//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - senghansen

Pages: [1]
1
Ulasan Buku, Majalah, Musik atau Film / (Film) Avalokitesvara 2013
« on: 19 April 2014, 08:44:02 PM »
selamat menonton  8)


2
Halo, Namaste semuanya.

Saya mau memperkenalkan buku dhamma praktis yang mengulas tentang Jalan Mulia Berunsur 8 yaitu Hasta Ariya Magga. Jalan Mulia Berunsur Delapan ditemukan oleh Buddha Gotama sekitar 2500 tahun yang lalu sebagai sebuah jalan yang mempunyai 8 unsur di dalamnya (cullavedala sutta, MN 44.9). Jalan ini harus dilihat sebagai sebuah jalan di mana di dalamnya terdapat 8 unsur atau cara yang saling melengkapi. Delapan unsur tersebut adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ketika salah satu unsur telah sempurna dijalankan, sebenarnya unsur lainnya juga telah sempurna. Masing-masing unsur saling mendorong dan mendukung sehingga dapat mengantarkan seseorang menuju kehidupan bahagia.
Delapan unsur yang merupakan satu kesatuan tersebut, antara lain (MN 44.9):
1. Pandangan benar (samma ditthi)
2. Pikiran benar atau niat benar (samma sankappa)
3. Ucapan benar (samma vaca)
4. Perbuatan benar atau tindakan benar (samma kammanta)
5. Mata pencaharian benar atau penghidupan benar (samma ajiva)
6. Daya upaya benar atau usaha benar (samma vayama)
7. Perhatian benar atau kewaspadaan benar (samma sati)
8. Konsentrasi benar (samma samadhi)

Nah, saudara Willy Yandi sampai saat ini telah menulis 6 dari 8 unsur tersebut dalam bentuk buku saku yang diterbitkan oleh Insight Vidyasena Production. Buku-buku ini minimal terbit 1 judul tiap tahun. Sisa yang belum terbit adalah Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. File buku yang sudah terbit dapat dibaca dari perpustakaan Dhammacitta. Semoga bermanfaat ;)







3
Diskusi Umum / Jubah Para Bhikkhu/ni
« on: 16 November 2010, 08:38:20 PM »


Jubah para bhikkhu/ni berakar dari sejarah 25 abad yang silam, yakni ketika Buddha Gotama meminta Yang Mulia Ananda untuk mendesain sebuah jubah yang menggambarkan ladang sawah. Yang Mulia Ananda kemudian melipat-lipat jubah yang menggambarkan petak-petak sawah dan membuat lipatan yang lebih tipis yang menggambarkan jalan. Sejak saat itulah para bhikkhu/ni buddhis terutama tradisi Theravada menggunakan teknik lipatan ini pada jubah yang mereka pakai.

Jubah para bhikkhu/ni buddhis memiliki beragam corak dan warna, tergantung dari lokasi geografis dan cuaca setempat. Pada mulanya jubah para bhikkhu/ni di India jaman kehidupan Buddha berwarna saffron (warna oranye kekuning-kuningan) dan terbuat dari “kain murni”. Kain murni disini artinya adalah kain yang tidak dipakai lagi oleh orang lain seperti kain yang telah dibuang, kain sobek/bolong-bolong bekas gigitan tikus, kain bekas kelahiran bayi, kain bekas pembungkus mayat sebelum dikremasi, dll. Semua bagian yang tidak dapat dipakai kemudian dibuang,  dibersihkan, dicuci dan dikeringkan sebelum akhirnya diberi pewarna pakaian alami. Caranya jubah yang telah dicuci direbus ke dalam kuali bersama dengan bunga-bungaan, dedaunan, dan saffron yang memberikan warna oranye kekuningan tersebut (saffron – Crocus sativu - sendiri adalah sejenis tanaman yang bermanfaat sebagai bumbu dapur, pewarna alami, dan tanaman obat). Jubah berwarna saffron ini hingga kini masih digunakan oleh para bhikkhu/ni aliran Theravada yang berkembang di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Saat ini jubah para bhikkhu/ni sudah tentu tidak lagi diperoleh dari kain yang dibuang, tetapi dari para umat yang mendanakan jubah, terutama biasanya pada saat perayaan Kathina.

Jubah para bhikkhu/ni Theravada
Jubah para bhikkhu/ni tradisi Theravada dianggap tetap mempertahankan pola dan warna asli para bhikkhu/ni sejak jaman kehidupan Buddha Gotama. Terdapat 3 bagian utama jubah:

1.       Uttarasanga
Adalah bagian terpenting dan terluar dari jubah para bhikkhu. Biasa disebut juga jubah kashaya. Jubah ini berbentuk persegi panjang, berwarna saffron, panjang sekitar 6-9 kaki sehingga dapat digunakan untuk menutupi kedua bahu, tetapi sering kali hanya digunakan untuk menutupi bahu bagian kiri sedangkan bahu bagian kanan dan tangan kanan dibiarkan terbuka.
2.       Antaravasaka
Digunakan didalam Uttarasanga dan dipakai seperti sarung, dililitkan di pinggang dan menutupi hingga mata kaki.
3.       Sanghati
Merupakan jubah ekstra yang bisa digunakan untuk menutupi tubuh bagian atas apabila membutuhkan kehangatan saat cuaca dingin. Tetapi bila tidak dipakai biasanya dilipat kecil dan ditempatkan diatas bahu bagian kiri seperti selendang.

Jubah bagi para bhikkhuni sebenarnya sama seperti di atas, tetapi ditambah 2 bagian lain sehingga terdapat 5 bagian dari jubah seorang bhikkhuni. Para bhikkhuni mengenakan samkacchika (atasan) yang dipakai dibawah uttarasanga sehingga menutupi kedua bahu bhikkhuni. Para bhikkhuni juga dilengkapi dengan Udakasatika (pakaian mandi).

Mengapa sawah padi?

Ada banyak persepsi mengapa jubah para bhikkhu/ni menggambarkan petak-petak sawah padi. Salah satunya adalah karena sawah padi sering kali dianalogikan sebagai tempat menanam jasa. Para bhikkhu/ni adalah orang-orang yang memiliki niat dan ketulusan untuk menjalani kehidupan suci, oleh karenanya dalam tradisi buddhis mereka dianggap sebagai tempat menanam jasa kebajikan terbaik, sama halnya seperti sawah sebagai tempat menanam padi. Dalam tradisi Zen, jubah petak-petak ini menggambarkan pula “ladang tempat menanam kebajikan yang tidak berbentuk”. Bisa pula jubah ini dianggap sebagai sebuah mandala yang menggambarkan alam semesta.

Jubah para bhikkhu/ni di Asia bagian Utara

Seiring dengan perkembangan dan penyebaran agama Buddha ke Asia Utara dan Timur, jubah-jubah para bhikkhu/ni juga mengalami adaptasi menyesuaikan dengan budaya, lokasi geografis dan cuaca setempat. Agama Buddha masuk dan diterima oleh masyarakat Cina sejak abad pertama Masehi dan jubah India memperoleh tanggapan ganjil disini. Di India, menunjukkan sebelah bahu merupakan tanda rasa hormat, tidak demikian halnya di Cina. Selain budaya Cina yang menganggap lebih sopan menutup kedua bahu, juga karena cuacanya yang lebih dingin sehingga tidak cukup hanya mengenakan tiga lapis jubah saja.

Para biksu di Cina mulai mengenakan jubah terusan yang menutupi kedua bahu dan tangan. Mereka kemudian menggunakan kashaya yang menutupi seluruh jubah. Warna jubah juga mengalami adaptasi menjadi kuning cerah. Apalagi di Cina para biksu/ni lebih mandiri dibanding di Asia bagian Selatan. Hal ini membuat mereka merasa lebih nyaman menggunakan celana panjang seperti celana panjang modern saat ini. Mereka hanya menggunakan jubah dan kashaya pada saat meditasi dan upacara-upacara.

Praktek ini kemudian dibawa ke daratan Cina, Korea, Jepang, dan Tibet. Warna-warna jubah juga mengalami perubahan, tidak lagi sekedar saffron dan kuning, tetapi juga merah, putih, abu-abu, dan warna-warna polos seragam lainnya seperti coklat dan hitam di Jepang.

Di Tibet, mengingat lokasinya yang tinggi dan cuaca yang teramat dingin, para biksu/ni memiliki setidaknya 5 bagian jubah dan terkadang dilengkapi dengan topi, penutup kepala, dan jubah luar (cape). Warnanya pun mencolok seperti merah tua dan sekaligus menjadi identitas sekte/alirannya.

Pages: [1]
anything