trima kasih suhu, untung suhu sabar nasehatin, dengan resiko diusilin..haha.
semakin banyak menerima dan menyadari, semakin baikan ya..spt beban yg perlahan2 lepas..drop 1..2..
Iya, ketika kita menerima, tidak lagi berharap atau menolak, kita tidak terbebani akan hal itu.
iya nih namanya jg usaha, gotta move on, walau susah menahan keinginan kontak indera.. tp klo dikontak gimana? dibikin benci aja biar ga usa kontak gw? hehe *evil*
Kalau saya mungkin akan menyuruhnya move on juga, lalu selanjutnya mengabaikan saja.
bgmn klo dia yg meminta pengertian gw atas kondisi dia? bagaimana kalo...ahhh, gw terlalu banyak "bagaimana kalo"
Betul. Ga usah banyak spekulasi. Itu dia gunanya 'tekad' di awal, jadi ga peduli 'kalo ini-kalo itu', intinya kondisi 'begini' dan kita putuskan untuk melepas.
klo overwrite yg disertai dgn kesadaran gimana? "oh hr ini gw traktir temen2 di restoran yg pernah gw datengin ama mantan di zaman manusia purba, teman makan aja yg beda."
Kalau memang kita sudah bisa melepaskan, 'overwrite' itu akan bekerja dengan sendirinya, ga usah disengajain. Jadi ga perlu khawatir tentang ini.
bisa melepas kemelekatan dlm 1 - 2 hari dgn latian? serius, suhu? canggih bener..latian apa sih, bagi2 donk, hehe.
Tergantung orangnya, saya sih belum 'sesakti' itu. Kita semua punya kecenderungan masing-masing yang dibentuk dari masa lalu termasuk kehidupan lampau. Apapun yang sering dilatih di masa lampau, akan menjadi kecenderungan kita. Itu sebabnya ada orang yang terlahir dengan 'bakat' tertentu. Misalnya kalau dulunya rajin berlatih musik, mengembangkan keahlian bermusik, di kehidupan berikutnya dia akan cenderung 'berbakat' dalam musik. Jadi sama juga kalau dari kehidupan lampau sering latihan untuk melepas, maka di masa sekarang, 'bakat' itu akan membantu dalam menjalani praktik melepas.
klo ga siap kehilangan, jgn menyanyangi? ahhh life is so complicated..
Mau kasih cerita nih...
Suatu hari Visākhā dengan baju & rambut basah (tanda berduka) datang ke Buddha, lalu Buddha bertanya kenapa begitu dan dijawab bahwa cucu laki-lakinya baru meninggal, maka dia berduka.
Lalu Buddha bertanya, "Visākhā, maukah kau memiliki anak dan cucu sebanyak orang di Sāvatthī?"
Visākhā menjawab, "Ya, bhagavā, saya mau memiliki anak dan cucu sebanyak orang di Sāvatthī."
"Tapi berapa banyakkah orang yang meninggal setiap harinya di Sāvatthī?"
"Kadang sepuluh orang meninggal dalam sehari di Sāvatthī, kadang sembilan ... satu orang meninggal dalam sehari di Sāvatthī. Sāvatthī tidak pernah bebas dari orang meninggal."
"Bagaimana menurutmu, Visākhā? Apakah engkau akan pernah terbebas dari baju & rambut basah?"
"Tidak, bhagavā; saya tidak lagi menginginkan anak dan cucu sedemikian banyak."
"Visākhā, mereka yang memiliki seratus orang yang disayangi memiliki seratus penderitaan. Yang memiliki 90 orang yang disayangi memiliki 90 penderitaan. Mereka yang memiliki 80 ... 70 ... 60 ... 50 ... 40 ... 30 ... 20 ... 10 ... 9 ... 8 ... 7 ... 6 ... 5 ... 4 ... 3 ... 2 ... Mereka yang memiliki 1 orang yang disayangi memiliki 1 penderitaan. Mereka yang tidak memiliki orang yang disayangi tidak memiliki penderitaan. Mereka bebas dari kesedihan, noda, ratapan, aku katakan."
Kemudian Buddha berkata:
"Kesedihan, ratapan, berbagai macam penderitaan di dunia, timbul tergantung pada sesuatu yang disayangi. Hal ini tidak muncul jika tidak ada yang disayangi. Demikianlah berbahagia dan tanpa kesedihan bagi mereka yang tidak tidak menyayangi apapun di dunia. Maka bagi mereka yang bertekad pada ketanpa-nodaan dan tanpa kesedihan, tidak seharusnya menyayangi apapun di dunia ini."
Sumber: Udana 8.8.
*Istilah 'sayang' di sini adalah 'piya', suatu pikiran yang timbul dari ide 'memiliki' dan 'melekati', bisa juga diterjemahkan 'cinta'. Istilah ini mirip juga dengan 'pema' yang juga perasaan sayang asalnya dari kemelekatan. Ini berbeda dengan 'metta' yang biasa diterjemahkan 'cinta kasih', yang adalah suatu keadaan tanpa kebencian, tak terkondisi (ga milih2), dan tak terbatas (pada siapapun).