Hai Bro Kelana thanks atas tanggapannya,
KELANA:
OK singkat saja, agar tidak salah paham.
“Jadi kesimpulannya, orang yang tidak menganut logika yang “TIDAK HANYA menggunakan alat pembanding materi saja,” adalah penganut logika sempit, bukannya begitu.”:
Tidak juga, yang menganut bukan saya saja. Istilah logika standar saya gunakan agar lebih mudah dipahami, karena banyak orang mengira logika hanyalah yang bersifat matematis ataupun fisika dengan ukuran materi.
Masalah jenis logika silahkan
http://en.wikipedia.org/wiki/LogicDan sorry, saya tidak akan menjawab mengenai hantu di sini karena OOT.
TAN:
Tapi masalahnya sebelumnya Anda mengatakan bahwa logika semacam itu adalah logika sempit. Di sini kita harus membedakan antara logika dengan pembuktian, sehingga tidak terjadi campur aduk. Mengenai hantu saya kira ini bukan OOT, karena relevan dengan topik mengenai pembuktian. Sebelumnya Anda mencampur adukkan antara pembuktian dengan logika, makanya terjadi pembedaan antara logika standar dan logika sempit. Bagi saya banyak hal dalam agama yang tidak dapat dibuktikan secara sains, atau didasari oleh “belief” saja. “Belief” ini lalu dianggap benar oleh penganut agama yang bersangkutan dan berusaha dipertahankan dengan berbagai cara. Inilah yang disebut apologetika. Tetapi kembali apologetika ini adalah sesuatu yang subyektif. Saya juga berapologetika mengenai metoda mantra dan sutra2 mahayana, tetapi saya sadar bahwa hal itu juga subyektif, dalam artian kalau seseorang menganut sistim belief yang lain, maka hal itu tidak akan berarti apa2 baginya. Bagaimanapun cara Anda berapologetika, maka hal itu tidak akan diterima oleh orang yang punya sistim belief berbeda dengan Anda. Oleh karena itu, pada akhirnya yang terbaik adalah saling menghormati.
***
KELANA:
Saya tidak memaparkan indikasi keberadaan hantu, meskipun bisa, tapi, saya akan tanya balik, apa indikasi logisnya bahwa hantu itu tidak ada.Simple kan.
Tidak seluruhnya definisi antar agama itu beda.Mencuri, berbohong, membunuh sesama, semua agama mengajarkan bahwa hal itu adalah kejahatan termasuk K.Inilah indikasi tuhan K itu tidak ada. Jadi dalam kasus agama K kita bisa menggugurkan argumen mereka dengan doktrin mereka sendiri.
TAN:
Dengan demikian, apakah hantu itu ada atau tidak ada itu hanya sekedar “belief.” Dalam berbagai agama patut diakui bahwa andalan seorang penganutnya hanya sekedar “belief,” termasuk dalam hal Sutra Penyembuh Kanker yang sedang kita bicarakan selama ini. Karena Anda berusaha mengupas Sutra tersebut dari sudut pandang logika Anda, maka saya juga terpaksa mengemukakan contoh mengenai hantu. Jadi pada akhirnya semua adalah “belief.” Sebagai umat Mahayana saya juga punya sistim “belief” tersendiri. Anda juga punya sistim belief sendiri. Jadi tidak akan ketemu. Bagi saya, sutra itu sesuai dengan sistim belief saya (saya tidak pergunakan istilah “logis,” karena logis dan tidak logis adalah sesuatu yang subyektif).
***
KELANA:
Kita sedang studi sutra penyembuh “kanker” bukan yang lain.
TAN:
Baik beberapa pertanyaan sudah dijawab oleh saya dan rekan-rekan yang lain.
***
KELANA:
Loh yang minta bukti kan anda bukan saya. Nanti kalau saya bilang sudah lihat hantu, nanti dibilang saya mengarang untuk mempertahankan pendapat. Jadi silahkan anda buktikan sendiri.
TAN:
Tidak, bukan tugas saya untuk membuktikan. Karena Anda selalu mengemukakan logika dalam mengulas Sutra Penyembuhan Penyakit Kanker, maka ini menjadi tugas Anda pula untuk membuktikan secara sahih dan tidak subyektif bahwa hantu itu ada.
Jadi dengan demikian, Anda hendaknya mengakui bahwa tidak segala sesuatu dapat ditelaah berdasarkan logika Anda. Ada hal-hal yang di luar logika Anda. Ini yang sebenarnya hendak saya tekankan. Begitu pula dengan Sutra Penyembuhan Penyakit Kanker. Jika Anda memaksa menggunakan logika Anda pada Sutra tersebut, maka Anda hendaknya juga menggunakan logika Anda terhadap konsep2 seperti hantu, hukum karma, dll. Tetapi diskusi akan menjadi berkepanjangan dan sebagian sudah diulas oleh Sdr. Morpheus dan Sdr. Dharmakara, jadi tidak perlu diulangi lagi di sini.
***
KELANA:
Anda sudah cari bahasa Palinya kemudian dijemahkan, Sdr. Tan ? Jika belum, bagaimana mungkin anda mengatakan jumlah tidak menentukan salah dan benarnya sesuatu, karena anda belum menemukan alasan atau jawaban yang benar? Dalam kasus Galileo, Galileo sudah menemukan alasan dan jawaban yang benar. So kita bisa mengatakan bahwa jumlah tidak menentukan salah dan benarnya sesuatu.
Jadi tetap pertanyaan anda tidak valid.
TAN:
Tidak perlu menggunakan bahasa Pali. Terjemahan bahasa Inggris sudah cukup. Argumen Anda sama seperti argumen K., waktu saya berdebat dengan mereka. Mereka selalu berkata, “Cari dulu donk bahasa Ibrani atau Yunaninya baru kamu bisa mengerti.” Tentu saja argumen ini bagi saya menggelikan dan tidak perlu saya komentari lebih jauh. Bila argumen itu benar, silakan saja kitab suci mereka yang berbahasa Indonesia dibakar. Apakah kalau dalam bahasa Inggris artinya adalah “ya” dalam bahasa Pali bisa berarti “tidak”? Padahal yang menerjemahkan adalah bhikkhu yang kompeten. Jadi argumen Anda juga tidak valid.
***
KELANA:
Anda mengatakan “JIKA” ini berarti belum pasti. Jadi saya pun menggunakan hal yang belum pasti juga. Dan saya tidak mengatakan bahwa kalau hanya ada di kanon Pali saja dianggap ajaran Buddha. Ada diskusi mengenai hal ini di topik lain mengenai kecacatan dalam sutta, mungkin bisa membantu.
Dan sudah saya sampaikan bahwa di sini adalah studi yang lepas dari tradisi.Jadi jika ada bahasan yang tidak sesuai dengan filosofi Mahayana, ya harap maklum.
TAN:
Ya memang saya juga beranggapan bahwa ajaran Buddha tidak hanya di kanon Pali saja. Bahkan ajaran Buddha tidak cuma dalam Tripitaka baik Pali maupun Mahayana. Dharma itu sesuatu yang ada di mana-mana. Mungkin seorang anak kecil, pengemis di jalan, dan lain sebagainya dapat mengajar kita pada kebenaran Dharma. O ya tentu saya maklum bahwa bahasan yang tidak sesuai dengan filosofi Mahayana mungkin saja terjadi. Bagi saya it’s Ok. Hanya saja bahasa seperti itu tidak valid bila ditinjau dari sudut pandang filosofi Mahayana sendiri. Seperti pertanyaan Nagasena pada raja Milinda, “Kalau api padam, maka ke manakah perginya api itu?”
***
KELANA:
Sudah saya katakan, di sub forum initidak menggunakan tradisi manapun.Kajian yang tidak sesuai dengan filosofi Mahayana bukan berarti itu adalah pandangan Theravada, begitu juga sebaliknya.Dan saya tidak tahu sejak pertama anda selalu mengait-kaitkan hal ini dengan pertentangan antar aliran.Ada apa dengan anda?
TAN:
Kalau bukan pandangan Theravada lalu pandangan apa? Anda harus menjelaskan dahulu apa posisi Anda. Apakah sebagai scholar? Kalau Anda berposisi sebagai scholar, saya juga akan berposisi sebagai scholar. Saya tidak mengaitkan dengan pertentangan antar aliran, malah justru memosisikan perbedaan yang ada pada tempatnya yang benar. Saya hanya menghendaki agar kita menyadari bahwa pada kanon Pali atau Mahayana ada saja hal-hal yang tidak dapat Anda telaah berdasarkan logika, sebagai contoh adalah kasus hantu itu. Kalau kita dapat menyadari itu, maka kita tidak perlu memperdebatkan suatu sutra atau sutta. Kita menghormati dan menghargai orang-orang yang bertumpu pada suatu kitab suci, kendati isinya belum tentu kita setujui.
***
KELANA:
Kalau Komentar (Tika) dijunjung dalam tradisi Theravada, so what?
Ia tetapi tidak berlaku dalam studi sutta/sutra jika tidak ada hubungannya,dan tergantung ada atau tidak indikasi logisnya .Dan jika dikatakan bahwa ada indikasi, bukti bahwa hanya karangan para bhikkhu awal, kenapa harus malu mengatakannya.Tapi sekali lagi perlu kajian bukan asal kritik.Mudah kan, gitu aja kok repot.
TAN:
Tika dinjunjung dalam tradisi Theravada so what? Dharani-dharani Sutra dijunjung dalam tradisi Mantrayana.. so what? Dengan demikian Anda hendaknya juga tidak asal mengkritik sutra2 Mahayana. Banyak juga hal-hal dalam kanon Pali yang tidak terdapat “indikasi logis”-nya. Tetapi ini sesuatu yang wajar dalam semua agama. Dalam mengkaji kitab suci kita tidak hanya perlu logika saja, melainkan banyak faktor2 lainnya. Kalau Anda hanya menjadikan “indikasi logis” milik Anda sebagai patokan, maka hasilnya akan timpang, dan waktu saya membalik untuk membuktikan “indikasi logis” adanya hantu maka Anda juga tidak dapat memberikan saya jawaban memuaskan.
***
KELANA:
Saya sedang memberikan perumpamaan Sdr. Tan, mengenai cakupan logika dimana kita bisa menggunakan logika standar/sempit/sains dan juga sekaligus yang lainnya dengan menggunakan perumpamaan ilmu-ilmu yang yang anda kenal.Untuk jelasnya mengenai logika silahkan anda klik alamat yang sudah saya berikan di atas.
TAN:
Kenapa Anda tidak terapkan apa yang Anda ungkapkan di atas dalam mengkaji Sutra Penyembuhan Kanker?
***
KELANA:
Kutipan dari Tan:
Saya sudah tunjukkan. Hanya itu yang dapat saya sampaikan pada Anda. Saya tidak masalah bila Anda masih meragukan. Semua orang punya hal untuk menentukan apa yang mereka yakini. Bukan tujuan saya untuk membuat Anda percaya. Tetapi bagaimana dengan meditasi pada kata “Buddho.”[/quote]
Sorry Sdr. Tan apa yang anda tunjukkan mengenai 84.000 masih belum bisa dikatakan ada indikasi mantra ada dalam 84.000.Jika hanya itu yang bisa anda tunjukkan ya sudah, saya tidak akan memaksa.
Masalah “Buddho” saya rasa tidak perlu saya jawab,karena hanya merupakan dampak dari anda tidak bisa menunjukkan adanya mantra dalam 84.000 pintu Dharma.
TAN:
Kalau Anda dapat menunjukkan bahwa meditasi pada kata “Buddho” merupakan salah satu dari 84.000 metoda Dharma, maka pada saat itu Anda akan mengetahui bahwa mantra juga merupakan salah satu di antara 84.000 metoda Dharma. Sangat sederhana, bukan? Saya kira ini PR buat Anda, karena bukan saya yang tidak meyakini bahwa mantra adalah salah satu di antara 84.000 metoda Dharma. Itu adalah pertanyaan bagi Anda sendiri dan bukan tugas saya untuk membuktikannya.
***
KELANA:
Sorry OOT
TAN:
Why?
Metta,
Tan