Ikut nimbrung ya.
Jadi ingat nih, dulu topik ini juga pernah aku bahas dengan seorang Samanera Tantrayana di forum puja bhakti di Cetiya. Kebetulan waktu itu Beliau membahas tentang Intersekterian. Tapi yang menggelitik hatiku untuk angkat bicara, karena Beliau selalu menggunakan istilah Hinayana untuk merujuk Theravada.
Menurutku ini tidak sejalan dengan semangat Intersekterian. Karena sepengetahuanku yang termuktahir (kalau dulu2 tahunya Mahayana=kendaraan/wahana Besar sedang Hinayana=kendaraan/wahana kecil; besar mengacu karena mengenal banyak Bodhisatva dan Buddha tapi harusnya kendaraan/wahana kecil=Culayana) dari sebuah sumber (tapi aku lupa bukunya) kalau pengertian Mahayana adalah Aspirasi Mulia sedang Hinayana adalah Aspirasi Rendah. Jadi mulya karena aspirasinya ingin menjadi Bodhisatva kemudian menjadi Samma Sam Buddha, sedangkan rendah karena hanya ingin menjadi Arahat.
Bagaimana apakah ini tidak melukai hati kalangan Theravada yang dianggap beraspirasi rendah. Jadi saya pikir seperti kalangan Theravada merujuk kalangan Mahayana dengan Mahayana, maka ada baiknya kalangan Mahayana juga merujuk kalangan Theravada dengan Theravada jangan pakai Hinayana.
Pada tahun 1950, World Fellowship of Buddhists dalam World Council di Colombo telah menyepakati bersama bahwa istilah hīnayāna harus disingkirkan dari penamaan terhadap aliran lain. Dan sangat disayangkan jika dewasa ini masih ada yang memegang mitos ini sampai sekarang.
Terlebih lagi kalau itu sudah ditetapkan di Forum Internasional.
Theravada = Ajaran Sesepuh, seolah2 mengacu ajarannya yang otentik, sedangkan yang lain kurang otentik (bias). Padahal bagaimana mungkin ajaran yang bertahan selama 2500 tahun tidak mengalami pembiasan sedikitpun, sekalipun dari sumber yang katanya otentik.
Mahayana = Aspirasi Mulia, seolah2 mengacu aspirasinya yang mulia, sedangkan yang lain rendah (hina). Padahal Samma Sam Buddha, Pacceka Buddha atau SuppaBuddha (Arahat) tetap Pencapaian Ke-Buddha-annya sama, ngak ada yang lebih ngak ada yang kurang.
Kalau dipikir-pikir ini kan seperti orang berjualan kecap saja, masing2 mengaku kalau kecapnya nomor satu, sedangkan yang lain nomor dua.
Jadi sebaiknya kita tidak perlu membeda-bedakan satu sama lain. Juga tidak perlu bersaing yang mana yang lebih tinggi/baik. Yang penting yang kita jalani adalah Dhamma/Dharma yang membimbing kita membebaskan diri dari belenggu penderitaan. Soal dari tradisi mana apakah Theravada atau Mahayana (Vanjrayana/Tantrayana termasuk Mahayana) yang ingin diterapkan silakan pribadi masing-masing saja.
Ya seperti orang Jawa sukanya masakan manis, kalau orang Padang sukanya pedas. Masing-masing silakan menikmati makanannya masing-masing. Ngak perlu bilang masakan manis lebih baik dari pedas atau sebaliknya. Dan juga tidak perlu memaksakan yang pedas kepada orang Jawa dan sebaliknya. Yang penting kalau sama-sama makan pasti sama-sama kenyang alias tidak kelaparan/menderita. Bukankah tujuannya agar tidak kelaparan.