Kalo dari yang saya tangkap, anda masih berpikir bahwa Anatta itu dipraktikkan. Saya tidak setuju itu.
Kita makan maka kita kenyang.
Kita mempraktikkan Sila dan Samadhi, maka kita memahami Tilakkhana (Anicca, Dukkha, Anatta).
Proses makan tidak sama dengan kenyang
Praktik Sila dan Samadhi tidak sama dengan memahami Tilakkhana.
Makan adalah sesuatu yang dilakukan. Kenyang adalah hasilnya.
Sila dan Samadhi adalah sesuatu yang dipraktikkan. Memahami Tilakkhana adalah hasilnya.
Itu menjelaskan tentang hakikat karma berdasarkan konsep Sunyata. Tapi di postingan sebelumnya, bukan itu yang dibahas. Ini saya copas postingan anda sebelumnya:
saya kurang paham...
kalo dari postingan tersebut, menurut anda:
Setelah tau setiap makhluk anatta,
kita tidak menyalahkan pihak luar terus-terusan (kita memperbaiki diri).
bukankah lebih tepat kalau seperti ini:
Setelah tau bahwa setiap makhluk mewarisi karmanya sendiri,
kita tidak menyalahkan pihak luar terus-terusan (kita memperbaiki diri).
Saya kira sudah saya sebutkan di thread ini juga, bahwa anatta itu satu dari 3 corak umum (Tilakkhana) seperti Anda paparkan lagi di atas. Dan tentunya, karena corak umum itu lebih pada
sifat, bukan perbuatan maka pastinya langkah awalnya adalah dipahami dulu, baru diaplikasikan/diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin kalau anicca Anda lebih mudah mengerti; misalnya awalnya dipahami dulu (bahwa semua tidak kekal), lalu aplikasinya adalah kita bisa merelakan perpisahan (misalnya kematian) dan tidak terlalu larut dalam kesedihan.
Dalam pembahasan ini, saya selaku pembuat topik berharap bahwa kita membahas substansi, bukan akademis atau berkutat di definisi konvensional. Jika kita setuju dharma adalah sesuatu yang tidak bisa diwakili sepenuhnya oleh bahasa (kata-kata), maka diharapkan (sudah saya tulis di postingan awal) kita dengan modal prajna (panna) yang didapat dari mempraktekkan sila dan samadhi (ini saya anggap sudah kewajiban seorang pengikut ajaran Buddha) dapat memahami dalam kadar tertentu apa yang sedang dimaksud dalam sebuah kalimat - bahasa umumnya: Konteks (
context).
Dalam memahami dharma, salah satu modal adalah kecerdasan intelektual (khususnya linguistik/berbahasa dalam hal ini) dan juga nalar (akal sehat) yang kuat/sehat. Kecerdasan berbahasa dimaksudkan untuk memahami minimal makna kata dan juga tanda baca (sering tanda baca disalahartikan, termasuk di thread ini). Kecerdasan nalar diperlukan dalam mencerna makna dari sebuah kalimat (baik makna langsung/denotasi maupun makna tak langsung / konotasi). Intinya memahami konteks sebuah kalimat. Misalnya saya bilang, "Uang saya dimakan penipu ulung itu." Tentunya bukan uangnya yang benar-benar dimakan, tapi ditipu.
Maka saran saya, dalam diskusi dharma hindari perdebatan akademis dan kata-kata, karena yang terpenting Makna yang disampaikan. Ingat 4 sandaran yang diajarkan dalam Buddhisme:
1. Bersandar pada dharma, jangan bersandar pada individu.
2. Bersandar pada kebijaksanaan, jangan bersandar pada kesadaran konvensional.
3. Bersandar pada makna, jangan bersandar pada kata-kata.
4. Bersandar pada makna yang hakiki, jangan bersandar pada makna yang tidak hakiki.
Semoga demikian bisa mengefisienkan jalannya diskusi ini.
Tentang implikasi konsep karma maupun konsep sunyata dalam usaha memperbaiki diri, saya berikan pandangan saya (tidak mutlak benar, silakan dikoreksi).
Ketika kita berpandangan bahwa ada "saya" yang mewarisi karma, maka disana masih ada "Saya/aku/I/atta" yang menerima dan meneruskan karma.
Beda dengan ketika kita tahu bahwa semua makhluk itu sunya (dipersepsikan sesuai karma saya yang berbuah), dan setiap makhluk itu anatta (tidak memiliki inti kekal), maka termasuk diri kita pun hanya berupa serangkaian proses
'mengalami' dimana proses itu mencakup keberadaan itu sendiri (para makhluk, lingkungan, diri kita sendiri yang terus berubah/anicca).
Ada sedikit perbedaan antara Mahayana dengan Hinayana, dalam konsep melihat "SAYA". Dalam Hinayana ada yang mencapai suatu kesucian (misalnya arahat), sedangkan dalam Mahayana, kesucian itu sendiri pun pengalaman (bukan sesuatu yang hakiki). Ini juga sebab mengapa saya jarang mau mengakui taraf pencapaian (atau kesucian), karena kesucian (bahkan setaraf Samma-Sambuddha) pun adalah sunya (kosong dari sifat hakiki).
Pernah saya tulis di halaman sekian:
Tidak ada yang mencapai, tiada apapun yang dicapai, tiada yang dibebaskan (apalagi yang membebaskan).
Oke, maaf jika agak dalam. Silakan diskusikan dan tanyakan mana yang kurang jelas dan/atau mau diperdalam.
Salam dharma. Selamat belajar dan bertukar pikiran.