RUNTUHNYA TUHAN BAGI SEORANG PENGANUT MONOTEISME
saya menunggu jawaban dari para senior mengenai namaskara dan baca paritta,trus satuhal lagi,kalo Muslim yang ikut,mereka boleh sholat 5 waktu....kalo yan Buddhist tidak diharapkan baca paritta dan namaskara.....aku makin bingung. apakah termasuk semacam penghalang, mengurangi rasa terikat, atau tabu dalam vipasana?
Kalau teman Muslim saya larang sholat 5 waktu dalam retret MMD, jelas tidak ada yang mau ikut retret MMD.
Bagi teman Muslim, melanggar kewajiban sholat 5 waktu berarti dijamin masuk neraka.
Sebaliknya, teman Buddhis yang saya sarankan untuk tidak melakukan ritual Buddhis dalam retret vipassana, hampir semuanya langsung menyadari maksudnya; kecuali satu dua orang yang tetap saja ber-namaskara ketika masuk dan keluar Dhammasala di dalam retret, yang saya biarkan saja, sebagai urusannya sendiri.
Langkah yang terpenting--untuk teman-teman Buddhis dan non-Buddhis--adalah membawa orang mengalami
bagaimana rasanya mengenali diri sendiri. Itu saja yang perlu; itulah
"seluruh perjalanan".
Runtuhnya ritualisme adalah urusan belakang, bahkan mungkin urusan yang
PALING BELAKANG.
Kalau orang sudah bisa
mengenali dirinya sendiri, maka semua yang lain
akan berproses sendiri tanpa si aku campur tangan lagi.
Tujuan
spiritual seorang penganut
monoteisme (Muslim atau Keristen), adalah untuk
"menyatu dengan Tuhan". (Ini sangat berbeda dengan tujuan kebanyakan orang Muslim atau kebanyakan orang Keristen, yakni
"masuk sorga".) Di dalam pengertian
"penyatuan dengan Tuhan" masih tersisa
adanya aku/diri/ego, sekalipun sudah begitu
"suci" tanpa
"noda" lagi, sehingga
"pantas berada bersama Tuhan".
Sekalipun
"penyatuan dengan Tuhan" ini--di mana aku berada bersama Tuhan tanpa terpisahkan lagi--dipandang sebagai
tujuan tertinggi yang bisa dicapai manusia dalam dunia mistisisme Islam & Keristen, namun satu-dua orang mistikus Islam dan Keristen mengalami
"perjalanan" yang lebih jauh lagi, yakni mengalami
runtuhnya "aku". Dan yang lebih menarik dalam pengalaman segelintir orang ini ialah bahwa
ketika "aku" runtuh, pada saat itu runtuh pula "Tuhan"! Kenapa? ... Karena, ketika subyek runtuh, maka obyek pun runtuh. -- Hal ini terjadi pada
akhir perjalanan mistikal para penganut monoteisme itu. - Jadi, mengenai
"kewajiban" sholat 5 waktu itu--yang ancaman bagi pelanggarannya adalah
neraka--biarkan saja;
pada waktunya akan runtuh sendiri.
Di lain pihak, kita umat Buddha sudah
harus bersyukur karena Sang Guru tidak mengajarkan
kewajiban ritual ini-itu kepada kita dengan
ancaman ini-itu bagi pelanggarnya; alih-alih yang diajarkan oleh beliau hanyalah
sadar/eling. Yang membuat kita
MERASA "wajib" namaskara,
MERASA "wajib" baca paritta,
sebenarnya adalah batin kita sendiri, yang
melekat. - Apakah kita akan membuat ritual Buddhis kita menjadi semacam
"kewajiban" pula, dengan
ancaman neraka, sebagaimana dalam Islam? Tentu tidak, bukan?
Salam,
hudoyo