http://www.tiranus.net/?p=35FENOMENA AGAMA ASLI
(Purnawan Tenibemas. Ph.D)
PengantarYang dimaksud dengan agama asli adalah agama yang bukan datang dari luar suku penganutnya . Karenanya agama asli kerap juga disebut agama suku yang berbeda dengan agama dunia . Agama asli ini pada dasarnya tidaklah bersifat misioner. Agama ini lahir dan hidup bersama sukunya dan mewarnai setiap aspek kehidupan suku penganutnya. Agama ini telah dianut oleh suku penganutnya jauh sebelum agama dunia diperkenalkan kepada suku itu.
Menurut David Barret dan Todd Johnson dalam statistik agama-agama yang setiap tahun diterbitkan oleh International Bulletin of Missionary Research penganut agama asli di dunia ini pada laporan tahun 2003 adalah sebesar 237.386.000 orang (2003:25). Jumlah itu hanya 3,78% dari total penduduk dunia yang kini berjumlah hampir 6,3 miliar manusia.
Bila kita menyimak keadaan di Nusantara, pemraktek agama asli ini hanya sekitar 1% saja dari total penduduk. Kebanyakan dari mereka (menurut laporan tersebut) tinggal di Papua, Sumba, Pedalaman Sumatra, pedalaman Kalimantan dan Pedalaman Sulawesi (Johnstone dan Mandryk 2001:339). Tentu saja laporan statistik ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah RI yang tidak mengakui keberadaan agama asli sebagai agama. Penganut agama asli ini disapa sebagai kelompok orang yang tidak atau belum beragama dan harus diberagamakan. Maksudnya belum menjadi penganut salah satu agama dunia.
Namun demikian pada kenyataannya pemraktek kepercayaan agama asli di Nusantara ini masih sangat besar jumlahnya. Jauh lebih besar dibanding dengan angka ststistik di atas. Faktanya, keyakinan dan praktek agama asli ini masih diyakini dan dijalankan oleh mereka yang walaupun secara statistik telah tercatat sebagai penganut agama dunia.
Tidaklah sulit untuk menemukan praktek dan keyakinan agama asli ini di antara para penganut agama dunia. Lihat saja siapa yang mengunjungi tempat-tempat yang dipercaya sebagai tempat keramat. Siapa pula yang meminta pertolongan para dukun. Resminya para dukun itu pun mengaku penganut salah satu agama dunia. Lihat pula begitu maraknya akhir-akhir ini penawaran jimat-jimat yang diiklankan lewat media massa. Belum lagi bila kita mengamati ritual-ritual yang berkaitan dengan siklus hidup, ataupun ritual lainnya yang berkaitan dengan penanggulangan kesulitan hidup. Terkadang pengaruh atau hadirnya elemen-elemen agama asli dalam ritual-ritual tersebut masih sangat kental. Tentu banyak di antaranya telah terbungkus sedemikian rupa oleh lapisan luar agama dunia dan para pemrakteknya tidak lagi menyadari adanya percampuran dua atau lebih agama.
Fenomena seperti itu oleh para pelakunya tidak dinilai sebagai hal yang janggal, tidak pula terlalu dirisaukan bahwa praktek keagamaan seperti itu adalah praktek sinkretisme. Mungkin inilah daya akomodatif atau daya tahan dari agama asli, tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Bila dilihat dari sudut pandang agama asli yang begitu toleran untuk mengadaptasi dan mengadopsi nilai-nilai agama dunia dan menjadikannya sebagai pemerkayanya. Tidak pelak lagi agama asli itu memiliki daya akomodasi yang hebat. Namun bila dilihat dari sudut pandang agama dunia, yang mengadopsi atau mengadaptasi atau dalam kasus tertentu tidak berdaya membuang pengaruh agama asli dari para penganutnya, maka hal itu membuktikan betapa hebatnya daya tahan agama asli tersebut.
Namun dengan datangnya agama dunia serta tidak diakuinya keberadaan sistem kepercayaan asli ini secara legal ditambah lagi dengan pengaruh kehidupan modern-sekuler sistem kepercayaan ini mengalami pergumulan besar. Sekilas kita simak pergumulan agama asli ini dalam konteks Nusantara.
Pergumulan Agama Asli
Sebagai agama asli dan bersifat nonmisioner agama asli mendapat tantangan berat saat juru-juru siar atau para misionaris agama dunia datang. Terlebih saat para penguasa beralih agama menjadi penganut agama dunia atau para penguasa adalah orang-orang asing dengan agama yang dibawanya yang tentu saja asing dari sudut pandang orang setempat. Tidak jarang terjadilah proses akulturasi religi yang memakan waktu panjang.
Dari sudut pandang agama asli inilah proses pergumulan yang terpaksa harus dijalani. Sebab tanpa kesediaan untuk melakukan proses akulturasi atau meresap agama asli ini akan habis “dilibas” agama baru yang datang dengan dukungan doktrin dan sistem yang lebih mantap serta terkadang didukung para penguasa dengan segala perangkatnya.
Ketika Agama Hindu dan Budha masuk ke Nusantara ini yang disusul dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Hindu maupun Budha, tentu saja para penguasa kerajaan beragama Hindu atau Budha. Namun kelihatannya rakyat biasa yang menjadi penduduk umum di kerajaan-kerajaan itu masih tetap menganut dan menjalankan kepercayaan aslinya.
Fu Hien seorang pengelana dari Cina yang menganut Budhisme saat kapalnya terdampar di Jawa bagian barat (414 A.D.) melaporkan bahwa di wilayah ini telah berdiri kerajaan Hindu yaitu Tarumanagara. Ia menyatakan Hindu yang dianut di Tarumanagara itu adalah Hindu Brahmana. Ia pun menyatakan berjumpa dengan para penganut agama “kotor dan palsu”. Apa yang ia maksudkan dengan agama “kotor dan palsu” itu? Kemungkinan besar yang ia maksudkan dengan agama “kotor dan palsu” itu adalah praktek keagamaan asli dari penduduk kerajaan Tarumanagara itu. Sebagaimana dijakini oleh seorang sejarawan Sunda, Ayat Rohaedi yang menyatakan bahwa agama “kotor dan palsu” yang disinggung Fu Hien itu adalah agama asli Sunda, yang salah satu elemennya adalah memuliakan para leluhur (1975:37).
Keadaan sebagaimana dinyatakan oleh Fu Hien di atas menyiratkan kepada kita bahwa agama pendatang, dalam hal ini Hindu (dan dalam konteks lain Budha juga) terutama dianut oleh lingkungan istana, sedangkan rakyat kebanyakan masih menganut agama asli. Bahkan fenomena seperti di Tarumanagara itu bukan keadaan yang istimewa karena Hindu saat itu masih baru menanamkan pengaruhnya di Jawa. Sebagai contoh dalam konteks Kerajaan Pakuan-Pajajaran di Jawa bagian barat, misalnya pada waktu pemerintahan Prabu Siliwangi yang terkenal itu (1482-1521) pemujaan kepada para leluhur masih bercampur baur dengan agama Hindu-Budha (Sutaarga 1984:56,64). Sebagaimana disinggung di atas pemujaan kepada para leluhur ini adalah elemen utama dalam agama asli.
Hal tersebut di atas dibenarkan oleh seorang peneliti agama asli yang menonjol yaitu Rachmat Subagya. Ia menulis bahwa agama asli sepanjang sejarah berulang kali mengalami krisis eksistensi dan terancam setiap kali didampingi agama-agama pendatang. Selanjutnya Subagya menyatakan bahwa agama pendatang itu unggul dalam perlengkapan doktriner, kenegaraan dan lambat-laun berfungsi sebagai ideologi negara di bawah kekuasaan sentral dan sakral. Namun penduduk tetap menganut agama asli sekalipun digolongkan out-group. Di Jawa pada masa Hindu penganut agama asli ini disebut jaba (1981:237).
Agama pendatang yang dianut sebagai agama kerajaan dan bersikap diskriminatif terhadap agama asli, namun tetap tidak berhasil mengubah keyakinan rakyat banyak itu. Agama pendatang itu berkembang di dalam isolasi mandala dan pada jaman Islam dalam pasantren. Hebatnya pula, pola pikir asli itu sedikit demi sedikit merembes ke dalam pola pikir tidak asli itu (Subagya 1981:237,238).
Pada jaman Islam agama asli ini pun tidak bisa dihilangkan. Bahkan di keraton-keraton para pujangga keraton memperkembangkan suatu sintesis kesastraan dan keagamaan antara unsur Jawa tradisional dan unsur Muslim, yang di dalamnya unsur Muslim sebenarnya sedikit saja. Dalam hal ini unsur Hindu pun ikut dipertahankan (Subagya 1981:239).
Muslim yang saleh dan taat menganggap kelompok yang mencampurbaurkan Islam dengan agama asli sebagai pasek (orang berdosa) atau abangan. Kata abangan ini berarti merah. Sebab dalam adat atau upacara agama asli di seluruh Indonesia sirih berperan penting. Mengunyah sirih , mulut dan ludah menjadi merah sehingga mereka disebut kaum merah. Kata abangan menurut penelitian Subagya sudah berabad-abad mendapat tempat dalam kesusastraan Jawa. Lawannya mutihan dari kata putih. Menurut penelitian Subagya pula bahwa sejak jaman kerajaan Singosari di Jawa kaum rohaniwan (Hindu) sudah disebut mutihan. Memang ada yang menjabarkan kedua kata itu dari bahasa Arab, yaitu “muti” berarti “taat” dan “aba” yang berarti “tak peduli” (!981:240).
Pergumulan terberat untuk para penganut agama asli ini terjadi pada masa kolonial, Belanda. Pada masa itu para penganut agama asli sama sekali tidak dihargai (“a residual factor”) dan dianggap sebagai orang-orang kafir. Para penguasa kolonial itu hanya berhubungan dengan para pemimpin di Nusantara ini. Padahal seperti yang kita sudah lihat di atas mereka adalah para penganut agama dunia. Sedangkan mayoritas rakyat yang menganut agama asli diabaikan.
Pemerintah kolonial pun melakukan penyederhanaan administrasi dengan hanya mengakui agama dunia. Hasil dari kebijakan ini Islam diuntungkan sebab semua pernikahan orang-orang yang bukan Hindu, atau bukan kr****n dilakukan menurut hukum Islam. Demikianlah ketentuan dalam peraturan no 198 tahun 1895. Akibatnya mayoritas rakyat penganut agama asli secara administrasi berada di bawah Islam dan menyebut diri “selam” atau “seselaman”; demikian tulisan P. Zoetmulder pada tahun 1935 sebagaimana dikutip oleh Subagya (1981:241).
Peraturan-peraturan lain yang mendesak keberadaan agama asli ini pun dikeluarkan yang dibarengi dengan pemberian subsidi oleh pemerintah kolonial kepada lembaga-lembaga Islam. Maka berjuta-juta penganut agama asli yang menurut istilah Subagya : “Orang Islam surat kawin” digabungkan ke dalam Islam. Sekalipun demikian menurut hasil sensus tahun 1930 sebagaimana dikutip Subagya (1981:240), dari penduduk Indonesia yang berjumlah 60,7 juta, kaum Musliminnya “hanya” 29,5 juta (48,7%) sedangkan penganut agama asli masih berjumlah 28,6 juta (47,2%).
Memasuki masa kemerdekaan dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemerintah NKRI meneruskan kebijakan pemerintah kolonial yaitu secara formal hanya mengakui keberadaan agama dunia. Hal itu ternyata dalam kebijakan politik pemerintah sepanjang sejarah NKRI. Para penganut agama asli dinilai sebagai orang-orang yang belum beragama dan perlu diberagamakan. Kebanyakan dari agama asli pun mengubah wujud menjadi berbagai aliran kebatinan. Inilah tahap regenerasi agama asli.
Namun sekalipun beregenerasi tantangan terhadap agama asli belum berhenti. Sebagai contoh, pemerintah NKRI antara tahun 1964-1971 pernah melarang, membekukan atau membubarkan sejumlah besar organisasi-organisasi aliran kebatinan. Pada tahun 1972 Jaksa Agung melaporkan bahwa pada 15 November 1971 sebanyak 167 aliran kebatinan telah dilarang. Namun pada April 1972 terdaftar pada Sekretariat Kerjasama Kepercayaan sebanyak 664 aliran kebatinan pada tingkat pusat maupun cabang yang wilayah sebarannya meliputi Jawa, Sumatra dan Indonesia Timur (Subagya 1981:251).
Para pemimpin aliran kebatinan ini melakukan penafsiran khas pasal 29 UUD 1945 untuk memperoleh dasar legalitas dari kehadirannya. Namun upaya memasukkan aliran kebatinan ini sebagai agama ke dalam GBHN selalu mendapat tantangan keras dari kaum agamawan. Sepanjang masa pemerintahan Presiden Suharto, aliran kebatinan atau saat itu lebih dikenal sebagai kelompok kepercayaan kepada Tuhan Yang maha Esa ditempatkan di bawah “asuhan” Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan kalimat lain aliran ini dianggap sebagai manifestasi kebudayaan bukan sebagai agama. Kini di masa reformasi kelompok ini memang telah berada di bawah payung Departemen Agama namun bukan diakui sebagai salah satu agama yang dianut penduduk NKRI melainkan penganutnya dogolongkan sebagai kelompok yang harus “diberagamakan”.
Di lain pihak tidak bisa disangkali para penganut agama asli ini mendapat gempuran hebat dari pola hidup modern yang sekuler. Nilai-nilai tradisonalnya tergeser oleh paham modern-sekuler yang datang menggebu bersamaan perubahan jaman yang berlangsung terus-menerus seakan tidak akan berhenti. Pengaruh ini terutama melanda angkatan mudanya. Namun di saat kritis atau saat mereka memasuki tahapan hidup tertentu ketergantungan kepada agama asli masih tampak.
Sekelumit pergumulan agama asli di atas menampilkan fenomena yang menarik. Betapa tidak, sepanjang perjumpaannya dengan agama dunia dalam sejarah Nusantara ini agama asli terdesak hebat namun tidak berhasil disingkirkan atau diganti sepenuhnya oleh agama dunia dari hati para pemrakteknya. Dasar legalitas memang tidak dimiliki oleh agama asli, namun kehadiran elemen-elemen agama asli masih tetap nyata bahkan terkadang masih sangat kuat, sekalipun tersembunyi di balik “jubah” agama dunia.
Agama Asli Dibalik Agama DuniaKini, bagi segenap penduduk NKRI tidak ada keluangan untuk mencantumkan dalam kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya: Agama asli. Sebab kewajiban yang ditentukan bagi segenap penduduk NKRI adalah keharusan untuk menganut salah satu agama dunia. Maka secara statistik yang tercatat resmi adalah jumlah penganut agama dunia itu. Namun dalam praktek kehidupan sehari-hari masih jelas ternyata bahwa mayoritas penduduk NKRI masih memelihara kepercayaan dan melaksanakan ritual atau elemen-elemen ritual yang sebenarnya milik agama asli.
Ketercampuran praktek keagamaan yang masih dipelihara oleh kebanyakan penduduk NKRI ini bisa digolongkan sebagai sinkretisme. Kadar kekentalan pengaruh agama asli dalam kehidupan beragama mayoritas penduduk NKRI memang sangat beragam. Hebatnya pula pemeliharaan elemen-elemen agama asli itu dijumpai pada para penganut agama dunia mana pun. Hal ini bukan berarti tidak ada kalangan yang berupaya memurnikan hidup keagamaan dunianya, dan meninggalkan elemen-elemen agama asli itu. Uraian di bawah ini akan memaparkan pengaruh atau praktek agama asli di lingkungan kr****n dan Islam saja. Pertimbangannya selain ruang yang membatasi, juga dua agama dunia inilah yang memiliki penganut terbanyak di NKRI ini.