//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama  (Read 52050 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
« Reply #75 on: 18 October 2010, 02:08:26 PM »

SUTTA 39

415) “Brahmana” harus dipahami dalam makna seperti yang dijelaskan di bawah, §24.

416) Rasa malu (hiri) dan takut akan pelanggaran (ottappa) adalah dua kualitas pelengkap yang oleh Sang Buddha disebut “penjaga dunia” (AN i.51) karena kedua itu berfungsi sebagai landasan moralitas. Rasa malu memiliki karakteristik muak pada kejahatan, dikuasai oleh rasa hormat pada diri sendiri, dan bermanifestasi sebagai kehati-hatian. Takut akan pelanggaran memiliki karakteristik takut pada kejahatan, dikuasai oleh kepedulian pada pendapat orang lain, dan bermanifestasi sebagai ketakutan dalam melakukan kejahatan. Baca Vsm XIV, 142.

417) MA mengutip SN 45:35-36/v.25: “Apakah, para bhikkhu, pertapaan (sāmañña)? Jalan Mulia Berunsur Delapan ... – ini disebut pertapaan. Dan apakah, para bhikkhu, tujuan pertapaan (sāmaññattho)? Hancurnya keserakahan, kebencian, dan kebodohan – ini disebut tujuan pertapaan.”

418) MA memberikan penjelasan terperinci atas masing-masing dari lima perumpamaan ini. Suatu terjemahan berbahasa Inggris terdapat dalam Nyanaponika Thera, The Five Mental Hindrances, pp.27-34.

419) Masing-masing penjelasan berikutnya melibatkan permainan kata yang tidak dapat diungkapkan dalam Bahasa Inggris, misalnya, seorang bhikkhu adalah seorang petapa (samaṇa) karena ia telah menenangkan (samita) kondisi-kondisi kejahatan, seorang brahmana karena ia telah menyingkirkan (bāhita) kondisi-kondisi kejahatan, dan sebagainya.

420) Kata “mencuci” (nhātaka) merujuk pada seorang brahmana yang, pada akhir pelajarannya di bawah seorang guru, telah melakukan upacara mandi yang menandai akhir latihannya. Baca Sn 521.

421) Kata Pali Sotthiya (Skt, srotiya) berarti seorang brahmana yang ahli dalam Veda, seorang yang menguasai pengetahuan suci.


SUTTA 40

422) Sementara sutta sebelumnya menggunakan frasa “hal-hal yang membuat seseorang menjadi seorang petapa” (dhammā samaṇakaraṇā),  di sini sutta ini mengatakan “jalan selayaknya bagi petapa” (samaṇasamīcipaṭipada).

423) Sepuluh pertama dari dua belas “noda bagi seorang petapa” ini termasuk di antara enam belas “ketidak-sempurnaan yang mengotori batin” pada MN 7.3.

424) MA: Karena ia telah menenangkan (samita) segala kekotoran, maka ia adalah seorang petapa dalam makna tertinggi (paramatthasamaṇa).


SUTTA 41

425) Ini adalah pandangan nihilis materialis bermoral yang menyangkal adanya kehidupan setelah kematian dan pembalasan kamma. “Tidak ada yang diberikan” berarti tidak ada buah dari pemberian; “tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain” bahwa tidak ada kelahiran kembali ke dunia ini atau dunia setelahnya; “tidak ada ibu, tidak ada ayah” bahwa tidak ada buah perbuatan baik dan perbuatan buruk pada ibu dan ayah. Pernyataan tentang para petapa dan brahnana menyangkal keberadaan para Buddha dan Arahant.

426) MA menjelaskan bahwa “para dewa dengan Cahaya” bukanlah para dewa dari kelompok tersendiri melainkan nama kolektif bagi ketiga kelompok berikutnya; hal yang sama berlaku pada “para dewa dengan Keagungan.” Tingkatan surga ini dijelaskan dalam Pendahuluan, pp.46-48.

427) Harus dipahami bahwa sementara “perilaku yang sesuai dengan Dhamma” digambarkan dalam sutta sebgai kondisi yang diperlukan untuk kelahiran kembali di alam surga dan untuk hancurnya noda-noda, namun ini bukan kondisi satu-satunya. Kelahiran kembali di alam yang dimulai dengan para pengikut kelompok Brahmā menuntut pencapaian jhāna, kelahiran kembali di Alam Murni (lima alam yang dimulai dari para dewa Avihā) menuntut pencapaian tingkat kesucian yang-tidak-kembali, kelahiran kembali di alam tanpa-bentuk materi menuntut pencapaian yang bersesuaian dengan tingkat pencapaian tanpa materi, dan hancurnya noda-noda menuntut praktik penuh dari Jalan Mulia Berunsur Delapan hingga jalan Kearahatan.


SUTTA 43

428) YM. Mahā Koṭṭhita dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai siswa terunggul di antara para siswa yang telah mencapai pengetahuan analitis (paṭisambhida).

429) Menurut MA, pemahaman Empat Kebenaran Mulia yang dibahas di sini adalah penembusan jalan lokuttara. Dengan demikian jenis individu terendah yang digambarkan sebagai “seorang yang bijaksana” (paññavā) adalah seorang yang telah mencapai jalan memasuki-arus. Terjemahan paññā sebagai “kebijaksanaan” (yang saya gantikan dari “pemahaman” versi Ñm) memiliki kelemahan karena memutuskan keterkaitan, terbukti dalam Pali, dengan kata kerja pajānāti. Untuk mempertahankan keterkaitan ini, di sini dan dalam pragraf sebelumnya, kata kerja ini diterjemahkan “dengan bijaksana memahami.”

430) Frasa Pali yang mendefinisikan kesadaran hanya menggunakan kata kerja, vijānāti vijānāti,  dan ini juga dapat dipahami sebagai bermakna”Seseorang mengenali, seseorang mengenali.” Walaupun Ñm menerjemahkan frasa ini tanpa kata ganti orang, namun kata ganti orang disisipkan demi kemudahan pemahaman. Terjemahan kata kerja perasaan dan persepsi pada §7 dan §8 juga ditambahkan dengan cara serupa dengan menambahkan kata ganti orang.

431) MA: Pertanyaan sehubungan dengan kesadaran yang dengannya seseorang digambarkan sebagai “seorang yang bijaksana” memeriksa bentukan-bentukan; yaitu, kesadaran pandangan terang yang dengannya orang itu sampai (pada pencapaiannya, pikiran yang melakukan pekerjaan meditasi. YM. Sāriputta menjawab dengan menjelaskan subyek meditasi perasaan, jawabannya akhirnya sampai pada yang terkandung dalam Khotbah tentang Empat Landasan Perhatian (MN 10.32). Konstruksi Pali, sukhan ti pi vijānāti, menunjukkan bahwa perasaan diperlakukan lebih sebagai obyek langsung kesadaran daripada pengaruh pengalaman; untuk menunjukkan hal ini kata “ini” dalam tanda kurung disisipkan dan keselruhan frasa dalam tanda petik.

432) MA: Pernyataan ini merujuk pada kebijaksanaan dan kesadaran pada peristiwa baik pandangan terang maupun jalan lokuttara. Kedua ini bergabung dalam hal bahwa keduanya muncul dan lenyap secara bersamaan dan saling berbagi landasan dan obyek indria tunggal yang sama. Akan tetapi, keduanya bukan tidak terpisahkan karena, sementara kebijaksanaan selalu memerlukan kesadaran, namun kesadaran dapat terjadi tanpa kebijaksanaan.

433) Kebijaksanaan, sebagai faktor jalan pandangan benar, harus dikembangkan sebagai satu faktor sang jalan. Kesadaran, karena termasuk di antara kelima kelompok unsur kehidupan yang berada dalam kebenaran mulia penderitaan, harus dipahami sepenuhnya – sebagai tidak kekal, penderitaan, dan bukan-diri.

434) MA mengatakan bahwa pertanyaan dan jawaban ini merujuk pada perasaan lokiya yang merupakan jangkauan obyek pandangan terang. Konstruksi Pali di sini, sukham pi vedeti, dan seterusnya, menunjukkan perasaan secara bersamaan sebagai suatu kualitas obyek dan sebagai pengalaman yang berpengaruh yang dengannya perasaan itu dipahami. MA menunjukkan bahwa perasaan itu sendiri merasakan; tidak ada perasa lainnya (yang terpisah).

435) MA: Pertanyaan dan jawaban ini merujuk pada persepsi lokiya yang merupakan jangkauan obyek pandangan terang.

436) MA: Kebijaksanan tidak termasuk dalam pertukaran ini karena tujuannya adalah menunjukkan hanya kondisi-kondisi yang tergabung dalam setiap peristiwa kesadaran.

437) MA: Kesadaran-pikiran yang dimurnikan (parisuddha manoviññāṇa) adalah kesadaran jhāna ke empat. Kesadaran ini mengetahui pencapaian tanpa-bentuk sejauh seseorang yang mencapai jhāna ke empat mampu menjangkaunya. Landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi tidak termasuk di sini, karena sangat halus, sehingga tidak berada dalam jangkauan perenungan untuk pencapaian pandangan terang.

438) MA: Mata kebijaksanaan (paññācakkhu) adalah kebijaksanaan itu sendiri, disebut mata dalam makna bahwa mata itu adalah suatu organ penglihatan spiritual.

439) Untuk perbedaan antara pengetahuan langsung (abhiññā) dan pemahaman penuh (pariññā), baca n.23.

440) MA: “Kata-kata orang lain” (purato ghosa) adalah ajaran Dhamma yang bermanfaat. Kedua kondisi ini adalah diperlukan bagi para siswa untuk sampai pada pandangan benar dari pandangan terang dan pandangan benar dari jalan lokuttara. Tetapi para Pacceka Buddha dan para Buddha yang tercerahkan sempurna dan maha tahu hanya bergantung pada perhatian bijaksana tanpa “kata-kata orang lain.”

441) MA: Pandangan benar di sini adalah pandangan benar yang berhubungan dengan jalan Kearahatan. “Kebebasan pikiran” dan kebebasan melalui kebijaksanaan” keduanya merujuk pada buah Kearahatan’ baca n.83. ketika seseorang memenuhi lima faktor ini, maka jalan Kearahatan muncul dan menghasilkan buah.

442) “Penjelmaan baru di masa depan” (āyatiṁ punabbhavābhinibbatti) adalah kelahiran kembali, kelanjutan dalam lingkaran. Pertanyaan ini dan yang berikutnya dapat dianggap sebagai ringkasan yang mendekati keseluruhan dua belas formula sebab-akibat yang saling bergantungan yang dibabarkan pada MN 38.17 dan 20.

443) Kelima organ indria luar masing-masing memiliki obyeknya masing-masing – bentuk-bentuk untuk mata, suara-suara untuk telinga, dan seterusnya – tetapi organ pikiran mampu menembus obyek-obyek dari kelima organ indria serta obyek-obyek pikiran yang khusus untuk organ pikiran. Karenanya kelima organ indria lainnya memiliki pikiran sebagai penentunya.

444) MA mengidentifikasikan vitalitas (āyu) sebagai indria kehidupan (jivitindriya), yang berfungsi memelihara dan menghidupkan fenomena materi lainnya dari jasmani hidup.

445) Panas (usmā) adalah panas yang dihasilkan oleh kamma yang terdapat dalam jasmani hidup.

446) “Bentukan-bentukan vital” (āyusankhāra), menurut MA, menunjukkan vitalitas itu sendiri. Bentukan-bentukan vital bukan kondisi-kondisi perasaan karena diperlukan untuk mempertahankan jasmani seorang bhikkhu agar tetap hidup ketika ia mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan. Pencapaian meditatif khusus ini, yang mana semua aktivitas batin berhenti, hanya dapat dilakukan oleh para yang-tidak-kembali dan para Arahant yang telah menguasai delapan pencapaian pada bidang ketenangan. Untuk pembahasan singkat baca Pendahuluan, p.41, dan untuk pembahasan lengkap, baca Vsm XXIII, 16-52. Lenyapnya persepsi dan perasaan akan diangkat lagi dalam MN 44.

447) Yaitu, mati. Perginya kesadaran dari jasmani tidak cukup untuk menjadi mati; vitalitas dan panas vital juga harus musnah.

448) Bentukan-bentukan jasmani adalah nafas masuk dan nafas keluar, bentukan-bentukan ucapan adalah awal pikiran dan kelangsungan pikiran, bentukan-bentukan pikiran adalah persepsi dan perasaan – baca MN 44.14-15. MA mengatakan bahwa indria-indria sepanjang perjalanan kehidupan normal, karena berhubungan dengan obyek-obyek indria, menjadi menderita dan kotor bagaikan sebuah cermin yang diletakkan di persimpangan jalan; tetapi indria-indria dari seseorang yang berada dalam lenyapnya menjadi sangat jernih bagaikan cermin yang diletakkan dalam kotak dan disimpan dalam peti.

449) MA: “Kebebasan pikiran tanpa gambaran” (animittā cetovimutti) adalah pencapaian buah; “gambaran” adalah obyek-obyek seperti bentuk-bentukm dan seterusnya; “unsur tanpa gambaran” adalah Nibbāna, yang mana semua gambaran dari segala sesuatu yang terkondisi tidak ada.

450) MA mengidentifikasikan suññatā cetovimutti ini sebagai pandangan terang ke dalam kekosongan akan diri dalam orang-orang dan benda-benda.

451) Seperti di atas, kebebasan pikiran tanpa gambaran diidentifikasikan oleh MA sebagai pencapaian buah. Dari empat kebebasan pikiran yang disebutkan dalam §30, hanya satu ini yang lokuttara. Tiga pertama – brahmavihāra, tiga pencapaian tenpa bentuk, dan pandangan terang ke dalam kekosongan bentukan-bentukan – semuanya adalah pada tingkat lokiya.

452) Nafsu, kebencian, dan kebodohan dapat dipahami sebagai “pembuat penilaian” (pamāṇakaraṇa) dalam hal bahwa ketiga itu memberikan batasan pada jangkauan dan kedalaman pikiran; akan tetapi, MA menjelaskan frasa ini bermakna bahwa kekotoran memungkinkan seseorang menilai seseorang sebagai kaum duniawi, seorang pemasuk-arus, seorang yang-kembali-sekali, atau seorang yang-tidak-kembali.

453) MA: Terdapat dua belas kebebasan pikiran yang tanpa batas: empat brahmavihāra,  empat jalan, dan empat buah. Kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan adalah buah Kearahatan. Pernyataan bahwa kebebasan yang tidak tergoyahkan ini hampa dari nafsu, kebencian, dan kebodohan – yang juga diulangi di akhir §36 dan §37 – juga mengidentifikasikannya sebagai kebebasan pikiran lokuttara melalui kehampaan.

454) Kata kiñcana dijelaskan oleh MA sebagai bermakna “kesukaran” atau “rintangan.” Ñm menerjemahkannya sebagai “kepemilikan.” Saya kembali pada makna asalnya “sesuatu hal” untuk mempertahankan hubungan dengan pernyataan yang pelepasannya berakhir pada kebebasan pikiran melalui kehampaan.

455) MA: Ada Sembilan kebebasan pikiran melalui kekosongan: landasan kekosongam dan empat jalan dan buah.

456) MA menginterpretasikan frasa “pembuat gambaran” (nimittakaraṇa) sebagai bermakna bahwa nafsu, kebencian, dan kebodohan menandai seseorang sebagai seorang duniawi atau seorang mulia, sebagai penuh nafsu, kebencian, atau kebodohan. Tetapi juga dapat bermakna bahwa kekotoran-kekotoran ini menyebabkan pikiran menganggap makna palsu pada segala sesuatu sebagai kekal, menyenangkan, diri, atau indah.

457) MA: Ada tiga belas kebebasan pikiran tanpa gambaran: pandangan terang, karena melenyapkan gambaran kekekalan, menyenangkan, dan diri; empat pencapaian tanpa materi, karena tidak memiliki gambaran bentuk materi; dan empat jalan dan buah, karena tidak adanya gambaran kekotoran.

458) Semua empat kebebasan pikiran adalah bermakna sama dalam hal bahwa semuanya merujuk pada buah pencapaian Kearahatan. MA juga menunjukkan bahwa empat kebebasan ini adalah bermakna sama karena kata-kata – yang tanpa batas, kekosongan, kehampaan, dan tanpa gambaran – semuanya adalah sebutan bagi Nibbāna, yang merupakan obyek dari buah pencapaian Kearahatan.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
« Reply #76 on: 18 October 2010, 02:10:31 PM »
SUTTA 44

459) Visakha adalah seorang pedagang kaya dari Rājagaha dan seorang yang-tidak-kembali. Dhammadinnā, mantan istrinya dalam kehidupan awam, telah mencapai Kearahatan segera setelah penahbisannya sebagai seorang bhikkhunī. Ia dinyatakan oleh Sang Buddha sebagai bhikkhunī terunggul dalam hal membabarkan Dhamma.

460) MA menjelaskan kata majemuk panc’ upādānakkhandhā  sebagai kelima kelompok unsur kehidupan yang menjadi kondisi bagi kemelekatan (MṬ: sebagai obyeknya). Karena kelima kelompok unsur kehidupan ini, singkatnya, adalah keseluruhan kebenaran mulia penderitaan (MN 9.15; 28.3), terlihat bahwa empat pertanyaan pertama mengajukan penyelidikan ke dalam Empat Kebenaran Mulia yang diungkapkan dalam kata identitas pribadi, bukan penderitaan.

461) MA: Karena kemelekatan adalah hanya satu bagian dari kelompok bentukan-bentukan (seperti didefinisikan di sini, keserakahan), maka ini tidak sama dengan kelima kelompok unsur kehidupan; dan karena kemelekatan tidak dapat terpisahkan sama sekali dari kelompok-kelompok unsur kehidupan, maka tidak ada kemelekatan yang terpisah dari kelompok-kelompok unsur kehidupan.

462) Ini adalah dua puluh jenis pandangan identitas. MA mengutip Pṭs i.144-45 untuk mengilustrasikan empat modus dasar pandangan identitas sehubungan dengan bentuk materi. Seseorang mungkin menganggap bentuk materi sebagai diri., dengan cara yang sama api dari lampu minyak yang menyala adalah identik dengan warna (api tersebut). Atau seseorang mungkin menganggap diri sebagai memiliki bentuk materi, seperti pohon memiliki bayangan; atau seseorang mungkin menganggap bentuk materi sebagai di dalam diri, bagaikan aroma terdapat dalam bunga; atau seseorang mungkin menganggap diri sebagai di dalam bentuk materi, bagaikan permata di dalam kotaknya.

463) Kata khandha di sini memiliki makna berbeda dari konteks yang lebih umum dari kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan. Kata itu di sini merujuk pada batang tubuh prinsip latihan, ketiga kelompok Jalan Mulia Berunsur Delapan dalam moralitas (sīla), konsentrasi (samādhi),  dan kebijaksanaan (paññā).

464) Empat landasan perhatian adalah landasan konsentrasi (samādhinimitta) dalam makna kondisinya (MA). Di sini sepertinya tidak tepat menerjemahkan nimitta sebagai “gambaran,” dalam makna tanda-tanda yang jelas terlihat atau obyek. Empat jenis usaha benar dijelaskan pada MN 77.16

465) MA: Dhammadinnā mengantisipasi niat Vishākha untuk menanyakan tentang bentukan-bentukan yang lenyap ketika seseorang masuk ke dalam pencapaian lenyapnya. Dengan demikian ia menjelaskan ketiga bentukan dengan cara ini bukan sebagai kehendak jasmani, ucapan, dan pikiran yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, makna yang relevan dalam konteks sebab-akibat yang saling bergantungan.

466) MA menjelaskan lebih jauh bahwa bentukan jasmani dan bentukan pikiran dikatakan sebagai bentukan-bentukan “yang terikat” dengan jasmani dan pikiran dalam makna bahwa kedua bentukan itu dibentuk oleh jasmani dan oleh pikiran, sedangkan bentukan ucapan adalah bentukan dalam makna bahwa bentukan itu membentuk ucapan. Bentuk kata kerja vitakketvā vicāretvā telah diterjemahkan dengan cara yang mempertahankan konsistensi dengan terjemahan kata benda vitakka dan vicāra sebagai “awal pikiran” dan “kelangsungan pikiran.”

467) Lenyapnya dapat dicapai hanya oleh seorang yang-tidak-kembali atau seorang Arahant yang menguasai delapan pencapaian jhāna. Meditator memasuki tiap-tiap pencapaian berturut-turut, keluar dari sana, dan merenungkannya dengan pandangan terang sebagai tidak kekal, penderitaan, dan bukan-diri. Setelah menyelesaikan prosedur ini melalui landasan kekosongan, ia melakukan tugas-tugas persiapan tertentu, dan kemudian bertekad untuk tanpa pikiran selama jangka waktu tertentu. Kemudian ia secara cepat memasuki landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, setelahnya pikiran dan fungsi-fungsi pikiran lenyap sama sekali. Demikianlah tekadnya, didukung oleh pencapaian dan persiapan sebelumnya, menuntunnya menuju pencapaian lenyapnya. Baca Vsm XXIII, 32-43.

468) Awal pikiran dan kelangsungan pikiran lenyap pertama kali dalam jhāna ke dua; nafas masuk dan nafas keluar lenyap berikutnya dalam jhāna ke empat; dan persepsi dan perasaan lenyap dalam pencapaian terakhir, yaitu pencapaian lenyapnya itu sendiri.

469) Ketika waktu yang ditentukan oleh tekad untuk pencapaian itu telah berlalu, berdasarkan pada tekad sebelumnya itu sang meditator secara spontan keluar dari pencapaian lenyapnya itu dan proses-pikiran berlanjut.

470) MA: Ketika seseorang keluar dari lenyapnya, kesadaran buah pencapaian muncul pertama kali, dan persepsi dan perasaan yang berhubungan dengan itu adalah bentukan pikiran yang muncul pertama kali. Kemudian, dengan secara berurutan turun ke dalam rangkaian kehidupan, bentukan jasmani, yaitu pernafasan, dimulai kembali. Dan selanjutnya, ketika meditator melanjutkan aktivitas normalnya, bentukan ucapan muncul.

471) Kondisi kesadaran pertama yang muncul ketika keluar dari lenyapnya adalah kesadaran buah pencapaian, yang disebut kehampaan, tanpa gambaran, dan tanpa keinginan karena kualitas mendasarnya dan karena obyeknya, Nibbāna. Di sini ketiga sebutan bagi buah ini adalah sebutan bagi kontak yang berhubungan dengan buah.

472) MṬ: Nibbāna, obyek kesadaran buah yang muncul ketika keluar dari lenyapnya, disebut keterasingan (viveka) karena terasing dari segala hal-hal yang terkondisi.

473) MṬ: ketiga kekotoran ini disebut anusaya, kecenderungan tersembunyi, dalam makna bahwa kekotoran-kekotoran ini belum ditinggalkan dalam rangkaian kehidupan dari mana kekotoran itu berasal dan karena kekotoran-kekotoran itu dapat muncul ketika suatu sebab yang sesuai muncul.

474) MA menjelaskan bahwA bhikkhu itu menekan kecenderungan padA nafsu dan mencapai jhāna pertanma. Setelah dengan baik menekan kecenderungan pada nafsu dengan jhāna, ia mengembangkan pandangan terang dan melenyapkan kecenderungan pada nafsu dengan jalan yang-tidak-kembali. Tetapi karena telah ditekan oleh jhāna, maka dikatakan “kecenderungan tersembunyi pada nafsu tidak mendasari itu.”

475) MA mengidentifikasikan “landasan itu” (tadāyatana) serta “kebebasan tertinggi,” sebagai Kearahatan. Kesedihan yang muncul karena kerinduan itu di tempat lain disebut “kesedihan yang berdasarkan pada pelepasan keduniawian” (MN 137.13). MA menjelaskan bahwa seseorang tidak benar-benar meninggalkan kecenderungan pada kebencian dengan kesedihan itu; sebaliknya, terdorong oleh kerinduan akan kebebasan tertinggi itu, ia menjalankan praktik dengan tekad teguh dan melenyapkan kecenderungan pada kebencian dengan mencapai jalan yang-tidak-kembali.

476) MA: Bhikkhu itu menekan kecenderungan pada kebodohan dengan jhāna ke empat, menekannya dengan baik, dan kemudian melenyapkan kecenderungan pada kebodohan dengan mencapai jalan Kearahatan.

477) Kata “pasangan” (paṭibhāga) digunakan untuk mengungkapkan hubungan baik hubungan perlawanan maupun hubungan yang menguatkan.

478) Kebodohan adalah pasangannya karena perasaan bukan-menyakitkan-juga-bukan-bukan-menyenangkan adalah halus dan sulit dikenali.

479) MṬ: Nibbāna juga memiliki pasangan yang berlawanan, yaitu, kondisi-kondisi yang terkondisi. Tetapi dalam makna sesungguhnya Nibbāna tidak memiliki pasangan yang menguatkan, karena bagaimana mungkin ada yang dapat memperkuat Nibbāna, yang tidak terkondisi?

480) MA: Dengan mengatakan ini, Sang Buddha menjadikan sutta ini sebagai Kata Sang penakluk, mensahkannya dengan stempel Penakluk.


SUTTA 46

481) Analisa lengkap terhadap hal-hal yang seharusnya diikuti dan seharusnya tidak diikuti disajikan dalam
MN 114.


SUTTA 47

482) Parassa cetopariyāyaṁ ajānantena, kata terakhir lebih mengikuti BBS dan SBJ daripada PTS sebagai ājānantena, yang memberikan makna positif “mengetahui.” Dalam konteks ini jelas dibutuhkan makna negatif, karena bhikkhu yang tidak mengetahui pikiran Sang Buddha melalui pengenalan langsung bahwa Beliau tercerahkan sempurna harus sampai pada kesimpulan ini melalui kesimpulan yang ditarik dari perilaku jasmani dan ucapan dan bukti-bukti lainnya yang dijelaskan oleh sutta.

483) Perbuatan-perbuatan jasmani adalah “kondisi-kondisi yang dikenali melalui mata.” Kata-kata adalah “kondisi-kondisi yang dikenali melalui telinga.” MA: Seperti halnya seseorang menyimpulkan adanya ikan dari riakan dan gelembung air, demikian pula dari perbuatan atau ucapan kotor seseorang menyimpulkan bahwa pikiran yang berasal dari orang itu juga kotor.

484) MṬ: “Kondis-kondisi campuran” (vittimisā dhammā) merujuk pada perilaku seseorang yang menjalani pemurnian perilaku tetapi tidak mampu mempertahankannya secara konsisten. Kadang-kadang perilakunya murni atau cerah, kadang-kadang tidak murni atau gelap.

485) MA: Bahayanya adalah keangkuhan, kesombongan, dan sebagainya. Bagi beberapa bhikkhu, selama mereka belum menjadi terkenal atau memiliki pengikut, maka bahaya ini tidak ada, dan mereka sangat tenang; tetapi ketika mereka telah menjadi terkenal dan memiliki pengikut, mereka bepergian dengan berperilaku tidak selayaknya, menyerang para bhikkhu lain bagaikan seekor macan menerkam sekumpulan rusa.

486) MA: Lawan dari mereka yang mengajar suatu kelompok – mereka yang berdiam terlepas dari suatu kelompok – walaupun tidak disebutkan, harus dipahami juga.

487) MA: Paragraf ini menunjukkan sifat Sang Buddha yang tidak-membeda-bedakan (tādibhāva) terhadap makhluk-makhluk: Beliau tidak memuji seseorang dan menghina orang lain.

488) No ca tena tammayo. MA mengemas: “Aku tidak mengidentifikasikan sebagai moralitas murni tersebut, Aku adalah tanpa keinginan terhadap itu.”

489) So tasmiṁ dhamme abhiññāya idh’ ekaccaṁ dhammaṁ dhammesu niṭṭhaṁ gacchati. Untuk menyampaikan makna yang dimaksudkan saya menerjemahkan kata dhamma yang ke dua di sini sebagai “ajaran,” yaitu, doktrin tertentu yang diajarkan kepadanya, bentuk jamak dhammesu sebagai “ajaran-ajaran,” dan tasmiṁ dhamme sabagai “Dhamma itu,” dalam makna keseluruhan ajaran. MA dan MṬ sama-sama menjelaskan maknanya sebagai berikut: Ketika Dhamma telah diajarkan oleh Sang Guru, dengan secara langsung mengetahui Dhamma melalui penembusan sang jalan, buah, dan Nibbāna, bhikkhu itu sampai pada kesimpulan tentang ajaran awal dari Dhamma tentang bantuan-bantuan menuju pencerahan (bnodhipakkhiyā dhammā).

490) Ākāravati saddhā dassanamūlikā daḷhā. Frasa ini merujuk pada keyakinan seorang pemasuk-arus yang telah melihat Dhamma melalui jalan lokuttara dan tidak akan pernah berpaling pada guru lain selain Sang Buddha.


SUTTA 48

491) Latar belakang sutta ini adalah pertengkaran di Kosambi, yang diceritakan dalam Vin Mv Kh 10 (Vin i.337 ff.) dan dalam Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, pp.109-19. Pertengkaran ini, yang dimulai dengan kesalah-pahaman biasa pada aturan-aturan disiplin minor dengan cepat berkembang dan membagi Sangha dan umat awam penduduk Kosambi dalam dua kelompok yang saling bermusuhan.

492) Cha dhammā sārāṇiyā. Ñm menerjemahkan ungkapan ini “enam kualitas yang harus diingat,” yang diadopsi dalam edisi pertama. Dalam buku ini ia mengikuti komentar, yang mengemas frasa itu, “layak diingat; jangan dilupakan bahkan dengan berlalunya waktu” (saritabbayuttā addhāne atikkante pi na pamusitabbā). Akan tetapi, turunan yang benar, seperti catatan PED, adalah dari Skt saṁrañjaniya, “menyebabkan kegembiraan.”

493) MA: Ini adalah pandangan benar yang menjadi milik jalan mulia.

494) Empat Kebenaran Mulia.

495) Dhammatā.

496) Ini adalah pelanggaran aturan disiplin monastik yang dari sana seorang bhikkhu dapat direhabilitasi melalui sidang resmi Sangha atau dengan pengakuan kepada bhikkhu lain. Walaupun seorang siswa mulia mungkin melakukan pelanggaran demikian secara tidak sengaja atau karena tidak tahu, namun ia tidak berusaha untuk menyembunyikannya namun segera mengungkapkannya dan mencari cara untuk mendapatkan rehabilitasi.

497) Baca n.91.

498) MA menyebut ketujuh faktor itu “pengetahuan peninjauan besar” (mahāpaccavekkhaṇañāṇa) dari seorang pemasuk-arus. Mengenai pengetahuan peninjauan ini, baca Vsm XXII, 19-21.


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1, Catatan Kaki
« Reply #77 on: 18 October 2010, 02:13:44 PM »


SUTTA 49

499) Mūlapariyāya Sutta (MN 1) juga dibabarkan oleh Sang Buddha sewaktu Beliau sedang menetap di Hutan Subhaga di Ukkaṭṭhā, dan kemiripan dalam formula dan tema antara kedua sutta ini – mungkin hanya dua yang tercatat sebagai berasal dari Ukkaṭṭhā – sangat menonjol. Bahkan mungkin untuk melihat sutta yang sekarang ini sebagai representasi dramatis dari gagasan yang sama seperi yang disampaikan oleh Mūlapariyāya dalam kata-kata ringkas dan filosofis. Demikianlah Brahmā Baka dapat dianggap sebagai mewakili penjelmaan (bhava) atau personalitas (sakkāya) dalam bentuk yang paling menonjol, yang secara menbuta terlibat dalam aktivitas menganggap (maññanā), memelihara dirinya dengan kebodohan akan kekekalan, kesenangan, dan ke-diri-an. Penjelmaan yang mendasari adalah keinginan, dilambangkan oleh Māra – tampak kurang menonjol dalam kumpulan itu, namun merupakan pencipta sebenarnya dari curahan penganggapan, seorang yang mencengkeram keseluruhan alam semesta dalam genggamannya. Persekutuan Brahmā dan Māra, Tuhan dan Setan, persekutuan yang tidak masuk akal dari perspektif Theisme Barat, menunjukkan kehausan pada kelanjutan penjelmaan sebagai akar tersembunyi dari segala penegasan dunia, apakah theistik ataupun non-theistik. Dalam sutta ini kontes teoritis sepintas antara Baka dan Sang Buddha segera memberikan jalan pada konfrontasi lebih dalam antara Māra dan Sang Buddha – Māra sebagai keinginan yang menuntut penegasan penjelmaan, Yang Tercerahkan menunjukkan lenyapnya penjelmaan melalui tercabutnya kenikmatan.

500) Pertemuan serupa antara Sang Buddha dan Baka tercatat dalam SN 6:4/i.142-44, walaupun tanpa hiasan pertemuan ini dan dengan saling berbalas-balasan dalam syair. Menurut MA dan MṬ, ia menganut pandangan eternalis ini sehubungan dengan individu personalnya dan dunia di mana ia berada. Penyangkalannya atas “jalan membebaskan diri di luar” adalah penolakan atas alam jhāna yang lebih tinggi, sang jalan dan buah, dan Nibbāna, yang tidak ada satupun ia ketahui ada.

501) MA: Ketika Māra mengetahui bahwa Sang Buddha telah datang ke alam-Brahma, ia menjadi cemas bahwa para Brahmā dapat dikuasai oleh Dhamma dan membebaskan diri dari kekuasaannya; demikianlah ia mendesak Sang Buddha untuk tidak mengajarkan Dhamma.

502) MA: Karena mereka menganggapnya sebagai tidak kekal, penderitaan, dan bukan-diri.

503) MA: Dalam empat kondisi sengsara. Di sini, dan pada §10 dan §29, kata “jasmani” (kāya) digunakan dalam makna alam kehidupan.

504) MA: Mereka memujinya sebagai kekal, bertahan lama, abadi, dan seterusnya, dan bergembira di dalamnya melalui keinginan dan pandangan.

505) MA: di alam Brahma.

506) MA: Māra berniat untuk menunjukkan: “Jika engkau melakukan sesuai apa yang dikatakan oleh Brahmā tanpa melampaui kata-katanya, engkau juga akan bersinar dengan kemegahan dan keagungan yang sama seperti kelompok Brahmā ini.”

507) MA mengatakan bahwa dengan kedua kata pertama ia mencoba untuk membujuk Sang Buddha, dengan kedua kata berikutnya ia mengancam Beliau. “Menggenggam tanah” adalah melekatinya melalui keinginan, keangkuhan, dan pandangan. Daftar kategori di sini, walaupun singkat namun mengingatkan pada MN 1.

508) MA: Brahmā Baka adalah Brahma yang menguasai lebih dari seribu sistem-dunia, tetapi di atasnya terdapat para Brahmā yang menguasai lebih dari dua, tiga, empat, lima, sepuluh ribu dan seratus ribu sistem-dunia.

509) Jasmani dengan Cahaya Gemerlap adalah alam kelahiran kembali yang berhubungan dengan jhāna ke dua, sedangkan alam Brahmā Baka hanya berhubungan dengan jhāna pertama. Jasmani dengan Keagungan Gemilang dan jasmani dengan Buah Besar dalam paragraf berikutnya berhubungan dengan jhāna ke tiga dan ke empat.

510) Dalam Brahmajāla Sutta (DN 1.2.2-6/ii.17-19) Sang Buddha menunjukkan bagaimana Mahā Brahmā memunculkan kebodohan bahwa ia adalah Tuhan maha pencipta. Ketika dunia mulai terbentuk setelah suatu periode penghancuran, sesosok makhluk dengan jasa besar pertama kali terlahir kembali di alam Brahma yang baru terbentuk. Selanjutnya, makhluk-makhluk lain menyusul terlahir kembali di alam Brahma dan hal ini menyebabkan Mahā Brahmā beranggapan bahwa ia adalah pencipta dan pemimpin mereka. Baca Bodhi, The Discourse on the All-Embracing Net of Views, pp.69-70, 159-166.

511) Paragraf ini, paralel secara struktur dengan paragraf yang bersesuaian dari MN 1, adalah paragraf yang sulit. Kata kerja negaftif berbeda di antara ketiga edisi yang saya pelajari. PTS menuliskan nāhosi, BBS nāpahosiṁ, SBJ nāhosiṁ. Ñm lebih menyukai nāpahosiṁ, yang mana ia menganggapnya sebagai bentuk aorist dari pabbhavati, yang berari “menghasilkan, menjadikan.” Akan tetapi, adalah lebih mungkin, bahwa nāpahosiṁ harus dipecah hanya sebagai na + api + ahosiṁ. Dengan demikian maknanya tidak jauh berbeda antara BBS dan SBJ. MA mengemas: “Aku tidak menggenggam tanah melalui gangguan keinginan, keangkuhan, dan pandangan.” Ñm menerjemahkan ananubhūtaṁ sebagai “tidak serupa dengan.” Ini telah digantikan dengan “tidak menjadi bagian dari,” megikuti kemasan MA, “tidak terjangkau oleh tanah” dan MṬ: “sifatnya tidak sama dengan tanah.” MA mengatakan bahwa apa yang “tidak menjadi bagian dari tanah” adalah Nibbāna, yang terlepas dari segala yang terkondisi.

512) PTS pasti keliru dalam menghilangkan ti  disini yang menutup kutipan langsung; ini menyesatkan Horner dalam memperkirakan bahwa paragraf berikutnya adalah dari Baka dan bukan dari Sang Buddha (MLS 1:392). BBS dan SBJ mencantumkan ti. Baka sepertinya menyiratkan bahwa karena obyek pengetahuan Sang Buddha “tidak menjadi bagian dari sifat keseluruhan,” maka itu hanyalah sekadar konsepsi kosong.

513) Dalam edisi pertama, saya mempertahankan terjemahan Ñm pada kalimat-kalimat ini, yang tertulis:

   Kesadaran yang tidak terwujud,
   Juga tidak berhubungan dengan keterbatasan,
   Tidak mengaku makhluk sehubungan dengan keseluruhan.

Setelah merenungkan kembali, saya menganggap bahwa terjemahan ini jauh dari memuaskan dan dengan demikian di sini saya memberikan terjemahan saya. Kalimat-kalimat ini (yang juga muncul sebagai bagian dari syair lengkap dalam DN 11.85/i.223) telah menjadi tantangan selama bertahun-tahun bagi para terpelajar Buddhis, dan bahkan Acariya Buddhaghosa sepertinya terjebak di dalamnya. MA menganggap subyek kalimat ini adalah Nibbāna, yang disebut “kesadaran” (viññāṇaṁ) dalam makna bahwa “itu dapat dikenali” (vijānitabbaṁ). Turunan ini hamper tidak dapat diterima, karena tidak ada di manapun dalam Nikāya terdapat Nibbāna digambarkan sebagai kesadaran, juga tidak mungkin menurunkan suatu kata benda aktif dari kata kerja yang dibentuk dari kata benda. MA menjelaskan anidassanaṁ sebagai berarti tidak terlihat, “karena itu (Nibbāna) tidak muncul dalam jangkauan kesadaran-mata,” tetapi sekali lagi ini adalah suatu penjelasan hambar. Kata anidassana muncul pada MN 21.14 dalam penggambaran ruang kosong sebagai suatu media yang tidak tepat untuk menggambar; demikianlah gagasan ini sepertinya adalah sesuatu yang tidak berwujud.

MA memberikan tiga penjelasan atas sabbato pabhaṁ: (1) sepenuhnya memiliki kecerahan (pabbā); (2) memiliki penjelmaan (panbhūtaṁ) di mana-mana; dan (3) suatu penyeberangan (pabhaṁ) yang dapat dijangkau dari segala arah, yaitu, melalui satu dari tiga puluh delapan obyek meditasi. Hanya yang pertama dari ketiga ini yang sepertinya memiliki kecocokan linguistik. Ñm, dalam Ms, menjelaskan bahwa ia menganggap pabhaṁ sebagai kata kerja negatif dari pabhavati - apabhaṁ - awalan negatif meluruh dalam gabungan dengan sabbato: “Makna ini dapat dituliskan secara bebas dengan ‘tidak menyebutkan penjelmaan sehubungan dengan “keseluruhan,” atau ‘tidak menganggap “keseluruhan” bahwa itu ada atau tidak tidak ada dalam makna absolut.’” Tetapi jika kita menganggap pabhaṁ sebagai “bercahaya,” yang sepertinya lebih dapat dibenarkan, maka syair ini berhubungan dengan gagasan pikiran sebagai yang pada hakikatnya terang (pabhassaram idaṁ cittaṁ, AN i.10) dan juga menyiratkan cahaya kebijaksanaan (paññāpabhā), yang disebut cahaya terbaik (AN ii.139). saya memahami kesadaran ini adalah, bukan Nibbāna itu sendiri, tetapi kesadaran Arahant selama pengalaman meditatif Nibbāna. Sehubungan dengan hal ini, baca AN v.7-10,318-26. perhatikan bahwa pengalaman meditatif ini tidak mewujudkan fenomena terkondisi apapun dari dunia, dan dengan demikian dapat dengan benar digambarkan sebagai “tidak berwujud.”

514) Menghilangnya Sang Buddha sepertinya adalah suatu demonstrasi “visual” dari syairnya. Setelah mencabut kesenangan dalam penjelmaan, Beliau mampu menghilang dari pandangan Baka, representasi tertinggi dari penjelmaan dan kebenaran dunia. Tetapi Baka, karena terikat pada penjelmaan oleh kemelekatan, tidak mampu melampaui jangkauan pengetahuan Sang Buddha, yang melingkupi penjelmaan dan tanpa-penjelmaan pada saat yang sama pengetahuan itu melampaui penjelmaan dan tanpa-penjelmaan.

515) Ini adalah kecondongan yang sama yang muncul dalam pikiran Sang Buddha pada masa segera setelah pencerahannya – baca MN 26.19. Bandingkan juga dengan DN 16.3.34/ii.112 di mana Māra mencoba untuk membujuk Sang Buddha yang baru tercerahkan untuk segera meninggal dunia dengan damai.

516) Tādiso: yaitu, apakah Beliau mengajar atau tidak mengajar, Beliau tetap adalah Sang Tathāgata.

SUTTA 50

517) Nama ini berarti “Penjahat” atau “Yang Jahat.” Dalam konsep semesta Buddhis, posisi Māra, seperti halnya Mahā Brahmā, adalah posisi yang tetap yang dipegang oleh individu-individu berbeda sesuai dengan kamma mereka.

518) Kakusandha adalah Buddha pertama yang muncul dalam siklus kosmis yang sekarang ini yang disebut “masa keberuntungan.” Beliau diikuti oleh Buddha Konagamaṇa dan Kassapa, dan setelahnya adalah kemunculan Buddha Gotama yang sekarang ini.

519) Nama ini berarti “Yang tanpa banding.”

520) Seorang yang telah mencapai lenyapnya, sepertinya, tidak akan mengalami luka atau kematian di dalam pencapaian itu sendiri. Pada Vsm XXIII, 37 dikatakan bahwa pencapaian itu melindungi bahkan benda-benda miliknya seperti jubah dan tempat duduknya dari kehancuran.

521) Nama ini berarti “Yang selamat.”

522) Yaitu, dengan memunculkan kekotoran dalam pikiran mereka, maka ia akan mencegah mereka membebaskan diri dari saṁsāra.

523) MA bersusah payah menunjukkan bahwa Māra tidak mengerahkan kekuatan untuk mengendalikan perbuatan mereka, yang mana jika demikian maka ia sendiri yang akan bertanggung jawab dan para brahmana tidak menghasilkan kamma buruk karena perbuatan itu. Sebaliknya, Māra membuat para brahmana membayangkan gambaran para bhikkhu yang terlibat dalam perilaku yang tidak selayaknya, dan ini membangkitkan kebencian mereka dan memicu mereka untuk menggoda para bhikkhu itu. Niat Māra dalam melakukan hal itu adalah untuk membangkitkan kemarahan dan kekesalan para bhikkhu.

524) “Leluhur” (bandhu) adalah Brahmā, yang disebut demikian oleh para brahmana karena mereka menganggapnya sebagai leluhur pertama. MA menjelaskan bahwa adalah kepercayaan di antara para brahmana bahwa mereka adalah keturunan mulut Brahmā, khattiya adalah keturunan dada Brahmā, vessa  dari perut, sudda dari kaki, dan samaṇa dari telapak kaki.

525) Jhāyanti pajjhāyanti nijjhāyanti apajjhāyanti. Walaupun kata kerja ini secara berdiri sendiri tidak memiliki makna negatif, rangkaian ini jelas dimaksudkan sebagai penurunan. Pada MN 108.26 empat kata kerja ini digunakan untuk menggambarkan meditasi seseorang yang pikirannya dikuasai oleh lima rintangan.

526) Empat brahmavihāra adalah penawar yang tepat bagi kekejaman pada orang lain, serta bagi kecenderungan pada kemarahan dan kekesalan dalam pikiran seseorang.

527) Kali ini Māra berniat untuk menjatuhkan para bhikkhu dalam kesombongan, kepuasan, dan kelengahan.

528) MA mengutip sebuah sutta (AN 7:46/iv.46-53) menyebutkan bahwa empat meditasi ini adalah penawar, berturut-turut, bagi keinginan indria, keinginan akan rasa kecapan, ketertarikan pada dunia, dan ketergila-gilaan pada perolehan, kehormatan, dan pujian.

529) MA: Tatapan gajah (nāgapalokita) berarti bahwa tanpa menggerakkan leher, ia memutar seluruh tubuhnya untuk melihat. Māra Dūsi bukan mati karena tatapan gajah Sang Buddha melainkan karena kamma buruk yang ia hasilkan dalam menyerang seorang siswa utama yang memotong kehidupannya pada saat itu juga.

530) Neraka Besar, juga disebut Avīci, dijelaskan secara lengkap dalam MN 130.16-19.

531) MA: perasaan ini, yang dialami dalam Neraka Besar tambahan, dikatakan lebih menyakitkan daripada perasaan yang dialami dalam Neraka Besar itu sendiri.

532) Buddha Kakusandha disebut Brahmana dalam makna seperti pada MN 39.24.

533) Referensinya adalah pada SN 51:14/v.269-70.

534) Baca MN 37.11.

535) Baca MN 37.12.

536) Referensinya adalah pada SN 6:5/i.145.

537) Syair ini merujuk pada kemampuan YM. Moggallāna dalam mengerahkan kekuatan batin terbang di angkasa seperti burung.