//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: GUBUK DITENGAH SAWAH  (Read 88951 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline traktor

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 109
  • Reputasi: -2
  • Gender: Male
  • Tidak Selalu Hitam Putih
GUBUK DITENGAH SAWAH
« on: 14 June 2011, 05:38:32 PM »


Awal 80an atau akhir 70an.

Dusun Aek Kotabatu, di sebuah pedalaman Sumatera Utara. Dusun yang hijau dengan hamparan sawah dan hutan hutan kecil mengelilinginya. Burung Rangkok di bawah pohon yang berlubang, ular sawah yang kadang besarnya bisa sepaha laki-laki dewasa, sumur dipinggir sawah yang airnya lebih sejuk daripada Aqua.

Darbi lahir di sana. Tinggal di rumah dengan banyak bekas bak-bak dari semen yang oleh penduduk sekitar disebut Gudang Asap. Rumah ini dulunya memang gudang untuk mengeringkan getah karet. Bak-bak dari semen itu adalah sisa-sisanya.

Darbi bungsu dari beberapa orang kakak dan abang. Dia belum sekolah, karena tangannya belum nyampai ke kuping kalau disampirkan melewati kepala. Dia selalu senang sekali bila kakak kakaknya pulang sekolah. Biasanya kakaknya akan mengajaknya ke sawah, atau sesekali ke sungai mandi dan bermain air.

Gudang asap terletak di tengah tengah dusun. Di sebelah utaranya terdapat perkampungan Muslim, tempat rumah temannya Ali dan Unden Saga yang baik hati. Sementara ke arah selatan terdapat perkampungan kr****n. Opung Doli yang suka ngasih permen selalu mengajaknya main meriam Tomong kalau Natal sudah dekat.

Siang ini dia sudah tak sabar, abangnya Udin dan kakaknya Sumi serta Ina sudah berkomplot dengannya semalam, hari ini akan mencuri sawo wak Asan. Hihihihihi

“Mencuri?....” tanya Darbi.

“Iya, mau ikut tidak?” Udin meyakinkan

“Ah, mencuri gak mau…”

“Bukan mencuri ah… Kita hanya ingin memungut sawo sawo yang sudah jatuh!” kata Sumi yang paling tua dari 4 anak anak yang tengah berkomplot ini.

“Mau ikut, tapi gak mau curi!”

“Yah sudah, besok pulang sekolah habis makan siang kita bergerak” kata Udin lagi.

Jadi, selama menunggu kakak-kakaknya pulang sekolah, Darbi asik sendirian di loteng. Main main dengan piringan hitam. Tahu kan piringan hitam. Alat untuk mutar musik jaman dulu. Sudah ada sebelum era tape recorder. Di bawah ada tape recorder mono. Tapi Darbi kurang suka.

Piringan hitam lebih enak. Bisa buat main main. Kalau baterainya habis masih bisa kedengaran suaranya bila flat nya diputar pakai tangan, dengan cara menggesek gesek.

Kadang iseng, dia justru sengaja menggesek gesek piringan hitam yang sedang diputar. Hasilnya suara yang keluar bisa luar biasa… seeeeettttt…. Cccccccceeeeeeeet….. begitu.

Setelah dewasa nanti, baru Darbi sadar bahwa apa yang dilakukannya dulu adalah apa yang dilakukan DJ DJ itu… menggesek gesek piringan hitam di turntable. Hehehehehe

“Udin pulang……”

“Sumi pulang….”

“Ina pulang…..”

Ibu yang sudah selesai masak, keluar dari dapur. Darbi meninggalkan turntable dan piringan hitamnya, dan turun ke bawah melihat kakak kakaknya pulang sekolah. Duh, senangnya.

“Ganti baju… Mandi… Makan!” kata ibu tegas.

Ke tiga anak SD tersebut segera melakukan yang diperintahkan ibu.

“Eh, sudah turun…. Tadi main apa?” tanya Ibu pada Darbi.

“Main musik….” Kata Darbi.

“Muter lagu apa?” Ibu menggendong Darbi.

“Lagu Titik Sandora…. Lagu Betels… lagu Chang Siau Ing….” Walau pengucapannya tidak benar, tapi Darbi tidak cadel.

“Sudah lapar belum? Makan ya….”

“Nanti sama sama kakak…”
Setelah ke 4 anaknya duduk di meja, Ibu menyendoki nasi sayur dan lauk ke piring piring yang sudah disiapkan di meja.

“Makan yang bener. Harus dihabiskan. Sebentar lagi abang abangmu akan pulang sekolah…”

Yah benar, masih ada bang Ali, Husin, Amir, Wahab dan Bandot yang belum pulang sekolah, mereka sudah SMP dan SMA. Wahab dan Bandot bahkan sudah tamat SMA, sedang bekerja di penggilingan padi milik toke Kecik, sebutan cukong China yang baik hati namun badannya kecil itu.

Bapak sering bolak balik ke Pekan Baru. Kerjanya buka hutan katanya. Darbi sendiri tidak mengerti apa itu buka hutan. Mungkin hutan hutan di Pakan Baru ada pintunya, jadi bisa dibuka tutup semaunya. Kalau hutan hutan disini kebanyakan pohon pohon lebat, ada binatang buas. Kata orang orang kampung hati hati dengan harimau akar. Ah… membingungkan, tapi sebentar lagi sudah enak, main main sama kakak kakak.

Maka, makan siang kali ini berlansung tertir dan lancar, tidak seperti biasanya. Ke empat anak yang sudah berkomplot itu berusaha tampil sebaik mungkin di depan ibu. Supaya tidak langsung disuruh tidur siang. Bisa gagal semua rencana.

Ibu bisa seperti singa betina kalau sudah mengamuk.

Namun siang ini, karena kesibukannya. Ibu sudah ke belakang lagi. Entah ngapain. Ada saja yang dikerjakannya. Dan ke 4 kakak beradik itu keluar diam diam. Mulanya pura pura main di halaman, lalu begitu tidak ada tanda tanda diteriaki Ibu, semuanya pelan pelan menghilang menuju kebun sawo wak Asan.

Darbi kabanyakan digendong Sumi atau Udin bergantian. Ina yang hanya berjarak 2 tahun dari Darbi lebih banyak diam. Sebenarnya Udin dan Sumi agak kurang suka membawa Ina, karna adik mereka ini gampang nangis. Tidak seperti Darbi yang walau paling kecil tapi tahan banting. Jatuh juga jarang nangis.

“Ini dapat…..” teriak Ina yang langsung di sssssstttttt kedua kakaknya.

“Mana…..” tanya Udin sambil melihat kiri kanan, “Wah… ini pasti manis sekali…”

Lalu dia membelah sawo masak tersebut dengan menekan kedua telapak tangannya. Membaginya rata untuk semua.

“Enak… manis ya…” kata Darbi…

Lalu mereka merunduk runduk lagi mencari cari Sawo matang yang sudha jatuh dari pohon. Biasanya buah sawo kalau sudah jatuh dari pohon akan sangat lembek. Sawo dipetik saat tua, lalu diperam. Kulitnya yang bergetah, dilap dengan sabut kelapa supaya licin dan enak dilihat. Jarang ada orang yang mau membeli sawo yang sudah terlalu masak. Sawo yang sudah jatuh ini luar biasa enaknya. Kalau sudah kelamaan jatuh, akan sedikit asam. Kalau sudah asam, sebaiknya jangan dimakan. Bisa sakit perut.

“Hoiiii anak anak nakalllll…. Pencuri….!” Tiba tiba keasikan mereka diusik teriakan suara cempreng dari kejauhan.

“LARIIIIIIIII…..” Darbi langsung disambar Sumi dan keempat anak tersebut berlarian ke arah sawah yang tidak begitu jauh di sebelah ladang…

Wak Asan yang bersarung kotak kotak warna hijau, mengejar dengan susah payah. Tangannya sebelah memegang sarung, sebelah lagi memegang senapan angin.

Iya, senapan angin. Wak Asan itu memang sadis kalau diingat ingat. Senapan anginnya diisi dengan kacang hijau. Terus ngengkolnya juga gak full.

“Aduhh….” Udin menjerit merasakan perih di betisnya kena tembakan wak Asan.

“Lari terus…..” teriak Sumi yang menggendong Darbi.

Ina sudah mulai menangis. Udin menyambarnya lalu menaikkannya di pundaknya. Lalu mereka berlari lagi. Rasanya seperti diketapel. Tapi lebih perih. Memerah di kulit.

Sampai akhirnya ke 4 nya sudah ketawa ketawa di bawah pohon pisang di dekat sumur sawah.

“Wuih panas…….” Udin membuka bajunya yang sudah basah kuyup dengan keringat.

Sumi sedang mendiamkan Ina…

“Kalau nangis terus, lain kali gak diajak yah…. Gak malu sama adiknya. Darbi saja gak nangis…” Bukannya diam, malah semakin nangis. Mungkin ketakutan.

“Nih…. Ada sawo lagi….” Udin mengeluarkan buah berkulit coklat itu dari saku celananya.

Mula mula merajuk, namun akhirnya Ina mau juga menerima sawo yang sudah hampir habis dimakan Sumi, Darbi dan Udin.

“Cuci tangan….” Kata Darbi, tangannya lengket lengket bekas air sawo yang manis.

“Bentar..” Udin mengambil galah yang ujungnya sudah diikat ember di sebelah sumur. Sumurnya tidak dalam, paling 1 meteran dari permukaan tanah. Tapi kedalamannya sampai dasar tidak diketahui. Ada 2 meter barangkali. Airnya sangat jernih.

Jadi, mereka terindungi di dekat sumur itu. Di depan mereka hamparan padi yang sudah mulai menguning. Di kejauhan Unden Saga sedang menjaga sawah dari burung burung yang mau ambil bagian panen padi. Kalau tali dari gubuk ditariknya, maka oran orangan di tengah sawah akan bergerak gerak, serta kaleng kaleng rombeng yang sudah diisi batu batuan akan berbunyi di seontoro sawah. Biasanya kalau Unden Saga memulainya, akan diikuti unden unden di gubuk gubuk yang lain.

Entah bagaimana ceritanya, Ina yang sudah diam dari nangisnya, sampai lalai diperhatikan Sumi dan Udin. Ina sudah nyemplung di sumur …. Megap megap menjerit ketakutan menggapai pinggiran sumur tanah….

BYURRR……… Udin yang memang jago berenang langsung nyebur ke dalam sumur itu untuk menolong adiknya. Sumi mengambil dari bambu yang tadi buat nimbah air, lalu menjulurkannya ke Udin dan Ina. Kali ini galah dipacakkan kandas ke dasar sumur.

Udin segera berpegangan pada galah.

“Tarik Ina…..” katanya pada Sumi sambil menjulurkan Ina yang untungnya mungil ke atas.

“Iya…” Sumi menyambut tanga Ina dari pinggiran sumur. Darbi melihat mereka dengan tanda tanya. Asik memperhatikan.

Akhirnya Ina selamat ditarik Sumi. Terminum air entah berapa banyak. Udin yang sudah basah kuyup menelungkup di tanah.

“Halahhhh…. Sumurku… itu airnya buat air sembahyang…” Rupanya Wak Saga sudah diantara mereka. Wak Saga adalah suami Unden Saga.

Tapi Wak Saga banyak membantu. Ina ditelungkupkan di atas badan Udin yang sudah rebah dari tadi. Lalu air pun keluar dari mulutnya. Tampang Ina sudah seperti kertas.
Ina lantas dipeluk Sumi dengan kasih sayang…

“Jangan takut ya…. Jangan takut… Gak apa apa…” kata Sumi sambil menepuk nepuk pundak bagian belakang Ina.

Ina sudah tak sanggup menangis. Masih shock.

“Yang bandalan lah kalian ini… Bagaimana tadi kalau si Ina …..” ups… agaknya wak Saga tak tega untuk mengucapkannya.

“Yah sudahlah… Ayo ikut Uwak. Di dekat gubuk unden ada Ubi (singkong) tadi sudah uwak bakar. Sudah dari tadi nya uwak lihat kalian berempat di sini dikejar kejar wak Asan… Pulang ke rumah, pasti kalian ini kena libas….” Wak Saga yang baik ini mengajak mereka ke gubuk unden.

Unden Saga yang gemuk menunggu dikejauhan.

“Kenapa?..........” teriaknya dari jauh, melihat Ina yang lemas digendongan Sumi.

Setelah mendekat.

“Si Ina jatuh ke sumur….” Kata Wak Saga pada istrinya.

“Ha…….?... Haduhhh… yang nakal lah kalian ini,…” sambil berkata begitu unden Saga mengambil Ina yang masih lemas dari pelukan Sumi dan membawanya masuk ke gubuk. Dihandukinya Ina dengan kain selendang. Tak ada handuk. Yang ada sarung dan selendang.

“Minum yah…. Ini air gula, biar tak terkejut lagi…” ini kebiasaan orang kampung, kalau anak anak terkejut diberi minum air gula.

Wak Saga menggendong Darbi naik ke gubuk.

“Kau tak apa apa kan nak?” katanya.

“Curi sawo…. Kena tembak… dorrr” Darbi menunjuk kaki abangnya yang diam seribu bahasa. Sama seperti Sumi yang juga sudah diam seribu bahasa.

Keduanya berpikir, betapa bahaya yang sudah mereka buat tadi.

“Sudahlah… Udin, Sumi naik ke sini. Lap badan kalian yang basah itu…”

Keduanye menurut.
“Minum the yah….. “ kata wak Saga. “Dek…. Kau bikin dulu teh manis untuk anak anak ini…” katanya pada istrinya.

“Abang teh apa kopi?” tanya unden. “Abang pegangkan dulu si Ina..”

“Aku kopi saja lah…” Wak Saga menyambut Ina yang masih lemas dan shock.

“Udin, Sumi…. Sini dulu…”

“Iya wak….”

“Tahu kalian apa salah kalian?”

Keduanya tak berani menjawab.

“Adik adikmu ini masih kecil kecil. Bahaya kalau terjadi apa apa. Kalau mau bawa jalan jalan atau main main. Dijaga yang benar. Jangan dibawa ke tempat yang bahaya….”

“Iya wak… Udin salah….”

“Iya wak…. Sumi paling salah….” Lalu Sumi mulai menangis sedih. Menyesali perbuatannya dengan Udin yang mengajak kedua adiknya yang masih kecil ini ikutan. Waktu itu memang Sumi yang paling tua.

Sumi kelas 6 SD, Udin kelas 4. Ina kelas 2. Darbi belum sekolah. Tahun depan baru boleh sekolah. Di dusun ini tak ada TK.

“Sudah jangan nangis… yang penting lain kali kalau mau main, dekat dekat gubuk uwak saja. Sambil bakar ubi kan enak…Oh, iya…. Jadinya kita bakar ubi?” Wak Saga udah ketawa lagi.

Tapi akhirnya Unden yang bakar ubinya di tungku samping gubuk. Ubi kayu atau singkong itu dimasukkan ke dalam bara begitu saja. Sambil menunggu air panas untuk bikin teh.

Sudah jam 4 sore. Ubi bakar dan teh sudah habis. Udin, Sumi dan Ina sudah lumayan santai lagi.

“Wak…. Mau pulang…” Kata Sumi.

“Yah, pulanglah…. Habis ini jangan nakal lagi ya… Nanti malam kalau uwak sempat, singgah ke rumah kalian” kata wak Saga.

“Bang! Labi-labinya bagaimana?” tanya unden Saga.

“Oh iya, Udin. Kuat nya kau ngangkat ember itu” tunjuknya pada ember hitam dari plastik yang ukurannya lumayan untuk anak kelas 4 SD.

“Kuat wak…”

“Itu tadi pagi uwak dapat labi-labi…. Hahahaha, akong mu paling suka makan labi-labi kan… bawa pulang nanti ya… bilang dari unden” Labi-labi adalah sejenis penyu yang hidup di rawa rawa. Sangat banyak dulu di dusun itu. Biasanya bisa sampai ukuran 30 cm panjangnya. Tertangkap di gorong gorong.

“Mudah mudahan bawa labi-labi jadi tidak kena pukul ibu….” Udin tersenyum

“Sumi, ini juga ada kangkung dan genjer… kasih ibumu… bilang dari unden ya…”

Sumipun tersenyum.

“Makasih yah wak, unden….. kami pulang dulu” sehabis cium tangan 4 kakak beradik itu pulang. Tidak berapa jauh sebenarnya. Sekita 1,5 km dari Gudang Asap.





…………………………

Sampai di pekarangan, keempatnya mengendap endap.

Tapi rupanya ibu sudah menunggu dengan lidi dari daun kelapa 3 helai yang sudah ditocang dan diikat karet ujung ujungnya.

“Dari mana kalian……?” Bentak Ibu.

“Ini dari uwak dan unden Saga…” Sumi meletakkan ikatan kangkung dan genjer di bale bale samping Gudang Asap.

“Haiya…… PIK BAK! “ Akong muncul dari belakang ibu. Akong adalah kakek ke 4 anak itu. Jago Kung Fu, ilmu toya, nyentrik dan suka sekali makan labi-labi. Pik Bak, artinya daging labi-labi (logat Hokkian).

Akang mengurus labi labi dalam ember.

Ibu mulai melibaskan lidi ke kaki Sumi dan Udin, yang langsung menangis kesakitan. Dua tiga kali saja. Namun kemarahan ibu sanat terasa. Lama keduanya menangis. Hatinya yang sakit sekali. Menyesal. Sedih. Merasa bersalah. Kesedihan karena merasa bersalah lebih dalam sakitnya. Rupanya tadi Wak Asan mendatangi ibu melaporkan kelakuan mencuri 4 kakak beradik itu.  Ibu sakit sekali mendengar anak anaknya disebut  mencuri.
Darbi dan Ina juga menangis melihat Udin dan Sumi menangis.

“Sut… Neng neng….” Artinya ‘libas yang lentur’ begitu komentar Akong saat melihat ke 4 nya menangis.

Bang Ali, Husin dan Amir muncul. Masing masing menenangkan adik mereka yang nangis. Ibu masih marah. Suami di perantauan, anak yang masih kecil kecil sudah bandel. Jahitan baju belum selesai.

Begitulah sore itu. Tak akan pernah bisa kulupakan, sampai kapanpun.

Kak Sumi tahun 2009 meninggal dunia, karena kecelakaan lalu lintas. Meninggal di tempat. Meninggalkan 4 orang anaknya, keponakanku yang usianya seperti kami di cerita tadi.
Cintailah Musuhmu! Sebesar apa cinta yang bisa anda berikan pada orang lain yang masih anda sebut 'musuh'?
[Al Traktor 13:2]