//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: "Kosong = Isi, Isi = Kosong"  (Read 199930 times)

0 Members and 2 Guests are viewing this topic.

Offline Sunya

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 876
  • Reputasi: -16
  • Nothing, but your perception ONLY
Re: "Kosong = Isi, Isi = Kosong"
« Reply #495 on: 28 December 2012, 12:32:37 PM »
Kalau hanya bilang orang tidak berpengetahuan, masih dualitas, itu sih sangat gampang.

Coba donk beri penjelasan, bagaimana kebenaran mutlak dan konvensional, dan batasannya bagaimana, dualitasnya bagaimana.

Saya sudah menjelaskannya berulang kali, silakan baca lagi dan tanya yang kurang jelas. Ini informasi bersifat tulisan, bukan audio. Tentu Anda bisa melacak dan membaca penjelasan yang sudah lewat.

Untuk baris kedua, arti dualitas dan konvensional Anda paham 'kan? Seharusnya saya kira paham (karena Anda tidak tampak seperti awam benar dalam agama Buddha). Kebenaran yang Anda bandingkan di atas adalah kebenaran bersifat konvensional (bisa diukur, bisa dilihat, bisa dipersepsikan secara umum, bisa diindera oleh para makhluk). Sedangkan kebenaran mutlak berada di luar dari itu. Sering diumpamakan seperti seorang anak yang menggenggam apel satu buah (kebenaran kondisional), dan apel -1 buah yang tidak bisa diilustrasikan/dibayangkan (bagaimana mungkin seorang anak bisa menggenggam apel -1 buah?). Nah, seperti itu ilustrasi untuk memahami kebenaran mutlak yang bekerja di balik kebenaran konvensional (berkondisi).

Nanti saya perdalam, sesuai kemampuan Anda dalam merespon penjelasan di atas dulu.

Oke, semoga tekun belajar dharma. Salam pencerahan dan kesuksesan untuk Anda.  _/\_

Offline Sunya

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 876
  • Reputasi: -16
  • Nothing, but your perception ONLY
Re: "Kosong = Isi, Isi = Kosong"
« Reply #496 on: 28 December 2012, 12:37:04 PM »
Bukan, itu sama sekali bukan produk baru. Tapi memang belakangan dikembangkan sampai ke mana2 tuh doktrinnya. Jadi tergantung kitanya aja mau pakai yang awal atau versi improvisasi.

Rekan Kainyn, mohon tidak membahas sunyata dari sisi historis disini (sudah saya berikan rambu-rambunya di halaman pertama). Bukannya tidak mau membahas, tapi bisa melebar ke perdebatan antar sekte (di atas dan sebelumnya sudah pernah hampir terjadi). Jadi untuk menjaga alur diskusi agar tidak terlalu jauh keluar topik, maka kita fokus pada pembahasan sunyata secara spiritual saja (tanpa mengesampingkan doktrin/sutra tentunya).

Oke, salam bahagia sejahtera untuk Anda.  _/\_

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: "Kosong = Isi, Isi = Kosong"
« Reply #497 on: 28 December 2012, 12:39:54 PM »
Saya sudah menjelaskannya berulang kali, silakan baca lagi dan tanya yang kurang jelas. Ini informasi bersifat tulisan, bukan audio. Tentu Anda bisa melacak dan membaca penjelasan yang sudah lewat.

Untuk baris kedua, arti dualitas dan konvensional Anda paham 'kan? Seharusnya saya kira paham (karena Anda tidak tampak seperti awam benar dalam agama Buddha). Kebenaran yang Anda bandingkan di atas adalah kebenaran bersifat konvensional (bisa diukur, bisa dilihat, bisa dipersepsikan secara umum, bisa diindera oleh para makhluk). Sedangkan kebenaran mutlak berada di luar dari itu. Sering diumpamakan seperti seorang anak yang menggenggam apel satu buah (kebenaran kondisional), dan apel -1 buah yang tidak bisa diilustrasikan/dibayangkan (bagaimana mungkin seorang anak bisa menggenggam apel -1 buah?). Nah, seperti itu ilustrasi untuk memahami kebenaran mutlak yang bekerja di balik kebenaran konvensional (berkondisi).

Nanti saya perdalam, sesuai kemampuan Anda dalam merespon penjelasan di atas dulu.

Oke, semoga tekun belajar dharma. Salam pencerahan dan kesuksesan untuk Anda.  _/\_
;D Manis sekali. Anda pikir saya sedang berguru pada anda? Kesampingkanlah soal tahu kosong/isi. Itu adalah sarkasme yang nampaknya anda tidak mampu menangkapnya.

Kita lanjut saja pembahasan awal:

Sekedar bertanya, apakah dengan mendengar penjelasan orang bisa mengerti sepenuhnya sunyata? Bukankah semua pemahaman harus dijalani dan dipraktekkan baru merasakan sendiri seperti apa yang dijelaskan? Kalau ada yang bisa jamin bahwa ada penjelasan yang cocok dan sempurna untuk setiap makhluk, saya ingin mendengar dan membacanya. :)
Bagi orang yang berakal sehat, suatu praktik dijalani karena dimengerti. Setelah praktik terjalani dengan baik, maka apa yang dimengerti itu direalisasi. Jika seseorang tidak mengerti, namun menjalani, apa bedanya dengan kepercayaan buta?

Apakah ada satu penjelasan yang cocok untuk setiap makhluk? Saya rasa tidak ada. Karena makhluk punya kecenderungan masing-masing, juga masing-masing punya batas kemampuan berbeda.


Quote
Ketiadaan satu elemen apapun yang tetap, yang bisa ditunjuk atau dilekati sebagai "diri/atta". Apakah itu objek dari mata, telinga, ... , pikiran, semuanya adalah muncul bergantungan bersama kondisi, dan lenyap pula bersama lenyapnya kondisi. Ini adalah penjelasan tentang anatta dan paticcasamuppada. Ini tidak menjelaskan tentang kondisi lain di luar "aku", seperti tentang kejadian alam, perang, pergolakan politik/ekonomi/sosial, percintaan (asmara), keberuntungan dan kemalangan, serta hal lainnya yang bersifat eksternal.
;D Jadi maksudnya kejadian alam, perang, pergolakan, dll, itu tidak dipersepsi oleh indera kita?


Quote
Maka dari itu semua hal bersifat eksternal selalu dilimpahkan pada "hukum alam" (niyama), yang kemudian (di level awam) melahirkan lagi pertanyaan, siapa yang menciptakan hukum alam (termasuk sebab-akibat), surga-neraka, dsb. Hal ini tidak bisa dijawab lewat penjelasan Panca Niyama, Hukum Karma, Paticcasamuppada, ataupun Tilakkhana.

Karena itu (dalam taraf tertentu) maka diajarkan bahwa di balik semua keberadaan tersebut (tanpa kecuali), ada satu hukum yang tersamar (tersembunyi) dari para makhluk belum tercerahkan, yaitu Sunyata. Ini menjelaskan segalanya, termasuk pencapaian nibbana, segala faktor mental, rupa/wujud, keberadaan pikiran.
Jadi maksudnya hal yang tidak bisa dijawab doktrin Panca Niyama, Hukum Karma, dll, bisa dijawab dengan doktrin Shunyata? Sungguh menarik.
1. Anda punya kesimpulan itu berdasarkan ajaran mana? Boleh minta referensi?
2. Saya punya pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh doktrin-doktrin yang anda sebutkan di atas, yaitu bagaimana mekanisme orang berbuat kejahatan berat (akusala garuka kamma) bisa ditelan bumi? Coba dijelaskan dengan doktrin Shunyata yang anda katakan bisa menjelaskan semuanya itu.

Quote
Jadi kebenaran mutlak dalam aliran/sekte tertentu, sebenarnya masih ada satu kebenaran lebih substansial di belakangnya, yakni: SUNYATA (kekosongan dari segala fenomena).

Tentang tudingan salah terjemahan, improvisasi doktrin, mempercayai secara buta, sepertinya ini sudah bersifat vonis ya? Atau masih ada pintu diskusi?  :)
Oh, selalu terbuka pintu diskusi. Silahkan, berikan argumentasi anda.


Silahkan.

Offline cumi polos

  • Sebelumnya: Teko
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.130
  • Reputasi: 82
  • Gender: Male
  • mohon transparansinya
Re: "Kosong = Isi, Isi = Kosong"
« Reply #498 on: 28 December 2012, 12:49:51 PM »
Bukan, itu sama sekali bukan produk baru. Tapi memang belakangan dikembangkan sampai ke mana2 tuh doktrinnya. Jadi tergantung kitanya aja mau pakai yang awal atau versi improvisasi.

kalau begitu adanya, tinggal master sunya menunjukan versi improvisasi yg indah ini lebih mudah dimengerti, lebih praktis dan manis....

silahkan master sunya.... :P :P
merryXmas n happyNewYYYY 2018

Offline Sunya

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 876
  • Reputasi: -16
  • Nothing, but your perception ONLY
Re: "Kosong = Isi, Isi = Kosong"
« Reply #499 on: 28 December 2012, 01:13:54 PM »
;D Manis sekali. Anda pikir saya sedang berguru pada anda? Kesampingkanlah soal tahu kosong/isi. Itu adalah sarkasme yang nampaknya anda tidak mampu menangkapnya.

Kita lanjut saja pembahasan awal:
Bagi orang yang berakal sehat, suatu praktik dijalani karena dimengerti. Setelah praktik terjalani dengan baik, maka apa yang dimengerti itu direalisasi. Jika seseorang tidak mengerti, namun menjalani, apa bedanya dengan kepercayaan buta?

Apakah ada satu penjelasan yang cocok untuk setiap makhluk? Saya rasa tidak ada. Karena makhluk punya kecenderungan masing-masing, juga masing-masing punya batas kemampuan berbeda.

Persepsi manis maupun sedang berguru adalah buah pikiran Anda sendiri (saya tidak akan berkomentar jauh).

Tentang tahu kosong/isi, saya tidak mempersoalkan apakah itu sarkasme atau tidak. Siapapun yang menertawakan suatu konsep/pemikiran yang tidak dia pahami dan mengerti, adalah sebuah hal yang tidak etis. Itu saja yang saya tahu.
Kebetulan Buddha Gautama juga punya kisah serupa (tentang menertawakan dan mengeluarkan kata-kata tidak pantas pada makhluk lain), yang berakibat setelah menjadi Buddha pun, Ia harus mengalami serangkaian karma buruk. 12 karma buruk Sang Buddha: http://www.w****a.com/forum/kisah-kisah-sang-buddha/9122-12-akibat-karma-buruk-sang-buddha.html

Jika Anda seorang Mahayanis, dari berbagai aspek Anda tidak seharusnya melakukan hal di atas.
- Seorang Buddha bisa saja memanifestasikan diri ke dalam aneka wujud/rupa.
- Dalam Mahayana banyak konsep yang belum diketahui umat awam dan sebagian bersifat esoteris (hanya dibabarkan pada kalangan tertentu).
- Tidak menghakimi sesuatu, karena bisa saja persepsi kita yang salah (sesuai konsep sunyata yang kita bicarakan; segala persepsi adalah kosong dari sifat hakiki).
- Cinta kasih tanpa batas (termasuk pada orang/makhluk/konsep yang tidak kita sukai/sepaham/sealiran).

Semoga Anda bisa menarik kata-kata Anda kembali (dalam kaidah umum, menertawakan suatu konsep yang tidak kita pahami saja sudah merupakan hal yang kurang etis/sopan). Anda bagus dalam menguasai literatur dharma. Sebagai seorang penganut Buddhisme, saya sangat senang jika dharma yang Anda kuasai untuk dipraktekkan (lewat hal-hal kecil dahulu), jadi Anda bisa menjadi seorang duta dharma bagi setiap makhluk.

Tentang praktik dharma, memang awalnya dimengerti dulu secara dasar. Tapi saya yakin kita sama-sama paham, bahwa spiritualitas tidak bisa diwakili sepenuhnya dengan kata-kata. Ada hal-hal tertentu yang setelah dimengerti secara dasar, harus dipraktekkan langsung secara individual. Sama seperti berenang, sepintar apapun teorinya, akan nihil tanpa pernah merasakan berada di air itu sendiri. Jika dharma hanya didekati secara intelektual dan akademis (maaf saja), Anda dan siapapun tidak akan dapat apa-apa.

Dan, omong-omong, sewaktu bersekolah saya kerap mendapat guru olahraga yang meminta kita untuk praktik dulu, teori belakangan (tentunya sambil diawasi dan dibimbing saat berolah raga). Setelah selesai praktik (di lapangan), baru dijelaskan apa yang kita praktekkan di lapangan, apa-apa yang salah (harus dikoreksi), dan mana yang harus ditingkatkan/dikembangkan lagi.

Demikian. Semoga mengerti. :)

Tentang penjelasan yang cocok untuk setiap makhluk, saya sependapat bahwa setiap makhluk punya kecenderungan tertentu (hasil dari sebab-sebab yang lalu). Makanya saya katakan, penjelasan secara teoritis (apalagi baku sesuai text-book), belum tentu mengantar seorang makhluk menuju tujuannya (nibbana dalam hal ini). Ini 'kan fenomena umum, dimana satu kelas mendapat pelajaran dan buku (kurikulum) yang sama, tapi tidak semua menjadi pintar dan juara (karena berbagai faktor yang ada, bukan hanya di buku/teori saja kunci suksesnya).

Saya sambung di postingan berikutnya.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: "Kosong = Isi, Isi = Kosong"
« Reply #500 on: 28 December 2012, 01:42:28 PM »
Persepsi manis maupun sedang berguru adalah buah pikiran Anda sendiri (saya tidak akan berkomentar jauh).

Tentang tahu kosong/isi, saya tidak mempersoalkan apakah itu sarkasme atau tidak. Siapapun yang menertawakan suatu konsep/pemikiran yang tidak dia pahami dan mengerti, adalah sebuah hal yang tidak etis. Itu saja yang saya tahu.
Kebetulan Buddha Gautama juga punya kisah serupa (tentang menertawakan dan mengeluarkan kata-kata tidak pantas pada makhluk lain), yang berakibat setelah menjadi Buddha pun, Ia harus mengalami serangkaian karma buruk. 12 karma buruk Sang Buddha: http://www.w****a.com/forum/kisah-kisah-sang-buddha/9122-12-akibat-karma-buruk-sang-buddha.html
Untuk ukuran "tidak akan berkomentar jauh" panjang sekali.

Semua ajaran boleh kita uji. Hanya ajaran sesat yang menakut-nakuti orang dengan ancaman seperti yang anda lakukan. Dalam ilmu logika, itu disebut argumentum ad baculum, menggiring opini, membiaskan argumentasi dengan cara ancaman.


Quote
Jika Anda seorang Mahayanis, dari berbagai aspek Anda tidak seharusnya melakukan hal di atas.
- Seorang Buddha bisa saja memanifestasikan diri ke dalam aneka wujud/rupa.
Mahayanis? Mahayanis yang mana?
Bagaimana maksudnya memanifestasikan diri ke aneka wujud? Ada contoh praktis?

Quote
- Dalam Mahayana banyak konsep yang belum diketahui umat awam dan sebagian bersifat esoteris (hanya dibabarkan pada kalangan tertentu).
Sebagai perbandingan, kalau dari Kanon Pali dikatakan ada 3 hal yang disembunyikan: bercinta dengan wanita, hymne Brahmana, dan pandangan sesat; sementara ajaran Tathagata terang-terangan sebagaimana mentari dan rembulan.

Boleh saya tahu alasan konsep-konsep tertentu disembunyikan?

Quote
- Tidak menghakimi sesuatu, karena bisa saja persepsi kita yang salah (sesuai konsep sunyata yang kita bicarakan; segala persepsi adalah kosong dari sifat hakiki).
Ya, terapkan itu pada diri anda, jangan merasa semua orang yang mengkritisi salah semua.

Quote
- Cinta kasih tanpa batas (termasuk pada orang/makhluk/konsep yang tidak kita sukai/sepaham/sealiran).
OK, setuju.

Quote
Semoga Anda bisa menarik kata-kata Anda kembali (dalam kaidah umum, menertawakan suatu konsep yang tidak kita pahami saja sudah merupakan hal yang kurang etis/sopan). Anda bagus dalam menguasai literatur dharma. Sebagai seorang penganut Buddhisme, saya sangat senang jika dharma yang Anda kuasai untuk dipraktekkan (lewat hal-hal kecil dahulu), jadi Anda bisa menjadi seorang duta dharma bagi setiap makhluk.
Justru menilai orang tidak mengerti dan hanya diri sendiri yang mengerti, sangatlah tidak sopan. Mengapa anda memposisikan anda mengerti dan saya tidak? Sebaiknya anda berhenti memposisikan diri sebagai lebih mengerti, agar kita bisa diskusi sama tinggi.


Quote
Tentang praktik dharma, memang awalnya dimengerti dulu secara dasar. Tapi saya yakin kita sama-sama paham, bahwa spiritualitas tidak bisa diwakili sepenuhnya dengan kata-kata. Ada hal-hal tertentu yang setelah dimengerti secara dasar, harus dipraktekkan langsung secara individual. Sama seperti berenang, sepintar apapun teorinya, akan nihil tanpa pernah merasakan berada di air itu sendiri. Jika dharma hanya didekati secara intelektual dan akademis (maaf saja), Anda dan siapapun tidak akan dapat apa-apa.
Dalam hal berenang, atau hal lain yang bersifat fisik dan eksternal, maka kita memang perlu mengenalinya. Untuk soal dharma yang adalah ranah pikiran, anda perlu praktik bagaimana? Bisa coba beri contoh?


Quote
Dan, omong-omong, sewaktu bersekolah saya kerap mendapat guru olahraga yang meminta kita untuk praktik dulu, teori belakangan (tentunya sambil diawasi dan dibimbing saat berolah raga). Setelah selesai praktik (di lapangan), baru dijelaskan apa yang kita praktekkan di lapangan, apa-apa yang salah (harus dikoreksi), dan mana yang harus ditingkatkan/dikembangkan lagi.

Demikian. Semoga mengerti. :)
Boleh juga. Mungkin bisa diterapkan misalnya di fakultas kedokteran bedah. Potong dulu saja, nanti baru belajar teorinya.


Quote
Tentang penjelasan yang cocok untuk setiap makhluk, saya sependapat bahwa setiap makhluk punya kecenderungan tertentu (hasil dari sebab-sebab yang lalu). Makanya saya katakan, penjelasan secara teoritis (apalagi baku sesuai text-book), belum tentu mengantar seorang makhluk menuju tujuannya (nibbana dalam hal ini). Ini 'kan fenomena umum, dimana satu kelas mendapat pelajaran dan buku (kurikulum) yang sama, tapi tidak semua menjadi pintar dan juara (karena berbagai faktor yang ada, bukan hanya di buku/teori saja kunci suksesnya).
OK, ini setuju. Namun saya melihat dari sisi lain: kalau seseorang tidak mengerti, mungkin cara kita menjelaskan yang kurang tepat. Atau bisa juga kita yang salah, dan tidak semata-mata memvonis orang lain yang tidak mengerti, tidak praktik, dan lain sebagainya.

Offline Sunya

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 876
  • Reputasi: -16
  • Nothing, but your perception ONLY
Re: "Kosong = Isi, Isi = Kosong"
« Reply #501 on: 28 December 2012, 01:55:47 PM »
;D Jadi maksudnya kejadian alam, perang, pergolakan, dll, itu tidak dipersepsi oleh indera kita?

Jadi maksudnya hal yang tidak bisa dijawab doktrin Panca Niyama, Hukum Karma, dll, bisa dijawab dengan doktrin Shunyata? Sungguh menarik.
1. Anda punya kesimpulan itu berdasarkan ajaran mana? Boleh minta referensi?
2. Saya punya pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh doktrin-doktrin yang anda sebutkan di atas, yaitu bagaimana mekanisme orang berbuat kejahatan berat (akusala garuka kamma) bisa ditelan bumi? Coba dijelaskan dengan doktrin Shunyata yang anda katakan bisa menjelaskan semuanya itu.
Oh, selalu terbuka pintu diskusi. Silahkan, berikan argumentasi anda.


Silahkan.

Sambungan postingan saya di atas.

Kejadian alam, perang, pergolakan, dll bukan tidak dipersepsi oleh indera kita, tapi bersifat eksternal (tidak terkait langsung dengan kita). Agar lebih dimengerti, ini saya kutip tulisan Anda yang saya tanggapi seperti di atas.

Ketiadaan satu elemen apapun yang tetap, yang bisa ditunjuk atau dilekati sebagai "diri/atta". Apakah itu objek dari mata, telinga, ... , pikiran, semuanya adalah muncul bergantungan bersama kondisi, dan lenyap pula bersama lenyapnya kondisi.

Untuk lebih jelas/lengkap-nya, nanti saya terangkan di jawaban untuk nomor 2 pertanyaan Anda di bawah.

1. Ajaran Buddha, khususnya Mahayana. Referensi saya, banyak. Tapi yang terutama pengalaman. Jika yang Anda maksud literatur, nanti saya berikan lagi (sebenarnya sudah di pertengahan diskusi, tapi mungkin sulit mencarinya lagi).

2. Jawaban singkatnya: Tentu saja karena sebab-sebab yang lalu.
Tapi sebelum lebih jauh/dalam, ada baiknya Anda baca ini dulu: http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=18820.0
Berita serupa juga banyak terjadi di berbagai belahan dunia, hampir tiap hari (anak membunuh orang tua). Bagaimana ini? Apakah ditelan bumi?

Langsung ke kaitannya dengan sunyata, sebenarnya tidak ada hukum mutlak bahwa melakukan "ini" akan berbuah "itu", melakukan A sudah pasti hasilnya Z, dan sebagainya... karena semua itu diawali/dilandasi dengan niat (pikiran). Seburuk dan sejahat apa pikiran itu, seburuk dan sejahat itulah akibatnya. Jadi dalam kaitannya dengan sunyata, sebenarnya kita bebas berbuat apapun, dan hasilnya juga akan sama buruknya/baiknya dengan yang kita lakukan. Itulah makna bahwa segala sesuatu itu kosong dari sifat hakiki (termasuk ketentuan berbuat ini hasilnya itu, dsb).

Ada makna yang lebih dalam. Bila ini bisa dipahami dan diterima, kita lanjutkan.

Oh ya, tentang kaitan perang, kejadian alam, pergolakan, dll dengan sunyata, yaitu bahwa semua peristiwa di atas, tergantung seberapa besar kaitan karmanya dengan kita. Jika karmanya kuat, kita bahkan ikut berpartisipasi dalam perang itu. Jika karmanya lemah, mungkin kita hanya melihat dan membacanya lewat surat kabar atau televisi. Jika kaitan karmanya tidak ada, bahwa peristiwa itu tidak ada dalam hidup kita sama sekali.

Karena itu saya sebutkan, itu bukan tidak dipersepsikan oleh indera, tapi tidak terkait langsung (tergantung seberapa besar karma Anda, berbanding lurus dengan keterkaitan Anda terhadap peristiwa tersebut).

Mungkin yang masih membuat Anda bertanya-tanya, "Masa ada peristiwa yang tidak terjadi sama sekali dalam hidup kita? Bukankah sekarang era informasi? Biar seandainya terjadi perang di Planet Mars pun, seharusnya makhluk bumi tahu dan mendengar lewat berbagai media informasi (seperti internet dan televisi)."

Betul?

Jika pertanyaan Anda demikian, maka saya berikan penerangan:
Waktu dan ruang itu berjalan secara relatif, tergantng makhluk yang mempersepsikannya, memproyeksikannya, sesuai dengan ikatan karma masing-masing.
Jadi (secara saintifik), jika Anda lahir dalam waktu yang tidak tepat, walau tempatnya di bumi ini (planet biru), maka Anda tidak akan mengalami perang, atau bencana alam tertentu.
Jika Anda lahir di waktu terjadinya bencana alam pun, tapi tidak di tempat yang seharusnya (misalnya tidak di gugusan Bima Sakti), maka bencana alam skala bintang pun, tidak akan mempengaruhi Anda secara banyak (signifikan).
Dan satu pengetahuan sains lagi, waktu itu tidak berjalan secara linear, tapi subyektif. Dalam artian, jika Anda berada di bumi sekarang, melihat ke arah gugusan bintang tertentu, lalu melihat misalnya ada kilatan cahaya tertentu (seolah ada ledakan besar disana), lalu Anda kira sedang terjadi sesuatu...

... sesungguhnya tidak terjadi suatu apapun.

Benar.

Karena yang Anda lihat adalah kilatan historis dari planet/bintang tersebut, yang tiba di mata Anda sekian ribu, juta atau miliaran tahun setelah kejadian sesungguhnya.

Sebagai penguat pandangan di atas, jika Anda sudah terbebas dari siklus lahir dan mati, saya konfirmasi bahwa Anda bisa memilih ruang waktu mana saja untuk dimasuki (diinkarnasi ke- / incarnated to).

Itu dari pengalaman saya (semoga bukan diterjemahkan sebagai kesombongan atau klaim tertentu).

Oke, nanti saya perdalam lagi. Jika Anda rasa bermanfaat, fokuslah (jaga pembicaraan agar tidak melebar). Nanti saya berikan banyak hal yang belum Anda ketahui dan selama ini penjelajahan spiritual hanya dari buku dan tulisan. Semoga bisa jadi pertimbangan Anda dalam mendalami ajaran Buddha, dan memperkaya perspektif Anda tentang hidup/kehidupan.

Oke, salam bahagia dan persaudaraan. Mari belajar. :)

Offline Sunya

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 876
  • Reputasi: -16
  • Nothing, but your perception ONLY
Re: "Kosong = Isi, Isi = Kosong"
« Reply #502 on: 28 December 2012, 01:57:52 PM »
Untuk ukuran "tidak akan berkomentar jauh" panjang sekali.

Semua ajaran boleh kita uji. Hanya ajaran sesat yang menakut-nakuti orang dengan ancaman seperti yang anda lakukan. Dalam ilmu logika, itu disebut argumentum ad baculum, menggiring opini, membiaskan argumentasi dengan cara ancaman.

Mahayanis? Mahayanis yang mana?
Bagaimana maksudnya memanifestasikan diri ke aneka wujud? Ada contoh praktis?
Sebagai perbandingan, kalau dari Kanon Pali dikatakan ada 3 hal yang disembunyikan: bercinta dengan wanita, hymne Brahmana, dan pandangan sesat; sementara ajaran Tathagata terang-terangan sebagaimana mentari dan rembulan.

Boleh saya tahu alasan konsep-konsep tertentu disembunyikan?
Ya, terapkan itu pada diri anda, jangan merasa semua orang yang mengkritisi salah semua.
OK, setuju.
Justru menilai orang tidak mengerti dan hanya diri sendiri yang mengerti, sangatlah tidak sopan. Mengapa anda memposisikan anda mengerti dan saya tidak? Sebaiknya anda berhenti memposisikan diri sebagai lebih mengerti, agar kita bisa diskusi sama tinggi.

Dalam hal berenang, atau hal lain yang bersifat fisik dan eksternal, maka kita memang perlu mengenalinya. Untuk soal dharma yang adalah ranah pikiran, anda perlu praktik bagaimana? Bisa coba beri contoh?

Boleh juga. Mungkin bisa diterapkan misalnya di fakultas kedokteran bedah. Potong dulu saja, nanti baru belajar teorinya.

OK, ini setuju. Namun saya melihat dari sisi lain: kalau seseorang tidak mengerti, mungkin cara kita menjelaskan yang kurang tepat. Atau bisa juga kita yang salah, dan tidak semata-mata memvonis orang lain yang tidak mengerti, tidak praktik, dan lain sebagainya.

Anda sama sekali tidak fokus, saya tidak berkomentar tentang 'manis' dan 'berguru', silakan perhatikan lagi saya hanya menulis satu baris tentang hal tersebut (baris paling atas).

Jika ini sifatnya debat, saya jujur saja enggan melayani lagi. Waktu saya tidak disia-siakan untuk hal begini. Maaf.

 _/\_
« Last Edit: 28 December 2012, 02:00:20 PM by Sunya »

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: "Kosong = Isi, Isi = Kosong"
« Reply #503 on: 28 December 2012, 02:07:45 PM »
Sambungan postingan saya di atas.

Kejadian alam, perang, pergolakan, dll bukan tidak dipersepsi oleh indera kita, tapi bersifat eksternal (tidak terkait langsung dengan kita). Agar lebih dimengerti, ini saya kutip tulisan Anda yang saya tanggapi seperti di atas.

Ketiadaan satu elemen apapun yang tetap, yang bisa ditunjuk atau dilekati sebagai "diri/atta". Apakah itu objek dari mata, telinga, ... , pikiran, semuanya adalah muncul bergantungan bersama kondisi, dan lenyap pula bersama lenyapnya kondisi.

Untuk lebih jelas/lengkap-nya, nanti saya terangkan di jawaban untuk nomor 2 pertanyaan Anda di bawah.

1. Ajaran Buddha, khususnya Mahayana. Referensi saya, banyak. Tapi yang terutama pengalaman. Jika yang Anda maksud literatur, nanti saya berikan lagi (sebenarnya sudah di pertengahan diskusi, tapi mungkin sulit mencarinya lagi).
Jika ternyata pengalaman anda dan pengalaman saya berbeda, lalu bagaimana anda menyikapinya?


Quote
2. Jawaban singkatnya: Tentu saja karena sebab-sebab yang lalu.
Tapi sebelum lebih jauh/dalam, ada baiknya Anda baca ini dulu: http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=18820.0
Berita serupa juga banyak terjadi di berbagai belahan dunia, hampir tiap hari (anak membunuh orang tua). Bagaimana ini? Apakah ditelan bumi?

Langsung ke kaitannya dengan sunyata, sebenarnya tidak ada hukum mutlak bahwa melakukan "ini" akan berbuah "itu", melakukan A sudah pasti hasilnya Z, dan sebagainya... karena semua itu diawali/dilandasi dengan niat (pikiran). Seburuk dan sejahat apa pikiran itu, seburuk dan sejahat itulah akibatnya. Jadi dalam kaitannya dengan sunyata, sebenarnya kita bebas berbuat apapun, dan hasilnya juga akan sama buruknya/baiknya dengan yang kita lakukan. Itulah makna bahwa segala sesuatu itu kosong dari sifat hakiki (termasuk ketentuan berbuat ini hasilnya itu, dsb).

Ada makna yang lebih dalam. Bila ini bisa dipahami dan diterima, kita lanjutkan.
Jadi kita bebas berbuat apapun dan hasilnya akan sesuai dengan perbuatan kita. Ini adalah konsep karma.

Apa relevansi shunyatanya? Memangnya mau berbuat baik perlu tahu sifat-sifat hakiki?

Lalu mengenai shunyata bisa menjelaskan yang tidak terjelaskan, anda belum menjelaskan bagaimana orang melakukan karma berat bisa ditelan bumi dan kaitan dengan shunyata.


Quote
Oh ya, tentang kaitan perang, kejadian alam, pergolakan, dll dengan sunyata, yaitu bahwa semua peristiwa di atas, tergantung seberapa besar kaitan karmanya dengan kita. Jika karmanya kuat, kita bahkan ikut berpartisipasi dalam perang itu. Jika karmanya lemah, mungkin kita hanya melihat dan membacanya lewat surat kabar atau televisi. Jika kaitan karmanya tidak ada, bahwa peristiwa itu tidak ada dalam hidup kita sama sekali.

Karena itu saya sebutkan, itu bukan tidak dipersepsikan oleh indera, tapi tidak terkait langsung (tergantung seberapa besar karma Anda, berbanding lurus dengan keterkaitan Anda terhadap peristiwa tersebut).

Mungkin yang masih membuat Anda bertanya-tanya, "Masa ada peristiwa yang tidak terjadi sama sekali dalam hidup kita? Bukankah sekarang era informasi? Biar seandainya terjadi perang di Planet Mars pun, seharusnya makhluk bumi tahu dan mendengar lewat berbagai media informasi (seperti internet dan televisi)."

Betul?
Salah. Yang saya tanyakan (kembali), apa hubungannya dengan shunyata?

Coba bisa anda jelaskan sudut pandang apa sih yang anda bisa jelaskan dari shunyata itu? Coba jelaskan jangkauannya bagaimana beserta contohnya, karena saya tidak melihat relevansinya.


Quote
Jika pertanyaan Anda demikian, maka saya berikan penerangan:
Waktu dan ruang itu berjalan secara relatif, tergantng makhluk yang mempersepsikannya, memproyeksikannya, sesuai dengan ikatan karma masing-masing.
Jadi (secara saintifik), jika Anda lahir dalam waktu yang tidak tepat, walau tempatnya di bumi ini (planet biru), maka Anda tidak akan mengalami perang, atau bencana alam tertentu.
Jika Anda lahir di waktu terjadinya bencana alam pun, tapi tidak di tempat yang seharusnya (misalnya tidak di gugusan Bima Sakti), maka bencana alam skala bintang pun, tidak akan mempengaruhi Anda secara banyak (signifikan).
Dan satu pengetahuan sains lagi, waktu itu tidak berjalan secara linear, tapi subyektif. Dalam artian, jika Anda berada di bumi sekarang, melihat ke arah gugusan bintang tertentu, lalu melihat misalnya ada kilatan cahaya tertentu (seolah ada ledakan besar disana), lalu Anda kira sedang terjadi sesuatu...

... sesungguhnya tidak terjadi suatu apapun.

Benar.

Karena yang Anda lihat adalah kilatan historis dari planet/bintang tersebut, yang tiba di mata Anda sekian ribu, juta atau miliaran tahun setelah kejadian sesungguhnya.

Sebagai penguat pandangan di atas, jika Anda sudah terbebas dari siklus lahir dan mati, saya konfirmasi bahwa Anda bisa memilih ruang waktu mana saja untuk dimasuki (diinkarnasi ke- / incarnated to).

Itu dari pengalaman saya (semoga bukan diterjemahkan sebagai kesombongan atau klaim tertentu).

Oke, nanti saya perdalam lagi. Jika Anda rasa bermanfaat, fokuslah (jaga pembicaraan agar tidak melebar). Nanti saya berikan banyak hal yang belum Anda ketahui dan selama ini penjelajahan spiritual hanya dari buku dan tulisan. Semoga bisa jadi pertimbangan Anda dalam mendalami ajaran Buddha, dan memperkaya perspektif Anda tentang hidup/kehidupan.

Oke, salam bahagia dan persaudaraan. Mari belajar. :)
Sayangnya saya tidak berpikir demikian. Jadi saya abaikan.

Silahkan lanjut.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: "Kosong = Isi, Isi = Kosong"
« Reply #504 on: 28 December 2012, 02:13:16 PM »
Anda sama sekali tidak fokus, saya tidak berkomentar tentang 'manis' dan 'berguru', silakan perhatikan lagi saya hanya menulis satu baris tentang hal tersebut (baris paling atas).

Jika ini sifatnya debat, saya jujur saja enggan melayani lagi. Waktu saya tidak disia-siakan untuk hal begini. Maaf.

 _/\_
Lucu juga, saya juga bukan berkomentar tentang 'manis' dan 'berguru', itu sudah lewat. Saya komentar tentang ancaman-ancaman lewat kisah orang yang menghina ajaran Buddha, dan anda merasa anda sedang mewakili ajaran Buddha dan saya sedang menghinanya. Lucunya, saya melihat anda yang sedang menghina ajaran Buddha.


Oh, maksudnya kalau saya tidak angguk-angguk dan memperlakukan anda sebagai guru, anda enggan melayani saya?  :))
Ya OK-lah. Saya juga sudah cukup melihat dan mengungkap "kemampuan" anda. Hasilnya kembali lagi pada pembaca untuk menilai.


Offline Sunya

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 876
  • Reputasi: -16
  • Nothing, but your perception ONLY
Re: "Kosong = Isi, Isi = Kosong"
« Reply #505 on: 28 December 2012, 02:14:37 PM »
Cangkir yang penuh sudah tidak dapat diisi lagi. Selamat menekuni buku-buku Anda kembali. Salam.  _/\_

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: "Kosong = Isi, Isi = Kosong"
« Reply #506 on: 28 December 2012, 02:23:36 PM »
Cangkir yang penuh sudah tidak dapat diisi lagi. Selamat menekuni buku-buku Anda kembali. Salam.  _/\_
Kalau anda mempertahankan pendapat, karena anda benar dan mengajarkan orang lain yang belum benar.
Kalau saya mempertahankan pendapat, karena cangkir penuh.

:jempol:

Ya, ya... kalau saya memang harus belajar, tidak seperti anda yang sudah tidak perlu belajar, tidak boleh dikritik, bahkan tidak bisa diajak berargumentasi.

Nanti kalau anda sudah dewasa, boleh cari saya lagi, nak.

Offline Rico Tsiau

  • Kebetulan terjoin ke DC
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.976
  • Reputasi: 117
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: "Kosong = Isi, Isi = Kosong"
« Reply #507 on: 28 December 2012, 02:23:58 PM »
oh ini sudah mau bubaran yach debatnya guru-mengguruinya diskusinya ..  ::)

Offline Sunya

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 876
  • Reputasi: -16
  • Nothing, but your perception ONLY
Re: "Kosong = Isi, Isi = Kosong"
« Reply #508 on: 28 December 2012, 02:25:34 PM »
Lucu juga, saya juga bukan berkomentar tentang 'manis' dan 'berguru', itu sudah lewat. Saya komentar tentang ancaman-ancaman lewat kisah orang yang menghina ajaran Buddha, dan anda merasa anda sedang mewakili ajaran Buddha dan saya sedang menghinanya. Lucunya, saya melihat anda yang sedang menghina ajaran Buddha.


Oh, maksudnya kalau saya tidak angguk-angguk dan memperlakukan anda sebagai guru, anda enggan melayani saya?  :))
Ya OK-lah. Saya juga sudah cukup melihat dan mengungkap "kemampuan" anda. Hasilnya kembali lagi pada pembaca untuk menilai.

Baik, saya tanggapi ini saja. Tulisan saya untuk tidak berkomentar jauh itu ada di baris atas, sebaris dengan tulisan 'manis' dan 'berguru', bahkan sudah saya beri tanda kurung untuk menunjukkan hubungannya dengan kata-kata di depannya. Itu saja bisa keliru, bagaimana mau memahami dharma?

Tentang argumentum ad baculum, saya juga sebenarnya bisa menuding hal serupa; ad hominem (terkait tulisan Anda tentang belut dan tahu isi/kosong). Tapi karena saya awalnya berpikir bahwa diskusi ini seharusnya konstruktif (bukan ke menyerang pribadi), maka saya abaikan. Jadi kini semakin jelas bahwa Anda kesini hanya mau berdebat, bukan mencoba melihat perspektif lain dan berbagi pandangan.

Ancaman-ancaman? Apakah kisah tersebut menyiratkan ancaman? Saya hanya memberi contoh atas sikap kurang terpuji yang Anda tunjukkan (sarkasme/sindiran masuk dalam ranah kurang etis, itu jika Anda paham sopan santun). Hal serupa juga Sakyamuni lakukan, waktu belum terlahir sebagai Pangeran Siddharta. Begitu saja, masa Anda langsung menginterpretasikan sebagai ancaman? Unik juga ternyata persepsi manusia (makhluk). :)

Nah, dimana lagi saya minta Anda angguk-angguk dan mengiyakan saya seolah saya adalah guru? Bukankah kita dalam posisi berdiskusi dan bertukar pikiran? Apakah pernah saya memaksakan Anda setuju dengan tulisan saya?

Lucu juga... yang jelas ini sudah jadi diskusi yang tidak kondusif dan konstruktif.

Jadi bagaimana?

Jika mau diteruskan hal begini harus diminimalisir. Jika masih terus bersikeras membawa ke arah "di luar topik", tentunya sudah tidak layak diteruskan.

Oke, bagaimana pun... Salam bahagia selalu. Semoga sukses dan sejahtera.  _/\_

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: "Kosong = Isi, Isi = Kosong"
« Reply #509 on: 28 December 2012, 02:25:36 PM »
oh ini sudah mau bubaran yach debatnya guru-mengguruinya diskusinya ..  ::)

Ga boleh didebat. Guru pasti benar. Kalo menganggap guru salah, berarti cangkir penuh.

 

anything