Kebanyakan Studi antar Agama itu Omong Kosong!Erianto Anas:
Kenapa saya katakan kebanyakan studi antar agama itu omong kosong?
Karena sejauh pengamatan saya, studi antar agama adalah dalam rangka
mencari kelemahan agama lain dan ujung-ujungnya membenarkan agama
sendiri. Sikap dasar pengkaji atau penceramah studi antar agama adalah
mencari pembanding betapa agama yang diyakininya jauh lebih baik dan
lebih benar dari agama lain. Dengan landasan itulah mereka mulai
menguliti sebuah agama.
Dari mana saya tahu sikap mereka demikian?
Ya tentu saja saya tidak bisa melihat hatinya. Tapi dari apa yang mereka
lontarkan, maka secara psikologis itu adalah proyeksi dari sikap
mereka. Misalnya:
Jika mereka seorang Islam, sebagai contoh, rata-rata mereka bersikukuh
mengkritik bahwa Yesus itu bukan Tuhan. Lebih kurang mereka berdalih:
“Mana mungkin Tuhan bisa mati. Dan mana mungkin Tuhan bisa tiga. Apa
tidak lucu. Masak Tuhan punya anak. Kalau begitu berarti Tuhan juga
punya isteri. Jika diyakini bahwa Yesus mati di tiang salib dalam rangka
menebus dosa asal manusia, itu kan sama artinya bahwa manusia tidak
otonom dengan segala kediriannya. Manusia tidak bisa memperbaiki dirinya
sendiri untuk lebih baik. Seolah-olah manusia adalah robot yang sudah
terprogram jelek sejak azalinya, yaitu sejak Adam tergelincir dosa di
surga. Sehingga untuk itu Tuhan turun ke bumi melalui Yesus untuk
membersihkannya, sebagai juru selamat bagi seluruh umat manusia.
Itu adalah pandangan yang tidak benar. Itu sebabnya dalam Islam, Tuhan
itu hanya Satu. Tidak beranak dan tidak diperanakan. Dan tidak ada
manusia yang menjadi Tuhan seperti Yesus. Dan setiap manusia akan
menanggung dosanya sendiri. Dan dialah yang bisa memperbaiki dirinya
sendiri. Tidak ada istilah dosa asal dan surat pengampunan dosa.
Inilah kelebihan agama kita Islam. Agama yang sudah dijamin langsung
kebenarannya oleh Tuhan. Agama yang benar disisi Tuhan hanyalah Islam.”
Jika mereka seorang Kristiani, rata-rata mereka menyimpan kebencian
terselubung pada Islam. Kebencian terpendam yang tidak bisa
diekspresikan secara bebas karena mereka merasa tertindas secara sosial
oleh hegemoni umat Islam sebagai mayoritas. Akibatnya, mereka bersikeras
mengkritik bahwa Islam adalah agama yang mengada-ada. Alquran itu
duplikasi dari Alkitab yang dimodifikasi oleh Muhammad. Dengan segala
tradisi primitif budaya Arab.
Islam itu memang agama yang mengajarkan kebencian. Kebencian yang
disebarkan dengan pedang. Alquran sendirilah yang menghasut umatnya
untuk berbuat demikian. Dan siapa yang melakukannya bahkan diberi
julukan sebagai pejuang atau para sahid yang dipuji Tuhan. Sehingga
mereka akan dihadiahi para bidadari di sorga. Selain itu, Muhammad itu
juga seorang gila seks. Dia memliki banyak gundik yang bisa ditidurinya
dengan enteng. Dengan alasan bahwa dia dibolehkan Tuhan untuk mengawini
banyak perempuan yang disukainya.
Hanya manusia yang tidak menggunakan akal yang akan mengaminkan ajaran kasar dan primitife demikian.
Itulah kelebihan ajaran Kristiani. Yesus tidak datang membunuh manusia.
Tapi dia mati berdarah di tiang salib demi kemanusiaan seluruh umat
manusia. Dia berkorban untuk keselamatan umat manusia. Menjadi juru
selamat. Jangankan penggila seks, Yesus mati dalam keadaan tidak
menyentuh seorang wanita pun. Begitulah pengorbanannya untuk kita semua.
Atau satu lagi dari umat Islam ketika mengkaji agama Buddha.
Rata-rata mereka akan mengatakan:
Buddha itu bukan agama. Tapi adalah sebuah ajaran Sidharta Gauthama.
Hasil pemikiran dia sendiri yang diagungkan oleh penganutnya. Karena
itu, Buddha itu tidak bisa dijadikan petunjuk kebenaran Karena kebenaran
yang datang dari manusia itu semu. Karena manusia dipenuhi oleh hawa
nafsu. Akibatnya manusia akan mudah terjebak untuk menyembah hawa
nafsunya sendiri. Menuhankan akalnya sendiri.
Sedang Islam, bukan agama buatan manusia. Islam adalah agama langit.
Agama yang langsung diturunkan oleh Tuhan. Tentu saja Tuhanlah yang
lebih tahu bagaimana sebaiknya manusia berbuat dalam hidupnya. Karena
Tuhanlah yang menciptakan manusia. Jadi itulah kelebihan Islam dibanding
Buddha.
Secara gamblang, itulah beberapa contoh yang paling umum dan paling
banyak menjadi inti kritik dalam kajian antar agama. Yang menjadi
persoalan adalah, apa manfaatnya kajian yang demikian? Bagi saya
pribadi: TIDAK ADA! Selain hanya memupuk sikap sektarianisme dan
fanatisme.
Pantas, isu SARA menjadi larangan di Indonesia. Pantas debat lintas
agama hanya berakhir dengan debat kusir tiada ujung. Karena sikap para
peserta diskusi bukan dalam rangka mengkaji. Bukan dalam rangka studi
perbandingan. Bukan dalam rangka mengeksplorasi watak atau kunci
Teologis antar agama. Tapi adalah sikap apologetis dan antipati.
Meskipun dilandasi dengan beberapa argumen, tapi pada akhirnya endingnya
tetap pada sikap dalam rangka membanding-bandingkan, untuk akhirnya
membenarkan agama sendiri.
Lalu adakah jalan keluar?
Tentu saja ada. Jalan keluarnya bagi saya adalah, bersikap seperti
seorang atheis atau agnostik. Yaitu membawa sikap tanpa pretensi. Sikap
berjarak secara psikologis dengan objek kajian. Semua peserta membuka
pakaiannya. Melepaskan iman selama studi dan diskusi berlangsung. Semua,
secara bersama-sama memperlakukan topik agama sebagai objek kajian yang
netral. Menyimpan sikap sensitif apalagi perasaan terluka secara
psikologis ketika setiap agama ditelanjangi secara argumentatif.
Hanya dengan cara itulah studi antar agama akan berarti. Yaitu mencari
pemaknaan yang lebih optimal dan mencerahkan untuk semua pihak. Untuk
nilai-nilai kemanusiaan, moralitas dan spiritualitas yang Universal.
Bukan sikap apologetik yang sektarian.
Dengan sikap itulah baru layak seseorang mengaku sebagai seorang
Islamolog atau Kristolog misalnya. Tapi jika tidak, jika hanya seperti
contoh diatas, julukan sebagai Islamolog atau Kristolog ganti saja
dengan istilah para apolog, yaitu para pecundang yang hanya berambisi
atau mabuk untuk membenarkan agama sendiri dengan cara menyalahkan agama
lain.