Buddha meninggalkan kehidupan keduniawian untuk mendapatkan jalan bagi
manusia agar bisa keluar dari jeratan dukkha. Yang kutahu, kala beliau telah mendapatkan Pembebasan Ultimate, kembali kepada rakyat untuk mengajarkan jalan tersebut semata karena rasa cinta kasihnya. Ia pergi bertapa bukan semata untuk dirinya, tetapi untuk mencari solusi bagi umat manusia.
Yang kutahu, Kebuddhaan dalam hubungannya antara kebijaksanaan dan cintakasih adalah sesuatu yang tak dapat dipisahkan.
Aku berusaha untuk merealisasi Kebuddhaan adalah untuk menolong
semua mahluk hidup agar terlepaskan dari lautan penderitaan.
Semoga, tindakanku bukanlah semata buat kepentingan diriku tetapi untuk semua mahluk. Menurutku, bagi seorang Buddha maka tiada lagi yang disebut diri.
Oleh karena itu, maka sudah semestinya yang kulatih dalam jalan
Kebuddhaan adalah membina diri untuk untuk mengalahkan diri demi kebahagiaan semua mahluk.
Jalan yang kulalui adalah jalan Kearahatan. Tidak berbeda pula didasari oleh pemahaman ini.
Bagaimana aku bisa mencapai kesucian apabila yang kupikirkan
semata untuk menyelamatkan diriku sendiri? Bagaimana bisa
menghilangkan ego bila kenyataannya aku sangat egois?
Di tahap awal, barangkali kedua jalan ini memiliki pijakan aspirasi
yang berbeda. Akan tetapi dalam prosesnya hingga mencapai suatu
kematangan batin tertentu, maka antara kedua jalan ini tidak lagi akan
berbeda dalam masalah altruisme ini. Makna semoga semua mahluk
berbahagia bukan cuma hanya dijadikan slogan, tetapi merupakan suatu
aspirasi yang harus kami laksanakan.
Dalam situasi yang keruh dan kebrutalan yang mengerikan seperti yang
terjadi di negeriku selama 48 tahun itu, maka sudah sepantasnyalah kami
cukup bersabar menahan diri. Karma individu tidaklah terlepas dari karma kolektif.Bagi seorang pejalan spiritual, maka tiada aku dan kamu, tetapi engkau dan semua mahluk hidup yang lain tidaklah berbeda dengan apa yang disebut diri. Semoga kematangan batin dari para Guru dan seniorku menjadi panutan dan harapan bagi keputusasaan rakyat negeriku.
Saudaraku di negeri nan jauh, barangkali engkau mengecam kami kala kami turun ke jalan untuk mengupayakan kedamaian bagi rakyat. Tapi apabila karena kami sudah menipiskan sedikit kegelapan batin, apakah
mampu kami menutup mata terhadap penderitaan dan kekejaman ekstrim yang terjadi selama berpuluh-puluh tahun dialami oleh saudara2ku?
Aspirasi kami untuk mencapai kesucian semata dengan mengabaikan saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air demi keselamatan kami pribadi adalah hal yang akan bisa menjerumuskan kami dalam kemunafikkan semata. Bagaimana mungkin kami melatih dalam jalan kesucian, yang tahu bahwa kami diemban oleh hati nurani rakyat untuk bertindak keluar menyuarakan tangisan mereka tetapi kami menutup mata terhadap kenyataan itu?
Maaf bila kalian berpikir kami salah. Maaf bila kami melanggar vinaya. Tapi kami telah berpikir dan menimbang beribu kali. Semata berdiam diri ataupun berharap-harap pasif bahwa pedang besi berbalik menjadi sekuntum bunga teratai adalah hal yang tidak mungkin setidaknya untuk saat ini. Tidak mungkin kami setelah sekian lama mendengar jeritan dan tangisan siksa orang-orang yang tak bersalah untuk bersikap acuh demi mementingkan pelatihan kami sendiri. Karena apabila demikian maka itu adalah suatu kontradiksi dengan apa yang ingin kami perjuangkan secara spiritual.
Melihat dukkha yang sedemikian dramatis dialami oleh rakyat kami, kami bikkhu Burma, sudah tidak akan mampu untuk berkarir semata bagi pembebasan diri kami pribadi seraya mengabaikan panggilan dan jeritan sesama kami yang berteriak dalam sengsara dan kesakitan.Barangkali aspirasi kami untuk mencapai kearahatan dalam masa kehidupan yang sekarang haruslah kami tinjau ulang, karena saat ini yang dibutuhkan adalah sebuah act of Bodhisattva.
Pun, kalau kami memaksakan diri melakukan itu sembari mengucilkan diri bertapa di tempat yang sepi, apakah kami akan mampu menutup telinga batin terhadap teguran keras suara hati nurani kami sendiri? Oleh karena itu bagaimana mungkin kami mendapatkan ketenangan dan kedamaian untuk memperjuangkan aspirasi spiritual kami? Bagaimana mungkin kami membohongi diri dengan beranggapan bahwa nyawa kami lebih berharga dari nyawa mereka? Pengabaian terhadap jeritan permintaan tolong rakyat adalah sebuah kejahatan besar bagi diri kami.
Oleh karena itu, Kami akan berjuang, tetapi dalam cara kedamaian dan cintakasih.
Sudah terlambat bagi kami untuk berbalik arah. Kami akan melakukan perjuangan sekalipun harus
melakukan pattanikkujana (membalikkan mangkuk pindapata).
Kalau karma tidak mengharuskan kami untuk mati terbunuh dalam
perjuangan, kami akan kembali meneruskan pelatihan spiritual guna
mencapai pembebasan tertinggi di kehidupan yang sekarang juga. Tapi
seandainya kami harus mati terbunuh, biarlah darah yang meleleh ini menjadi bahan bakar dahsyat bagi pencapaian kesucian kami di masa kehidupan yg akan datang.
Biarlah diri ini menjadi dana untuk membeli kebahagiaan rakyat negeriku.
Semoga semua mahluk berbahagia.
Salam,
Suchamda
(Untuk mengenang para bikkhu yang terbunuh dalam perjuangan rakyat di
Burma, serta pada para calon martir yang sedang berjuang.)