Topik Buddhisme > Buddhisme untuk Pemula

(PIC) Riwayat Hidup Buddha Gotama

<< < (2/20) > >>

Adhitthana:
Spoiler: ShowHide
Lahirnya Pangeran Siddhattha Gotama

Meski Raja Suddhodana dan Ratu Maya sudah lama menikah, namun mereka masih belum mendapatkan keturunan. Suatu masa ketika Ratu Maya berusia 45 tahun, Ratu mengikuti perayaan Asadha yang berlangsung tujuh hari lamanya. Setelah perayaan selesai, Ratu kemudian mandi dengan air wangi dan setelah itu ia mengucapkan janji Uposatha. Selanjutnya ia pun pergi beristirahat di kamarnya. Dalam tidurnya, Ratu Maya bermimpi bahwa ada empat orang Dewa Agung yang mengantarnya ke Gunung Himalaya, kemudian membawanya ke Pohon Sala di Lereng Manosilatala. Lalu para istri dari Dewa-dewa Agung tersebut memandikannya di Danau Anotta, menggosoknya dengan minyak wangi dan kemudian memakaikan pakaian para dewata pada Ratu Maya. Ratu kemudian diajak ke istana emas dan direbahkan di atas dipan yang mewah. Di tempat itulah seekor gajah putih dengan membawa sekuntum bunga teratai di belalainya memasuki kamar, kemudian mengelilingi dipan sebanyak tiga kali untuk selanjutnya memasuki perut Ratu Maya dari sebelah kanan. Setelah itu Ratu Maya terbangun dan tiba-tiba terjadilah sebuah gempa bumi yang singkat. Ratu Maya segera bergegas memberitahukan hal ini ke Raja Suddhodana. Para Brahmana pun dipanggil untuk memberi petunjuk akan mimpi tersebut. Setelah menganalisa mimpi ini, para Brahmana meramalkan jika Ratu Maya akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak bisa menjadi seorang Cakkavatti (Raja dari semua raja di dunia) atau seorang Buddha (seorang yang mencapai Pencerahan Sempurna). Dan memang tidak lama kemudian, Ratu Maya menyadari bahwa ia sedang hamil. Ratu pun dapat merasakan keberadaan sang bayi yang tumbuh makin besar di dalam rahimnya dalam posisi duduk bermeditasi dengan posisi muka menghadap ke depan.


Adhitthana:
Spoiler: ShowHide
Ketika Ratu Mahamaya sampai pada tahap akhir dari kehamilannya, Ratu merasakan keinginannya untuk mengunjungi Devadaha, tempat tinggal sanak saudara kerajaannya. Ia memohon restu dari Raja Suddhodana dan Raja pun merestuinya.

Raja melakukan persiapan dengan megah. Setelah persiapan selesai,Raja mendudukkan Sang Ratu di dalam tandu emas baru yang diangkat oleh seribu prajurit istana, dengan dikawal oleh para pengawal dan pelayan untuk melakukan berbagai tugas selama dalam perjalanan. Dengan kemegahan dan kemuliaan demikian, Sang Ratu berangkat menuju Kota Devadaha.

Di antara Kapilavatthu dan Devadaha, terdapat hutan pohon Sala yang dinamakan Taman Lumbini, yang merupakan tempat rekreasi bagi orang-orang dari kedua kerajaan. Ketika Mahamaya Dewi sampai disana, semua pohon Sala di hutan itu berbunga dari bawah pohon hingga pucuknya. Menyaksikan taman Lumbini dengan segala keindahannya Mahamaya Dewi merasakan keinginan untuk bersantai dan beristirahat di dalamnya. Raja Suddhodana pun mengabulkan permohonan Sang Ratu.

Pada saat Mahamaya Dewi memasuki taman, semua dewa berseru yang gemanya menembus sepuluh ribu alam semesta, “Hari ini Boddhisatta akan terlahir dari kamar teratai rahim ibu-Nya.” Para dewa dan Brahma dari sepuluh ribu alam semesta berkumpul di alam semesta ini, mereka membawa berbagai macam harta benda yang indah sebagai penghormatan dalam kelahiran boddhisatta. Langit surga ditutupi oleh payung putih surgawi dan terompet kulit kerang pun ditiup.

Segera setelah Mahamaya Dewi memasuki Taman Lumbini, ia merasakan desakan untuk meraih dahan sebatang pohon Sala yang sedang mekar penuh, batangnya bulat dan lurus.Seolah-olah bergerak, dahan tersebut merunduk dengan sendirinya seperti tongkat rotan yang lunak karena dipanaskan, sehingga dahan tersebut menyentuh telapak tangan Ratu, sebuah peristiwa ghaib yang menggemparkan.

Dengan berpegangan pada dahan pohon Sala, Ratu Mahamaya berdiri dengan anggun dengan berpakaian dari bahan kain broklat berbenang emas dan selendang bersulamkan hiasan-hiasan indah berwarna putih yang mirip mata ikan yang menutupi sampai ujung jari kakinya. Pada saat itu ia merasakan tanda-tanda kelahiran. Para pelayannya buru-buru membentuk lingkaran dan menutupi area tersebut dengan tirai.

Pada saat itu, tiba-tiba sepuluh ribu alam semesta bersama-sama dengan samudera raya bergolak, berguncang dan berputar bagaikan roda pembuat tembikar. Dewa dan Brahma berseru gembira dan menyiramkan bunga-bunga dari angkasa; segala alat musik secara otomatis memainkan lagu-lagu yang indah dan merdu. Seluruh alam semesta menjadi terlihat cerah dan jernih tanpa halangan di semua arah. Fenomena-fenomena ajaib ini yang seluruhnya berjumlah tiga-puluh-dua (32) terjadi menyambut kelahiran Boddhisatta.

Pada saat kelahiran Boddhisatta, dua mata air, hangat dan dingin mengalir dari angkasa dan jatuh di tubuh Boddhisatta yang memang telah bersih dan suci dan tubuh ibunya sebagai penghormatan, mereka dapat menyesuaikan panas dan dingin dari air tersebut yang jatuh ke tubuh mereka.

Empat Maha-Brahma yang telah bebas dari nafsu indriya adalah yang pertama menerima Boddhisatta di atas sebuah jaring emas pada saat kelahiran. Kemudian mereka meletakkannya di depan sang ibu dan berkata,”Ratu, bergembiralah, seorang putra yang penuh kekuasaan telah engkau lahirkan.”

Kemudian empat raja dewa menerima Boddhisatta dari tangan empat Maha-Brahma di atas sehelai kulit rusa hitam seolah-olah benda yang sangat berharga. Kemudian manusia menerima Boddhisatta dari tangan empat raja dewa di atas sehelai kain putih.

Ketika pertunjukan pemujaan yang menakjubkan sedang berlangsung, Boddhisatta berhenti setelah berjalan tujuh-langkah ke arah utara. Pada saat itu semua Brahma, Dewa, dan manusia seketika diam, menunggu sambil berharap dengan pikiran,”Apakah yang akan dikatakan oleh Boddhisatta?”

Boddhisatta lalu menyerukan seruan berani yang terdengar oleh semua makhluk di seluruh sepuluh ribu alam semesta :

“Aggo’ham asmi lokassa!”

(Akulah yang tertinggi di antara semua makhluk di tiga alam)

“Jettho’ham asmi lokassa!”

(Akulah yang terbesar di antara semua makhluk di tiga alam)

“Settho’ham asmi lokassa!”

(Akulah yang termulia di antara semua makhluk di tiga alam)

“Ayam antima Jati!”

(Inilah kelahiran-Ku yang terakhir)

“Natthi dani punabhavo!”

(Tidak ada kelahiran ulang bagik-Ku)

Sewaktu Boddhisatta menyerukan seruan ini, tidak ada seorang pun yang dapat membantahnya; seluruh Brahma, Dewa, dan manusia mengucapkan selamat.

Pada waktu yang bersamaan dengan kelahiran Boddhisatta, tujuh pendamping berikut juga terlahir :

1.Putri Yasodhara, calon istri Pangeran Siddhatta Gotama dan Ibunda Pangeran Rahula.
2.Pangeran Ananda
3.Menteri Channa
4.Menteri Kaludayi
5.Kuda istana Kanthaka
6.Mahabodhi atau Pohon Boddhi Assattha, dan
7.Empat kendi emas

Para penduduk dari kedua kota – Kapilavatthu dan Devadaha – mengiringi Ratu Mahamaya dan putranya, Boddhisatta mulia kembali ke Kota Kapilavatthu.

Catatan tambahan
WAFATNYA RATU MAHAMAYA

Pada hari ketujuh setelah melahirkan Pangeran Siddhattha , Ratu Mahamaya wafat, dan adiknya Maha Pajapati Gotami yang juga isteri Raja Suddhodana menggantikan posisi Ratu Maha Maya sebagai ratu sekaligus ibu bagi pangeran kecil. Dari hubungan Raja Suddhodana dengan Maha Pajapati Gotami melahirkan seorang pangeran bernama Nanda dan seorang putri bernama Sundari Nanda ( Rupananda ).

Maha Pajapati Gotami merawat Pangeran Siddhattha seperti merawat putranya sendiri Pangeran Nanda . Pangeran Nanda sendiri lahir beberapa hari setelah Pangeran Siddhattha lahir.

Setelah Ratu Maha Maya wafat, ia dilahirkan menjadi seorang putra dewa dengan nama Mayadevaputta (Santusita) di surga Tusita .

Adhitthana:
Spoiler: ShowHide
PETAPA KALADEVILA TERTAWA DAN MENANGIS MENGETAHUI KELAHIRAN BODDHISATTA

Pada hari Boddhisatta dan ibu-Nya dibawa ke kota Kapilavatthu, para dewa Tavatimsa yang dipimpin oleh Sakka bergembira mengetahui bahwa “Seorang putra dari Raja Suddhodana telah terlahir di kota Kapilavatthu” dan bahwa “Putra mulia ini pasti mencapai Pencerahan-Sempurna di tanah kemenangan di bawah pohon Boddhi Assattha” , dan mereka melemparkan pakaian mereka ke angkasa, menepuk lengan dengan telapak tangan, dan bersuka ria.

Waktu itu, Petapa Kaladevila yang telah mencapai lima kemampuan batin tinggi dan delapan Jhana dan yang mempunyai kebiasaan mengunjungi istana Raja Suddhodana sedang makan siang disana seperti biasa, dan kemudian naik ke surga Tavatimsa untuk melewatkan hari itu di alam surga.

Ia duduk di atas singgasana permata di dalam istana permata, menikmati kebahagiaan Jhana. Sewaktu ia keluar dari Jhana, berdiri di depan pintu gerbang istana dan melihat kesana-kemari, ia melihat Sakka dan para dewa lainnya yang bergembira melempar-lemparkan penutup kepala dan jubah mereka dan memuji kebajikan Boddhisatta di jalan-jalan utama di alam surga sepanjang enam puluh Yojana. Kemudian Sang Petapa bertanya,”O dewa, apa yang membuatmu demikian bergembira? Katakanlah ada apa gerangan”.

Kemudian para dewa menjawab,”Yang Mulia Petapa, hari ini putra mulia dari Raja Suddhodana telah lahir. Putra mulia ini, duduk bersila di bawah pohon Boddhi assattha di tempat yang maha suci, di tengah-tengah alam semesta, akan mencapai Pencerahan-Sempurna, menjadi Buddha. Beliau akan membabarkan khotbah – Roda Dhamma. Kami akan mendapatkan kesempatan emas menyaksikan kemuliaan Buddha yang tidak terbatas dan mendengarkan khotbah Dhamma yang teragung. Itulah sebabnya kami bersuka-ria.”

Mendengar jawaban para dewa tersebut, Petapa Kaladevila segera turun dari surga Tavatimsa dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuknya di dalam istana Raja Suddhodana. Setelah saling menyapa dengan Raja, Kaladevila berkata,”O, Raja, aku mendengar bahwa Putramu telah lahir, aku ingin melihatnya.”

Kemudian Raja membawa putranya yang telah mengenakan pakaian lengkap, kemudian membawanya kepada sang petapa untuk memberi hormat kepada guru istana. Ketika Boddhisatta dibawa, kedua kaki Boddhisatta terbang tinggi dan turun di atas rambut sang petapa. (Tidak seorang pun yang cukup layak menerima penghormatan dari seorang Boddhisatta dalam kelahiran terakhirnya. Jika seseorang, yang tidak mengetahui hal ini, memaksakan kepala Boddhisatta untuk menyentuh kaki sang petapa, kepala sang petapa akan pecah menjadi tujuh keping).

Petapa Kaladevila, menyaksikan peristiwa yang mengherankan dan luar biasa dari keagungan dan kekuatan Boddhisatta, memutuskan, “Aku tidak akan menghancurkan diriku.” Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya dan bersujud didepan boddhisatta dengan tangan dirangkapkan. Menyaksikan pemandangan menakjubkan ini, Raja Sudhodana juga bersujud di depan anaknya.

Kaladevila, yang telah mencapai lima kemampuan batin dan delapan Jhana, dapat mengingat peristiwa-peristiwa yang lampau sampai 40 Kalpa yang lalu dan dapat melihat masa depan sampai 40 Kalpa kedepan. Dengan demikian ia dapat mengetahui dan melihat peristiwa-peristiwa selama delapan puluh kalpa.

Setelah mengamati karakteristik besar dan kecil dari Boddhisatta Pangeran, ia mengetahui dan meramalkan bahwa Pangeran akan menjadi Buddha. Mengetahui bahwa “Anak ini adalah manusia luar biasa”, Sang Petapa tertawa penuh kegembiraan.

Kemudian , Sang petapa merenungkan apakah ia dapat menyaksikan Pagneran mencapai ke-Buddha-an. Ia mengetahui bahwa sebelum Pangeran mencapai ke-Buddha-an, ia akan sudah meninggal dunia dan terlahir di alam Arupa-Brahma dimana tak seorang pun yang dapat mendengarkan Dhamma abadi disana, meskipun muncul ratusan atau ribuan Buddha untuk mengajarkan Dhamma. “Aku tidak akan berkesempatan untuk menyaksikan dan memberikan penghormatan kepada manusia menakjubkan ini yang memiliki Kesempurnaan kebajikan. Ini adalah kerugian terbesar bagiku.” Setelah berkata demikian Kaladevila bersedih dan menangis.

Ketika orang-orang yang hadir disana menyaksikan sang petapa tertawa dan kemudian menangis, mereka terheran-heran,”Yang-Mulia Petapa pertama-tama tertawa dan kemudian menangis, betapa anehnya.” Kemudian mereka bertanya, “Yang Mulia, apakah ada sesuatu yang berbahaya terhadap putra raja kami?”

“Tidak ada bahaya sama sekali, malah sebenarnya Beliau akan menjadi Buddha”.

“Kalau begitu, mengapa engkau bersedih?” tanya orang-orang itu lagi.

“Karena aku tidak akan dapat menyaksikan pencapaian Pencerahan-Sempurna oleh manusia luar biasa ini yang memiliki kualitas-kualitas yang menakjubkan. Ini adalah kerugian besar bagiku. Karena itulah aku bersedih”, jawab sang petapa.

Kemudian, Kaladevila sang petapa merenungkan, “Walaupun aku tidak berskesempatan untuk menyaksikan Pangeran mencapai ke-Buddha-an, aku ingin tahu apakah ada di antara sanak-saudaraku yang berkesempatan untuk menyaksikannya.” Kemudian dia meilihat keponakannya, Nalaka, yang memiliki kesempatan tersebut. Jadi ia pergi mengunjungi rumah adiknya dan memanggil keponakannya dan menyuruhnya dengan berkata :

“Keponakanku Nalaka, seorang putra telah lahir di istana Raja Suddhodana. Beliau adalah seorang Boddhisatta. Beliau akan mencapai ke-Buddha-an setelah berusia tiga-puluh-lima tahun. Engkau, keponakanku, adalah seorang yang layak melihat Buddha. Oleh karena itu, engkau lebih baik menjadi petapa, hari ini juga.”

Meskipun lahir dari orangtua yang memiliki kekayaan delapan puluh tujuh crore, pemuda Nalaka percaya kepada pamannya, dan berpikir,”Pamanku tidak akan menyuruhku melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat. Ia mengatakan hal ini tentu demi kebaikanku.” Dengan pendapat ini, ia membeli jubah dan mangkuk dari pasar. Mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah, dan berkata kepada dirinya sendiri, ”Aku akan mejadi petapa untuk mengabdi pada Buddha, pribadi yang termulia diseluruh dunia.“

Adhitthana:
Spoiler: ShowHide
Boddhisatta Pangeran mencapai Anapana Jhana Pertama

Sementara itu, Boddhisatta setelah melihat sekeliling dan tidak melihat seorang pun, segera mengambil posisi duduk bersila dengan tenang. Kemudian Beliau mempraktikkan meditasi anapana, berkonsentrasi pada napas masuk dan keluar, dan segera mencapai rupavacara Jhana Pertama.

Para perawat yang meninggalkan tugasnya berkeliaran ke sana kemari di meja-meja dan bersenang-senang sebentar. Semua pohon-pohon kecuali pohon jambu tempat Boddhisatta duduk, memiliki bayangan alami sesuai pergerakan matahari, pada sore hari, bayangan pohon akan berada di sebelah timur. Namun, bayangan pohon jambu tempat dimana Boddhisatta duduk tidak bergerak sesuai posisi matahari, bahkan di tengah hari, aneh, bayangan pohon itu tetap seperti semula, besar dan bundar, dan tidak berpindah.

Para perawat, tiba-tiba teringat,”Oh, putra junjungan kita tertinggal dibelakang sendirian”. Mereka bergegas kembali dan masuk ke tirai, melihat dengan takjub, Boddhisatta Pangeran duduk bersila dalam kemuliaan, dan juga melihat keajaiban (patihariya) dari bayangan pohon yang tetap berada di posisi dan bentuk yang sama, tidak berpindah. Mereka berlari menuju Raja dan melaporkannya. Raja dengan tenang mendatangi Boddhisatta dan mengamati, melihat dengan mata kepala sendiri dua keajaiban tersebut, ia mengucapkan,”O, Putra Mulia, ini adalah kedua kalinya bahwa, aku, ayah-Mu, bersujud pada-Mu”, kemudian bersujud di depan anaknya dengan penuh cinta dan penuh hormat.

Adhitthana:
Spoiler: ShowHide
MENYELAMATKAN BURUNG BELIBIS

Suatu kali Pangeran Siddhattha berjalan-jalan di taman dengan Devadatta, saudara sepupunya. Devadatta yang membawa busur dan anak panah melihat serombongan burun belibis terbang. Devadatta membidikkan anak-panahnya. Seekor belibis terkena dan terjatuh ke tanah. Pangeran Siddhatta bergebas menghampiri belibis yang terluka itu. Dengan penuh kasih-sayang diobatinya luka pada sayap belibis dengan daun-daun yang diremas.

Devadatta meminta belibis itu. Pangeran Siddhattha tidak mau memberikannya. Menurut Pangeran Siddhattha, bila belibis itu mati maka ia menjadi milik Devadatta. Tetapi karena belibis itu masih hidup maka ia menjadi milik dari orang yang menyelamatkan hidupnya. Akhirnya keduanya pergi ke Dewan Para Bijaksana untuk mendapat keputusan.

Dewan memutuskan bahwa hidup adalah milik dari orang yang mencoba menyelamatkannya dan bukan milik yang mencoba menghancurkannya. Dengan demikian maka belibis itu adalah milik Pangeran Siddhattha yang menyelamatkan hidupnya. Setelah sembuh belibis itu dilepas kembali oleh Pangeran Siddhattha. Demikianlah kasih sayang Pangeran Siddhattha terhadap sesama makhluk hidup.

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

[*] Previous page

Go to full version