Mengenai Api Homa. Sepertinya perlu ada penjelasan dari para pemimpin upacara api homa mengenai sejarah dan seluk beluknya. Jika fungsi upacara api homa hanya sebatas agar pikiran kita selalu terbuka atau tidak melekat, agak aneh juga ya. Seperti Sdr. Hedi katakan kenapa tidak disumbangkan ke yang membutuhkan, toh juga merupakan cara melatih melepas dan dampaknya lebih nyata dari pada dibakar jadi abu. Dan jika tradisi ini diteruskan tanpa ada penjelasan secara berkesinambungan, nanti jangan-jangan besok-besok ada yang bakar anak atau orang tua dengan tujuan agar tidak melekat pada anak dan ortu, kan gawat tuh
nanti kita kembali ke jaman jahiliah (pinjem istilah tetangga
).
Dari keberadaannya, saya mencium adanya indikasi bahwa tradisi ini ada kaitannya dengan kaum brahmana yang sering menggunakan api dalam upacara baik sebagai alat atau juga sebagai obyek puja. Seingat saya, kadangkala Sang Buddha pernah mengkritisi sikap para pemuja api ini.
KUCING SANG GURU
Setiap kali guru siap untuk melakukan ibadat malam, kucing asrama mengeong-ngeong, sehingga mengganggu orang yang sedang berdoa. Maka ia menyuruh supaya kucing itu diikat selama ibadat malam.
Lama sesudah guru meninggal, kucing itu masih tetap diikat selama ibadat malam. Dan setelah kucing itu mati, dibawalah kucing baru ke asrama, untuk dapat diikat sebagaimana biasa terjadi selama ibadat malam.
Berabad-abad kemudian kitab-kitab tafsir penuh dengan tulisan ilmiah murid-murid sang guru, mengenai peranan penting seekor kucing dalam ibadat yang diatur sebagaimana mestinya.
(Burung Berkicau, Anthony de Mello SJ, Yayasan Cipta Loka Caraka, Cetakan 7, 1994)
Saya pernah baca kisah seperti ini, tapi bukan dari Anthony de Mello SJ, tapi dari kisah Zen.