BAB 2
AKAR DAN BURUNG DARA
Pada tahun 1917, di kampung cukup besar, Hing Hwa di Tiongkok, lahir seorang anak laki2. Meskipun keluarga itu tidak berada, kelahiran anak laki2 yang diberi nama Kwa Mon Se ini disambut tawa bahagia. Ia merupakan anak kelima, setelah dua orang saudara laki2 dan dua orang saudara perempuannya lahir duluan.
Namun saat mencapai umur 5 tahun, anak laki2 ini digendong di atas punggung ibunya sendiri dan dibawa ke kampung lain untuk dititipkan pada satu keluarga yang belum punya anak. Ia diangkat anak, dan diberi nama baru Teng Ngi Kai. Setelah mengangkatnya sebagai anak, bak mendapatkan berkah, keluarga ini akhirnya mempunyai 5 anak lagi.
Pada usia remaja, Ngi Kai lari dari rumah ke tempat saudara kakeknya, karena merasa diperlakukan tidak adil oleh ibu angkatnya. Di sana, ia suka ke Vihara di sebelah rumah kakek paman, yang dipimpin oleh seorang Bhiksuni.
Setiap hari ia jadi sering ke Vihara, menyapu dan mengepel, membersihkan Altar, dan ikut Nien Cing (baca Sutra dan Mantra). Oleh Bhiksuni, ia kemudian dikirim untuk tinggal di Vihara lain. Tatkala getaran Dharma semakin menggema dalam hatinya, ia akhirnya memilih jalannya sendiri, memilih menjadi burung dara yang melesat lebih cepat dari burung merak.. ia mengambil keputusan menjadi seorang Samanera saat usianya baru 17 tahun.
Hari itu bertepatan dengan hari Waisak, tanggal 8 bulan keempat penanggalan imlek. Ia dicukur oleh Bhiksu Hok Sin. Dan diberi nama Wu Thung yang berarti ‘menjadi sadar dari ketidaktahuan’. Gurunya sebetulnya bukan Bhiksu Hok Sin. Bhiksu Hok Sin adalah guru dari kakek guru dari gurunya yang sebenarnya. Gurunya yang sebenarnya bernama Lie Tjhing dan sudah wafat dua tahun saat dia ditahbiskan. Memang waktu itu, tradisi seperti itu masih ada. Pada umur 21 tahun, dahinya ditotok dengan dupa enam kali, dan ia menjadi seorang Bhiksu. Aliran Viharanya itu disebut Aliran Tsao Tung. Di sana ada dua aliran besar, Aliran Lin Chi (Rinzai) dan Aliran Tsao Tung (Soto). Vihara Kong Hoa Sie, Vihara asal dari Bhiksu Pen Ching (guru dari Bhiksu Ashin Jinarakkhita) masuk dalam aliran Lin Chi.
Kehidupan sehari-hari seorang Bhiksu tidak banyak berbeda dengan umat, kecuali bahwa mereka tidak terikat lagi pada keduniawian. Sebagai Bhiksu, mereka juga harus bekerja untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, mulai dari bercocok tanam dan memasak. Vihara di kampungnya besar2, adanya di kaki dan puncak gunung. Satu Vihara hampir seperti satu kampung kecil sendiri, bisa ditempati oleh sekitar 200 orang. Untuk bisa bertahan sebagai Vihara besar, paling tidak ada tiga kebutuhan yang harus dipenuhi, yaitu kayu, air, dan beras. Kayu terutama untuk memasak. Beras sebagai makanan, yang biasanya mereka tanam sendiri atau beli dari kampung lain. Dan air sebagai sumber kehidupan.
Pagi-pagi, para Bhiksu sudah harus bangun untuk Nien Cing, latihan kungfu, dan bekerja. Setiap Bhiksu memiliki tugasnya masing2, seperti memasak, membersihkan aula, dan sebagainya. Untuk memasak saja dibutuhkan tiga orang. Tempat masaknya besar, garis tengahnya bisa menjangkau rentangan tangan dua orang dewasa.
Bhiksu di sana tidak boleh makan bawang karena menurut Sang Buddha, seperti tertera dalam Leng Yen Cing/Sutra Suranggama – yang ada tujuh jilid – bawang tidak baik untuk dimakan. Jika dimakan sebelum dimasak, bawang akan membuat panas badan dan menambah amarah. Sesudah dimasak, bawang akan menimbulkan hasrat seksual. Di samping itu, sesudah makan bawang, mulut akan bau. Kalau kita tidur dan mulut terbuka, bau bawang akan mengundang makhluk halus untuk menciumnya. Makhluk halus itu kalau makan dengan mencium bau makanan, dan mereka suka yang bau-bau.
Disiplin, ketekunan, dan kejujuran Bhiksu Wu Thung membuat dia dipercaya untuk menjadi tang cia/kepala rumah tangga Vihara di Vihara Kong Hoa Sie di daerahnya, meskipun usianya masih muda – sekitar tiga puluh tahunan – dan ia bukan ditahbiskan dalam aliran Kong Hoa Sie. Ia bahkan sampai tiga kali memimpin Vihara Kong Hoa Sie di sana.
Di Kong Hoa Sie, ada dua ekor anjing, satu warnanya hitam, satu warnanya putih. Dua ekor anjing itu bisa pergi naik turun gunung ke Vihara lain, kurang lebih 35 mil. Pergi selama satu minggu, baru kembali. Vihara lain tahu dua ekor anjing itu dari Kong Hoa Sie, jadi kalau datang suka dikasih makan. Hebat juga itu anjing!
Pada umur 39 tahun, atas permintaan Sesepuhnya, ia berangkat ke Indonesia tahun 1956. Ia tiba di Jakarta menumpang pesawat terbang. Untuk sementara tinggal di bandung selama 3 bulan, selanjutnya ia pindah ke Bogor dan menetap di sana selama 9 tahun. Lalu pindah ke Malang dan memimpin satu Vihara di sana selama 27 tahun sebelum pindah ke kota Batu selama 2 tahun. Setelah itu, ia menetap di Gadog, Cipanas, Jawa Barat selama sekitar 9 bulan. Dan akhirnya pindah ke Jl. Tangki di Vihara Vaipulyasasana/Kong Hoa Sie Indonesia, Jakarta selama 3 bulan, sebelum menetap di Jl. Lautze di Vihara Dharmayuga dan Vihara Buddhayana yang sampai saat ini thn 1999 sudah hampir 4 tahun.
Menurut Alm. Mahasthavira Ashin Jinarakkhita, Sesepuh Bhiksu di Indonesia, umat perlu bersyukur akan keberadaan Bhiksu Wu Thung di sini, dan semestinya menggunakan semua kesempatan yang ada untuk belajar darinya. Ia dianggap sebagai Bhiksu paling bersahaja dan luar biasa yang pernah Beliau jumpai. Jika bertemu, Alm. Bhiksu Ashin Jinarakkhita sendiri akan bersujud di depan kakinya. Kesederhanaan, disiplin, dan kebijakannya harus diteladani Bhiksu-Bhiksu muda saat ini.
Hingga hari ini, Bhiksu Wu Thung hidup sehat dan sendiri, meskipun telah berumur 82 tahun lebih (thn 1999). Keseharian dijalani dengan sangat sederhana dan apa adanya. Pagi-pagi sebelum ayam berkokok sudah bangun, berdoa, membersihkan Vihara, dan membuka gerbang menyambut umat yang datang bersembahyang. Kebanyakan dari kebutuhannya sehari-hari seperti mencuci, memasak, bercocok tanam, membuat tempat sampah, ia kerjakan sendiri.
Jika berhadapan dengan Beliau, akan sukar untuk menganggap Beliau sebagai orang yang luar biasa. Penampilannya sangat biasa. Keserhanaannya benar-benar sederhana. Bukan kesederhanaan supaya dibilang atau supaya dikenal sebagai orang yang sederhana.
Bhiksu Wu Thung, ya Cuma seperti itulah. Tulus polos dan apa adanya.
Dulu waktu di Malang, Bhiksu Wu Thung berdiam di Vihara Eng An Kiong. Di sana ia pernah memelihara seekor ayam putih dan seekor babi. Ayam putih dan babi punya cerita masing2.
Waktu itu ada sepasang suami istri yang mau membuat sumpah, karena tidak ada kepercayaan satu sama lain. Sebelum bersumpah, mereka mau menyembelih ayam putih. Bhiksu Wu Thung melarang, “Sumpah sambil berbuat kekerasan akan membawa akibat buruk. Daripada dipotong, biar saya pelihara.”
Ayam putih itu kemudian dia pelihara, dan setiap pagi selalu datang ke kamarnya menunggui dia keluar. Banyak kamar di sana, tapi ayam itu bisa tahu yang mana kamar Bhiksu Wu Thung. Lihai juga ayam putih ini!
Lalu ada seorang ayah yang mendermakan seekor babi ke Vihara karena mengikuti ramalan orang yang mengatakan jika ingin nasib puterinya lebih baik, ia harus menyumbangkan seekor babi hidup ke Vihara.
Bhiksu Wu Thung takut babi itu disembelih kalau dikasih ke orang lain. Jadi ia membuatkan sebuah kandang di tanah lapang dalam lingkungan Vihara dan memeliharanya. Tapi babi itu jatuh sakit, mungkin karena kedinginan di luar. Merasa iba, ia membuatkan sebuah kandang di dalam kamarnya sendiri dan sejak itu babi itu tidur di sana. Setiap pagi, babi minta keluar untuk buang air, habis itu baru masuk kembali ke kandang. Tapi akhirnya, setelah beberapa bulan babi itu mati. Babi lalu dikubur, dan Bhiksu Wu Thung mengatakan tidak apa-apa, karena bukan mati disembelih.