran, dan jalan menuju lenyapnya kesadaran, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

58. “Dan apakah kesadaran, apakah asal-mula kesadaran, apakah lenyapnya kesadaran, apakah jalan menuju lenyapnya kesadaran? Terdapat enam kelompok kesadaran ini: kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, kesadaran-pikiran. [ ]Dengan munculnya bentukan-bentukan, maka muncul pula kesadaran. Dengan lenyapnya bentukan-bentukan, maka lenyap pula kesadaran. Jalan menuju lenyapnya kesadaran adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu: pandangan benar … konsentrasi benar.

(BENTUKAN-BENTUKAN)

60. Dengan mengatakan, “Bagus, Teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, Teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?”“Ada, Teman-teman.

61. “Ketika, Teman-teman, seorang siswa mulia memahami bentukan-bentukan, asal-mula bentukan-bentukan, lenyapnya bentukan-bentukan, dan jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

62. “Dan apakah bentukan-bentukan, apakah asal-mula bentukan-bentukan, apakah lenyapnya bentukan-bentukan, apakah jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan? Terdapat tiga jenis bentukan-bentukan ini: bentukan jasmani, bentukan ucapan, bentukan pikiran. [ ]Dengan munculnya kebodohan, maka muncul pula bentukan-bentukan. Dengan lenyapnya kebodohan, maka lenyap pula bentukan-bentukan. Jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu: pandangan benar … konsentrasi benar.

(KEBODOHAN)

64. Dengan mengatakan, “Bagus, Teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, Teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?”“Ada, Teman-teman.

65. “Ketika, Teman-teman, seorang siswa mulia memahami kebodohan, asal-mula kebodohan, lenyapnya kebodohan, dan jalan menuju lenyapnya kebodohan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

66. “Dan apakah kebodohan, apakah asal-mula kebodohan, apakah lenyapnya kebodohan, apakah jalan menuju lenyapnya kebodohan? Tidak mengetahui penderitaan, tidak mengetahui asal-mula penderitaan, tidak mengetahui lenyapnya penderitaan, tidak mengetahui jalan menuju lenyapnya penderitaanini disebut kebodohan. Dengan munculnya noda-noda, maka muncul pula kebodohan. Dengan lenyapnya noda-noda, maka lenyap pula bentukan kebodohan. Jalan menuju lenyapnya kebodohan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu: pandangan benar … konsentrasi benar.

(NODA-NODA)

68. Dengan mengatakan, “Bagus, Teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, Teman, adakah cara [55] lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?”“Ada, Teman-teman.

69. “Ketika, Teman-teman, seorang siswa mulia memahami noda-noda, asal-mula noda-noda, lenyapnya noda-noda, dan jalan menuju lenyapnya noda-noda, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

70. “Dan apakah noda-noda, apakah asal-mula noda-noda, apakah lenyapnya noda-noda, apakah jalan menuju lenyapnya noda-noda? Ada tiga noda ini: noda keinginan indria, noda penjelmaan, dan noda kebodohan. Dengan munculnya kebodohan, maka muncul pula noda-noda. [ ]Dengan lenyapnya kebodohan, maka lenyap pula noda-noda. Jalan menuju lenyapnya noda-noda adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu: pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.

71. “Ketika seorang siswa mulia memahami noda-noda, asal-mula noda-noda, lenyapnya noda-noda, dan jalan menuju lenyapnya noda-noda, [ ]maka ia sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu, ia menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada ketidaksenangan, ia memadamkan kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan ‘Aku’, dan dengan meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejati ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara ini juga seorang siswa mulia menjadi seorang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline mitta

  • Teman
  • **
  • Posts: 55
  • Reputasi: 2
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #18 on: 07 August 2010, 09:41:54 PM »
Quote
34. “Dan apakah kemelekatan?  Apakah asal-mula kemelekatan? Apakah lenyapnya kemelekatan? Apakah jalan menuju lenyapnya kemelekatan? Terdapat empat [51] jenis kemelekatan ini: kemelekatan pada kenikmatan indria, kemelekatan pada pandangan-pandangan, kemelekatan pada aturan dan upacara, dan kemelekatan pada doktrin diri.  Dengan munculnya keinginan,[ ]maka muncul pula kemelekatan. Dengan lenyapnya keinginan, maka lenyap pula kemelekatan. Jalan menuju lenyapnya kemelekatan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #19 on: 07 August 2010, 11:04:50 PM »
10  Satipaṭṭhāna Sutta
Landasan-Landasan Perhatian


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. [ ]Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Kuru di sebuah Kota Kuru bernama Kammāsadhamma. [ ]Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, ini adalah jalan langsung [ ]untuk pemurnian makhluk-makhluk [56], untuk mengatasi dukacita dan ratapan, untuk lenyapnya kesakitan dan kesedihan, untuk pencapaian jalan sejati, untuk penembusan Nibbānayaitu: empat landasan perhatian.

3. “Apakah empat ini? Di sini, Para bhikkhu, seorang bhikkhu [ ]berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, dengan penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia.  Ia berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan, tekun, dengan penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran, tekun, dengan penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, dengan penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia.

(PERENUNGAN JASMANI)

(1. Perhatian pada Pernafasan)

4. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani? Di sini, seorang bhikkhu, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke sebuah gubuk kosong, duduk; setelah duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, penuh perhatian ia menarik nafas, penuh perhatian ia mengembuskan nafas. Menarik nafas panjang, ia memahami: ‘Aku menarik nafas panjang’; atau mengembuskan nafas panjang, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas panjang’. Menarik nafas pendek, ia memahami: ‘Aku menarik nafas pendek’; atau mengembuskan nafas pendek, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas pendek’. [ ]Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas mengalami keseluruhan tubuh’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas mengalami keseluruhan tubuh’. [ ]Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas menenangkan bentukan jasmani’; Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas menenangkan bentukan jasmani’. [ ]Bagaikan seorang pekerja bubut yang terampil atau muridnya, ketika melakukan putaran panjang, memahami: ‘Aku melakukan putaran panjang’; atau ketika melakukan putaran pendek, memahami: ‘Aku melakukan putaran pendek’; demikian pula, menarik nafas panjang, seorang bhikkhu memahami: ‘Aku menarik nafas panjang’ … ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas menenangkan bentukan jasmani’.

(PANDANGAN TERANG)

5. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal dan eksternal. [ ]Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam jasmani. [ ]Atau penuh perhatian bahwa “ada jasmani” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian. [ ]Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

(2. Empat Postur)

6. “Kemudian, Para bhikkhu, ketika berjalan, seorang bhikkhu memahami: ‘Aku sedang berjalan’; ketika berdiri, ia memahami: ‘Aku sedang berdiri’; ketika duduk, [57] ia memahami: ‘Aku duduk’; ketika berbaring, ia memahami: ‘Aku sedang berbaring’; atau ia memahami sebagaimana adanya bagaimanapun tubuhnya berposisi.

7. “Dengan cara ini ia berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, eksternal, dan secara internal dan eksternal … dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

(3. Kewaspadaan Penuh)

8. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan maju atau mundur; [ ]yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika melihat ke depan atau ke belakang; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika menunduk atau menegakkan badannya; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika mengenakan jubahnya dan membawa jubah luar dan mangkuknya; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika makan, minum, mengunyah makanan, dan mengecap; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika buang air besar dan buang air kecil; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan, berdiri, duduk, tidur, bangun, berbicara, dan berdiam diri.

9. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

(4. Kejijikan – Bagian-Bagian Tubuh)

10. ‘Kemudian, seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini dari telapak kaki ke atas dan dari ujung rambut ke bawah, terbungkus oleh kulit, sebagai dipenuhi kotoran: ‘Di dalam jasmani ini terdapat rambut-kepala, bulu-badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus besar, usus kecil, isi perut, tinja, empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, dan air kencing’. [ ]Bagaikan ada sebuah karung, yang terbuka di kedua ujungnya, penuh dengan berbagai jenis biji-bijian seperti beras-gunung, beras merah, buncis, kacang polong, padi-padian, dan nasi putih, dan seorang yang berpenglihatan baik membuka karung itu dan memeriksanya:[ ][ ]ini adalah beras-gunung, ini adalah beras-merah, ini adalah buncis, ini adalah kacang polong, ini adalah padi-padian, ini adalah nasi putih’, demikian pula seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini ... sebagai dipenuhi kotoran: “Di dalam jasmani ini terdapat rambut kepala … dan air kencing’.

11. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

(5. Unsur-Unsur)

12. ‘Kemudian, seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini, bagaimanapun ia berada, bagaimanapun posisinya, sebagai terdiri dari unsur-unsur: ‘Dalam jasmani ini terdapat unsur-tanah, unsur-air, unsur-api, unsur-udara’. [ ][58] Bagaikan seorang tukang daging yang terampil atau pembantunya, setelah menyembelih seekor sapi, duduk di persimpangan jalan dengan daging yang telah dipotong dalam beberapa bagian; demikianlah seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini … dalam unsur-unsur: ‘Dalam jasmani ini terdapat unsur-tanah, unsur-air, unsur-api, unsur-udara’.

13. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

(6-14. Perenungan Sembilan Tanah Pekuburan)

14. ‘Kemudian, Para bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan,[ ][    ]satu, dua, atau tiga hari setelah meninggal dunia, membengkak, memucat, dengan cairan menetes, seorang bhikkhu membandingkan jasmani yang sama ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu’.

15. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

16. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, dimakan oleh burung gagak, elang, nasar, anjing, serigala, atau berbagai jenis ulat, seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: “Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu’.

17. “ … Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

18-24. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, kerangka tulang dengan daging dan darah, yang terangkai oleh urat … kerangka tulang tanpa daging yang berlumuran darah, yang terangkai oleh urat … kerangka tulang tanpa daging dan darah, yang terangkai oleh urat … tulang belulang yang tercerai berai berserakan ke segala arahdi sini tulang lengan, di sana tulang kaki, di sini tulang kering, di sana tulang paha, di sini tulang pinggul, di sana tulang punggung, di sini tulang rusuk, di sana tulang dada, di sini tulang lengan, di sana tulang bahu, di sini tulang leher, di sana tulang rahang, di sini gigi, di sana tengkorakseorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: “Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu’.

25. “ … Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

26-30. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, tulangnya memutih, berwarna seperti kulit-kerang …, tulang-belulangnya menumpuk, setelah lebih dari setahun …, tulang-belulangnya hancur, dan remuk menjadi debu [59], seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: “Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu’.
« Last Edit: 07 August 2010, 11:31:03 PM by Yi FanG »
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #20 on: 07 August 2010, 11:11:43 PM »
(PANDANGAN TERANG)

31. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam jasmani. Atau penuh perhatian bahwa “ada jasmani” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.


(PERENUNGAN PERASAAN)

32. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan? [ ]Di sini, ketika merasakan suatu perasaan menyenangkan, seorang bhikkhu memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyenangkan’; ketika merasakan perasaan menyakitkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyakitkan’; ketika merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan’. Ketika merasakan perasaan duniawi yang menyenangkan, ia memahami: ‘Aku memahami perasaan duniawi yang menyenangkan’; Ketika merasakan perasaan nonduniawi yang menyenangkan, ia memahami: ‘Aku memahami perasaan nonduniawi yang menyenangkan’; ketika merasakan perasaan duniawi yang menyakitkan, ia memahami: ‘Aku memahami perasaan duniawi yang menyakitkan’; ketika merasakan perasaan nonduniawi yang menyakitkan, ia memahami: ‘Aku memahami perasaan nonduniawi yang menyakitkan’; ketika merasakan perasaan duniawi yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Aku memahami perasaan duniawi yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan’; ketika merasakan perasaan nonduniawi yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Aku memahami perasaan nonduniawi yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan’.

(PANDANGAN TERANG)

33. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan secara internal, atau ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam perasaan, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam perasaan, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam perasaan. [ ]Atau penuh perhatian bahwa “ada perasaan” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan.

(PERENUNGAN PIKIRAN)

34. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran? [ ]Di sini seorang bhikkhu memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai pikiran yang terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai pikiran yang tidak terpengaruh nafsu. Ia memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai pikiran yang terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai pikiran yang tidak terpengaruh kebencian. Ia memahami pikiran yang terpengaruh kebodohan sebagai pikiran yang terpengaruh kebodohan dan pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan sebagai pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan. Ia memahami pikiran yang mengerut sebagai pikiran yang mengerut dan pikiran yang kacau sebagai pikiran yang kacau. Ia memahami pikiran yang luhur sebagai pikiran yang luhur dan pikiran yang tidak luhur sebagai pikiran yang tidak luhur; semoga aku memahami pikiran yang terbatas sebagai pikiran yang terbatas dan pikiran yang tidak terbatas sebagai pikiran yang tidak terbatas. Ia memahami pikiran terkonsentrasi sebagai pikiran terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai pikiran tidak terkonsentrasi. Ia memahami pikiran yang terbebaskan sebagai pikiran yang terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai pikiran yang tidak terbebaskan.

(PANDANGAN TERANG)

35. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran secara internal, atau ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam pikiran, [60] atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam pikiran. [ ]Atau penuh perhatian bahwa “ada pikiran” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran.

(PERENUNGAN OBJEK-OBJEK PIKIRAN)

(1. Lima Rintangan)

36. “Dan bagaimanakah, Para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran? [ ]Di sini seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan lima rintangan. [ ]Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan lima rintangan? Di sini, jika muncul keinginan indria dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Terdapat keinginan indria dalam diriku’; atau jika tidak ada keinginan indria dalam dirinya, ia memahami: ‘Tidak ada keinginan indria dalam diriku’; dan ia juga memahami bagaimana kemunculan keinginan indria yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan keinginan indria yang telah muncul, dan bagaimana ketidakmunculan di masa depan dari keinginan indria yang telah ditinggalkan’.

“Jika terdapat niat buruk dalam dirinya … Jika terdapat kelambanan dan ketumpulan dalam dirinya … Jika terdapat kegelisahan dan penyesalan dalam dirinya … Jika terdapat keragu-raguan dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Terdapat keragu-raguan dalam diriku’; atau jika tidak ada keragu-raguan dalam dirinya, ia memahami: ‘Tidak ada keragu-raguan dalam diriku’; dan ia memahami bagaimana kemunculan keragu-raguan yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan keragu-raguan yang telah muncul, dan bagaimana ketidakmunculan di masa depan dari keragu-raguan yang telah ditinggalkan’.

(PANDANGAN TERANG)

37. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal, atau ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam objek-objek pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam objek-objek pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam objek-objek pikiran. Atau penuh perhatian bahwa “ada objek-objek pikiran” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan kelima rintangan.

(2. Kelima Kelompok Unsur Kehidupan)

38. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran [61] sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan. [ ]Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan? Di sini seorang bhikkhu memahami: ‘Demikianlah bentuk materi, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah persepsi, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah bentukan-bentukan, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah kesadaran, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya’.



« Last Edit: 07 August 2010, 11:15:08 PM by Yi FanG »
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline mitta

  • Teman
  • **
  • Posts: 55
  • Reputasi: 2
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #21 on: 07 August 2010, 11:37:35 PM »
12  Mahāsīhanāda Sutta
Khotbah panjang tentang Auman Singa

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī, di hutan di sebelah barat kota.

2. Pada saat itu, Sunakkhattha, putera Licchavi, baru saja meninggalkan Dhamma dan Disiplin ini. [ ]Ia mengemukakan pernyataan di hadapan pertemuan Vesālī: “Petapa Gotama tidak memiliki kondisi yang melampaui manusia, tidak memiliki keluhuran dalam hal pengetahuan, dan penglihatan selayaknya para mulia.  Petapa Gotama mengajarkan Dhamma [(hanya sekadar)] menggunakan logika, mengikuti jalur pencarian-Nya sendiri saat muncul dalam diri-Nya, dan ketika Beliau mengajarkan Dhamma kepada orang lain, Dhamma itu menuntun-Nya ,jika ia mempraktikkannya, menuju kehancuran total penderitaan.”

"mempraktikkannya" atau "mempraktekkannya" ya?

3. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah, dan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan. Kemudian ia mendengar Sunakkhatta, putera Licchavi, mengemukakan pernyataan di hadapan pertemuan Vesālī. Ketika ia telah menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Sang Bhagavā tentang apa yang dikatakan oleh Sunakkhatta.

4. [Sang Bhagavā berkata:] “Sāriputta, orang sesat Sunakkhatta sedang marah dan kata-katanya diucapkan karena marah. Berpikir untuk mendiskreditkan Sang Tathāgata, ia malah memuji Beliau; [69] karena adalah pujian terhadap Sang Tathāgata dengan mengatakan: ‘Ketika Beliau mengajarkan Dhamma kepada orang lain, Dhamma itu menuntun-Nya, jika ia mempraktikkannya, menuju kehancuran total penderitaan.’

5. “Sāriputta, orang sesat Sunakkhatta tidak akan pernah berpendapat tentang-Ku sesuai dengan Dhamma: ‘Bahwa Sang Bhagavā adalah sempurna, tercerahkan sepenuhnya, sempurna dalam pengetahuan sejati dan perilaku, mulia, pengenal segenap alam, pemimpin yang tanpa bandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’

6. “Dan ia tidak akan pernah berpendapat tentang-Ku sesuai dengan Dhamma: ‘Bahwa Sang Bhagavā menikmati berbagai jenis kekuatan batin: dari satu Beliau menjadi banyak; dari banyak Beliau menjadi satu, Beliau muncul dan lenyap; Beliau bepergian tanpa terhalangi oleh dinding, menembus tembok, menembus gunung seolah-olah menembus ruang kosong; Beliau menyelam masuk dan keluar dari tanah seolah-olah di dalam air; Beliau berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; duduk bersila, Beliau bepergian di angkasa seperti burung; dengan tangan-Nya Beliau menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; Beliau mengerahkan kekuatan jasmani, hingga sejauh alam-Brahma.’

7. “Dan ia tidak akan pernah berpendapat tentang-Ku sesuai dengan Dhamma: ‘Dengan unsur telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, Sang Bhagavā mendengar kedua jenis suara, suara surgawi dan suara manusia, yang jauh maupun dekat.’

8. “Dan ia tidak akan pernah berpendapat tentang-Ku sesuai dengan Dhamma: ‘Bahwa Sang Bhagavā melingkupi pikiran makhluk-makhluk lain, orang-orang lain dengan pikiran-Nya. Beliau memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai tidak terpengaruh nafsu; Beliau memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai tidak terpengaruh kebencian; Beliau memahami pikiran yang terpengaruh kebodohan sebagai terpengaruh kebodohan dan pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan sebagai tidak terpengaruh kebodohan; Beliau memahami pikiran yang mengerut sebagai mengerut dan pikiran yang kacau sebagai kacau; Beliau memahami pikiran luhur sebagai luhur dan pikiran tidak luhur sebagai tidak luhur; Beliau memahami pikiran yang terbatas sebagai terbatas dan pikiran yang tidak terbatas sebagai tidak terbatas; Beliau memahami pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak terkonsentrasi; Beliau memahami pikiran yang terbebaskan sebagai terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan.’

(SEPULUH KEKUATAN SEORANG TATHĀGATA)

9. “Sāriputta, Sang Tathāgata memiliki sepuluh kekuatan ini, yang dengan memilikinya, Beliau diakui sebagai pemimpin kelompok, mengaumkan auman singa dalam kelompok, dan memutar Roda Brahmā.  Apakah sepuluh ini?

10. (1) “Di sini, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya, yang mungkin sebagai yang mungkin dan yang tidak mungkin sebagai yang tidak mungkin.[ ] Dan itu [70] adalah kekuatan seorang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya, Beliau diakui sebagai pemimpin kelompok, mengaumkan auman singa dalam kelompok, dan memutar Roda Brahmā.

11. (2) “Kemudian, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya, akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan yang dilakukamn, di masa lalu, di masa depan, dan di masa sekarang, dengan kemungkinan dan dengan penyebabnya. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata ….

12. (3) “Kemudian, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya, Jalan yang mengarah menuju semua alam tujuan kelahiran kembali. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata ….

13. (4) “Kemudian, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya, dunia dengan banyak unsur yang berbeda-beda. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata ….

14. (5) “Kemudian, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya, Bbagaimana makhluk-makhluk memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata ….

15. (6) “Kemudian, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya, watak dari indria makhluk-makhluk lain, orang-orang lain. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata ….

16. (7) “Kemudian, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya, kekotoran, pemurnian, dan kemunculan sehubungan dengan jhāna, kebebasan, konsentrasim, dan pencapaian. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata ….

17. (8) “Kemudian, Sang Tathāgata Mmengingat banyak kehidupan lampaunya, yaitu,: satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 4, §27) … Demikianlah beserta aspek dan ciri-cirinya, Beliau mengingat banyak kehidupan lampau. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata ….

18. (9) “Kemudian, Ddengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Sang Tathāgata melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, beruntung dan tidak beruntung … (seperti Sutta 4, §29) … [71] … dan Beliau memahami, bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata ….

19. (10) “Kemudian, dengan menembusnya bagi diri-Nya sendiri dengan pengetahuan langsung, Sang Tathāgata, di sini dan saat ini, masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya, Beliau diakui sebagai pemimpin kelompok, mengaumkan auman singa dalam kelompok, dan memutar Roda Brahmā.

20. “Sang Tathāgata memiliki sepuluh kekuatan ini, yang dengan memilikinya, Beliau diakui sebagai pemimpin kelompok, mengaumkan auman singa dalam kelompok, dan memutar Roda Brahmā.

21. “Sāriputta, ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, jika siapapun juga mengatakan tentang-Ku: ‘Petapa Gotama tidak memiliki kondisi yang melampaui manusia, tidak memiliki keluhuran dalam hal pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Petapa Gotama mengajarkan Dhamma [(hanya sekadar)] menggunakan logika, mengikuti jalur pencarian-Nya sendiri saat muncul dalam diri-Nya’ jika ia tidak meninggalkan  pernyataan itu dan kondisi pikiran itu, dan melepaskan pandangan itu, maka [(seolah-olah)] ia dibawa dan diletakkan di sana, ia pasti akan berakhir di neraka.  Bagaikan seorang bhikkhu yang memiliki moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan, akan menikmati pengetahuan akhir, di sini dan saat ini, demikian pula akan terjadi dalam kasus ini, Aku katakan, bahwa jika ia tidak meninggalkan [ ]pernyataan itu dan kondisi pikiran itu, dan melepaskan pandangan itu, maka [(seolah-olah)] ia dibawa dan diletakkan di sana, ia pasti akan berakhir di neraka.

(EMPAT JENIS KEBERANIAN)

22. “Sāriputta, Sang Tathāgata memiliki empat jenis keberanian ini, yang dengan memilikinya, Beliau diakui sebagai pemimpin kelompok, mengaumkan auman singa dalam kelompok, dan memutar Roda Brahmā. Apakah empat ini?

23. “Di sini, Aku tidak melihat dasar, yang dengannya petapa atau brahmana atau dewa atau Māra atau Brahmāmana atau siapapun juga di dunia ini mampu, sesuai dengan Dhamma, menuduh-Ku sebagai berikut: ‘Walaupun Engkau mengaku telah mencapai Pencerahan Sempurna, namun Engkau tidak tercerahkan sempurna sehubungan dengan hal-hal tertentu.’ [72] Dan melihat tidak ada dasar untuk itu, Aku berdiam dengan aman, tanpa ketakutan, dan dengan berani.

24. “Aku tidak melihat dasar, yang dengannya petapa … atau siapapun juga dapat menuduh-Ku sebagai berikut: ‘Walaupun Engkau mengaku telah menghancurkan noda-noda, namun noda-noda ini belum Engkau hancurkan.’ Dan melihat tidak ada dasar untuk itu, Aku berdiam dengan aman, tanpa ketakutan, dan dengan berani.

25. “Aku tidak melihat dasar, yang dengannya petapa … atau siapapun juga dapat menuduh-Ku sebagai berikut: ‘Hal-hal yang Engkau sebut sebagai rintangan, tidak mampu menghalangi seseorang yang menikmatinya.’ Dan melihat tidak ada dasar untuk itu, Aku berdiam dengan aman, tanpa ketakutan, dan dengan berani.

26. “Aku tidak melihat dasar, yang dengannya petapa … atau siapapun juga dapat menuduh-Ku sebagai berikut: ‘Ketika Engkau mengajarkan Dhamma kepada seseorang, Dhamma itu tidak menuntunnya pada kehancuran total penderitaan jika ia mempraktikkannya.’ Dan melihat tidak ada dasar untuk itu, Aku berdiam dengan aman, tanpa ketakutan, dan dengan berani.

27. “Seorang Tathāgata memiliki empat jenis keberanian ini, yang dengan memilikinya, Beliau diakui sebagai pemimpin kelompok, mengaumkan auman singa dalam kelompok, dan memutar Roda Brahmā.

28. “Sāriputta, ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, jika siapapun juga mengatakan tentang-Ku … ia pasti akan berakhir di neraka.

(DELAPAN KELOMPOK)

29. “Sāriputta, terdapat delapan kelompok ini. Apakah delapan ini? Kelompok para mulia, kelompok para brahmana, kelompok para perumah tangga, kelompok para petapa, kelompok para dewa di alam surga Empat Raja Dewa, kelompok para dewa di alam surga Tiga Puluh Tiga, kelompok para pengikut Māra, kelompok para Brahmā. Dengan memiliki empat jenis keberanian ini, Sang Tathāgata mendekati dan memasuki delapan kelompok ini.

30. “Aku ingat pernah mendekati ratusan kelompok para mulia … ratusan kelompok para brahmana … ratusan kelompok para perumah tangga … ratusan kelompok para petapa … ratusan kelompok para dewa di alam surga Empat Raja Dewa … ratusan kelompok para dewa di alam surga Tiga Puluh Tiga, … ratusan kelompok para pengikut Māra … ratusan  kelompok para Brahmā. Dan Aku pernah duduk bersama mereka di sana dan berbicara dengan mereka dan berbincang-bincang dengan mereka, namun Aku melihat tidak ada dasar untuk berpikir bahwa, ketakutan atau rasa segan akan menghampiri-Ku. Dan melihat tidak adanya dasar untuk itu, Aku berdiam dengan aman, tanpa ketakuntan, dan dengan berani. [73]

31. “Sariputta, ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, jika siapapun juga mengatakan tentang-Ku … ia pasti akan berakhir di neraka.

(EMPAT JENIS GENERASI)

32. “Sāriputta, terdapat empat jenis generasi ini. Apakah empat ini? Generasi yang terlahir dari telur, generasi yang terlahir dari rahim, generasi yang terlahir dari kelembaban, dan generasi yang terlahir spontan.

33. “Apakah generasi yang terlahir dari telur? Terdapat makhluk-makhluk ini yang terlahir dengan memecahkan cangkang sebutir telur:; ini disebut generasi yang terlahir dari telur. Apakah generasi yang terlahir dari rahim? Terdapat makhluk-makhluk ini yang terlahir dengan memecahkan selaput pembungkus janin:; ini disebut generasi yang terlahir dari rahim. Apakah generasi yang terlahir dari kelembaban? Terdapat makhluk-makhluk ini yang terlahir di dalam  ikan busuk, di dalam mayat busuk, di dalam bubur busuk, di dalam lubang kakus, atau di dalam saluran air:; ini disebut generasi yang terlahir dari kelembaban. Apakah generasi yang terlahir spontan? Terdapat para dewa dan para penghuni neraka dan manusia-manusia tertentu dan beberapa makhluk di alam rendah:; ini disebut generasi yang terlahir spontan. Ini adalah empat jenis generasi.

34. “Sariputta, ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, jika siapapun juga mengatakan tentang-Ku … ia pasti akan berakhir di neraka.

« Last Edit: 07 August 2010, 11:48:58 PM by mitta »

Offline mitta

  • Teman
  • **
  • Posts: 55
  • Reputasi: 2
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #22 on: 07 August 2010, 11:40:02 PM »
Quote

(LIMA ALAM TUJUAN KELAHIRAN DAN NIBBĀNA)

35. “Sāriputta, terdapat lima alam tujuan kelahiran ini. Apakah lima ini? Neraka, alam binatang, alam hantu, alam manusia, dan dewa.

36. (1) “Aku memahami neraka, dan jalan dan cara yang mengarah menuju neraka. Dan Aku juga memahami, bagaimana seseorang yang telah memasuki jalan ini akan, setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam rendah, dalam kesengsaraan, dalam neraka.

(2) “Aku memahami alam binatang, dan jalan dan cara yang mengarah menuju alam binatang. Dan Aku juga memahami, bagaimana seseorang yang telah memasuki jalan ini akan, setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam binatang.

(3) “Aku memahami alam hantu, dan jalan dan cara yang mengarah menuju alam hantu. Dan Aku juga memahami, bagaimana seseorang yang telah memasuki jalan ini akan, setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam hantu.
 
(4) “Aku memahami alam manusia, dan jalan dan cara yang mengarah menuju alam manusia. Dan Aku juga memahami, bagaimana seseorang yang telah memasuki jalan ini akan, setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di antara manusia.

(5) “Aku memahami alam dewa, dan jalan dan cara yang mengarah menuju alam dewa. Dan Aku juga memahami, bagaimana seseorang yang telah memasuki jalan ini akan, setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam bahagia, di alam surga.

(6) “Aku memahami Nibbāna, dan jalan dan cara yang mengarah menuju NIbbāna. [74] Dan Aku juga memahami, bagaimana seseorang yang telah memasuki jalan ini akan, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini, masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda

37. (1) “Dengan melingkupi pikiran dengan pikiran, Aku memahami orang tertentu sebagai berikut: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini, sehingga setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam tujuan yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, di neraka.’ Dan kemudian setelah itu, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat bahwa setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam tujuan yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, di neraka, dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, dan menusuk yang luar biasa. Misalkan, terdapat sebuah lubang membara, yang lebih dalam daripada tinggi manusia, yang penuh dengan arang membara tanpa api atau asap; dan kemudian seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang melalui jalan satu arah yang mengarah menuju lubang membara tersebut. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik, ketika melihatnya akan berkata: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini sehingga ia akan sampai ke lubang membara ini’; dan kemudian setelah itu, ia melihat bahwa, orang itu terjatuh ke dalam lubang membara itu dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, dan menusuk yang luar biasa. Demikian pula, dengan melingkupi pikiran dengan pikiran … perasaan menusuk.

38. (2) “Dengan melingkupi pikiran dengan pikiran, Aku memahami orang tertentu sebagai berikut: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini, sehingga setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di alam binatang.’ Dan kemudian setelah itu, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat bahwa setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam binatang, dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, dan menusuk yang luar biasa. Misalkan, terdapat sebuah lubang kakus, yang lebih dalam daripada tinggi manusia, yang penuh dengan kotoran; dan kemudian seseorang [75] yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang melalui jalan satu arah yang mengarah menuju lubang kakus tersebut. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik, ketika melihatnya akan berkata: ‘Orang ini berkelakuan begini … sehingga ia akan sampai ke lubang kakus ini’; dan kemudian setelah itu, ia melihat bahwa, orang itu terjatuh ke dalam lubang kakus itu dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, dan menusuk yang luar biasa. Demikian pula, dengan melingkupi pikiran dengan pikiran … perasaan menusuk.

39. (3) “Dengan melingkupi pikiran dengan pikiran, Aku memahami orang tertentu sebagai berikut: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini, sehingga setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di alam hantu.’ Dan kemudian setelah itu … Aku melihat bahwa … ia muncul kembali di alam hantu, dan mengalami perasaan yang sangat menyakitkan. Misalkan terdapat sebatang pohon yang tumbuh di atas tanah yang tidak datar, dengan sedikit dedaunan, yang menghasilkan bayangan yang tidak penuh; dan kemudian seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang melalui jalan satu arah yang mengarah menuju pohon tersebut. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik, ketika melihatnya akan berkata: ‘Orang ini berkelakuan begini … sehingga ia akan sampai ke pohon ini’; dan kemudian setelah itu, ia melihat bahwa, orang itu duduk atau berbaring dalam bayangan pohon itu dan mengalami perasaan yang sangat menyakitkan. Demikian pula, dengan melingkupi pikiran dengan pikiran … perasaan yang sangat menyakitkan.


cmiiw

« Last Edit: 07 August 2010, 11:50:08 PM by mitta »

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #23 on: 07 August 2010, 11:57:27 PM »
ko hendra, nafas yg btul napas toh.. tar tlg di find & replace aja ya..
nafas => napas, pernafasan => pernapasan. thx..
  ;D
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline mitta

  • Teman
  • **
  • Posts: 55
  • Reputasi: 2
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #24 on: 08 August 2010, 12:39:13 AM »

40. (4) “Dengan melingkupi pikiran dengan pikiran, Aku memahami orang tertentu sebagai berikut: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini, sehingga setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di antara manusia.’ Dan kemudian setelah itu … Aku melihat bahwa … ia muncul kembali di antara manusia, dan mengalami perasaan yang sangat menyenangkan. Misalkan, terdapat sebatang pohon yang tumbuh di atas tanah datar, dengan dedaunan yang lebat, menghasilkan bayangan yang penuh; dan kemudian seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang melalui jalan satu arah yang mengarah menuju pohon tersebut. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik, ketika melihatnya akan berkata: ‘Orang ini berkelakuan begini … sehingga ia akan sampai ke pohon ini’; dan kemudian setelah itu, ia melihat bahwa orang itu duduk atau berbaring dalam bayangan pohon itu dan mengalami perasaan yang sangat menyenangkan. Demikian pula, dengan melingkupi pikiran dengan pikiran … perasaan yang sangat menyenangkan. [76]

41. (5) “Dengan melingkupi pikiran dengan pikiran, Aku memahami orang tertentu sebagai berikut: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini, sehingga setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di alam tujuan yang bahagia, di alam surga.’ Dan kemudian setelah itu … Aku melihat bahwa … ia muncul kembali di alam tujuan yang bahagia, di alam surga, dan mengalami perasaan yang sangat menyenangkan. Misalkan, terdapat sebuah istana, dan istana itu memiliki kamar atas yang di-plester bagian luar dan dalamnya, terkunci, diperkokoh dengan teralis, dengan jendela tertutup, dan di dalamnya terdapat sebuah dipan berlapiskan permadani, selimut dan alas dipan, dengan penutup dipan dari kulit rusa, lengkap dengan kanopi serta bantal merah di kedua ujungnya [kepala dan kaki]; dan kemudian seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang melalui jalan satu arah yang mengarah menuju istana tersebut. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik, ketika melihatnya akan berkata: ‘Orang ini berkelakuan begini … sehingga ia akan sampai ke istana ini’; dan kemudian setelah itu, ia melihat bahwa orang itu duduk atau berbaring di dalam kamar atas di dalam istana itu, mengalami perasaan yang sangat menyenangkan. Demikian pula, dengan melingkupi pikiran dengan pikiran … perasaan yang sangat menyenangkan.

42. (6) “Dengan melingkupi pikiran dengan pikiran, Aku memahami orang tertentu sebagai berikut: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini, sehingga dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini, masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.’ Dan kemudian setelah itu, Aku melihat bahwa, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, ia di sini dan saat ini, masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda, dan mengalami perasaan yang sangat menyenangkan.  Misalkan, terdapat sebuah kolam, dengan air yang jernih, sejuk menyenangkan, bening, dengan tepian yang landai, indah, dan dekat dengan hutan; dan kemudian seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang melalui jalan satu arah yang mengarah menuju kolam tersebut. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik, ketika melihatnya akan berkata: ‘Orang ini berkelakuan begini … sehingga ia akan sampai ke kolam ini’; dan kemudian setelah itu, ia melihat bahwa orang itu telah masuk ke dalam kolam, mandi, minum, dan melepaskan segala kepenatan, kelelahan, dan telah keluar lagi dan sedang duduk atau berbaring di dalam hutan [77] mengalami perasaan yang sangat menyenangkan. Demikian pula, dengan melingkupi pikiran dengan pikiran … perasaan yang sangat menyenangkan. Ini adalah lima alam tujuan kelahiran.

43. “Sāriputta, ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, jika siapapun juga mengatakan tentang-Ku: ‘Petapa Gotama tidak memiliki kondisi yang melampaui manusia, tidak memiliki keluhuran dalam hal pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Petapa Gotama mengajarkan Dhamma [hanya sekadar] menggunakan logika, mengikuti jalur pencarian-Nya sendiri saat muncul dalam diri-Nya’ – jika ia tidak meninggalkan  pernyataan itu dan kondisi pikiran itu dan melepaskan pandangan itu, maka [seolah-olah] ia dibawa dan diletakkan di sana, ia pasti akan berakhir di neraka. Bagaikan seorang bhikkhu yang memiliki moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan akan menikmati pengetahuan akhir di sini dan saat ini, demikian pula akan terjadi dalam kasus ini, Aku katakan, bahwa jika ia tidak meninggalkan [ ]pernyataan itu dan kondisi pikiran itu dan melepaskan pandangan itu, maka [seolah-olah] ia dibawa dan diletakkan di sana, ia pasti akan berakhir di neraka.

(PRAKTIK KERAS SANG BODHISATTA)

44.  “Sāriputta, Aku ingat telah menjalani kehidupan suci yang memiliki empat faktor. Aku telah mempraktikkan pertapaan – pertapaan sangat keras; Aku telah mempraktikkan kekasaran – sangat kasar; Aku telah mempraktikkan kehati-hatian – sangat hati-hati; Aku telah mempraktikkan keterasingan – sangat terasing.

45. “Beginilah pertapaan-Ku, Sāriputta, bahwa Aku bepergian dengan telanjang, menolak kebiasaan-kebiasaan, menjilat tangan-Ku, tidak datang ketika dipanggil, tidak berhenti ketika diminta; Aku tidak menerima makanan yang dibawa atau makanan yang secara khusus dipersiapkan atau suatu undangan makan; Aku tidak menerima dari kendi, dari mangkuk, melintasi ambang pintu, terhalang tongkat kayu, terhalang alat penumbuk, dari dua orang yang sedang makan bersama, dari perempuan hamil, dari perempuan yang sedang menyusui, dari perempuan yang sedang berbaring bersama laki-laki, dari mana terdapat pengumuman pembagian makanan, dari mana seekor anjing sedang menunggu, dari mana lalat beterbangan; Aku tidak menerima ikan atau daging, Aku tidak meminum minuman keras, anggur, atau minuman fermentasi. Aku mendatangi satu rumah, satu suap; aku mendatangi dua [78] rumah, dua suap; … Aku mendatangi tujuh rumah, tujuh suap. Aku makan satu mangkuk sehari, dua mangkuk sehari … tujuh mangkuk sehari; Aku makan sekali dalam sehari, sekali dalam  dua hari … sekali dalam tujuh hari, dan seterusnya hingga sekali setiap dua minggu; aku berdiam menjalani praktik makan pada interval waktu yang telah ditentukan. Aku adalah pemakan sayur-sayuran dan padi-padian atau beras kasar atau kulit kupasan buah atau lumut atau kulit padi atau sekam atau tepung wijen atau rumput atau kotoran sapi. Aku hidup dari akar-akaran dan buah-buahan di hutan; Aku memakan buah-buahan yang jatuh. Aku mengenakan pakaian terbuat dari rami, dari rami dan kain, dari kain pembungkus mayat, dari selimut yang dibuang, dari kulit pohon, dari kulit rusa, dari cabikan kulit rusa, dari kain rumput kusa, dari kain kulit kayu, dari kain serutan kayu, dari kain rambut, dari kain bulu binatang, dari bulu sayap burung hantu. Aku adalah seorang yang mencabut rambut dan janggut, menjalani praktik mencabut rambut dan janggut. Aku adalah seorang yang berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk. Aku adalah seorang yang berjongkok terus-menerus, senantiasa mempertahankan posisi jongkok. Aku adalah seorang yang menggunakan alas tidur paku; Aku menjadikan alas tidur paku sebagai tempat tidur-Ku. Aku berdiam dengan menjalani praktik mandi tiga kali sehari termasuk malam hari. Demikianlah dalam berbagai cara, Aku berdiam dengan menjalani praktik menyiksa dan menghukum diri. Demikianlah pertapaan-Ku.

46. “Beginilah kekasaran-Ku, Sāriputta, bagaikan batang pohon Tindukā, yang terkumpul selama bertahun-tahun, menempel dan mengelupas, demikian pula, debu dan daki, yang terkumpul selama bertahun-tahun, menempel di tubuh-Ku dan mengelupas. Tidak pernah terpikir olehKu: ‘Oh, Aku akan menggosok debu dan daki ini dengan tangan-Ku, atau membiarkan orang lain menggosok debu dan daki ini dengan tangannya’ – tidak pernah terpikirkan oleh-Ku demikian. Demikianlah kekasaran-Ku.

47. “Beginilah kehati-hatian-Ku, Sāriputta, bahwa Aku senantiasa penuh perhatian dalam melangkah maju dan melangkah mundur. Aku selalu berbelas kasihan bahkan pada [makhluk-makhluk] dalam setetes air sebagai berikut: ‘Semoga Aku tidak menyakiti makhluk-makhluk kecil dalam celah tanah ini.’  Demikianlah kehati-hatian-Ku.

48. “Beginilah keterasingan-Ku, Sāriputta, bahwa [79] Aku akan memasuki hutan dan berdiam di sana. Dan ketika Aku melihat seorang penggembala sapi atau seorang penggembala domba atau seseorang yang sedang mengumpulkan rumput atau kayu, atau seorang pekerja hutan, Aku akan pergi dari hutan ke hutan, dari belantara ke belantara, dari lembah ke lembah, dari bukit ke bukit. Mengapakah? Agar mereka tidak melihat-Ku atau agar Aku tidak melihat mereka. Bagaikan seekor rusa yang lahir di dalam hutan, ketika melihat manusia, akan lari dari hutan ke hutan, dari belantara ke belantara, dari lembah ke lembah, dari bukit ke bukit, demikian pula, ketika Aku melihat seorang penggembala sapi atau seorang penggembala domba … Demikianlah keterasingan-Ku.

49. “Aku akan bepergian dengan keempat tangan dan kaki-Ku menuju kandang sapi ketika sapi-sapi telah pergi dan si penggembala meninggalkannya, dan Aku akan memakan kotoran sapi-sapi muda. Selama kotoran dan air kencing-Ku masih ada, Aku akan memakan kotoran dan air kencing-Ku sendiri. Demikianlah praktik keras-Ku dalam hal memakan kotoran.

cmiiw

Offline mitta

  • Teman
  • **
  • Posts: 55
  • Reputasi: 2
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #25 on: 08 August 2010, 12:40:56 AM »
Quote
50.  “Aku akan pergi ke hutan-hutan yang menakutkan dan berdiam di sana hutan yang begitu menakutkan sehingga umumnya akan membuat seseorang merinding jika ia tidak terbebas dari nafsu. Pada malam-malam musim dingin selama ‘delapan hari interval beku,’ Aku akan berdiam di ruang terbuka dan siang harinya di dalam hutan.  Dalam bulan terakhir musim panas Aku akan berdiam di ruang terbuka pada siang hari dan di dalam hutan pada malam hari. Dan di sana secara spontan muncul dalam diri-Ku syair ini yang belum pernah terdengar sebelumnya:

   ‘Kedinginan di malam hari dan terpanggang di siang hari,
   Sendirian di dalam hutan yang menakutkan,
   Telanjang, tidak ada api untuk duduk di dekatnya,
   Namun Sang Petapa tetap melanjutkan pencariannya.’

51. “Aku membuat tempat tidur di tanah pekuburan dengan tulang-belulang orang mati sebagai bantal. Dan anak-anak penggembala datang dan meludahi-Ku, mengencingi-Ku, melemparkan tanah kepada-Ku, dan menusukkan kayu ke dalam telinga-Ku. Namun Aku tidak ingat, bahwa Aku pernah membangkitkan pikiran jahat [kebencian] terhadap mereka. Demikianlah kediaman-Ku dalam keseimbangan. [80]

52.  “Sāriputta, ada petapa dan brahmana tertentu, yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui makanan.’  Mereka mengatakan: ‘Ayo kita hidup dari memakan buah kola,’ dan mereka memakan buah kola, mereka memakan tepung kola, mereka meminum air buah kola, dan mereka membuat berbagai jenis ramuan buah kola. Sekarang Aku ingat pernah memakan satu buah kola sehari. Sāriputta, engkau mungkin berpikir bahwa buah kola pada masa itu lebih besar, namun engkau tidak boleh menganggapnya demikian; buah kola pada masa itu berukuran sama seperti sekarang. Karena memakan satu buah kola sehari, tubuh-Ku menjadi sangat kurus. Karena makan begitu sedikit, anggota-anggota tubuh-Ku menjadi seperti tanaman merambat atau batang bambu. Karena makan begitu sedikit, punggung-Ku menjadi seperti kuku unta. Karena makan begitu sedikit, tonjolan tulang punggung-Ku menonjol bagaikan untaian tasbih. Karena makan begitu sedikit, tulang rusuk-Ku menonjol karena kurus seperti kasau dari sebuah lumbung tanpa atap. Karena makan begitu sedikit, bola mata-Ku masuk jauh ke dalam lubang mata, terlihat seperti kilauan air yang jauh di dalam sumur yang dalam. Karena makan begitu sedikit, kulit kepala-Ku mengerut dan layu bagaikan buah labu pahit yang mengerut dan layu oleh angin dan matahari. Karena makan begitu sedikit, kulit perut-Ku menempel pada tulang punggung-Ku; sedemikian sehingga, jika Aku menyentuh kulit perut-Ku maka akan tersentuh tulang punggung-Ku, dan jika Aku menyentuh tulang punggung-Ku maka akan tersentuh kulit perut-Ku. Karena makan begitu sedikit, jika Aku mencoba menyamankan diri-Ku dengan memijat badan-Ku dengan tangan-Ku, maka bulunya, tercabut pada akarnya, berguguran dari badan-Ku ketika Aku menggosoknya.

53-55. “Sāriputta, ada petapa dan brahmana tertentu, yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui makanan.’ Mereka mengatakan: ‘Ayo kita hidup dari memakan kacang,’ ... ‘Ayo kita hidup dari memakan wijen,’ ... ‘Ayo kita hidup dari memakan nasi,’ dan mereka memakan nasi, mereka memakan tepung beras, [81] mereka meminum air beras, dan mereka membuat berbagai jenis ramuan beras. Sekarang Aku ingat pernah memakan satu butir nasi sehari. Sāriputta, engkau mungkin berpikir bahwa butiran beras pada masa itu lebih besar, namun engkau tidak boleh menganggapnya demikian; butiran beras pada masa itu berukuran sama seperti sekarang. Karena memakan satu butir nasi sehari, tubuh-Ku menjadi sangat kurus. Karena makan begitu sedikit ... maka bulunya, tercabut pada akarnya, berguguran dari badan-Ku ketika Aku menggosoknya.

56. “Akan tetapi, Sāriputta, dengan melakukan demikian, dengan praktik demikian, dengan melakukan pertapaan keras demikian, Aku tidak mencapai kondisi yang melampaui manusia, keluhuran dalam pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Mengapakah? Karena Aku belum mencapai kebijaksanaan mulia yang ketika tercapai, maka menjadi mulia dan membebaskan dan menuntun seseorang yang mempraktikkannya menuju kehancuran total penderitaan.

57. “Ada petapa dan brahmana tertentu, yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui lingkaran kelahiran kembali.’ Tetapi tidaklah mudah menemukan alam dalam lingkaran ini, di mana Aku belum pernah [82] melaluinya dalam perjalanan yang panjang ini, kecuali sebagai para dewa di Alam Murni; dan jika Aku terlahir kembali sebagai dewa di Alam Murni, maka Aku tidak akan kembali di dunia ini.

58. “Ada petapa dan brahmana tertentu, yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui [beberapa jenis] kelahiran tertentu.’ Tetapi adalah tidak mungkin menemukan jenis kelahiran kembali, yang mana Aku belum pernah terlahirkan kembali dalam perjalanan yang panjang ini, kecuali sebagai para dewa di Alam Murni ....

59. “Ada petapa dan brahmana tertentu, yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui [beberapa jenis] alam kehidupan tertentu.’ Tetapi adalah tidak mungkin menemukan jenis alam, di mana Aku belum pernah berdiam di dalamnya ... kecuali sebagai para dewa di alam murni ....

60. “Ada petapa dan brahmana tertentu, yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui pengorbanan.’ Tetapi adalah tidak mungkin menemukan jenis pengorbanan, yang belum pernah Kupersembahkan dalam perjalanan yang panjang ini, ketika aku menjadi seorang raja mulia atau seorang brahmana yang makmur.

61. “Ada petapa dan brahmana tertentu, yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Pemurnian muncul melalui pemujaan api.’ Tetapi adalah tidak mungkin menemukan jenis api, yang belum pernah Kusembah dalam perjalanan yang panjang ini, ketika aku menjadi seorang raja mulia atau seorang brahmana yang makmur.

62. “Sāriputta, ada petapa dan brahmana tertentu, yang doktrin dan pandangannya seperti ini: ‘Selama orang baik ini masih muda, seorang pemuda berambut hitam dengan berkah kemudaannya, dalam tahap utama kehidupannya, maka selama itu ia sempurna dalam kebijaksanaan cerahnya. Tetapi ketika orang baik ini tua, berusia lanjut, terbebani tahun demi tahun, jompo, dan sampai pada tahap akhir, berumur delapan puluh, Ssembilan puluh, atau seratus tahun, maka kecemerlangan kebijaksanaannya hilang.’ Tetapi jangan beranggapan demikian. Aku sekarang sudah tua, berusia lanjut, terbebani tahun demi tahun, jompo, dan sampai pada tahap akhir: umurku sudah delapan puluh tahun. Misalkan Aku memiliki empat siswa dengan umur kehidupan seratus tahun, sempurna dalam perhatian, daya ingat, ingatan, dan kebijaksanaan cemerlang.  Bagaikan seorang pemanah terampil, terpelajar, terlatih, dan teruji, mampu dengan mudah menembakkan anak panah menembus bayangan sebatang pohon palem, misalkan mereka sempurna dalam perhatian, memiliki daya ingat yang kuat, [83] dan kebijaksanaan cemerlang. Misalkan mereka terus-menerus menanyakan kepada-Ku tentang Empat Landasan Perhatian dan Aku menjawab mereka ketika ditanya dan bahwa mereka mengingat semua jawaban-Ku dan tidak pernah mengajukan pertanyaan lanjutan atau berhenti bertanya kecuali untuk makan, minum, mengunyah, mengecap, buang air, dan beristirahat untuk menghilangkan kantuk dan keletihan. Namun selagi pembabaran Dhamma oleh Sang Tathāgata, penjelasan-Nya tentang faktor-faktor Dhamma, dan jawaban-Nya atas pertanyaan-pertanyaan itu masih belum berakhir, tetapi sementara itu keempat siswa-Ku yang memiliki umur kehidupan seratus tahun akan meninggal dunia di akhir seratus tahun itu. Sāriputta, bahkan jika engkau harus membawaku pergi ke mana-mana di atas tempat tidur, namun tidak akan ada perubahan dalam kecerahan kebijaksanaan Sang Tathāgata.

63. “Berbicara benar, jika dikatakan tentang seseorang: ‘Suatu makhluk yang tidak tunduk pada kebodohan telah muncul di dunia ini demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, dan demi kebahagiaan para dewa dan manusia,’ Adalah pada-Ku ucapan benar itu seharusnya ditujukan."

64. Pada saat itu Yang Mulia Nāgasamāla sedang berdiri di belakang Sang Bhagavā mengipasi Beliau.  Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Sungguh mengagumkan, Yang Mulia, sungguh menakjubkan! Sewaktu aku mendengarkan khotbah Dhamma ini, bulu badanku berdiri. Yang Mulia, apakah nama dari khotbah Dhamma ini?”

“Sehubungan dengan hal ini, engkau boleh mengingat khotbah Dhamma ini sebagai: ‘Khotbah yang menegakkan bulu badan.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Nāgasamāla merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
cmiiw

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #26 on: 08 August 2010, 12:46:48 AM »
sambungan 10  Satipaṭṭhāna Sutta

39. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan.

(3. Enam Landasan)

40. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan enam landasan internal dan eksternal. [ ]Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan enam landasan internal dan eksternal? Di sini seorang bhikkhu memahami mata, ia memahami bentuk-bentuk, dan ia memahami belenggu-belenggu yang muncul dengan bergantung pada keduanya; dan ia juga memahami bagaimana munculnya belenggu yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan belenggu yang telah muncul, dan bagaimana ketidakmunculan di masa depan dari belenggu yang telah ditinggalkan.

“Ia memahami telinga, ia memahami suara-suara … Ia memahami hidung,m ia memahami bau-bauan … Ia memahami lidah, ia memahami rasa kecapan … Ia memahami badan, ia memahami objek-objek sentuhan … Ia memahami pikiran, ia memahami objek-objek pikiran, dan ia memahami belenggu-belenggu yang muncul dengan bergantung pada keduanya; dan ia juga memahami bagaimana munculnya belenggu yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan belenggu yang telah muncul, dan bagaimana ketidakmunculan di masa depan dari belenggu yang telah ditinggalkan.

41. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan enam landasan indria internal dan eksternal.

(4. Tujuh Faktor Pencerahan)

42. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan ketujuh faktor pencerahan. [ ]Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan ketujuh faktor pencerahan? Di sini, jika ada faktor pencerahan perhatian dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Ada faktor pencerahan perhatian dalam diriku’; atau jika tidak ada faktor pencerahan perhatian dalam dirinya, ia memahami: [62] ‘Tidak ada faktor pencerahan perhatian dalam diriku’; dan ia juga memahami bagaimana munculnya faktor pencerahan perhatian yang belum muncul, dan bagaimana faktor pencerahan perhatian terpenuhi melalui pengembangan.

“Jika ada faktor pencerahan penyelidikan-kondisi-kondisi dalam dirinya  … Jika ada faktor pencerahan kegigihan dalam dirinya … Jika ada faktor pencerahan kegembiraan dalam dirinya … Jika ada faktor pencerahan ketenangan dalam dirinya … Jika ada faktor pencerahan konsentrasi dalam dirinya … Jika ada faktor pencerahan keseimbangan dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Ada faktor pencerahan keseimbangan dalam diriku’; atau jika tidak ada faktor pencerahan keseimbangan dalam dirinya, ia memahami: ‘Tidak ada faktor pencerahan keseimbangan dalam diriku’; dan ia juga memahami bagaimana munculnya faktor pencerahan keseimbangan yang belum muncul, dan bagaimana faktor pencerahan keseimbangan terpenuhi melalui pengembangan.

43. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan ketujuh faktor pencerahan.

(5. Empat Kebenaran Mulia)

44. “Kemudian, Para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia. [ ]Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia? Di sini seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan’.

(PANDANGAN TERANG)

45. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal, atau ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya objek-objek pikiran dalam objek-objek pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya objek-objek pikiran dalam objek-objek pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya objek-objek pikiran dalam objek-objek pikiran. Atau penuh perhatian bahwa “ada objek-objek pikiran” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia.

(PENUTUP)

46. “Para bhikkhu, jika siapa pun juga mengembangkan keempat landasan perhatian ini dengan cara demikian selama tujuh tahun, maka satu dari dua buah dapat diharapkan untuknya: pengetahuan akhir di sini dan saat ini, atau jika masih ada kemelekatan yang tersisa, tidak-kembali-lagi.

“Jangankan tujuh tahun, Para bhikkhu. [63] Jika siapa pun juga mengembangkan keempat landasan perhatian ini dengan cara demikian selama enam tahun … selama lima tahun … selama empat tahun …[ ]selama tiga tahun … selama dua tahun … selama satu tahun, maka satu dari dua buah dapat diharapkan untuknya: pengetahuan akhir di sini dan saat ini, atau jika masih ada kemelekatan yang tersisa, tidak-kembali-lagi.

“Jangankan satu tahun, Para bhikkhu. Jika siapa pun juga mengembangkan keempat landasan perhatian ini dengan cara demikian selama tujuh bulan … selama enam bulan … selama lima bulan … selama empat bulan …[ ]selama tiga bulan … selama dua bulan … selama satu bulan … selama setengah bulan, maka satu dari dua buah dapat diharapkan untuknya: pengetahuan akhir di sini dan saat ini, atau jika masih ada kemelekatan yang tersisa, tidak-kembali-lagi.

“Jangankan setengah bulan, Para bhikkhu. Jika siapa pun juga mengembangkan keempat landasan perhatian ini dengan cara demikian selama tujuh hari, maka satu dari dua buah dapat diharapkan untuknya: pengetahuan akhir di sini dan saat ini, atau jika masih ada kemelekatan yang tersisa, tidak-kembali-lagi.

47. “Adalah dengan merujuk pada hal inilah maka dikatakan: ‘Para bhikkhu, ini adalah jalan langsung untuk pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, untuk lenyapnya kesakitan dan kesedihan, untuk pencapaian jalan sejati, untuk penembusan Nibbānayaitu, empat landasan perhatian’.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengarkan kata-kata Sang Bhagavā.

Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #27 on: 08 August 2010, 10:29:17 PM »
11  Cūḷasīhanāda Sutta
Khotbah Pendek tentang Auman Singa

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.”“Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, hanya di sini terdapat seorang petapa, hanya di sini terdapat petapa ke dua, hanya di sini terdapat petapa ke tiga, hanya di sini terdapat petapa ke empat. Doktrin-doktrin dari yang lain adalah kosong [64] dari petapa: itu adalah bagaimana kalian dapat dengan benar mengaumkan auman singa kalian.

3. “Adalah mungkin, Para bhikkhu, bahwa para pengembara sekte lain menanyakan: ‘Tetapi atas kekuatan [argumen] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah Yang Mulia berkata demikian’? Para petapa sekte lain yang bertanya demikian dapat dijawab dengan cara ini: ‘Teman, empat hal telah dinyatakan kepada kami oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna; setelah melihat hal ini dalam diri kami, kami mengatakan: “Hanya di sini terdapat seorang petapa, hanya di sini terdapat petapa ke dua, hanya di sini terdapat petapa ke tiga, hanya di sini terdapat petapa ke empat. Doktrin-doktrin dari yang lain adalah kosong dari petapa.” Apakah empat ini? Kami memiliki keyakinan pada Sang Guru, kami memiliki keyakinan pada Dhamma, kami telah memenuhi aturan-aturan moral, dan teman-teman kami dalam Dhamma menyayangi dan menyenangi kami apakah mereka umat awam atau mereka yang telah meninggalkan keduniawian. Ini adalah empat hal yang dinyatakan kepada kami oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, sempurna dan tercerahkan sempurna, ketika melihatnya dalam diri kami, kami mengatakan apa yang kami lakukan’.

4. “Adalah mungkin, Para bhikkhu, para pengembara sekte lain akan berkata sebagai berikut: ‘Teman-teman, kami juga memiliki keyakinan pada Sang Guru, yaitu, pada Guru Kami; kami juga memiliki keyakinan pada Dhamma, yaitu, pada Dhamma kami, kami juga telah memenuhi aturan-aturan moral, yaitu aturan-aturan kami; dan teman-teman kami dalam Dhamma juga menyayangi dan menyenangi kami apakah mereka umat awam atau mereka yang telah meninggalkan keduniawian. Apakah bedanya di sini, Sahabat-sahabat, apakah perbedaan antara kalian dan kami’?

5. “Para pengembara dari sekte lain yang bertanya demikian dapat dijawab seperti ini: ‘Bagaimanakah, Teman-teman, apakah tujuannya satu atau banyak’? Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuannya adalah satu, bukan banyak’.‘Tetapi, Teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang terpengaruh oleh nafsu atau bebas dari nafsu’? Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang bebas dari nafsu, bukan untuk seorang yang terpengaruh oleh nafsu’.‘Tetapi, Teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang terpengaruh oleh kebencian atau bebas dari kebencian’? Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang bebas dari kebencian, bukan untuk seorang yang terpengaruh oleh kebencian’.‘Tetapi, Teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang terpengaruh oleh kebodohan atau bebas dari kebodohan’? Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang bebas dari kebodohan, bukan untuk seorang yang terpengaruh oleh kebodohan’.‘Tetapi, Teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang terpengaruh oleh keinginan atau bebas dari keinginan’? [65] Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang bebas dari keinginan, bukan untuk seorang yang terpengaruh oleh keinginan’.‘Tetapi, Teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang terpengaruh oleh kemelekatan atau bebas dari kemelekatan’? Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang bebas dari kemelekatan, bukan untuk seorang yang terpengaruh oleh kemelekatan’.—‘Tetapi, Teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang memiliki penglihatan atau tanpa penglihatan’? Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang memiliki penglihatan, bukan untuk seorang yang tanpa penglihatan’.—‘Tetapi, Teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang menyukai dan menolak, atau untuk seorang yang tidak menyukai dan tidak menolak’? Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang tidak menyukai dan tidak menolak’.—‘Tetapi, Teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang bergembira dalam dan menikmati proliferasi, atau untuk seorang yang tidak bergembira dalam dan tidak menikmati proliferasi’? Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang tidak bergembira dalam dan tidak menikmati proliferasi’.

6. “Para bhikkhu, terdapat dua pandangan ini: pandangan penjelmaan dan pandangan tanpa penjelmaan. Petapa atau brahmana mana pun yang menganut pandangan penjelmaan, mengadopsi pandangan penjelmaan, menerima pandangan penjelmaan, adalah berlawanan dengan pandangan tanpa penjelmaan. Petapa atau brahmana mana pun yang menganut pandangan tanpa penjelmaan, mengadopsi pandangan tanpa penjelmaan, menerima pandangan tanpa penjelmaan, adalah berlawanan dengan pandangan [ ]penjelmaan.

7. “Petapa atau brahmana mana pun yang tidak memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri [ ]sehubungan dengan kedua pandangan ini adalah terpengaruh oleh nafsu, terpengaruh oleh kebencian, terpengaruh oleh kebodohan, terpengaruh oleh keinginan, terpengaruh oleh kemelekatan, terpengaruh oleh penglihatan, terpengaruh oleh menyukai dan menolak, dan mereka bergembira dalam dan menikmati proliferasi. Mereka tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian; dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; mereka tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

8. “Petapa atau brahmana mana pun yang memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kedua pandangan ini adalah tanpa nafsu, tanpa kebencian, tanpa kebodohan, tanpa keinginan, tanpa kemelekatan, memiliki penglihatan, tanpa menyukai dan tanpa menolak, dan mereka tidak bergembira dalam dan tidak menikmati proliferasi. Mereka terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian; dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputusasaan; mereka terbebas dari penderitaan, Aku katakan. [66]

9. “Para bhikkhu, terdapat empat jenis kemelekatan. Apakah empat ini? Kemelekatan pada segala jenis kenikmatan, kemelekatan pada pandangan, kemelekatan pada aturan dan upacara, dan kemelekatan pada doktrin diri.

10. “Walaupun para petapa dan brahmana tertentu mengaku mampu mengemukakan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan, mereka tidak sepenuhnya menggambarkan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan. [ ]Mereka menggambarkan hanya pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria tanpa menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada pandangan, kemelekatan pada aturan dan upacara, dan kemelekatan pada doktrin diri. Mengapakah? Para petapa dan brahmana baik itu tidak memahami ketiga jenis kemelekatan ini sebagaimana adanya. Oleh karena itu, walaupun para petapa dan brahmana tertentu mengaku mampu mengemukakan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan, mereka tidak sepenuhnya menggambarkan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan, mereka menggambarkan hanya pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria tanpa menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada pandangan, kemelekatan pada aturan dan upacara, dan kemelekatan pada doktrin diri.

11. “Walaupun para petapa dan brahmana tertentu mengaku mampu mengemukakan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan … mereka menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria dan kemelekatan pada pandangan tanpa menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada aturan dan upacara dan kemelekatan pada doktrin diri. Mengapakah? Karena mereka tidak memahami kedua jenis kemelekatan ini … Oleh karena itu, mereka menggambarkan hanya pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria dan kemelekatan pada pandangan tanpa menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada aturan dan upacara dan kemelekatan pada doktrin diri.

12. “Walaupun para petapa dan brahmana tertentu mengaku mampu mengemukakan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan … mereka menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria dan kemelekatan pada pandangan dan [ ]kemelekatan pada aturan dan upacara tanpa menggambarkan pemahaman penuh [ ]atas kemelekatan pada doktrin diri. Mereka tidak memahami satu jenis kemelekatan ini … Oleh karena itu, mereka menggambarkan hanya pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria dan kemelekatan pada pandangan dan kemelekatan pada aturan dan upacara tanpa menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada doktrin diri.

13. “Para bhikkhu, dalam Dhamma dan Disiplin demikian, jelas bahwa keyakinan pada Sang Guru tidak diarahkan dengan benar, bahwa keyakinan pada Dhamma tidak diarahkan dengan benar, bahwa pemenuhan aturan-aturan moral tidak diarahkan dengan benar, dan bahwa kasih sayang di antara teman-teman dalam Dhamma tidak diarahkan dengan benar. Mengapakah? Karena itu adalah bagaimana ketika Dhamma dan Disipklin [67] dinyatakan dengan buruk dan dibabarkan dengan buruk, tidak membebaskan, tidak mendukung kedamaian, dibabarkan oleh seorang yang tidak tercerahkan sempurna.

14. “Para bhikkhu, ketika seorang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sepenuhnya, mengaku mampu mengemukakan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan, Beliau secara lengkap menggambarkan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan: Beliau menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria, kemelekatan pada pandangan, kemelekatan pada aturan dan upacara, dan kemelekatan pada doktrin diri.

15. “Para bhikkhu, dalam Dhamma dan Disiplin demikian, jelas bahwa keyakinan pada Sang Guru diarahkan dengan benar, bahwa keyakinan pada Dhamma diarahkan dengan benar, bahwa pemenuhan aturan-aturan moral diarahkan dengan benar, dan bahwa kasih sayang di antara teman-teman dalam Dhamma diarahkan dengan benar. Mengapakah? Karena itu adalah bagaimana ketika Dhamma dan Disipklin dinyatakan dengan baik dan dibabarkan dengan baik, membebaskan, mendukung kedamaian, dibabarkan oleh seorang yang tercerahkan sempurna.

16. “Sekarang, empat jenis kemelekatan ini memiliki apakah sebagai sumbernya, apakah sebagai asal-mulanya, dari apakah timbulnya dan dihasilkan? Empat jenis kemelekatan ini memiliki keinginan sebagai sumbernya, keinginan sebagai asal-mulanya, timbul dan dihasilkan dari keinginan. [ ]Keinginan memiliki apakah sebagai sumbernya …? Keinginan memiliki perasaan sebagai sumbernya … Perasaan memiliki apakah sebagai sumbernya …? Perasaan memiliki kontak sebagai sumbernya … Kontak memiliki apakah sebagai sumbernya …? Kontak memiliki enam landasan sebagai sumbernya … Enam landasan memiliki apakah sebagai sumbernya …? Enam landasan memiliki batin-jasmani sebagai sumbernya … Batin-jasmani memiliki apakah sebagai sumbernya …? Batin-jasmani memiliki kesadaran sebagai sumbernya … Kesadaran memiliki apakah sebagai sumbernya …? Kesadaran memiliki bentukan-bentukan sebagai sumbernya … Bentukan-bentukan [ ]memiliki apakah sebagai sumbernya …? Bentukan-bentukan memiliki kebodohan sebagai sumbernya, kebodohan sebagai asal-mulanya, timbul dan dihasilkan dari kebodohan.

17. “Para bhikkhu, ketika kebodohan ditinggalkan dan pengetahuan sejati muncul dalam diri seorang bhikkhu, maka dengan meluruhnya kebodohan dan munculnya pengetahuan sejati, ia tidak lagi melekat pada kenikmatan indria, tidak lagi melekat pada pandangan, tidak lagi melekat pada aturan dan upacara, tidak lagi melekat pada doktrin diri. [ ]Ketika ia tidak melekat, ia tidak gelisah. Ketika ia tidak gelisah, ia oleh dirinya sendiri mencapai Nibbāna. Ia memahami: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apa pun.” [68]

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.


"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #28 on: 11 August 2010, 11:52:46 PM »
Tambahan 12 Mahāsīhanāda Sutta

Khotbah Panjang tentang Auman Singa

1.    Pada suatu ketika, Sang Bhagavā

2.    Pada saat itu, Sunakkhattha, putra Licchavi,
para mulia. [ ]Petapa Gotama mengajarkan
Dhamma itu menuntun-Nya[ ],[ ]jika ia mempraktikkannya, menuju

3.   Sunakkhatta, putra Licchavi,

4.   menuju kehancuran total penderitaan’.

5.   manusia, tercerahkan, terberkahi’.

6.   kekuatan jasmani, hingga sejauh alam-Brahma’.

7.   suara manusia, yang jauh maupun dekat’.

8.   pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan’.

9.   memutar Roda Brahmā. [ ]Apakah sepuluh ini?

21.  demikian, jika siapa pun juga mengatakan tentang
dalam diri-Nya’jika ia tidak meninggalkan [ ]pernyataan
berakhir di neraka. [ ]Bagaikan seorang bhikkhu

23. brahmana atau dewa atau Māra atau Brahmāmana atau siapa pun juga di dunia ini mampu
dengan hal-hal tertentu’. [72] Dan melihat

24. yang dengannya petapa … atau siapa pun
hancurkan’. Dan melihat tidak ada

25. yang dengannya petapa … atau siapa pun
seseorang yang menikmatinya’. Dan

26. yang dengannya petapa … atau siapa pun
jika ia mempraktikkannya’. Dan melihat

28. demikian, jika siapa pun juga mengatakan

30. surga Tiga Puluh Tiga, … ratusan kelompok

31. demikian, jika siapa pun juga mengatakan

32. generasi yang terlahir dari kelembapan

33. generasi yang terlahir dari kelembapan
terlahir di dalam [ ]ikan busuk
generasi yang terlahir dari kelembapan

34. demikian, jika siapa pun juga mengatakan

36 (6). cara yang mengarah menuju Nibbāna
noda dengan hancurnya noda-noda.

37(1). dalam kesengsaraan, di neraka’. Dan kemudian

38(2). kembali di alam binatang’. Dan kemudian

39(3). akan muncul kembali di alam hantu’. Dan kemudian

40(4). muncul kembali di antara manusia’. Dan kemudian

41(5). tujuan yang bahagia, di alam surga’. Dan kemudian
kamar atas yang diplester
terkunci, diperkukuh dengan teralis, dengan jendela

42(6). noda dengan hancurnya noda-noda’. Dan kemudian
menyenangkan. [ ]Misalkan, terdapat sebuah kolam,

43. melihat demikian, jika siapa pun juga
muncul dalam diri-Nya’jika ia tidak meninggalkan

44. pertapaanpertapaan sangat keras; Aku telah mempraktikkan kekasaransangat kasar; Aku telah mempraktikkan kehati-hatiansangat hati-hati; Aku telah mempraktikkan keterasingansangat terasing

45. sekali dalam [ ]dua hari …

46. Tidak pernah terpikir oleh-Ku: ‘O, Aku akan menggosok
ini dengan tangannya’tidak pernah terpikirkan

47. Aku selalu berbelaskasihan
dalam celah tanah ini’. [ ]Demikianlah kehati-hatian-Ku.

50. menakutkan dan berdiam di sanahutan
selama ‘delapan hari interval beku’, Aku
Dalam bulan terakhir musim panas, Aku akan
harinya di dalam hutan.[ ][ ]Dalam bulan
Namun Sang Petapa tetap melanjutkan pencariannya’.

52. ‘Pemurnian muncul melalui makanan’. [ ]Mereka
‘Ayo kita hidup dari memakan buah kola’, dan
53-55. ‘Pemurnian muncul melalui makanan’. Mereka mengatakan: ‘Ayo kita hidup dari memakan kacang’, ... ‘Ayo kita hidup dari memakan wijen’, ... ‘Ayo kita hidup dari memakan nasi’, dan mereka

57. ‘Pemurnian muncul melalui lingkaran kelahiran kembali’.

58. melalui [beberapa jenis] kelahiran tertentu’. Tetapi adalah tidak

59. melalui [beberapa jenis] alam kehidupan tertentu’. Tetapi adalah

60. muncul melalui pengorbanan’. Tetapi adalah tidak mungkin, ketika Aku menjadi seorang raja mulia atau seorang brahmana yang makmur.

61. ‘Pemurnian muncul melalui pemujaan api’. Tetapi adalah tidak mungkin menemukan jenis api, yang belum pernah Kusembah dalam perjalanan yang panjang ini, ketika Aku menjadi seorang raja mulia atau seorang brahmana yang makmur.

62. maka kecemerlangan kebijaksanaannya hilang’. Tetapi jangan
ingatan, dan kebijaksanaan cemerlang. [ ]Bagaikan seorang pemanah terampil

63. dan demi kebahagiaan para dewa dan manusia’, adalah pada-Ku ucapan benar itu seharusnya ditujukan."

64. Pada saat itu, Yang Mulia Nāgasamāla sedang berdiri di belakang Sang Bhagavā mengipasi Beliau. [ ]Kemudian ia

“Sehubungan dengan hal ini, engkau boleh mengingat khotbah Dhamma ini sebagai: ‘Khotbah yang Menegakkan Bulu Badan’.”
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #29 on: 12 August 2010, 08:57:02 PM »
14  Cūḷadukkhakkhandha Sutta
Khotbah Pendek tentang Kumpulan Penderitaan

[91] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang menetap di Negeri Sakya di Kapilavatthu di Taman Nigrodha.

2. Kemudian Mahānama orang Sakya [ ]mendatangi Sang Bhagavā, dan setelah bersujud, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Yang Mulia, aku telah memahami Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā sebagai berikut: ‘Keserakahan adalah ketidaksempurnaan yang mengotori batin, kebencian adalah ketidaksempurnaan yang mengotori batin, kebodohan adalah adalah ketidaksempurnaan yang mengotori batin’. Namun, walaupun aku memahami Dhamma yang diajarkan oleh Sang Bhagavā demikian, sering kali kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, dan kebodohan menguasai batinku dan menetap di sana. Aku bertanya-tanya, Yang Mulia, kondisi yang manakah yang masih belum ditinggalkan olehku secara internal, karena apakah sering kali kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, dan kebodohan menguasai batinku dan menetap di sana?

3. “Mahānama, masih ada satu kondisi yang belum engkau tinggalkan secara internal, yang karenanya sering kali kondisi-kondisi keserakahan, kebencian, dan kebodohan menguasai batinmu dan menetap di sana; karena jika kondisi itu telah ditinggalkan olehmu secara internal, maka engkau tidak akan menjalani kehidupan rumah tangga, engkau tidak akan menikmati kenikmatan indria. [ ]Adalah karena kondisi itu belum engkau tinggalkan secara internal, maka engkau menjalani kehidupan rumah tangga dan menikmati kenikmatan indria.

4. “Bahkan walaupun seorang siswa mulia telah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputusasaan, dan bagaimana besarnya bahaya di dalamnya, selama ia masih belum mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau belum mencapai sesuatu yang lebih damai dari itu, maka ia masih tertarik pada kenikmatan indria. [ ]Tetapi ketika seorang siswa mulia telah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputusasaan, dan bagaimana besarnya bahaya di dalamnya, dan ia mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau mencapai sesuatu yang lebih damai dari itu, maka ia tidak lagi tertarik pada kenikmatan indria. [92]

5. “Sebelum pencerahan-Ku, sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku juga dengan jelas melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputusasaan, dan betapa besarnya bahaya di dalamnya, tetapi selama Aku masih belum mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau belum mencapai sesuatu yang lebih damai daripada itu, Aku menyadari bahwa Aku masih dapat tertarik pada kenikmatan indria. Tetapi ketika Aku dengan jelas melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar bagaimana kenikmatan indria memberikan sedikit kepuasan, banyak penderitaan, dan banyak keputusasaan, dan betapa besarnya bahaya di dalamnya, dan Aku telah mencapai kegembiraan dan kenikmatan yang terlepas dari kenikmatan indria, terlepas dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, atau telah mencapai sesuatu yang lebih damai daripada itu, Aku menyadari bahwa Aku tidak lagi tertarik pada kenikmatan indria.

6-14. “Dan apakah kepuasan sehubungan dengan kenikmatan indria? Mahānama, ada lima utas kenikmatan indria ... (seperti Sutta 13, §§7-15) ... Ini adalah juga bahaya sehubungan dengan kenikmatan indria, kumpulan penderitaan dalam kehidupan mendatang, dengan kenikmatan indria sebagai penyebab, kenikmatan indria sebagai sumber, kenikmatan indria sebagai dasar, penyebabnya hanyalah kenikmatan indria.

15. “Sekarang, Mahānama, pada suatu ketika, Aku sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar. Pada saat itu, sejumlah Nigaṇṭha yang sedang menetap di Batu Hitam di Lereng Isigili sedang mempraktikkan latihan berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk, dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha itu.

16. “Kemudian, pada malam harinya, Aku bangkit dari meditasi dan mendatangi para Nigaṇṭha di sana. Aku bertanya kepada mereka: ‘Teman-teman, mengapa kalian mempraktikkan latihan berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk, dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk karena usaha itu’?

17. “Ketika hal ini Kukatakan, mereka menjawab: ‘Teman, Nigaṇṭha Nātaputta mahatahu dan maha melihat dan mengaku memiliki pengetahuan dan penglihatan sempurna sebagai berikut: “Apakah aku sedang berjalan atau berdiri atau tertidur atau bangun, [93] pengetahuan dan penglihatan yang terus-menerus dan tanpa terputus hadir padaku.” Ia berkata sebagai berikut: “Para Nigaṇṭha, kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau; padamkanlah dengan melaksanakan praktik keras yang menyiksa. Dan ketika kalian di sini dan saat ini terkendali dalam perbuatan, ucapan, dan pikiran, itu berarti tidak melakukan perbuatan jahat di masa depan. Dengan memusnahkan perbuatan masa lampau dengan pertapaan dan dengan tidak melakukan perbuatan baru, maka tidak akan ada konsekuensi di masa depan. Dengan tidak ada konsekuensi di masa depan, maka itu adalah kehancuran perbuatan. Dengan hancurnya perbuatan, maka hancur pula penderitaan. Dengan hancurnya penderitaan, maka hancur pula perasaan. Dengan hancurnya perasaan, maka semua penderitaan padam.” Ini adalah [doktrin] yang kami setujui dan kami terima, dan kami puas dengan ajaran ini’.

18. “Ketika hal ini dikatakan, Aku berkata kepada mereka: ‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian ada di masa lampau, dan bahwa sesungguhnya kalian tidak ada’?—‘Tidak, Teman’.—‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya’?—‘Tidak, Teman’.—‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu’?—‘Tidak, Teman’.—‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau bahwa setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam’?—‘Tidak, Teman’.—‘Tetapi, Teman-teman, apakah kalian mengetahui, apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini’?—‘Tidak, Teman’.

19. “Jadi, Teman-teman, sepertinya kalian tidak mengetahui bahwa kalian pernah ada di masa lampau dan bahwa mungkin saja kalian tidak pernah ada; atau bahwa kalian telah melakukan perbuatan jahat di masa lampau dan tidak menghindarinya; atau bahwa kalian melakukan perbuatan jahat ini dan itu; atau bahwa seberapa banyak penderitaan yang telah padam, atau seberapa banyak penderitaan yang masih harus dipadamkan, atau bahwa setelah berapa banyak penderitaan dipadamkan maka semua penderitaan akan padam; atau apakah meninggalkan kondisi-kondisi tidak bermanfaat itu dan apakah melatih kondisi-kondisi bermanfaat di sini dan saat ini. Kalau begitu, [ ]mereka yang adalah para pembunuh, para pelaku kejahatan dengan tangan berdarah di dunia ini, ketika mereka terlahir kembali di antara manusia, meninggalkan keduniawian dan menjalani kehidupan tanpa rumah sebagai para Nigaṇṭha’.

20. “Teman Gotama, kenikmatan tidak diperoleh melalui kenikmatan; kenikmatan harus diperoleh melalui kesakitan. [94] Karena jika kenikmatan diperoleh melalui kenikmatan, maka Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha pasti memperoleh kenikmatan, karena ia berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar daripada Yang Mulia Gotama’.

Tentu saja Yang Mulia para Nigaṇṭha telah mengucapkan kata-kata ini dengan terburu-buru dan tanpa perenungan. Adalah Aku yang seharusnya bertanya: “Siapakah yang berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar, Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha atau Yang Mulia Gotama?”’

Tentu saja, Teman Gotama, kami mengucapkan kata-kata itu dengan terburu-buru dan tanpa perenungan. Tetapi biarlah demikian. Sekarang kami bertanya kepada Yang Mulia Gotama: Siapakah yang berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar, Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha atau Yang Mulia Gotama?

21. “Maka, Teman-teman, Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan sebagai balasan. Jawablah sesuai apa yang kalian anggap benar. Bagaimana menurut kalian, Teman-teman? Dapatkah Raja Seniya dari Magadha berdiam tanpa menggerakkan tubuhnya atau mengucapkan sepatah kata pun, mengalami puncak kenikmatan selama tujuh hari tujuh malam’?—‘Tidak, Teman’.—‘Dapatkah Raja Seniya dari Magadha berdiam tanpa menggerakkan tubuhnya atau mengucapkan sepatah kata pun, mengalami puncak kenikmatan selama enam, lima, empat, tiga, atau dua hari dua malam? ... selama sehari semalam’?—‘Tidak, Teman’.

22. “Tetapi, Teman-teman, Aku dapat berdiam tanpa menggerakkan tubuh-Ku atau mengucapkan sepatah kata pun, mengalami puncak kenikmatan selama sehari semalam ... selama dua, tiga, empat, lima, dan enam hari enam malam ... selama tujuh hari tujuh malam. [ ]Bagaimana menurut kalian, Teman-teman? Dengan demikian, siapakah yang berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar, Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha atau Aku’?

Kalau begitu, [95] maka Yang Mulia Gotama berdiam dalam kenikmatan yang lebih besar daripada Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha’.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Mahānāma orang Sakya merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

 

anything