SUTTA 49
499) Mūlapariyāya Sutta (MN 1) juga dibabarkan oleh Sang Buddha sewaktu Beliau sedang menetap di Hutan Subhaga di Ukkaṭṭhā, dan kemiripan dalam formula dan tema antara kedua sutta ini – mungkin hanya dua yang tercatat sebagai berasal dari Ukkaṭṭhā – sangat menonjol. Bahkan mungkin untuk melihat sutta yang sekarang ini sebagai representasi dramatis dari gagasan yang sama seperi yang disampaikan oleh Mūlapariyāya dalam kata-kata ringkas dan filosofis. Demikianlah Brahmā Baka dapat dianggap sebagai mewakili penjelmaan (bhava) atau personalitas (sakkāya) dalam bentuk yang paling menonjol, yang secara menbuta terlibat dalam aktivitas menganggap (maññanā), memelihara dirinya dengan kebodohan akan kekekalan, kesenangan, dan ke-diri-an. Penjelmaan yang mendasari adalah keinginan, dilambangkan oleh Māra – tampak kurang menonjol dalam kumpulan itu, namun merupakan pencipta sebenarnya dari curahan penganggapan, seorang yang mencengkeram keseluruhan alam semesta dalam genggamannya. Persekutuan Brahmā dan Māra, Tuhan dan Setan, persekutuan yang tidak masuk akal dari perspektif Theisme Barat, menunjukkan kehausan pada kelanjutan penjelmaan sebagai akar tersembunyi dari segala penegasan dunia, apakah theistik ataupun non-theistik. Dalam sutta ini kontes teoritis sepintas antara Baka dan Sang Buddha segera memberikan jalan pada konfrontasi lebih dalam antara Māra dan Sang Buddha – Māra sebagai keinginan yang menuntut penegasan penjelmaan, Yang Tercerahkan menunjukkan lenyapnya penjelmaan melalui tercabutnya kenikmatan.
500) Pertemuan serupa antara Sang Buddha dan Baka tercatat dalam SN 6:4/i.142-44, walaupun tanpa hiasan pertemuan ini dan dengan saling berbalas-balasan dalam syair. Menurut MA dan MṬ, ia menganut pandangan eternalis ini sehubungan dengan individu personalnya dan dunia di mana ia berada. Penyangkalannya atas “jalan membebaskan diri di luar” adalah penolakan atas alam jhāna yang lebih tinggi, sang jalan dan buah, dan Nibbāna, yang tidak ada satupun ia ketahui ada.
501) MA: Ketika Māra mengetahui bahwa Sang Buddha telah datang ke alam-Brahma, ia menjadi cemas bahwa para Brahmā dapat dikuasai oleh Dhamma dan membebaskan diri dari kekuasaannya; demikianlah ia mendesak Sang Buddha untuk tidak mengajarkan Dhamma.
502) MA: Karena mereka menganggapnya sebagai tidak kekal, penderitaan, dan bukan-diri.
503) MA: Dalam empat kondisi sengsara. Di sini, dan pada §10 dan §29, kata “jasmani” (kāya) digunakan dalam makna alam kehidupan.
504) MA: Mereka memujinya sebagai kekal, bertahan lama, abadi, dan seterusnya, dan bergembira di dalamnya melalui keinginan dan pandangan.
505) MA: di alam Brahma.
506) MA: Māra berniat untuk menunjukkan: “Jika engkau melakukan sesuai apa yang dikatakan oleh Brahmā tanpa melampaui kata-katanya, engkau juga akan bersinar dengan kemegahan dan keagungan yang sama seperti kelompok Brahmā ini.”
507) MA mengatakan bahwa dengan kedua kata pertama ia mencoba untuk membujuk Sang Buddha, dengan kedua kata berikutnya ia mengancam Beliau. “Menggenggam tanah” adalah melekatinya melalui keinginan, keangkuhan, dan pandangan. Daftar kategori di sini, walaupun singkat namun mengingatkan pada MN 1.
508) MA: Brahmā Baka adalah Brahma yang menguasai lebih dari seribu sistem-dunia, tetapi di atasnya terdapat para Brahmā yang menguasai lebih dari dua, tiga, empat, lima, sepuluh ribu dan seratus ribu sistem-dunia.
509) Jasmani dengan Cahaya Gemerlap adalah alam kelahiran kembali yang berhubungan dengan jhāna ke dua, sedangkan alam Brahmā Baka hanya berhubungan dengan jhāna pertama. Jasmani dengan Keagungan Gemilang dan jasmani dengan Buah Besar dalam paragraf berikutnya berhubungan dengan jhāna ke tiga dan ke empat.
510) Dalam Brahmajāla Sutta (DN 1.2.2-6/ii.17-19) Sang Buddha menunjukkan bagaimana Mahā Brahmā memunculkan kebodohan bahwa ia adalah Tuhan maha pencipta. Ketika dunia mulai terbentuk setelah suatu periode penghancuran, sesosok makhluk dengan jasa besar pertama kali terlahir kembali di alam Brahma yang baru terbentuk. Selanjutnya, makhluk-makhluk lain menyusul terlahir kembali di alam Brahma dan hal ini menyebabkan Mahā Brahmā beranggapan bahwa ia adalah pencipta dan pemimpin mereka. Baca Bodhi, The Discourse on the All-Embracing Net of Views, pp.69-70, 159-166.
511) Paragraf ini, paralel secara struktur dengan paragraf yang bersesuaian dari MN 1, adalah paragraf yang sulit. Kata kerja negaftif berbeda di antara ketiga edisi yang saya pelajari. PTS menuliskan nāhosi, BBS nāpahosiṁ, SBJ nāhosiṁ. Ñm lebih menyukai nāpahosiṁ, yang mana ia menganggapnya sebagai bentuk aorist dari pabbhavati, yang berari “menghasilkan, menjadikan.” Akan tetapi, adalah lebih mungkin, bahwa nāpahosiṁ harus dipecah hanya sebagai na + api + ahosiṁ. Dengan demikian maknanya tidak jauh berbeda antara BBS dan SBJ. MA mengemas: “Aku tidak menggenggam tanah melalui gangguan keinginan, keangkuhan, dan pandangan.” Ñm menerjemahkan ananubhūtaṁ sebagai “tidak serupa dengan.” Ini telah digantikan dengan “tidak menjadi bagian dari,” megikuti kemasan MA, “tidak terjangkau oleh tanah” dan MṬ: “sifatnya tidak sama dengan tanah.” MA mengatakan bahwa apa yang “tidak menjadi bagian dari tanah” adalah Nibbāna, yang terlepas dari segala yang terkondisi.
512) PTS pasti keliru dalam menghilangkan ti disini yang menutup kutipan langsung; ini menyesatkan Horner dalam memperkirakan bahwa paragraf berikutnya adalah dari Baka dan bukan dari Sang Buddha (MLS 1:392). BBS dan SBJ mencantumkan ti. Baka sepertinya menyiratkan bahwa karena obyek pengetahuan Sang Buddha “tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan,” maka itu hanyalah sekadar konsepsi kosong.
513) Dalam edisi pertama, saya mempertahankan terjemahan Ñm pada kalimat-kalimat ini, yang tertulis:
Kesadaran yang tidak terwujud,
Juga tidak berhubungan dengan keterbatasan,
Tidak mengaku makhluk sehubungan dengan keseluruhan.
Setelah merenungkan kembali, saya menganggap bahwa terjemahan ini jauh dari memuaskan dan dengan demikian di sini saya memberikan terjemahan saya. Kalimat-kalimat ini (yang juga muncul sebagai bagian dari syair lengkap dalam DN 11.85/i.223) telah menjadi tantangan selama bertahun-tahun bagi para terpelajar Buddhis, dan bahkan Acariya Buddhaghosa sepertinya terjebak di dalamnya. MA menganggap subyek kalimat ini adalah Nibbāna, yang disebut “kesadaran” (viññāṇaṁ) dalam makna bahwa “itu dapat dikenali” (vijānitabbaṁ). Turunan ini hamper tidak dapat diterima, karena tidak ada di manapun dalam Nikāya terdapat Nibbāna digambarkan sebagai kesadaran, juga tidak mungkin menurunkan suatu kata benda aktif dari kata kerja yang dibentuk dari kata benda. MA menjelaskan anidassanaṁ sebagai berarti tidak terlihat, “karena itu (Nibbāna) tidak muncul dalam jangkauan kesadaran-mata,” tetapi sekali lagi ini adalah suatu penjelasan hambar. Kata anidassana muncul pada MN 21.14 dalam penggambaran ruang kosong sebagai suatu media yang tidak tepat untuk menggambar; demikianlah gagasan ini sepertinya adalah sesuatu yang tidak berwujud.
MA memberikan tiga penjelasan atas sabbato pabhaṁ: (1) sepenuhnya memiliki kecerahan (pabbā); (2) memiliki penjelmaan (panbhūtaṁ) di mana-mana; dan (3) suatu penyeberangan (pabhaṁ) yang dapat dijangkau dari segala arah, yaitu, melalui satu dari tiga puluh delapan obyek meditasi. Hanya yang pertama dari ketiga ini yang sepertinya memiliki kecocokan linguistik. Ñm, dalam Ms, menjelaskan bahwa ia menganggap pabhaṁ sebagai kata kerja negatif dari pabhavati - apabhaṁ - awalan negatif meluruh dalam gabungan dengan sabbato: “Makna ini dapat dituliskan secara bebas dengan ‘tidak menyebutkan penjelmaan sehubungan dengan “keseluruhan,” atau ‘tidak menganggap “keseluruhan” bahwa itu ada atau tidak tidak ada dalam makna absolut.’” Tetapi jika kita menganggap pabhaṁ sebagai “bercahaya,” yang sepertinya lebih dapat dibenarkan, maka syair ini berhubungan dengan gagasan pikiran sebagai yang pada hakikatnya terang (pabhassaram idaṁ cittaṁ, AN i.10) dan juga menyiratkan cahaya kebijaksanaan (paññāpabhā), yang disebut cahaya terbaik (AN ii.139). saya memahami kesadaran ini adalah, bukan Nibbāna itu sendiri, tetapi kesadaran Arahant selama pengalaman meditatif Nibbāna. Sehubungan dengan hal ini, baca AN v.7-10,318-26. perhatikan bahwa pengalaman meditatif ini tidak mewujudkan fenomena terkondisi apapun dari dunia, dan dengan demikian dapat dengan benar digambarkan sebagai “tidak berwujud.”
514) Menghilangnya Sang Buddha sepertinya adalah suatu demonstrasi “visual” dari syairnya. Setelah mencabut kesenangan dalam penjelmaan, Beliau mampu menghilang dari pandangan Baka, representasi tertinggi dari penjelmaan dan kebenaran dunia. Tetapi Baka, karena terikat pada penjelmaan oleh kemelekatan, tidak mampu melampaui jangkauan pengetahuan Sang Buddha, yang melingkupi penjelmaan dan tanpa-penjelmaan pada saat yang sama pengetahuan itu melampaui penjelmaan dan tanpa-penjelmaan.
515) Ini adalah kecondongan yang sama yang muncul dalam pikiran Sang Buddha pada masa segera setelah pencerahannya – baca MN 26.19. Bandingkan juga dengan DN 16.3.34/ii.112 di mana Māra mencoba untuk membujuk Sang Buddha yang baru tercerahkan untuk segera meninggal dunia dengan damai.
516) Tādiso: yaitu, apakah Beliau mengajar atau tidak mengajar, Beliau tetap adalah Sang Tathāgata.
SUTTA 50
517) Nama ini berarti “Penjahat” atau “Yang Jahat.” Dalam konsep semesta Buddhis, posisi Māra, seperti halnya Mahā Brahmā, adalah posisi yang tetap yang dipegang oleh individu-individu berbeda sesuai dengan kamma mereka.
518) Kakusandha adalah Buddha pertama yang muncul dalam siklus kosmis yang sekarang ini yang disebut “masa keberuntungan.” Beliau diikuti oleh Buddha Konagamaṇa dan Kassapa, dan setelahnya adalah kemunculan Buddha Gotama yang sekarang ini.
519) Nama ini berarti “Yang tanpa banding.”
520) Seorang yang telah mencapai lenyapnya, sepertinya, tidak akan mengalami luka atau kematian di dalam pencapaian itu sendiri. Pada Vsm XXIII, 37 dikatakan bahwa pencapaian itu melindungi bahkan benda-benda miliknya seperti jubah dan tempat duduknya dari kehancuran.
521) Nama ini berarti “Yang selamat.”
522) Yaitu, dengan memunculkan kekotoran dalam pikiran mereka, maka ia akan mencegah mereka membebaskan diri dari saṁsāra.
523) MA bersusah payah menunjukkan bahwa Māra tidak mengerahkan kekuatan untuk mengendalikan perbuatan mereka, yang mana jika demikian maka ia sendiri yang akan bertanggung jawab dan para brahmana tidak menghasilkan kamma buruk karena perbuatan itu. Sebaliknya, Māra membuat para brahmana membayangkan gambaran para bhikkhu yang terlibat dalam perilaku yang tidak selayaknya, dan ini membangkitkan kebencian mereka dan memicu mereka untuk menggoda para bhikkhu itu. Niat Māra dalam melakukan hal itu adalah untuk membangkitkan kemarahan dan kekesalan para bhikkhu.
524) “Leluhur” (bandhu) adalah Brahmā, yang disebut demikian oleh para brahmana karena mereka menganggapnya sebagai leluhur pertama. MA menjelaskan bahwa adalah kepercayaan di antara para brahmana bahwa mereka adalah keturunan mulut Brahmā, khattiya adalah keturunan dada Brahmā, vessa dari perut, sudda dari kaki, dan samaṇa dari telapak kaki.
525) Jhāyanti pajjhāyanti nijjhāyanti apajjhāyanti. Walaupun kata kerja ini secara berdiri sendiri tidak memiliki makna negatif, rangkaian ini jelas dimaksudkan sebagai penurunan. Pada MN 108.26 empat kata kerja ini digunakan untuk menggambarkan meditasi seseorang yang pikirannya dikuasai oleh lima rintangan.
526) Empat brahmavihāra adalah penawar yang tepat bagi kekejaman pada orang lain, serta bagi kecenderungan pada kemarahan dan kekesalan dalam pikiran seseorang.
527) Kali ini Māra berniat untuk menjatuhkan para bhikkhu dalam kesombongan, kepuasan, dan kelengahan.
528) MA mengutip sebuah sutta (AN 7:46/iv.46-53) menyebutkan bahwa empat meditasi ini adalah penawar, berturut-turut, bagi keinginan indria, keinginan akan rasa kecapan, ketertarikan pada dunia, dan ketergila-gilaan pada perolehan, kehormatan, dan pujian.
529) MA: Tatapan gajah (nāgapalokita) berarti bahwa tanpa menggerakkan leher, ia memutar seluruh tubuhnya untuk melihat. Māra Dūsi bukan mati karena tatapan gajah Sang Buddha melainkan karena kamma buruk yang ia hasilkan dalam menyerang seorang siswa utama yang memotong kehidupannya pada saat itu juga.
530) Neraka Besar, juga disebut Avīci, dijelaskan secara lengkap dalam MN 130.16-19.
531) MA: perasaan ini, yang dialami dalam Neraka Besar tambahan, dikatakan lebih menyakitkan daripada perasaan yang dialami dalam Neraka Besar itu sendiri.
532) Buddha Kakusandha disebut Brahmana dalam makna seperti pada MN 39.24.
533) Referensinya adalah pada SN 51:14/v.269-70.
534) Baca MN 37.11.
535) Baca MN 37.12.
536) Referensinya adalah pada SN 6:5/i.145.
537) Syair ini merujuk pada kemampuan YM. Moggallāna dalam mengerahkan kekuatan batin terbang di angkasa seperti burung.