//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - NOYA

Pages: [1] 2
1
Lingkungan / Temu Lawak (Curcuma xanthorrhiza) Diklaim USA
« on: 23 October 2010, 10:26:50 AM »
Temu Lawak (Curcuma xanthorrhiza) Diklaim USA

http://www.kabarinews.com/article.cfm?articleID=35754

Bagi yang pernah minum jamu, pasti tahu jenis rempah ini, ya ini adalah temulawak yang biasanya digunakan untuk campuran jamu tradisional atau jamu instan yang banyak dijual di pasaran.

Temulawak atau yang bernama latin Curcuma xanthorrhiza ini banyak dikenal orang tumbuh dan berasal dari Indonesia. Tapi kenapa yang memiliki hak paten justru Amerika Serikat? Hal ini sangat dirisaukan produsen jamu tanah air, apa jadinya jika tanaman salah satu bahan jamu ternyata dipatenkan negara asing.

Kerisauan itu membuat Koordinator Masyarakat Bangga Produk Indonesia, Alvin Lie, menyambangi DPR, di kantor wakil rakyat itu, ia mengunggapkan kerisaunnya “ Industri jamu tradisional terancam. Apa jadinya industri jamu kalau digugat AS? Mau dibawa kemana Industri kita?” ungkapnya di ruang pers DPR, Senayan Kamis (21/10).

Temulawak mempunyai khasiat yang luar biasa untuk kesehatan tubuh, yaitu bisa digunakan untuk anti inflamasi, anti hepatotoksik (kelainan hati), anti radang, dapat mengobati empedu, sembelit, wasir, diare dan juga untuk mencegah kanker.

Indonesia terkenal dengan negara yang kaya akan rempah, maka tidak jarang banyak macam rempah yang tumbuh di tanah air. Salah satu contoh yang masih berkaitan adalah sampai dengan saat ini obat kanker produksi luar negeri saja masih meminta pasokan bahan baku temulawak dari Indonesia.

Alvin Lie mendesak pemerintah untuk segera bertindak membela produk-produk industri dalam negeri. Menurutnya, ini bukan kasus pertama. Sebelumnya pada Mei 2010, kerajinan tangan tempurung kelapa yang merupakan kerajinan khas Indonesia dipatenkan oleh seorang warga Prancis yang ternyata setelah diusut ia pernah menjalin kemitraan dengan pengrajin Indonesia.

2
Penurunan Patung Budha di Vihara Tri Ratna Kota Tanjung Balai
Sumatera Utara

 
Vihara Tri Ratna terletak di tengah kota Tanjung Balai persisnya di Jln. Asahan Tanjung Balai. Didirikan sejak tahun 2006 dengan luas bangunan 1432 m persegi yang terdiri dari 4 lantai. Vihara tersebut dibangun dengan IMB yang dikeluarkan oleh Walikota dengan No. 648/237/K/2006. Di atas lantai 4 Vihara tersebut didirkan Patung Budha Amitabha dengan tinggi 6 meter yang diresmikan sejak tanggal 8 November 2009. Patung Budha tersebut merupakan satu kesatuan dengan Vihara Tri Ratna. Saat ini Vihara Tri Ratna merupakan satu-satunya Vihara di Kota Tanjung Balai yang melayani sekitar 2.000 orang Umat Budha. Selain Vihara, di Kota Tanjung Balai juga terdapat 3 klenteng sebagai tempat sembahyang Umat Budha.

Semenjak diresmikan, Vihara tersebut digunakan sebagai tempat ibadah umat Budha dengan nyaman, hingga kenyamanan tersebut mulai terusik ketika pada tanggal 30 Mei 2010 dan 29 Juni 2010 beberapa ormas Islam yang tergabung dalam Gerakan Islam Bersatu melakukan demonstrasi ke Kantor DPRD dan Walikota Tanjung Balai mendesak pemerintah menurunkan Patung Budha dengan alasan bahwa keberadaan patung tersebut tidak mencerminkan kesan islami di Kota Tanjung Balai dan dapat mengganggu keharmonisan di tengah-tengah masyarakat.

Aksi tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai pihak sehingga mendorong pemerintah dan organisasi keagamaan melakukan berbagai langkah yang ditandai dengan adanya berbagai surat untuk menyikapi persoalan tersebut. Beberapa surat yang berhasil kami dokumentasikan dapat terlihat sebagai berikut:

Tanggal 3 Juni 2010 surat dari FKUB Sumut No. 60.0-1/FKUB-I/VI/2010 perihal himbauan kepada FKUB Tanjung Balai dan masyarakat agar proaktif  menangani kasus penurunan Patung Budha Amitabha dan mengajak masyarakat menjaga situasi tetap kondusif, tidak melakukan tindakan anarkis dan menjaga perdamaian. Surat tersebut ditandatangani oleh: Drs.Kendro Yahya (Wakil Ketua/ Budha), J.A.Ferdinandus (Sekretaris / kr****n Protestan), Naransami, SH (Bendahara / Hindu), GS.Ir. Djohan Adjuan (wakil Bendahara / Konghuju), Drs. H. Arifinsyah, M.Aj (Anggota / Islam), Drs. Hubertus Lumban Batu (Anggota / ka****k).

Tanggal 8 Juni 2010 surat dari Kementrian Agama Dirjen Bimbingan Masyarakat (BIMMAS) Agama Budha dengan No.DJ.VI/3/BA.02/604/2010 yang ditujukan kepada Ketua Vihara Tri Ratna Kota Tanjung Balai. Inti dari surat tersebut adalah meminta supaya Patung Budha Amitabha dipindahkan kepelataran atau tempat lain yang terhormat.

Tanggal 12 Juni 2010 surat dari Yayasan Vihara Tri Ratna Tanjung Balai dengan No. 05/YVTR-VI/2010 yang ditujukan kepada Menteri Agama Dirjen BINMAS Agama Budha. Surat tersebut menanggapi Surat Menteri Agama dimana Yayasan Vihara Tri Ratna menyesalkan surat Menteri Agama yang meminta mereka untuk menurunkan Patung Budha. Sehubungan dengan hal tersebut, Yayasan Vihara Tri Ratna meminta Menteri Agama meninjau ulang surat tersebut karena Patung Budha merupakan satu kesatuan dengan Vihara dan selama ini tidak menimbulkan keresahan ditengah-tengah masyarakat.

Tanggal 16 Juni 2010 Surat dari Pengurus Daerah Majelis Budhayana Indonesia dengan No. 085/MDI-Sumut/VI/2010 yang ditujukan kepada Dirjen BIMMAS Umat Budha Kementrian Agama. Surat tersebut sangat  menyayangkan surat Dirjen BIMMAS kementerian Agama yang tidak mendengar pendapat berbagai pihak khususnya Umat Budha di Kota Tanjung Balai. Kota Tanjung Balai selama ini kondusif dan keberadaan Patung Budha selama ini tidak ada masalah dan sesuai dengan Izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh Walikota No.648/237/K/2006. Melalui surat ini MDI meminta Dirjen BIMMAS Agama Budha Kementrian Agama agar menarik kembali surat tersebut. Surat tersebut ditandatangani oleh pengurusnya yang terdiri dari: Upa. Ir. Ony Indra Kusuma, MBS
(Ketua), Upa. Triadi Armin Utama, SP (Sekretaris).

Tanggal 23 Juni 2010 surat dari Kementrian Agama RI Dirjen Binmas Agama Budha yang ditujukan kepada Ketua Vihara Tri Ratna dengan No. DJ.VI/3/BA.02/680/2010 perihal pencabutan surat No. DJ.VI/3/BA.02/604/2010 dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Tanggal 13 Juli 2010 surat dari Kementrian Agama Dirjen Agama Budha No. DJ.VI/3/BA.02/361/2010 yang ditujukan kepada Kakanwil Kementrian Agama Provinsi Sumut perihal mohon bantuan penyelesaian masalah Patung Budha Vihara Tri Ratna agar dilakukan secara kekeluargaan.
Tanggal 15 Juli 2010 surat dari MUI Kota Tanjung Balai, ditujukan kepada Walikota Tanjung Balai dengan No.010/DP.11/S/VII/2010 perihal saran dan himbauan sehubungan dengan adanya keresahan masyarakat Tanjung Balai yang ditandai dengan adanya unjuk rasa elemen-elemen masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Islam Bersatu ke Kantor DPRD Tanjung Balai tanggal 30 Mei 2010 dan 29 Juni 2010 yang keberatan terhadap letak patung Budha Amitabha yang berada diatas lantai 4 Vihara Tri ratna di Jln. Asahan Kota Tanjung Balai. Mereka menilai bahwa pihak Vihara Tri Ratna tidak mengindahkan nilai-nilai agama, adat istiadat dan citra umat Islam Kota Tanjung Balai yang ada selama ini. Berdasarkan rapat Komisi Fatwa MUI Kota Tanjung Balai tanggal 14 Juli 2010 yang membahas masalah ini,

MUI meminta pemerintah agar segera menyelesaikan masalah patung tersebut agar kerukunan umat beragama tidak terkoyak koyak atau tercabik cabik, harmonis dan saling menghargai. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan No.8 tahun 2006 pasal 4 ayat 1 dan 2. Maka sehubungan dengan hal tersebut MUI sepakat dengan surat Menteri Agama yang meminta Ketua Vihara Tri Ratna agar memindahkan Patung Budha kepelataran vihara atau tempat lain yang terhormat karena umat islam melalui GIB menghendaki demikian. MUI juga menyesalkan surat Dirjen Binmas Agama Budha Kementrian Agama yang meminta mencabut surat sebelumnya karena mengganggu keharmonisan masyarakat.  Surat tersebut ditandangani oleh Komisi Fatwa MUI: Ustad. Syahlan Sitorus, BA (Ketua), Drs. H.Abd.Syadat saragih (Sekretaris), Diketahui Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI Tanjung Balai.

Tanggal 30 September 2010, surat Walikota Tanjung Balai yang ditujukan kepada Wakil Ketua DPRD, Kepala Kejaksaan, Kapolres, Dandim 0208 Asahan, Kakan Kementrian Agama Tanjung Balai, Ketua FKUB Kota Tanjung Balai, Ketua MUI dan Ketua Yayasan VIhara Tri Ratna No.100/18348/T-an/2010 perihal penyampaikan kesepakatan bersama penyelesaian permasalahan Patung Budha Amitabha. Sehubungan dengan hal tersebut Walikota telah memprakarsai penandatanganan kesepakatan bersama pada tanggal 3 agustus 2010 sebagai bagian dari tindak lanjut rapat koordinasi antara unsur Muspida Plus Kota Tanjung Balai dengan Komisi A DPRD Kota Tanjung Balai dan Gerakan Islam Bersatu pada hari Rabu 28 Juli 2010, rapat dengan pemuka agama Jumat 30 Juli 2010, Rapat Walikota dengan Pengurus Yayasan Vihara
Tri Ratna Senin, 2 agustus 2010 yang menyatakan memindahkan posisi patung Budha ketempat lain yang terhormat tanpa mengurangi kehormatan yang dilakukan oleh Pengurus Vihara. Kesepakatan ini dibuat tanggal 3 Agustus 2010.

 Tanggal 30 September 2010 surat dari Walikota Tanjung Balai yang ditujukan kepada Ketua Yayasan Vihara Tri Ratna dengan No. 100/18349/T-an/2010 perihal tindak lanjut kesepakatan bersama dan mempertanyakan mengapa pihak Yayasan Vihara Tri Ratna belum menurunkna Patung Budha. Walikota juga mengingatkan agar Pengurus Yayasan Vihara Tri Ratna sesegera mungkin menurunkan Patung Budha Amitabha sebagaimana disepakati dalam dalam surat kesepakatan bersama.
Peristiwa tersebut membuat Umat Budha Kota Tanjung Balai tidak nyaman untuk melaksanakan ibadahnya bahkan merasa terintimidasi. Bahkan beberapa hari ini menyebar issu jika Umat Budha tidak menurunkan Patung Budha tersebut maka kemungkinan Peristiwa 1998 (penjarahaan dan tindakan pelanggaran HAM lainnya yang terjadi kepada Komunitas Tionghoa) akan terulang kembali. Informasi yang diperoleh, Patung Budha Amitabha akan diturunkan paling lambat tanggal 9 November 2010.

            Untuk menjamin bahwa setiap warga Negara berhak untuk memeluk agama dan menjalankan ibadahnya kami berharap Rekan-Rekan yang peduli terhadap persoalan pluralisme di Indonesia agar berkenan memberikan tekanan kepada Walikota Tanjung Balai dan Pejabat Sementara Ketua DPRD Tanjung Balai. Berikut adalah no.kontak Walikota dan Ketua DPRD Tanjung Balai yang bias dihubungi:
·         Walikota Tanjung Balai: dr.Sutrisno Hadi Sp.OG (081375930004).
·         Pjs. Ketua DPRD Tanjung Balai: Surya Dharma (085275540709)
 
Salam Perdamaian,
 
Veryanto Sitohang

Direktur Pelaksana Aliansi Sumut Bersatu

Hp: 08126593680
 

3
Lingkungan / Beasiswa Penelitian dari Harvard Kennedy School
« on: 18 October 2010, 02:13:09 PM »
Beasiswa Penelitian dari Harvard Kennedy School

Harvard Kennedy School (HKS) Indonesia Program menawarkan beasiswa penelitian periode Januari-Juni 2011. Program beasiswa ini terbuka untuk para peneliti, akademisi maupun praktisi untuk mengikuti proyek-proyek penelitian independen di Rajawali Foundation Institute for Asia, yang merupakan bagian dari Ash Center for Democratic Governance and Innovation of the Harvard Kennedy School.

Kandidat yang sukses dalam seleksi beasiswa ini akan bergabung dengan komunitas-komunitas peneliti Asia terkait isu-isu penelitian yang ditekankan dalam program beasiswa penelitian ini. Kandidat akan memulai program ini pada 15 Januari sampai 15 Juni 2011.

Bagi yang berminat, peserta program asal Indonesia akan bergabung di dalam Ash Center for Democratic Governance and Innovation dan memiliki akses ke sistem perpustakaan Harvard University. Kandidat juga akan menerima sertifikat program ini tetapi tanpa disertai gelar tertentu.

Adapun skema beasiswa yang diberikan HKS antara lain tempat tinggal, asuransi kesehatan, dan honor bulanan. Tetapi, HKS tidak akan menanggung biaya transportasi internasional atau pra-keberangkatan dengan pesawat.

Informasi selengkapnya mengenai syarat dan ketentuan memperoleh beasiswa ini bisa lihat dan diunduh di situs www.ash.harvard.edu. Batas pengiriman aplikasi hanya sampai 29 Oktober 2010

4
Pengaruh Wanita dalam Kebijakan Pemerintah

Pengaruh wanita dalam kebijakan pemerintah lokal cukup tinggi, sehingga
sistem pemerintahan menjadi semakin inklusif, demokratis dan bebas dari kekerasan.

"Adanya wanita dalam dunia politik dan pemerintahan memberikan peluang transformasi kepemimpinan dengan menempatkan hal baru dalam agenda politik," kata pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Dyah Mutiarin, pada seminar Women in Local  Governance and it’s Contribution to Good Governance: Chalenges and Models to Global Governance di Yogyakarta, Jumat (15/10/2010).

Selain itu, pengalaman yang berhubungan dengan wanita juga memberikan perspektif baru dalam isu pemerintahan lokal dan definisi ulang prioritas politik yang mencerminkan dan merujuk pada nilai. Fakta menunjukkan pemerintahan lokal telah menjadi arena di mana wanita dapat memasuki dunia politik.  Wanita berhasil menjadi politisi mengingat mereka memperoleh suara melalui kepemimpinan dan partispasinya.

"Padaabad ke-21 peran wanita di berbagai sektor telah berkembang terutama dalam sektor pemerintahan lokal. Kondisi itu menunjukkan perkembangan kesadaran mengenai persamaan hak antara pria dan wanita dan hal ini merupakan fenomena global di mana wanita memiliki hak untuk sukses seperti pria," katanya.

Bupati Bantul, DIY, Sri Suryawidati mengatakan, bagi sebagian kalangan perempuan masih dianggap warga kelas dua.  Perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan atau tidak berkompeten di bidang politik dan hanya unggul di wilayah domestik. Padahal, perempuan juga memiliki peran sebagaimana laki-laki di bidang pemerintahan.Untuk itu, kesetaraan gender perlu diupayakan kepada berbagai kalangan agar ruang kesempatan bagi perempuan semakin luas.

Menurut dia, kesetaraan gender perlu diupayakan oleh berbagai pihak mulai dari kaum perempuan itu sendiri yang harus diberikan pemahaman mengenai kesetaran gender, bahwa perempuan memiliki posisi dan hak yang sama di berbagai bidang seperti laki-laki. Selain itu, kaum laki-laki juga perlu diberikan pemahaman agar melakukan upaya untuk mendukung kesetaraan gender.

"Para pembuat atau pengambil kebijakan mulai dari pemerintahan hingga kalangan partai politik agar menempatkan ruang bagi perempuan sehingga memudahkan upaya untuk kesetaraan gender di pemerintahan," katanya. Peran perempuan harus dimaksimalkan agar mempengaruhi tata kelola daerah yang berorientasi pada pembangunan kesetaraan gender.  "Oleh karena itu, perempuan harus memiliki rasa percaya diri yang kuat terkait kesetaraan gender. Jika perempuan semakin berkualitas akan semakin memperkuat tata kelola daerah," katanya.

5
Politik, ekonomi, Sosial dan budaya Umum / Jejak Laksamana Cheng Ho
« on: 17 October 2010, 10:22:24 PM »
Jejak Laksamana Cheng Ho

kompas.com. Cheng Ho menjadi penanda kontak budaya antara Nusantara dan China melalui ekspedisi maritim abad ke-15. Rombongannya melaksanakan misi diplomasi, negosiasi budaya, hingga penyebaran agama. Pembuktian antitesis terhadap argumen Samuel P Huntington tentang benturan peradaban yang menjadi perbincangan akademis bertahun-tahun.

Selain tercatat dalam dokumen sejarah, jejak Cheng Ho (Zheng He) masih dapat dilacak lewat peninggalan arkeologis di beberapa kota di pesisir Jawa ataupun Pasai (Aceh) dan Kukang (Palembang). Nama Cheng Ho, yang terdengar gagah dan karismatik, tumbuh lewat sejarah lisan sebagai penduduk di Cirebon, Semarang, Lasem, Tuban, Gresik, dan Surabaya.

Buku karya Tan Ta Sen ini mulanya disertasi di Jurusan Sejarah Universitas Indonesia. Sebelumnya, ia menulis Cheng Ho and Malacca (2005) dan beberapa naskah terkait ekspedisi Cheng Ho. Tan Ta Sen kini menjabat sebagai Presiden International Zheng He Society dan Direktur Cheng Ho Cultural Museum, Malaka.

Pada buku ini, Tan Ta Sen menghadirkan pendapat bahwa ekspedisi Cheng Ho didasari misi kontak kebudayaan dengan jalur diplomasi. Ia menampik argumen Geoff Wade (2005), Bokwahan (1975), dan Pan Hui Li (1979) bahwa pelayaran Cheng Ho dianggap sebagai purwakolonialisme maritim Dinasti Ming. Data maupun riset yang disajikan lewat buku ini juga ingin menghadirkan antitesis terhadap argumen Samuel P Huntington tentang benturan peradaban (the clash of civilization) yang menjadi perbincangan dunia akademis selama bertahun-tahun.

Misi

Siapakah sebenarnya Laksamana Cheng Ho? Bagaimana hingga ia disebut dengan khusyuk oleh mayoritas warga Tionghoa- Jawa di wilayah pesisir? Dalam Riset Tan Ta Sen, yang didasarkan sejarah resmi Dinasti Ming (Mingshi), Cheng Ho lahir pada 1371 di distrik Kunyang, Provinsi Yunnan, wilayah Tiongkok yang sejak lama dihuni bangsa China muslim. Cheng Ho merupakan putra dari Ma Hazhi (Haji Ma) yang beragama Islam.

Setelah ayahnya terbunuh pada pertempuran di Yunnan, Cheng Ho kemudian dibawa ke Beijing untuk mengabdi kepada Raja Zu. Ia berjasa dalam bidang militer dan pernah menyelamatkan nyawa Raja Zu ketika melawan Kaisar Jiwen. Atas jasanya itu, ia mendapat gelar Zheng serta diangkat menjadi kasim istana. Masa inilah yang menjadi penanda karier dan pengabdian Cheng Ho. Atas dukungan Dinasti Ming, pada 1405 ia memulai lawatan budaya ke pelbagai negeri untuk menuntaskan misi diplomatik.

Dalam amatan Tan Ta Sen, ada lima tujuan pokok misi Cheng Ho. Pertama, pelayaran-pelayaran bermotif politik. Kedua, diplomasi. Misi ini sejalan dengan menurunnya kedatangan misi kehormatan kepada Dinasti Ming dan keinginan kuat untuk memainkan peran sebagai pelindung wilayah dan perdamaian. Ketiga, memajukan perdagangan luar negeri. Lawatan ini berdampak positif pada misi kebudayaan dan perdagangan China ke negeri lain. Keempat, kampanye budaya China ke negeri-negeri Afrika-Asia. Cheng Ho memperkenalkan adat istiadat, kalender, almanak, dan gaya hidup orang China ke daerah-daerah yang dikunjungi. Kelima, mempelajari dunia maritim terdepan yang belum terpetakan. Kapal-kapal Cheng Ho dilengkapi dengan alat navigasi yang berfungsi memetakan kondisi geografis dan astronomis. Keenam, kunjungan armada Cheng Ho ke Hormuz bertujuan membentuk persekutuan militer dengan Timur—orang kuat Muslim Turki—di Asia Tengah guna mengalahkan pasukan Mongol (hlm 223-227).

Kontak budaya

Selain menggambarkan jejak diplomasi Cheng Ho melalui misi-misi kebudayaan dan perdamaian dengan negara-negara yang dikunjungi, Tan Ta Sen juga menguatkan pendapat tentang pengaruh China atas penyebaran Islam di Nusantara. Argumentasi ini melengkapi tesis SQ Fatimi (1963) dan Slamet Muljana (1968) ataupun arus China-Islam-Jawa dalam riset Sumanto al-Qurtuby (2003). Tesis tentang arus China dalam penyebaran Islam di Nusantara ini melengkapi pendapat lain bahwa Islam di Nusantara disebarkan oleh tokoh agama ataupun pedagang dari Timur Tengah dan Gujarat (India).

Slamet Muljana, bahkan, meneguhkan argumen bahwa sebagian dari Walisongo yang merupakan tokoh penyebar agama Islam di Jawa merupakan keturunan China muslim. Kerajaan Demak juga tak bisa dilepaskan dari peran tokoh China yang telah membentuk simpul-simpul kebudayaan. Malah, Raden Patah, penguasa pertama kerajaan Demak, merupakan keturunan China bergelar pangeran ”Jin Bun”. Argumentasi ini diteruskan oleh Tan Ta Sen dengan data arkeologis, dokumentatif, dan arsip historis tentang warisan Cheng Ho yang mewarnai penyebaran agama di Nusantara.

Jejak diplomasi yang dipraktikkan Cheng Ho ketika mengunjungi wilayah Nusantara berdampak pada interaksi antaretnis di pesisir Jawa. Pasca-pelayaran Cheng Ho, etnis Jawa dan China menjalin hubungan harmonis dalam dimensi budaya, perdagangan, hingga religi. Jika diamati, banyak sekali akulturasi budaya Jawa-China pada makanan, busana, arsitektur, hingga bahasa. Hubungan harmonis ini pecah oleh politik kolonial Belanda yang membikin retak antaretnis Jawa-China. Puncaknya, diawali pada tahun 1740 dengan pembantaian ribuan warga China di Batavia. Setelah itu, berangsur-angsur hubungan antaretnis kembali retak. Pada awal abad ke-20, juga terjadi kerusuhan di Solo, Semarang, Kudus, dan kota lain yang disulut provokasi yang menjadikan hubungan Jawa-China semakin merenggang. Pada tahun 1998, tragedi ini terulang kembali dengan korban dan kerugian yang tak terkira.

Nilai-nilai diplomasi Cheng Ho yang penting sebagai pijakan untuk mencipta kembali hubungan kultural antaretnis. Ekspedisinya mewariskan nilai interaksi antaretnis, akulturasi budaya, dan komunikasi ideologis tanpa melalui jalan kekerasan. Kontak budaya inilah yang pada saat ini perlu dikaji untuk dikembangkan ulang sebagai model interaksi antaretnis yang efektif dan harmonis.

Sayang, sumber lokal yang disaring dalam buku ini terlalu terbatas untuk menggambarkan Cheng Ho di pesisir Jawa maupun Sumatera. Jika Singapura telah berhasil menghidupkan sosok Cheng Ho sebagai simbol budaya dan magnet pariwisata, lalu bagaimana memperlakukan kasim Dinasti Ming ini sebagai tonggak kontak budaya Nusantara?


6
BANGGA MAKAN SINGKONG: SEBUAH LOCAL WISDOM TTG KETAHANAN PANGAN

By Ninuk M. Pambudi



Kompas.com. Suasana di mulut Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, seperti kampung biasa. Beberapa anak remaja berkumpul di saung di mulut kampung. Ada yang membawa motor, ada yang asyik dengan telepon selulernya.

Enci (17) yang baru lulus SMA tanpa banyak tanya menunjukkan jalan ke rumah ketua adat, Emen, tak jauh dari mulut kampung.

Jalan di dalam kampung lebarnya 1-2 meter, terbuat dari semen. Rumah-rumah berdinding batu berdiri bersisian. Kali kecil mengalirkan air jernih di tengah kampung yang teduh oleh pohon besar.

Di luar yang tampak permukaan, Cireundeu memiliki keistimewaan. Separuh warga masih teguh menjaga wejangan nenek moyang mereka sejak 1924 untuk tidak makan nasi beras.

Sebagai ganti, mereka mengonsumsi rasi sebagai sumber karbohidrat. Rasi atau nasi singkong dibuat dari ampas singkong yang dijadikan tepung. Untuk menjadi rasi, tepung itu diberi air, lalu diaduk dengan tangan hingga berbulir-bulir mirip nasi beras, kemudian dikukus.

Bila harus bepergian keluar kampung, mereka akan membawa rasi yang bisa tahan dua hari. Bila pergi lebih lama, mereka membawa tepung rasi atau memakan pangan lain kecuali beras. ”Banyak umbi-umbian lain. Ada ubi, singkong, kentang,” kata Emen, ketua adat yang mantan kepala sekolah dasar.

Kemandirian

Menurut Emen, awal mula warga menolak beras adalah nasionalisme. Saat itu para tetua adat mencari hal paling hakiki dari kemandirian di tengah penjajahan Belanda.

Saat itu, tambah Asep, untuk makan nasi beras berarti bekerja sama dengan penjajah yang ujungnya akan meminta imbalan berupa informasi. Menolak bekerja sama, akhirnya tetua adat mengajak warga memanfaatkan yang ada di sekitar mereka dan tidak mengonsumsi beras.

”Lagi pula, sekeliling kampung ini gunung, tanahnya banyak batu. Padi sawah tidak mungkin,” tambah Emen.

Hampir seratus tahun kemudian, Asep merasa keputusan nenek moyang mereka benar. Mereka tak bergantung pada beras dan tidak pernah merasa malu tak makan beras.

”Sekarang di mana-mana banyak orang miskin, raskin. Indonesia negara agraris, kok tidak bisa makan. Beras sampai impor,” kata Emen.

Mereka memegang wejangan ”tak ada sawah asal ada padi, tak ada padi asal ada beras, tak ada beras asal menanak nasi, tak menanak nasi asal makan, tidak bisa makan asal kuat”. Artinya, tidak makan nasi, beras pun tak apa karena sumber kekuatan bukan hanya beras.

Relevan

Sebagai komunitas yang menyebut diri orang Sunda yang tetap memelihara keaslian budaya dan penghayat kepercayaan, warga juga mengamalkan hidup selaras dengan lingkungan.

Hutan warga seluas 500 hektar dibagi tiga areal: luweng larangan (hutan lindung) yang sama sekali tak boleh disentuh, luweng tutupan untuk hutan produksi, dan luweng baladahan untuk budidaya singkong dan palawija. Areal yang ditinggali hanya 6 hektar.

Sejak 2002, Asep, sarjana teknik elektro dari Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi, yang juga ketua kelompok tani di sana, mengajak warga menanami bukit di sekitar kampung yang ditumbuhi alang- alang dengan pohon tahunan.

Di kampung yang terdiri dari satu RW dan 5 RT itu, separuh warganya, kira-kira 70 keluarga yang terdiri dari 200-an orang, menurut Asep, memegang teguh ajaran nenek moyang mereka. Yang lain, juga warga pendatang, memakan beras atau mencampur beras dengan rasi.

Warna beras rasi kecoklatan, di mulut terasa kenyal, dan rasa singkongnya tak kentara. ”Mengukus rasi itu pagi-pagi dan bisa tahan sampai malam,” tutur Ny Cicih, istri Emen, sambil menawari rasi.

Warga menanam singkong racun karena patinya banyak. Asam sianida dihilangkan dengan merendam semalam pati parutan singkong, membuang airnya, kemudian menjemur hingga kering. Ampasnya dijemur, digiling menjadi tepung, lalu diolah jadi rasi.

Menurut Emen, warga tidak pernah kekurangan pangan sebab singkong dipanen bergan- tian. Tapioka dijual Rp 5.000 per kilogram dan menjadi penghasilan warga selain ternak kambing.

Tidak ada yang terbuang. Daunnya dijadikan sayur atau jadi pakan kambing. Kotoran kambing digunakan untuk memupuk singkong dan palawija.

Mulai tahun lalu, kelebihan tepung rasi mulai dijual seharga Rp 3.000 per kg. Beberapa bulan lalu, dengan binaan Pemerintah Kota Cimahi, tepung rasi diolah menjadi bermacam kue kering yang rasanya tak jauh beda dari kue berbahan tepung terigu.

Kampung ini oleh Badan Ketahanan Pangan (BPK) Kementerian Pertanian (Kemtan) dijadikan contoh komunitas mandiri pangan. ”Kami mendorong komunitas seperti ini yang mandiri pangan,” kata Kepala BPK Kemtan Achmad Suryana.

Sejak 2006, Kemtan sudah membina 1.926 desa dengan tujuan menurunkan jumlah orang miskin. Warga dibantu memanfaatkan sumber daya di sekelilingnya agar mandiri pangan.

Kemandirian pangan seperti yang ditunjukkan warga Cireundeu semakin relevan saat ini karena perubahan iklim memengaruhi produksi pangan, seperti padi yang jadi andalan konsumsi masyarakat. Lahan pertanian produktif juga terus menyusut, penduduk bertambah, dan pasar dalam negeri semakin terkait dengan pasar global sehingga mudah dipengaruhi gejolak harga pangan internasional.

Di tengah perhatian pemkot, pemprov, hingga pemerintah pusat, Asep mengharapkan kampungnya dapat menjadi pusat penelitian dan pelatihan pemanfaatan singkong.

Dia berharap, lahan bekas tempat pembuangan sampah Leuwigajah yang bertetangga dengan kampung itu ditanami berjenis singkong. Penelitian mulai dari budidaya hingga pemanfaatan untuk pangan, energi, dan industri.

”Yang penting ada pengakuan pada kearifan Cireundeu dalam kemandirian pangan. Jangan sampai nanti negara lain mengaku sebagai pemilik kearifan ini,” kata Asep. ”Jangan hanya seremonial lagi.”

7
Orang Jawa dan pertunjukan BUTO CAKIL di Suriname


Oleh: Frans Sartono

Kompas.com. Buto Cakil, raksasa dalam pewayangan itu, pecicilan di Suriname. Itulah diplomasi budaya dari Indonesia dalam Indofair, 24 September- 2 Oktober di Suriname, dalam rangka peringatan 120 tahun kedatangan pertama imigran Jawa ke negara di Amerika Selatan itu. 

Warga Suriname riuh, bertepuk kagum pada gerak tari Cakil yang lincah. Kontras dengan gerak ksatria yang begitu lembut melawan sang Cakil. Itulah tari Bambangan Cakil yang merupakan salah satu suguhan dalam acara Malam Budaya Indonesia dalam Indofair 2010 di Paramaribo, ibu kota Suriname.

Pada acara yang didukung KBRI di Suriname itu tampil pula penari Didik Nini Thowok dengan tari Dwimuko yang membuat penonton terpingkal-pingkal. Ada pula Yan Felia, penyanyi asal Solo yang rupanya cukup populer di Suriname. Dia membawakan lagu berbahasa Jawa ”Sewu Kutho” yang juga sangat dikenal luas warga Suriname. Tim kesenian yang dibawa Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia itu menjadi hiburan bagi warga Suriname.

Suasana malam itu mengingatkan pada pasar malam di Indonesia. Warga Suriname hadir untuk menikmati tontonan kesenian. Mereka belanja di gerai-gerai pameran yang menjajakan batik, kerajinan dari Indonesia, seperti belangkon dan wayang kulit, sampai cobek batu untuk mengulek sambal.

Tampak hadir sejumlah petinggi Suriname, seperti Menteri Dalam Negeri Soewarto Moestadja, Menteri Tenaga Kerja Ginmardo Kromosoeto, serta Menteri Peternakan dan Perikanan Hendrik Setrowidjojo. Ada pula Kepala Kepolisian Suriname H Setrosentono.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia Wardiyatmo, yang juga ketua delegasi misi kebudayaan Indonesia, membuka Indofair dengan menyapa hadirin dalam bahasa Jawa. ”Sugeng wengi... selamat malam.”

Warga Suriname merasa mendapatkan atmosfer Jawa dari acara Indofair. Generasi tua usia sekitar 50 tahun ke atas datang dengan baju batik. Sementara kaum mudanya tampil layaknya anak muda Amerika Latin-Karibia, yaitu dengan celana ketat serta pakaian seperti tank top, semacam kemben ketat, dan jenis pakaian yang serba terbuka bagian belakang atau depan. Mungkin karena udara Suriname yang sangat panas.

Acara digelar di Sana Budaya, pendapa berarsitektur joglo milik Vereniging Herdenking Javaanse Immigratie (VHJI). Ini sebuah perhimpunan untuk mengenang imigrasi Jawa di Suriname. Sana Budaya memang tempat bertemunya warga keturunan Jawa yang merupakan 15 persen dari sekitar 470.000 orang jumlah penduduk Suriname.

Di Sana Budaya terdapat monumen peringatan 100 tahun kedatangan imigran Jawa ke Suriname berupa tugu berbentuk gunungan. ”Setiap tanggal 8 Agustus kami membuat pasar malam untuk memperingati kedatangan pertama imigran Jawa di Suriname. Kami meletakkan bunga di gunungan,” kata Kim Sontosoemarto (50), Ketua VHJI.

Drama manusia

Di balik aksi Cakil dan ritual pasar malam itu terdapat drama kehidupan manusia dari nenek moyang keturunan Jawa. Mereka datang ke

negeri asing yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

”Mereka adalah petani tak berpendidikan. Mereka mengira akan dibawa ke tanah seberang, Sumatera. Tetapi, waktu tiba di Suriname, mereka keget dan bingung melihat orang berkulit hitam,” tutur Soewarto Moestadja, menteri keturunan Jawa itu, menceritakan pengalaman kakek-neneknya yang berasal dari Kalirancang, Alian, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Imigrasi Jawa dimulai tahun 1890 .

Buku Historische Database Van Suriname yang disusun Maurits Hassankhan dan Sandew Hira mencatat, dari 9 Agustus 1890 sampai 13 Desember 1939, sebanyak 32.965 imigran asal Jawa dikapalkan ke Suriname.

Selama kurun 49 tahun, terjadi 54 pengapalan pekerja asal Jawa dari pelabuhan di Batavia dan Semarang. Rombongan pertama diangkut pada 9 Agustus 1890 dengan

Prins Alexander dan Prins Willem II. Kapal terakhir pembawa tenaga kontrak adalah kapal Kota Gede pada 13 Desember 1939.

Mereka diikat kontrak lima tahunan sebagai buruh perkebunan dan pekerja pabrik. Sampai tahun 1954, sebanyak 8.684 atau 26 persen dari imigran itu pulang kampung.

Zaman baru

Zaman telah berganti. Nasib telah berubah. Generasi demi generasi telah lahir sejak imigran pertama datang. Pasangan Soegijo Nojoredjo dan Semen Kartosemito yang datang ke Suriname pada tahun 1929, misalnya, kini telah beranak pinak sampai generasi kelima yang totalnya berjumlah 108 anggota keluarga. Bersama kelompok etnis keturunan Afro- Suriname, Hindustani, keturunan Jawa di Suriname telah berintegrasi sebagai satu bangsa bernama Suriname.

Ikatan sejarah itu menjadi salah satu landasan hubungan Indonesia-Suriname. Delegasi dari Indonesia datang ke Suriname sebagai bangsa multietnis.

Pada kunjungan itu dijalin kerja sama pertukaran program kebudayaan tahun 2011-2013 antara Kembudpar RI dan Kementerian Pendidikan dan Pembangunan Masyarakat Suriname.

Disepakati nota kesepahaman tentang kerja sama di bidang kebudayaan, sumber daya, serta riset dan pengembangan yang ditandatangani oleh Sekjen Kembudpar Wardiyatmo dan Pemerintah Suriname yang diwakili Direktur Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Pembangunan Masyarakat Suriname.

Melihat kekaguman orang Suriname dengan suguhan kesenian dari Indonesia, Wardiyatmo memberi catatan. ”Kita jangan sampai meremehkan kebudayaan kita sendiri.”

Jangan pernah pula meremehkan Cakil yang dihargai di Suriname. ”Ho-ha...!”


Nama-nama menterinya "Jawa Banget" loh ........ :o :o
 _/\_

8
Lingkungan / BEASISWA KE PERANCIS
« on: 08 October 2010, 10:12:28 PM »
BEASISWA KE PERANCIS

Kedutaan Besar Prancis di Indonesia menawarkan beasiswa kepada mahasiswa Indonesia yang ingin meraih ijazah Master dan Doktor dari salah satu lembaga pendidikan tinggi Prancis.


Informasi mengenai persyaratan program beasiswa Pemerintah Prancis untuk periode tahun 2011 dapat diperoleh dengan mengunduh dokumen “scholarship program to study in France”.


Para peminat dapat mengunduh formulir beasiswa untuk program-program berikut ini:

- “Formulir beasiswa tingkat Master”

- “Formulir beasiswa tingkat Doktor”


Untuk keterangan lebih lanjut, silakan kunjungi http://www.ambafrance-id.org/spip.php?article504

SELAMAT MENCOBA TEMAN-TEMAN.
  _/\_

9
OSLO, Norway – Imprisoned Chinese dissident Liu Xiaobo won the 2010 Nobel Peace Prize on Friday for using nonviolence to demand fundamental human rights in his homeland. The award ignited a furious response from China, which accused the Norwegian Nobel Committee of violating its own principles by honoring "a criminal."

Chinese state media immediately blacked out the news and Chinese government censors blocked Nobel Prize reports from Internet websites. China declared the decision would harm its relations with Norway — and the Nordic country responded that was a petty thing for a world power to do.

This year's peace prize followed a long tradition of honoring dissidents around the world and was the first Nobel for China's dissident community since it resurfaced after the Communists launched economic but not political reforms three decades ago.

Liu, 54, was sentenced last year to 11 years in prison for subversion. The Nobel committee said he was the first to be honored while still in prison, although other Nobel winners have been under house arrest or imprisoned before the prize.

Other dissidents to win the peace prize include German pacifist Carl von Ossietzky in 1935, Soviet dissident Andrei Sakharov in 1975, Polish Solidarity leader Lech Walesa in 1983 and Myanmar democracy leader Aung San Suu Kyi in 1991.

The Nobel committee praised Liu's pacifist approach, ignoring threats by Chinese diplomats even before the announcement that such a decision would result in strained ties with Norway. Liu has been an ardent advocate for peaceful, gradual political change rather than confrontation with the government, unlike others in China's highly fractured and persecuted dissident community.

Click image to see photos of Liu Xiaobo


AFP/File/Mike Clarke

The Nobel committee cited Liu's participation in the Tiananmen Square protests in Beijing in 1989 and the Charter 08 document he recently co-authored, which called for greater freedom in China and an end to the Communist Party's political dominance.

Chinese authorities would not allow access to Liu on Friday.

His wife, however, expressed joy at the news. Surrounded by police at their Beijing apartment, Liu Xia was not allowed out to meet reporters. Instead she gave brief remarks by phone and text message, saying she was happy and that she planned to go Saturday to deliver the news to Liu at the prison, 300 miles (500 kilometers) away.

Hong Kong Cable Television quoted her in a Twitter message as saying that Liu will draw encouragement from the award and she hoped to go to Norway to collect the prize if he could not.

"I believe that after the award, more people will put pressure on the Chinese side," the message quoted her as saying.

[Related: Microsoft attacks China over use of pirated software]

It was not clear if Liu himself had been told about the Nobel.

China's Foreign Ministry lashed out at the Nobel decision, saying the award should been used instead to promote international friendship and disarmament.

"Liu Xiaobo is a criminal who has been sentenced by Chinese judicial departments for violating Chinese law," the statement said. Honoring him "runs completely counter to the principle of the prize and is also a blasphemy to the peace prize."

It said the decision would damage bilateral relations between China and Norway.

In China, broadcasts of the announcement by CNN were blacked out. Popular Internet sites removed coverage of the Nobel prizes, placed prominently in recent days for the science awards. Messages about "Xiaobo" to Sina Microblog, a Twitter-like service run by Internet portal Sina.com, were quickly deleted. Attempts to send mobile text messages with the Chinese characters for Liu Xiaobo failed.

The Nobel committee said China, as a growing economic and political power, needed to take more responsibility to protect the rights of its citizens.

"China has become a big power in economic terms as well as political terms, and it is normal that big powers should be under criticism," prize committee chairman Thorbjoern Jagland said, calling Liu (LEE-o SHAo-boh) a symbol for the fight for human rights in China.

More than a dozen friends and supporters of Liu gathered near the entrance to Ditan Park in central Beijing, holding up placards congratulating Liu. They shouted "Long Live Freedom of Speech, Long Live Democracy" and wore yellow ribbons on their clothes to signify, they said, their wish that he be freed.

The small demonstration, initially undisturbed by police, pointed out the troubling status of China's dissident community. Liu is almost unknown in China except among political activists. Passers-by on foot and bike did not stop, ignoring the demonstration.

Norwegian Prime Minister Jens Stoltenberg told national broadcaster NRK he saw no grounds for China to punish Norway as a country for the award.

"I think that would be negative for China's reputation in the world, if they chose to do that," Stoltenberg said.

Several previous peace laureates have been unable to accept the prize in person because of restrictions imposed by their governments, including Sakharov and Walesa. Geir Lundestad, the non-voting secretary of the Nobel committee, said Liu was the only laureate who was honored while being locked up in a prison.

Suu Kyi, who was awarded the 1991 prize and has been detained 15 of the past 21 years, is due to be released from house arrest Nov. 13, a week after Myanmar's first elections in two decades. Suu Kyi's political party won the last elections in 1990 but the ruling junta never allowed it to take power.

President Barack Obama won the Nobel peace prize last year.

The Nobel citation said China's new world status must entail increased responsibility.

"China is in breach of several international agreements to which it is a signatory, as well as of its own provisions concerning political rights," it said, citing an article in China's constitution about freedom of speech and assembly. "In practice, these freedoms have proved to be distinctly curtailed for China's citizens."

The Charter 08 document that Liu co-authored was an intentional echo of Charter 77, the famous call for human rights in then-Czechoslovakia that led to the 1989 Velvet Revolution that swept away communist rule.

"The democratization of Chinese politics can be put off no longer," Charter 08 says.

Thousands of Chinese signed Charter 08, and the Communist Party took the document as a direct challenge.

Police arrested Liu hours before Charter 08 was due to be released in December 2008. Given a brief trial last Christmas Day, Liu was convicted of subversion for writing Charter 08 and other political tracts and sentenced to 11 years in prison.

"Through the severe punishment meted out to him, Liu has become the foremost symbol of this wide-ranging struggle for human rights in China," the award citation said.

Jagland told The Associated Press that the committee had not tried to reach the imprisoned laureate or his wife, but they would contact the Chinese Embassy in Oslo.

In a year with a record 237 nominations for the peace prize, Liu had been considered a favorite, with open support from winners Archbishop Desmond Tutu, the Tibetan spiritual leader the Dalai Lama and others.

When the Tibet-born Dalai Lama won the peace prize in 1989, both the Chinese government and some of the public were angry — the exiled Buddhist leader was endlessly vilified in official propaganda as a traitor for his calls for more autonomy for Tibet.

The Dalai Lama on Friday issued his public congratulations to Liu.

"I would like to take this opportunity to renew my call to the government of China to release Liu Xiaobo and other prisoners of conscience who have been imprisoned for exercising their freedom of expression" the spiritual leader said.

The son of a soldier, Liu joined China's first wave of university students in the mid-1970s after the chaotic decade of the Cultural Revolution.

Liu's writing first took a political turn in 1988, when he became a visiting scholar in Oslo — his first time outside China.

Liu cut short a visiting scholar stint at Columbia University months later to join the Tiananmen Square protests in Beijing in 1989. He and three other older activists famously persuaded students to peacefully leave the square hours before the deadly June 4 crackdown.

Liu went to prison after the crackdown and was released in early 1991 because he had repented and "performed major meritorious services," state media said at the time, without elaborating.

Still, five years later Liu was sent to a re-education camp for three years for co-writing an open letter that demanded the impeachment of then-President Jiang Zemin.

The 2010 Nobel announcements started Monday with the medicine award going to British professor Robert Edwards for fertility research that led to the first test tube baby.

Russian-born scientists Andre Geim and Konstantin Novoselov won the physics prize for groundbreaking experiments with graphene, the strongest and thinnest material known to mankind.

Japanese researchers Ei-ichi Negishi and Akira Suzuki and American Richard Heck shared the chemistry award for designing techniques to bind together carbon atoms.

The literature prize went to Peruvian writer Mario Vargas Llosa.

The last of the 2010 awards — the economics prize — will be announced next Monday.

Swedish industrialist Alfred Nobel, the inventor of dynamite, established the awards in his 1895 will. He left only vague instructions, dedicating the peace prize to people who have worked for "fraternity between nations, for the abolition or reduction of standing armies and for the holding and promotion of peace congresses."

10
Den Haag, Kompas - Siaran pers Dinas Penerangan Kerajaan Belanda atau RVD, Rabu (6/10), menegaskan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak boleh ditahan jika tiba di Belanda. Sementara itu, sebuah pengadilan di Den Haag juga telah memutuskan untuk membatalkan gugatan Republik Maluku Selatan, Rabu.

Pengadilan itu menolak permintaan John Wattilete, Presiden Republik Maluku Selatan (RMS) di pengasingan. RMS menuduh Presiden SBY bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan di Maluku dan telah mengajukan proses pra-peradilan.

Proses hukum ini membuat Presiden SBY membatalkan kunjungan kenegaraan ke Belanda, yang seyogianya berlangsung pada 6-8 Oktober 2010. Pengadilan di Den Haag menyatakan, RMS kalah dan harus membayar biaya persidangan.

Tuan rumah Belanda dibuat repot akibat pembatalan itu. Ini mengingat pihak Kerajaan, sejumlah kementerian, universitas, dan lembaga-lembaga yang seharusnya akan dikunjungi sudah mempersiapkan diri sampai ke hal-hal kecil.

Pengadaan makanan, penyediaan bunga, pengamanan di bandara, dan semua pelayanan lain sudah siaga. Untuk semua persiapan itu kerugian yang muncul bukan hanya soal materiil, tetapi juga waktu. Hal itu juga membatalkan semua kesempatan atau peluang kerja sama bilateral.

Menurut RVD, Presiden sedang mencari tanggal baru yang tepat untuk melakukan kunjungan kenegaraan. Untuk itu, akan dirundingkan bersama Pemerintah Belanda.

Masih ada ganjalan

Pemerintah Indonesia menganggap kondisi politik di Belanda masih belum konklusif dan belum bersih dari proses hukum meskipun pengadilan telah menolak gugatan RMS. ”Masih ada beberapa gugatan lain yang belum diputus oleh pengadilan,” kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, Rabu di Jakarta.

”Misalnya, masih ada tuntutan RMS kepada Pemerintah Belanda agar meminta penjelasan kepada Pemerintah RI tentang makam almarhum pencetus dan sekaligus pemimpin RMS, Dr R Soumokil,” kata Djoko.

”Gugatan lain adalah tuntutan kepada Pemerintah Belanda agar dilakukannya dialog antara Pemerintah RI dan RMS tentang penentuan nasib sendiri (self determination) Maluku,” kata Djoko lagi.

Oleh sebab itu, kata Djoko, pemerintah belum menjadwalkan kembali rencana kunjungan Presiden ke Belanda.

Jangan beri RMS ruang

Staf Khusus Presiden Bidang Luar Negeri Teuku Faizasyah juga memberi penjelasan soal pembatalan itu. ”Melalui pembatalan kunjungan itu, Pemerintah RI mengharapkan Belanda tidak menjadikan wilayahnya sebagai ruang gerak yang bebas bagi kelompok yang merongrong keutuhan wilayah Indonesia. Aktivitas demikian dinilai berpotensi mengganggu hubungan bilateral RI-Belanda,” katanya.

Faizasyah menegaskan, Pemerintah Indonesia tidak hendak mendikte Belanda. ”Kita hanya ingin memastikan bahwa ruang gerak kelompok ini lebih diperhatikan. Tidak sepatutnya jika dalam hubungan antarnegara diberi ruang yang cukup besar bagi organisasi yang merongrong hubungan bilateral. Kita berharap ada proses pembelajaran dari penundaan ini,” ujarnya.

Faizasyah mengatakan, surat soal pembatalan dari Presiden Yudhoyono kepada Perdana Menteri Belanda Jan Peter Balkenende sudah diserahkan oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Selasa malam.

Surat tersebut menjelaskan alasan rasional pembatalan kunjungan. Isi surat itu juga mengatakan, penjadwalan kembali kunjungan Presiden baru dilakukan setelah memerhatikan kelanjutan proses pengadilan tuduhan pelanggaran HAM oleh Pemerintah Indonesia yang dituduhkan RMS.

Naik banding

Dari Den Haag diberitakan, Presiden RMS, melalui pengacaranya, E Tahitu, mempertimbangkan untuk naik banding terhadap putusan ini.

Reaksi beberapa warga Belanda muncul soal isu ini. Mereka mengatakan, pihak yang dirugikan bukan RMS, melainkan warga Belanda. Banyak yang skeptis dan menganggap RMS tak mau menerima kenyataan.

Namun, sebagian lagi mengatakan, zaman sekarang masih sulit menyembunyikan isu pelanggaran HAM di Indonesia. Kalangan ini meminta Pemerintah RI memperbaiki citra agar tidak ada lagi alasan bagi eksistensi RMS di Belanda.

Reaksi dari kubu RMS yang muncul di media Belanda adalah dengan tak hadirnya Presiden justru menunjukkan Presiden takut dan merasa bersalah.

”Apalagi Pemerintah Belanda sendiri telah memberikan jaminan penuh. Sesuai dengan yurisprudensi internasional, seorang presiden negara berdaulat mempunyai kekebalan diplomatik,” ujar kubu RMS.

Langkah tepat

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Muladi menilai, pembatalan kunjungan ke Belanda merupakan langkah yang tepat. Pembatalan yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini dapat dilihat sebagai reaksi terhadap sikap Pemerintah Belanda.

”Mengapa sidang pengadilan itu digelar bertepatan ketika Presiden mau datang ke Belanda,” kata Muladi, Rabu, dalam jumpa pers seusai seminar di Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta.

Ia menyatakan, RMS adalah gerakan separatis sehingga menjadi urusan dalam negeri Indonesia. ”Kalaupun terjadi penyiksaan, ini merupakan ekses dari proses penyidikan yang dilakukan. Siapa pun yang melakukan penyiksaan pasti akan kita tindak dan jatuhi hukuman,” tegas Muladi.

Pembatalan kunjungan Presiden dilakukan setelah Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa melaporkan bahwa pengadilan di Den Haag menyetujui untuk memulai persidangan atas tuntutan soal HAM di Indonesia. Persidangan ini bertepatan dengan kunjungan Presiden ke Belanda. Juru bicara RMS, Wim Sopacua, mengakui telah mengajukan perkara Presiden Yudhoyono ke pengadilan Den Haag.

Deputi VII Bidang Komunikasi dan Informasi Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Sagom Tamboen mengatakan, jadwal ulang kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda belum ditentukan. (FER/ato/Denny/dAY/har/dwa)


Kok RMS masih tetap hidup di Belanda ya? :o :o

11
Monyet Mengenali Wajahnya Di Cermin


KOMPAS.com — Selama lebih dari 40 tahun para ahli meyakini bahwa monyet adalah hewan yang tidak mampu mengenali diri mereka sendiri karena selalu gagal menjalani tes pengenalan diri di cermin. Binatang yang mengenali diri umumnya akan membuat mimik lucu di depan cermin, termenung memerhatikan wajah mereka secara detail, atau melihat wajah mereka yang makin tua.

Simpanse adalah hewan primata yang menunjukkan tanda mampu mengenali diri mereka sendiri. Namun, uji yang dilakukan profesor anatomi dari Universitas Wisconsin-Madison, Luis Populin, yang dipublikasikan di PLoS ONE, akhir bulan lalu, menunjukkan, monyet jenis Rhesus macaque dalam kondisi tertentu bisa mengenali dirinya sendiri.

Uji dilakukan dengan memasang sebuah tanda yang tidak berbahaya di dahi dan alat genital monyet. Tanda itu hanya akan terlihat saat monyet itu berada di depan cermin. Jika monyet memegang tanda itu saat becermin, maka itu menandakan binatang tersebut bisa mengenali dirinya sendiri. Bayangan di cermin diyakini sebagai refleksi diri monyet tersebut, bukan monyet yang lain. Jika tak mampu mengenali diri maka ia akan mencari monyet lain di belakang cermin.

Ternyata, monyet yang diuji itu memegang tanda tersebut. Temuan itu semakin mengukuhkan adanya pembagian kognitif primata, yaitu kelompok primata derajat tinggi dan derajat rendah. Temuan itu mengejutkan karena selama ini Rhesus macaque, yang banyak digunakan dalam penelitian medis dan psikologis, selalu gagal saat menjalani tes pengenalan diri itu. (SCIENCEDAILY/MZW)

12
Alam Semesta, Hawking, dan Tuhan
(http://cetak.kompas.com/read/2010/10/03/04255370/alam.semesta.hawking.dan.tuhan)
 
Oleh: JANSEN H SINAMO
Sesekali fisikawan bisa juga membuat warta mengejutkan di tengah perkibaran kabar korupsi, konflik, dan politik dewasa ini. Namun, yang mampu berbuat begitu barangkali cuma figur sekaliber Stephen William Hawking, bersama Leonard Mlodinow, melalui buku ”The Grand Design” yang terbit 9 September lalu.
Di halaman 8 buku yang tanpa pengantar itu, Hawking langsung menggebrak: According to M-theory, ours is not the only universe. Instead, M-theory predicts that a great many universes were created out of nothing. Their creation does not require the intervention of some supernatural being or god. Rather, these multiple universes arise naturally from physical law. They are a prediction of science.

Alinea inilah yang langsung berkibar di media Amerika dan Inggris, lalu beredar ke seluruh dunia. Kabar ini—bisa ditebak—paling disambut hangat oleh pentolan kaum ateis Inggris yang biologiman terkemuka, Richard Dawkins, dengan berkata, ”Darwinisme sudah menendang Tuhan dari biologi…. Sekarang Hawking menyelenggarakan coup de grace.”

Kubu gereja langsung bereaksi. Imam yang psikolog dan teolog dari Cambridge, Rev Dr Fraser N Watts, berkata, ”Sang Pencipta menyediakan penjelasan yang kredibel dan masuk akal tentang mengapa alam semesta ada, dan… lebih mungkin ada Tuhan daripada tidak. Pandangan ini tidak tergerogoti oleh apa yang dikatakan Hawking.”

Kalangan fisikawan tidak kurang kritisnya. Profesor Peter Woit dari Universitas Columbia bahkan mencela telak buku ini: ”Satu cara jitu menaikkan penjualan buku semacam ini ialah dengan menyeret agama masuk. Klaim yang rada konvensional ’Tuhan tak diperlukan’ untuk menjelaskan fisika dan kosmologi alam semesta awal menyulut publisitas besar bagi buku ini. Saya lebih suka pada naturalisme dan tidak melibatkan Tuhan dalam fisika.”

Soal publisitas itu, saya sependapat dengan Peter Woit berdasarkan apa yang ditulis Hawking sendiri di bukunya terdahulu, A Brief History of Time—sudah 10 juta eksemplar terjual—bahwa setiap persamaan [matematika] dalam bukunya akan mengurangi oplahnya hingga setengah. Hawking yang sadar betul kekuatan publisitas kini menambah bensin ketenaran buku barunya—selain tak ada rumus apa pun—dengan faktor tak perlunya peran Tuhan tadi. Boleh jadi buku ini kelak berstatus mega-bestseller melebihi karier A Brief History.
***

Buku ini mengisahkan sejarah pemahaman fisika tentang alam semesta sejak Yunani klasik. Pemahaman itu kemudian berbeda diametral dengan wacana langit-bumi Perjanjian Lama yang geosentris ketika Copernicus dan Galileo mengedepankan kosmologi baru yang heliosentris.

Kosmologi modern semakin jauh berkembang sejak Einstein merumuskan Relativitas Umum dan Hubble—terutama dengan teleskop atas namanya kelak—mengamati bahwa alam semesta memang terus membalon secara akseleratif; kini diketahui sudah 13,7 miliar tahun sejak dentuman besar.
Terinspirasi oleh Maxwell yang dengan gemilang berhasil menyatukan fenomena listrik, magnet, dan optik menjadi teori elektromagnetik yang begitu kompak dan elegan, Einstein pun memelopori the holy grail of physics abad ke-20: meringkas dan meringkus semua fenomena alam—yakni gaya elektromagnetik, nuklir lemah, nuklir kuat, dan gravitasi—ke dalam satu rumusan final dan ultimat. Inilah yang disebut Teori Segalahal.

Hingga akhir hayatnya, Einstein tak berhasil dalam ikhtiar besar ini. Kemudian dilanjutkan para fisikawan teori sejagat dan setakat ini Teori-M adalah kandidat terkuat bagi teori akbar itu, yang banyak dibahas pada buku ini dalam bahasa yang enak dibaca dan perlu. Konsekuensi teori inilah, jika tuntas terumuskan, akan mengaminkan alinea heboh di atas.

Di luar kesimpulan yang ”rada prematur” itu, buku ini sendiri sangatlah indah. Sebagai pembelajar fisika lebih dari 30 tahun, saya tetap saja terpesona, baik dengan materi bahasannya yang dahsyat maupun oleh cara Hawking yang begitu jernih menuturkannya.
Seorang teman terpelajar dalam sosiologi berkata, ”Jika orang fisika teori mafhum The Grand Design, itu biasa. Orang teknik paham, itu juga wajar. Tapi, orang yang cuma kenal fisika di SMA bisa terus membaca dan mengikuti argumennya, itu luar bisa. Ilmuwan sosial seharusnya membaca buku ini.”
Hal itu benar belaka. Buku ini memang mempertontonkan in optima forma bagaimana seharusnya berargumentasi, membangun wacana yang bermutu, dan mengonstruksi teori yang bagus.

Rahasia alam
Rudolf Otto melukiskan perasaan tramendum et fascinans saat manusia berhadapan dengan yang kudus, seperti Musa di Sinai menghadapi api di semak kering yang tak terbakar. Namun, gentar dan takjub berdebar ternyata tidak hanya perasaan kaum religius, para fisikawan juga—Hawking termasuk—saat menghadapi rahasia alam yang mahamikro (interior atom) dan misteri kosmos yang mahamakro (alam semesta), serta keajaiban kehadiran insan cerdas dalam konstelasi itu di planet biru yang rentan ini.

Ateisme barangkali adalah sebuah bakat insani, sama halnya dengan religiusitas dan fanatisme. Masing-masing melihat hal-hal yang memperkuat kecenderungan hatinya.
Karen Armstrong dalam A History of God mengisahkan konsep Tuhan yang terus berevolusi dalam sejarah kita, dan peran manusia di dalamnya ternyata tetap utama membangun dunianya, terutama teologinya.
Anthony de Mello bercerita tentang Tuhan yang memilih bersembunyi dalam hati manusia, dan siapa tahu—di kedalaman batin itu—fisika Hawking pun takkan sanggup menjamah-Nya, apalagi memeriksa-Nya.

Jansen H Sinamo Fisikawan Lulusan ITB Tahun 1983, Sehari-hari Bekerja sebagai Aktivis Etos Kerja, Tinggal di Jakarta



13
Judul: Theravada Abhidhamma: Its Inquiry into the Nature of Conditioned Reality. By Y Karunadasa.

This is the accumulation of his forty years’ research and teaching in Tharavada Abhidhamma. You can find the book description, table of contents and ordering information below.

This volume examines the Abhidhamma perspective on the nature of phenomenal existence. It begins with a discussion of the dhamma-theory (the theory of real existents) which provides the ontological foundation for the Abhidhamma philosophy. It then explains the category of the nominal and the conceptual as the Abhidhamma’s answer to the objects of common-sense realism. Among the other topics discussed are the theory of double truth, analysis of mind, theory of cognition, analysis of matter, the nature of time and space, the theory of momentary being, and conditional relations. The volume concludes with an appendix whose main purpose is to examine why the Theravāda came to be known as Vibhajjavāda, ‘the doctrine of analysis’.

Y. Karunadasa is a professor emeritus of the University of Kelaniya and a former Director of its Postgraduate Institute of Pali & Buddhist Studies. He has served as a visiting professor at the University of London’s School of Oriental and African Studies, as Numata Chair at the University of Calgary, and as a visiting professor at the University of Toronto. Currently he is a visiting professor of Buddhist Studies at the University of Hong Kong.

CONTENTS
Foreword xi
Preface xvi
Introduction 1

1 The Real Existents 15

The dhammas as real existents
Early version of the dhamma theory
Is the dhamma theory pluralistic?
Dhamma theory and the complementary methods of analysis and synthesis
Dhamma theory and the Buddhist controversy on the concept of person
Dhamma theory and the Buddhist controversy on the concept of tritemporal existence
Definition of dhamma as own-nature
Definition of dhamma as own-characteristic
Definition of dhamma as ultimately real
Nature and range of the dhammas
Relative position of the dhammas

2 The Nominal and the Conceptual 47

Paññattis as the nominal and the conceptual
Difference between dhamma and paññatti
Concept as that which makes known (name)
Concept as that which is made known (meaning)
Conceptual constructs and the problem of reification
Classes of concept-as-meaning
Classes of concept-as-name

3 The Two Truths 59

Early teachings that led to the two truths
The conventional truth and the ultimate truth
Is one truth higher or lower than the other?
Equal validity of the two truths
The two truths vis-à-vis the nominal and the conceptual

4 The Analysis of Mind 68

Early Buddhist teaching on the nature of mind
Abhidhamma analysis of mind into citta (consciousness) and cetasika (mental factors)
Relative position of citta and cetasika
The combination of citta and cetasika as a cognitive act
Conditional relations within a cognitive act
Conditional relations between successive cognitive acts

5 Consciousness 76

Definition of consciousness
Physical bases of the first five kinds of consciousness
Physical base of mind and mind-consciousness
Is mind determined by matter?
Classification of consciousness

6 Classes of Consciousness 84

Sense-sphere consciousness
Unwholesome consciousness
Rootless consciousness
Wholesome consciousness
Resultant consciousness with roots
Functional consciousness with roots
Fine-material-sphere consciousness
Immaterial-sphere consciousness
Supra-mundane consciousness
Beautiful consciousness

7 The Ethically Variable Mental Factors 98

The seven universals
Earlier version of the universals
The universals and the “pentad of sense-contact”
The six occasional

8 The Unwholesome Mental Factors 115

Unwholesome factors as universals
Unwholesome factors as variable adjuncts

9 The Beautiful Mental Factors 126

Beautiful factors as universals
Beautiful factors as variable adjuncts

10 The Cognitive Process 138

The two streams of consciousness
The five-door cognitive process
What really is the agent of cognition?
What really is the object of cognition?
The mind-door cognitive process

11 The Analysis of Matter 152

Definition of matter
Basic material dhammas
Material dhammas included among the objects of mind
The real and the nominal material dhammas
The great elements of matter and dependent matter

12 The Great Elements of Matter 163

Space and the great elements of matter
Earth-element as solidity and extension
Water-element as viscidity and cohesion
Fire-element as temperatrue of cold and heat
Air-element as distension and mobility
Common characteristics of the four great elements of matter
The primary position of the four great elements of matter

13 The Real Dependent Matter 172

Sensitive matter
Sense-field matter
Faculties of sex
Material faculty of life
Material nutriment
The physical base of mental activity

14 The Nominal Dependent Matter 187
The space-element
Means of intimation (self-expression)
Special modes of matter
Characteristics of matter

15 The Material Clusters 205

What led to the theory of material clusters
The earliest allusion to the theory
A material cluster as the minimal unit of matter
Its correspondence to the atom (paramāṇu) in the Sarvāstivāda
The definition of the atom
Its criticism by the Sautrāntika and the Vijñānavāda
Non-contact between atoms/material clusters
The “pure octad” as the basic material cluster
More complex material clusters
Classification of material clusters (chart)

16 Time and Space 224

Non-recognition of time as a real existent (dhamma)
Variant terms signifying time
Time as a mental construct, determined by events
What is the basis of temporal divisions?
The momentary present and the serial present
The definition of time by mind and mind by time
Space-element as the material principle of delimitation
Space as a mental construct, determined by the mere absence of matter

17 Momentariness 234

Early Buddhist doctrine of impermanence
Its development in the Abhidharma/Abhidhamma as momentariness
Are both mind and matter equally momentary?
Momentariness in the canonical Abhidhamma
Is momentariness a commentarial innovation?
The three characteristics of the conditioned
Their ontological status: real or nominal?
The Sarvāstivāda interpretation in a realistic sense
The Sautrāntika and the Theravāda interpretation in a nominal sense
The Sarvāstivāda theory of momentariness
The Sautrāntika theory of momentariness
The Theravāda theory of the three moments
Why the life-span of matter is longer than that of mind
Why the difference is calculated to be 1:17

18 Conditional Relations 262

Conditional relations and their synthesizing function
Basic postulates of the doctrine of conditionality
The three factors involved in a conditional relation
The 24 conditional relations
Their six-fold classification according to the nature of the things related
Their four-fold classification according to the time of their occurrence
Why the number of conditional relations is fixed at 24
Appendix: Theravāda and Vibhajjavāda 282
The terms theravāda and vibhajjavāda in the Pāli suttas
Vibhajjavāda and the account of the Third Buddhist Council
The Buddha as vibhajjavādī
Vibhajjavāda and the four kinds of question
Vibhajjavāda and the controversy on the theory of tri-temporality
Why Theravāda is called Vibhajjavāda
Is the Third Buddhist Council a “pious fabrication” by Buddhist historiography?
The controversy on tri-temporality and the post-Asokan Buddhist thought
Notes 294
Abbreviations 337
Select Bibliography 339
Index 347

Ordering information
For airmail / bulk purchase / other enquiries, please contact us at (852) 2241 5075 or email to buddhism [at] hku.hk under subject "Book order".
* All cheques/bank drafts should be made payable to 'The University of Hong Kong '
* Cash will NOT be accepted for mail order

 _/\_



14
Indonesia Tandatangani Konvensi Anti Penghilangan Orang
http://www.antaranews.com/berita/1285651404/indonesia-tandatangani-konvensi-anti-penghilangan-orang

Selasa, 28 September 2010 12:23 WIB | Mancanegara | Asia/Pasifik |
New York (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mewakili Pemerintah Indonesia pada Senin di New York menandatangani Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, yang melarang negara menghilangkan orang secara paksa dalam situasi apapun.

Konvensi yang disahkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 20 Desember 2006 dan hingga kini telah ditandatangani 84 negara itu menyatakan larangan penghilangan orang secara paksa baik dalam keadaan perang, ketidakstabilan politik ataupun keadaan darurat lainnya di suatu negara.

"Convention for The Protection of All Persons from Enforced Disappearances" ditandatangani Menlu Marty Natalegawa di Markas Besar PBB, New York, di sela-sela pelaksanaan Debat Umum Sidang ke-65 Majelis Umum PBB.

Konvensi yang tidak akan berlaku surut itu, saat ini belum resmi berlaku karena menunggu ratifikasi dari 20 negara.

Hingga September 2010, baru 19 dari 84 negara yang telah meratifikasi Konvensi.

Penandatanganan yang dilakukan Pemerintah Indonesia, ujar Marty, sesuai dengan Rancangan HAM 2010-2014 serta advokasi dari berbagai kalangan masyarakat sipil di Indonesia yang sejak tahun 1988 secara aktif mengkampanyekan agar pemerintah menandatangani Konvensi.

"Tadi sudah ditandatangani, tinggal digulirkan proses ratifikasinya (oleh DPR-RI, red)," kata Menlu.

Penandatanganan oleh Indonesia, menurut Marty, memperkokoh peranan dan posisi Indonesia sebagai negara demokrasi.

"Penghilangan secara paksa jelas sangat bertentangan dengan prinsi-prinsip demokrasi kita. Jadi hari ini kita menunjukkan kepada masyarakat internasional komitmen kita," katanya.

Kesembilan belas negara yang telah meratifikasi Konvensi adalah Perancis, Jerman, Jepang, Kuba, Spanyol, Argentina, Uruguay, Paraguay, Meksiko, Honduras, Chile, Ekuador, Bolivia, Albania, Kazakhstan, Senegal, Nigeria, Burkina Faso dan Mali.
(K-TNY/A024)

15
INDIKASI PEMBOROSAN APBN DI ISTANA NEGARA

http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=156794


JAKARTA - Indikasi pemborosan anggaran juga terlihat di lingkungan Istana Presiden. Sejumlah pos belanja di jantung kekuasaan itu dinilai masih terlalu besar.

Berdasar data Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) yang diolah dari APBN, alokasi anggaran untuk istana dan presiden RI mencapai Rp 382 miliar lebih. "Banyak pos anggaran di sana yang seharusnya masih bisa dipangkas," ujar Koordinator Advokasi dan Investigasi Fitra Ucok Sky Khadafi di Jakarta kemarin (23/9).

Jumlah anggaran yang mencapai ratusan miliar untuk kepresidenan itu dibagi dalam enam pos anggaran. Anggaran yang terbesar dihabiskan presiden untuk melakukan perjalanan ke luar negeri. Seperti diketahui, jumlahnya mencapai Rp 179 miliar.

Namun, masih ada lima pos anggaran yang dihabiskan setiap tahun. Fitra merilis biaya pengamanan fisik dan nonfisik kelas VVIP untuk presiden mencapai Rp 52 miliar.

Yang lebih ironis lagi adalah pos anggaran belanja baju presiden. Sekalipun presiden memiliki gaji tersendiri, ternyata APBN masih memberikan dana Rp 839 juta untuk membeli baju presiden. Ini berarti anggaran busana presiden rata-rata Rp 2, 3 juta per hari. Itu dengan asumsi dibagi rata-rata 365 hari.

Di luar itu, APBN juga menganggarkan dana pembelian furniture Istana Negara. Jumlahnya mencapai Rp 42 miliar setiap tahun. Masih ada dua pos anggaran lain, yakni renovasi gedung Sekretariat Negara (Rp 60 miliar) dan road blocker (Rp 49 miliar).

Dimintai tanggapan terpisah, Mensesneg Sudi Silalahi membantah jumlah anggaran baju dinas presiden, furniture Istana Negara, dan renovasi gedung Setneg seperti yang dirilis Fitra. Namun, Sudi tidak mau memberikan data pembanding. ''Tidak benar jumlah itu," tegas Sudi di kantornya kemarin.

Dia mengatakan, perincian anggaran renovasi Setneg juga telah dijelaskan kepada DPR. ''Itu pernah kami jelaskan 20 (miliar rupiah) sekian pagar istana, sistem keamanan, dan tempat Wapres. Berulang-ulang kami jelaskan di DPR bahwa prosesnya sudah sesuai dengan prosedur penganggaran," tambah Sudi.

Seperti halnya Sudi, Partai Demokrat pun menganggap sejumlah pos anggaran kepresidenan itu masih dalam taraf wajar. "Sebab, ini kan presiden sebagai simbol negara, simbol pemerintah, kita perlu juga menjaga itu," kata Wasekjen DPP Partai Demokrat Saan Mustopa.

Dia menilai, sebagai simbol negara, persoalan pakaian dan furniture sebenarnya tidak perlu diributkan. "Serahkan saja kepada DPR untuk pengawasannya. Kan sudah ada mekanismenya," tegasnya.

Menurut Saan, kebutuhan anggaran harus dilihat berdasar manfaat yang dihasilkan. "Tapi, saya belum bisa memercayai data itu, masih perlu dicek dulu," elaknya.

Yang jelas sejumlah anggaran belanja presiden bakal semakin besar tahun depan. Salah satunya, yakni biaya untuk biaya perjalanan kenegaraan ke luar negeri. Tahun ini, 2010, presiden menghabiskan Rp 179,03 miliar. Untuk 2011, Setneg telah mengajukan anggaran Rp 180,865 miliar

Pages: [1] 2