Topik Buddhisme > Buddhisme untuk Pemula

Jalan Mulia Berunsur Delapan

<< < (3/3)

sihebat11:
mantap trit ini _/\_

DNA:
Sila, Samadhi, dan Panna

           Berlatihlah seperti itu. Bila orang ingin ngomong panjang lebar tentang teori, itu urusan mereka. Namun tak peduli berapa banyak diperdebatkan, latihan itu selalu tiba pada titik yang satu ini. Ketika sesuatu muncul, ia munculnya di sini. Entah banyak atau sedikit, ia berasal tepat di sini. Ketika ia berhenti, penghentiannya pun tepat di sini. Ya mau di mana lagi?—Sang Buddha menyebut titik ini sebagai “yang Mengetahui” (the “Knowing”). Ketika the “Knowing” ini mengetahui segala sesuatu dengan akurat, yakni sesuai dengan kebenaran, kita bakal memahami seperti apa pikiran itu. Segala macam hal tak henti-hentinya membohongi. Anda mempelajarinya, namun pada saat yang sama mereka mengelabui anda. Ya, bagaimana lagi saya harus ngomong? Walaupun anda memahami mereka, namun anda tetap saja masih dikecoh olehnya justru persis pada pemahaman anda itu. Itulah situasinya. Menurut hemat saya, inti masalahnya adalah: Sang Buddha tidak ingin kita cuma sekadar tahu tentang bagaimana menamai hal-hal diatas. Tujuan dari ajaran Sang Buddha adalah memahami jalan yang membebaskan diri kita dari hal-hal tersebut melalui penyelidikan akan pelbagai sebab [penderitaan] yang mendasari (the underlying causes).

           Saya mempraktikkan Dhamma dengan tanpa banyak pengetahuan [teori]. Saya hanya tahu jalan untuk pembebasan dimulai dengan moralitas atau kebajikan (sila). Sila merupakan indahnya permulaan dari Jalan. Kedamaian yang mendalam dari samadhi merupakan indahnya pertengahan. Kebijaksanaan (panna) adalah indahnya akhir. Kendati mereka dapat dibagi atas tiga aspek unik dari latihan, bila kita meninjau lebih dalam lagi, ketiga kualitas ini bertemu menjadi satu. Untuk mendukung kebajikan, anda harus bijak. Kita biasanya menganjurkan orang untuk mengembangkan standar etikanya dengan menjaga lima aturan perilaku (Panca Sila), dengan demikian sila-nya akan menjadi mantap. Bagaimanapun kesempurnaan sila memerlukan banyak kebijaksanaan (wisdom). Kita harus mempertimbangkan perkataan dan tindakan kita, serta menganalisa konsekuensinya. Inilah pekerjaan dari kebijaksanaan. Kita mesti mengandalkan wisdom untuk menumbuhkan kebajikan.

           Menurut teori, kebajikan datang duluan, lalu samadhi dan selanjutnya kebijaksanaan. Namun, ketika saya menelitinya sendiri, ternyata saya menemukan bahwa sesungguhnya kebijaksanaan merupakan landasan setiap aspek lain dari praktik. Agar memahami sepenuhnya segala konsekuensi dari apa yang kita ucapkan dan lakukan—khususnya yang merugikan—kita perlu mengunakan wisdom guna menuntun, mengendalikan, dan menyelidiki bekerjanya sebab-dan-akibat. Ini akan memurnikan (purify) perbuatan dan ucapan kita. Manakala kita menjadi terbiasa dengan tindakan etis dan tidak etis, kita mulai paham untuk berlatih. Kita pun lalu meninggalkan apa yang buruk dan menumbuhkan apa yang baik. Kita meninggalkan yang salah dan mengembangkan yang benar. Inilah: kebajikan. Dengan menjalankan ini, batin bertambah kokoh dan tabah. Ketegaran serta kemantapan ini bebas dari kekhawatiran, rasa bersalah, keraguan dalam bertindak dan berbicara. Inilah: samadhi.

           Penyatuan pikiran yang stabil ini membentuk tambahan sumber tenaga yang lebih kuat lagi bagi praktik kita, membuat kontemplasi yang lebih mendalam pada penglihatan, pendengaran, segala yang kita alami. Begitu pikiran telah terbentuk dengan perhatian-penuh (mindfulness) yang kokoh, mantap serta damai—kita bisa memulai penyelidikan tanpa putus terhadap realitas tubuh, perasaan, persepsi, buah pikir, kesadaran, penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, sensasi, dan segala objek dari pikiran. Sebagaimana mereka selalu muncul, kita pun terus-menerus gigih menginvestigasi dengan sepenuh hati tanpa kehilangan mindfulness sedikit pun. Kemudian kita akan tahu hal yang sebenarnya. Mereka sekadar muncul ke eksistensi sesuai dengan hakekat alamiahnya sendiri. Sejalan dengan tumbuhnya pemahaman kita, maka lahirlah kebijaksanaan. Begitu ada pemahaman jernih akan kebenaran segala sesuatu, maka persepsi-persepsi kolot kita bakal tercabut dan pengetahuan konseptual kita pun lalu transformasi menjadi wisdom. Demikianlah kebajikan, samadhi, dan kebijaksanaan bergabung serta berfungsi sebagai satu kesatuan.

           Dengan bertambahnya kekuatan serta keteguhan dari kebijaksanaan, samadhi akan jadi kian mantap. Semakin samadhi tak tergoyahkan, sila secara menyeluruh pun kian tak tergoncangkan. Sempurnanya sila, akan turut mengembangkan samadhi; meningkatnya penguatan samadhi mendorong matangnya kebijaksanaan. Inilah tiga aspek dari latihan yang saling membaur kait-mengait. Kesatuannya disebut Jalan Mulia Berunsur Delapan, jalan Sang Buddha.—Ketika Sila, Samadhi, dan Panna mencapai puncaknya, Jalan ini mampu mencabut semua ketidakmurnian dalam pikiran. Saat nafsu keinginan, kebencian, dan kebodohan tampil, Jalan inilah satu-satunya yang dapat membabatnya habis hingga ke akar-akar.


           Kerangka dari praktik Dhamma adalah Empat Kebenaran Mulia, yaitu: Kebenaran adanya penderitaan (dukkha), sebab dari penderitaan (samudaya), berhentinya penderitaan (nirodha), dan Jalan menuju lenyapnya penderitaan (magga). Jalan ini terdiri dari kebajikan, samadhi, dan kebijaksanaan—kerangka dalam melatih batin ini. Maksud sebenarnya bukan ditemukan dalam kata-kata tersebut, tetapi ada di kedalaman batin kita. Begitulah sila, samadhi, dan panna. Mereka berputar terus menerus. Jalan Mulia Berunsur Delapan akan melingkupi setiap pemandangan, suara, bau, rasa, sensasi tubuh, dan objek pikiran yang muncul. Namun demikian, apabila unsur-unsur dari Jalan Mulia ini lemah dan lesu, kotoran-batin akan menguasai pikiran kita. Sebaliknya, kalau Jalan ini kuat dan teguh, ia akan mengalahkan dan menghancurkan kekotoran tersebut. Jika kekotoran begitu kuat dan tangguh, sementara Jalan ini ringkih dan lemah, maka kekotoran bakal mengalahkan Sang Jalan. Mereka akan menguasai batin kita.

           Apabila the knowing kurang sigap dan gesit, begitu bentuk-bentuk pikiran, perasaan, persepsi serta buah-buah-pikir muncul, maka mereka akan segera menguasai dan menghancurkan kita. Sang Jalan dan kekotoran batin itu berjalan beriringan. Dengan berkembangnya latihan Dhamma dalam batin kita, kedua kekuatan itu mesti bertarung pada setiap langkahnya. Ini seperti dua orang yang bertengkar dalam pikiran kita. Tetapi ini hanyalah Jalan Dhamma dan kekotoran yang saling bergulat untuk menguasai batin. Jalan ini menuntun serta mengembangkan kemampuan kita untuk terus menyelidiki dengan perhatian-penuh. Selama kita mampu berkontemplasi secara tepat, kekotoran-batin akan kehilangan pijakannya. Namun bila kita goyah, seketika itu pula kekotoran bersatu-padu dan mendapatkan kekuatannya kembali. Sang Jalan akan terkepung ketika kekotoran kembali merebut posisinya. Kedua pihak ini akan terus bertempur hingga ada pemenangnya, serta seluruh urusan telah dirampungkan.

           Bila kita memusatkan usaha kita untuk mengembangkan Jalan Dhamma, kekotoran akan berangsur-angsur musnah. Begitu tumbuh secara penuh, Empat Kebenaran Mulia akan menetap dalam batin. Dalam bentuk apa pun penderitaan itu hadir, ia selalu berkaitan dengan suatu sebab. Itulah Kebenaran Mulia Ke dua. Dan apa penyebabnya? Lemahnya kebajikan, samadhi, dan kebijaksanaan. Saat Sang Jalan tak mampu bertahan, kekotoran menguasai pikiran. Ketika mereka menguasai, Kebenaran Ke dua berperan dan kekotoran ini menimbulkan beragam jenis penderitaan. Saat kita menderita, segala kualitas untuk menumpas penderitaan pun hilang.—Sebaliknya jika kondisi-kondisi yang menyokong Sila, Samadhi, dan Panna mencapai kekuatan maksimal, Jalan Dhamma tidak dapat dihentikan, melaju terus mengatasi kemelekatan dan keterikatan yang telah membuat kita begitu menderita. Penderitaan tidak dapat muncul karena Jalan telah melenyapkan kekotoran batin. Di sinilah berhentinya penderitaan. Mengapa Jalan dapat melenyapkan penderitaan? Karena sila, samadhi, dan panna telah mencapai puncak kesempurnaan, dan Sang Jalan telah membangun suatu momentum yang tidak dapat dibendung lagi. Semuanya hadir bersamaan tepat disini. —Bahkan saya mau katakan bahwa: siapa saja yang berpraktik seperti ini, segala ide teoritis [tentang pikiran] tidak bakalan muncul. Bila pikiran telah terbebaskan dari hal-hal ini, maka ia benar-benar dapat diandalkan dan pasti. Kini apa pun jalannya yang hendak ditempuh, kita tidak perlu lagi terlalu pusing mengendalikannya agar tetap lurus.

           Bayangkanlah daun-daun pohon mangga. Seperti apakah mereka? Dengan meneliti cukup satu daun saja kita akan tahu seperti apa yang lainnya walau mungkin terdapat sepuluh ribu daun. Yang lain pada dasarnya sama saja. Begitu juga dengan batangnya, kita hanya perlu melihat batang dari satu pohon mangga untuk mengetahui karakteristik semuanya. Hanya melihat pada satu pohon. Semua pohon mangga lainnya pada dasarnya tidaklah berbeda. Walaupun terdapat seratus ribu pohon, jika satu diketahui, maka semuanya juga diketahui. Inilah yang diajarkan Sang Buddha.

           Kebajikan, samadhi, dan kebijaksanaan memang membentuk Jalan Sang Buddha. Tapi Jalan ini sendiri bukanlah esensi dari Dhamma. Jalan ini bukanlah tujuan-akhir, bukan sasaran utama Sang Bhagava. Tetapi sekadar jalan yang menuntun ke dalam batin. Ini seperti saat anda berkunjung dari Bangkok ke vihara ini, Wat Nong Pah Pong. Bukanlah jalan itu yang hendak dicapai. Apa yang diinginkan adalah mencapai vihara, tapi untuk mencapainya anda memerlukan jalan tersebut. Jalan yang anda lalui bukanlah vihara, ini merupakan cara untuk tiba ke sana. Hal ini sama seperti kebajikan, samadhi, dan kebijaksanaan. Kita dapat mengatakan mereka bukanlah esensi dari Dhamma, tetapi merupakan jalan untuk tiba ke sana. Saat sila, samadhi, dan panna telah kita kuasai, hasilnya adalah kedamaian pikiran yang sangat mendalam. Itulah tujuannya. Begitu kita tiba di sana, walaupun ada kebisingan, pikiran tetap tenang seimbang. Saat kita mencapai kedamaian ini, tidak ada yang perlu dilakukan lagi. Sang Buddha mengajarkan untuk melepas. Apa pun yang terjadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kemudian kita benar-benar yakin dan tahu sendiri. Kita tidak lagi sekadar memercayai perkataan orang lain.

Sumber: Damai Tak Tergoyahkan - Ajahn Chah

 _/\_

icykalimu:
DN 22 Mahāsatipaṭṭhāna Sutta

...
21. ‘Dan apakah, para bhikkhu, Kebenaran Mulia Jalan Praktik Menuju Lenyapnya Penderitaan? Yaitu, Jalan Mulia berfaktor Delapan, yaitu: Pandangan Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar, Konsentrasi Benar.’

‘Dan apakah, para bhikkhu, Pandangan Benar?[85] [312] yaitu, para bhikkhu, pengetahuan tentang penderitaan, pengetahuan tentang asal-mula penderitaan, pengetahuan tentang lenyapnya penderitaan, dan pengetahuan tentang praktik menuju lenyapnya penderitaan. Ini disebut Pandangan Benar.’

‘Dan apakah, para bhikkhu, Pikiran Benar?[86] Pikiran meninggalkan keduniawian, pikiran ketidakbencian, pikiran ketidakkejaman. Ini, para bhikkhu, disebut Pikiran Benar.’

‘Dan apakah, para bhikkhu, Ucapan Benar? Menghindari berbohong, menghindari fitnah, menghindari ucapan kasar, menghindari kata-kata yang tidak berguna. Ini disebut Ucapan Benar.’

‘Dan apakah, para bhikkhu, Perbuatan Benar? Menghindari pembunuhan, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari melakukan hubungan seksual yang salah. Ini disebut Perbuatan Benar.’

‘Dan apakah, para bhikkhu, Penghidupan Benar? Di sini, para bhikkhu, seorang Siswa Ariya, setelah meninggalkan penghidupan salah, mempertahankan hidupnya dengan Penghidupan Benar.’

‘Dan apakah, para bhikkhu, Usaha Benar? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu membangkitkan kehendak, mengerahkan daya upaya, menggerakkan usaha, mengerahkan pikirannya dan berusaha untuk mencegah munculnya kondisi batin buruk yang belum muncul. Ia membangkitkan kehendak ... dan berusaha untuk mengatasi kondisi batin buruk yang telah muncul. Ia membangkitkan kehendak ... dan berusaha untuk memunculkan kondisi batin baik yang belum muncul. Ia membangkitkan kehendak, mengerahkan daya upaya, menggerakkan usaha, mengerahkan pikirannya dan berusaha untuk mempertahankan kondisi batin baik yang telah muncul, tidak membiarkannya memudar, menumbuhkan lebih besar, hingga sempurna dalam pengembangan. Ini disebut Usaha Benar.’

‘Dan apakah, para bhikkhu, Perhatian Benar? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, sadar jernih dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan segala keserakahan dan cengkeraman terhadap dunia; ia berdiam merenungkan perasaan sebagai perasaan ...; ia berdiam merenungkan pikiran sebagai pikiran ...; ia berdiam merenungkan objek-objek pikiran sebagai objek-objek pikiran, tekun, sadar jernih dan penuh perhatian, setelah menyingkirkan segala keserakahan dan cengkeraman terhadap dunia. Ini disebut Perhatian Benar.’

‘Dan apakah, para bhikkhu, Konsentrasi Benar? Di sini, seorang bhikkhu, terlepas dari keinginan-indria, terlepas dari kondisi batin yang buruk, memasuki dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran yang muncul dari pelepasan, dipenuhi dengan kegirangan dan kegembiraan. Dan dengan melenyapkan awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, dengan mencapai ketenangan di dalam dan keterpusatan pikiran, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang tanpa awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, yang muncul dari konsentrasi, dipenuhi dengan kegirangan dan kegembiraan. Dan dengan meluruhnya kegirangan, tetap tidak terganggu, penuh perhatian dan sadar jernih, ia mengalami dalam dirinya apa yang dikatakan oleh Para Mulia: “Bahagialah ia yang berdiam dalam keseimbangan dan perhatian,” ia memasuki jhāna ke tiga. Dan, setelah meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan lenyapnya kegembiraan dan kesedihan sebelumnya, ia memasuki dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang melampaui kenikmatan dan kesakitan, dan dimurnikan oleh keseimbangan dan perhatian. Ini disebut Konsentrasi Benar. Dan itu, para bhikkhu, disebut jalan praktik menuju lenyapnya penderitaan.’
...

Sukma Kemenyan:
Inti dari seluruh ajaran Sang Buddha adalah
Empat Kebenaran Mulia
(cattari ariya sacca)Dengan mengerti Empat Kebenaran Mulia, dapat dikatakan seseorang telah mengerti agama Buddha.

Ketika Buddha menjelaskan Empat Kebenaran Mulia, beliau mula-mula menguraikannya satu per satu,
Empat Kebenaran Mulia ini yaitu:

I. Kebenaran Mulia tentang Dukkha (dukkha ariya sacca)
Hidup dalam bentuk dan kondisi apapun adalah Dukkha (penderitaan),
- Lahir, sakit, tua dan mati adalah Dukkha.
- Berhubungan dengan yang tidak kita sukai adalah Dukkha.
- Ditinggalkan oleh orang yang kita sayangi adalah Dukkha.
- Tidak mendapatkan yang kita inginkan juga merupakan Dukkha.
- Masih memiliki Lima khanda adalah Dukkha.

Dukkha dapat juga dibagi menjadi:
- dukkha-dukkha,
ialah penderitaan yang nyata, yang benar dirasakan sebagai penderitaan tubuh dan bathin, misalnya sakit kepala, sakit gigi, susah hati dll.
- viparinäma-dukkha
merupakan fakta bahwa semua perasaan senang dan bahagia --berdasarkan sifat ketidak-kekalan-- di dalamnya mengandung benih-benih kekecewaan, kekesalan dll.
- sankhärä-dukkha
lima khanda adalah penderitaan ; selama masih ada lima khanda tak mungkin terbebas dari sakit fisik.


II. Asal Mula Dukkha (dukkha samudaya ariya sacca)
Sumber dari penderitaan adalah tanhä, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya.
Semakin diumbar semakin keras ia mencengkeram.

Orang yang pasrah kepada tanhä sama saja dengan orang minum air asin untuk menghilangkan rasa hausnya.
Rasa haus itu bukannya hilang, bahkan menjadi bertambah, karena air asin itu yang mengandung garam.

Demikianlah, semakin orang pasrah kepada tanhä semakin keras tanhä itu mencengkeramnya.

Dikenal tiga macam tanhä, yaitu :
1.  Kämatanhä : kehausan akan kesenangan indriya, ialah kehausan akan :
a. bentuk-bentuk (indah)
b. suara-suara (merdu)
c. wangi-wangian
d. rasa-rasa (nikmat)
e. sentuhan-sentuhan (lembut)
f. bentuk-bentuk pikiran

2.  Bhavatanhä : kehausan untuk lahir kembali sebagai manusia berdasarkan kepercayaan tentang adanya "atma (roh) yang kekal dan terpisah" (attavada)

3.  Vibhavatanhä : kehausan untuk memusnahkan diri, berdasarkan kepercayaan, bahwa setelah mati tamatlah riwayat tiap-tiap manusia (ucchedaväda).

III. Lenyapnya Dukkha (dukkha nirodha ariya sacca)
Kalau tanhä dapat disingkirkan, maka kita akan berada dalam keadaan yang bahagia sekali,
Sang Buddha dengan jelas dan tegas mengajar kita, bahwa kita dapat bebas dari penderitaan dan mencapai kebebasan dan kebahagiaan Nibbana.

Istilah Nibbana secara harfiah berarti ‘padam’,
serta mengacu ke pemadaman api keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin.

IV. Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha (dukkha nirodha gamini patipada)
Jalan-nya adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangika Magga)
Disebut ‘Mulia’ karena bila dilaksanakan, maka akan menuntun seseorang ke kehidupan yang mulia;
Disebut ‘Berunsur Delapan’, karena terdiri dari Delapan Unsur,
Disebut ‘Jalan’, karena seperti jalan pada umumnya, akan menuntun seseorang dari satu tempat ke tempat lain, dengan hal ini dari Samsara ke Nibbana.

Delapan Jalan Utama (Jalan Mulia Berunsur Delapan) yang akan membawa kita ke Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha, yaitu :

Wisdom (Paññā)
1. Pengertian Benar (sammä-ditthi) Right view
2. Pikiran Benar (sammä-sankappa) Right intention

Sila 
3. Ucapan Benar (sammä-väcä) Right speech
4. Perbuatan Benar (sammä-kammanta) Right action
5. Pencaharian Benar (sammä-ajiva) Right livelihood

Samädhi 
6. Daya-upaya Benar (sammä-väyäma) Right effort
7. Perhatian Benar (sammä-sati) Right mindfulness
8. Konsentrasi Benar (sammä-samädhi) Right concentration

Navigation

[0] Message Index

[*] Previous page

Go to full version