Topik Buddhisme > Buddhisme untuk Pemula

Perjalanan Hidup Siddhattha Gotama menjadi Sang Buddha

<< < (2/39) > >>

Nevada:
Petapa Gotama mencapai Pencerahan Sempurna (Penerangan Agung)

Petapa Gotama melanjutkan perjalanannya, dan pada sore hari akhirnya ia tiba di Gaya. Ia memilih untuk bermeditasi di bawah Pohon Bodhi. Kemudian ia menyiapkan tempat di sebelah timur pohon itu dengan rumput kering yang diterima dari pemotong rumput bernama Sotthiya. Ia kemudian bertekad dan berkata dalam hati:

“Dengan disaksikan oleh Bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-tulangku akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun dari tempat ini sebelum memperoleh Pencerahan Sempurna dan merealisasi Nibbana.”


Sotthiya mempersembahkan rumput kering untuk digunakan sebagai alas bermeditasi bagi Petapa Gotama

Kemudian Petapa Gotama melaksanakan meditasi anapanasati, yaitu meditasi dengan menggunakan objek keluar-masuknya nafas. Tidak lama kemudian, semua pikiran-pikiran yang tidak baik mengganggu batinnya. Muncullah semua pikiran akan keinginan pada benda-benda dan hal-hal duniawi yang dapat memuaskan nafsu, tidak menyukai penghidupan yang suci dan bersih, perasaan lapar dan haus yang luar biasa, rasa malas dan ketidakinginan berbuat apa-apa, rasa kantuk yang berat, takut terhadap makhluk-makhluk halus dan gangguan dari hewan-hewan di hutan, gelisah, goyah saat merasakan perubahan kondisi dan cuaca di lingkungan hutan, keragu-raguan terhadap Dhamma, kebodohan (ketidaktahuan), keras kepala, keserakahan, keinginan untuk dipuji dan kesombongan serta memandang rendah orang lain. Semua pikiran tidak baik itu mucul bersama dan datang silih-berganti. Dengan ketenangan dan kesabaran yang luar biasa, Petapa Gotama berusaha agar tidak terhanyut dalam pikiran tersebut. Namun ia berusaha tetap memandangnya dengan kesadaran penuh sebagai sesuatu yang muncul dan lenyap karena ada sebab dan akibat di dalamnya. Petapa Gotama terus menyelami semua gejolak ini. Petapa Gotama pun memberantas sikap-sikap tidak baik yang merintangi Pembebasan, yaitu:
o   Kerinduan terhadap duniawi (Kamachanda-Nivarana)
o   Itikad- itikad jahat (Vyapada-Nivarana)
o   Kemalasan dan kelambanan (Thinamiddha-Nivarana)
o   Kegelisahan dan kekhawatiran (Uddhacca-Kukkucca-Nivarana)
o   Keragu-raguan (Vicikiccha-Nivarana)

Ketika Petapa Gotama berhasil menyingkirkan kelima rintangan ini, maka timbullah kegembiraan. Karena gembira maka timbullah kegiuran (piti). Karena batin tergiur, maka seluruh tubuh terasa nyaman, kemudian Petapa Gotama merasa bahagia. Karena bahagia maka pikirannya menjadi terpusat. Lalu setelah terpisah dari nafsu-nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak baik, maka Petapa Gotama masuk dan berdiam dalam jhana pertama; suatu keadaan batin yang tergiur dan bahagia (piti-sukha), yang timbul dari kebebasan, yang masih disertai vitakka (pengarah pikiran pada objek) dan vicara (mempertahankan pikiran pada objek). Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, dan diresapi serta diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari “kebebasan”. Setelah membebaskan diri dari vitakka dan vicara, Petapa Gotama memasuki dan berdiam dalam jhana kedua; yaitu keadaan batin yang tergiur dan bahagia, yang timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai dengan vitakka dan vicara, keadaan batin yang memusat. Semua bagian dari tubuhnya diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari “konsetrasi”. Petapa Gotama telah membebaskan dirinya dari perasaan tergiur, lalu berdiam dalam keadaan yang seimbang dan disertai dengan perhatian murni dan kewaspadaan yang jelas. Tubuhnya diliputi dengan perasaan bahagia, yang dikatakan oleh Para Arya sebagai “kebahagiaan yang dimiliki oleh mereka yang batinnya seimbang dan penuh perhatian murni”. Petapa Gotama kemudian memasuki dan berdiam dalam jhana ketiga. Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, diresapi serta diliputi dengan perasaaan bahagia yang tanpa disertai perasaan tergiur. Dengan menyingkirkan perasaan bahagia dan tidak bahagia, dengan menghilangkan perasaan-perasaan senang dan tidak senang yang telah dirasakan sebelumnya, Petapa Gotama kemudian memasuki dan berdiam dalam jhana keempat; yaitu suatu keadaan yang benar-benar seimbang, yang memiliki perhatian murni (sati parisuddhi). Demikian Petapa Gotama bermeditasi di sana, memenuhi seluruh tubuhnya dengan perasaan batin yang bersih dan jernih.

Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan terang yang timbul dari pengetahuan (nana-dassana). Maka Petapa Gotama pun mengerti: “Tubuhku ini mempunyai bentuk, terdiri atas 4 unsur pokok (unsur padat, cair, api dan angin), berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang terus-menerus, bersifat tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan, kehancuran dan kematian; tidak memuaskan; dan karena sifatnya tidak kekal dan tidak memuaskan; maka tidak layak disebut sebagai 'aku' atau 'milikku'. Begitu pula dengan kesadaran (vinnana) yang berkaitan dengannya. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan “tubuh-ciptaan-batin” (mano-maya-kaya), yang memiliki bentuk, memiliki anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ apapun. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk iddhi (kesaktiaan - yang dilandasi oleh kemampuan batin).

Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada kemampuan-kemampuan dibbasota (Telinga Dewa). Dengan kemampuan-kemampuan dibbasota yang jernih, yang melebihi telinga manusia, Petapa Gotama mendengarkan suara manusia dan dewa dan semua makhluk, yang jauh maupun yang dekat. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada ceto-pariyanana (pengetahuan untuk membaca pikiran orang lain). Dengan menembus pikirannya sendiri, Petapa Gotama pun mengetahui pikiran-pikiran makhluk lain.

Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang pubbenivasanussatinana (ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau). Petapa Gotama melihat dengan terang tentang semua kelahiran-kelahirannya terdahulu, tanpa ada yang terlewatkan sedikit pun. Kejadian ini terjadi pada waktu jaga pertama, yaitu antara pukul 18.00-22.00. Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk (cutupapata-nana) sesuai dengan tumpukan kamma mereka masing-masing. Dan dengan kemampuan dibbacakkhunana (Mata Dewa) yang jernih, melebihi mata manusia, Petapa Gotama melihat bagaimana setelah makhluk-makhluk berlalu dari satu perwujudan, muncul dalam perwujudan lain; rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita. Ia melihat bagaimana makhluk-makhluk itu muncul dan terlahir sesuai dengan perbuatan-perbuatannya. Kejadian ini terjadi pada waktu jaga kedua pada pukul 22.00-02.00.


Petapa Gotama mengingat kehidupan-kehidupan lampaunya

Pada waktu jaga ketiga yaitu antara pukul 02.00-04.00, dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk digunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, Petapa Gotama menggunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang penghancuran noda-noda batin (asavakkhayanana)… Petapa Gotama mengetahui sebagaimana adanya “Inilah Jalan yang menuju pada lenyapnya penderitaan”. Dengan mengetahui dan melihat demikian, maka pikirannya terbebaskan dari noda-noda nafsu (kamasava), noda-noda pewujudan (bhavasava), noda-noda ketidaktahuan (avijjasava). Dengan terbebas demikian, maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya. Dan ia pun mengetahui: “Berakhirlah kelahiran kembali, terjalanilah kehidupan suci, selesailah apa yang harus dikerjakan, tiada lagi kehidupan setelah ini.”

Tidak ada unsur yang melekat lagi di batinnya. Petapa Gotama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan merealisasi Nibbana. Dan dengan disaksikan oleh Bumi, Petapa Gotama pun akhirnya sukses menjadi Buddha (Yang Tercerahkan). Dengan usaha sendiri hingga akhirnya sukses mencapai Pencerahan Sempurna, dan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengajarkan Dhamma kepada orang lain guna mencapai Pencerahan, maka Petapa Gotama pun disebut sebagai Sammasambuddha Gotama. Dengan wajah berseri dan batin yang sangat damai, Petapa Gotama kemudian mengeluarkan pekik kemenangan:

    “Anekajati samsaram
     Sandhavissam anibbissam
     Gahakarakam gavesanto
     Dukkha jati punappunam
     Gahakaraka! Dittho’si
     Punageham na kahasi
     Sabba to phasuka bhagga
     Gahakutam vismakhitam
     Vismakharagatam cittam
     Tanhanam khayamajjhaga.”

Yang artinya :

   “Dengan letih Aku mencari "pembuat rumah" ini
     Berlari-berputar dalam lingkaran tumimbal lahir
     Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada akhir
     Pembuat rumah! Sekarang telah Ku-ketahui
     Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi
     Semua atapmu telah Ku-robohkan
     Semua fondasimu telah Ku-bongkar
     Batin-Ku sekarang mencapai keadaan terbebas
     Dan berakhirlah semua nafsu keinginan.”


Kemudian secara tiba-tiba terjadilah sebuah gempa bumi. Sebuah gempa bumi dashyat yang berlangsung dalam waktu yang singkat. Para Dewa dari berbagai alam datang dan bersuka-ria atas keberhasilan Petapa Gotama menjadi Buddha. Demikianlah Pengeran Siddhattha akhirnya berhasil menjadi Buddha pada usia 35 tahun di Bulan Vaisak pada tahun 588 SM.


Petapa Gotama mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Sammasambuddha

Nevada:
Tujuh minggu setelah Penerangan Agung

Selama minggu pertama, Sang Buddha duduk bermeditasi di bawah Pohon Bodhi dan menikmati keadaan Nibbana, yaitu keadaan yang terbebas sama sekali dari semua nafsu-keinginan dan kemelekatan; sehingga batinnya menjadi sangat damai. Pada minggu kedua, Sang Buddha berdiri beberapa kaki dari Pohon Bodhi dan memandanginya terus-menerus tanpa berkedip selama satu minggu penuh, sebagai cetusan rasa terima kasih. Selama minggu ketiga, Sang Buddha berjalan mondar-mandir di atas jembatan emas yang diciptakan-Nya di udara; karena melalui Mata Dewa-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa banyak sekali Dewa yang masih meragukan apakah Beliau benar telah mencapai Pencerahan Sempurna. Selama minggu keempat, Sang Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakan-Nya. Di kamar itu Sang Buddha bermeditasi dan menyelami abhidhamma, yaitu ajaran mengenai ilmu psikologi dan metafisika batin. Batin-Nya sedemikian bersih sehingga seluruh tubuh-Nya mengeluarkan kilauan cahaya biru, kuning, merah, putih dan jingga. Selama minggu kelima, Sang Buddha bermeditasi di bawah Pohon Ajapala Nigrodha (Pohon Beringin), yang letaknya tidak jauh dari Pohon Bodhi. Pada minggu keenam, Sang Buddha bermeditasi di bawah Pohon Mucalinda. Karena hujan lebat turun, tiba-tiba datanglah seekor ular kobra yang besar sekali dan melilitkan badannya tujuh kali memutari dan memayungi Sang Buddha dengan kepalanya. Ketika hujan berhenti, ular kobra itu berubah menjadi seorang anak muda. Kemudian Sang Buddha berkata:

“Berbahagialah mereka yang bisa merasa puas. Berbahagialah mereka yang bisa mendengar dan melihat kebenaran. Berbahagialah mereka yang bisa bersimpati pada makhluk-makhluk lain di dunia ini. Berbahagialah mereka yang dapat hidup dengan tidak melekat kepada apa pun dan mengatasi nafsu-keinginan. Lenyapnya "ikatan tentang keberadaan aku" merupakan berkah tertinggi.”


Sang Buddha dan ular kobra

Pada minggu ketujuh, Sang Buddha bermeditasi di bawah Pohon Rajayatana. Pada hari ke-50, dua orang pedagang lewat di dekat tempat Sang Buddha yang sedang bermeditasi pada pagi hari. Mereka bernama Tapussa dan Bhalika. Setelah berpuasa selama tujuh minggu, akhirnya Sang Buddha mendapatkan persembahan makanan dari mereka berdua yang berupa beras dan madu. Persembahan dari mereka sangat banyak. Karena sudah menjadi tradisi bagi sejak dari Para Buddha terdahulu untuk tidak menerima persembahan makanan dengan kedua tangan, maka dengan kesaktian-Nya, Sang Buddha menerima semua persembahan makanan tersebut dalam satu mangkuk. Setelah Sang Buddha selesai makan, Tapussa dan Bhalika memohon agar diterima sebagai pengikut awam. Mereka pun diterima sebagai upasaka-upasaka (orang yang mengikuti Ajaran Buddha dan masih hidup sebagai perumah tangga) pertama yang berlindung pada Dviratna (Sang Buddha dan Dhamma). Kemudian mereka meminta sesuatu benda pada Sang Buddha, agar dapat mereka bawa pulang. Sang Buddha kemudian memberikan beberapa helai rambut (kesa dhatu = relik rambut). Mereka berdua menerimanya dengan gembira, dan mereka pun mendirikan sebuah pagoda di dekat tempat tinggal mereka untuk menyimpan kesa dhatu tersebut.

Setelah Tapussa dan Bhalika pergi, Sang Buddha merenungkan apakah Dhamma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai atau tidak. Sebelum mencapai Pencerahan Sempurna, Beliau memang berkehendak untuk membagikan “obat suci” itu kepada semua makhluk di dunia. Namun Sang Buddha masih menimbang-nimbang perihal ini. sebab Dhamma itu sangat dalam dan sulit dimengerti, sehingga bisa mengakibatkan munculnya pemahaman keliru ataupun menjadi satu pembabaran yang tidak dapat diterima oleh dunia. Kemudian Sang Buddha melihat ke kolam bunga teratai yang berada di dekat-Nya. Bunga teratai itu tumbuh di kolam yang kotor, namun ia sama sekali tidak terjerat ke dalam kolam itu. Memang ada bunga teratai yang masih berada di dasar kolam, ada juga yang masih berada di permukaan air kolam, namun ada juga yang menjulang tinggi di atas permukaan air kolam. Begitu juga pada batin semua makhluk di dunia ini. Ada yang masih tenggelam di kekotoran duniawi, ada juga yang dapat melihat cahaya terang di atas permukaan kolam keduniawian, namun ada yang mampu lepas sama sekali dari semua kekotoran duniawi. Atas dasar inilah maka Sang Buddha memutuskan untuk membabarkan Ajaran-Nya kepada khalayak ramai, dan dengan bertekad bahwa Beliau baru akan Parinibbana (mangkat) setelah Ajaran-Nya diterima dan disukai khalayak ramai. Sang Buddha juga tidak ingin melakukan hal ekstrim dalam rencana pembabaran Ajaran-Nya. Beliau tidak ingin memaksa semua orang mendengarkan Dhamma. Beliau hanya akan mencari orang-orang yang memang mampu untuk mendengar, melihat dan mempraktikkan Dhamma. Hanya orang yang memiliki sedikit debu di matanya yang bisa melihat Dhamma.

Perhatian Sang Buddha pertama kali ditujukan kepada Alara Kalama. Namun karena melalui kemampuan batin-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa seminggu yang lalu Petapa Alara Kalama sudah meninggal dunia. Kemudian perhatian selanjutnya ditujukan kepada Uddaka Ramaputta, namun Sang Buddha juga mengetahui bahwa Petapa Uddaka Ramaputta baru saja meninggal dunia pada kemarin malam. Karena itulah Sang Buddha menujukan perhatian-Nya pada kelima orang petapa yang pernah bertapa bersama-Nya dahulu.

Sang Buddha berangkat menuju Taman Rusa Isipathana di Benares. Dalam perjalanan menuju Sungai Gaya, Sang Buddha bertemu dengan seorang Petapa Ajivaka bernama Upaka. Karena terpesona melihat keagungan Sang Buddha, Upaka pun bertanya:

“Siapakah Anda? Dan siapa guru Anda?”

Sang Buddha menjawab: “Saya adalah Orang Yang Maha Tahu, dan saya tidak mempunyai guru.”


Upaka hanya menggelengkan kepala dan kemudian pergi. Sang Buddha sendiri juga kembali meneruskan perjalanan-Nya ke Benares...

Nevada:
Jangan percaya pada apa pun, di mana pun Anda mendengarnya, di mana pun Anda melihatnya, atau siapa pun yang mengatakannya, walau seandainya Aku yang mengatakannya, kecuali jika hal itu sudah dibuktikan dan dialami sesuai dengan pemahamanmu.


–––––––––––– Buddha Gotama

defact0r:
ijin book mark dulu ah...

Edward:
Mod yang berwenang, tolong di sticky please...
Bacaan wajib bagi para pemula nih....

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

[*] Previous page

Go to full version