Seorang guru spiritual terkenal, Osho, berkata: ada perbedaan besar antara percaya dan tahu. Percaya senantiasa dibarengi oleh asumsi dan pengharapan, sementara tahu senantiasa dibarengi oleh pengalaman. Kita tak perlu percaya bahwa matahari bersinar, kita TAHU bahwa ada matahari di langit yang menyinari Bumi terus-menerus. Kita mengalaminya secara langsung. Jika kita berani kritis: seberapa banyak pengalaman langsung kita tentang Tuhan hingga kita berani mengatakan bahwa Ia cuma SATU? Bahwa Ia sama dan seragam bagi semua orang, layaknya matahari bagi Bumi? Percayakah kita bahwa Tuhan itu esa atau tahukah kita?
Tahun 1999, untuk pertama kalinya saya memberanikan diri untuk mempertanyakan ulang semua yang saya percayai tentang Tuhan, termasuk sejauh mana saya telah menyalahgunakan konsep iman selama ini. Karena, tanpa mengecilkan arti kata “iman” yang didefinisikan sebagai 'percaya sebelum melihat', mudah sekali kita berlindung di balik keimanan untuk mengklaim berbagai hal yang tak kita alami langsung. Hal-hal yang sebenarnya cuma asumsi berkarat dan berkerak tapi kita anggap sebagai kebenaran mutlak. Dan baru saat itulah, saat saya berani melonggarkan genggaman saya atas konsep kebenaran, untuk pertama kalinya pula secara tulus saya melihat perbedaan dan keberagaman sebagai sebuah perayaan.
Beranikah kita meninjau iman kita, asumsi kita, kepercayaan kita, keyakinan kita—dan menerimanya sebagai sebuah bentuk keterbatasan dan ‘kemalasan’ kita untuk mengenal-Nya langsung. Sudah berapa lamakah kita berpangku tangan dan membiarkan orang lain atau sebuah institusi merumuskan kebenaran dan Tuhan bagi kita? Mereka yang juga belum tentu mengalaminya langsung, melainkan mewarisi pengetahuan secara turun-temurun?
Pengetahuan adalah sesuatu yang mati, kata Osho lagi. Hanya pengalamanlah yang hidup. Dan saya teringat pertemuan saya dengan seorang bhikku, bernama Bhante Wongsin, di Lembang tahun 2005. Pada akhir pembicaraan kami, beliau berkata: “Jangan percaya semua omongan saya. Anda harus membuktikannya sendiri.” Saya tersentak waktu itu, dan kalimat beliau terus membekas hingga kini. Jangan percaya. Buktikan sendiri.
Beranikah kita untuk mencantumkan tanda tanya di ujung semua yang kita yakini dan percayai? Dan mencantumkan tanda titik hanya jika kita telah mengalaminya langsung, membuktikannya sendiri; saat perjalanan kita dari mempercayai akhirnya tiba di mengetahui.