KELANA:
Sdr. Tan, saya tidak pernah mengatakan bahwa orang yang “tidak menerima logika” saya sebagai orang yang “logika standar” atau “sempit, tetapi saya mengatakan orang yang HANYA menggunakan alat pembanding materi saja maka ia adalah menggunakan logika sains, logika sempit. Dan di sini anda mengakuinya secara tidak sadar, lagi dan lagi mengakuinya dengan mengatakan hantu belum bisa dibuktikan secara sains. Sekali lagi saya sampaikan anda menggunakan logika sains, logika sempit. Jika anda tidak ingin dikatakan bahwa anda hanya menggunakan logika sempit, logika sains semata, maka buktikanlah bahwa anda bisa berlogika diluar dari logika standar itu, bukan justru malah tetap membahas hantu yang tidak bisa di buktikan secara sains (logika standar). Mudah kan. ?
TAN:
Saya kira ini permainan kata-kata. Tetapi pada kenyataannya Anda memegang logika yang “TIDAK HANYA menggunakan alat pembanding materi saja” bukan? Anda menganggap bahwa logika yang tidak seperti itu adalah “logika sempit.” Jadi kesimpulannya, orang yang tidak menganut logika yang “TIDAK HANYA menggunakan alat pembanding materi saja,” adalah penganut logika sempit, bukannya begitu. Oleh karena itu, sama saja dengan mengatakan bahwa orang yang tidak menerima logika Anda sebagai orang yang berlogika “sempit.” Lagipula definisi logika standar dan tidak standar itu dari Anda sendiri, bukan? Satu pertanyaan lagi. Apakah Anda sudah melihat sendiri hantu? Ataukah cuma dari Sutta2/ buku Buddhis saja lalu Anda menerima keberadaan hantu dan mengatakan bahwa orang yang tidak meyakininya hanya ber”logika sempit” alias “standar”?
***
KELANA:
Nah, ini dia, jangan-jangan anda tidak mengetahui bahwa logika itu bukan hanya semata-mata membandingkan sesuatu dengan yang bermateri.
Ya silahkan saja jika umat K itu mengatakan saya memiliki logika sempit karena tidak percaya pada tuhan mereka, tapi apa dasarnya? Saya tidak percaya kepada tuhan mereka karena tidak ada indikasi-indikasi logis ke arah keberadaannya. Kemudian saya justru akan bertanya balik, apa indikasi logisnya bahwa tuhan mereka itu ada? Silahkan mereka memaparkannya, setelah itu mari kita uji. Dan kemudian saya bisa memaparkan salah satu indikasi logis dimana keberadaan tuhan mereka itu tidak ada, yaitu adanya kejahatan. Kejahatan bukanlah suatu materi loh dan sains tidak mengurusi mengenai kejahatan, tetapi kejahatan itu jelas ada.
TAN:
Mereka akan balik bertanya, paparkan juga indikasi logis adanya hantu dan dewa. Akhirnya semua akan balik ke “belief” tadi. Masing-masing agama mempunyai suatu sistim belief yang “diyakini”nya. Itulah yang menjadi kerangka penentu “logis” dan “tidak logisnya” sesuatu. Jadi hal dalam tataran “belief,” apa yang “logis” dan “tidak logis” itu menjadi subyektif. Begitu pula konsep adanya hantu dan dewa dalam agama Buddha. Itu hanyalah “belief” semata. Mungkin tidak ada yang dapat membantah keberadaan hantu dan dewa, tetapi sesuatu yang tidak dapat dibantah keberadaannya bukanlah indikasi bahwa sesuatu itu ADA. Sebagai contoh, adalah monster Loch Ness. Kejahatan itu memang ada, tetapi ia adalah hasil definisi bentukan manusia. Tanpa ada definisi mengenai kejahatan, kejahatan itu tidak ada. Definisi kejahatan juga berbeda antara seorang dengan yang lain dan juga antar agama. Contoh lain adalah batas negara. Batas negara itu ADA karena definisi, kalau Anda memandang bumi dari antariksa, maka di daratan Anda tidak akan melihat garis-garis batas negara tersebut. Jadi batas negara itu dapat pula dikatakan TIDAK ADA.
***
KELANA:
Sdr. Tan sub forum ini adalah untuk membahas sutta/sutra lepas dari sektarianisme. Kalaupun perlu membahasanya dalam sudut pandangan filosofi Buddhis untuk mencari indikasi logisnya, maka filosofi yang diambil adalah filosofi yang mewakili seluruh sekte, mewakili inti ajaran Buddhisme. Jadi tidak ada yang dirugikan.
So, tidak perlu kita bawa-bawa filosofi khusus Mahayana atau khusus Theravada. Jika harus meng-iyakan, menyetujui apa kata filosofi khusus Mahayana semata, itu namanya bukan studi yang fair. Kalau seperti itu ya di forum Mahayana saja, jadi kita bisa manggut-manggut setuju saja.
Saya jutru heran kepada anda kenapa selalu mengait-kaitkan pembahasan suatu sutra dengan masalah sektarianisme? Jika anda tidak suka ada yang mengkritisi sutra, anda tidak perlu melihatnya, dan jika anda mau berfilosofi ria ala Mahayana, anda bisa berkomentar di forum Mahayana. Gampang kan?
TAN:
Masalahnya itu tidak mungkin. Orang yang sakit jantung tidak cukup hanya ke dokter umum, dia harus ke spesialis jantung. Jadi tidak cukup melihat suatu sutra dengan filosofi Buddhis umum, apalagi Sutra Mahayana. Namanya juga sutra Mahayana, ya harus dilihat dari kacamata Mahayana. Tapi kalau Anda masih ngeyel dengan sudut pandang Anda, ya silakan saja.
***
KELANA:
Sdr. Tan, benar bahwa pengalaman meditasi bisa berbeda-beda. Tapi ketika kita membahas “asli” dan “palsu”, kita sepakat bahwa memungkinkan dan kenapa tidak bahwa dalam spiritualitas “asli” tetap “asli” dan “palsu” tetap “palsu”, jadi inilah indikasi logis bahwa pengalaman meditasi dapat dijadikan bukti bahwa hantu itu ada. Saya tidak meminta bukti dari penggunaan alat materi, tapi andalah yang dengan keras ingin membuktikannya dengan alat materi.
“belief” = keyakinan, sesuatu yang pasti dan perlu bukti, berbeda dengan percaya atau iman (KBBI) , jadi “belief” masuk logika, bukan luar logika.
TAN:
Kalau begitu Anda buktikan secara logis, bagaimana meditasi dapat menjadi alat sahih untuk membuktikan keberadaan hantu? Apakah Anda sudah membuktikan sendiri dengan meditasi bahwa hantu dan alam dewa itu ada? Ataukah Anda hanya mendapatkannya dari buku-buku Buddhis semata? Ataukah itu hanya kesimpulan Anda sendiri?
Kalau Anda belum membuktikan sendiri, jelas Anda sudah berkeyakinan membuta pada meditasi.
***
KELANA:
Dua orang penerjemah dari saya dan satu penerjemah dari anda. Jelas anda kalah jumlah. Sumber anda saja diragukan, jadi bagaimana saya bisa menjawab pertanyaan anda yang tidak valid? Seperti saya harus menjawab pertanyaan “kenapa bumi itu persegi?”
Agar valid, ada baiknya anda cari bahasa Palinya kemudian terjemahkan, seperti saya berusaha mencari arti kata “zhi” dan “bing”
Bahkan sekarang setelah melihat Ratana Sutta, saya berpikir mungkin saja apa yang kita bahas mengenai kisah dalam Ratana Sutta hanyalah pepesan kosong, tidak pernah terjadi. Dan mengenai Ratana Sutta, baru namanya Case Close. Kalau anda ingin open case silahkan saja, tapi saya tidak ingin menanggapi tanggapan anda karena OT apalagi tidak valid.
TAN:
Jumlah tidak menentukan salah dan benarnya sesuatu. Dulu semua orang percaya bumi datar, dan hanya Galileo yang tidak, tetapi toh dunia tidak berubah menjadi datar. Mengenai zhibing sudah dijelaskan, bukan? Anda ragu terhadap sumber saya, karena tidak mendukung pandangan anda. Tetapi sekali lagi, saya tetap berkeyakinan bahwa jumlah bukanlah alasan untuk menentukan benar dan salahnya sesuatu.
Baik, jadi kita anggap kisah dalam Ratana Sutta tidak pernah terjadi?
***
KELANA:
Anda mengatakan “Bagaimana jika terdapat ajaran yang terdapat dalam kanon Pali saja, tetapi tidak dalam Mahayana?”, baru JIKA – kan? Lagipula saya tidak menggunakan 1 indiaksi logis itu semata, dan celakanya anda tidak memperdulikan indikasi logis lainnya yang saya berikan. Yang lainnya adalah mudahnya napas dijadikan obyek meditasi. Setelah itu kita mengkros cek apakah bertentangan tidak dengan ajaran lainnya. Jika ada , perlu diusut kenapa, dst. Studi sutta itu tidak gampang, jadi kita tidak bisa membahasanya dengan emosi dan prasangka yang bukannya memberikan alasan dan indikasi logis sutra yang sedang dibahas malah mempersoalkan sutta lain yang tidak sedang dibahas, sebagai bentuk pembalasan. Jadi itulah kenapa saya katakan anda terlalu terburu-buru menyatakan “case closed.”
TAN:
Jadi kalau hanya ada di kanon Pali saja, apakah Anda menganggapnya ajaran Buddha? Sudah saja jelaskan mudah dan susah itu subyektif. Bagi Anda mudah, belum tentu bagi orang lain juga mudah. Jadi kriteria Anda tidak universal. Lho khan saya sudah memberikan indikasi logis Sutra yang sedang dibahas dengan membandingkannya dengan Sutta. Lagipula, khan saya sudah bilang, kalau Anda tidak mau memahami filosofi Mahayana ya sampai kapanpun menurut Anda tidak “logis.”
***
KELANA:
Sdr. Tan anda sangat mudahnya menyimpulkan bahwa “termasuk dalam kanon Taisho Tripitaka (jilid ke-18 – 22), yang disebut bagian Tantrayana (Mizhongbu)” Tapi anda mengatakan tidak pernah ada dalam sutra Mahayana yang “mendaftar” 84.000 metoda itu satu persatu. Ini tidak valid karena hanya klaiman sepihak (Mahayana). Ini sama seperti sebuah peraturan mengatakan: 1. guru tidak pernah salah, 2. kalau salah lihat peraturan no.1, dan ternyata yang buat peraturan adalah guru itu sendiri. Sama seperti umat agama K jika ditanya apa bukti tuhan itu ada, mereka HANYA menunjuk kata “tuhan” dalam kitab suci mereka. Please deh ah…
Hanya simbol?? Itu lebih celaka lagi. Simbol mewakili apa, anda belum tahu tapi sudah mengajukannya sebagai alasan bahwa mantra termasuk dalam yang diajarkan oleh Sang Buddha. Bagaimana anda ini ??….
Jadi sorry, nampaknya alasan anda mengatakan saya menggunakan logika sempit hanyalah bagai daun yang berguguran.
Dan sekali lagi saya sampaikan kita bisa dan boleh menggunakan logika sains, logika sempit, tetapi tidak HANYA menggunakannya sebagai logika satu-satunya. Dan penggunaannya juga harus tepat.
TAN:
Pendapat Anda bahwa Mantra BUKAN masuk dalam salah satu di antara 84.000 metoda itu juga tidak valid karena hanya klaiman sepihak (Theravada) saja. Bukannya umat K. itu juga seperti Anda ketika ditanya bukti mengenai hantu dan dewa, yang HANYA menunjuk pada meditasi semata? Pertanyaannya apakah Anda sudah membuktikan sendiri melalui meditasi bahwa hantu dan dewa itu ada? Kalau iya silakan disharing di sini. Apakah hanya Anda dapat dari buku saja dan menganggap bahwa orang yang tidak meyakininya, sempit logikanya? Inilah yang perlu dibedakan pengetahuan dari buku atau pengalaman langsung.
Selain itu dalam Theravada juga ada meditasi mengulang kata “Buddho.” Bukankah itu juga semacam mantra?
***
KELANA:
Ya jelas gugur Sdr. Tan, dua orang penerjemah dari saya dan satu penerjemah dari anda. Jelas anda kalah jumlah. Sumber anda saja diragukan. Bagaimana tidak gugur ?
Dan saya tidak menjamin bahwa kisah yang berkaitan dalam Ratana Sutta benar-benar ada kisah tersebut, karena ada indikasi bahwa kisah tersebut hanyalah tafsiran dalam kitab-kitab komentar. Walaupun hanya tafsiran, tapi kelogisannya masih ada.
TAN:
Komentar (Tika) khan juga dijunjung dalam tradisi Theravada, bukan? Lalu apakah penyakit disebabkan oleh hantu itu logis? Terbukti adanya kalimat bahwa setelah hantunya dieksorsis, maka penyakitnya hilang. Jika demikian apakah Tika perlu direvisi. Saya jelas menolak mentah-mentah kalau penyakit disebabkan hantu. Selain itu, kisah tersebut pasti ada sumbernya dari tradisi Pali sendiri, bukan? Apakah menurut Anda itu hanya karangan para bhikkhu awal?
***
KELANA:
Irasional yang bagaimana Sdr. Tan? Kalau kita sudah mengetahui seluk beluk proses suatu fenomena, maka semua menjadi rasional, menjadi logis. Saya tidak mau panjang lebar mengenai hal ini di sini. Bagi anda mungkin ini tidak OT, tapi bagi saya ini sudah terlalu jauh, sorry saya tidak bisa menjelaskannya di topik ini.
TAN:
Kembali ke keberadaan hantu dan dewa. Bagi sebagian orang itu adalah irasional, tetapi Anda menyatakan bahwa orang yang meyakininya sebagai penganut logika sempit. Kalau begitu bagaimana proses dan seluk beluk terjadinya hantu dan dewa? Silakan dishare di sini agar sesuatunya menjadi rasional.
***
KELANA:
Sdr. Tan saya sampaikan sekali lagi bahwa kita bisa menggunakan logika sains, logika sempit jika diperlukan. Saya hanya mengatakan anda HANYA menggunakan menggunakan logika sains, logika sempit membahas sesuatu yang tidak bisa dipecahkan oleh logika sains, sempit. Kalau kita belajar Biologi apakah kita akan meningggalkan matematika sama sekali? Tidak, karena matematika bisa digunakan untuk menghitung berapa jumlah kaki bebek. Tapi ketika kita menentukan warna daun apa kita perlu matematika? Tidak. Dan di lain kasus lagi kita memerlukan dua-duanya. Ini lah perumpamaan mengenai logika luas.
Masalah sektarian saya pikir, tidak perlu saya tanggapi. Cukup anda saja yang memusingkan hal itu.
TAN:
Ingat bahwa logika sains tidak hanya terbatas pada matematika saja. Warna daun kita tahu dari pengamatan, dimana hal ini merupakan landasan bagi sains. Kini apakah Anda sanggup mengatakan pada saya, apakah warna dewa atau hantu itu?
***
KELANA:
Hanya satu yang bisa saya sampaikan, yaitu anda perlu menunjukkan adanya indikasi logis bahwa mantra adalah tekhnik yang digunakan oleh Sang Buddha. Alasan anda mengenai 84.000 masih meragukan.
TAN:
Saya sudah tunjukkan. Hanya itu yang dapat saya sampaikan pada Anda. Saya tidak masalah bila Anda masih meragukan. Semua orang punya hal untuk menentukan apa yang mereka yakini. Bukan tujuan saya untuk membuat Anda percaya. Tetapi bagaimana dengan meditasi pada kata “Buddho.”
***
KELANA:
Rational = based on or in accordance with reason or logic (Oxford Dictionary)
Case close!
Karena masalahnya melebar dan tidak fokus lagi pada sutra penyembuh kanker, maka ini terakhir kalinya saya menanggapi masalah yang berkaitan dengan logika. Thanks
TAN:
Kalau begitu bagaimana keberadaan hantu atau dewa dapat dikatakan “in accordance with reason or logic”?
Metta,
Tan