//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama  (Read 52244 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« on: 21 July 2010, 06:00:21 PM »
Thread ini berisi sutta-sutta yg terdapat dalam Majjhima Nikaya, Bagian I (Lima puluh khotbah pertama),

Kelompok Khotbah Tentang Akar (Mūlapariyāyavagga)

1  Mūlapariyāya Sutta  - Akar Segala Sesuatu
2  Sabbāsava Sutta  -  Segala noda
3  Dhammadāyāda Sutta  -  Pewaris dalam Dhamma
4  Bhayabherava Sutta  -  Kekhawatiran dan Ketakutan
5  Anangaṇa Sutta  -  Tanpa Noda
6  Ākankheyya Sutta  -  Jika Seorang Bhikkhu Menghendaki
7  Vatthūpama Sutta  -  Perumpamaan Kain
8  Sallekha Sutta  -  Pemurnian
9  Sammādiṭṭhi Sutta  -  Pandangan Benar
10  Satipaṭṭhāna Sutta  -  Landasan-landasan Perhatian

Kelompok Auman Singa (Sīhanādavagga)

11  Cūḷasīhanāda Sutta  -  Khotbah pendek tentang Auman Singa
12  Mahāsīhanāda Sutta  -  Khotbah panjang tentang Auman Singa
13  Mahādukkhakkhandha Sutta  -  Khotbah Panjang tentang Kumpulan Penderitaan
14  Cūḷadukkhakkhandha Sutta  -  Khotbah Pendek tentang Kumpulan Penderitaan
15  Anumāna Sutta  -  Kesimpulan
16  Cetokhila Sutta  -  Belantara dalam Batin
17  Vanapattha Sutta  -  Hutan Belantara
18  Madhupiṇḍika Sutta  -  Bola Madu
19  Dvedhāvitakka Sutta  -  Dua Jenis Pikiran
20  Vitakkasaṇṭhāna Sutta  -  Pelenyapan Pikiran-pikiran Kacau

Kelompok Perumpamaan (Opammavagga)

21  Kakacūpama Sutta  -  Perumpamaan Gergaji
22  Alagaddūpama Sutta  -  Perumpamaan Ular
23  Vammika Sutta  -  Gundukan Sarang Semut
24  Rathavinīta Sutta  -  Barisan Kereta
25  Nivāpa Sutta  -  Umpan
26  Ariyapariyesanā Sutta  -  Pencarian Mulia
27  Cūḷahatthipadopama Sutta  -  Khotbah pendek tentang Perumpamaan Jejak Kaki Gajah
28  Mahāhatthipadopama Sutta  -  Khotbah panjang tentang Perumpamaan Jejak Kaki Gajah
29  Mahāsāropama Sutta  -  Khotbah panjang tentang  Perumpamaan Inti Kayu
30  Cūḷasāropama Sutta  -  Khotbah pendek tentang Perumpamaan Inti Kayu

Kelompok Panjang Berpasangan (Mahāyamakavagga)

31  Cūḷagosinga Sutta  -  Khotbah Pendek di Gosinga
32  Mahāgosinga Sutta  -  Khotbah Panjang di Gosinga
33  Mahāgopālaka Sutta  -  Khotbah Panjang tentang Penggembala Sapi
34  Cūḷagopālaka Sutta  -  Khotbah Pendek tentang Penggembala Sapi
35  Cūḷasaccaka Sutta  -  Khotbah Pendek kepada Saccaka
36  Mahāsaccaka Sutta  -  Khotbah Panjang kepada Saccaka
37  Cūḷataṇhāsankhaya Sutta  -  Khotbah Pendek tentang Hancurnya Keinginan
38  Mahātaṇhāsankhaya Sutta  -  Khotbah Panjang tentang Hancurnya Keinginan
39  Mahā-Assapura Sutta  -  Khotbah Panjang di Assapura
40  Cūḷa-Assapura Sutta  -  Khotbah Pendek di Assapura

Kelompok Pendek Berpasangan (Cūḷayamakavagga)

41  Sāleyyaka Sutta - Brahmana Sālā
42  Verañjaka Sutta  -  Brahmana Verañja
43  Mahāvedalla Sutta  -  Rangkaian panjang Tanya-Jawab
44  Cūḷavedalla Sutta  -  Rangkaian pendek Tanya-Jawab
45  Cūḷadhammasamādāna Sutta  -  Khotbah Pendek tentang Cara-Cara  Melaksanakan Segala    Sesuatu
46  Mahādhammasamādāna Sutta  -  Khotbah Panjang tentang Cara-Cara Melaksanakan Segala Sesuatu
47  Vīmaṁsaka Sutta  -  Penyelidik
48  Kosambiya Sutta  -  Orang-Orang Kosambi
49  Brahmanimantanika Sutta  -  Undangan Brahmā
50  Māratajjanīya Sutta  - Teguran kepada Māra



Thread ini saya lock demi kerapian, jika ada di antara teman-teman yang ingin mendiskusikan atau mengomentari silahkan di http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17307.0.html

























« Last Edit: 21 July 2010, 06:03:25 PM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #1 on: 21 July 2010, 06:25:57 PM »
1  Mūlapariyāya Sutta
Akar Segala Sesuatu



[1] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Ukkaṭṭhā di Hutan Subhaga di bawah pohon sāla besar. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.”  – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan sebuah khotbah kepada kalian tentang akar dari segala sesuatu.  Dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(ORANG BIASA)

3. “Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak terpelajar,  yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, memahami tanah sebagai tanah.  Setelah memahami tanah sebagai tanah, ia menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia menganggap [dirinya] dalam tanah, ia menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam tanah.  Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

4. “Ia memahami air sebagai air. Setelah memahami air sebagai air, ia menganggap [dirinya sebagai] air, ia menganggap [dirinya] dalam air, ia menganggap [dirinya terpisah] dari air, ia menganggap air sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam air. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

5. “Ia memahami api sebagai api. Setelah memahami api sebagai api, ia menganggap [dirinya sebagai] api, ia menganggap [dirinya] dalam api, ia menganggap [dirinya terpisah] dari api, ia menganggap api sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam api. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

6. “Ia memahami udara sebagai udara. Setelah memahami udara sebagai udara, ia menganggap [dirinya sebagai] udara, ia menganggap [dirinya] dalam udara, ia menganggap [dirinya terpisah] dari udara, ia menganggap udara sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam udara. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan. [2]

7. “Ia memahami makhluk-makhluk sebagai makhluk-makhluk.  Setelah memahami makhluk-makhluk sebagai makhluk-makhluk, ia membayangkan makhluk-makhluk, ia menganggap [dirinya] dalam makhluk-makhluk, ia menganggap [dirinya terpisah] dari makhluk-makhluk, ia menganggap makhluk-makhluk sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam makhluk-makhluk. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

8. “Ia memahami dewa-dewa sebagai dewa-dewa.  Setelah memahami dewa-dewa sebagai dewa-dewa, ia membayangkan dewa-dewa, ia menganggap [dirinya] dalam dewa-dewa, ia menganggap [dirinya terpisah] dari dewa-dewa, ia menganggap dewa-dewa sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam dewa-dewa. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

9. “Ia memahami Pajāpati sebagai Pajāpati.  Setelah memahami Pajāpati sebagai Pajāpati, ia membayangkan Pajāpati, ia menganggap [dirinya] dalam Pajāpati, ia menganggap [dirinya terpisah] dari Pajāpati, ia menganggap Pajāpati sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam Pajāpati. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

10. “Ia memahami Brahmā sebagai Brahmā.  Setelah memahami Brahmā sebagai Brahmā, ia membayangkan Brahmā, ia menganggap [dirinya] dalam Brahmā, ia menganggap [dirinya terpisah] dari Brahmā, ia menganggap Brahmā sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam Brahmā. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

11. “Ia memahami para dewa dengan Cahaya Gemerlap sebagai para dewa dengan Cahaya Gemerlap.  Setelah memahami para dewa dengan Cahaya Gemerlap sebagai para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia membayangkan para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia menganggap [dirinya] dalam para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia menganggap [dirinya terpisah] dari para dewa dengan Cahaya Gemerlap, ia menganggap para dewa dengan Cahaya Gemerlap sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam para dewa dengan Cahaya Gemerlap. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

12. “Ia memahami para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai para dewa dengan Keagungan Gemilang.  Setelah memahami para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia membayangkan para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia menganggap [dirinya] dalam para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia menganggap [dirinya terpisah] dari para dewa dengan Keagungan Gemilang, ia menganggap para dewa dengan Keagungan Gemilang sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam para dewa dengan Keagungan Gemilang. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

13. “Ia memahami para dewa dengan Buah Besar sebagai para dewa dengan Buah Besar.  Setelah memahami para dewa dengan Buah Besar sebagai para dewa dengan Buah Besar, ia membayangkan para dewa dengan Buah Besar, ia menganggap [dirinya] dalam para dewa dengan Buah Besar, ia menganggap [dirinya terpisah] dari para dewa dengan Buah Besar, ia menganggap para dewa dengan Buah Besar sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam para dewa dengan Buah Besar. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

14. “Ia memahami raja sebagai raja.  Setelah memahami raja sebagai raja, ia membayangkan raja, ia menganggap [dirinya] dalam raja, ia menganggap [dirinya terpisah] dari raja, ia menganggap raja sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam raja. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

15. “Ia memahami landasan ruang tanpa batas sebagai landasan ruang tanpa batas.  Setelah memahami landasan ruang tanpa batas sebagai landasan ruang tanpa batas,  ia menganggap [dirinya sebagai] landasan ruang tanpa batas, ia menganggap [dirinya] dalam landasan ruang tanpa batas, ia menganggap [dirinya terpisah] dari landasan ruang tanpa batas, ia menganggap landasan ruang tanpa batas sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam landasan ruang tanpa batas. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

16. “Ia memahami landasan kesadaran tanpa batas sebagai landasan kesadaran tanpa batas. Setelah memahami landasan kesadaran tanpa batas sebagai landasan kesadaran tanpa batas,  [3] ia menganggap [dirinya sebagai] landasan kesadaran tanpa batas, ia menganggap [dirinya] dalam landasan kesadaran tanpa batas, ia menganggap [dirinya terpisah] dari landasan kesadaran tanpa batas, ia menganggap landasan kesadaran tanpa batas sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam landasan kesadaran tanpa batas. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

17. “Ia memahami landasan kekosongan sebagai landasan kekosongan. Setelah memahami landasan kekosongan sebagai landasan kekosongan, ia menganggap [dirinya sebagai] landasan kekosongan, ia menganggap [dirinya] dalam landasan kekosongan, ia menganggap [dirinya terpisah] dari landasan kekosongan, ia menganggap landasan kekosongan sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam landasan kekosongan. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

18. “Ia memahami landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sebagai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Setelah memahami landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sebagai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap [dirinya sebagai] landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap [dirinya] dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap [dirinya terpisah] dari landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, ia menganggap landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

19. “Ia memahami yang terlihat sebagai yang terlihat.  Setelah memahami yang terlihat sebagai yang terlihat, ia menganggap [dirinya sebagai] yang terlihat, ia menganggap [dirinya] dalam yang terlihat, ia menganggap [dirinya terpisah] dari yang terlihat, ia menganggap yang terlihat sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam yang terlihat. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

20. “Ia memahami yang terdengar sebagai yang terdengar. Setelah memahami yang terdengar sebagai yang terdengar, ia menganggap [dirinya sebagai] yang terdengar, ia menganggap [dirinya] dalam yang terdengar, ia menganggap [dirinya terpisah] dari yang terdengar, ia menganggap yang terdengar sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam yang terdengar. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

21. “Ia memahami yang tercerap sebagai yang tercerap. Setelah memahami yang tercerap sebagai yang tercerap, ia menganggap [dirinya sebagai] yang tercerap, ia menganggap [dirinya] dalam yang tercerap, ia menganggap [dirinya terpisah] dari yang tercerap, ia menganggap yang tercerap sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam yang tercerap. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

22. “Ia memahami yang dikenali sebagai yang dikenali. Setelah memahami yang dikenali sebagai yang dikenali, ia menganggap [dirinya sebagai] yang dikenali, ia menganggap [dirinya] dalam yang dikenali, ia menganggap [dirinya terpisah] dari yang dikenali, ia menganggap yang dikenali sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam yang dikenali. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

23. “Ia memahami kesatuan sebagai kesatuan.  Setelah memahami kesatuan sebagai kesatuan, ia menganggap [dirinya sebagai] kesatuan, ia menganggap [dirinya] dalam kesatuan, ia menganggap [dirinya terpisah] dari kesatuan, ia menganggap kesatuan sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam kesatuan. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

24. “Ia memahami keberagaman sebagai keberagaman. Setelah memahami keberagaman sebagai keberagaman, ia menganggap [dirinya sebagai] keberagaman, ia menganggap [dirinya] dalam keberagaman, ia menganggap [dirinya terpisah] dari keberagaman, ia menganggap keberagaman sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam keberagaman. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

25. “Ia memahami keseluruhan sebagai keseluruhan.  Setelah memahami keseluruhan sebagai keseluruhan, ia menganggap [dirinya sebagai] keseluruhan, [4] ia menganggap [dirinya] dalam keseluruhan, ia menganggap [dirinya terpisah] dari keseluruhan, ia menganggap keseluruhan sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam keseluruhan. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

26. “Ia memahami Nibbāna sebagai Nibbāna.  Setelah memahami Nibbāna sebagai Nibbāna, ia menganggap [dirinya sebagai] Nibbāna, ia menganggap [dirinya] dalam Nibbāna, ia menganggap [dirinya terpisah] dari Nibbāna, ia menganggap Nibbāna sebagai ‘milikku,’ ia bersenang dalam Nibbāna. Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.

(SISWA DALAM LATIHAN YANG LEBIH TINGGI)

27. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang sedang dalam latihan yang lebih tinggi,  yang pikirannya masih belum mencapai tujuan, dan yang masih bercita-cita untuk mencapai keamanan tertinggi dari belenggu, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah.  Setelah mengetahui tanah sebagai tanah, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia seharusnya tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia seharusnya tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Agar ia dapat memahaminya sepenuhnya, Aku katakan.

28-49. “Ia secara langsung mengetahui air sebagai air … Ia secara langsung mengetahui keseluruhan sebagai keseluruhan.

50. “Ia secara langsung mengetahui Nibbāna sebagai Nibbāna. Setelah mengetahui Nibbāna sebagai Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya sebagai] Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya] dalam Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap [dirinya terpisah] dari Nibbāna, ia seharusnya tidak menganggap Nibbāna sebagai ‘milikku,’ ia seharusnya tidak bersenang dalam Nibbāna. Mengapakah? Agar ia dapat memahaminya sepenuhnya, Aku katakan.

(ARAHANT – I)

51. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant dengan noda-noda telah dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuan sesungguhnya, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir,  ia juga secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena ia telah memahami sepenuhnya, Aku katakan.
`
52-74. “Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia telah memahami sepenuhnya, Aku katakan.

(ARAHANT – II)

75. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant … sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir, [5] secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari nafsu melalui hancurnya nafsu.

76-98. “Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari nafsu melalui hancurnya nafsu.

(ARAHANT – III)

99. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant … sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari kebencian melalui hancurnya kebencian.

100-122. “Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari kebencian melalui hancurnya kebencian.

(ARAHANT – IV)

123. “Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahant … sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, ia tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, ia tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari kebodohan melalui hancurnya kebodohan

124-146. “Ia juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena ia terbebaskan dari kebodohan melalui hancurnya kebodohan.

(TATHĀGATA – I)

147. “Para bhikkhu, Sang Tathāgata juga,  yang sempurna dan tercerahkan sepenuhnya, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, Beliau tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ Beliau tidak bersenang dalam tanah. [6] Mengapakah? Karena Beliau telah memahami sepenuhnya hingga akhir, Aku katakan.

148-170. “Beliau juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena Beliau telah memahami sepenuhnya hingga akhir, Aku katakan.

(TATHĀGATA – II)

171. “Para bhikkhu, Sang Tathāgata juga, yang sempurna dan tercerahkan sepenuhnya, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah. Setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya sebagai] tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya] dalam tanah, Beliau tidak menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, Beliau tidak menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ Beliau tidak bersenang dalam tanah. Mengapakah? Karena Beliau telah memahami bahwa kegembiraan adalah akar penderitaan, dan bahwa dengan penjelmaan [sebagai kondisi] maka ada kelahiran, dan bahwa dengan apapun yang terlahir itu, maka ada penuaan dan kematian.  Oleh karena itu, para bhikkhu, melalui kehancuran, peluruhan, pelenyapan, penghentian, dan pelepasan keinginan sepenuhnya, Sang Tathāgata telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tertinggi, Aku katakan.

172-194. “Beliau juga secara langsung mengetahui air sebagai air … Nibbāna sebagai Nibbāna … Mengapakah? Karena Beliau telah memahami bahwa kegembiraan adalah akar penderitaan, dan bahwa dengan penjelmaan [sebagai kondisi] maka ada kelahiran, dan bahwa dengan apapun yang terlahir itu, maka ada penuaan dan kematian. Oleh karena itu, para bhikkhu, melalui kehancuran, peluruhan, pelenyapan, penghentian, dan pelepasan keinginan sepenuhnya, Sang Tathāgata telah tercerahkan hingga pencerahan sempurna yang tertinggi, Aku katakan.

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Tetapi para bhikkhu itu tidak bergembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 28 April 2012, 09:59:28 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #2 on: 21 July 2010, 06:27:04 PM »
2  Sabbāsava Sutta
Segala noda


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian sebuah khotbah tentang pengendalian segala noda.  [7] Dengarkanlah dan perhatikanlah pada apa yang akan Kukatakan.” – “Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

(RINGKASAN)

3. “Para Bhikkhu, Aku katakan bahwa hancurnya noda-noda adalah untuk seorang yang mengetahui dan melihat, bukan untuk seorang yang tidak mengetahui dan tidak melihat. Yang mengetahui dan melihat apakah? Perhatian bijaksana dan perhatian tidak bijaksana.  Ketika seseorang memperhatikan dengan tidak bijaksana, noda-noda yang belum muncul menjadi muncul dan noda-noda yang telah muncul menjadi bertambah. Ketika seseorang memperhatikan dengan bijaksana, noda-noda yang belum muncul tidak akan muncul dan noda-noda yang telah muncul ditinggalkan.

4. “Para bhikkhu, ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menggunakan. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menahankan. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menghindari. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan. Ada noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MELIHAT)

5. “Apakah noda-noda, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan melihat?  Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak terpelajar, yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, tidak memahami hal-hal apa yang layak diperhatikan dan hal-hal apa yang tidak layak diperhatikan. Oleh karena itu, ia memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan ia tidak memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan.

6. “Apakah hal-hal yang tidak layak untuk diperhatikan yang ia perhatikan? Yaitu hal-hal yang ketika ia memperhatikannya, maka noda-noda keinginan indria yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda keinginan indria yang telah muncul menjadi bertambah, noda-noda penjelmaan yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda penjelmaan yang telah muncul menjadi bertambah, noda-noda kebodohan yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya, dan noda-noda kebodohan yang telah muncul menjadi bertambah. Ini adalah hal-hal yang tidak layak diperhatikan yang ia perhatikan.  Dan apakah hal-hal yang layak untuk diperhatikan yang tidak ia perhatikan? Yaitu hal-hal yang ketika ia memperhatikannya, maka noda-noda keinginan indria yang belum muncul tidak menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda keinginan indria yang telah muncul ditinggalkan, noda-noda penjelmaan yang belum muncul tidak menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda penjelmaan yang telah muncul ditinggalkan, noda-noda kebodohan yang belum muncul tidak menjadi muncul dalam dirinya, dan noda-noda kebodohan yang telah muncul ditinggalkan. Ini adalah hal-hal yang layak diperhatikan yang tidak ia perhatikan. [8] Dengan memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan dengan tidak memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan, maka noda-noda yang belum muncul menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda yang telah muncul menjadi bertambah.

7. “Ini adalah bagaimana ia memperhatikan dengan tidak bijaksana: ‘Apakah aku ada di masa lampau? Apakah aku tidak ada di masa lampau? Apakah aku di masa lampau? Bagaimanakah aku di masa lampau? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa lampau? Apakah aku akan ada di masa depan? Apakah aku akan tidak ada di masa depan? Akan menjadi apakah aku di masa depan? Akan bagaimanakah aku di masa depan? Setelah menjadi apa, kemudian menjadi apakah aku di masa depan? Atau kalau tidak demikian, ia kebingungan sehubungan dengan masa sekarang sebagai berikut: ‘Apakah aku ada? Apakah aku tidak ada? Apakah aku? Bagaimanakah aku? Dari manakah makhluk ini datang? Kemanakah makhluk ini akan pergi?’

8. “Ketika ia memperhatikan dengan tidak bijaksana seperti ini, satu dari enam pandangan muncul dalam dirinya.  Pandangan ‘ada diri bagiku’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau pandangan ‘tidak ada diri bagiku’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau pandangan ‘aku melihat diri dengan diri’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau pandangan ‘aku melihat bukan-diri dengan diri’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau pandangan ‘aku melihat diri dengan bukan-diri’ muncul dalam dirinya sebagai benar dan kokoh; atau kalau tidak demikian, ia memiliki beberapa pandangan sebagai berikut ini: ‘adalah diriku ini yang berbicara dan merasakan dan mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan baik dan buruk; tetapi diriku ini adalah kekal, tetap ada, abadi, tidak tunduk pada perubahan, dan akan bertahan selamanya.’  Pandangan spekulatif ini, para bhikkhu, disebut rimba pandangan, belantara pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. Terbelenggu oleh belenggu-belenggu pandangan, seorang biasa yang tidak terpelajar tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

9. “Para bhikkhu, seorang siswa mulia yang terlatih baik, yang menghargai para mulia dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, yang menghargai manusia sejati dan terampil dan disiplin dalam Dhamma mereka, memahami hal-hal apa yang layak diperhatikan dan hal-hal apa yang tidak layak diperhatikan. Oleh karena itu, [9] ia tidak memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan ia memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan.

10. “Apakah hal-hal yang tidak layak diperhatikan yang tidak ia perhatikan? Yaitu hal-hal yang ketika ia memperhatikannya, noda-noda keinginan indria yang belum muncul menjadi muncul … (seperti §6) … dan noda-noda kebodohan yang telah muncul menjadi bertambah. Ini adalah hal-hal yang tidak layak diperhatikan yang tidak ia perhatikan. Dan apakah hal-hal yang layak diperhatikan yang ia perhatikan? Yaitu hal-hal yang ketika ia memperhatikannya, noda-noda keinginan indria yang belum muncul tidak menjadi muncul … (seperti §6) … dan noda-noda kebodohan yang telah muncul ditinggalkan. Ini adalah hal-hal yang layak diperhatikan yang ia perhatikan. Dengan tidak memperhatikan hal-hal yang tidak layak diperhatikan dan dengan memperhatikan hal-hal yang layak diperhatikan, noda-noda yang belum muncul tidak menjadi muncul dalam dirinya dan noda-noda yang telah muncul ditinggalkan.

11. “Ia memperhatikan dengan bijaksana: ‘Ini adalah penderitaan’; ia memperhatikan dengan bijaksana: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia memperhatikan dengan bijaksana: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia memperhatikan dengan bijaksana: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’  Ketika ia memperhatikan dengan bijaksana seperti ini, tiga belenggu ditinggalkan dalam dirinya: pandangan akan diri, keragu-raguan, dan keterikatan pada ritual dan upacara. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MENGENDALIKAN)

12. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan?  Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, berdiam dengan indria mata terkendali. Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang berdiam dengan indria mata tidak terkendali, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang berdiam dengan indria mata terkendali.  Merenungkan dengan bijaksana, ia berdiam dengan indria telinga terkendali … dengan indria hidung terkendali … dengan indria lidah terkendali … dengan indria badan terkendali … dengan indria pikiran terkendali … Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang berdiam dengan indria-indria tidak terkendali, [10] sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang berdiam dengan indria-indria terkendali. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MENGGUNAKAN)

13. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan menggunakan?  Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, menggunakan jubah hanya untuk perlindungan dari dingin, untuk perlindungan dari panas, untuk perlindungan dari kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata, dan hanya bertujuan untuk menutupi bagian tubuh yang pribadi.

14. “Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan dana makanan bukan untuk kenikmatan juga bukan untuk kemabukan juga bukan demi kecantikan  dan kemenarikan fisik, tetapi hanya untuk ketahanan dan kelangsungan badan ini, untuk mengakhiri ketidaknyamanan, dan untuk mendukung kehidupan suci, dengan pertimbangan: ‘Dengan demikian aku akan mengakhiri perasaan sebelumnya tanpa memunculkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan dapat hidup dengan nyaman.’

15. “Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan tempat bernaung hanya untuk perlindungan dari dingin, untuk perlindungan dari panas, untuk perlindungan dari kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata, dan hanya bertujuan untuk menangkis bahaya iklim dan untuk menikmati latihan.

16. “Merenungkan dengan bijaksana, ia menggunakan obat-obatan hanya untuk perlindungan dari penyakit yang telah muncul dan demi kesehatan

17. “Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang tidak menggunakan benda-benda kebutuhan seperti demikian, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang menggunakannya seperti demikian. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menggunakan.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MENAHANKAN)

18. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan menahankan? Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, menahankan dingin dan panas, lapar dan haus, kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan binatang-binatang melata; ia menahankan kata-kata kasar dan tidak ramah dan perasaan jasmani yang menyakitkan, menyiksa, tajam, menusuk, tidak menyenangkan, menyusahkan, dan mengancam kehidupan yang timbul. Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang tidak menahankan hal-hal demikian, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang menahankan hal-hal demikian. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menahankan.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MENGHINDARI)

19. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan menghindari? Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, menghindari gajah liar, kuda liar, sapi liar, anjing liar, ular, tunggul pohon, [11] semak berduri, jurang, ngarai, lubang kakus, saluran pembuangan. Merenungkan dengan bijaksana, ia menghindari duduk di tempat yang tidak sesuai, menghindari bepergian ke tempat yang tidak sesuai,  dan menghindari bergaul dengan teman-teman yang tidak baik, karena jika ia melakukan hal itu maka teman-teman bijaksana dalam kehidupan suci akan mencurigainya berperilaku buruk. Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang tidak menghindari hal-hal demikian, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang menghindari hal-hal demikian. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menghindari.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MELENYAPKAN)

20. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan? Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, tidak mentolerir pikiran keinginan indria yang muncul; ia meninggalkannya, melenyapkannya, mengusirnya, dan membasminya. Ia tidak mentolerir pikiran berniat buruk yang muncul … Ia tidak mentolerir pikiran kejam yang muncul … Ia tidak mentolerir kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat; ia meninggalkannya, melenyapkannya, mengusirnya, dan membasminya.  Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang tidak melenyapkan pikiran-pikiran ini, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang melenyapkannya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan.

(NODA-NODA YANG HARUS DITINGGALKAN DENGAN MENGEMBANGKAN)

21. “Noda-noda apakah, para bhikkhu, yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan? Di sini seorang bhikkhu, merenungkan dengan bijaksana, mengembangkan faktor pencerahan perhatian, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan. Ia mengembangkan faktor pencerahan penyelidikan kondisi-kondisi … faktor pencerahan kegigihan … faktor pencerahan kegembiraan … faktor pencerahan ketenangan … faktor pencerahan konsentrasi … faktor pencerahan keseimbangan, yang didukung oleh keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, dan matang dalam pelepasan.  Sementara noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang tidak mengembangkan faktor-faktor pencerahan ini, sebaliknya tidak ada noda-noda, kekesalan, dan demam muncul dalam diri seorang yang mengembangkannya. Ini disebut noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan.

(KESIMPULAN)

22. “Para bhikkhu, ketika bagi seorang bhikkhu noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melihat telah ditinggalkan dengan melihat, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengendalikan telah ditinggalkan dengan mengendalikan, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menggunakan telah ditinggalkan dengan menggunakan, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menahankan telah ditinggalkan dengan menahankan, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan menghindari [12] telah ditinggalkan dengan menghindari, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan melenyapkan telah ditinggalkan dengan melenyapkan, ketika noda-noda yang harus ditinggalkan dengan mengembangkan telah ditinggalkan dengan mengembangkan – maka ia disebut seorang bhikkhu yang berdiam dengan terkendali oleh pengendalian segala noda. Ia telah memutuskan keinginan, menghancurkan belenggu-belenggu, dan dengan sepenuhnya menembus keangkuhan ia telah mengakhiri penderitaan.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 28 April 2012, 10:09:14 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #3 on: 21 July 2010, 06:28:13 PM »
3  Dhammadāyāda Sutta
Pewaris dalam Dhamma

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.”  – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Demi belas kasihKu kepada kalian Aku berpikir: ‘Bagaimanakah agar para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi?’ Jika kalian menjadi pewarisKu dalam benda-benda materi, bukan menjadi pemwarisKu dalam Dhamma, maka kalian akan dicela sebagai berikut: ‘para siswa Sang Guru hidup sebagai pewarisNya dalam benda-benda materi, bukan sebagai pewaris dalam Dhamma’; dan Aku akan dicela sebagai berikut: ‘para siswa Sang Guru hidup sebagai pewarisNya dalam benda-benda materi, bukan sebagai pewarisNya dalam Dhamma.’

“Jika kalian menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi, maka kalian tidak akan dicela [karena akan dikatakan]: ‘Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewarisNya dalam Dhamma, bukan sebagai pewarisNya dalam benda-benda materi’; dan Aku tidak akan dicela [karena akan dikatakan]: ‘Para siswa Sang Guru hidup sebagai pewarisNya dalam Dhamma, bukan sebagai pewarisNya dalam benda-benda materi.’ Oleh karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Demi belas kasihKu kepada kalian Aku berpikir: ‘Bagaimanakah agar para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi?’

3. “Sekarang, para bhikkhu, misalkan aku telah makan, menolak makanan tambahan, sudah kenyang, selesai, sudah cukup, telah memakan apa yang Kubutuhkan, dan ada makanan tersisa dan akan dibuang. Kemudian dua orang bhikkhu tiba [13] lapar dan lemah, dan Aku berkata kepada mereka: ‘Para bhikkhu, aku telah makan … telah memakan apa yang Kubutuhkan, tetapi masih ada makanan tersisa dan akan dibuang. Makanlah jika kalian menginginkan; jika kalian tidak memakannya maka Aku akan membuangnya ke mana tidak ada tumbuh-tumbuhan atau membuangnya ke air di mana tidak ada kehidupan.’ Kemudian seorang bhikkhu berpikir: ‘Sang Bhagavā telah makan … telah memakan apa yang Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan dibuang; jika kami tidak memakannya maka Sang Bhagavā akan membuangnya … Tetapi hal ini telah dikatakan oleh Sang Bhagavā: “Para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi.” Sekarang, makanan ini adalah salah satu benda materi. Bagaimana jika seandainya tanpa memakan makanan ini aku melewatkan malam dan hari ini dalam keadaan lapar dan lemah.’  Dan tanpa memakan makanan itu ia melewatkan malam dan hari itu dalam keadaan lapar dan lemah. Kemudian bhikkhu ke dua berpikir: ‘Sang Bhagavā telah makan … telah memakan apa yang Beliau butuhkan, tetapi masih ada makanan Sang Bhagavā yang tersisa dan akan dibuang … Bagaimana jika seandainya aku memakan makanan ini dan melewatkan malam dan hari ini tanpa merasa lapar dan lemah. Dan setelah memakan makanan itu ia melewatkan malam dan hari itu tanpa  merasa lapar dan lemah. Sekarang walaupun bhikkhu itu dengan memakan makanan itu melewatkan malam dan hari itu tanpa merasa lapar dan lemah, namun bhikkhu pertama lebih terhormat dan dipuji olehKu. Mengapakah? Karena hal itu dalam waktu lama akan berdampak pada keinginannya yang sedikit, kepuasan, pemurnian, kemudahan dalam disokong, dan membangkitkan kegigihannya.  Oleh karena itu, para bhikkhu, jadilah pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi. Demi belas kasihKu kepada kalian Aku berpikir: ‘Bagaimanakah agar para siswaKu dapat menjadi pewarisKu dalam Dhamma, bukan pewarisKu dalam benda-benda materi?’”

4. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan hal tersebut, Yang Sempurna bangkit dari dudukNya dan masuk ke kediamanNya. Segera setelah Beliau pergi, Yang Mulia Sāriputta memanggil para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu.” – “Teman,” mereka menjawab. [14] Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

5. “Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Dan dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan?”

“Sesungguhnya, teman, kami datang dari jauh untuk mempelajari makna pernyataan ini dari Yang Mulia Sāriputta. Baik sekali jika Yang Mulia Sāriputta sudi menjelaskan makna pernyataan ini. Setelah mendengarkannya darinya para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka, teman-teman, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan kukatakan.”

“Baik, Teman,” para bhikkhu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

6. “Teman-teman, dalam cara bagaimanakah para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan? Di sini para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan; mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru beritahukan kepada mereka untuk ditinggalkan; mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan.

“Dalam hal ini para bhikkhu senior dicela untuk tiga alasan.  Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka tidak berlatih dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan pertama ini. Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dicela untuk alasan ke dua ini. Mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu senior dicela untuk tiga alasan ini.

“Dalam hal ini para bhikkhu menengah dicela untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka tidak berlatih dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan pertama ini. Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dicela untuk alasan ke dua ini. Mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu menengah dicela untuk tiga alasan ini.

“Dalam hal ini para bhikkhu junior dicela untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka tidak berlatih dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan pertama ini. Mereka tidak meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dicela untuk alasan ke dua ini. Mereka hidup dalam kemewahan dan lalai, pemimpin dalam kemunduran, lengah dalam keterasingan: mereka dicela untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu junior dicela untuk tiga alasan ini.

“Adalah dalam cara ini para siswa Sang Guru yang hidup terasing tidak berlatih dalam keterasingan.

7. “Dalam cara bagaimanakah, teman-teman, para siswa Sang Guru yang hidup terasing [15] berlatih dalam keterasingan? Di sini para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan; mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan; mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai, mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.

“Dalam hal ini para bhikkhu senior dipuji untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka berlatih dalam keterasingan: mereka dipuji untuk alasan pertama ini. Mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dipuji untuk alasan ke dua ini. Mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai; mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.: mereka dipuji untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu senior dipuji untuk tiga alasan ini.

“Dalam hal ini para bhikkhu menengah dipuji untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka berlatih dalam keterasingan: mereka dipuji untuk alasan pertama ini. Mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dipuji untuk alasan ke dua ini. Mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai; mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.: mereka dipuji untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu menengah dipuji untuk tiga alasan ini.

“Dalam hal ini para bhikkhu junior dipuji untuk tiga alasan. Sebagai para siswa Sang Guru yang hidup terasing mereka berlatih dalam keterasingan: mereka dipuji untuk alasan pertama ini. Mereka meninggalkan apa yang Sang Guru katakan kepada mereka untuk ditinggalkan: mereka dipuji untuk alasan ke dua ini. Mereka tidak hidup dalam kemewahan dan tidak lalai; mereka tekun menghindari kemunduran, dan adalah pemimpin dalam keterasingan.: mereka dipuji untuk alasan ke tiga ini. Para bhikkhu junior dipuji untuk tiga alasan ini.

“Dalam cara inilah para siswa Sang Guru yang hidup terasing berlatih dalam keterasingan.

8. “Teman-teman, kejahatan di sini adalah keserakahan dan kebencian.  Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan keserakahan dan kebencian, menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Dan apakah Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.

9-15. “Kejahatan di sini adalah kemarahan dan kekesalan … sikap meremehkan dan congkak … iri hati dan ketamakan … kecurangan dan penipuan … sifat keras kepala [16]  dan persaingan … keangkuhan dan kesombongan … kepongahan dan kelalaian. Terdapat Jalan Tengah untuk meninggalkan kepongahan dan kelalaian, menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Dan apakah Jalan Tengah itu? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini adalah Jalan Tengah yang menghasilkan penglihatan, menghasilkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu puas dan gembira mendengar kata-kata Yang Mulia Sāriputta.
« Last Edit: 28 April 2012, 10:10:57 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #4 on: 21 July 2010, 06:30:04 PM »
4  Bhayabherava Sutta
Kekhawatiran dan Ketakutan

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian Brahmana Jāṇussoṇi  mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika ramah-tamah ini berakhir, ia duduk di satu sisi dan berkata: “Guru Gotama, ketika para anggota keluarga meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah karena berkeyakinan pada Guru Gotama, apakah mereka mereka menjadikan Guru Gotama sebagai pemimpin mereka, penolong mereka, dan penuntun mereka? Dan apakah orang-orang ini mengikuti teladan Guru Gotama?”

“Begitulah, Brahmana, begitulah. ketika para anggota keluarga meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah karena berkeyakinan padaKu, mereka mereka menjadikan Aku sebagai pemimpin mereka, penolong mereka, dan penuntun mereka. Dan orang-orang ini mengikuti teladanKu.”

“Tetapi, Guru Gotama, tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan adalah sulit ditahankan, keterasingan adalah sulit dilatih, dan adalah sulit untuk menikmati kesunyian. Seseorang akan berpikir hutan pasti akan merampas pikiran seorang bhikkhu, jika ia tidak memiliki konsentrasi.” [17]

“Begitulah, Brahmana, begitulah. tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan adalah sulit ditahankan, keterasingan adalah sulit dilatih, dan adalah sulit untuk menikmati kesunyian. Seseorang akan berpikir hutan pasti akan merampas pikiran seorang bhikkhu, jika ia tidak memiliki konsentrasi.

3. “Sebelum pencerahanKu, Sewaktu Aku masih menjadi seorang Bodhisatta yang belum tercerahkan, Aku juga mempertimbangkan demikian: “Tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan adalah sulit ditahankan … hutan pasti akan merampas pikiran seorang bhikkhu, jika ia tidak memiliki konsentrasi.”

4. “Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Ketika para petapa atau brahmana yang tidak murni dalam perbuatan jasmani mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan, maka karena cacat dari ketidak-murnian perbuatan jasmani mereka, para petapa dan brahmana yang baik ini akan memunculkan kekhawatiran dan ketakutan yang tidak bermanfaat. Tetapi aku tidak mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan dengan perbuatan jasmani yang tidak murni. Aku murni dalam hal perbuatan jasmani. Aku mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan sebagai satu di antara para mulia dengan perbuatan jasmani yang murni.’ Melihat kemurnian perbuatan jasmani ini dalam diriKu, Aku menemukan penghiburan besar dalam menetap di dalam hutan.

5-7. “Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Ketika para petapa atau brahmana yang tidak murni dalam ucapan … tidak murni dalam pikiran … tidak murni dalam penghidupan mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan …mereka memunculkan kekhawatiran dan ketakutan yang tidak bermanfaat. Tetapi … Aku murni dalam hal penghidupan. Aku mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan sebagai satu di antara para mulia dengan penghidupan yang murni.’ Melihat kemurnian penghidupan ini dalam diriKu, Aku menemukan penghiburan besar dalam menetap di dalam hutan.

8. “Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Ketika para petapa atau brahmana yang tamak dan penuh nafsu … Aku tidak tamak …’ [18]

9. “’ … dengan pikiran berniat buruk dan kehendak membenci … Aku memiliki pikiran cinta kasih …’

10. “’ … dikuasai oleh kelambanan dan ketumpulan … Aku adalah tanpa kelambanan dan ketumpulan …’

11. “’ … dikuasai oleh kegelisahan dan pikiran yang tidak tenang … Aku memiliki pikiran yang tenang …’

12. “’ … kebimbangan dan keraguan … Aku telah melampaui keraguan …’

13. “’[19]… memuji diri sendiri dan menghina orang lain … Aku tidak memuji diri sendiri dan tidak menghina orang lain …’

14. “’ … tunduk pada ketakutan dan teror … Aku bebas dari kegentaran …’

15. “’ … menginginkan perolehan, penghormatan, dan kemasyhuran … Aku memiliki sedikit keinginan …’

16. “’ … malas dan kekurangan kegigihan … Aku bersemangat …’

17. “’ … [20] tanpa perhatian dan tidak waspada … Aku kokoh dalam perhatian …’

18. “’ … tidak terkonsentrasi dan dengan pikiran mengembara … Aku memiliki konsentrasi …’

19. “Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Ketika para petapa atau brahmana yang tanpa kebijaksanaan, bodoh dengan air liur menetes, mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan, maka karena cacat dari ketiadaan kebijaksanaan, bodoh dengan air liur menetes, para petapa dan brahmana yang baik ini akan memunculkan kekhawatiran dan ketakutan yang tidak bermanfaat. Tetapi aku tidak mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan dengan ke-tiada-an kebijaksanaan, tidak bodoh dengan air liur menetes. Aku memiliki kebijaksanaan.  Aku mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan sebagai satu di antara para mulia yang memiliki kebijaksanaan.’ Melihat kebijaksanaan ini dalam diriKu, Aku menemukan penghiburan besar dalam menetap di dalam hutan.

20. “Aku mempertimbangkan sebagai berikut: ‘Ada malam-malam yang secara khusus sangat baik yaitu tanggal empat belas, tanggal lima belas, dan tanggal delapan setiap setengah bulan.  Sekarang bagaimana jika, pada malam-malam itu, Aku berdiam di tempat-tempat keramat, menakutkan seperti altar-altar di kebun, altar-altar di hutan, dan altar-altar pohon? Mungkin Aku akan menemui kekhawatiran dan ketakutan itu.’ Dan kemudian, pada malam-malam yang sangat baik itu yaitu tanggal empat belas, tanggal lima belas, dan tanggal delapan setiap setengah bulan, Aku berdiam di tempat-tempat keramat, menakutkan seperti altar-altar di kebun, altar-altar dihutan, dan altar-altar pohon. Dan sewaktu Aku berdiam di sana, seekor binatang buas akan muncul, atau seekor burung merak [21] akan mematahkan dahan, atau angin meniup dedaunan sehingga menimbulkan bunyi mendesau. Aku berpikir: ‘Bagaimana sekarang jika kekhawatiran dan ketakutan itu datang?’ Aku berpikir: ‘Mengapa Aku berdiam dengan selalu mengharapkan kekhawatiran dan ketakutan? Bagaimana jika Aku menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu sambil mempertahankan postur yang sama dengan ketika ia mendatangiKu?’

“Sewaktu Aku berjalan, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berdiri atau duduk atau berbaring hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu. Ketika Aku berdiri, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berjalan atau duduk atau berbaring hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu. Ketika Aku duduk, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berjalan atau berdiri atau berbaring hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu. Ketika Aku berbaring, kekhawatiran dan ketakutan mendatangiKu; Aku tidak berjalan atau berdiri atau duduk hingga Aku telah menaklukkan kekhawatiran dan ketakutan itu.

21. “Terdapat, Brahmana, beberapa petapa dan brahmana yang melihat siang pada malam hari dan melihat malam pada siang hari. Aku katakan bahwa di pihak mereka ini adalah kediaman dalam khayalan. Tetapi aku melihat malam pada malam hari dan siang pada siang hari. Sebenarnya, jika dikatakan sehubungan dengan seseorang: ‘Makhluk yang tidak tunduk pada khayalan telah muncul di dunia demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih terhadap dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia,’ sesungguhnya adalah sehubungan dengan Aku ucapan benar itu diucapkan.

22. “Kegigihan tanpa lelah muncul dalam diriKu dan perhatian tanpa kendur ditegakkan, tubuhku tenang dan tidak terganggu, pikiranku terkonsentrasi dan terpusat.

23. “Dengan cukup terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan.

24. “Dengan menenangkan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran [22] tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi.

25. “Dengan meluruhnya kegembiraan, Aku berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan waspada penuh, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang sehubungan dengannya para mulia mengatakan: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’

26. “Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya atas kegembiraan dan kesedihan, Aku masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang memiliki bukan-kesakitan-juga-bukan-kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan.

27. “Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan ingatan kehidupan lampau.  Aku mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penyusutan-dunia, banyak kappa pengembangan-dunia, banyak kappa penyusutan-dan-pengembangan-dunia: ‘Di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan seperti itu, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di tempat lain; dan di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan seperti itu, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di sini.’ Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya Aku mengingat banyak kehidupan lampau.

28. “Ini adalah pengetahuan sejati pertama yang dicapai olehKu pada jaga pertama malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh.

29. “Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk.  Dengan mata-dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka: ‘Makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, pencela para mulia, keliru dalam pandangan, memberikan dampak pandangan salah dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam rendah, dalam kehancuran, bahkan di dalam neraka; tetapi makhluk-makhluk ini, yang berperilaku baik dalam jasmani, [23] ucapan, dan pikiran, bukan pencela para mulia, berpandangan benar, memberikan dampak pandangan benar dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam yang baik, bahkan di alam surga.’ Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka.

30. “Ini adalah pengetahuan sejati ke dua yang dicapai olehKu pada jaga ke dua malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh.

31. “Ketika konsentrasi pikiranKu sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai keadaan tanpa-gangguan, Aku mengarahkannya pada pengetahuan hancurnya noda-noda. Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya noda-noda’; Aku secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya noda-noda.’

32. “Ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, pikiranKu terbebas dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘terbebaskan.’  Aku secara langsung mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’

33. “Ini adalah pengetahuan sejati ke tiga yang dicapai olehKu pada jaga ke tiga malam itu. Kebodohan tersingkir dan pengetahuan sejati muncul, kegelapan tersingkir dan cahaya muncul, seperti yang terjadi dalam diri seorang yang berdiam dengan tekun, rajin dan bersungguh-sungguh.

34. “Sekarang, Brahmana, engkau mungkin berpikir: ‘Mungkin Petapa Gotama belum terbebas dari nafsu, kebencian, dan kebodohan bahkan sampai hari ini, sehingga Beliau masih mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan.’ Tetapi engkau jangan berpikir demikian. Adalah karena Aku melihat dua manfaat maka Aku masih mendatangi tempat tinggal di dalam rimba belantara yang terpencil di dalam hutan: Aku melihat kediaman yang menyenangkan bagi diriKu di sini dan saat ini, dan Aku berbelas kasih pada generasi mendatang.”

35. “Tentu saja, adalah karena Guru Gotama adalah seorang yang sempurna, seorang Yang Tercerahkan Sepenuhnya, maka Beliau berbelas kasihan pada generasi mendatang. [24] Menakjubkan, Guru Gotama! Menakjubkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan pada mereka yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang pengikut awam yang telah menerima perlindungan dari Beliau seumur hidupku.”

« Last Edit: 28 April 2012, 10:11:54 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #5 on: 21 July 2010, 06:33:35 PM »
5  Anangaṇa Sutta
Tanpa Noda

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Yang Mulia Sāriputta memanggil para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu.” – “Teman,” mereka menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

2. “Teman-teman, terdapat empat jenis orang yang ada di dunia ini.  Apakah empat ini? Di sini beberapa orang dengan noda tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku memiliki noda dalam diriku.’ Di sini beberapa orang dengan noda memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku memiliki noda dalam diriku.’ Di sini beberapa orang tanpa noda tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku tidak memiliki noda dalam diriku.’ Di sini beberapa orang tanpa noda memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku tidak memiliki noda dalam diriku.’

“Di sini, orang dengan noda yang tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku memiliki noda dalam diriku’ disebut yang hina di antara kedua jenis orang dengan noda. Di sini, orang dengan noda yang memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku memiliki noda dalam diriku’ disebut yang mulia di antara kedua jenis orang dengan noda ini.

“Di sini, orang tanpa noda [25] yang tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku tidak memiliki noda’ disebut yang hina di antara kedua jenis orang tanpa noda. Di sini, orang tanpa noda yang memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku tidak memiliki noda’ disebut yang mulia di antara kedua jenis orang tanpa noda ini.

3. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahā Moggallāna bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta: “Sahabat Sāriputta, apakah penyebab dan alasan mengapa, di antara kedua jenis orang dengan noda ini, satu disebut orang hina dan satu disebut orang mulia? Apakah penyebab dan alasan mengapa, di antara kedua jenis orang tanpa noda ini, satu disebut orang hina dan satu disebut orang mulia?

4. “Di sini, Sahabat, ketika seorang dengan noda tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan bahwa ia tidak akan membangkitkan semangat, tidak berusaha, atau tidak memicu kegigihan untuk meninggalkan noda itu, dan bahwa ia akan mati dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan, dengan noda, dengan pikiran yang kotor. Misalkan sebuah piring perunggu dibawa dari sebuah toko atau dari bengkel pandai besi dan piring itu berdebu dan ternoda, dan pemiliknya tidak menggunakannya juga tidak membersihkannya melainkan meletakkannya di sudut yang berdebu. Apakah piring perunggu itu akan semakin kotor dan ternoda?” – “Benar, Sahabat.” – “Demikian pula, Sahabat, ketika seorang dengan noda tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: Aku memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan … bahwa ia akan mati … dengan pikiran yang kotor.

5. “Di sini, Sahabat, ketika seorang dengan noda memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan bahwa ia akan membangkitkan semangat, berusaha, dan memicu kegigihan untuk meninggalkan noda itu, dan bahwa ia akan mati tanpa nafsu, kebencian, dan kebodohan, tanpa noda, dengan pikiran yang bersih. Misalkan sebuah piring perunggu dibawa dari sebuah toko atau dari bengkel pandai besi dan piring itu berdebu dan ternoda, dan pemiliknya telah menggunakannya dan membersihkannya dan tidak meletakkannya di sudut yang berdebu. [26] Apakah piring perunggu itu akan semakin bersih dan cemerlang?” – “Benar, Sahabat.” – “Demikian pula, Sahabat, ketika seorang dengan noda memahami sebagaimana adanya bahwa: Aku memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan … bahwa ia akan mati … dengan pikiran yang bersih.
 
6. “Di sini, Sahabat, ketika seorang yang tanpa noda tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku tidak memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan bahwa ia akan memperhatikan gambaran keindahan,  bahwa dengan melakukan demikian maka nafsu akan menjangkiti pikirannya, dan bahwa ia akan mati dengan nafsu, kebencian, dan kebodohan, dengan noda, dengan pikiran yang kotor. Misalkan sebuah piring perunggu dibawa dari sebuah toko atau dari bengkel pandai besi dan piring itu bersih dan cemerlang, dan pemiliknya tidak menggunakannya juga tidak membersihkannya melainkan meletakkannya di sudut yang berdebu. Apakah piring perunggu itu akan semakin kotor dan ternoda?” – “Benar, Sahabat.” – “Demikian pula, Sahabat, ketika seorang yang tanpa noda tidak memahami sebagaimana adanya bahwa: Aku tidak memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan bahwa ia akan mati … dengan pikiran yang kotor.

7. “Di sini, Sahabat, ketika seorang yang tanpa noda memahami sebagaimana adanya bahwa: ‘Aku tidak memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan bahwa ia tidak akan memperhatikan gambaran keindahan, bahwa dengan tidak melakukan demikian maka nafsu tidak akan menjangkiti pikirannya, dan bahwa ia akan mati dengan keadaan tanpa nafsu, kebencian, dan kebodohan, tanpa noda, dengan pikiran yang bersih. Misalkan sebuah piring perunggu dibawa dari sebuah toko atau dari bengkel pandai besi dan piring itu bersih dan cemerlang, dan pemiliknya menggunakannya dan membersihkannya dan tidak meletakkannya di sudut yang berdebu. Apakah piring perunggu itu akan semakin bersih dan cemerlang?” – “Benar, Sahabat.” – “Demikian pula, Sahabat, ketika seorang yang tanpa noda memahami sebagaimana adanya bahwa: Aku tidak memiliki noda dalam diriku,’ maka dapat diharapkan … bahwa ia akan mati … dengan pikiran yang bersih. [27]

8. “Ini adalah penyebab dan alasan mengapa, di antara kedua jenis orang dengan noda ini, satu disebut orang hina dan satu disebut orang mulia. Ini adalah penyebab dan alasan mengapa, di antara kedua jenis orang tanpa noda ini, satu disebut orang hina dan satu disebut orang mulia.

9. “’Noda, noda,’ dikatakan, Sahabat, tetapi istilah untuk apakah kata ‘noda’ ini? ‘Noda,’ Sahabat, adalah istilah untuk bidang keinginan buruk yang tidak bermanfaat.

10. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Jika aku melakukan pelanggaran, semoga para bhikkhu tidak mengetahui bahwa aku telah melakukan pelanggaran.’ Dan adalah mungkin bahwa para bhikkhu ternyata mengetahui bahwa bhikkhu itu melakukan pelanggaran. Sehingga ia menjadi marah dan tidak senang: ‘Para bhikkhu mengetahui bahwa aku telah melakukan pelanggaran.’ Kemarahan dan ketidak-senangan itu keduanya adalah noda.

11. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Jika aku melakukan pelanggaran. Para bhikkhu sebaiknya menegurku secara pribadi, bukan di tengah-tengah Saṅgha.’ Dan adalah mungkin bahwa para bhikkhu menegur bhikkhu itu di tengah-tengah Saṅgha, dan bukan secara pribadi. Sehingga ia menjadi marah dan tidak senang: ‘Para bhikkhu menegurku di tengah-tengah Saṅgha, bukan secara pribadi’ Kemarahan dan ketidak-senangan itu keduanya adalah noda.

12. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Aku melakukan pelanggaran. Seseorang yang setara denganku yang seharusnya menegurku, bukan seseorang yang tidak setara denganku.’ Dan adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu yang tidak setara dengannya menegurnya, bukan seseorang yang setara dengannya. Sehingga ia menjadi marah dan tidak senang: ‘Seseorang yang tidak setara denganku menegurku, bukan seseorang yang setara denganku.’ Kemarahan dan ketidak-senangan itu keduanya adalah noda.

13. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu dengan mengajukan serangkaian pertanyaan dariku, bukan dari bhikkhu lain!’ Dan adalah mungkin bahwa Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu dengan mengajukan serangkaian pertanyaan dari bhikkhu lain, [28] bukan dari bhikkhu itu. Sehingga ia menjadi marah dan tidak senang: ‘Sang Guru mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu dengan mengajukan serangkaian pertanyaan dari bhikkhu lain, bukan dariku.’ Kemarahan dan ketidak-senangan itu keduanya adalah noda.

14. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga para bhikkhu memasuki desa untuk mengumpulkan dana makanan dengan menempatkanku di barisan paling depan, bukan bhikkhu lain!’  Dan adalah mungkin bahwa para bhikkhu memasuki desa untuk mengumpulkan dana makanan dengan menempatkan bhikkhu lain di barisan paling depan, bukan bhikkhu itu. Sehingga ia menjadi marah dan tidak senang: ‘para bhikkhu memasuki desa untuk mengumpulkan dana makanan dengan menempatkan bhikkhu lain di barisan paling depan, bukan aku.’ Kemarahan dan ketidak-senangan itu keduanya adalah noda.

15. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga aku memperoleh tempat duduk terbaik, air terbaik, makanan terbaik di ruang makan, bukan bhikkhu lain!’ Dan adalah mungkin bahwa bhikkhu lain memperoleh tempat duduk terbaik …

16. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga aku yang memberikan berkah di ruang makan setelah makan, bukan bhikkhu lain!’ Dan adalah mungkin bahwa bhikkhu lain yang memberikan berkah …

17-20. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga aku yang mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu … semoga aku yang mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhunī … umat awam laki-laki … umat awam perempuan yang berkunjung ke vihara, bukan bhikkhu lain!’ Dan adalah mungkin bahwa bhikkhu lain yang mengajarkan Dhamma [29] …

21-24. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga para bhikkhu … para bhikkhunī … umat awam laki-laki … umat awam perempuan … menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakan aku, bukan bhikkhu lain!’ Dan adalah mungkin bahwa mereka menghormati … bhikkhu lain.

25-28. “Adalah mungkin bahwa seorang bhikkhu di sini berkehendak: ‘Oh semoga Aku adalah orang yang menerima jubah yang baik, [30] … makanan yang baik … tempat tinggal yang baik … obat-obatan yang baik … bukan bhikkhu lain!’ Dan adalah mungkin bahwa bhikkhu lain yang menerima obat-obatan yang baik, bukan bhikkhu itu. Sehingga ia menjadi marah dan tidak senang: ‘Bhikkhu lain yang menerima obat-obatan yang baik, bukan aku.’ Kemarahan dan ketidak-senangan itu keduanya adalah noda.

“‘Noda,’ Sahabat, adalah istilah untuk bidang keinginan buruk yang tidak bermanfaat.

29. “Jika bidang keinginan buruk yang tidak bermanfaat ini terlihat dan terdengar sebagai belum ditinggalkan dalam diri seorang bhikkhu, maka apakah ia adalah seorang penghuni hutan, sering bepergian ke tempat-tempat terpencil, seorang yang memakan dana makanan, yang berkunjung dari rumah ke rumah, pemakai jubah dari kain yang dibuang, pemakai jubah kasar,  namun temannya dalam kehidupan suci tetap tidak akan menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakannya. Mengapakah? Karena bidang keinginan buruk yang tidak bermanfaat ini terlihat dan terdengar sebagai belum ditinggalkan dalam diri yang mulia tersebut.

“Misalkan sebuah mangkuk perunggu dibawa dari toko atau dari pengrajin besi dalam keadaan bersih dan cemerlang; dan pemiliknya meletakkan mayat ular atau anjing atau manusia ke dalamnya, dan menutupnya dengan sebuah mangkuk lainnya, berjalan ke pasar; orang-orang yang melihatnya berkata: ‘Apakah yang sedang engkau bawa bagaikan harta berharga?’ kemudian ia membuka penutupnya dan membukanya, mereka melihat ke dalam, dan segera setelah mereka melihatnya mereka menjadi terpengaruh oleh benda yang memuakkan, menjijikkan yang bahkan mereka yang sedang merasa lapar menjadi tidak ingin makan, apalagi yang sudah kenyang.

“Demikian pula, jika bidang keinginan buruk yang tidak bermanfaat ini terlihat dan terdengar sebagai belum ditinggalkan dalam diri seorang bhikkhu, maka apakah ia adalah seorang penghuni hutan … [31] … belum ditinggalkan dalam diri yang mulia tersebut.

30. “Jika bidang keinginan buruk dan tidak bermanfaat ini terlihat dan terdengar sebagai telah ditinggalkan dalam diri seorang bhikkhu, maka apakah ia adalah seorang penghuni desa, penerima undangan, pemakai jubah yang dipersembahkan oleh perumah tangga,  namun temannya dalam kehidupan suci tetap akan menghormati, menghargai, memuja, dan memuliakannya. Mengapakah? Karena bidang keinginan buruk yang tidak bermanfaat ini terlihat dan terdengar sebagai telah ditinggalkan dalam diri yang mulia tersebut.

“Misalkan sebuah mangkuk perunggu dibawa dari toko atau dari pengrajin besi dalam keadaan bersih dan cemerlang; dan pemiliknya meletakkan nasi yang bersih dan berbagai sop dan kuah ke dalamnya, dan menutupnya dengan sebuah mangkuk lainnya, berjalan ke pasar; orang-orang yang melihatnya berkata: ‘Apakah yang sedang engkau bawa bagaikan harta berharga?’ kemudian ia membuka penutupnya dan membukanya, mereka melihat ke dalam, dan segera setelah mereka melihatnya mereka menjadi terpengaruh oleh rasa suka, berselera, dan menikmati yang bahkan mereka yang sudah merasa kenyang menjadi ingin makan, apalagi yang masih lapar.

“Demikian pula, Sahabat, jika bidang keinginan buruk yang tidak bermanfaat ini terlihat dan terdengar sebagai telah ditinggalkan dalam diri seorang bhikkhu, maka apakah ia adalah seorang penghuni desa … telah ditinggalkan dalam diri yang mulia tersebut.

31. Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahā Moggallāna berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Sebuah perumpamaan terpikirkan olehku, Sahabat Sāriputta.” – “Katakanlah, Sahabat Moggallāna.” – “Pada suatu ketika, Sahabat, aku sedang menetap di Bukit Benteng di Rājagaha. Pada suatu pagi, Aku merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarku, Aku memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan. Pada saat itu Samīti si putera pembuat kereta sedang menghaluskan bagian lingkaran roda dan Ājīvaka Paṇḍuputta, putera pembuat kereta sebelumnya, berdiri di dekat sana.  kemudian pemikiran ini muncul dalam pikiran Ājīvaka Paṇḍuputta: ‘Oh semoga Samīti si putera pembuat kereta ini dapat menghaluskan lengkungan ini, pilinan ini, kerusakan ini, dari lingkaran roda ini sehingga tanpa lengkungan, pilinan, atau cacat, dan menjadi hanya terdiri dari inti kayu yang murni saja.’ [32] Dan persis ketika pemikiran itu terlintas dalam pikirannya, pada saat yang sama Samitī si putera pembuat kereta menghaluskan lengkungan itu, pilinan itu, cacat itu, dari lingkaran roda itu. Kemudian Ājīvaka Paṇḍuputta, putera pembuat kereta sebelumnya, gembira dan ia mengungkapkan kegembiraannya: ‘Ia menghaluskannya seolah-olah ia mengetahui pikiranku dengan pikirannya!’

32. “Demikian pula, Sahabat, ada orang-orang yang tidak berkeyakinan dan telah meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah bukan karena keyakinan melainkan untuk mencari penghidupan, yang curang, pendusta, pengkhianat, angkuh, kosong, pongah, berbicara kasar, berbicara lepas, indria-indria yang tidak terjaga, makan berlebihan, tidak menekuni keawasan, mengabaikan pertapaan, tidak menghargai latihan, hidup mewah, lengah, pemimpin dalam kemunduran, melalaikan keterasingan, malas, kekurangan kegigihan, tidak penuh perhatian, tidak penuh kewaspadaan, tanpa kebijaksanaan, bodoh dengan air liur menetes. Yang Mulia Sāriputta dengan khotbahnya tentang Dhamma menghaluskan cacat-cacat mereka seolah-oleh ia mengetahui pikiranku dengan pikirannya!

“Tetapi terdapat para anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, yang tidak curang, bukan pendusta, bukan pengkhianat, tidak angkuh, tidak kosong, tidak pongah, tidak berbicara kasar, dan tidak berbicara lepas; yang indria-indrianya terjaga, makan secukupnya, menekuni keawasan, mementingkan pertapaan, sangat menghargai latihan, tidak hidup mewah, waspada, tekun menghindari kemunduran, pemimpin dalam keterasingan, bersemangat, teguh, kokoh dalam perhatian, waspada sepenuhnya, terkonsentrasi, dengan pikiran terpusat, memiliki kebijaksanaan, tidak bodoh dengan air liur menetes. Orang-orang ini, setelah mendengarkan khotbah dari Yang Mulia Sāriputta tentang Dhamma, meminumnya dan memakannya, sebagaimana seharusnya, melalui kata dan pikiran. Sungguh baik bahwa ia telah membantu teman-temannya dalam kehidupan suci untuk keluar dari kondisi tidak bermanfaat dan mengokohkan mereka dalam kondisi yang bermanfaat.

33. “Seperti halnya seorang perempuan – atau seorang laki-laki – muda, belia, menyukai hiasan, setelah mencuci kepalanya, setelah menerima kalung bunga teratai, melati, atau mawar, akan mengambilnya dengan kedua tangan dan meletakkannya di kepala, demikian pula terdapat para anggota keluarga yang telah meninggalkan keduniawian karena keyakinan … tidak bodoh dengan air liur menetes. Orang-orang ini, setelah mendengarkan khotbah dari Yang Mulia Sāriputta tentang Dhamma, meminumnya dan memakannya, sebagaimana seharusnya, melalui kata dan pikiran. Sungguh baik bahwa ia telah membantu teman-temannya dalam kehidupan suci untuk keluar dari kondisi tidak bermanfaat dan mengokohkan mereka dalam kondisi yang bermanfaat.”

Demikianlah kedua orang besar itu saling bergembira mendengarkan kata-kata baik satu sama lain.
« Last Edit: 28 April 2012, 10:14:54 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #6 on: 21 July 2010, 06:34:50 PM »
6  Ākankheyya Sutta
Jika Seorang Bhikkhu Menghendaki

[33] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, berdiamlah dengan memiliki moralitas, memiliki Pātimokkha, terkendali dengan pengendalian Pātimokkha, sempurna dalam perbuatan dan tempat-tempat yang dikunjungi, dan melihat dengan takut bahkan pada pelanggaran terkecil, berlatih dengan menjalankan aturan-aturan latihan.

3. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku disayangi dan disenangi oleh teman-temanku dalam kehidupan suci, dihormati dan dihargai oleh mereka,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan, menekuni ketenangan pikiran internal, tidak mengabaikan meditasi, memiliki pandangan terang, dan berdiam dalam gubuk-gubuk kosong.

4. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

5. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga pelayanan dari mereka yang mempersembahkan jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan kepadaku menghasilkan buah dan manfaat besar bagi mereka,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

6. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Ketika kerabat dan sanak saudaraku yang telah meninggal dunia mengingatku dengan penuh keyakinan dalam pikiran mereka, semoga hal itu menghasilkan buah dan manfaat besar bagi mereka,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

7. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku menjadi penakluk ketidak-puasan dan kenikmatan, dan semoga ketidak-puasan tidak menaklukkan aku; semoga aku berdiam dengan melampaui ketidak-puasan kapanpun munculnya,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

8. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku menjadi penakluk kekhawatiran dan ketakutan, dan semoga kekhawatiran dan ketakutan tidak menaklukkan aku, semoga aku berdiam melampaui kekhawatiran dan ketakutan kapanpun munculnya’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

9. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku menjadi seorang yang mencapai, tanpa kesulitan dan kesusahan, empat jhāna yang merupakan pikiran yang lebih tinggi dan memberikan kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini ,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

10. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku mengalami dengan tubuhku dan berdiam dalam kebebasan yang damai dan tanpa materi, melampaui bentuk-bentuk,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan … [34]

11. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku, dengan hancurnya tiga belenggu, menjadi seorang pemasuk-arus, tidak lagi tunduk pada kesengsaraan, pasti [mencapai kebebasan], menuju pencerahan,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

12. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku, dengan hancurnya tiga belenggu dan dengan melemahkan nafsu, kebencian, dan kebodohan, menjadi seorang yang-kembali-sekali, hanya kembali satu kali ke dunia ini untuk mengakhiri penderitaan,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

13. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku, dengan hancurnya lima belenggu yang lebih rendah, menjadi yang terlahir kembali secara spontan [di alam murni] dan di sana mencapai Nibbāna akhir, tanpa pernah kembali dari alam itu,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

14. “Jika seorang bhikkhu menghendaki:  ‘Semoga aku mampu mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu menjadi banyak; dari banyak menjadi satu, semoga aku muncul dan lenyap; semoga aku mampu bepergian tanpa terhalangi oleh dinding, menembus tembok, menembus gunung seolah-olah menembus ruang kosong; semoga aku mampu menyelam masuk dan keluar dari tanah seolah-olah di dalam air; semoga aku mampu berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; duduk bersila, semoga aku mampu bepergian di angkasa seperti burung; dengan tanganku semoga aku mampu menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; semoga aku mampu mengerahkan kekuatan jasmani, hingga sejauh alam-Brahma,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

15. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku, dengan unsur telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

16. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku memahami pikiran makhluk-makhluk lain, orang-orang lain, dengan melingkupi pikiran mereka dengan pikiranku. Semoga aku memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai tidak terpengaruh nafsu; semoga aku memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai tidak terpengaruh kebencian; semoga aku memahami pikiran yang terpengaruh kebodohan sebagai terpengaruh kebodohan dan pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan sebagai tidak terpengaruh kebodohan; semoga aku memahami pikiran yang mengerut sebagai mengerut dan pikiran yang kacau sebagai kacau; semoga aku memahami pikiran luhur sebagai luhur dan pikiran tidak luhur sebagai tidak luhur; semoga aku memahami pikiran yang terbatas sebagai terbatas dan pikiran tidak terbatas sebagai tidak terbatas; semoga aku memahami pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi [35] dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak terkonsentrasi; semoga aku memahami pikiran yang terbebaskan sebagai terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

17. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku mampu mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 4, §27) … Demikianlah beserta aspek-aspek dan ciri-cirinya semoga aku mengingat banyak kehidupan lampau,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

18. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku, dengan mata dewa yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, semoga aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka: ‘ …(seperti Sutta 4, §29) …,’ maka ia harus memenuhi aturan-aturan …

19. “Jika seorang bhikkhu menghendaki: ‘Semoga aku, dengan menembus bagi diriku sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini memasuki dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda, ’ [36] maka ia harus memenuhi aturan-aturan, menekuni ketenangan pikiran internal, tidak mengabaikan meditasi, memiliki pandangan terang, dan berdiam dalam gubuk-gubuk kosong.

20. “Adalah merujuk pada hal ini maka dikatakan: ‘Para bhikkhu, berdiamlah dengan memiliki moralitas, memiliki Pātimokkha, terkendali dengan pengendalian Pātimokkha, sempurna dalam perbuatan dan tempat-tempat yang dikunjungi, dan melihat dengan takut bahkan pada pelanggaran terkecil, berlatih dengan menjalankan aturan-aturan latihan.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengarkan kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 28 April 2012, 10:15:55 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #7 on: 21 July 2010, 06:36:01 PM »
7  Vatthūpama Sutta
Perumpamaan Kain

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, misalkan sehelai kain yang kotor dan bernoda, dan seorang pencelup mencelupnya ke dalam pewarna, apakah biru atau kuning atau merah atau merah muda; kain itu akan terlihat dicelup dengan tidak baik dan warnanya tidak murni. Mengapakah? Karena ketidak-murnian kain tersebut. Demikian pula, ketika pikiran kotor, maka alam tujuan yang tidak bahagialah yang dapat diharapkan.  Para bhikkhu, misalkan sehelai kain yang bersih dan cemerlang, dan seorang pencelup mencelupnya ke dalam pewarna, apakah biru atau kuning atau merah atau merah muda; kain itu akan terlihat dicelup dengan baik dan warnanya murni. Mengapakah? Karena kemurnian kain tersebut. Demikian pula, ketika pikiran bersih, maka alam tujuan yang bahagialah yang dapat diharapkan.

3. “Apakah, para bhikkhu, ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran?  Ketamakan dan keserakahan yang tidak baik adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran.  Niat buruk … kemarahan … kekesalan … sikap meremehkan … kecongkakan … iri hati … ketamakan  … menipu …kecurangan … sifat keras kepala … persaingan … keangkuhan … kesombongan … kepongahan … [37] … kelalaian adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran.

4. “Mengetahui bahwa ketamakan dan keserakahan yang tidak baik adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran, maka seorang bhikkhu meninggalkannya.  Mengetahui bahwa niat buruk … kelengahan adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran, maka seorang bhikkhu meninggalkannya.

5. “Ketika seorang bhikkhu telah mengetahui bahwa ketamakan dan keserakahan yang tidak baik adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran dan telah meninggalkannya; Ketika seorang bhikkhu telah mengetahui bahwa niat buruk … kelengahan adalah ketidak-sempurnaan yang mengotori pikiran dan telah meninggalkannya, ia memperoleh keyakinan sempurna dalam Sang Buddha sebagai berikut:  ‘Sang Buddha adalah sempurna, telah mencapai penerangan sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, maha mulia, pengenal seluruh alam, pemimpin yang tanpa bandingnya bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, yang tercerahkan, terberkahi.’

6. “Ia memperoleh keyakinan dalam Dhamma sebagai berikut: ‘Dhamma telah dinyatakan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, terlihat di sini dan saat ini, efektif segera, mengundang untuk diselidiki, mengarah menuju kemajuan, untuk dialami oleh para bijaksana untuk diri mereka sendiri.’

7. “Ia memperoleh keyakinan dalam Sangha sebagai berikut: ‘Sangha para siswa Sang Bhagavā mempraktikkan jalan yang baik, mempraktikkan jalan yang lurus, mempraktikkan jalan sejati, mempraktikkan jalan yang benar, yaitu, empat pasang makhluk, delapan jenis individu; Sangha para siswa Sang Bhagavā ini layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tiada bandingnya di dunia.’

8. “Ketika ia telah menghentikan, mengusir, membuang, meninggalkan, dan melepaskan [ketidak-sempurnaan pikiran] secara sebagian,  ia mempertimbangkan: ‘Aku memiliki keyakinan tak-tergoyahkan pada Sang Buddha,’ dan ia memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma,  memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia gembira, sukacita muncul dalam dirinya; dalam diri seorang yang bersukacita, jasmaninya menjadi tenang; seorang yang jasmaninya tenang akan merasakan kenikmatan; dalam diri seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi.

9. “Ia mempertimbangkan: ‘Aku memiliki keyakinan tak-tergoyahkan dalam Dhamma,’ dan ia memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia gembira … pikirannya menjadi terkonsentrasi. [38]

10. “Ia mempertimbangkan: ‘Aku memiliki keyakinan tak-tergoyahkan dalam Sangha,’ dan ia memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia gembira, … pikirannya menjadi terkonsentrasi.

11. “Ia mempertimbangkan: ‘[Ketidak-sempurnaan pikiran] telah dihentikan, diusir, dibuang, ditinggalkan dan dilepaskan olehku,’ dan ia memperoleh inspirasi dalam makna, memperoleh inspirasi dalam Dhamma, memperoleh kegembiraan yang berhubungan dengan Dhamma. Ketika ia gembira, sukacita muncul dalam dirinya; dalam diri seorang yang bersukacita, jasmaninya menjadi tenang; seorang yang jasmaninya tenang akan merasakan kenikmatan; dalam diri seorang yang merasakan kenikmatan, pikirannya menjadi terkonsentrasi.

12. “Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu yang memiliki kualitas moralitas demikian, keadaan [konsentrasi] demikian, dan kebijaksanaan demikian  memakan makanan yang terdiri dari nasi pilihan bersama dengan berbagai kuah dan kari, bahkan hal itu tidak akan menjadi rintangan baginya.  Bagaikan sehelai kain yang kotor dan ternoda menjadi bersih dan cemerlang dengan bantuan air bersih, atau bagaikan emas yang menjadi murni dan cemerlang dengan bantuan pembakaran, demikian pula, jika seorang bhikkhu yang memiliki kualitas moralitas demikian … memakan makanan … hal itu tidak akan menjadi rintangan baginya.

13. “Ia berdiam dengan melingkupi satu arah dengan pikiran cinta kasih,  demikian pula arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran cinta kasih, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

14-16. “Ia berdiam dengan melingkupi satu arah dengan pikiran belas kasihan … dengan pikiran kegembiraan altruistis … dengan pikiran seimbang,  demikian pula  arah ke dua, demikian pula arah ke tiga, demikian pula arah ke empat; demikian pula ke atas, ke bawah, ke sekeliling, dan ke segala penjuru, dan kepada semua makhluk seperti kepada dirinya sendiri, ia berdiam dengan melingkupi seluruh dunia dengan pikiran seimbang, berlimpah, luhur, tanpa batas, tanpa permusuhan dan tanpa niat buruk.

17. “Ia memahami bahwa: ‘Ada ini, ada yang rendah, ada yang mulia, dan melampaui ini ada jalan membebaskan diri dari keseluruhan bidang persepsi ini.’

18. “Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, pikirannya terbebaskan dari noda keinginan indria, dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ [39] Para bhikkhu, bhikkhu ini disebut seorang yang mandi dengan mandi pikiran.”

19. Pada saat itu Brahmana Sundarika Bhāradvāja sedang duduk tidak jauh dari Sang Bhagavā. Kemudian ia berkata kepada Sang Bhagavā: “Tetapi apakah Guru Gotama pergi ke sungai Bāhukā untuk mandi?”

“Mengapa, brahmana, pergi ke sungai Bāhukā? Apa yang dapat dilakukan oleh sungai Bāhukā?”

“Guru Gotama, sungai Bāhukā dianggap oleh banyak orang dapat memberikan kebebasan, sungai itu dianggap oleh banyak orang dapat memberikan kebaikan, dan banyak yang mencuci perbuatan jahat mereka di sungai Bāhukā.”

20. Kemudian Sang Bhagavā menjawab Brahmana Sundarika Bhāradvāja dalam syair:

   “Bāhukā dan Adhikakkā,
   Gayā dan Sundarikā juga,
   Payāga dan Sarassatī,
   Dan arus Bahumatī -
   Si dungu boleh saja mandi selamanya di sana
   Namun tidak akan menyucikan perbuatan gelap mereka.

   Apakah yang dapat dibersihkan  oleh Sundarikā?
   Dan Payāga? Dan Bāhukā?
   Sungai-sungai itu tidak dapat memurnikan pelaku-kejahatan
   Seorang yang telah melakukan perbuatan-perbuatan kejam dan kasar

   Seseorang yang murni dalam pikiran selamanya memiliki
   Pesta musim semi, Hari Suci,
   Seorang yang baik dalam tindakan, seorang yang murni dalam pikiran
   Mengarahkan moralitasnya menuju kesempurnaan.

   Adalah di sini, brahmana, engkau harus mandi,
   Untuk menjadikan dirimu, sebuah perlindungan bagi semua makhluk.
   Dan jika engkau tidak mengucapkan kebohongan
   Juga tidak bekerja dengan mencelakai makhluk-makhluk hidup,
   Juga tidak mengambil apa yang tidak diberikan,
   Dengan keyakinan dan bebas dari kekikiran,
   Mengapa engkau perlu pergi ke Gayā?
   Karena sumur apapun akan menjadi sungai Gayā bagimu.”

21. Ketika ini dikatakan, brahmana Sundarika Bhāradvāja berkata: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam berbagai cara, bagaikan menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan pada mereka yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang memiliki penglihatan dapat melihat bentuk-bentuk. Aku berlindung pada Guru Gotama dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Aku ingin menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, aku memohon penahbisan penuh.”

22. Dan Brahmana Sundarika Bhāradvāja menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, dan ia menerima penahbisan penuh. [40] dan segera, tidak lama setelah ia menerima penahbisan penuh, dengan berdiam sendirian, mengasingkan diri, rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh, Yang Mulia Bhāradvāja, dengan menembus bagi dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini memasuki dan berdiam dalam tujuan tertinggi kehidupan suci yang dicari oleh para anggota keluarga yang meninggalkan kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Ia secara langsung mengetahui: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.” Dan Yang Mulia Bhāradvāja menjadi satu di antara para Arahant.

« Last Edit: 28 April 2012, 10:21:50 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #8 on: 21 July 2010, 06:37:49 PM »
8  Sallekha Sutta
Pemurnian

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

2. Kemudian, pada malam harinya, Yang Mulia Mahā Cunda bangkit dari meditasi dan mendatangi Sang Bhagavā. Setelah bersujud pada Sang Bhagavā ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:

3. “Yang Mulia, berbagai pandangan muncul di dunia berkaitan dengan doktrin-doktrin tentang diri atau doktrin-doktrin tentang dunia.  Sekarang apakah meninggalkan dan melepaskan pandangan-pandangan itu terjadi dalam diri seorang bhikkhu yang memperhatikan hanya pada bagian permulaan [dari latihan meditasinya]?”

“Cunda, sehubungan dengan berbagai pandangan muncul di dunia yang berkaitan dengan doktrin-doktrin tentang diri atau doktrin-doktrin tentang dunia: jika [obyek]  yang sehubungan dengannya pandangan-pandangan itu muncul, di mana pandangan-pandangan itu berlandaskan, dan di mana pandangan-pandangan itu diterapkan  dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku,’ maka meninggalkan dan melepaskan pandangan-pandangan itu terjadi.


(DELAPAN PENCAPAIAN)

4. “Adalah mungkin di sini, Cunda, bahwa dengan cukup terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ia mungkin berpikir bahwa: ‘Aku berdiam dalam pemurnian.’ Tetapi bukan pencapaian-pencapaian ini yang disebut ‘pemurnian’ dalam Disiplin Yang Mulia: ini disebut ‘kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini’ [41] dalam Disiplin Yang Mulia.

5. “Adalah mungkin di sini bahwa dengan diamnya awal pikiran dan kelangsungan pikiran, seorang bhikkhu di sini masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan-diri dan keterpusatan pikiran tanpa awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari konsentrasi. Ia mungkin berpikir bahwa: ‘Aku berdiam dalam pemurnian.’ Tetapi .. ini disebut ‘kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini’ dalam Disiplin Yang Mulia.

6. “Adalah mungkin di sini bahwa dengan meluruhnya kegembiraan, seorang bhikkhu di sini masuk dan berdiam dalam keseimbangan, dan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, masih merasakan kenikmatan pada jasmani, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga, yang sehubungan dengannya para mulia menyatakan: ‘Ia memiliki kediaman yang menyenangkan yang memiliki keseimbangan dan penuh perhatian.’ Ia mungkin berpikir bahwa: ‘Aku berdiam dalam pemurnian.’ Tetapi .. ini disebut ‘kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini’ dalam Disiplin Yang Mulia.

7. “Adalah mungkin di sini bahwa dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan pelenyapan sebelumnya kegembiraan dan kesedihan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāṅa ke empat, yang tanpa kesakitan juga tanpa kenikmatan dan kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ia mungkin berpikir bahwa: ‘Aku berdiam dalam pemurnian.’ Tetapi bukan pencapaian-pencapaian ini yang disebut ‘pemurnian’ dalam Disiplin Yang Mulia: ini disebut ‘kediaman yang menyenangkan di sini dan saat ini’ dalam Disiplin Yang Mulia.

8. “Adalah mungkin di sini bahwa dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, menyadari bahwa ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu di sini masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Ia mungkin berpikir bahwa: ‘Aku berdiam dalam pemurnian.’ Tetapi bukan pencapaian-pencapaian ini yang disebut ‘pemurnian’ dalam Disiplin Yang Mulia: ini disebut ‘kediaman yang damai’ dalam Disiplin Yang Mulia.

9. “Adalah mungkin di sini bahwa dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, menyadari bahwa ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu di sini masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Ia mungkin berpikir bahwa: ‘Aku berdiam dalam pemurnian.’ Tetapi … ini disebut ‘kediaman yang damai’ dalam Disiplin Yang Mulia.

10. “Adalah mungkin di sini bahwa dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, menyadari bahwa ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu di sini masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan. Ia mungkin berpikir bahwa: ‘Aku berdiam dalam pemurnian.’ Tetapi … ini disebut ‘kediaman yang damai’ dalam Disiplin Yang Mulia.

11. “Adalah mungkin di sini bahwa dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, seorang bhikkhu di sini masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Ia mungkin berpikir bahwa: ‘Aku berdiam dalam pemurnian.’ [42] Tetapi bukan pencapaian-pencapaian ini yang disebut ‘pemurnian’ dalam Disiplin Yang Mulia: ini disebut ‘kediaman yang damai’ dalam Disiplin Yang Mulia.

(PEMURNIAN)

12. Sekarang, Cunda, di sini pemurnian harus engkau praktikkan:

(1) ‘Orang lain akan bertindak kejam; kita tidak akan bertindak kejam di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(2) ‘Orang lain akan membunuh makhluk-makhluk hidup; kita harus menghindari pembunuhan makhluk-makhluk hidup di sini’; pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(3) ‘Orang lain akan mengambil apa yang tidak diberikan; kita harus menghindari tindakan mengambil apa yang tidak diberikan di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(4) ‘Orang lain tidak selibat; kita harus selibat di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(5)  ‘Orang lain akan mengatakan kebohongan; kita harus menghindari kebohongan di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(6)  ‘Orang lain akan mengucapkan fitnah; kita harus menghindari mengucapkan fitnah di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(7) ‘Orang lain akan berkata-kata kasar; kita harus menghindari berkata-kata kasar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(8) ‘Orang lain akan bergosip; kita harus menghindari gosip di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(9) ‘Orang lain akan tamak; kita tidak boleh tamak di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(10) ‘Orang lain akan memiliki niat buruk; kita harus tanpa niat buruk di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(11) ‘Orang lain akan memiliki pandangan salah; kita harus memiliki pandangan benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(12) ‘Orang lain akan memiliki kehendak salah; kita harus memiliki kehendak benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(13) ‘Orang lain akan memiliki ucapan salah; kita harus memiliki ucapan benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(14) ‘Orang lain akan memiliki perbuatan salah; kita harus memiliki perbuatan benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(15) ‘Orang lain akan memiliki penghidupan salah di sini; kita harus memiliki penghidupan benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(16) ‘Orang lain akan memiliki usaha salah; kita harus memiliki usaha benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(17) ‘Orang lain akan memiliki perhatian salah; kita harus memiliki perhatian benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(18) ‘Orang lain akan memiliki konsentrasi salah; kita harus memiliki konsentrasi benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(19) ‘Orang lain akan memiliki pengetahuan salah; kita harus memiliki pengetahuan benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(20) ‘Orang lain akan memiliki kebebasan salah; kita harus memiliki kebebasan benar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(21) ‘Orang lain akan dikuasai oleh kelambanan dan ketumpulan; kita harus terbebas dari kelambanan dan ketumpulan di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(22) ‘Orang lain akan gelisah; kita tidak boleh gelisah di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(23) ‘Orang lain akan merasa ragu-ragu; kita harus melampaui keragu-raguan di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(24) ‘Orang lain akan marah; kita tidak boleh marah di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(25) ‘Orang lain akan kesal; kita tidak boleh kesal di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian. [43]
(26) ‘Orang lain akan bersikap meremehkan; kita tidak boleh bersikap meremehkan’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(27) ‘Orang lain akan congkak; kita tidak boleh congkak di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(28) ‘Orang lain akan merasa iri; kita tidak boleh iri di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(29) ‘Orang lain akan bersifat tamak; kita tidak boleh tamak di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(30) ‘Orang lain akan curang; kita tidak boleh curang di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(31) ‘Orang lain akan menipu; kita tidak boleh menipu di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(32) ‘Orang lain akan keras-kepala; kita tidak boleh keras-kepala di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(33) ‘Orang lain akan angkuh; kita tidak boleh angkuh di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(34) ‘Orang lain akan sulit dinasihati; kita harus mudah dinasihati di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(35) ‘Orang lain akan memiliki teman-teman jahat; kita harus memiliki teman-teman baik di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(36) ‘Orang lain akan lalai; kita harus rajin di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(37) ‘Orang lain akan tidak berkeyakinan; kita harus berkeyakinan di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(38) ‘Orang lain akan tidak memiliki rasa malu; kita harus memiliki rasa malu di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(39) ‘Orang lain akan tidak memiliki rasa takut melakukan perbuatan salah; kita harus takut melakukan perbuatan salah di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(40) ‘Orang lain akan sedikit belajar; kita harus banyak belajar di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(41) ‘Orang lain akan malas; kita harus bersemangat di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(42) ‘Orang lain akan tanpa perhatian; kita harus kokoh dalam perhatian di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(43) ‘Orang lain akan tidak memiliki kebijaksanaan; kita harus memiliki kebijaksanaan di sini’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.
(44) ‘Orang lain akan terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah;  kita tidak boleh terikat pada pandangan-pandangan kita sendiri atau menggenggamnya erat-erat, melainkan harus melepaskannya dengan mudah’: pemurnian harus dipraktikkan demikian.

(KECONDONGAN PIKIRAN)

13. “Cunda, Aku katakan bahwa bahkan kecondongan pikiran pada kondisi-kondisi bermanfaat adalah bermanfaat besar, apalagi tindakan-tindakan perbuatan dan ucapan yang selaras [dengan keadaan pikiran demikian]?  Oleh Karena itu, Cunda:
(1) Pikiran harus condong pada: ‘Orang lain akan kejam; kita tidak boleh kejam di sini.’
(2) Pikiran harus condong pada: ‘Orang lain akan membunuh makhluk-makhluk hidup; kita harus menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup di sini.
(3)-(43) Pikiran harus condong pada: …
(44) Pikiran harus condong pada: ‘Orang lain akan terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri, menggenggamnya erat-erat, dan melepaskannya dengan susah-payah; kita tidak boleh terikat pada pandangan-pandangan kita sendiri atau menggenggamnya erat-erat, melainkan harus melepaskannya dengan mudah.’

(PENGHINDARAN)

14. “Cunda, misalkan terdapat jalan setapak yang tidak rata dan ada jalan setapak lainnya yang rata untuk menghindari jalan setapak yang tidak rata; dan misalkan terdapat penyeberangan yang tidak rata dan ada penyeberangan lain yang rata untuk menghindari penyeberangan yang tidak rata. [44] demikian pula:

(1) Seseorang yang terbiasa kejam memiliki ketidak-kejaman untuk menghindarinya.
(2) Seseorang yang terbiasa membunuh makhluk-makhluk hidup memiliki penghindaran dari pembunuhan untuk menghindarinya.
(3) Seseorang yang terbiasa mengambil apa yang tidak diberikan memiliki penghindaran dari mengambil apa yang tidak diberikan untuk menghindarinya.
(4) Seorang yang tidak selibat memiliki selibat untuk menghindarinya.
(5) Seorang yang terbiasa berbohong memiliki penghindaran dari berbohong untuk menghindarinya.
(6) Seorang yang terbiasa mengucapkan fitnah memiliki penghindaran dari mengucapkan fitnah untuk menghindarinya.
(7) Seorang yang terbiasa berkata kasar memiliki penghindaran dari berkata kasar untuk menghindarinya.
(8) Seorang yang terbiasa bergosip memiliki penghindaran dari bergosip untuk menghindarinya.
(9) Seorang yang terbiasa tamak memiliki sifat tidak tamak untuk menghindarinya.
(10) Seorang yang terbiasa berniat buruk memiliki tanpa niat buruk untuk menghindarinya.
(11) Seorang yang terbiasa berpandangan salah memiliki pandangan benar untuk menghindarinya.
(12) Seorang yang terbiasa berkehendak salah memiliki kehendak benar untuk menghindarinya.
(13) Seorang yang terbiasa berucapan salah memiliki ucapan benar untuk menghindarinya.
(14) Seorang yang terbiasa berperbuatan salah memiliki perbuatan benar untuk menghindarinya.
(15) Seorang yang terbiasa berpenghidupan salah memiliki penghidupan benar untuk menghindarinya.
(16) Seorang yang terbiasa berusaha salah memiliki usaha benar untuk menghindarinya.
(17) Seorang yang terbiasa berperhatian salah memiliki perhatian benar untuk menghindarinya.
(18) Seorang yang terbiasa berkonsentrasi salah memiliki konsentrasi benar untuk menghindarinya.
(19) Seorang yang terbiasa berpengetahuan salah memiliki pengetahuan benar untuk menghindarinya.
(20) Seorang yang terbiasa berkebebasan salah memiliki kebebasan benar untuk menghindarinya.
(21) Seorang yang terbiasa dengan kelambanan dan ketumpulan memiliki kebebasan dari kelambanan dan ketumpulan untuk menghindarinya.
(22) Seorang yang terbiasa dengan kegelisahan memiliki ketidak-gelisahan untuk menghindarinya.
(23) Seorang yang terbiasa dengan keragu-raguan memiliki keadaan yang melampaui keragu-raguan untuk menghindarinya.
(24) Seorang yang terbiasa dengan kemarahan memiliki ketidak-marahan untuk menghindarinya.
(25) Seorang yang terbiasa dengan kekesalan memiliki ketidak-kesalan untuk menghindarinya.
(26) Seorang yang terbiasa bersikap meremehkan memiliki sikap tidak-meremehkan orang lain untuk menghindarinya.
(27) Seorang yang terbiasa bersikap congkak memiliki sikap tidak congkak untuk menghindarinya.
(28) Seorang yang terbiasa iri memiliki ketidak-irian untuk menghindarinya.
(29) Seorang yang terbiasa tamak memiliki ketidak-tamakan untuk menghindarinya.
(30) Seorang yang terbiasa curang memiliki ketidak-curangan untuk menghindarinya.
(31) Seorang yang terbiasa menipu memiliki sikap tidak-menipu untuk menghindarinya.
(32) Seorang yang terbiasa bersifat keras-kepala memiliki ketidak-keras-kepalaan untuk menghindarinya.
(33) Seorang yang terbiasa bersifat angkuh memiliki ketidak-angkuhan untuk menghindarinya.
(34) Seorang yang terbiasa sulit dinasihati memiliki sifat mudah dinasihati untuk menghindarinya.
(35)  Seorang yang terbiasa bergaul dengan teman-teman jahat memiliki pergaulan dengan teman-teman baik untuk menghindarinya.
(36) Seorang yang terbiasa lalai memiliki kerajinan untuk menghindarinya.
(37) Seorang yang terbiasa tidak berkeyakinan memiliki keyakinan untuk menghindarinya.
(38) Seorang yang terbiasa tidak merasa malu memiliki rasa malu untuk menghindarinya.
(39) Seorang yang terbiasa merasa tidak takut melakukan perbuatan salah memiliki rasa takut melakukan perbuatan salah untuk menghindarinya.
(40) Seorang yang terbiasa sedikit belajar memiliki banyak belajar untuk menghindarinya.
(41) Seorang yang terbiasa malas memiliki pembangkitan semangat untuk menghindarinya.
(42)  Seorang yang terbiasa tanpa perhatian memiliki kekokohan perhatian untuk menghindarinya.
(43) Seorang yang terbiasa tanpa kebijaksanaan memiliki perolehan kebijaksanaan untuk menghindarinya.
(44) Seorang yang terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri, yang menggenggamnya erat-erat dan melepaskannya dengan susah-payah, memiliki ketidak-terikatan pada pandangan-pandangannya sendiri, tidak menggenggamnya erat-erat dan melepaskannya dengan mudah, untuk menghindarinya.

(JALAN YANG MENGARAH KE ATAS)

15. “Cunda, seperti halnya semua kondisi-kondisi tidak bermanfaat mengarah ke bawah dan semua kondisi-kondisi bermanfaat mengarah ke atas, demikian pula:

(1) Seseorang yang terbiasa kejam memiliki ketidak-kejaman untuk mengarahkannya ke atas
(2) Seseorang yang terbiasa membunuh makhluk-makhluk hidup memiliki penghindaran dari pembunuhan untuk mengarahkannya ke atas.
(3-43) Seseorang yang terbiasa … untuk mengarahkannya ke atas
(44) Seorang yang terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri, yang menggenggamnya erat-erat [45] dan melepaskannya dengan susah-payah, memiliki ketidak-terikatan pada pandangan-pandangannya sendiri, tidak menggenggamnya erat-erat dan melepaskannya dengan mudah, untuk mengarahkannya ke atas.

(JALAN UNTUK MEMADAMKAN)

16. “Cunda, bahwa seseorang yang tenggelam dalam lumpur harus menarik seorang lainnya yang tenggelam dalam lumpur adalah tidak mungkin; bahwa seseorang yang tidak tenggelam dalam lumpur harus menarik seorang lainnya yang tenggelam dalam lumpur adalah mungkin. Bahwa seorang yang tidak jinak, tidak disiplin, [dengan kekotoran] belum padam, harus menjinakkan orang lain, mendisiplinkannya, dan membantunya memadamkan [kekotorannya] adalah tidak mungkin; Bahwa seorang yang jinak,  disiplin, [dengan kekotoran] telah padam, harus menjinakkan orang lain, mendisiplinkannya, dan membantunya memadamkan [kekotorannya] adalah mungkin.  Demikian pula:

(1) Seseorang yang terbiasa kejam memiliki ketidak-kejaman untuk memadamkannya.
(2) Seseorang yang terbiasa membunuh makhluk-makhluk hidup memiliki penghindaran dari pembunuhan untuk memadamkannya.
(3-43) Seseorang yang terbiasa … [46] … untuk memadamkannya.
(44) Seorang yang terikat pada pandangan-pandangan mereka sendiri, yang menggenggamnya erat-erat dan melepaskannya dengan susah-payah, memiliki ketidak-terikatan pada pandangan-pandangannya sendiri, tidak menggenggamnya erat-erat dan melepaskannya dengan mudah, untuk memadamkannya.

(PENUTUP)

17. “Maka, Cunda, jalan pemurnian telah diajarkan olehKu, jalan kecondongan pikiran telah diajarkan olehKu, jalan penghindaran telah diajarkan olehKu, jalan pemadaman telah diajarkan olehKu.

18. “Apa yang harus dilakukan untuk para siswaNya demi belas kasih seorang guru yang mengusahakan kesejahteraan mereka dan memiliki belas kasihan pada mereka, telah Aku lakukan untukmu, Cunda.  Ada bawah pepohonan ini, gubuk-gubuk kosong ini. Bermeditasilah, Cunda, jangan menunda atau engkau akan menyesalinya kelak. Ini adalah instruksi kami kepadamu.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Yang Mulia Mahā Cunda merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 02:38:28 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #9 on: 21 July 2010, 06:40:14 PM »
9  Sammādiṭṭhi Sutta
Pandangan Benar



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Yang Mulia Sāriputta memanggil para bhikkhu: “Teman-teman, para bhikkhu.” – “Teman,” mereka menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

2. “’Seorang yang berpandangan benar, seorang yang berpandangan benar,’ dikatakan, teman-teman. Dalam cara bagaimanakah seorang siswa mulia berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati?”

“Sesungguhnya, teman, kami datang dari jauh untuk mempelajari makna pernyataan ini dari Yang Mulia Sāriputta. Baik sekali jika Yang Mulia Sāriputta sudi menjelaskan makna pernyataan ini. Setelah mendengarkannya darinya para bhikkhu akan mengingatnya.”

“Maka, teman-teman, dengarkan dan perhatikanlah pada apa yang akan kukatakan.”

“Baik, Teman,” para bhikkhu menjawab. Yang Mulia Sāriputta berkata sebagai berikut:

(YANG BERMANFAAT DAN YANG TIDAK BERMANFAAT)

3. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami yang tidak bermanfaat dan akar dari yang tidak bermanfaat, yang bermanfaat dan akar dari yang bermanfaat, [47] dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

4. “Dan apakah, teman-teman, yang tidak bermanfaat, apakah akar dari yang tidak bermanfaat, apakah yang bermanfaat, apakah akar dari yang bermanfaat? Membunuh makhluk-makhluk hidup adalah tidak bermanfaat; mengambil apa yang tidak diberikan adalah tidak bermanfaat; perilaku salah dalam kenikmatan indria adalah tidak bermanfaat; kebohongan adalah tidak bermanfaat; mengucapkan fitnah adalah tidak bermanfaat; berkata-kata kasar adalah tidak bermanfaat; bergosip adalah tidak bermanfaat; ketamakan adalah tidak bermanfaat; niat buruk adalah tidak bermanfaat; pandangan salah adalah tidak bermanfaat. Ini disebut dengan yang tidak bermanfaat.

5. “Dan apakah akar dari yang tidak bermanfaat? Keserakahan adalah akar dari yang tidak bermanfaat; kebencian adalah akar dari yang tidak bermanfaat; kebodohan adalah akar dari yang tidak bermanfaat. Ini disebut dengan akar dari yang tidak bermanfaat.

6. “Dan apakah yang bermanfaat? Menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup adalah bermanfaat; menghindari mengambil apa yang tidak diberikan adalah bermanfaat; menghindari perilaku salah dalam kenikmatan indria adalah bermanfaat; menghindari kebohongan adalah bermanfaat; menghindari mengucapkan fitnah adalah bermanfaat; menghindari berkata-kata kasar adalah bermanfaat; menghindari bergosip adalah bermanfaat; ketidak-tamakan adalah bermanfaat; tidak berniat-buruk adalah bermanfaat; pandangan benar adalah bermanfaat. Ini disebut dengan yang bermanfaat.

7. “Dan apakah akar dari yang  bermanfaat? Ketidak-serakahan adalah akar dari yang bermanfaat; ketidak-bencian adalah akar dari yang bermanfaat; ketidak-bodohan adalah akar dari yang bermanfaat. Ini disebut dengan akar dari yang bermanfaat.

8. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami yang tidak bermanfaat dan akar dari yang tidak bermanfaat, yang bermanfaat dan akar dari yang bermanfaat,  maka ia sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu, ia menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada ketidak-senangan, ia memadamkan kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan ‘Aku,’ dan dengan meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejati ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan.  Dengan cara ini juga seorang siswa mulia menjadi seorang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(MAKANAN)

9. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” – “Ada, teman-teman.

10. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami makanan, asal-mula makanan, lenyapnya makanan dan jalan menuju lenyapnya makanan. Dengan cara itulah ia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada [48] Dhamma sejati ini.

11. “Dan apakah makanan, apakah asal-mula makanan, apakah lenyapnya makanan, apakah jalan menuju lenyapnya makanan? Ada empat jenis makanan untuk memelihara makhluk-makhluk yang telah terlahir dan untuk menyokong mereka yang mencari kehidupan baru. Apakah empat ini? Yaitu: makanan fisik sebagai makanan, kasar atau halus; kontak sebagai yang ke dua; kehendak pikiran sebagai yang ke tiga; dan kesadaran sebagai yang ke empat.  Dengan munculnya keinginan maka muncul pula makanan. Dengan lenyapnya keinginan maka lenyap pula makanan. Jalan menuju lenyapnya makanan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.

12. “Ketika seorang siswa mulia memahami makanan, asal-mula makanan, lenyapnya makanan dan jalan menuju lenyapnya makanan, maka ia sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada keserakahan, ia menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada kebencian, ia memadamkan kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan ‘Aku,’ dan dengan meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejati ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara ini juga seorang siswa mulia menjadi seorang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(EMPAT KEBENARAN MULIA)

13. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” – “Ada, teman-teman.

14. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami penderitaan, asal-mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan, dengan cara inilah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

15. “Dan apakah penderitaan, apakah asal-mula penderitaan, apakah lenyapnya penderitaan, apakah jalan menuju lenyapnya penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan; penuaan adalah penderitaan; sakit adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan adalah penderitaan; tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan adalah penderitaan. Ini disebut penderitaan.

16. “Dan apakah asal-mula penderitaan? Yaitu keinginan, yang memperbarui penjelmaan, disertai oleh kenikmatan dan nafsu, dan kenikmatan akan ini dan itu; yaitu, keinginan akan kenikmatan indria [49], keinginan untuk menjelma, dan keinginan untuk tidak menjelma. Ini disebut asal-mula penderitaan.

17. “Dan apakah lenyapnya penderitaan? Yaitu peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya, dihentikannya, dilepaskannya, ditinggalkannya, dan ditolaknya keinginan yang sama itu. Ini disebut lenyapnya penderitaan.

18. “Dan apakah jalan menuju lenyapnya penderitaan? Yaitu Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar. Ini disebut jalan menuju lenyapnya penderitaan.

19. “Ketika seorang siswa mulia telah memahami penderitaan, asal-mula penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan jalan menuju lenyapnya penderitaan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(PENUAAN DAN KEMATIAN)

20. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” – “Ada, teman-teman.

21. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami penuaan dan kematian, asal-mula penuaan dan kematian, lenyapnya penuaan dan kematian, dan jalan menuju lenyapnya penuaan dan kematian, dengan cara itulah ia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

22. “Dan apakah penuaan dan kematian, apakah asal-mula penuaan dan kematian, apakah lenyapnya penuaan dan kematian, apakah jalan menuju lenyapnya penuaan dan kematian? Penuaan makhluk-makhluk dalam berbagai urutan penjelmaan, usia tua, gigi tanggal, rambut memutih, kulit keriput, kemunduran kehidupan, indria-indria melemah – ini disebut penuaan. Berlalunya makhluk-makhluk dalam berbagai urutan makhluk-makhluk, kematiannya, terputusnya, lenyapnya, sekarat, selesainya waktu, hancurnya kelompok-kelompok unsur kehidupan,  terbaringnya tubuh – ini disebut kematian. Maka penuaan ini dan kematian ini adalah apa yang disebut dengan penuaan dan kematian. Dengan munculnya kelahiran maka muncul pula penuaan dan kematian. Dengan lenyapnya kelahiran maka lenyap pula penuaan dan kematian. Jalan menuju lenyapnya penuaan dan kematian adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

23. “Ketika seorang siswa mulia memahami penuaan dan kematian, asal-mula penuaan dan kematian, lenyapnya penuaan dan kematian, dan jalan menuju lenyapnya penuaan dan kematian … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(KELAHIRAN)

24. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  [50] “Ada, teman-teman.

25. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami kelahiran, asal-mula kelahiran, lenyapnya kelahiran, dan jalan menuju lenyapnya kelahiran, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

26. “Dan apakah kelahiran, apakah asal-mula kelahiran, apakah lenyapnya kelahiran, apakah jalan menuju lenyapnya kelahiran? Kelahiran makhluk-makhluk adalah berbagai urutan penjelmaan, akan terlahir, berdiam [dalam rahim], pembentukan, perwujudan kelompok-kelompok unsur kehidupan, memperoleh landasan-landasan kontak  - ini disebut kelahiran. Dengan munculnya penjelmaan maka muncul pula kelahiran. Dengan lenyapnya penjelmaan maka lenyap pula kelahiran. Jalan menuju lenyapnya kelahiran adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

27. “Ketika seorang siswa mulia memahami kelahiran, asal-mula kelahiran, lenyapnya kelahiran, dan jalan menuju lenyapnya kelahiran … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(PENJELMAAN)

28. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

29. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami penjelmaan, asal-mula penjelmaan, lenyapnya penjelmaan, dan jalan menuju lenyapnya penjelmaan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

30. “Dan apakah penjelmaan, apakah asal mula penjelmaan, apakah lenyapnya penjelmaan, apakah jalan menuju lenyapnya penjelmaan? Terdapat tiga jenis penjelmaan ini: penjelmaan alam indria, penjelmaan bermateri halus, dan penjelmaan tanpa materi.  Dengan munculnya kemelekatan maka muncul pula penjelmaan. Dengan lenyapnya kemelekatan maka lenyap pula penjelmaan. Jalan menuju lenyapnya penjelmaan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

31. “Ketika seorang siswa mulia memahami penjelmaan, asal-mula penjelmaan, lenyapnya penjelmaan, dan jalan menuju lenyapnya penjelmaan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(KEMELEKATAN)

32. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

33. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami kemelekatan, asal-mula kemelekatan, lenyapnya kemelekatan, dan jalan menuju lenyapnya kemelekatan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

34. “Dan apakah kemelekatan, apakah asal-mula kemelekatan, apakah lenyapnya kemelekatan, apakah jalan menuju lenyapnya kemelekatan? Terdapat empat [51] jenis kemelekatan ini: kemelekatan pada kenikmatan indria, kemelekatan pada pandangan-pandangan, kemelekatan pada ritual dan upacara, dan kemelekatan pada doktrin diri.  Dengan munculnya keinginan maka muncul pula kemelekatan. Dengan lenyapnya keinginan maka lenyap pula kemelekatan. Jalan menuju lenyapnya kemelekatan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

35. “Ketika seorang siswa mulia memahami kemelekatan, asal-mula kemelekatan, lenyapnya kemelekatan, dan jalan menuju lenyapnya kemelekatan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(KEINGINAN)

36. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

37. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami keinginan, asal-mula keinginan, lenyapnya keinginan, dan jalan menuju lenyapnya keinginan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

38. “Dan apakah keinginan, apakah asal-mula keinginan, apakah lenyapnya keinginan, apakah jalan menuju lenyapnya keinginan? Terdapat enam kelompok keinginan ini: keinginan akan bentuk-bentuk, keinginan akan suara-suara, keinginan akan bau-bauan, keinginan akan rasa kecapan, keinginan akan obyek-obyek sentuhan, keinginan akan obyek-obyek pikiran.  Dengan munculnya perasaan maka muncul pula keinginan. Dengan lenyapnya perasaan maka lenyap pula keinginan. Jalan menuju lenyapnya keinginan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

39. “Ketika seorang siswa mulia memahami keinginan, asal-mula keinginan, lenyapnya keinginan, dan jalan menuju lenyapnya keinginan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(PERASAAN)

40. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

41. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami perasaan, asal-mula perasaan, lenyapnya perasaan, dan jalan menuju lenyapnya perasaan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

42. “Dan apakah perasaan, apakah asal-mula perasaan, apakah lenyapnya perasaan, apakah jalan menuju lenyapnya perasaan? Terdapat enam kelompok perasaan ini: perasaan yang muncul dari kontak-mata, perasaan yang muncul dari kontak-telinga, perasaan yang muncul dari kontak-hidung, perasaan yang muncul dari kontak-lidah, perasaan yang muncul dari kontak-badan, perasaan yang muncul dari kontak-pikiran. Dengan munculnya kontak maka muncul pula perasaan. Dengan lenyapnya kontak maka lenyap pula perasaan. Jalan menuju lenyapnya perasaan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar. [52]

43. “Ketika seorang siswa mulia memahami perasaan, asal-mula perasaan, lenyapnya perasaan, dan jalan menuju lenyapnya perasaan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(KONTAK)

44. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

45. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami kontak, asal-mula kontak, lenyapnya kontak, dan jalan menuju lenyapnya kontak, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

46. “Dan apakah kontak, apakah asal-mula kontak, apakah lenyapnya kontak, apakah jalan menuju lenyapnya kontak? Terdapat enam kelompok kontak ini: kontak-mata, kontak-telinga, kontak-hidung, kontak-lidah, kontak-badan, kontak-pikiran.  Dengan munculnya enam landasan maka muncul pula kontak. Dengan lenyapnya enam landasan maka lenyap pula kontak. Jalan menuju lenyapnya kontak adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

47. “Ketika seorang siswa mulia memahami kontak, asal-mula kontak, lenyapnya kontak, dan jalan menuju lenyapnya kontak … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(ENAM LANDASAN)

48. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

49. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami enam landasan, asal-mula enam landasan, lenyapnya enam landasan, dan jalan menuju lenyapnya enam landasan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

50. “Dan apakah enam landasan, apakah asal-mula enam landasan, apakah lenyapnya enam landasan, apakah jalan menuju lenyapnya enam landasan? Terdapat enam landasan ini: landasan-mata, landasan-telinga, landasan-hidung, landasan-lidah, landasan-badan, landasan-pikiran.  Dengan munculnya batin-jasmani maka muncul pula enam landasan. Dengan lenyapnya batin-jasmani maka lenyap pula enam landasan. Jalan menuju lenyapnya enam landasan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

51. “Ketika seorang siswa mulia memahami enam landasan, asal-mula enam landasan, lenyapnya enam landasan, dan [53] jalan menuju lenyapnya enam landasan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”
« Last Edit: 01 May 2012, 02:40:07 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #10 on: 21 July 2010, 06:41:30 PM »
(BATIN-JASMANI)

52. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

53. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami batin-jasmani, asal-mula batin-jasmani, lenyapnya batin-jasmani, dan jalan menuju lenyapnya batin-jasmani, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

54. “Dan apakah batin-jasmani, apakah asal-mula batin-jasmani, apakah lenyapnya batin-jasmani, apakah jalan menuju lenyapnya batin-jasmani? Perasaan, persepsi, kehendak, kontak, dan perhatian – ini disebut batin. Empat unsur utama dan bentuk materi yang diturunkan dari empat unsur utama – ini disebut jasmani. Maka batin ini dan jasmani ini adalah apa yang disebut batin-jasmani. Dengan munculnya kesadaran maka muncul pula batin-jasmani. Dengan lenyapnya kesadaran maka lenyap pula batin-jasmani. Jalan menuju lenyapnya batin-jasmani adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

55. “Ketika seorang siswa mulia memahami batin-jasmani, asal-mula batin-jasmani, lenyapnya batin-jasmani, dan jalan menuju lenyapnya batin-jasmani … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(KESADARAN)

56. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

57. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami kesadaran, asal-mula kesadaran, lenyapnya kesadaran, dan jalan menuju lenyapnya kesadaran, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

58. “Dan apakah kesadaran, apakah asal-mula kesadaran, apakah lenyapnya kesadaran, apakah jalan menuju lenyapnya kesadaran? Terdapat enam kelompok kesadaran ini: kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, kesadaran-pikiran.  Dengan munculnya bentukan-bentukan maka muncul pula kesadaran. Dengan lenyapnya bentukan-bentukan maka lenyap pula kesadaran. Jalan menuju lenyapnya kesadaran adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

59. “Ketika seorang siswa mulia memahami kesadaran, asal-mula kesadaran, lenyapnya kesadaran, dan jalan menuju lenyapnya kesadaran [54] … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(BENTUKAN-BENTUKAN)

60. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

61. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami bentukan-bentukan, asal-mula bentukan-bentukan, lenyapnya bentukan-bentukan, dan jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

62. “Dan apakah bentukan-bentukan, apakah asal-mula bentukan-bentukan, apakah lenyapnya bentukan-bentukan, apakah jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan? Terdapat tiga jenis bentukan-bentukan ini: bentukan jasmani, bentukan ucapan, bentukan pikiran.  Dengan munculnya kebodohan maka muncul pula bentukan-bentukan. Dengan lenyapnya kebodohan maka lenyap pula bentukan-bentukan. Jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

63. “Ketika seorang siswa mulia memahami bentukan-bentukan, asal-mula bentukan-bentukan, lenyapnya bentukan-bentukan, dan jalan menuju lenyapnya bentukan-bentukan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(KEBODOHAN)

64. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

65. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami kebodohan, asal-mula kebodohan, lenyapnya kebodohan, dan jalan menuju lenyapnya kebodohan, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

66. “Dan apakah kebodohan, apakah asal-mula kebodohan, apakah lenyapnya kebodohan, apakah jalan menuju lenyapnya kebodohan? Tidak mengetahui penderitaan, tidak mengetahui asal-mula penderitaan, tidak mengetahui lenyapnya penderitaan, tidak mengetahui jalan menuju lenyapnya penderitaan – ini disebut kebodohan. Dengan munculnya noda-noda maka muncul pula kebodohan. Dengan lenyapnya noda-noda maka lenyap pula bentukan kebodohan. Jalan menuju lenyapnya kebodohan adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

67. “Ketika seorang siswa mulia memahami kebodohan, asal-mula kebodohan, lenyapnya kebodohan, dan jalan menuju lenyapnya kebodohan … ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara itu juga seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar … dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

(NODA-NODA)

68. Dengan mengatakan, “Bagus, teman,” para bhikkhu gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta. Kemudian mereka mengajukan pertanyaan lebih lanjut: “Tetapi, teman, adakah cara [55] lain yang mana seorang siswa mulia menjadi berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini?” –  “Ada, teman-teman.

69. “Ketika, teman-teman, seorang siswa mulia memahami noda-noda, asal-mula noda-noda, lenyapnya noda-noda, dan jalan menuju lenyapnya noda-noda, dengan cara itulah ia menjadi seorang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.

70. “Dan apakah noda-noda, apakah asal-mula noda-noda, apakah lenyapnya noda-noda, apakah jalan menuju lenyapnya noda-noda? Ada tiga noda ini: noda keinginan indria, noda penjelmaan, dan noda kebodohan. Dengan munculnya kebodohan maka muncul pula noda-noda.  Dengan lenyapnya kebodohan maka lenyap pula noda-noda. Jalan menuju lenyapnya noda-noda adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini; yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.

71. “Ketika seorang siswa mulia memahami noda-noda, asal-mula noda-noda, lenyapnya noda-noda, dan jalan menuju lenyapnya noda-noda,  maka ia sepenuhnya meninggalkan kecenderungan tersembunyi pada nafsu, ia menghapuskan kecenderungan tersembunyi pada ketidak-senangan, ia memadamkan kecenderungan tersembunyi pada pandangan dan keangkuhan ‘Aku,’ dan dengan meninggalkan kebodohan dan membangkitkan pengetahuan sejati ia di sini dan saat ini mengakhiri penderitaan. Dengan cara ini juga seorang siswa mulia menjadi seorang yang berpandangan benar, yang pandangannya lurus, yang memiliki keyakinan sempurna dalam Dhamma, dan telah sampai pada Dhamma sejati ini.”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Yang Mulia Sāriputta. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengarkan kata-kata Yang Mulia Sāriputta.
« Last Edit: 01 May 2012, 02:40:55 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #11 on: 21 July 2010, 06:42:37 PM »
10  Satipaṭṭhāna Sutta
Landasan-landasan Perhatian


1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR.  Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di negeri Kuru di sebuah kota Kuru bernama Kammāsadhamma.  Di sana Sang Bhagavā memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, ini adalah jalan langsung  untuk pemurnian makhluk-makhluk [56], untuk mengatasi dukacita dan ratapan, untuk lenyapnya kesakitan dan kesedihan, untuk pencapaian jalan sejati, untuk penembusan Nibbāna – yaitu, empat landasan perhatian.

3. “Apakah empat ini? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu  berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, dengan penuh kewaspadaan, dan pernuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia.  Ia berdiam dengan merenungkan perasaan sebagai perasaan, tekun, dengan penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan pikiran sebagai pikiran, tekun, dengan penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran, tekun, dengan penuh kewaspadaan, dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan ketamakan dan kesedihan akan dunia.

(PERENUNGAN JASMANI)

(1. Perhatian pada Pernafasan)

4. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani? Di sini, seorang bhikkhu, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke sebuah gubuk kosong, duduk; setelah duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, penuh perhatian ia menarik nafas, penuh perhatian ia mengembuskan nafas. Menarik nafas panjang, ia memahami: ‘Aku menarik nafas panjang’; atau mengembuskan nafas panjang, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas panjang.’ Menarik nafas pendek, ia memahami: ‘Aku menarik nafas pendek’; atau mengembuskan nafas pendek, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas pendek.’  Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami keseluruhan tubuh’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami keseluruhan tubuh.’  Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menenangkan bentukan jasmani’; Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan jasmani.’  Bagaikan seorang pekerja bubut yang terampil atau muridnya, ketika melakukan putaran panjang, memahami: ‘Aku melakukan putaran panjang’; atau ketika melakukan putaran pendek, memahami: ‘Aku melakukan putaran pendek’; demikian pula, menarik nafas panjang, seorang bhikkhu memahami: ‘Aku menarik nafas panjang’ … ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan jasmani.’

(PANDANGAN TERANG)

5. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal dan eksternal.  Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam jasmani.  Atau penuh perhatian bahwa “ada jasmani” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian.  Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

(2. Empat Postur)

6. “Kemudian, para bhikkhu, ketika berjalan, seorang bhikkhu memahami: ‘Aku sedang berjalan’; ketika berdiri, ia memahami: ‘Aku sedang berdiri’; ketika duduk, [57] ia memahami: ‘Aku sedang duduk’; ketika berbaring, ia memahami: ‘Aku sedang berbaring’; atau ia memahami sebagaimana adanya bagaimanapun tubuhnya berposisi.

7. “Dengan cara ini ia berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, eksternal, dan secara internal dan eksternal … dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

(3. Kewaspadaan Penuh)

8. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan maju atau mundur;  yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika melihat ke depan atau ke belakang; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika menunduk atau menegakkan badannya; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika mengenakan jubahnya dan membawa jubah luar dan mangkuknya; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika makan, minum, mengunyah makanan, dan mengecap; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika buang air besar dan buang air kecil; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan, berdiri, duduk, tidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri.

9. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

(4. Kejijikan – Bagian-bagian Tubuh)

10. ‘Kemudian, seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini dari telapak kaki ke atas dan dari ujung rambut ke bawah, terbungkus oleh kulit, sebagai dipenuhi kotoran: ‘Di dalam jasmani ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, sekat rongga dada, limpa, paru-paru, usus, selaput pengikat organ dalam tubuh, isi perut, tinja, empedu, dahak, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak, ludah, ingus, cairan sendi, dan air kencing.’  Bagaikan ada sebuah karung, yang terbuka di kedua ujungnya, penuh dengan berbagai jenis biji-bijian seperti beras-gunung, beras merah, kacang buncis, kacang polong, milet, dan beras putih, dan seorang yang berpenglihatan baik membuka karung itu dan memeriksanya:’ Ini adalah beras-gunung, Ini adalah beras-merah, Ini adalah kacang buncis, Ini adalah kacang polong, Ini adalah milet, ini adalah beras putih’, demikian pula seorang bhikkhu memeriksa jasmani ini ... sebagai dipenuhi kotoran: “Di dalam jasmani ini terdapat rambut kepala … dan air kencing.’

11. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

(5. Unsur-unsur)

12. ‘Kemudian, seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini, bagaimanapun ia berada, bagaimanapun posisinya, sebagai terdiri dari unsur-unsur: ‘Dalam jasmani ini terdapat unsur tanah, unsur-air, unsur-api, unsur-udara.’  [58] Bagaikan seorang tukang daging yang terampil atau muridnya, setelah menyembelih seekor sapi, duduk di persimpangan jalan dengan daging yang telah dipotong dalam beberapa bagian; demikian pula seorang bhikkhu memeriksa jasmani yang sama ini … sebagai terdiri dari unsur-unsur: ‘Dalam jasmani ini terdapat unsur tanah, unsur-air, unsur-api, unsur-udara.’

13. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

(6-14. Perenungan Sembilan Tanah Pekuburan)

14. “Kemudian, para bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, satu, dua atau tiga hari setelah meninggal dunia, membengkak, memucat, dengan cairan menetes, seorang bhikkhu membandingkan jasmani yang sama ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’

15. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

16. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, dimakan oleh burung gagak, elang, nasar, anjing, serigala, atau berbagai jenis ulat, seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’

17. “ … Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

18-24. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, kerangka tulang dengan daging dan darah, yang terangkai oleh urat … kerangka tulang tanpa daging yang berlumuran darah, yang terangkai oleh urat … kerangka tulang tanpa daging dan darah, yang terangkai oleh urat … tulang belulang yang tercerai berai berserakan ke segala arah – di sini tulang lengan, di sana tulang kaki, di sini tulang kering, di sana tulang paha, di sini tulang pinggul, di sana tulang punggung, di sini tulang rusuk, di sana tulang dada, di sini tulang lengan, di sana tulang bahu, di sini tulang leher, di sana tulang rahang, di sini gigi, di sana tengkorak - seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: ‘Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’

25. “ … Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.

26-30. “Kemudian, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan, tulangnya memutih, berwarna seperti kulit-kerang … tulang-belulangnya menumpuk … tulang-belulang yang lebih dari setahun … tulang-belulangnya hancur dan remuk menjadi debu [59], seorang bhikkhu membandingkan jasmani ini dengan mayat itu sebagai berikut: “Jasmani ini juga memiliki sifat yang sama, jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu.’


(PANDANGAN TERANG)

31. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam jasmani. Atau penuh perhatian bahwa “ada jasmani” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.


(PERENUNGAN PERASAAN)

32. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan?  Di sini, ketika merasakan suatu perasaan menyenangkan, seorang bhikkhu memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyenangkan’; ketika merasakan perasaan menyakitkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan menyakitkan’; ketika merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Aku merasakan perasaan yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan.’ Ketika merasakan perasaan duniawi yang menyenangkan, ia memahami: ‘Aku memahami perasaan duniawi yang menyenangkan’; Ketika merasakan perasaan non-duniawi yang menyenangkan, ia memahami: ‘Aku memahami perasaan non-duniawi yang menyenangkan’; ketika merasakan perasaan duniawi yang menyakitkan, ia memahami: ‘Aku memahami perasaan duniawi yang menyakitkan’; ketika merasakan perasaan non-duniawi yang menyakitkan, ia memahami: ‘Aku memahami perasaan non-duniawi yang menyakitkan’; ketika merasakan perasaan duniawi yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Aku memahami perasaan duniawi yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan’; ketika merasakan perasaan non-duniawi yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan, ia memahami: ‘Aku memahami perasaan non-duniawi yang bukan-menyakitkan juga bukan-menyenangkan.’

(PANDANGAN TERANG)

33. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan secara internal, atau ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam perasaan, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam perasaan, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam perasaan.  Atau penuh perhatian bahwa “ada perasaan” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan.

(PERENUNGAN PIKIRAN)

34. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran?  Di sini seorang bhikkhu memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai pikiran yang terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai pikiran yang tidak terpengaruh nafsu. Ia memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai pikiran yang terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai pikiran yang tidak terpengaruh kebencian. Ia memahami pikiran yang terpengaruh kebodohan sebagai pikiran yang terpengaruh kebodohan dan pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan sebagai pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan. Ia memahami pikiran yang mengerut sebagai pikiran yang mengerut dan pikiran yang kacau sebagai pikiran yang kacau. Ia memahami pikiran yang luhur sebagai pikiran yang luhur dan pikiran yang tidak luhur sebagai pikiran yang tidak luhur. Ia memahami pikiran yang terbatas sebagai pikiran yang terbatas dan pikiran yang tidak terbatas sebagai pikiran yang tidak terbatas. Ia memahami pikiran terkonsentrasi sebagai pikiran terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai pikiran tidak terkonsentrasi. Ia memahami pikiran yang terbebaskan sebagai pikiran yang terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai pikiran yang tidak terbebaskan.

(PANDANGAN TERANG)

35. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran secara internal, atau ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam pikiran, [60] atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam pikiran.  Atau penuh perhatian bahwa “ada pikiran” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran.

(PERENUNGAN OBYEK-OBYEK PIKIRAN)

(1. Lima Rintangan)

36. “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran?  Di sini seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan lima rintangan.  Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan lima rintangan? Di sini, jika muncul keinginan indria dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Terdapat keinginan indria dalam diriku’; atau jika tidak ada keinginan indria dalam dirinya, ia memahami: ‘Tidak ada keinginan indria dalam diriku’; dan ia juga memahami bagaimana kemunculan keinginan indria yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan keinginan indria yang telah muncul, dan bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari keinginan indria yang telah ditinggalkan.’

“Jika terdapat niat buruk dalam dirinya … Jika terdapat kelambanan dan ketumpulan dalam dirinya … Jika terdapat kegelisahan dan penyesalan dalam dirinya … Jika terdapat keragu-raguan dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Terdapat keragu-raguan dalam diriku’; atau jika tidak ada keragu-raguan dalam dirinya, ia memahami: ‘Tidak ada keragu-raguan dalam diriku’; dan ia memahami bagaimana kemunculan keragu-raguan yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan keragu-raguan yang telah muncul, dan bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari keragu-raguan yang telah ditinggalkan.’

(PANDANGAN TERANG)

37. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran secara internal, atau ia berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam obyek-obyek pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam obyek-obyek pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam obyek-obyek pikiran. Atau penuh perhatian bahwa “ada obyek-obyek pikiran” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan kelima rintangan.

(2. Kelima kelompok Unsur Kehidupan)

38. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran [61] sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan.  Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan? Di sini seorang bhikkhu memahami: ‘Demikianlah bentuk materi, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah persepsi, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah bentukan-bentukan, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah kesadaran, demikianlah asal mulanya, demikianlah lenyapnya.’
« Last Edit: 01 May 2012, 02:43:15 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #12 on: 21 July 2010, 06:43:46 PM »
39. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang terpengaruh oleh kemelekatan.

(3. Enam Landasan)

40. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan enam landasan internal dan eksternal.  Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan enam landasan internal dan eksternal? Di sini seorang bhikkhu memahami mata, ia memahami bentuk-bentuk, dan ia memahami belenggu-belenggu yang muncul dengan bergantung pada keduanya; dan ia juga memahami bagaimana munculnya belenggu yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan belenggu yang telah muncul, dan bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari belenggu yang telah ditinggalkan.

“Ia memahami telinga, ia memahami suara-suara … Ia memahami hidung, ia memahami bau-bauan … Ia memahami lidah, ia memahami rasa kecapan … Ia memahami badan, ia memahami obyek-obyek sentuhan … Ia memahami pikiran, ia memahami obyek-obyek pikiran, dan ia memahami belenggu-belenggu yang muncul dengan bergantung pada keduanya; dan ia juga memahami bagaimana munculnya belenggu yang belum muncul, dan bagaimana meninggalkan belenggu yang telah muncul, dan bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari belenggu yang telah ditinggalkan.

41. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan enam landasan indria internal dan eksternal.

(4. Tujuh Faktor Pencerahan)

42. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan ketujuh faktor pencerahan.  Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan ketujuh faktor pencerahan? Di sini, jika ada faktor pencerahan perhatian dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Ada faktor pencerahan perhatian dalam diriku’; atau jika tidak ada faktor pencerahan perhatian dalam dirinya, ia memahami: [62] ‘Tidak ada faktor pencerahan perhatian dalam diriku’; dan ia juga memahami bagaimana munculnya faktor pencerahan perhatian yang belum muncul, dan bagaimana faktor pencerahan perhatian terpenuhi melalui pengembangan.

“Jika ada faktor pencerahan penyelidikan-kondisi-kondisi dalam dirinya  … Jika ada faktor pencerahan kegigihan dalam dirinya … Jika ada faktor pencerahan kegembiraan dalam dirinya … Jika ada faktor pencerahan ketenangan dalam dirinya … Jika ada faktor pencerahan konsentrasi dalam dirinya … Jika ada faktor pencerahan keseimbangan dalam dirinya, seorang bhikkhu memahami: ‘Ada faktor pencerahan keseimbangan dalam diriku’; atau jika tidak ada faktor pencerahan keseimbangan dalam dirinya, ia memahami: ‘Tidak ada faktor pencerahan keseimbangan dalam diriku’; dan ia juga memahami bagaimana munculnya faktor pencerahan keseimbangan yang belum muncul, dan bagaimana faktor pencerahan keseimbangan terpenuhi melalui pengembangan.

43. “Dengan cara inilah ia berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran secara internal, secara eksternal, dan secara internal dan eksternal … Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan ketujuh faktor pencerahan.

(5. Empat Kebenaran Mulia)

44. “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia.  Dan bagaimanakah seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia? Di sini seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan’; ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’

(PANDANGAN TERANG)

45. “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran secara internal, atau ia berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya obyek-obyek pikiran dalam obyek-obyek pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya obyek-obyek pikiran dalam obyek-obyek pikiran, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya obyek-obyek pikiran dalam obyek-obyek pikiran. Atau penuh perhatian bahwa “ada obyek-obyek pikiran” muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan obyek-obyek pikiran sebagai obyek-obyek pikiran sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia.

(PENUTUP)

46. “Para bhikkhu, jika siapapun juga mengembangkan keempat landasan perhatian ini dengan cara demikian selama tujuh tahun, maka satu dari dua buah dapat diharapkan untuknya: pengetahuan akhir di sini dan saat ini, atau jika masih ada kemelekatan yang tersisa, tidak-kembali-lagi.

“Jangankan tujuh tahun, para bhikkhu. [63] Jika siapapun juga mengembangkan keempat landasan perhatian ini dengan cara demikian selama enam tahun … selama lima tahun … selama empat tahun …selama tiga tahun … selama dua tahun … selama satu tahun, maka satu dari dua buah dapat diharapkan untuknya: pengetahuan akhir di sini dan saat ini, atau jika masih ada kemelekatan yang tersisa, tidak-kembali-lagi.

“Jangankan satu tahun, para bhikkhu. Jika siapapun juga mengembangkan keempat landasan perhatian ini dengan cara demikian selama tujuh bulan … selama enam bulan … selama lima bulan … selama empat bulan …selama tiga bulan … selama dua bulan … selama satu bulan … selama setengah bulan, maka satu dari dua buah dapat diharapkan untuknya: pengetahuan akhir di sini dan saat ini, atau jika masih ada kemelekatan yang tersisa, tidak-kembali-lagi.

“Jangankan setengah bulan, para bhikkhu. Jika siapapun juga mengembangkan keempat landasan perhatian ini dengan cara demikian selama tujuh hari, maka satu dari dua buah dapat diharapkan untuknya: pengetahuan akhir di sini dan saat ini, atau jika masih ada kemelekatan yang tersisa, tidak-kembali-lagi.

47. “Adalah dengan merujuk pada hal inilah maka dikatakan: ‘Para bhikkhu, ini adalah jalan langsung untuk pemurnian makhluk-makhluk, untuk mengatasi dukacita dan ratapan, untuk lenyapnya kesakitan dan kesedihan, untuk pencapaian jalan sejati, untuk penembusan Nibbāna – yaitu, empat landasan perhatian.’”

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengarkan kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 02:43:58 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #13 on: 22 July 2010, 12:51:47 AM »
11  Cūḷasīhanāda Sutta
Khotbah pendek tentang Auman Singa

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, hanya di sini terdapat seorang petapa, hanya di sini terdapat petapa ke dua, hanya di sini terdapat petapa ke tiga, hanya di sini terdapat petapa ke empat. Doktrin-doktrin dari yang lain adalah kosong [64] dari petapa: itu adalah bagaimana kalian dapat dengan benar mengaumkan auman singa kalian.

3. “Adalah mungkin, para bhikkhu, bahwa para pengembara sekte lain menanyakan: ‘Tetapi atas kekuatan [argumen] apakah atau dengan dukungan [otoritas] apakah Yang Mulia berkata demikian?’ Para petapa sekte lain yang bertanya demikian dapat dijawab dengan cara ini: ‘Teman-teman, empat hal telah dinyatakan kepada kami oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna; setelah melihat hal ini dalam diri kami, kami mengatakan: “hanya di sini terdapat seorang petapa, hanya di sini terdapat petapa ke dua, hanya di sini terdapat petapa ke tiga, hanya di sini terdapat petapa ke empat. Doktrin-doktrin dari yang lain adalah kosong dari petapa.” Apakah empat ini? Kami memiliki keyakinan pada Sang Guru, kami memiliki keyakinan pada Dhamma, kami telah memenuhi aturan-aturan moral, dan teman-teman kami dalam Dhamma menyayangi dan menyenangi kami apakah mereka umat awam atau mereka yang telah meninggalkan keduniawian. Ini adalah empat hal yang dinyatakan kepada kami oleh Sang Bhagavā yang mengetahui dan melihat, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, ketika melihatnya dalam diri kami, kami mengatakan apa yang kami lakukan.’

4. “Adalah mungkin, para bhikkhu, para pengembara sekte lain akan berkata sebagai berikut: ‘Teman-teman, kami juga memiliki keyakinan pada Sang Guru, yaitu, pada Guru Kami; kami juga memiliki keyakinan pada Dhamma, yaitu, pada Dhamma kami, kami juga telah memenuhi aturan-aturan moral, yaitu aturan-aturan kami; dan teman-teman kami dalam Dhamma juga menyayangi dan menyenangi kami apakah mereka umat awam atau mereka yang telah meninggalkan keduniawian. Apakah bedanya di sini, sahabat-sahabat, apakah perbedaan antara kalian dan kami?’

5. “Para pengembara dari sekte lain yang bertanya demikian dapat dijawab seperti ini: ‘Bagaimanakah, teman-teman, apakah tujuannya satu atau banyak?’ jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuannya adalah satu bukan banyak.’  – ‘Tetapi, teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang terpengaruh oleh nafsu atau bebas dari nafsu?’ Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang bebas dari nafsu, bukan untuk seorang yang terpengaruh oleh nafsu.’ - ‘Tetapi, teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang terpengaruh oleh kebencian atau bebas dari kebencian?’ Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang bebas dari kebencian, bukan untuk seorang yang terpengaruh oleh kebencian.’ - ‘Tetapi, teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang terpengaruh oleh kebodohan atau bebas dari kebodohan?’ Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang bebas dari kebodohan, bukan untuk seorang yang terpengaruh oleh kebodohan.’ - ‘Tetapi, teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang terpengaruh oleh keinginan atau bebas dari keinginan?’ [65] Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang bebas dari keinginan, bukan untuk seorang yang terpengaruh oleh keinginan.’ - ‘Tetapi, teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang terpengaruh oleh kemelekatan atau bebas dari kemelekatan?’ Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang bebas dari kemelekatan, bukan untuk seorang yang terpengaruh oleh kemelekatan.’ - ‘Tetapi, teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang memiliki penglihatan atau tanpa penglihatan?’ Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang memiliki penglihatan, bukan untuk seorang yang tanpa penglihatan.’ - ‘Tetapi, teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang menyukai dan menolak, atau untuk seorang yang tidak menyukai dan tidak menolak?’ Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang tidak menyukai dan tidak menolak, bukan untuk seorang yang menyukai atau menolak.’  - ‘Tetapi, teman-teman, apakah tujuan itu untuk seorang yang bergembira dan menikmati proliferasi, atau untuk seorang yang tidak bergembira dalam dan tidak menikmati proliferasi?’ Jika menjawab dengan benar, maka para pengembara dari sekte lain akan menjawab: ‘Teman-teman, tujuan itu adalah untuk seorang yang tidak bergembira dalam dan tidak menikmati proliferasi, bukan untuk seorang yang menyenangi dan menikmati proliferasi.’

6. “Para bhikkhu, terdapat dua pandangan ini: pandangan penjelmaan dan pandangan tanpa penjelmaan. Petapa atau brahmana manapun yang menganut pandangan penjelmaan, mengadopsi pandangan penjelmaan, menerima pandangan penjelmaan, adalah berlawanan dengan pandangan tanpa penjelmaan. Petapa atau brahmana manapun yang menganut pandangan tanpa penjelmaan, mengadopsi pandangan tanpa penjelmaan, menerima pandangan tanpa penjelmaan, adalah berlawanan dengan pandangan  penjelmaan.

7. “Petapa atau brahmana manapun yang tidak memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri  sehubungan dengan kedua pandangan ini adalah terpengaruh oleh nafsu, terpengaruh oleh kebencian, terpengaruh oleh kebodohan, terpengaruh oleh keinginan, terpengaruh oleh kemelekatan, tanpa penglihatan, terbiasa menyukai dan menolak, dan mereka bergembira dalam dan menikmati proliferasi. Mereka tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian; dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; mereka tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan.

8. “Petapa atau brahmana manapun yang memahami sebagaimana adanya asal-mula, lenyapnya, kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri sehubungan dengan kedua pandangan ini adalah tanpa nafsu, tanpa kebencian, tanpa kebodohan, tanpa keinginan, tanpa kemelekatan, memiliki penglihatan, tidak terbiasa menyukai atau menolak, dan mereka tidak bergembira dalam dan tidak menikmati proliferasi. Mereka terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian; dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; mereka terbebas dari penderitaan, Aku katakan. [66]

9. “Para bhikkhu, terdapat empat jenis kemelekatan. Apakah empat ini? Kemelekatan pada segala jenis kenikmatan, kemelekatan pada pandangan, kemelekatan pada ritual dan upacara, dan kemelekatan pada doktrin diri.

10. “Walaupun para petapa dan brahmana tertentu mengaku mampu mengemukakan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan, mereka tidak sepenuhnya menggambarkan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan.  Mereka menggambarkan hanya pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria tanpa menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada pandangan, kemelekatan pada ritual dan upacara, dan kemelekatan pada doktrin diri. Mengapakah? Para petapa dan brahmana baik itu tidak memahami ketiga jenis kemelekatan ini sebagaimana adanya. Oleh karena itu, walaupun para petapa dan brahmana tertentu mengaku mampu mengemukakan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan, mereka tidak sepenuhnya menggambarkan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan, mereka menggambarkan hanya pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria tanpa menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada pandangan, kemelekatan pada ritual dan upacara, dan kemelekatan pada doktrin diri.

11. “Walaupun para petapa dan brahmana tertentu mengaku mampu mengemukakan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan … mereka menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria dan kemelekatan pada pandangan tanpa menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada ritual dan upacara dan kemelekatan pada doktrin diri. Mengapakah? Karena mereka tidak memahami kedua jenis kemelekatan ini … oleh karena itu mereka menggambarkan hanya pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria dan kemelekatan pada pandangan tanpa menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada ritual dan upacara dan kemelekatan pada doktrin diri.

12. “Walaupun para petapa dan brahmana tertentu mengaku mampu mengemukakan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan … mereka menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria dan kemelekatan pada pandangan dan  kemelekatan pada ritual dan upacara tanpa menggambarkan pemahaman penuh  atas kemelekatan pada doktrin diri. Mereka tidak memahami satu jenis kemelekatan ini … oleh karena itu mereka menggambarkan hanya pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria dan kemelekatan pada pandangan dan kemelekatan pada ritual dan upacara tanpa menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada doktrin diri.

13. “Para bhikkhu, dalam Dhamma dan Disiplin demikian, jelas bahwa keyakinan pada Sang Guru tidak diarahkan dengan benar, bahwa keyakinan pada Dhamma tidak diarahkan dengan benar, bahwa pemenuhan aturan-aturan moral tidak diarahkan dengan benar, dan bahwa kasih sayang di antara teman-teman dalam Dhamma tidak diarahkan dengan benar. Mengapakah? Karena itu adalah bagaimana ketika Dhamma dan Disiplin [67] dinyatakan dengan buruk dan dibabarkan dengan buruk, tidak membebaskan, tidak mendukung kedamaian, dibabarkan oleh seorang yang tidak tercerahkan sempurna.

14. “Para bhikkhu, ketika seorang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, mengaku mampu mengemukakan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan, Beliau secara lengkap menggambarkan pemahaman penuh atas segala jenis kemelekatan: beliau menggambarkan pemahaman penuh atas kemelekatan pada kenikmatan indria, kemelekatan pada pandangan, kemelekatan pada ritual dan upacara, dan kemelekatan pada doktrin diri.

15. “Para bhikkhu, dalam Dhamma dan Disiplin demikian, jelas bahwa keyakinan pada Sang Guru diarahkan dengan benar, bahwa keyakinan pada Dhamma diarahkan dengan benar, bahwa pemenuhan aturan-aturan moral diarahkan dengan benar, dan bahwa kasih sayang di antara teman-teman dalam Dhamma diarahkan dengan benar. Mengapakah? Karena itu adalah bagaimana ketika Dhamma dan Disiplin dinyatakan dengan baik dan dibabarkan dengan baik, membebaskan, mendukung kedamaian, dibabarkan oleh seorang yang tercerahkan sempurna.

16. “Sekarang empat jenis kemelekatan ini memiliki apakah sebagai sumbernya, apakah sebagai asal-mulanya, dari apakah ditimbulkan dan dihasilkan? Empat jenis kemelekatan ini memiliki keinginan sebagai sumbernya, keinginan sebagai asal-mulanya, ditimbulkan dan dihasilkan dari keinginan.  Keinginan memiliki apakah sebagai sumbernya …? Keinginan memiliki perasaan sebagai sumbernya … Perasaan memiliki apakah sebagai sumbernya …? Perasaan memiliki kontak sebagai sumbernya … Kontak memiliki apakah sebagai sumbernya …? Kontak memiliki enam landasan sebagai sumbernya … Enam landasan memiliki apakah sebagai sumbernya …? Enam landasan memiliki batin-jasmani sebagai sumbernya … Batin-jasmani memiliki apakah sebagai sumbernya …? Batin-jasmani memiliki kesadaran sebagai sumbernya … Kesadaran memiliki apakah sebagai sumbernya …? Kesadaran memiliki bentukan-bentukan sebagai sumbernya … Bentukan-bentukan  memiliki apakah sebagai sumbernya …? Bentukan-bentukan memiliki kebodohan sebagai sumbernya, kebodohan sebagai asal-mulanya, timbul dan dihasilkan dari kebodohan.

17. “Para bhikkhu, ketika kebodohan ditinggalkan dan pengetahuan sejati muncul dalam diri seorang bhikkhu, maka dengan meluruhnya kebodohan dan munculnya pengetahuan sejati ia tidak lagi melekat pada kenikmatan indria, tidak lagi melekat pada pandangan, tidak lagi melekat pada ritual dan upacara, tidak lagi melekat pada doktrin diri.  Ketika ia tidak melekat, ia tidak gelisah. Ketika ia tidak gelisah, maka ia oleh dirinya sendiri mencapai Nibbāna. Ia memahami: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.” [68]

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.
« Last Edit: 01 May 2012, 02:44:44 PM by ryu »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Majjhima Nikaya, BAGIAN 1 - Lima Puluh Khotbah Pertama
« Reply #14 on: 22 July 2010, 12:54:59 AM »
12  Mahāsīhanāda Sutta
Khotbah panjang tentang Auman Singa

1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di hutan di sebelah barat kota.

2. Pada saat itu Sunakkhatta, putera Licchavi, baru saja meninggalkan Dhamma dan Disiplin ini.  Ia mengemukakan pernyataan di hadapan sekumpulan penduduk Vesālī: “Petapa Gotama tidak memiliki kondisi yang melampaui manusia, tidak memiliki keluhuran dalam hal pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia.  Petapa Gotama mengajarkan Dhamma [hanya sekadar] menggunakan logika, mengikuti jalur pencarianNya sendiri saat muncul dalam diriNya, dan ketika Beliau mengajarkan Dhamma kepada orang lain, Dhamma itu menuntunnya ,jika ia mempraktikkannya, menuju kehancuran total penderitaan.”

3. Kemudian, pada pagi harinya, Yang Mulia Sāriputta merapikan jubah, dan dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, memasuki Vesālī untuk menerima dana makanan. Kemudian ia mendengar Sunakkhatta, putera Licchavi, mengemukakan pernyataan di hadapan sekumpulan penduduk Vesālī. Ketika ia telah menerima dana makanan dan telah kembali dari perjalanan itu, setelah makan, ia menghadap Sang Bhagavā, dan setelah bersujud, ia duduk di satu sisi dan memberitahu Sang Bhagavā tentang apa yang dikatakan oleh Sunakkhatta.

4. [Sang Bhagavā berkata:] “Sāriputta, orang sesat Sunakkhatta sedang marah dan kata-katanya diucapkan karena marah. Dengan berniat untuk mendiskreditkan Sang Tathāgata, sebaliknya ia malah memuji Beliau; [69] karena adalah pujian terhadap Sang Tathāgata dengan mengatakan tentang Beliau: ‘Ketika Beliau mengajarkan Dhamma kepada orang lain, Dhamma itu menuntunnya, jika ia mempraktikkannya, menuju kehancuran total penderitaan.’

5. “Sāriputta, orang sesat Sunakkhatta tidak akan pernah berpendapat tentangKu sesuai dengan Dhamma: ‘Bahwa Sang Bhagavā adalah sempurna, tercerahkan sepenuhnya, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku sejati, mulia, pengenal segenap alam, pemimpin yang tanpa bandingan bagi orang-orang yang harus dijinakkan, guru para dewa dan manusia, tercerahkan, terberkahi.’

6. “Dan ia tidak akan pernah berpendapat tentangKu sesuai dengan Dhamma: ‘Bahwa Sang Bhagavā menikmati berbagai jenis kekuatan batin: dari satu Beliau menjadi banyak; dari banyak Beliau menjadi satu, Beliau muncul dan lenyap; Beliau bepergian tanpa terhalangi oleh dinding, menembus tembok, menembus gunung seolah-olah menembus ruang kosong; Beliau menyelam masuk dan keluar dari tanah seolah-olah di dalam air; Beliau berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; duduk bersila, Beliau bepergian di angkasa seperti burung; dengan tanganNya Beliau menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; Beliau mengerahkan kekuatan jasmani, hingga sejauh alam-Brahma.’

7. “Dan ia tidak akan pernah berpendapat tentangKu sesuai dengan Dhamma: ‘Dengan unsur telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, Sang Bhagavā mendengar kedua jenis suara, suara surgawi dan suara manusia, yang jauh maupun dekat.’

8. “Dan ia tidak akan pernah berpendapat tentangKu sesuai dengan Dhamma: ‘Bahwa Sang Bhagavā melingkupi pikiran makhluk-makhluk lain, orang-orang lain dengan pikiranNya. Beliau memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai tidak terpengaruh nafsu; Beliau memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai tidak terpengaruh kebencian; Beliau memahami pikiran yang terpengaruh kebodohan sebagai terpengaruh kebodohan dan pikiran yang tidak terpengaruh kebodohan sebagai tidak terpengaruh kebodohan; Beliau memahami pikiran yang mengerut sebagai mengerut dan pikiran yang kacau sebagai kacau; Beliau memahami pikiran luhur sebagai luhur dan pikiran tidak luhur sebagai tidak luhur; Beliau memahami pikiran yang terbatas sebagai terbatas dan pikiran tidak terbatas sebagai tidak terbatas; Beliau memahami pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak terkonsentrasi; Beliau memahami pikiran yang terbebaskan sebagai terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan.’

(SEPULUH KEKUATAN SEORANG TATHĀGATA)

9. “Sāriputta, Sang Tathāgata memiliki sepuluh kekuatan ini, yang dengan memilikinya Beliau diakui sebagai pemimpin kelompok, mengaumkan auman singa di dalam kelompok-kelompok, dan memutar Roda Brahmā.  Apakah sepuluh ini?

10. (1) “Di sini, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya yang mungkin sebagai mungkin dan yang tidak mungkin sebagai tidak mungkin.  Dan itu [70] adalah kekuatan seorang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau diakui sebagai pemimpin kelompok, mengaumkan auman singa di dalam kelompok-kelompok, dan memutar Roda Brahmā.

11. (2) “Kemudian, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan, di masa lalu, di masa depan, dan di masa sekarang, dengan kemungkinan-kemungkinan dan penyebab-penyebabnya. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata …

12. (3) “Kemudian, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya Jalan yang mengarah menuju semua alam tujuan kelahiran kembali. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata …

13. (4) “Kemudian, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya dunia dengan banyak unsur yang berbeda-beda. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata …

14. (5) “Kemudian, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya bagaimana makhluk-makhluk memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata …

15. (6) “Kemudian, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya watak dari indria makhluk-makhluk lain, orang-orang lain. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata …

16. (7) “Kemudian, Sang Tathāgata memahami sebagaimana adanya kekotoran, pemurnian, dan kemunculan sehubungan dengan jhāna, kebebasan, konsentrasi, dan pencapaian. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata …

17. (8) “Kemudian, Sang Tathāgata mengingat banyak kehidupan lampaunya, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran … (seperti Sutta 4, §27) … Demikianlah beserta aspek dan ciri-cirinya Beliau mengingat banyak kehidupan lampau. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata …

18. (9) “Kemudian, Dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Sang Tathāgata melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin … (seperti Sutta 4, §29) … [71] … dan Beliau memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata …

19. (10) “Kemudian, dengan menembusnya bagi diriNya sendiri dengan pengetahuan langsung, Sang Tathāgata di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda. Itu juga adalah kekuatan seorang Tathāgata yang dimiliki oleh Sang Tathāgata, yang dengan memilikinya Beliau diakui sebagai pemimpin kelompok, mengaumkan auman singa di dalam kelompok-kelompok, dan memutar Roda Brahmā.

20. “Sang Tathāgata memiliki sepuluh kekuatan ini, yang dengan memilikinya Beliau diakui sebagai pemimpin kelompok, mengaumkan auman singa di dalam kelompok-kelompok, dan memutar Roda Brahmā.

21. “Sāriputta, ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, jika siapapun juga mengatakan tentangKu: ‘Petapa Gotama tidak memiliki kondisi yang melampaui manusia, tidak memiliki keluhuran dalam hal pengetahuan dan penglihatan selayaknya para mulia. Petapa Gotama mengajarkan Dhamma [hanya sekadar] menggunakan logika, mengikuti jalur pencarianNya sendiri saat muncul dalam diriNya’ – jika ia tidak meninggalkan  pernyataan itu dan kondisi pikiran itu dan melepaskan pandangan itu, maka [seolah-olah] ia dibawa dan diletakkan di sana ia pasti akan berakhir di neraka.  Bagaikan seorang bhikkhu yang memiliki moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan akan menikmati pengetahuan akhir di sini dan saat ini, demikian pula akan terjadi dalam kasus ini, Aku katakan, bahwa jika ia tidak meninggalkan  pernyataan itu dan kondisi pikiran itu dan melepaskan pandangan itu, maka [seolah-olah] ia dibawa dan diletakkan di sana ia pasti akan berakhir di neraka.

(EMPAT JENIS KEBERANIAN)

22. “Sāriputta, Sang Tathāgata memiliki empat jenis keberanian ini, yang dengan memilikinya Beliau diakui sebagai pemimpin kelompok, mengaumkan auman singa di dalam kelompok-kelompok, dan memutar Roda Brahmā. Apakah empat ini?

23. “Di sini, Aku tidak melihat dasar yang dengannya petapa atau brahmana atau dewa atau Māra atau Brahmā atau siapapun juga di dunia ini mampu, sesuai dengan Dhamma, menuduhKu sebagai berikut: ‘Walaupun Engkau mengaku telah mencapai Pencerahan Sempurna, namun Engkau tidak tercerahkan sempurna sehubungan dengan hal-hal tertentu.’ [72] Dan melihat tidak ada dasar untuk itu, Aku berdiam dengan aman, tanpa ketakutan, dan dengan berani.

24. “Aku tidak melihat dasar yang dengannya petapa … atau siapapun juga dapat menuduhKu sebagai berikut: ‘Walaupun Engkau mengaku telah menghancurkan noda-noda, namun noda-noda ini belum Engkau hancurkan.’ Dan melihat tidak ada dasar untuk itu, Aku berdiam dengan aman, tanpa ketakutan, dan dengan berani.

25. “Aku tidak melihat dasar yang dengannya petapa … atau siapapun juga dapat menuduhKu sebagai berikut: ‘Hal-hal yang Engkau sebut sebagai rintangan tidak mampu menghalangi seseorang yang menikmatinya.’ Dan melihat tidak ada dasar untuk itu, Aku berdiam dengan aman, tanpa ketakutan, dan dengan berani.

26. “Aku tidak melihat dasar yang dengannya petapa … atau siapapun juga dapat menuduhKu sebagai berikut: ‘Ketika Engkau mengajarkan Dhamma kepada seseorang, Dhamma itu tidak menuntunnya pada kehancuran total penderitaan ketika ia mempraktikkannya.’ Dan melihat tidak ada dasar untuk itu, Aku berdiam dengan aman, tanpa ketakutan, dan dengan berani.

27. “Seorang Tathāgata memiliki empat jenis keberanian ini, yang dengan memilikinya Beliau diakui sebagai pemimpin kelompok, mengaumkan auman singa di dalam kelompok-kelompok, dan memutar Roda Brahmā.

28. “Sāriputta, ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, jika siapapun juga mengatakan tentangKu … ia pasti akan berakhir di neraka.

(DELAPAN KELOMPOK)

29. “Sāriputta, terdapat delapan kelompok ini. Apakah delapan ini? Kelompok para mulia, kelompok para brahmana, kelompok para perumah tangga, kelompok para petapa, kelompok para dewa di alam surga Empat Raja Dewa, kelompok para dewa di alam surga Tiga Puluh Tiga, kelompok para pengikut Māra, kelompok para Brahmā. Dengan memiliki empat jenis keberanian ini, Sang Tathāgata mendekati dan memasuki delapan kelompok ini.

30. “Aku ingat pernah mendekati ratusan kelompok para mulia … ratusan kelompok para brahmana … ratusan kelompok para perumah tangga … ratusan kelompok para petapa … ratusan kelompok para dewa di alam surga Empat Raja Dewa … ratusan kelompok para dewa di alam surga Tiga Puluh Tiga, … ratusan kelompok para pengikut Māra … ratusan  kelompok para Brahmā. Dan Aku pernah duduk bersama mereka di sana dan berbicara dengan mereka dan berbincang-bincang dengan mereka, namun Aku melihat tidak ada dasar untuk berpikir bahwa ketakutan atau rasa segan akan menghampiriKu. Dan melihat tidak adanya dasar untuk itu, Aku berdiam dengan aman, tanpa ketakutan, dan dengan berani. [73]

31. “Sariputta, ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, jika siapapun juga mengatakan tentangKu … ia pasti akan berakhir di neraka.

(EMPAT JENIS KETURUNAN)

32. “Sāriputta, terdapat empat jenis keturunan ini. Apakah empat ini? Keturunan yang terlahir dari telur, keturunan yang terlahir dari rahim, keturunan yang terlahir dari kelembaban, dan keturunan yang terlahir spontan.

33. “Apakah keturunan yang terlahir dari telur? Terdapat makhluk-makhluk ini yang terlahir dengan memecahkan cangkang sebutir telur: ini disebut keturunan yang terlahir dari telur. Apakah keturunan yang terlahir dari rahim? Terdapat makhluk-makhluk ini yang terlahir dengan memecahkan selaput pembungkus janin: ini disebut keturunan yang terlahir dari rahim. Apakah keturunan yang terlahir dari kelembaban? Terdapat makhluk-makhluk ini yang terlahir di dalam  ikan busuk, di dalam mayat busuk, di dalam bubur busuk, di dalam lubang kakus, atau di dalam saluran air: ini disebut keturunan yang terlahir dari kelembaban. Apakah keturunan yang terlahir spontan? Terdapat para dewa dan para penghuni neraka dan manusia-manusia tertentu dan beberapa makhluk di alam rendah: ini disebut keturunan yang terlahir spontan. Ini adalah empat jenis keturunan.

34. “Sariputta, ketika Aku mengetahui dan melihat demikian, jika siapapun juga mengatakan tentangKu … ia pasti akan berakhir di neraka.

(LIMA ALAM TUJUAN KELAHIRAN DAN NIBBĀNA)

35. “Sāriputta, terdapat lima alam tujuan kelahiran ini. Apakah lima ini? Neraka, alam binatang, alam hantu, alam manusia, dan dewa.

36. (1) “Aku memahami neraka, dan jalan dan cara yang mengarah menuju neraka. Dan Aku juga memahami bagaimana seseorang yang telah memasuki jalan ini akan, setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam rendah, dalam kesengsaraan, dalam neraka.

(2) “Aku memahami alam binatang, dan jalan dan cara yang mengarah menuju alam binatang. Dan Aku juga memahami bagaimana seseorang yang telah memasuki jalan ini akan, setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam binatang.

(3) “Aku memahami alam hantu, dan jalan dan cara yang mengarah menuju alam hantu. Dan Aku juga memahami bagaimana seseorang yang telah memasuki jalan ini akan, setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam hantu.
 
(4) “Aku memahami alam manusia, dan jalan dan cara yang mengarah menuju alam manusia. Dan Aku juga memahami bagaimana seseorang yang telah memasuki jalan ini akan, setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di antara manusia.

(5) “Aku memahami alam dewa, dan jalan dan cara yang mengarah menuju alam dewa. Dan Aku juga memahami bagaimana seseorang yang telah memasuki jalan ini akan, setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, muncul kembali di alam bahagia, di alam surga.

(6) “Aku memahami Nibbāna, dan jalan dan cara yang mengarah menuju NIbbāna. [74] Dan Aku juga memahami bagaimana seseorang yang telah memasuki jalan ini akan, dengan menembusnya untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda

37. (1) “Dengan melingkupi pikiran dengan pikiran Aku memahami orang tertentu sebagai berikut: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini sehingga setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam tujuan yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, di neraka.’ Dan kemudian setelah itu, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat bahwa setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam tujuan yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, di neraka, dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk yang luar biasa. Misalkan terdapat sebuah lubang membara yang lebih dalam daripada tinggi manusia yang penuh dengan bara tanpa api atau asap; dan kemudian seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang melalui jalan satu arah yang mengarah menuju lubang membara tersebut. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik ketika melihatnya akan berkata: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini sehingga ia akan sampai ke lubang membara ini’; dan kemudian setelah itu, ia melihat bahwa orang itu terjatuh ke dalam lubang membara itu dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk yang luar biasa. Demikian pula, dengan melingkupi pikiran dengan pikiran … perasaan menusuk.

38. (2) “Dengan melingkupi pikiran dengan pikiran Aku memahami orang tertentu sebagai berikut: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini sehingga setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di alam binatang.’ Dan kemudian setelah itu, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat bahwa setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam binatang, dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk yang luar biasa. Misalkan terdapat sebuah lubang kakus yang lebih dalam daripada tinggi manusia yang penuh dengan kotoran; dan kemudian seseorang [75] yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang melalui jalan satu arah yang mengarah menuju lubang kakus tersebut. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik ketika melihatnya akan berkata: ‘Orang ini berkelakuan begini … sehingga ia akan sampai ke lubang kakus ini’; dan kemudian setelah itu, ia melihat bahwa orang itu terjatuh ke dalam lubang kakus itu dan mengalami perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk yang luar biasa. Demikian pula, dengan melingkupi pikiran dengan pikiran … perasaan menusuk.

39. (3) “Dengan melingkupi pikiran dengan pikiran Aku memahami orang tertentu sebagai berikut: ‘Orang ini berkelakuan begini, berperilaku begini, telah menjalani jalan ini sehingga setelah hancurnya jasmani, setelah kematian, ia akan muncul kembali di alam hantu.’ Dan kemudian setelah itu … Aku melihat bahwa … ia muncul kembali di alam hantu, dan mengalami perasaan yang sangat menyakitkan. Misalkan terdapat sebatang pohon yang tumbuh di atas tanah yang tidak datar dengan sedikit dedauan yang menghasilkan bayangan yang tidak penuh; dan kemudian seseorang yang kepanasan dan keletihan karena cuaca panas, lelah, terpanggang, dan kehausan, datang melalui jalan satu arah yang mengarah menuju pohon tersebut. Kemudian seseorang yang berpenglihatan baik ketika melihatnya akan berkata: ‘Orang ini berkelakuan begini … sehingga ia akan sampai ke pohon ini’; dan kemudian setelah itu, ia melihat bahwa orang itu duduk atau berbaring dalam bayangan pohon itu dan mengalami perasaan yang sangat menyakitkan. Demikian pula, dengan melingkupi pikiran dengan pikiran … perasaan yang sangat menyakitkan.
« Last Edit: 01 May 2012, 02:46:09 PM by ryu »